Ekstrak Sarang Semut (Hydnophytum formicarum) dan Potensinya sebagai Antihiperglikemik

EKSTRAK SARANG SEMUT (Hydnophytum formicarum)
DAN POTENSINYA SEBAGAI ANTIHIPERGLIKEMIK

WENNY TIARA ANDHIKA RAHAYU

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ekstrak Sarang Semut
(Hydnophytum formicarum) dan Potensinya sebagai Antihiperglikemik adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Wenny Tiara Andhika Rahayu
NIM C34090055

ABSTRAK
WENNY TIARA ANDHIKA RAHAYU. Ekstrak Sarang Semut (Hydnophytum
formicarum) dan Potensinya sebagai Antihiperglikemik. Dibimbing oleh
KUSTIARIYAH TARMAN dan IRIANI SETYANINGSIH.
Sarang semut (Hydnophytum formicarum) merupakan salah satu
tumbuhan epifit pada pohon bakau yang berasal dari Papua dan oleh masyarakat
setempat dilaporkan berkhasiat sebagai obat antidiabetes. Inhibisi α-glukosidase
merupakan salah satu mekanisme obat antidiabetes oral yang digunakan untuk
mengobati diabetes mellitus. Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas
antihiperglikemik dari ekstrak sarang semut sebagai inhibitor α-glukosidase.
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu ekstraksi umbi sarang semut,
uji fitokimia, uji kandungan flavonoid, uji inhibisi α-glukosidase, dan uji
toksisitas dengan metode BSLT. Uji fitokimia membuktikan bahwa ekstrak
metanol mengandung fenol dan flavonoid, ekstrak air mengandung fenol,
flavonoid, dan tanin. Kandungan flavonoid ekstrak metanol dan air sebesar

0.559% (b/b) dan 0.585% (b/b). Ekstrak metanol menghambat aktivitas αglukosidase hingga 98.55%, dan ekstrak air menghambat aktivitas α-glukosidase
hingga 9.37%. LC50 ekstrak metanol sebesar 735.02 ppm (tergolong toksik
rendah), dan ekstrak air sebesar 258166.58 ppm (tergolong non toksik).
Kata kunci: fitokimia, flavonoid, α-glukosidase, sarang semut, toksisitas

ABSTRACT
WENNY TIARA ANDHIKA RAHAYU. Extract of Sarang Semut (Hydnophytum
formicarum) and The Prospect as Antihyperglycemic. Supervised by
KUSTIARIYAH TARMAN and IRIANI SETYANINGSIH.
Sarang semut (Hydnophytum formicarum) as an epiphyte of mangrove
plant from Papua is increasingly popular to be used as antidiabetic medicine.
Inhibition of α-glucosidase is one of mechanism of actions of an oral antidiabetic
for diabetes mellitus treatment. The purpose of this research was to determine the
antihyperglycemic activity of the sarang semut extract as α-glucosidase inhibitor.
The research was performed in several steps: extraction of tuber of sarang semut,
phytochemical test, α-glucosidase inhibition test, toxicity test using BSLT method.
The phytochemical test indicated that methanol extract contained phenol and
flavonoid, and water extract contained phenol, flavonoid, and tannin. Flavonoid
concentration of methanol and water extracts were 0.559% (b/b) and 0.585% (b/b).
Methanol extract inhibited α-glucosidase activity up to 98.55%, while water

extract up to 9.37%. LC50 value of methanol extract was 735.02 ppm (categorized
as a low toxic material), and water extract was 258166.58 ppm (as non toxic
material).
Keywords: flavonoid, α-glucosidase, phytochemical, sarang semut, toxicity

EKSTRAK SARANG SEMUT (Hydnophytum formicarum)
DAN POTENSINYA SEBAGAI ANTIHIPERGLIKEMIK

WENNY TIARA ANDHIKA RAHAYU

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Judul SkIipsi: Ekstrak Sarang Semut (HydnophytumJorlJ/icarllln) dan Potcnsinya
sebagai Antihiperglikemik
: Wenny Tiara Andhika Rahayu
Nama

NIM

: C34090055

Disetujui oleh

Dr Kustiariyah Tarman, SPi, MSi
Pembimbing I

Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh


Tanggal Lulus:

'l 6 AUG 2:13

Judul Skripsi : Ekstrak Sarang Semut (Hydnophytum formicarum) dan Potensinya
sebagai Antihiperglikemik
Nama
: Wenny Tiara Andhika Rahayu
NIM
: C34090055

Disetujui oleh

Dr Kustiariyah Tarman, SPi, MSi
Pembimbing I

Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS
Pembimbing II


Diketahui oleh

Dr Ir Ruddy Suwandi, MS, MPhil
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Ekstrak
Sarang Semut (Hydnophytum formicarum) dan Potensinya sebagai
Antihiperglikemik”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Kustiariyah Tarman, SPi, MSi
dan Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS selaku dosen pembimbing. Dr Ir Sri
Purwaningsih, MSi selaku dosen penguji. Dr Ir Ruddy Suwandi, MS, MPhil
selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Dr Ir Agoes Mardiono
Jacoeb, Dipl Biol selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) yang telah menyediakan sampel
penelitian. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) pada Program
Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P) yang telah memberikan
bantuan biaya penelitian.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu, Mbak Arie, Ee Yauwah
(Amoy dan Meri), Jasa Penginapan (Tenny, Rika, Shita), Libby, Suci, Kyo, Farah.
Penulis juga berterima kasih untuk yang membantu dalam melakukan penelitian
(Ibu Emma, Mbak Dini, Mbak Ina, Ibu Nunuk, Mbak Wiwi, Kak Mita, Mbak Eka,
Feky, Om Men, dan Ibu Nunung).
Di samping itu terima kasih penulis sampaikan kepada teman seperjuangan
(Onge, Mpus, Piti, Mamih, Dani), serta teman-teman THP 46, 45,47, dan 48 atas
segala motivasinya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013
Wenny Tiara Andhika Rahayu

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

2

Bahan

3

Alat


3

Prosedur Analisis Penelitian

3

Preparasi sampel

3

Ekstraksi sampel

4

Uji fitokimia

4

Uji kandungan flavonoid


4

Uji inhibisi enzim α-glukosidase

5

Uji toksisitas Brine Shrimp Lethality Test

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Ekstrak Sarang Semut (Hydnophytum formicarum)

7

Komponen Kimia Sarang Semut (Hydnophytum formicarum)

8

Kandungan Flavonoid Sarang Semut

11

Aktivitas Inhibisi Enzim α-Glukosidase

12

Uji Toksisitas Brine Shrimp Lethality Test

15

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Reaksi inhibisi enzim α-glukosidase
Nilai rendemen ekstrak metanol dan air sarang semut
Hasil uji fitokimia ekstrak metanol dan air sarang semut
Nilai kandungan flavonoid ekstrak metanol dan air sarang semut
Nilai inhibisi enzim α-glukosidase ekstrak metanol dan air sarang semut
Nilai inhibisi enzim α-glukosidase acarbose
Hasil uji toksisitas ekstrak sarang semut

6
8
9
11
12
13
15

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir prosedur penelitian
2 Ekstrak metanol dan air

4
8

DAFTAR LAMPIRAN
1 Perhitungan rendemen ekstrak sarang semut
2 Hasil uji fitokimia ekstrak metanol
3 Hasil uji fitokimia ekstrak air
4 Hasil uji inhibisi enzim α-glukosidase ekstrak metanol
5 Hasil uji inhibisi enzim α-glukosidase ekstrak metanol
6 Kandungan flavonoid ekstrak metanol dan air sarang semut
7 Hasil uji toksisitas ekstrak metanol
8 Hasil uji toksisitas ekstrak air

21
22
23
24
25
26
27
28

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan suatu kelainan metabolik kronis yang
memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan atau kondisi konsentrasi glukosa
dalam darah secara kronis lebih tinggi daripada nilai normal (hiperglikemia)
akibat tubuh kekurangan insulin atau fungsi insulin tidak efektif (Subroto 2006).
Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah penderita diabetes terbesar di
dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat (WHO 2010). Indonesia memiliki
persentase sekitar 8,6% dari total penduduk, pada tahun 1995 terdapat 4,5 juta
penderita diabetes dan diperkirakan pada tahun 2025 akan meningkat menjadi
12,4 juta penderita (DEPKES 2005).
Obat antihiperglikemik terdiri atas dua jenis, yaitu suntikan insulin dan
obat antidiabetes oral (Lee et al. 2007). Obat antidiabetes oral berguna untuk
penderita yang alergi terhadap insulin atau yang tidak menggunakan suntikan.
Obat antidiabetes oral sebagian besar memberikan efek samping yang tidak
diinginkan seperti diare, sakit kepala, mual, dan muntah (BPOM 2009).
Pengobatan tradisional melalui pemanfaatan tumbuhan mangrove secara
praktis telah dilakukan oleh masyarakat di Indonesia khususnya di daerah pesisir
sejak jaman dahulu (Wanma 2007). Salah satu tumbuhan yang digunakan untuk
pengobatan tradisional adalah Hydnophytum formicarum atau sarang semut yang
berasal dari Papua. Tumbuhan sarang semut merupakan tumbuhan epifit yang
menempel di pohon besar yang bagian batang bawahnya menggelembung dan
berisi rongga-rongga yang digunakan sebagai tempat tinggal semut. Tumbuhan
sarang semut tersebar dari hutan bakau dan pohon-pohon dipinggir pantai hingga
ketinggian 2.400 m di atas permukaan laut, mulai dari Sumatera, Kalimantan,
Jawa, hingga Papua. Tumbuhan ini secara turun temurun dikonsumsi dalam
bentuk rebusan bubuk umbinya dan dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit
seperti kanker, tumor, asam urat, migrain, periodontitis, jantung koroner, TBC,
dan leukemia (Subroto dan Saputro 2006), selain itu dimanfaatkan untuk
mengobati penyakit diabetes melitus (Taebe et al. 2012).
Penelitian tentang tumbuhan sarang semut saat ini lebih fokus pada bidang
taksonomi, ekologi, dan budidaya. Penelitian mengenai kajian kimia, farmakologi,
dan toksisitas di dalam tumbuhan sarang semut masih terbatas (Subroto 2006).
Hasil uji penapisan kimia membuktikan sarang semut mengandung senyawa
flavonoid (Subroto dan Saputro 2006). Senyawa golongan flavonoid memiliki
sifat antidiabetes (Lukacinova et al. 2008).
Waring (2007) menyatakan bahwa mekanisme pengobatan diabetes mellitus
antara lain melalui tiga cara, yaitu penambahan insulin dari luar, merangsang
sekresi insulin, dan menurunkan kadar glukosa darah melalui penghambatan
aktivitas α-glukosidase. Penelitian sarang semut dalam menghambat aktivitas αglukosidase belum dilakukan, sehingga perlu dilakukan penelitian ekstrak umbi
sarang semut sebagai antihiperglikemik dalam menghambat aktivitas αglukosidase.

2
Perumusan Masalah
Kasus diabetes yang masih banyak terjadi di Indonesia dan termasuk
dalam penyakit degeneratif. Penyakit ini tidak menyebabkan kematian secara
langsung, tetapi dapat berakibat fatal dan dapat menyebabkan komplikasi penyakit.
Tumbuhan sarang semut (Hydnophytum formicarum) dimanfaatkan secara
tradisional sebagai obat antidiabetes oleh masyarakat pesisir Papua, tetapi belum
ada yang meneliti efektivitas sebagai antihiperglikemik dalam menghambat
aktivitas enzim α-glukosidase.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui potensi ekstrak
tumbuhan sarang semut dalam menghambat aktivitas enzim α-glukosidase.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan ekstrak air dan
ekstrak metanol dari sarang semut, serta menentukan rendemennya, menentukan
komponen aktif dengan menggunakan uji fitokimia, menentukan kandungan
flavonoid pada kedua ekstrak, menentukan aktivitas antihiperglikemik pada kedua
ekstrak dalam menghambat aktivitas enzim α-glukosidase, dan menentukan
aktivitas toksisitasnya dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test.

Manfaat Penelitian
Tumbuhan sarang semut (Hydnophytum formicarum) yang sudah dikenal
sebagai obat antidiabetes secara tradisional dan turun temurun oleh masyarakat
Papua dapat dibuktikan secara ilmiah sebagai antihiperglikemik dengan
menghambat aktivitas enzim α-glukosidase.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah tumbuhan sarang semut (Hydnophytum
formicarum), uji fitokimia, flavonoid, inhibisi enzim α-glukosidase, serta
toksisitas.

METODE
Penelitian “Ekstrak Sarang Semut (Hydnophytum formicarum) dan
Potensinya sebagai Antihiperglikemik” dilaksanakan pada bulan Januari sampai
dengan Juni 2013. Preparasi dan ekstraksi sampel dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Laboratorium Kimia Analitik, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Uji inhibisi
enzim α-glukosidase dan uji kandungan flavonoid dilakukan di Pusat Studi

3
Biofarmaka. Uji toksisitas dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik dan
Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan II.

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah umbi dari
tumbuhan sarang semut (Hydnophytum formicarum), akuades, dan metanol
sebagai pelarut dalam ekstraksi, bahan uji inhibisi enzim α-glukosidase adalah pnitrofenil-α-D-glukopiranosa, enzim α-glukosidase, bufer fosfat (pH 7), Glucobay,
Dimethyl Sulfoxide (DMSO), HCl 2 N, dan Na2CO3. Bahan yang dipakai untuk uji
fitokimia adalah pereaksi Wagner, pereaksi Meyer, pereaksi Dragendorff, etanol
30%, asam asetat anhidrat, H2SO4 pekat, etanol 70%, larutan FeCl3 1%, CHCl3,
serbuk Mg, larutan amil alkohol, dan HCl 2 N. Bahan uji kandungan flavonoid
adalah larutan heksametilentetramina 0.5% b/v, larutan HCl 25%, akuades, AlCl3,
larutan asam asetat glasial 5% v/v, kuersetin murni, aseton, dan etil asetat. Bahan
uji toksisitas adalah larva udang Artemia salina dan air laut steril.

Alat
Alat-alat yang digunakan untuk preparasi dan ekstraksi sampel adalah
pisau, blender (Philips HR2870), soxhlet (Schott Duran), rotary evaporator
(Heidolph VV2000). Alat yang digunakan untuk uji fitokimia adalah tabung
reaksi, labu Erlenmeyer, penangas air, corong gelas, sudip, dan pipet tetes. Alat
yang digunakan untuk uji kandungan flavonoid adalah corong pisah dan vortex.
Alat yang digunakan untuk uji inhibisi enzim α-glukosidase adalah microplate
(Nunc), pipet mikro (Eppendorf), inkubator (Binder), spektrofotometer UV-Vis
(Epoch). Alat yang digunakan untuk uji toksisitas adalah labu takar, sumur uji,
lampu TL, dan aerator.

Prosedur Analisis Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu preparasi sampel,
ekstraksi sampel, uji fitokimia, uji kandungan flavonoid, uji inhibisi enzim αglukosidase, dan uji toksisitas. Diagram alir prosedur penelitian dapat dilihat
pada Gambar 1.
Preparasi sampel (Soeksmanto et al. 2010)
Persiapan bahan baku dilakukan dengan membuang kulit luar umbi sarang
semut dan dibersihkan dari semut dan kotoran. Umbi yang telah bersih, kemudian
dilakukan pemotongan dan dikeringkan pada suhu ruang. Bahan baku sarang
semut (Hydnophytum formicarum) berasal dari hutan bakau di pesisir Pulau
Waigeo, Raja Ampat, Papua Barat. Umbi yang telah kering, kemudian dihaluskan
dengan menggunakan blender hingga menjadi serbuk.

4
Ekstraksi sampel (Simanjuntak et al. 2010)
Serbuk umbi tanaman sarang semut sebanyak 25 gram diekstraksi dengan
metode soxhletasi menggunakan dua jenis pelarut, yaitu metanol dan air. Pelarut
yang digunakan sebanyak 700 mL. Ekstrak metanol dan ekstrak air yang
diperoleh kemudian dilakukan penyaringan, selanjutnya dilakukan evaporasi
dengan rotary evaporator pada suhu 40°C sehingga didapatkan ekstrak kental.

Umbi sarang semut
(Hydnophytum formicarum)

Preparasi sampel

Ekstraksi sampel

Ekstraksi dengan pelarut metanol

Ekstraksi dengan pelarut air

Ekstrak metanol

Ekstrak air

Analisis :
Uji fitokimia
Uji kandungan flavonoid
Uji inhibitor enzim α-glukosidase
Uji toksisitas

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian

Uji fitokimia (Harborne 1987)
Pengujian komponen aktif yang terkandung dalam ekstrak ini dilakukan
secara kualitatif dengan metode uji fitokimia yang meliputi uji alkaloid, flavonoid,
saponin, steroid, fenol hidrokuinon, dan tanin.
1 Uji alkaloid
Sebanyak 0.05 gram ekstrak ditambah beberapa tetes asam sulfat 2 N
kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi
Meyer, dan pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi
Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi
Wagner dan endapan merah hingga jingga dengan pereaksi Dragendorff.

5
2 Uji flavonoid
Sebanyak 0.05 gram ekstrak ditambahkan serbuk magnesium 0.10 mg dan
0.40 mL amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan
volume yang sama) dan 4 mL alkohol kemudian campuran dikocok. Warna merah,
kuning atau jingga yang terbentuk pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya
flavonoid.
3 Uji saponin
Saponin dideteksi dengan uji busa pada 0.05 gram ekstrak dalam air panas.
Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang setelah ditambahkan 1 tetes
HCl 2 N menunjukkan adanya saponin.
4 Uji steroid
Sebanyak 0.05 gram ekstrak dilarutkan dalam 2 mL kloroform, 10 tetes
anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Larutan berwarna merah yang
terbentuk untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau,
menunjukkan reaksi positif.
5 Uji fenol hidrokuinon
Sebanyak 1 gram ekstrak ditambahkan dengan 20 mL etanol 70%. Larutan
yang dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes larutan
FeCl3 5%. Warna hijau atau hijau biru yang terbentuk menunjukkan adanya
senyawa fenol dalam bahan.
6 Uji Tanin
Sebanyak 1 gram ekstrak ditambahkan ke dalam 100 mL air panas
kemudian dididihkan selama 5 menit dan disaring. Sebanyak 5 mL filtrat
ditambah FeCl3 1%. Hasil positif ditandai munculnya warna hijau kehitaman.
Uji kandungan flavonoid (Codex 1986 diacu dalam Nobre et al. 2005)
Sebanyak 200 mg ekstrak sarang semut dimasukkan ke dalam labu takar.
Kemudian ditambah 1 mL larutan heksametilentetramina (HMT) 0.5%, 20 mL
aseton, dan 2 mL larutan HCl, kemudian dipanaskan selama 30 menit dengan
menggunakan penangas air. Campuran disaring menggunakan kapas, filtrat
dimasukkan ke dalam labu takar ukuran 100 mL. Campuran filtrat kemudian
ditambahkan dengan aseton sampai volume 100 mL.
Sebanyak 20 mL filtrat dan 20 mL akuades dimasukkan ke dalam corong
pisah, lalu diekstraksi dengan etil asetat (ekstraksi pertama dengan 15 mL etil
asetat, ekstraksi kedua dan ketiga dengan 10 mL etil asetat). Fraksi etil asetat
dikumpulkan dalam labu takar ukuran 50 mL, kemudian ditambahkan etil asetat
hingga 50 mL. Sebanyak 10 mL dari campuran tersebut dimasukkan ke dalam
labu takar ukuran 25 mL, lalu direaksikan dengan 1 ml larutan AlCl3 2% b/v dan
larutan asam asetat glasial 5% v/v dalam metanol sampai 25 mL. Pencampuran
larutan menggunakan vorteks kemudian dibaca nilai absorbansinya pada panjang
gelombang 370.8 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Kurva standar
dibuat dengan kuersetin murni dengan konsentrasi 0,5; 1; 5; 10; dan 15 ppm.
Uji inhibisi enzim α-glukosidase (Sancheti et al. 2009)
Persiapan larutan kontrol blanko (B0) dan blanko (B1) dilakukan dengan
pembuatan substrat dengan cara melarutkan p-nitrofenil α-D-glukopiranosa dalam
bufer fosfat 0.1 M pH 7.0 dan pembuatan larutan enzim α-glukosidase dengan
cara melarutkan 1 mg α-glukosidase dalam 100 mL bufer fosfat (pH 7). Campuran

6
reaksi blanko terdiri dari 10 µL larutan dimetil sulfoksida (DMSO), 50 µL bufer
fosfat 0.1 M (pH 7.0), 25 µL p-nitrofenil α-D-glukopiranosa sebagai substrat, dan
25 µL larutan enzim α-glukosidase. Perbedaan antara blanko dan kontrol blanko,
pada kontrol blanko tidak menggunakan enzim α-glukosidase. Campuran reaksi
kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit. Reaksi dihentikan oleh
penambahan 100 µL larutan natrium karbonat 0.2 M, kemudian diukur pada
panjang gelombang 400 nm dengan spektrofotometer.
Persiapan larutan kontrol sampel (S0) dan sampel (S1) dilakukan dengan
melarutkan ekstrak sarang semut dalam bufer. Campuran reaksi sampel terdiri dari
10 µL ekstrak sarang semut, 50 µL bufer fosfat 0.1 M (pH 7.0), 25 µL p-nitrofenil
α-D-glukopiranosa 0.5 mM sebagai substrat, dan 25 µL larutan enzim αglukosidase. Perbedaan antara sampel dan kontrol sampel, pada kontrol sampel
tidak menggunakan enzim α-glukosidase. Campuran reaksi kemudian diinkubasi
pada suhu 37°C selama 30 menit. Reaksi dihentikan oleh penambahan 100 µL
larutan natrium karbonat 0.2 M. Absorban dari p-nitrofenol diukur pada panjang
gelombang 400 nm dengan spektrofotometer. Sampel dilakukan dalam tiga
ulangan. Reaksi enzim selengkapnya untuk satu sampel dapat dilihat pada Tabel 1.
Konsentrasi larutan acarbose 1% sebagai pembanding yang digunakan
dibuat dari tablet Glucobay yang dilarutkan dalam akuades dan HCl 2N (1:1)
dengan konsentrasi 1% (b/v) digunakan sebagai standar, kemudian disentrifugasi
dan supernatan diambil sebanyak 10 µL dan dimasukkan ke dalam campuran
reaksi seperti dalam sampel.
Tabel 1 Reaksi inhibisi enzim α-glukosidase
Ekstrak sarang semut
DMSO
Buffer
Substrat
Enzim
Na2CO3

B0 (µL)
B1 (µL)
S0 (µL)
10
10
10
50
50
50
25
25
25
25
Inkubasi 37°C selama 30 menit
100
100
100

S1 (µL)
10
50
25
25
100

Pengujian daya hambat ekstrak terhadap aktivitas α -glukosidase dihitung
dalam % inhibisi dengan rumus :
% inhibisi =



-

x 100%

Keterangan :
K = Absorbansi terkoreksi dari blanko (B1) dikurangi kontrol blanko (B0)
S0 = Absorbansi terkoreksi dari kontrol sampel
S1 = Absorbansi terkoreksi dari sampel
Uji toksisitas Brine Shrimp Lethality Test (Meyer et al. 1982)
Persiapan larva Artemia salina dilakukan dengan menetaskan telur larva
selama 48 jam sebelum dilakukan uji. Penetasan dilakukan dengan cara merendam
telur tersebut dalam air laut di dalam wadah yang diberi suplai oksigen dari
aerator dan diberi penerangan dengan lampu TL 20 Watt.

7
Pelaksanaan uji dilakukan dengan memasukkan larva ke dalam sumur uji
dengan tujuh kelompok perlakuan yang berisi larutan 5; 50; 100; 500; 1000; 3000;
dan 5000 ppm dari ekstrak metanol dan ekstrak air sarang semut dengan pelarut
air laut. Masing-masing sumur uji berisi 10 ekor larva dan volume akhir setiap
sumur sebesar 2 mL. Setiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan. Inkubasi
dilakukan selama 24 jam, selanjutnya dihitung jumlah larva yang mati. Nilai LC50
diperoleh dengan cara menghitung menggunakan rumus y = a + bx. Nilai a dan b
diperoleh dengan perhitungan menggunakan rumus regresi linier berdasarkan data
dari titik konsentrasi yang digunakan. Nilai x yang diperoleh merupakan
konsentrasi larutan yang menyebabkan kematian terhadap 50% larva.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstrak Sarang Semut (Hydnophytum formicarum)
Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen aktif dari suatu
campuran padatan atau cairan dengan menggunakan pelarut jenis tertentu. Pelarut
yang digunakan tidak tercampur atau hanya tercampur sebagian dengan campuran
padatan atau cairan (Gamse 2002). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan
(Khopkar 2003).
Metode ekstraksi yang digunakan adalah soxhletasi. Soxhletasi merupakan
salah satu metode berdasarkan jenis sampelnya yaitu ekstraksi padat cair.
Instrumentasinya meliputi labu alas bulat sebagai tempat hasil ekstraksi, tempat
sampel padat dan kondensor (Dewi 2005). Pambayun et al. (2007) menyatakan
bahwa ekstraksi dengan soxhlet memberikan hasil ekstrak yang lebih tinggi
karena pada cara ini digunakan pemanasan yang diduga memperbaiki kelarutan
ekstrak.
Pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi adalah air dan metanol.
Pelarut air dipilih karena mengacu pada pengalaman empiris masyarakat Papua
yang menggunakan serbuk umbi sarang semut sebagai obat dengan cara
perebusan (Bustanussalam 2010). Menurut Suryanti et al. (2006), pelarut metanol
digunakan karena merupakan pelarut umum yang dapat melarutkan sebagian besar
senyawa yang ada dalam simplisia.
Proses evaporasi digunakan untuk memisahkan pelarut dari senyawa
bioaktif yang terikat. Suhu yang digunakan adalah 40°C untuk mencegah
terjadinya kerusakan senyawa aktif (Harborne 1987). Hasil evaporasi dari filtrat
umbi sarang semut (Hydnophytum formicarum) dengan pelarut metanol dan air
menghasilkan sifat yang berbeda. Ekstrak metanol berwarna hijau kehitaman dan
berbentuk pasta dengan tekstur lunak, sedangkan ekstrak air berwarna hitam pekat
dan berbentuk pasta dengan tekstur keras. Hasil ekstrak metanol dan ekstrak air
sarang semut dapat dilihat pada Gambar 2.

8

(a)

(b)

Gambar 1 (a) ekstrak metanol (b) ekstrak air
Nilai rendemen ekstrak sarang semut yang diperoleh dari pelarut metanol
dan air dapat dilihat pada Tabel 2. Rendemen ekstrak air lebih tinggi daripada
ekstrak metanol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat
kepolaran pelarut yang digunakan maka rendemen yang dihasilkan semakin tinggi
pula. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh Simanjuntak et al. (2010), jumlah
rendemen ekstrak air sarang semut (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) lebih
tinggi daripada ekstrak metanol dengan metode refluks. Pambayun et al. (2007)
menyatakan bahwa bahan terekstrak yang diperoleh semakin tinggi dengan
semakin polarnya pelarut.
Tabel 2 Nilai rendemen ekstrak metanol dan air sarang semut
Jenis sampel

Rata-rata rendemen (% b/b)*

Ekstrak metanol

4.98

Ekstrak air

11.135

*dihitung terhadap 25 gram serbuk

Perbedaan rendemen disebabkan kemampuan pelarut dalam proses
ektraksi untuk memperoleh zat aktif dalam sampel, dan kelarutan zat aktif dalam
pelarut yang berbeda (Adewole et al. 2006). Pelarut metanol melarutkan senyawa
gula, asam amino dan glikosida (Hounghton dan Raman 1998). Pelarut air mudah
melarutkan antosianin, pati, tanin, polipeptida, dan lektin (Cowan 1999).
Rendemen ekstrak yang diperoleh dipengaruhi oleh kondisi alamiah senyawa aktif
pada bahan, metode ekstraksi, waktu ekstraksi, ukuran partikel sampel, serta
pelarut sampel (Harborne 1987).

Komponen Kimia Sarang Semut (Hydnophytum formicarum)
Uji fitokimia merupakan uji yang digunakan untuk memberikan informasi
jenis senyawa aktif yang terkandung dalam tumbuhan. Beberapa dari senyawa
tersebut memberikan efek fisiologis yang lebih dikenal sebagai senyawa atau
komponen kimia aktif (Copriyadi et al. 2005). Informasi mengenai senyawa
sangat berguna bagi ahli sintesis kimia organik untuk memprediksi senyawa aktif
sehingga dapat lebih berkhasiat. Tumbuhan yang diuji fitokimia dapat berbagai
bentuk seperti segar, kering, serbuk, ekstrak, dan bentuk sediaan (Harborne 1987).

9
Uji ini dilakukan pada ekstrak metanol dan ekstrak air. Hasil analisis komponen
fitokimia dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil uji fitokimia ekstrak metanol diketahui positif mengandung fenol
hidrokuinon dan flavonoid. Ekstrak air menunjukkan adanya fenol hidrokuinon,
flavonoid, dan tanin (Tabel 3). Kardono (2003) menyatakan bahwa kandungan
metabolit sekunder yang berbeda pada jenis tanaman yang sama, terjadi karena
perbedaan jenis pelarut yang digunakan saat ekstraksi, variasi genetik individual,
dan kondisi geografis tempat tumbuh.
Tabel 3 Hasil uji fitokimia ekstrak metanol dan air sarang semut
Ekstrak
metanol

Parameter

Ekstrak
air

Parameter

1 Dragendorff

-

Tidak membentuk
endapan

-

Tidak membentuk
endapan

2 Meyer

-

Tidak membentuk
endapan

-

Tidak membentuk
endapan

3 Wagner

-

Tidak membentuk
endapan

-

Tidak membentuk
endapan

Fenol
Hidrokuinon

+

Warna hijau

+

Warna hijau

Flavonoid

+

Lapisan amil
alkohol
berwarna kuning

+

Lapisan amil
alkohol
berwarna jingga

Tanin

-

Warna kuning

+

Warna hijau
kehitaman

Saponin

-

Tidak terbentuk busa

-

Busa tidak stabil

Steroid

-

Tidak terjadi
perubahan warna

-

Tidak terjadi
perubahan warna

Uji Fitokimia
Alkaloid

Keterangan : (+) = terdeteksi ; (-) = tidak terdeteksi

Alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa kimia tumbuhan hasil metabolit sekunder
yang terbentuk untuk mempertahankan diri dari serangan luar. Pada umumnya
alkaloid larut dalam air (Sirait 2007). Senyawa ini bersifat basa dan mengandung
satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne 1987).
Alkaloid berfungsi sebagai analgesik narkotik, kodein untuk obat batuk, dan
kuinin sebagai antimalaria (De padua et al. 1999).
Hasil pengujian alkaloid pada ekstrak metanol dan air sarang semut
memiliki hasil negatif. Hasil pengujian fraksi air dan n-butanol sarang semut
memiliki hasil negatif pada alkaloid (Bustanussalam 2010). Alkaloid memiliki

10
sifat farmakologis, yaitu memperlebar saluran pernafasan pada penderita sesak
nafas (Sumardjo 2008).
Fenol hidrokuinon
Fenol merupakan struktur aromatik yang memiliki ikatan satu atau lebih
gugus hidroksil (Harborne 1987). Kuinon adalah senyawa yang mempunyai
kromofor pada benzokuinon yang terdiri atas dua gugus karbonil yang
berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon (Ketaren 2008). Hasil penelitian
Escudero et al. (2008) menunjukkan bahwa komponen fenol yang diisolasi dari
daun Piper aduncum L. memiliki aktivitas antioksidan.
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak metanol dan air
mengandung fenol. Ekstrak etanol sarang semut memiliki kandungan fenol
hidrokuinon (Engida et al. 2013). Senyawa fenol berfungsi sebagai antioksidan
karena kemampuannya meniadakan radikal bebas (Oktaviana 2010).
Flavonoid
Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida.
Flavonoid diklasifikasikan menjadi flavon, flavonol, flavanon, flavanonol,
isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron, dan antosianidin (Sirait 2007). Flavonoid
Flavonoid berperan dalam pengobatan beberapa penyakit seperti asma, katarak,
diabetes, rematik, migrain, wasir dan periodontitis (Subroto dan Saputro 2006).
Hasil pengujian fitokimia flavonoid menunjukkan bahwa ekstrak air dan
metanol sarang semut positif terdapat flavonoid. Hal ini sesuai dengan penelitian
Bustanussalam (2010) yang menunjukkan bahwa fraksi air dan n-butanol sarang
semut memiliki hasil positif pada flavonoid, serta Engida et al. (2013) yang
menunjukkan bahwa ekstrak etanol sarang semut memiliki kandungan flavonoid.
Sharma et al. (2008) menyatakan bahwa senyawa flavonoid dari biji Eugenia
jambolana (L) berperan sebagai antidiabetes melalui mekanisme insulinotropik.
Tanin
Tanin merupakan senyawa polifenol yang dapat larut dalam air, gliserol,
metanol, kloroform, dan eter. Secara kimia terdapat dua jenis tanin, yaitu tanin
terkondensasi dan tanin yang terhidrolisis (Harborne 1987). Kandungan senyawa
tanin pada sarang semut secara empiris digunakan untuk pengobatan wasir dan
mimisan (Subroto dan Saputro 2006).
Hasil uji fitokimia menunjukkan ekstrak air mengandung tanin, sedangkan
ekstrak metanol menunjukkan hasil negatif. Fraksi air sarang semut memiliki hasil
positif pada tanin (Bustanussalam 2010), serta ekstrak etanol 70% daun
Hydnophytum formicarum menunjukkan hasil positif pada tanin (Yuliastuti 2011).
Tanin berperan sebagai antioksidan karena dapat menangkap senyawa radikal
bebas (Dangles et al. 2000).
Saponin
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam
lebih dari 90 suku tumbuhan (Suradikusumah 1989). Senyawa ini larut dalam air,
sedikit atau tidak sama sekali larut dalam etanol dan metanol (Harborne 1987).
Saponin memiliki aktivitas antimikroba, merangsang sistem imun dan mengatur
tekanan darah (Astawan dan Kasih 2008).

11
Hasil pengujian saponin pada ekstrak metanol dan air sarang semut
memiliki hasil negatif. Fraksi air dan n-butanol sarang semut memiliki hasil
negatif pada saponin (Bustanussalam 2010), serta ekstrak etanol 70% daun sarang
semut menunjukkan hasil negatif pada saponin (Yuliastuti 2011). Ekstrak air dari
tumbuhan Dioscorea nipponica Mak. mengandung komponen saponin yang biasa
digunakan sebagai obat penyakit cardiovascular (Cui et al. 2004).
Steroid
Steroid adalah golongan triterpena yang kerangka dasarnya terbentuk dari
sistem cincin siklopentana prehidrofenantrena. Senyawa ini awalnya hanya
sebagai komponen pada substansi hewan saja, tetapi akhir-akhir ini steroid juga
ditemukan pada substansi tumbuhan (Harborne 1987). Silva et al. (2002)
menyatakan bahwa komponen steroid dari daun Agave attenuata memiliki
aktivitas anti-inflamasi.
Hasil uji fitokimia menunjukkan ekstrak air dan metanol tidak mengandung
steroid. Hal ini sesuai dengan penelitian Bustanussalam (2010) yang menunjukkan
bahwa fraksi air dan n-butanol sarang semut memiliki hasil negatif pada steroid.
Kurniawati et al. (2005) menyatakan bahwa senyawa steroid terdapat dalam
jumlah yang tinggi pada tanaman pegagan dan digunakan sebagai bahan obat.

Kandungan Flavonoid Sarang Semut (Hydnophytum formicarum)
Analisis kandungan flavonoid pada penelitian ini dilakukan dengan cara
metode kolorimetrik menggunakan AlCl3 sebagai pereaksi kromogenik. Penelitian
Tadera et al. (2006) membuktikan bahwa golongan senyawa flavonoid berperan
sebagai penghambat aktivitas enzim α-glukosidase. Chang et al. (2002)
menyatakan bahwa kandungan flavonoid yang terukur pada penentuan konsentrasi
flavonoid terdiri dari golongan flavon dan flavonol yang terdapat pada ekstrak
karena hanya golongan flavon dan flavonol yang dapat membentuk kompleks
stabil dengan AlCl3. Hasil pengukuran kandungan flavonoid dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4 Nilai kandungan flavonoid ekstrak metanol dan air sarang semut
Jenis sampel

Kandungan flavonoid (%b/b)

Ekstrak metanol
Ekstrak air

0.559
0.585

Nilai kandungan flavonoid ekstrak air lebih tinggi daripada ekstrak
metanol (Tabel 4). Ekstrak metanol sarang semut memiliki kandungan flavonoid
yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak metanol buah mahkota dewa yaitu sebesar
0.0054% (Rohyami 2008). Menurut Pradono et al. (2011), kandungan flavonoid
dan senyawa fenolik lain di dalam tumbuhan berbeda-beda di antara setiap bagian,
jaringan, dan umur tumbuhan, serta dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan.
Kandungan flavonoid yang terukur setara dengan kuersetin. Persamaan
garis yang diperoleh pada kurva standar kuersetin adalah y= 0.054+0,018x dengan

12
koefisien korelasi 0.992 (Lampiran 7). Kuersetin merupakan flavonol yang paling
aktif dan umumnya terdapat dalam tumbuhan. Lukacinova et al. (2008)
melakukan penelitian antidiabetes pada uji senyawa golongan flavonol dan flavon
secara in vivo pada tikus dan menyatakan bahwa daya inhibisi senyawa golongan
flavonol jauh lebih tinggi daripada flavon.
Aktivitas Inhibisi Enzim α-Glukosidase
Enzim α-glukosidase adalah enzim yang bekerja dalam pembentukan
glukosa di usus halus manusia melalui pemecahan karbohidrat (Lehninger 2004).
Menurut Bosenberg (2008), proses pencernaan karbohidrat menjadi oligosakarida
yang kemudian akan diubah lagi menjadi glukosa oleh enzim α-glukosidase yang
dikeluarkan oleh sel-sel usus halus. Adanya penghambatan kerja enzim αglukosidase berfungsi untuk pengembalian kadar glukosa dalam darah dengan
batas normal.
Enzim dapat dihambat dengan suatu senyawa kimia yang biasa disebut
dengan inhibitor. Inhibitor akan menghambat kerja enzim sehingga produk yang
dihasilkan sedikit. Substrat yang digunakan adalah p-nitrofenil-α-D glukopiranosa
sehingga produk berupa senyawa p-nitrofenol (Alfarabi 2010). Aktivitas enzim
diukur berdasarkan hasil absorbansi p-nitrofenol yang berwarna kuning. Adanya
inhibitor α-glukosidase maka p-nitrofenol yang dihasilkan akan berkurang
ditandai berkurangnya intensitas warna kuning (Basuki et al. 2002). Pada
penelitian ini sampel dilarutkan dalam DMSO untuk ekstrak metanol dengan
tujuan agar sampel larut secara sempurna. Nilai inhibisi enzim α-glukosidase
ekstrak metanol dan air sarang semut dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Nilai inhibisi enzim α-glukosidase ekstrak metanol dan air sarang semut
Konsentrasi sampel
(ppm)

% inhibisi
ekstrak metanol

% inhibisi
ekstrak air

312.5
625
1250
2500
5000
10000
15000
20000

-0.35
0.52
49.19
71.66
88.21
95.16
95.52
98.55

-25.99
-39.64
-7.27
-9.96
-12.81
1.58
9.37
7.09

Ekstrak metanol sarang semut memiliki potensi dalam menghambat enzim
α-glukosidase, sedangkan ekstrak air tidak memiliki potensi karena tidak
mendapatkan nilai IC50. Besarnya daya hambat yang dihasilkan dinyatakan
dengan nilai IC50. Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan sampel
yang dibutuhkan untuk menghambat enzim α-glukosidase sebesar 50%. Nilai
konsentrasi sampel dan persen inhibisinya diplot dengan persamaan regresi pada
sumbu x dan y. Persamaan regresi yang diperoleh dalam bentuk y = a + bx
digunakan untuk mencari nilai Inhibition Concentration 50% (IC50) dari sampel

13
dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang akan diperoleh sebagai
IC50. Nilai rata-rata IC50 ekstrak metanol sarang semut yang dihasilkan sebesar
1959 ppm. Nilai IC50 sarang semut lebih baik dibandingkan nilai IC50 Spirulina
platensis. Hasil penelitian Surbakti (2013) menunjukkan bahwa nilai IC50
biomassa kering dari Spirulina platensis lebih dari 2000 ppm.
Ekstrak metanol dan air sarang semut dengan konsentrasi 20 µg/mL atau
setara dengan 20000 ppm menghambat kerja enzim α-glukosidase sebesar 98.55%
dan 7.09% (Tabel 5). Daya inhibisi α-glukosidase ekstrak metanol lebih baik
daripada ekstrak air sarang semut. Hal ini sesuai dengan Sugiwati (2005) yang
menunjukkan bahwa ekstrak metanol Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl
memiliki aktivitas inhibisi α-glukosidase yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak
air. Putri et al. (2010) menyatakan bahwa pelarut metanol dapat melarutkan
hampir semua senyawa organik yang ada pada sampel, baik senyawa polar
maupun non polar sehingga menyebabkan perbedaan ketertarikan senyawa
metabolit saat proses ekstraksi.
Pada penelitian ini, ekstrak air sarang semut tidak menunjukkan potensi
yang baik dalam menghambat enzim α-glukosidase. Jeli dan Makiyah (2011)
menyatakan bahwa infusa Hydnophytum formicarum dapat meminimalkan
gambaran kerusakan pankreas pada tikus diabetes terinduksi aloksan dengan dosis
130 mg/kgBB. Ekstraksi secara infusa menggunakan pelarut air pada temperatur
penangas air 96-98°C selama 15-20 menit (DEPKES RI dan DITJEN POM 2000).
Pada penelitian ini, ekstrak air didapatkan dengan menggunakan metode
soxhletasi dengan waktu lebih dari 24 jam. Soxhletasi memiliki kelemahan yaitu
tidak baik untuk zat aktif yang tidak tahan panas (Harborne 1987). Waktu untuk
menguapkan pelarut lebih lama atau waktu ekstraksi yang lama dapat
menyebabkan kerusakan zat aktif yang tidak tahan panas (DEPKES 1986).
Salah satu jenis obat sintetik antidiabetes komersial adalah acarbose yang
dapat mengurangi kadar gula dengan cara mengendalikan penyerapan makanan
dalam usus (Lehninger 2004). Obat ini bekerja dengan menghambat enzim di usus
halus yang memecah karbohidrat menjadi glukosa (Bayer 2009). Pengujian
inhibisi acarbose dilakukan sebagai kontrol positif. Nilai inhibisi enzim αglukosidase acarbose dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Nilai inhibisi enzim α-glukosidase acarbose
Konsentrasi sampel
(ppm)
0.001
0.01
0.1
0.5
1

% inhibisi
-54.86
1.40
18.73
79.34
93.96

Nilai inhibisi dengan konsentrasi 1 ppm, memiliki aktivitas paling tinggi
yaitu sebesar 93.96% (Tabel 6). Nilai IC50 acarbose yang dihasilkan sebesar
0.1624 ppm. Zulhipri et al. (2007) menyatakan bahwa suatu sampel memiliki nilai
IC50 lebih kecil dari 50 ppm, maka sampel tersebut dinyatakan aktif memiliki daya
hambat enzim α-glukosidase. Pada penelitian ini, ekstrak metanol sarang semut

14
dapat disimpulkan tidak mempunyai potensi yang baik sebagai inhibitor enzim αglukosidase karena IC50 yang dihasilkan sebesar 1959 ppm.
Penghambat enzim terdiri atas dua jenis utama, yaitu yang bekerja secara
irreversible dan reversible (Lehninger 2004). Penghambat irreversible bekerja
dengan merusak gugus fungsional molekul enzim bagi aktivitas katalitiknya.
Penghambat terikat secara kovalen pada sisi aktif enzim dan membentuk
kompleks penghambat enzim yang bersifat tetap. Penghambat reversible bekerja
karena adanya reaksi kesetimbangan di antara enzim dan inhibitor. Penghambat
berikatan dengan enzim melalui ikatan yang lemah sehingga dilepaskan dari
enzim dengan cara pengenceran, filtrasi gel, atau dialisis (King 1994).
Penghambat reversible terbagi menjadi dua jenis, yaitu penghambat
reversible nonkompetitif dan penghambat reversible kompetitif. Penghambat
reversible nonkompetitif terjadi apabila penghambat tidak berikatan pada sisi aktif
enzim dan mengubah konformasi molekul enzim. Penghambat reversible
kompetitif terjadi apabila adanya kompetisi penghambat dengan substrat untuk
berikatan dengan sisi aktif dari enzim (Ophardt 2003).
Mekanisme kerja ekstrak sarang semut (Hydnophytum formicarum) yang
berperan sebagai penghambat belum diketahui secara pasti. Mekanisme inhibisi
dari suatu inhibitor apabila ingin diketahui maka perlu dilakukan pemetaan
kebalikan ganda data kecepatan enzim (Lehninger 2004). Liu et al. (2006)
menyatakan bahwa mekanisme inhibitor terhadap enzim α-glukosidase yaitu
mengikat enzim secara reversible kompetitif. Inhibitor dengan struktur yang mirip
dengan substrat normal berkompetisi dengan substrat normal untuk berikatan pada
sisi aktif dari enzim.
Penyakit diabetes melitus dibagi beberapa kelompok, yaitu diabetes
melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, dan diabetes melitus pada kehamilan.
Penyebab timbulnya diabetes melitus tipe 1 akibat kerusakan pada sel beta pulau
Langerhans yang memproduksi insulin. Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan
sel beta pulau Langerhans tidak rusak tapi insulin yang disekresikan jumlahnya
sedikit dan tidak mencukupi kebutuhan tubuh akan insulin. Jenis diabetes melitus
saat hamil karena adanya hormon plasenta yang bersifat anatagonis terhadap
insulin. Kadar glukosa darah dapat dikontrol dengan cara mengkonsumsi obat
tradisional yang berpotensi sebagai antidiabetes (Mahler 1991). Senyawa yang
berpotensi sebagai antidiabetes dapat menghambat pemecahan karbohidrat dengan
menghambat kerja enzim α-glukosidase, sehingga absorpsi glukosa dapat dicegah
(Sundaram et al. 1998).
Menurut Tadera et al. (2006), golongan senyawa flavonoid berperan
sebagai inhibitor enzim α-glukosidase. Penelitian Tiwari et al. (2007)
membuktikan bahwa buah Sonneratia caseolaris memiliki nilai inhibisi enzim αglukosidase dengan IC50 sebesar 15 ppm.
Aktivitas inhibisi enzim α-glukosidase dari Sonneratia lebih tinggi
dibandingkan sarang semut. Senyawa flavonoid pada tumbuhan memberikan
perlindungan terhadap stres lingkungan dan sinar ultraviolet (Winarno 1995).
Sarang semut tumbuh sebagai epifit di hutan rawa dan mangrove seperti pada
tumbuhan Melaleuca cajuputi dan Bruguiera gymnorrhiza (Parinding 2007).
Apabila dibandingkan dengan tempat hidupnya, Sonneratia lebih bergantung
terhadap cahaya serta mudah beradaptasi dengan kadar oksigen yang rendah
dibandingkan Bruguiera (Bengen 2001). Hal ini sesuai dengan pernyataan

15
Rathore et al. (2003) menyatakan bahwa radiasi sinar matahari yang lebih tinggi
dapat meningkatkan kandungan flavonoid pada gandum, serta penelitian Penuelas
et al. (1999) membuktikan bahwa udara dengan kadar CO2 yang tinggi dapat
meningkatkan senyawa flavonoid. Menurut Pradono et al. (2011), faktor-faktor
lingkungan yang mempengaruhi kadar flavonoid adalah suhu, sinar UV, sinar
tampak, nutrisi, ketersediaan air, dan kadar CO2 pada atmosfer.

Uji Toksisitas Brine Shrimp Lethality Test
Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dilakukan dengan cara
pembuatan larutan ekstrak sarang semut yang diuji pada larva Artemia salina.
Metode BSLT dipilih karena metode ini sering digunakan untuk praskrining
terhadap senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak karena sederhana, cepat,
mudah, murah, dapat dipercaya, dan hasilnya representatif (Meyer et al. 1982).
Tamat et al. (2007) menyatakan bahwa ekstrak tersebut termasuk golongan tidak
toksik maka kemungkinan dapat dikembangkan untuk tujuan yang luas, misalnya
sebagai suplemen atau bahan baku kosmetika, sedangkan apabila termasuk
golongan senyawa toksik maka kemungkinan dapat dikembangkan sebagai bahan
baku obat. Hasil uji toksisitas pada ekstrak metanol dan air sarang semut dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Hasil uji toksisitas ekstrak sarang semut
Mortalitas (%)
500
1000

Pelarut
(ppm)

5

50

100

Metanol

0

3.33

3.33

3.33

Air

3.33

3.33

6.67

10

LC50 (ppm)

3000

5000

33.33

53.33

56.67

735.02

16.67

23.33

23.33

258166.58

Kategori
Toksik
rendah
Tidak
toksik

Ekstrak metanol memiliki LC50 lebih rendah yaitu sebesar 735.02 ppm
dibandingkan dengan ekstrak air yaitu sebesar 258166.58 ppm (Tabel 7). Hal ini
sesuai dengan penelitian Sugiwati (2005), ekstrak metanol buah mahkota dewa
memiliki nilai LC50 lebih rendah dibandingkan ekstrak air, serta penelitian
Soeksmanto et al. (2009) yang membuktikan bahwa ekstrak air sarang semut tidak
mendapatkan nilai LC50 karena tidak dijumpai kematian meskipun menggunakan
dosis hingga 3750 mg/kg bb pada mencit. Menurut McLaughlin et al. (1998),
senyawa dengan LC50 ≤ 30 ppm dinyatakan sangat toksik, LC50 antara 31-200
ppm dinyatakan toksik, LC50 antara 201-1000 ppm dinyatakan toksik rendah, dan
nilai LC50 >1000 ppm dinyatakan tidak toksik.

16

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Rendemen ekstrak air lebih tinggi dari ekstrak metanol yaitu sebesar
11.135% dan 4.98%. Ekstrak metanol mengandung fenol dan flavonoid,
sedangkan ekstrak air mengandung fenol, flavonoid, dan tanin. Kandungan
flavonoid ekstrak metanol dan ekstrak air sarang semut sebesar 0.559% (b/b) dan
0.585% (b/b). Aktivitas inhibitor enzim α-glukosidase ekstrak metanol lebih baik
daripada ekstrak air. Nilai inhibisi α-glukosidase ekstrak metanol terbesar 98.55%
dengan IC50 sebesar 1959 ppm. Ekstrak air tidak menunjukkan potensi yang baik
dalam menghambat enzim α-glukosidase. Nilai kandungan flavonoid yang tinggi
pada ekstrak air, tidak dapat membuktikan aktivitas yang baik dalam menghambat
enzim α-glukosidase. Ekstrak metanol bersifat toksik rendah dengan nilai LC50
sebesar 735.02 ppm. Ekstrak air bersifat tidak toksik dengan nilai LC 50 sebesar
258166.58 ppm.
Saran
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menentukan metode ektraksi
dan waktu ekstraksi yang optimum yang tidak merusak komponen bioaktif sarang
semut. Analisis lebih lanjut juga diperlukan untuk menentukan senyawa golongan
flavonoid atau senyawa aktif lain yang berperan dalam menghambat kerja enzim
α-glukosidase. Selain itu, diperlukan pengujian aktivitas antihiperglikemik secara
in vivo.

DAFTAR PUSTAKA
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2009 Juli 1. Informasi obat
antidiabetik oral. Informasi Produk Terapetik. 19(1):11.
[DEPKES] Departemen Kesehatan. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta (ID): Dirjen
Pengawasan Obat dan Makanan.
[DEPKES] Departemen Kesehatan. 2005. Jumlah penderita diabetes Indonesia
ranking ke-4 di dunia. [internet]. [diacu 2012 Oktober 2]. Tersedia dari
http://www.depkes.go.id/index.php.
[DEPKES RI dan DITJEN POM] Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 2000. Parameter Standar
Umum Ekstrak Tumbuhan Indonesia. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI.
[WHO] World Health Organization. 2010. Diabetes [internet]. [diacu 2012
Oktober 2]. Tersedia dari: http://www.who.int/dietphysicalactivity.
Adewole SO, Ezkiel A, Martins C. 2006. Morphological changes an
hypoglycemic effects of Annona muricata linn. (Annonaceae) leaf aqueous
extract on pancreatic β-cells of streptozotocin-treated diabetic rats. African
Journal of Biomedical Research 9: 173-187.

17
Alfarabi M. 2010. Kajian antidiabetogenik ekstrak daun sirih merah (Piper
crocatum) in vitro [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Astawan M, Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan. Jakarta (ID):
Gramedia Pustaka Utama.
Basuki T, Indah DD, Nina A, Kardono LBS. 2002. Evaluasi aktivitas daya hambat
enzim α-glukosidase dari ekstrak kulit batang, daun, bunga dan buah kemuning
[Murraya Paniculata (L.) Jack.]. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat
Indonesia XXI; 2002 Maret 27-28; Surabaya, Indonesia. Surabaya (ID):
Universitas Surabaya. hlm 314-318.
Bayer. 2009. Product information glucobay (acarbose) [internet]. [diacu 2013 Mei
4]. Tersedia dari: http://www.bayerresources.com.au/PI/file9350.pdf.
Bengen DG. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut
Pertanian Bogor.
Bosenberg LH. 2008. The mechanism of action of oral antidiabetic drugs: a
review of recent literature. The Journal of Endocrinology, Metabolism, and
Diabetes of South Africa. 13(3):80-88.
Bustanussalam. 2010. Penentuan struktur molekul dari fraksi air tumbuhan
“sarang semut” Myrmecodia pendens Merr. & Perry yang mempunyai aktivitas
sitotoksik dan sebagai antioksidan [tesis]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor.
Chang CC, Yang MH, Wen HM, Chern JC. 2002. Estimation of total flavonoids
content in propolis by two complementary colorimetric methods.
Journal Food Drug Analysis. 10: 178-182.
Copriyadi J, Yasmi E, Hidayati. 2005. Isolasi dan karakterisasi senyawa kumarin
dari kulit buah jeruk purut (Citrus hystrix DC). Jurnal Biogenesis. 2(1):13-25.
Cowan MM. 1999. Plant products as antimicrobial agents, Clinical Microbiology
Review. 12 (4) : 82-564.
Cui CB, Xu C, Gu QQ, Chu SD, Ji HH, Jing G. 2004. A new furostanol saponin
from the water-extract of Dioscorea nipponica Mak., the raw material of the
traditional Chinese herbal medicine wei ao xin. Chinese Chemical Letters.
15(10):1191-1194.
Dangles O, Fargeix G, Dufour C. 2000. Antioxidant properties of anthocyanins
and tannins: a mechanistic investigation with catechin and the 3’,4’,7trihydroxyflavylium ion. Journal Royal Society of Chemistry. 2:1653-1663.
De Padua LS, Bunyapiaphatsara N, Lemmens RHMJ. 1999. Plant Resources of
South-East Asia: Medicinal and Poisonous Plants 1. Bogor (ID): Prosea
Foundation.
Dewi DC. 2005. Pemisahan Kimia. Malang (ID): Universitas Islam Negeri
Malang.
Engida AM, Kasim NS, Tsigie YA, Ismadji S. 2013. Extraction, identification and
quantitative HPLC analysis of flavonoids from sarang semut (Myrmecodia
pendan). Industrial Crops and Products. 41:392-396.
Escudero MR, Escudero FR, Remsberg CM, Takemoto JK, Davies NM,