Ukuran-ukuran Tubuh Kerbau Belang Toraja pada Jenis Kelamin dan Umur yang Berbeda

ABSTRACT
Body Size of Toraja Spotted Buffalo in Different Sex and Age
Ardi, S., Komariah, and H. Nuraini
This research was use secondary data of 267 Spotted Buffalos that taken from
Sanggalangi Sub-District, North Toraja District which supposed to compare chest
girth, body length and body weight of male and female Spotted Buffalo in different
age class. Those data were processed by using Randomized Block Design. The
treatments were include male and female sexes and also five age classes, those are <
1, 1, 1-3, 3-5 and > 5 years. Repetition total was unbalance. If those data have
significant differences, those data then processed by Duncan Test. Observed
variables included body length, chest girth and body weight. Body weight was gotten
from estimation based on linear regression equation (Putra, 1985). The result showed
that age and sex had a significant effect to body measurement of Toraja Spotted
Buffalo which included body length, chest girth and body weight (P 5 year, average body measurement of female Spotted Buffalo would
be higher than male Spotted Buffalo.
Keywords: Toraja Spotted Buffalo, body measurement, body length, chest girth,
body weight

3

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kerbau Belang termasuk jenis kerbau rawa yang mempunyai potensi tinggi
dalam penyediaan daging. Kerbau Belang adalah hewan bernilai paling tinggi dalam
budaya Toraja. Hewan ini, selain menjadi hewan pekerja dan alat transaksi juga
dipakai sebagai persembahan dalam upacara rambu solo' dan rambu tuka'
masyarakat Toraja. Potensi ternak kerbau untuk menopang ketahanan pangan
khususnya ketersediaan daging juga sangat besar. Bertambahnya jumlah penduduk
berbanding lurus dengan konsumsi daging. Kerbau merupakan salah satu komoditas
usaha peternakan yang potensial dalam hal penyediaan daging.
Terdapat perbedaan laju pertumbuhan antara ternak jantan dan betina juga
antar umur yang berbeda. Pola pertumbuhan tertinggi terjadi pada awal (muda)
kemudian mengalami peningkatan secara perlahan (dewasa) sampai mencapai
konstan saat ternak tua. Penimbangan sering kali tidak dapat dilakukan karena
timbangan ternak tidak tersedia. Oleh karena itu, ukuran-ukuran tubuh Kerbau
Belang, seperti lingkar dada dan panjang badan sangat penting diketahui karena
dapat digunakan untuk melakukan estimasi bobot badan.
Potensi sumber daya alam dan manusia merupakan faktor pendukung yang
harus dioptimalkan dalam peternakan Kerbau Belang Toraja. Adanya tradisi yang
menyebabkan permintaan dan harga Kerbau Belang tinggi juga merupakan motivasi
tersendiri bagi masyarakat Toraja untuk terus mengembangkan produktivitas ternak

yang mereka hasilkan. Selain itu, dalam peternakan Kerbau Belang Toraja,
manajemen pemeliharaan, pemberian pakan dan pemanfaatan limbah pertanian juga
merupakan hal-hal yang harus diperhatikan.
Secara umum, orang Toraja menilai kerbau dari tanduk, warna kulit dan
rambut, serta tanda-tanda di badan. Namun, selain penilaian tersebut, ukuran-ukuran
tubuh Kerbau Belang perlu diteliti juga untuk mengetahui pertumbuhan ternak
tersebut. Hasil dari penilai-penilaian Kerbau Belang tersebut diharapkan dapat
menjadi sumber data Kerbau Belang yang tidak hanya baik secara fenotipik namun
dapat menghasilkan daging yang baik pula sehingga bermanfaat tidak hanya dari segi
tradisi namun dapat memenuhi kebutuhan protein hewani.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi ukuran-ukuran
tubuh Kerbau Belang di Kecamatan Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi
Sulawesi Selatan. Penelitian ini juga bertujuan untuk membandingkan ukuran-ukuran
tubuh Kerbau Belang jantan dan betina meliputi lingkar dada, panjang badan dan
bobot badan pada umur yang berbeda.

2


TINJAUAN PUSTAKA
Kerbau Rawa
Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang
di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi
atau water bufallo berasal dari spesies Bubalus arnee. Spesies kerbau lain yang
masih liar adalah B. mindorensis, B. depressicornis dan B. cafer (Hasinah dan
Handiwirawan, 2006). Kerbau Asia terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan
kerbau domestik. Kerbau domestik terdiri atas dua tipe yaitu kerbau rawa (swamp
buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo).
Kerbau (Bubalus bubalis Linn.) adalah ruminansia yang mempunyai potensi
tinggi dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan
lembab, khusus daerah belahan utara tropika. Kerbau ditinjau dari habitat,
digolongkan dalam dua tipe, yaitu swamp bufallo dan river bufallo. Habitat swamp
buffalo (kerbau rawa) adalah rawa, tempat berkubang adalah di lumpur sehingga
disebut juga kerbau lumpur, sedangkan river buffalo (kerbau sungai) menetap di
daerah basah dan lebih suka berenang di sungai atau kolam. Kerbau sungai
merupakan tipe kerbau penghasil susu, sedangkan kerbau rawa merupakan tipe
penghasil daging (Fahimuddin, 1975).
Kerbau rawa banyak terdapat di daerah Asia Tenggara. Kerbau ini tampak
lebih liar dibandingkan dengan kerbau tipe sungai. Fahimuddin (1975) menyatakan

bahwa kerbau rawa merupakan kerbau yang berbadan pendek, besar, bertanduk
panjang, memiliki konformasi tubuh yang berat dan padat. Ciri-ciri bagian muka
kerbau rawa adalah dahi datar, muka pendek, moncong lebar dan terdapat bercak
putih di sekitar mata. Mason (1974a) menambahkan bahwa kerbau rawa memilki
tubuh dan kaki yang pendek, perut yang luas dan leher panjang.
Kerbau rawa berwarna abu-abu dengan warna yang lebih cerah pada bagian
kaki. Warna yang lebih terang dan menyerupai garis kalung juga terdapat di bawah
dagu dan leher. Mason (1974b) juga menyatakan bahwa kerbau rawa berwarna
kelabu, hitam totol-totol atau belang putih, albino dan abu-abu dengan warna yang
lebih cerah pada kaki. Selain itu, warna yang lebih terang juga terdapat di bawah
dagu dan leher. Kerbau rawa tidak pernah berwarna cokelat atau abu-abu cokelat
sebagaimana kerbau sungai.

Kerbau Belang (Spotted Buffalo)
Kerbau Belang termasuk dalam kelas Mamalia, ordo Artiodactila, famili
Bovidae, subfamili Bovinae, genus Bubalus, spesies Bubalus bubalis (kerbau air atau
water buffalo). Kerbau air terbagi menjadi dua macam yaitu kerbau lumpur atau rawa
(swamp buffalo) dan kerbau sungai (river buffalo). Kerbau belang di Tana Toraja
termasuk dalam jenis kerbau rawa (Cockrill, 1974).
Secara garis besar, masyarakat Toraja mengenal tiga kategori warna kerbau

yakni kerbau bonga atau kerbau belang, pudu’ atau kerbau hitam, dan sambao’ atau
kerbau abu-abu. Masih terdapat variasi warna pula dari ketiga kategori tersebut.
Kerbau belang mempunyai nilai relatif mahal, menyusul Kerbau pudu’ dan Kerbau
sambao’.
Kerbau bonga (belang) adalah kerbau yang berwarna kombinasi hitam dan
putih serta dianggap paling cantik. Harga kerbau belang mencapai puluhan sampai
ratusan juta. Kerbau juga dapat ditemukan di masyarakat TO Bada, Sulawesi
Tengah, Sumba, Flores, Roti dan Timor (Nooy-Palm, 1979). Namun, secara
proporsional sangat jarang. Kerbau jenis ini di Toraja sendiri sangat jarang.
Kelahiran Kerbau Belang bagi peternak merupakan suatu berkah. Upaya untuk
perkawinan silang pun jarang sekali berhasil. Kelahiran bonga ini dinilai sangat
kebetulan. Satu kerbau bonga biasanya dinilai antara 10 hingga 20 kerbau hitam.
Peter et al. (2003) menyatakan bahwa bonga memiliki beberapa variasi dari segi
kombinasi warna dan tanda-tandanya, yaitu 1) bonga saleko atau bonga doti adalah
jenis yang warna hitam dan putih hampir seimbang serta ditandai dengan taburan
bintik-bintik di seluruh tubuh, 2) bonga sanga’daran adalah jenis yang di bagian
mulut didominasi warna hitam, 3) bonga randan dali’ adalah jenis bonga yang alis
matanya berwarna hitam, 4) bonga takinan gayang adalah jenis yang memiliki warna
hitam menyerupai parang panjang di punggung, 5) bonga ulu adalah jenis bonga
yang berwarna putih hanya di kepala sedangkan bagian leher dan badan berwarna

hitam, 6) bonga lotong boko’ adalah jenis bonga yang terdapat warna hitam di
punggung, 7) bonga bulan adalah jenis bonga yang seluruh badan berwana putih,
serta 8) bonga sori adalah jenis bonga yang warna putih hanya di kepala bagian
mata.

4

Mason (1974b) menyatakan variasi warna kerbau rawa adalah kelabu, hitam
totol-totol atau belang putih, albino dan abu-abu. Praharani dan Triwulanningsih
(2008) menambahkan bahwa kerbau rawa atau lumpur mempunyai variasi warna
kulit yang cukup banyak sehingga memunculkan beragam nama sebagai pembeda.
Kerbau rawa atau lumpur yang berwarna hitam totol-totol atau belang putih yang
disebut kerbau belang. Bobot lahir kerbau belang dari Toraja, yaitu 25 kg pada jantan
dan 23 kg pada betina (Batosamma, 2004).
Pertumbuhan Ternak
Pertumbuhan secara umum didefinisikan sebagai perubahan ukuran tubuh
yang meliputi perubahan bobot badan, bentuk, dimensi dan komposisi tubuh
termasuk perubahan jaringan-jaringan tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ.
Perubahan jaringan-jaringan dan organ-organ berlangsung secara gradual hingga
tercapai ukuran dan bentuk karakteristik masing-masing organ dan jaringan tersebut

(Soeparno, 1998).
Pertumbuhan menurut Hafez dan Dyer (1969) adalah perubahan ukuran,
bentuk, serta komposisi dan struktur tubuh yang secara normal perubahan itu akan
meningkatkan ukuran dan bobot badan hewan. Pertumbuhan ternak secara
keseluruhan diukur dengan bertambah berat badan, sedangkan besar badan dapat
diketahui antara lain melalui panjang badan dan lingkar dada.
Pertumbuhan ternak adalah pertumbuhan bobot badan dan atau ukuran tubuh
sesuai dengan umur. Pertumbuhan tiap individu secara umum diperlihatkan sebagai
bentuk sigmoid atau “S”. Kurva “S” ini menggambarkan suatu bentuk percepatan
dan perlambatan karena berdasarkan penjelasan Vaccaro dan Rivero (1985), bahwa
pola pertumbuhan tertinggi terjadi pada awal kemudian mengalami peningkatan
secara perlahan sampai mencapai konstan saat ternak tua.
Kerbau merupakan ternak yang lambat dewasa. Kerbau mencapai dewasa
tubuh setelah umur tiga tahun (Fahimmudin, 1975). Namun, pendapat yang lain
menyatakan kerbau mencapai dewasa pada umur 5-6 tahun (Sasroamidjojo, 1991).
Menurut Camoens (1976) pertumbuhan kerbau berlangsung dengan cepat baik jantan
maupun betina sampai rata-rata umur sekitar empat tahun setelah itu pertumbuhan
berlangsung kurang cepat.
5


Dewasa kelamin sangat mempengaruhi laju pertumbuhan. Lendhanie (2005)
menyatakan dewasa kelamin kerbau rawa dicapai pada umur 2-3 tahun. Dewasa
kelamin sangat mempengaruhi pertumbuhan. Yurleni (2000) juga menyatakan hal
serupa, yaitu bahwa kerbau jantan dan betina mencapai dewasa kelamin sekitar umur
2,5-3 tahun. Bhikane dan Khawitkar (2004) menyatakan umur pubertas kerbau
berkisar antara 36-42 bulan (3-3,5 tahun) di Vietnam.
Ukuran Tubuh
Pengukuran parameter tubuh sering digunakan untuk estimasi produksi,
misalnya untuk pendugaan bobot badan (Saleh, 1982). Penimbangan di lapangan
sering kali tidak dapat dilakukan karena timbangan ternak tidak tersedia (Siregar et
al., 1984). Santosa (1983) menyatakan bahwa data lingkar dada dan panjang badan
dapat digunakan untuk menduga bobot hidup kerbau. Parameter lingkar dada
memiliki kecermatan yang lebih tinggi daripada panjang badan. Williamson dan
Payne (1986) menyatakan bahwa ukuran tubuh seperti lingkar dada dan panjang
badan dapat digunakan sebagai petunjuk bobot badan seekor hewan dengan tepat.
Chantalakhana dan Skunmum (2002) meneliti ukuran tubuh kerbau rawa
dewasa di beberapa negara Asia. Penelitian tersebut menyatakan bahwa ukuran tubuh
kerbau pada umur dewasa di Cina, Malaysia dan Thailand cenderung tidak jauh
berbeda seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Panjang Badan dan Lingkar Dada Kerbau Rawa pada Jenis Kelamin dan

Umur yang Berbeda di Beberapa Negara di Asia
Ukuran Tubuh
Negara

Cina

Malaysia

Thailand

Jenis Kelamin
Panjang Badan (cm)

Lingkar Dada (cm)

Jantan

143

188


Betina

132

179

Jantan

123

183

Betina

121

180

Jantan


144

197

Betina

134

182

Sumber: Chantalakhana dan Skunmum (2002)
6

Pengamatan ukuran tubuh meliputi panjang badan dan lingkar dada kerbau
rawa di beberapa wilayah di Indonesia sudah dilaporkan sejumlah penelitian.
Ismawan (2000) melakukan penelitian terhadap ukuran tubuh kerbau rawa di Garut,
Jawa Barat yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Panjang Badan dan Lingkar Dada Kerbau Rawa Umur yang Berbeda di
Garut, Jawa Barat
Kelompok Umur (tahun)

Panjang Badan (cm)

Lingkar Dada (cm)

0-1

94,30

134,25

1-2

107,35

156,96

2-3

125,02

176,38

>3

130,60

184,35

Rataan

114,32

162,99

Sumber: Ismawan (2000)

Penelitian Lita (2009) di Muara Muntai, Kalimantan Timur melaporkan
bahwa panjang badan dan lingkar dada kerbau rawa adalah 113,76 cm dan 158,38
cm. Herianti dan Pawarti (2009) melakukan pengukuran panjang badan dan lingkar
dada kerbau rawa di Brebes, Jawa Tengah yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Panjang Badan dan Lingkar Dada Kerbau Rawa pada Jenis Kelamin dan
Umur yang Berbeda di Brebes, Jawa Tengah
Jenis Kelamin

Jantan

Betina

Kelompok Umur

Panjang Badan

Lingkar Dada

(tahun)

(cm)

(cm)

Anak (< 1)

67,60

103,60

Muda (> 1-3)

97,00

148,67

Rataan

82,30

126,14

Anak (< 1)

72,42

109,92

Muda (> 1-3)

103,05

158,68

Dewasa (> 3-9)

115,22

187,26

Tua (> 9)

123,17

188,00

Rataan

103,47

160,97

Sumber: Herianti dan Pawarti (2009)

7

Penelitian Kampas (2008) di Propinsi Sumatra Utara melaporkan bahwa
kerbau rawa jantan memiliki panjang badan dan lingkar dada 135 cm dan 194 cm,
sedangkan pada betina 134 cm dan 193 cm. Penelitian Sitorus (2008) yang juga di
Provinsi Sumatra Utara melaporkan bahwa kerbau rawa jantan memiliki panjang
badan dan lingkar dada 129,50 cm dan 182,16 cm, sedangkan pada betina 119,14 cm
dan 176,60 cm.
Penelitian Hidayat (2007) di Propinsi Banten melaporkan panjang badan dan
lingkar dada adalah 121 cm dan 166 cm, sedangkan betina 110 cm dan 171 cm.
Penelitian Saroji (2008) yang juga di Provinsi Banten melaporkan bahwa panjang
badan dan lingkar dada kerbau jantan berumur >2 tahun 118,5 cm dan 157,2 cm,
sedangkan betina 123 cm dan 169,5 cm. Penelitian Erdiansyah (2008) di Propinsi
NTB melaporkan bahwa kerbau rawa jantan memiliki panjang badan dan lingkar
dada 122,86 cm dan 177,45 cm, sedangkan pada betina 123,10 cm dan 177,80 cm.
Putra (1985) juga melakukan pengukuran terhadap panjang badan dan lingkar dada
kerbau rawa di Bali yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Panjang Badan dan Lingkar Dada Kerbau Rawa pada Jenis Kelamin dan
Umur yang Berbeda di Bali
Jenis Kelamin

Jantan

Betina

Kelompok Umur

Panjang Badan

Lingkar Dada

(tahun)

(cm)

(cm)

0-1

118

164

1-2

125

181

2-3

132

191

>3

141

199

Rataan

129

183,75

0-1

114

160

1-2

121

173

2-3

127

185

>3

134

194

Rataan

124

178

Sumber: Putra (1985)

Hasil penelitian Triwulanningsih et al. (2004) menyatakan bahwa rataan
panjang badan dan lingkar dada kerbau dewasa di Propinsi Sumatra Utara 119 cm
8

dan 176 cm, Propinsi Banten 112 cm dan 170 cm, Propinsi Jawa Barat adalah 114
cm dan 178 cm, serta Propinsi Jawa Tengah adalah 119 cm dan 180 cm. Praharani
dan Triwulanningsih (2008) menambahkan kerbau rawa atau lumpur mempunyai
variasi ukuran tubuh yang cukup besar. Rataan ukuran tubuh ternak di suatu daerah
mengindikasikan kualitas bibit yang tersedia yang dapat digunakan sebagai dasar
ukuran standar bibit di wilayah tersebut.
Parameter tubuh yang dapat diukur untuk mengestimasi bobot badan meliputi
panjang badan dan lingkar dada. Korelasi ukuran-ukuran tubuh tersebut dapat
berbeda satu sama lain. Korelasi dapat disebut positif bila peningkatan satu sifat
menyebabkan sifat lain juga meningkat. Dwiyanto dan Subandryo (1995)
menyatakan bahwa komponen tubuh yang berhubungan erat dengan bobot badan
adalah lingkar dada dan panjang badan. Williamson dan Payne (1986) juga
menyatakan bahwa ukuran lingkar dada dan panjang badan dapat memberikan
petunjuk bobot badan seekor hewan dengan tepat. Nilai korelasi tertinggi diperoleh
dari lingkar dada dibandingkan dengan ukuran tubuh lainnya (Aisiyah, 2000)
sehingga lingkar dada dapat digunakan sebagai kriteria seleksi.
Bobot Badan
Bobot badan kerbau memiliki karakteristik yang spesifik. Bobot badan pada
mempunyai hubungan positif dengan semua ukuran linear tubuh. Bobot badan
kerbau berkisar 450-550 kg sampai mencapai satu ton. Shackleton dan Harested
(2003) menyatakan kerbau domestik memiliki bobot badan sekitar 250-550 kg,
sedangkan kerbau di Indonesia berkisar antara 300-400 kg (Sastromidjojo, 1991).
Sastroamidjojo (1991) menyatakan bahwa bobot badan kerbau di Thailand berkisar
450-550 kg, di Cina 250 kg, Myanmar 300 kg, Laos 500-600 kg dan di Indonesia
berkisar antara 300-400 kg.
Pengamatan bobot badan kerbau rawa di beberapa wilayah di Indonesia, baik
melalui penimbangan maupun estimasi, sudah dilaporkan sejumlah penelitian.
Estimasi bobot badan kerbau rawa juga dilakukan oleh Herianti dan Pawarti (2009)
di Pringsurat, Jawa Tengah yang disajikan pada Tabel 5.

9

Tabel 5. Estimasi Bobot Badan Kerbau Rawa pada Jenis Kelamin dan Umur yang
Berbeda di Pringsurat, Jawa Tengah
Jenis Kelamin

Kelompok Umur (tahun)

Jantan

Betina

Bobot Badan (kg)

Anak (< 1)

134,76

Muda (>1-3)

282,07

Rataan

208,42

Anak (< 1)

163,74

Muda (>1-3)

317,42

Dewasa (>3-9)

376,14

Tua (> 9)

412,35

Rataan

317,41

Sumber: Herianti dan Pawarti (2009)

Penelitian Lita (2009) di Muara Muntai, Kalimantan Timur melaporkan
bahwa hasil estimasi bobot badan kerbau rawa adalah 287,12 kg. Putra (1985) juga
melakukan penimbangan dan estimasi bobot badan terhadap kerbau rawa di Bali
yang disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Bobot Badan Kerbau Rawa pada Jenis Kelamin dan Umur yang Berbeda di
Bali
Bobot Badan (kg)

Jenis

Kelompok Umur

Kelamin

(tahun)

Penimbangan

Estimasi (Putra, 1985)

0-1

300

302

1-2

384

382

2-3

450

443

>3

514

507

Rataan

412

408,50

0-1

272

277

1-2

339

340

2-3

402

399

>3

464

461

Rataan

369,25

369,25

Jantan

Betina

Sumber: Putra (1985)

Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa jantan memiliki bobot
dewasa 500 kg dan kerbau betina 400 kg dengan tinggi pundak jantan dan betina
10

adalah 135-130 cm. Menurut Lendhanie (2005) kerbau rawa pada umur satu tahun
beratnya mencapai 195-200 kg, panjang badan 95,40-97,60 cm dan lingkar dada
135,70-138,40 cm, sedangkan ketika dewasa (berumur tiga tahun) mencapai berat
badan 400-500 kg dengan panjang badan 128-138 cm dan lingkar dada 174,60177,00 cm.

11

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Pengolahan data sekunder dilakukan pada bulan Maret sampai April 2011 di
Bogor.
Materi
Data sekunder berupa ukuran-ukuran tubuh (panjang badan, lingkar dada dan
estimasi bobot badan) kerbau belang Toraja sebanyak 267 ekor.
Prosedur
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari
penelitian sebelumnya yakni ukuran-ukuran tubuh, jenis kelamin dan umur ternak
kerbau belang yang berada di Desa Buntu La’bo, Kecamatan Sanggalangi,
Kabupaten Toraja Utara. Sampel ukuran tubuh kerbau meliputi panjang badan,
lingkar dada dan estimasi bobot badan. Jumlah sampel sebanyak 267 ekor (175 ekor
jantan dan 92 ekor betina). Selanjutnya, dilihat pengaruh jenis kelamin dan umur
yang berbeda terhadap panjang badan, lingkar dada dan estimasi bobot badan.
Bobot badan dihitung dengan menggunakanregresi linear berganda
berdasarkan rumus Putra (1985), dengan model sebagai berikut:
Log Y = B0 + Bl Log Xl + B2 Log X2
Keterangan:
Y

= bobot badan kerbau (kg)

X1

= lingkar dada kerbau (cm)

X2

= panjang badan kerbau (cm)

B0

= -3,686

B1

= 1,937

B2

= 0,902
Jenis kelamin dikelompokkan atas jantan (J) dan betina (B). Umur

dikelompokkan menjadi lima kelompok umur yaitu A (5 tahun). Jumlah ternak berdasarkan jenis kelamin dan
umur yang diamati diperlihatkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Jumlah Ternak Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur
n Jenis Kelamin (ekor)

Kelompok Umur
(tahun)

Jumlah (ekor)

J (jantan)

B (betina)

A ( 5 tahun)

40

10

50

Jumlah

175

92

267

Rancangan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Kelompok (RAK). Perlakuan meliputi jenis kelamin jantan dan betina serta
lima kelompok umur yaitu 5 tahun. Jumlah ulangan dalam
penelitian ini tidak sama (unbalance). Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata
maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1995). Model matematisnya
adalah sebagai berikut:
Yij = µ + αi + βj + εij
Yijk

= sifat yang diamati (panjang badan, lingkar dada dan bobot badan)

µ

= rataan umum

αi

= pengaruh jenis kelamin ke-i

βj

= pengaruh umur ke-j

εijk

= galat

13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kebudayaan Toraja
Kerbau (Bos bubalus) adalah hewan bernilai paling tinggi dalam budaya
Toraja. Kerbau yang dalam bahasa setempat disebut tedong atau karembau
memainkan peran sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja dan
etnis lain yang tinggal di daerah sekitar Toraja. Selain menjadi hewan pekerja
(membantu membajak sawah dan mengangkut barang) dan alat transaksi (misalnya
dalam jual beli tanah, mahar, warisan), kerbau juga dipakai sebagai persembahan
dalam upacara rambu solo dan rambu tuka masyarakat Toraja.
Rambu tuka adalah upacara yang berkaitan dengan kehidupan seperti
kelahiran, perkawinan, pesta panen dan pesta suka cita. Rambu tuka’ dilaksanakan di
sebelah timur tongkonan (rumah adat Toraja), ritual ini dilakukan saat matahari terbit
hingga tengah hari dan berorientasi ke arah timur. Rambu solo merupakan upacara
yang terkait dengan kematian. Ritual ini biasa dilaksanakan sore hari. Upacara yang
umumnya berupa prosesi penguburan ini dilaksanakan di sebelah barat tongkonan.

Gambar 1. Upacara Rambu Solo (Thiahn, 2011)

Upacara rambu solo seperti terlihat pada Gambar 2 adalah sebuah upacara
pemakaman adat yang mewajibkan keluarga almarhum membuat pesta sebagai tanda
penghormatan terhadap mendiang yang telah meninggal, ditandai dengan
penyembelihan hewan kurban. Masing-masing golongan masyarakat memiliki
kewajiban menyembelih hewan kurban yang berbeda. Bila bangsawan yang
meninggal maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan pesta tersebut
jauh lebih banyak daripada yang bukan bangsawan. Jumlah kerbau berkisar 24
hingga 100 ekor untuk keluarga bangsawan sedangkan masyarakat golongan
menengah diharuskan menyembelih sekitar delapan ekor selanjutnya daging kerbau
yang disembelih dibagikan kepada masyarakat yang hadir dalam pesta tersebut.
Hanya kerbau belang jantan yang bernilai tinggi dan bisa dikorbankan
sebagai persembahan dalam upacara adat pemakaman masyarakat Toraja. Kerbau ini
dipercaya masyarakat Toraja sebagai kendaraan arwah menuju puya (surga).
Semakin bagus kerbau belang dan semakin banyak jumlah yang dipotong, semakin
baik dan aman pula kehidupan orang yang meninggal di akhirat. Proses
penyembelihan ternak kerbau dalam upacara rambu solo terlihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Penyembelihan Ternak pada Upacara Rambu Solo (Thiahn, 2011)

15

Kerbau belang seperti yang ditampilkan pada Gambar 4 merupakan spesies
yang terdapat di Tana Toraja, Sulawesi Selatan sehingga kerbau ini biasa disebut
kerbau Tana Toraja. Kerbau belang memiliki kulit berwarna kombinasi merah muda
atau albino dan hitam atau kelabu. Kerbau belang jantan umumnya dipelihara secara
khusus karena bernilai tinggi. Perawatan kerbau belang betina juga diperhatikan tapi
tidak lebih istimewa dari kerbau belang jantan karena berguna sebagai indukan.

Gambar 3. Tedong Bonga (Hamzah, 2010)
Kerbau belang atau biasa disebut tedong bonga oleh masyarakat Toraja,
merupakan spesies endemik yang hanya terdapat di Tana Toraja. Campbell et al.
(2004) menyatakan bahwa proses-proses geologis dapat mengisolasi suatu populasi
hewan tertentu sehingga banyak organisme yang terdapat dalam hot spot
keanekaragaman biologis itu adalah spesies endemik, yang berarti tidak ditemukan di
tempat lain. Dalam hal ini, Tana Toraja merupakan suatu hot spot keanekaragaman
biologis (biodiversity hot spot), yakni suatu daerah yang relatif kecil dengan
konsentrasi spesies yang luar biasa.
Tedong yang dikorbankan pada sebuah upacara kematian bangsawan atau
upacara kematian gabungan dari berbagai keluarga mencapai 60 ekor dengan
16

komposisi tingkatan tedong yang berbeda. Bo Do (2005) menyatakan bahwa secara
umum orang Toraja menilai kerbau atau biasa disebut tedong adalah dari tanduk,
postur, warna kulit dan rambut serta tanda-tanda di badan.
Penilaian berdasarkan warna, tedong tingkat pertama (paling rendah) adalah
kerbau albino yang disebut tedong bulan, tingkat kedua adalah tedong sambao’ yakni
kerbau abu-abu atau kerbau dengan warna kulit normal, lalu tedong todi yang
berwarna putih diantara tanduk, tedong pangloli yang memiliki ujung ekor berwarna
putih dan mempunyai belang hitam pada bagian kepala dan tingkat tertinggi adalah
tedong bonga yang berwarna putih dengan bercak hitam seperti bunga di seluruh
tubuh (Peter et al., 2003).

Gambar 4. Tedong Bulan (Hamzah, 2010)
Gambar 5 menampilkan tedong bulan atau kerbau albino. Seluruh tubuh
kerbau ini berwarna albino tanpa ada kombinasi warna hitam seperti tedong bonga.
Berbeda sekali dengan tedong bonga yang memiliki nilai tinggi, tedong bulan
bernilai rendah dalam tradisi Toraja karena dianggap membawa sial.

17

Kecamatan Sanggalangi
Dinas Pertanian Toraja Utara (2011) menyatakan bahwa Kecamatan
Sanggalangi merupakan satu kecamatan dari dua puluh satu kecamatan di wilayah
administrasi Kabupaten Toraja Utara sebagai pengembangan wilayah administrasi
Tana Toraja yang baru. Luas wilayah Kecamatan Sanggalangi berkisar 39 km2 atau
sekitar 5.006,1 ha. Kecamatan Sanggalangi terdiri atas satu kelurahan yakni
Pa’paelean serta lima lembang (desa) yakni Lembang Buntu La’bo, Lembang La’bo,
Lembang Tandung La’bo, Lembang Tallung Penanian dan Lembang Pata’padang.
Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan memiliki
luas dan kondisi lahan yang berpotensi sebagai tempat untuk berkembangnya ternak
Kerbau Belang. Luas lahan di Kecamatan Sanggalangi ialah sebesar 3.900 ha,
meliputi sawah, padang rumput, rawa dan hutan (Dinas Pertanian Toraja Utara,
2011). Hal ini sesuai dengan habitat hidup kerbau yang memerlukan air untuk
berkubang. Berbagai jenis rumput dan hijauan untuk pakan kerbau juga tumbuh
subur pada padang rumput sehingga ketersediaan hijauan makanan ternak terjaga.
Penggunaan lahan untuk lahan sawah mencapai 744 ha sehingga limbah pertanian
yang dapat digunakan untuk pakan ternak juga tersedia dengan baik.
Dinas Pertanian Toraja Utara (2011) menyatakan bahwa Kecamatan
Sanggalangi berada pada garis Bujur Timur (longitude) sebesar 119o,91953’ dan
garis Lintang Selatan (latitude) 03o,00935’ serta berada sekitar 809 meter di atas
permukaan laut (dpl). Luas lahan di Kecamatan Sanggalangi ialah sebesar 3900 ha.
Penggunaan lahan yang dominan ialah lahan sawah dengan luas 744 ha atau sekitar
19,08% dari luas lahan Kecamatan Sanggalangi dan lahan kering dengan luas 3156
ha atau sekitar 80,92% dari luas lahan Kecamatan Sanggalangi.
Kecamatan Sanggalangi memiliki suhu rata-rata 23 oC dengan suhu terendah
18 oC dan suhu tertinggi 29 oC dengan kelembaban udara rata-rata ialah sebesar 5975%, sedangkan suhu umum adalah 25 oC pada siang hari dan 19 oC pada malam
hari (Dinas Pertanian Toraja Utara, 2011). Fahimuddin (1975) menjelaskan bahwa
zona nyaman untuk ternak kerbau ialah berkisar antara 15,5-21,0 oC. Apabila suhu
udara lebih dari 24oC, kerbau sudah mengalami stress dan batas kritis untuk
mekanisme termoregulasi ialah 36,50 oC. Potensi suhu tersebut sangat mendukung
ternak kerbau agar berkembang biak dengan baik. Kecamatan Sanggalangi memiliki
18

ketinggian 809 m dpl dan Lembang Tandung La’bo sebesar 825 m dpl (Dinas
Pertanian Toraja Utara, 2011). Hal ini yang menyebabkan suhu di Kecamatan
Sanggalangi tergolong rendah.
Lingkungan optimum diperlukan ternak untuk hidup dan bereproduksi.
Apabila suhu lingkungan terlalu tinggi diluar batas toleransi, maka ternak akan
mengalami stress sehingga menurunkan produktivitas. Suhu optimum untuk kerbau
berkisar 15,5-21 oC dengan curah hujan 500-2.000 mm/tahun (Joseph, 1996). Basuki
(1998) menyatakan bahwa faktor suhu dan radiasi sinar matahari sangat berpengaruh
terhadap termoregulasi kerbau yang memiliki sedikit kelenjar keringat pada kulit.
Zulbadri dan Kusumaningrum (2005) menyatakan bahwa kerbau berkubang atau
berendam dalam air sebagai upaya mengoptimalkan metabolisme tubuh. Joseph
(1996) menambahkan bahwa ternak kerbau telah beradaptasi secara fisiologis
terhadap lingkungan panas dengan tingkah laku seperti panting, berkubang dan
berteduh.
Curah hujan per tahun ialah berkisar antara 2.000-2.700 mm/tahun. Intensitas
curah hujan secara umum hampir sama pada semua bulan. Kecepatan angin berkisar
antara 10-85 km/jam, sedangkan arah angin selalu berubah-ubah (Dinas Pertanian
Toraja Utara, 2011). Curah hujan yang semakin tinggi akan menambah cadangan air
dalam tanah dan menambah debit air sungai bila kondisi alam tidak rusak. Cadangan
air yang semakin tinggi akan mampu memenuhi kebutuhan kerbau untuk minum dan
mandi (berkubang) baik kondisi musim hujan maupun musim kemarau.
Cuaca maupun iklim merupakan salah satu komponen lingkungan abiotik
yang memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan seluruh mahluk hidup
termasuk ternak yang dipelihara manusia. Ketinggian tempat dapat berpengaruh
langsung maupun tidak langsung terhadap ternak. Pengaruh langsung terkait dengan
ketersediaan pakan hijauan dari segi kualitas maupun kuantitas. Kondisi suhu yang
rendah pada dataran tinggi memberikan kondisi lingkungan yang kondusif bagi
pertumbuhan ternak kerbau.
Sistem Pemeliharaan
Sistem pemeliharaan kerbau belang yang dilakukan oleh masyarakat terbagi
atas dua sistem yakni sistem intensif dan sistem semi intensif. Sistem pemeliharaan
yang paling banyak dilakukan oleh peternak di lokasi penelitian ialah sistem
19

intensif. Alasan peternak menggunakan sistem intensif yakni kerbau belang harganya
mahal dan membutuhkan perawatan yang baik. Selain itu, karena beternak kerbau
masih merupakan usaha sampingan, peternak juga lebih mudah mengawasinya.
Pemeliharaan kerbau dilakukan dengan cara mengandangkan kerbau seharian penuh
(24 jam). Sistem pemeliharaan semi intensif seperti disajikan pada Gambar 6.

Gambar 5. Sistem Pemeliharaan Intensif (Hamzah, 2010)
Pemeliharaan secara semi intensif secara umum dilakukan oleh peternak yang
memiliki banyak waktu luang dan beternak adalah pekerjaan utama. Kerbau belang
biasanya digembalakan pada pagi hari hingga sore hari. Tempat bernaung atau
berteduh kerbau belang pada saat siang hari atau pada saat kepanasan ialah di pohonpohon sekitar padang penggembalaan dan juga di bawah kolong rumah adat
Tongkonan. Kerbau dimandikan pada saat siang dan sore hari sebelum dikandangkan
kembali. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Zulbadri dan Kusumaningrum
(2005) bahwa padang penggembalaan merupakan area utama kerbau mencari makan
dan tempat perkawinan secara alami. Kerbau dapat bernaung di bawah pohon atau di
pinggir hutan. Sistem pemeliharaan semi intensif seperti disajikan pada Gambar 7.

20

Gambar 6. Sistem Pemeliharaan Semi Intensif (Hamzah, 2010)
Pakan merupakan aspek penting dalam usaha ternak kerbau belang karena
menentukan kelangsungan hidup kerbau serta penampilan performa kerbau secara
keseluruhan. Pakan ternak yang diberikan oleh peternak kepada kerbau terbagi atas
dua, yakni hijauan rumput-rumputan dan limbah hasil pertanian. Ketersediaan pakan
ternak tersebut sangat berlimpah di Kecamatan Sanggalangi sehingga hal ini menjadi
salah satu keuntungan bagi peternak kerbau. Namun, pemanfaatan limbah pertanian
masih belum optimal. Hal ini ditandai dengan hampir tidak dijumpai pemberian
pakan konsentrat di lokasi penelitian dan walaupun ada dengan jumlah sangat
sedikit. Konsentrat yang diberikan berupa dedak padi yang dicampur dengan cacahan
rumput gajah. Selain itu, terkadang juga ditambahkan madu dalam pakan untuk
kerbau yang memiliki pola warna belang yang merata.
Hijauan yang sering diberikan peternak dalam bentuk segar antara lain
rumput lapang, rumput gajah, dan rumput alang-alang seperti yang disajikan pada
Gambar 7. Hijauan pakan ternak di Kecamatan Sanggalangi tersedia cukup banyak
untuk memenuhi kebutuhan ternak karena lahan yang tersedia luas dan potensi iklim
yang cukup baik sehingga hijauan tersedia sepanjang tahun.

21

Gambar 7. Pakan Hijauan Kerbau Belang (Hamzah, 2010)
Pakan yang berasal dari limbah hasil pertanian antara lain jerami, daun
jagung, dan daun ubi jalar. Ketersediaan jerami sangat memadai, karena luas area
persawahan cukup luas sehingga limbah hasil persawahan juga cukup banyak.
Seperti dinyatakan Triwulanningsih et al. (2004) bahwa kerbau mampu mencerna
dengan cukup baik jerami padi yang tersedia melimpah pada musim panen dan dapat
disimpan sebagai cadangan pakan di musim kemarau. Masyarakat Toraja juga
terbiasa menanam ubi jalar di pekarangan maupun kebun, sehingga daun ubi jalar
tersedia cukup melimpah.
Jumlah pemberian pakan ternak tergantung dari sistem pemeliharaan ternak
kerbau belang dan jumlah kerbau yang dipelihara. Peternak masih kurang
memperhatikan faktor jenis kelamin dan umur kerbau (kerbau anak, dara, dan
dewasa) dalam sistem pemberian pakan. Sistem pemeliharaan intensif membutuhkan
jumlah pakan 40 kg/hari/ekor. Pemberian pakan dalam jumlah tersebut masih sangat
variatif dalam kombinasi penggunaan hijauan rumput-rumputan maupun limbah hasil
pertanian. Frekuensi pemberian pakan untuk pemeliharaan intensif sekitar 2-3 kali
sehari. Sistem pemeliharaan semi intensif, ternak dikandangkan pada malam hari dan
pada saat itu diberi pakan rumput atau limbah hasil pertanian dalam jumlah yang
tidak terbatas (ad libitum).
Peternak memanfaatkan lahan-lahan kosong seperti areal sawah, kebun
maupun pinggir jalan yang banyak ditumbuhi rumput-rumputan. Pemberian hijauan
dilakukan dengan sistem“cut and carry”. Selain itu, ketersediaan air cukup
melimpah karena lokasi penelitian merupakan daerah pegunungan sehingga
ketersediaan air terjamin.
22

Ukuran-ukuran Tubuh Kerbau Belang
Hewan memiliki pertumbuhan yang khas karena akan berhenti tumbuh
setelah mencapai ukuran tertentu yang disebut juga dengan pertumbuhan determinan.
Perubahan ukuran tubuh juga memiliki sifat irreversibel yakni tidak dapat kembali
seperti semula. Bertambahnya ukuran tubuh inilah yang disebut dengan pertumbuhan
meliputi tinggi, berat, dan volume. Pertumbuhan ditandai dengan bertambahnya
ukuran dan jumlah sel. Pertumbuhan pada hewan ada batasnya. Hewan tidak tumbuh
lagi setelah mencapai umur tertentu. Pertumbuhan juga diikuti dengan proses
perkembangan, yaitu proses biologis mahluk hidup menuju tingkat kedewasaan
seiring dengan bertambahnya umur. Pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi
oleh gen, hormon, dan nutrisi pakan serta lingkungan.
Kerbau mempunyai keistimewaan dibandingkan ternak ruminansia lainnya
karena mampu hidup dalam kondisi wilayah yang relatif sulit terutama bila pakan
yang tersedia berkualitas sangat rendah. Subandriyo (2006) menyatakan bahwa
kerbau masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi pakan yang tersedia relatif
kurang baik. Pendapat tersebut juga sejalan dengan pernyataan Zakaria et al. (2003)
bahwa ternak kerbau memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam memanfaatkan
pakan berkualitas rendah. Kerbau dapat tumbuh dengan baik pada kondisi pakan
yang jelek. Namun, guna menunjang pertumbuhan Kerbau Belang yang optimal pada
masing-masing jenis kelamin (jantan dan betina) dan umur (anak, dara, dan dewasa),
pemeliharaan

intensif

merupakan

sistem

pemeliharaan

yang

baik

untuk

mengoptimalkan pertambahan bobot badan Kerbau Belang. Sistem pemeliharaan
intensif juga memudahkan peternak untuk melakukan pengawasan.
Rataan ukuran-ukuran tubuh Kerbau Belang meliputi panjang badan, lingkar
dada dan estimasi bobot badan pada jenis kelamin dan umur yang berbeda disajikan
pada Tabel 8, 9, dan 10. Secara umum, ukuran-ukuran tubuh Kerbau Belang jantan
lebih tinggi daripada Kerbau Belang betina. Ukuran-ukuran tubuh juga meningkat
seiring dengan bertambah umur. Peningkatan ukuran-ukuran tubuh tersebut masih
terus terjadi hingga kelompok umur E (> 5 tahun).

23

Panjang Badan
Umur dan jenis kelamin berpengaruh nyata terhadap ukuran panjang badan
kerbau belang (P C (131 cm) > B (118,8 cm) > A (110,7 cm). Rataan panjang badan
kerbau belang betina kelompok umur E (153 cm) > D (137,3 cm) > C (128,2 cm) > B
(116 cm) > A (105,6 cm). Setiap kelompok umur yang sama panjang badan kerbau
belang jantan lebih besar daripada kerbau belang betina. Namun, pada kelompok
umur E (>5 tahun) rataan panjang badan kerbau belang betina (153 cm) lebih besar
dibandingkan dengan jantan (152,2 cm).
Rataan panjang badan kerbau jantan dalam penelitian ini adalah 131,65 cm.
Rataan panjang badan tersebut lebih besar daripada rataan panjang badan kerbau
jantan hasil penelitian yang dilakukan di Banten oleh Hidayat (2007) dan Saroji
(2008), yakni 121 cm dan 118,5 cm. Rataan panjang badan tersebut juga lebih besar
daripada rataan panjang badan kerbau jantan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa
Tengah oleh Herianti dan Pawarti (2009) yakni 82,30 cm, di Bali oleh Putra (1985)
yakni 129 cm, di NTB oleh Erdiansyah (2008) yakni 122,86 cm, dan di Sumatra
24

Utara oleh Sitorus (2008) yakni 129,50 cm. Namun, rataan tersebut lebih kecil
daripada hasil penelitian Kampas (2008) yang juga dilakukan di Sumatra Utara yakni
135 cm.
Rataan panjang badan kerbau betina dalam penelitian ini adalah 124,07 cm.
Rataan panjang badan tersebut lebih besar daripada rataan panjang badan kerbau
betina hasil penelitian yang dilakukan di Banten oleh Hidayat (2007) dan Saroji
(2008) yakni 110 cm dan 123 cm. Rataan panjang badan tersebut juga lebih besar
daripada rataan panjang badan kerbau jantan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa
Tengah oleh Herianti dan Pawarti (2009) yakni 103,47 cm, di Bali oleh Putra (1985)
yakni 124 cm, di NTB oleh Erdiansyah (2008) yakni 123,10 cm, dan di Sumatra
Utara oleh Sitorus (2008) yakni 119,14 cm. Namun, rataan tersebut lebih kecil
daripada hasil penelitian Kampas (2008) yang juga dilakukan di Sumatra Utara yakni
134 cm.
Rataan panjang badan kerbau jantan dan betina pada penelitian ini lebih besar
daripada rataan panjang badan kerbau hasil penelitian Lita (2009) di Kalimantan
Timur, yakni 113,76 cm dan Ismawan (2000) di Jawa Barat, yakni 114,32 cm. Lita
(2009) dan Ismawan (2000) dalam penelitiannya mengabaikan faktor jenis kelamin.
Secara fisik, performa kerbau belang Toraja baik jantan maupun betina relatif lebih
panjang dibandingkan dengan kerbau yang ada di Sumatra Utara, Banten, Jawa
Tengah, Kalimantan Timur, Bali, dan NTB.
Rataan panjang badan kerbau kelompok umur B (165 cm) > A (150,9 cm). Rataan lingkar dada
kerbau belang betina E (206,3 cm) > D (195,2 cm) > C (187,5 cm) > B (162,1 cm) >
A (145,9 cm). Lingkar dada kerbau belang pada tiap kelompok umur yang sama,
jantan lebih besar daripada kerbau belang betina. Namun, pada kelompok umur E
(>5 tahun) rataan lingkar dada kerbau belang betina (206,3 cm) lebih besar
dibandingkan dengan jantan (205,6 cm).
Apabila umur bertambah, bobot badan, lingkar dada juga semakin besar.
Putra (1985) mengatakan hal tersebut disebabkan sebagian besar bobot badan dipikul
oleh kaki depan dan bertautan antara badan (otot-otot di sekitar dada) dengan kaki
depan. Otot-otot tersebut adalah musculus serratus ventralis dan musculus pectoralis.
Bertambahnya bobot hewan menyebabkan bertambah kuatnya otot-otot penggantung
tersebut sehingga bertambah besar pula lingkar dada.
Rataan lingkar dada kerbau jantan dalam penelitian ini adalah 183,68 cm.
Rataan lingkar dada tersebut lebih besar daripada rataan lingkar dada kerbau jantan
hasil penelitian yang dilakukan di Banten oleh Hidayat (2007) dan Saroji (2008)
yakni 166 cm dan 157,2 cm. Rataan lingkar dada tersebut juga lebih besar daripada
rataan lingkar dada kerbau jantan hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah
oleh Herianti dan Pawarti (2009) yakni 126,14 cm dan di NTB oleh Erdiansyah
(2008) yakni 177,45 cm. Rataan lingkar dada tersebut juga lebih besar daripada
rataan lingkar dada kerbau jantan hasil penelitian Sitorus (2008) di Sumatra Utara
yakni 182,16 cm. Namun, rataan lingkar dada tersebut lebih kecil daripada rataan
lingkar dada kerbau jantan hasil penelitian yang dilakukan di Sumatra Utara dan
Kampas (2008) yakni dan 194 cm juga di Bali oleh Putra (1985) yakni 183,75 cm.
Rataan lingkar dada kerbau betina dalam penelitian ini adalah 174,34 cm.
Rataan lingkar dada tersebut lebih besar daripada rataan lingkar dada kerbau betina
hasil penelitian yang dilakukan di Banten oleh Hidayat (2007) dan Saroji (2008)
yakni 171 cm dan 169,50 cm. Rataan panjang badan tersebut juga lebih tinggi
daripada rataan lingkar dada kerbau betina hasil penelitian yang dilakukan di Jawa
Tengah oleh Herianti dan Pawarti (2009) yakni 160,97 cm. Namun, rataan tersebut
lebih kecil daripada hasil penelitian di Bali oleh Putra (1985) yakni 178 cm dan di
NTB oleh Erdiansyah (2008) yakni 177,80 cm. Rataan tersebut juga lebih kecil
27

daripada hasil penelitian di Sumatra Utara oleh Sitorus (2008) dan Kampas (2008)
yakni 176,60 cm dan 193 cm.
Rataan lingkar dada kerbau belang Toraja jantan dan betina pada penelitian
ini juga lebih besar daripada rataan lingkar dada kerbau hasil penelitian Lita (2009)
di Kalimantan Timur yakni 158,38 cm Ismawan (2000) di Jawa Barat yakni 162,99
cm. Lita (2009) dan Ismawan (2000) dalam penelitiannya mengabaikan faktor jenis
kelamin. Secara fisik, performa kerbau belang Toraja relatif lebih besar
dibandingkan dengan kerbau yang ada di Banten, Jawa Barat, Kalimantan Timur,
Bali, dan NTB. Ukuran tubuh kerbau yakni lingkar dada dapat memperlihatkan besar
kecilnya kerbau tersebut. Sesuai pernyataan Kampas (2008), semakin besar kerbau
yang dilihat secara fisik maka ukuran tubuh tersebut semakin besar.
Rataan lingkar dada kerbau kelompok umur B (302,6 kg) > A (239,3 kg). Rataan bobot badan kerbau
belang betina kelompok umur E (587,2 kg) > D (479,7 kg) > C (415 kg) > B (286,2
kg) > A (214,5 kg). Bobot badan kerbau belang jantan, pada tiap kelompok umur
yang sama, selalu lebih besar daripada kerbau belang betina. Namun, pada kelompok
umur E (>5 tahun) rataan bobot badan kerbau belang betina (587,2 kg) lebih besar
dibandingkan dengan jantan (580 kg).
Rataan estimasi bobot badan kerbau kelompok umur