Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh (BAP dan IAA) terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Cabai Keriting (Capsicum annuum L.) secara In Vitro

(1)

PENG

TER

CABAI

GARUH Z

RHADAP

I KERITI

ZAT PEN

PERTUM

ING (Cap

NGATUR

MBUHAN

psicum an

R TUMBU

N DAN PE

nuum L.)

UH (BAP

ERKEMB

) SECARA

DAN IAA

BANGAN

A IN VIT

A)

N

TRO

Oleh :

VER

RDY SOE

ELAIMAN

N

A24070

0096

DE

EPARTEM

MEN AGR

RONOMII DAN HO

ORTIKU

ULTURA

FAKU

ULTAS PE

ERTANIA

AN

IN

NSTITUT

T PERTA

ANIAN BO

OGOR

2012

2


(2)

The effect of plant growth regulators (BAP and IAA) on growth and

development of in vitro curly pepper (Capsicum annuum L.)

Abstract

Curly red pepper (Capsicum annuum L.) is one of the crops that are important and widely cultivated in Indonesia. The purpose of this experiment was to determine the effect of the use of plant growth regulators BAP and IAA in various doses on the growth and development of curly red peppers in vitro. This research was conducted on March 2011 until October 2011 in Tissue Culture Laboratory Departement of Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agriculture University. This research using Randomized Complete Design (RAL) with one factor, was plant growth regulators. The results showed that administration of combinations of growth regulators significantly influenced root induction, high growth, number of leaves, callus and shoot multiplication. P3 was very good treatment in inducing roots. P9 treatment effect was very evident in the high growth and induction of shoots. P4 was the best treatment in an increasing number of leaves. while for callus and multiplication, the best treatment was a very real P16.

Keyword : pepper, plant growth regulators, induction  


(3)

RINGKASAN

VERDY SOELAIMAN. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh (BAP dan IAA) terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Cabai Keriting (Capsicum

annuum L.) secara In Vitro (dibimbing oleh ANDRI ERNAWATI).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari penggunaan zat pengatur tumbuh BAP dan IAA pada berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan cabai merah keriting secara in vitro. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2011 sampai bulan Oktober 2011.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas satu faktor tunggal (pemberian zat pengatur tumbuh). Dalam rancangan terdapat 20 kombinasi (5 taraf konsentrasi BAP dan 4 taraf konsentrasi IAA) dengan 10 ulangan dari setiap perlakuan. Satu unit percobaan terdiri atas 1 tanaman. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F, apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5%.

Eksplan cabai yang digunakan berasal dari benih cabai hibrida TM888 yang dikecambahkan terlebih dahulu dalam media MS0. Bagian tanaman cabai yang digunakan adalah bagian tunas pucuk. Peubah untuk mengamati pertumbuhan dan perkembangan tanaman dilihat dari jumlah akar, pertumbuhan tinggi, jumlah daun, multiplikasi tunas, dan perkembangan kalus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh BAP dan IAA berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan cabai secara in vitro. Perlakuan P3 (0 mg/L BAP dan 1 mg/L IAA) dapat menginduksi akar dengan baik. Kombinasi dari perlakuan P9 (2 mg/L BAP dan 0,2 mg/L IAA) berpengaruh sangat nyata dalam induksi tunas yang menyebabkan tinggi eksplan yang meningkat dengan baik. Dilihat dari jumlah daun, perlakuan P4 (1 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA) merupakan perlakuan yang terbaik. Dalam pengkalusan dan multiplikasi eksplan, semakin tinggi konsentrasi zat pengatur


(4)

tumbuh yang diberikan (khususnya konsentrasi BAP yang tinggi), semakin tinggi pula persentase kalus dan multiplikasi yang terjadi. Perlakuan yang terbaik untuk pengkalusan dan multiplikasi adalah perlakuan P16 ( 4 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA). Perlakuan P16 merupakan perlakuan terbaik dalam perbanyakan tanaman untuk selanjutnya karena memiliki persentase multiplikasi tertinggi.


(5)

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH ( BAP DAN IAA )

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

CABAI KERITING (Capsicum annuum L.) SECARA IN VITRO

Skripsi sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

VERDY SOELAIMAN

A24070096

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(6)

Judul

:

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH (BAP

DAN IAA) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN

PERKEMBANGAN CABAI KERITING (Capsicum

annuum L.) SECARA IN VITRO

Nama

: VERDY SOELAIMAN

NIM : A24070096

Menyetujui, Pembimbing

Ir Andri Ernawati, MAgr.,MAgr.Sc.  NIP. 19610411 198603 2001 

      Mengetahui,  Ketua Departemen 

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr. NIP 19611101 198703 1 003


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang, Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 15 Juli 1989. Penulis merupakan anak pertama dari Bapak Edwin dan Ibu Yetna Dewita. Penulis memulai pendidikannya pada tahun 1995 di SD Negeri 14 Banuhampu Agam dan lulus pada tahun 2001. Tahun 2004 penulis menyelesaikan studi di SMPN 3 Padang Luar Banuhampu Agam. Selanjutnya penulis lulus dari SMAN 2 Bukittinggi pada tahun 2007.

Tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa di IPB melalui jalur USMI. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Penulis aktif dalam organisasi. Organisasi yang pernah diikuti oleh penulis seperti organisasi mahasiswa daerah. Selain itu penulis juga penah menjadi ketua panitia dalam stadium general mata kuliah kapita selekta pertanian. Tahun 2011, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah pembiakan tanaman.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan dan hidayah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh (BAP dan IAA) Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Cabai Keriting (Capsicum

annuum L.) Secara in vitro bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari

penggunaan zat pengatur tumbuh BAP dan IAA dalam berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan cabai merah keriting secara in vitro.

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ir. Andri Ernawati, MAgr.,MAgr.Sc. sebagai dosen pembimbing yang telah

memberikan kritik dan saran serta motivasi yang membangun dalam penyempurnaan tulisan ini.

2. Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menempuh perkuliahan di IPB.

3. Ir Megayani Sri Rahayu, MS dan Dr.Ir Dini Dinarti sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun.

4. Bapak Edwin, Ibu Yetna Dewita, Paman Ridwan Moezwir, Paman Irfan, Vandy Dwi Putra atas semua doa, cinta, motivasi, dan semangat yang diberikan selama ini sehingga penulis terpacu untuk segera menyelesaikan tugas akhir dengan sebaik-baiknya.

5. Afifah Farida, Dian Ayu Rakhmawati, Hesti Paramitha. Vitho Alveno, Endang Rusparyati, Nur Ashifa, teman-teman Agronomi dan Hortikultura 44 serta seluruh pihak atas kerjasama, bantuan, dan waktu yang telah diberikan selama penelitian dan penyusunan skripsi.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pertanian.

Bogor, Februari 2012


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... ii 

DAFTAR ISI ... iii 

DAFTAR TABEL ... v 

DAFTAR GAMBAR ... vi 

DAFTAR LAMPIRAN ... vii 

PENDAHULUAN ... 1 

Latar Belakang ... 1 

Tujuan ... 2 

Hipotesis ... 2 

TINJAUAN PUSTAKA ... 3 

Botani Tanaman Cabai ... 3 

Syarat Tumbuh ... 3 

Teknik Kultur Jaringan ... 4 

Media Kultur Jaringan... 4 

Zat Pengatur Tumbuh ... 5 

BAHAN DAN METODE ... 7 

Tempat dan Waktu ... 7 

Bahan dan Alat ... 7 

Metode Penelitian ... 7 

Pelaksanaan Penelitian ... 8 

Pengamatan ... 10 

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11 

Pengaruh Kombinasi BAP dan IAA terhadap Induksi Akar ... 13 


(10)

iv

Pengaruh Kombinasi BAP dan IAA terhadap Jumlah Daun pada Eksplan ... 19 

Pengaruh Kombinasi BAP dan IAA terhadap Pertumbuhan Kalus dan Multiplikasi Tunas ... 22 

KESIMPULAN DAN SARAN ... 24 

Kesimpulan ... 24 

Saran ... 24 

DAFTAR PUSTAKA ... 25 


(11)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Rata-rata jumlah akar cabai pada berbagai perlakuan BAP dan IAA...14

2. Rata-rata tinggi eksplan cabai pada berbagai perlakuan BAP dan IAA...17

3. Rata-rata jumlah daun cabai pada berbagai perlakuan BAP dan IAA...20


(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Pengecambahan benih cabai menjadi eksplan untuk perlakuan...11

2. Cendawan hitam dan bakteri yang menyerang saat pengecambahan...11

3. Cendawan putih yang menyerang saat pengecambahan benih...12

4. Pemberian kombinasi BAP dan IAA terhadap induksi akar...15

5. Pemberian kombinasi BAP dan IAA terhadap tinggi eksplan...18


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Komposisi media Murashige-Skoog...27 2. Foto pengamatan dari masing-masing perlakuan eksplan cabai...28


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai merah keriting (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu hasil pertanian yang penting dan banyak dibudidayakan di Indonesia. Buah cabai memiliki aroma, rasa pedas dan warna yang spesifik, sehingga banyak digunakan oleh masyarakat sebagai rempah dan bumbu masakan. Cabai merah juga digunakan sebagai bahan baku industri pangan, obat-obatan dan bahan kosmetik. Pertambahan penduduk yang pesat dan berkembangnya industri makanan, maka kebutuhan cabai di Indonesia pun meningkat.

Produksi cabai di Indonesia saat ini masih tergolong rendah. Permasalahan yang dihadapi adalah mutu hasil produksi cabai yang kurang baik. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai Indonesia antara lain penggunaan benih yang kurang bermutu, teknik budidaya yang belum efisien dan penanaman kultivar cabai yang tidak tahan terhadap hama serta penyakit.

Perbaikan varietas dari cabai merah keriting ini seperti pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang baik serta ketahanan terhadap penyakit dapat dilakukan dengan teknik kultur jaringan. Teknik kultur jaringan dapat meningkatkan nilai tambah program pemuliaan tanaman, terutama dalam usaha peningkatan kualitas dan kuantitas produksi cabai merah keriting secara optimal.

Penelitian ini menggunakan teknik penanaman secara in vitro. Penanaman cabai in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai bagian tanaman seperti hipokotil, kotiledon, daun muda, batang muda, tunas pucuk, atau bagian kecambah. Keberhasilan dalam menginduksi tunas dari eksplan secara in vitro dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah zat pengatur tumbuh yang digunakan dan kondisi ruang kultur jaringan (George dan Sherington, 1984). Tanaman cabai dalam regenerasi tunas secara in vitro dapat dilakukan dari berbagai bagian yaitu kotiledon (Ebida dan Hu, 1993; Hyde dan Phillips, 1996), hipokotil (Ebida dan Hu, 1993; Fari dan Czako, 1981), atau daun muda.

Tunas dapat di induksi dari berbagai eksplan yang pada umumnya dilakukan dalam media kultur jaringan yang mengandung BAP dengan atau tanpa IAA. IAA ditambahkan ke dalam media dengan BAP untuk meningkatkan


(15)

frekuensi pembentukan tunas. BAP juga dilaporkan lebih efektif untuk menginduksi pembentukan tunas cabai merah secara in vitro dibanding 2-iP atau kinetin (Siregar et al, 1997). Penelitian lebih lanjut berguna dalam menentukan kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA) yang terbaik terhadap pertumbuhan dan perkembangan cabai keriting secara in vitro.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari penggunaan zat pengatur tumbuh BAP dan IAA dalam berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan cabai merah keriting secara in vitro.

Hipotesis

Penambahan kombinasi BAP dan IAA sekaligus meningkatkan dengan cepat terhadap pertumbuhan dan perkembangan cabai keriting in vitro.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Cabai

Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) termasuk famili Solanaceae genus Capsicum. Tanaman ini berasal dari daerah tropis Amerika Selatan, terutama dari Brazil (Thompson dan Kelly, 1979). Cabai merupakan tanaman dikotil. Di Indonesia jenis cabai yang banyak dibudidayakan adalah cabai merah keriting (Capsicum annuum L.) dan cabai rawit (C. Frustecens L.).

Tanaman cabai termasuk tanaman semusim berbentuk perdu, bercabang banyak, batang utama tegak, dengan daun berbentuk hati dan perakaran mencapai 25 sampai 35 cm. Tanaman cabai mempunyai bunga sempurna, berdiri tegak atau berkelompok pada ketiak daun, mahkota bunga berwarna putih dan mempunyai lima benang sari serta sebuah putik yang dapat melakukan penyerbukan sendiri ataupun penyerbukan silang (Edmond et al., 1983).

Syarat Tumbuh

Cabai merah dapat tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi, antara 100-1000 m dpl. Tanaman cabai cocok bila ditanam pada daerah kering atau berhawa panas, walaupun daerah itu merupakan daerah pegunungan (Setyadi, 1996). Tanaman cabai kurang cocok ditanam pada daerah dengan kelembaban yang tinggi (curah hujan 600-1250 mm per tahun) yang dapat menyebabkan terserangnya tanaman oleh penyakit antraknosa (Setyadi, 1996).

Pada umumnya tanaman cabai dapat tumbuh baik pada suhu lingkungan sekitar 18-35oC dan suhu optimal 21-29 oC . Benih cabai akan berkecambah pada suhu 16-35 oC dan optimal pada 29 oC. Penyinaran matahari langsung dapat menyebabkan sunscald dan menyebabkan tidak suburnya serbuk sari, sehingga menurunkan pembentukan buah (Tindall, 1983).


(17)

Teknik Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawanm, 1995). Teknik kultur jaringan merupakan salah satu teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif.

Hartmann dan Kester (1983) menyatakan bahwa proses yang menginduksi pembentukan jaringan dari sel atau kalus menjadi tunas, tunas adventif atau akar hingga akhirnya menjadi tanaman lengkap yang sempurna disebut organogenesis. Menurut Zhang dan Lemaux (2005) pada kultur in vitro organogenesis tunas berasal dari diferensiasi sel somatik bukan sel embrio. Organogenesis tersebut dikendalikan oleh keberadaan gen yang berada pada eksplan yang berespon terhadap pemberian zat pengatur tumbuh, sehingga mempengaruhi pembelahan sel dan proses diferensiasinya.

Metode perbanyakan tanaman secara in vitro dapat ditempuh dengan dua cara yaitu (1) melalui multiplikasi tunas dari mata tunas aksilar dan (2) melalui pembentukan tunas adventif dan embrio somatik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui pembentukan kalus. Keberhasilan dari teknik kultur jaringan ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan dan morfogenesis jaringan yang dikulturkan dan dipengaruhi oleh faktor genotip dari bakal tanaman yang dikulturkan, media dan zat pengatur tumbuh, serta faktor lingkungan dan faktor fisiologi jaringan yang digunakan sebagai eksplan (George dan Sherington, 1984).

Media Kultur Jaringan

Media kultur jaringan tanaman menyediakan unsur hara makro dan mikro serta karbohidrat yang umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapatkan dari atmosfer melalui fotosintesis. Kehadiran vitamin, asam amino, zat pengatur tumbuh dan senyawa-senyawa organik kompleks seperti yeast, air kelapa dan sari tomat dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan kultur (George dan Sherington, 1984).

Beberapa macam media yang banyak yang digunakan untuk menunjang perbanyakan tanaman secara in vitro adalah formulasi media Murashige dan


(18)

5

Skoog (MS), Vasin dan Went, Nitsch dan Nitsch, White dan Knudson C. Media MS telah digunakan secara luas untuk berbagai tujuan kultur (Gunawan, 1988).

Vitamin yang sering digunakan dalam media kultur jaringan adalah tiamin (B1), nicotinic acid (niacin) dan piridoksin (B6). Vitamin ini berperan dalam reaksi enzimatik yang penting bagi pertumbuhan jaringan tanaman. Penambahan myo-inositol ke dalam media juga diketahui dapat memperbaiki pertumbuhan bahan tanaman yang dikulturkan.

Gula merupakan sumber energi pengganti karbon yang perlu ditambahkan dalam media. Sumber karbon yang dapat digunakan adalah sukrosa, glukosa, atau fruktosa. Sukrosa merupakan sumber karbon terbaik diikuti glukosa. Konsentrasi sukrosa yang sering digunakan berkisar antara 1-5% (Pierik, 1987). Selain sumber energi, gula berpengaruh terhadap tekanan osmotik media. Dalam media MS sendiri, setengah dari potensial osmotiknya disebabkan oleh gula (George dan Sherington, 1984).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh adalah persenyawaan organik bukan hara yang dalam jumlah kecil dapat merangsang, menghambat, atau mengubah pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pertumbuhan dan morfogenesis secara in vitro terjadi karena adanya aktivitas zat pengatur tumbuh yang dapat berfungsi seperti hormon tumbuh yang dihasilkan oleh sel-sel tanaman secara endogen (George dan Sherington, 1984).

Dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam kultur jaringan yaitu auksin dan sitokinin. Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pembentukan akar, kalus, penghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, serta diferensiasi sel (Pierik, 1987). Auksin yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah indoleacetik acid (IAA), 3-indolebutyric acid (IBA), 1-naphtalene aceticacid (NAA), dan 2,4-dichloro phenoxyacetic acid (2,4-D). Sitokinin adalah turunan dari adenin yang berfungsi untuk menginduksi pembelahan sel, mendorong proliferasi tunas dan diferensiasi tunas adventif dari organ tanaman dan sintesa protein (George dan Sherington, 1984). Sitokinin yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah


(19)

6-benzylamino purin (BAP), 2-isopentenil adenin (2-iP), zeatin dan 6-fulfurilamino purin (kinetin). Sitokinin BAP, 2-iP dan kinetin adalah sitokinin sintetik yang tidak dapat dihasilkan secara endogen dalam tanaman. BAP merupakan sitokinin sintetik yang banyak digunakan dalam kultur jaringan karena sifatnya stabil, harganya relatif tidak mahal dan paling efektif dibandingkan jenis sitokinin lainnya.


(20)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan Oktober 2011.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan berupa benih komersial tanaman cabai merah kriting hibrida TM88. Media yang digunakan adalah MS (Murashige dan Skoog). Komposisi media MS terdapat pada lampiran 1. Zat pengatur tumbuh meliputi BAP dan IAA. Bahan lain yang digunakan adalah agar-agar, gula, bahan kimia komponen media MS, aquadest dan spritus. Bahan untuk sterilisasi adalah deterjen, alkohol, betadine, sodium hypoklorit, bakterisida, fungisida, dan air steril.

Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Percobaan ini yang terdiri dari satu faktor tunggal (pemberian zat pengatur tumbuh).

Metode rancangannya :

Yij = µ + τi + έij (i = 1,...p; j = 1,...r) Yij = Respon pengamatan perlakuan kombinasi ZPT µ = Nilai tengah umum

τi = Kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA)

έij = Pengaruh galat percobaan (experimental error) perlakuan ke-i, ulangan ke-j Rancangan dalam penelitian terdapat 20 kombinasi (5 taraf konsentrasi BAP dan 4 taraf konsentrasi IAA) dengan 10 ulangan dari setiap perlakuan. Satu unit percobaan terdiri atas 1 tanaman. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F, apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5%.


(21)

Berikut adalah kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA) dalam beberapa taraf konsentrasi:

P0 : 0 mg/L BAP + 0 mg/L IAA P1 : 0 mg/L BAP + 0.2 mg/L IAA P2 : 0 mg/L BAP + 0.5 mg/L IAA P3 : 0 mg/L BAP + 1 mg/L IAA P4 : 1 mg/L BAP + 0 mg/L IAA P5 : 1 mg/L BAP + 0.2 mg/L IAA P6 : 1 mg/L BAP + 0.5 mg/L IAA P7 : 1 mg/L BAP + 1 mg/L IAA P8 : 2 mg/L BAP + 0 mg/L IAA P9 : 2 mg/L BAP + 0.2 mg/L IAA P10 : 2 mg/L BAP + 0.5 mg/L IAA P11 : 2mg/L BAP + 1 mg/L IAA P12 : 3 mg/L BAP + 0 mg/L IAA P13 : 3 mg/L BAP + 0.2 mg/L IAA P14 : 3 mg/L BAP + 0.5 mg/L IAA P15 : 3 mg/L BAP + 1 mg/L IAA P16 : 4 mg/L BAP + 0 mg/L IAA P17 : 4 mg/L BAP + 0.2 mg/L IAA P18 : 4 mg/L BAP + 0.5 mg/L IAA P19 : 4 mg/L BAP + 1 mg/L IAA

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian diawali beberapa tahap pekerjaan yang saling berkesinambungan : 1) Sterilisasi alat-alat gelas, alat-alat diseksi dan aquadest, (2) Pembuatan larutan stok dan media, (3) Sterilisasi Sumber Eksplan.

Sterilisasi alat-alat kultur jaringan. Alat tanam (pinset, scalpel), cawan petri dan pipet yang sudah dicuci dibungkus dengan aluminium foil serta botol kultur disterilkan dengan autoklaf selama 1 jam pada suhu 121oC tekanan 17,5 – 20 psi. Pada saat tanam, scalpel, pisau kultur dan pinset juga disterilkan dengan perendaman dalam alkohol 95% dan nyala api lampu spritus. Permukaan tempat


(22)

9

kerja (ruang laminar air flow cabinet) sebelum digunakan disterilkan dengan menyemprot alcohol 70% dan dilap dengan tissue steril.

Pembuatan larutan stok dan pembuatan media. Media kultur jaringan yang digunakan adalah media Murashige dan Skoog (MS). Larutan stok digunakan untuk mempermudah kelarutan unsur yang digunakan dan untuk mendapatkan ketelitian yang tinggi. Pembuatan larutan stok media MS dikelompokkan ke dalam kelompok larutan stok A, B, C, D, E, F, G, vitamin, myo inositol dan stok zat pengatur tumbuh.

Pembuatan media dilakukan dengan cara memipet larutan stok media dasar sebanyak volume yang dibutuhkan dan ditambah zat pengatur tumbuh sesuai perlakuan serta gula 30 g/l , kemudian campuran larutan tersebut ditera dengan menambahkan aquadest menjadi satu liter kedalam labu takar dan diaduk menggunakan magnetic stirrer. Selanjutnya di ukur pH dengan menggunakan pH meter menjadi 5,8. Untuk menaikkan pH dapat ditambahkan dengan KOH atau HCl 0,1 N. kedalam larutan media ditambah 8 gram agar-agar, dimasak sampai mendidih. Media yang telah mendidih dimasukkan ke dalam botol steril sebanyak 15 ml/botol dan ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet. Kemudian disterilkan selama 20 menit dengan autoklaf dengan suhu 121oC dan tekanan 17,5-20 psi. setelah disterilkan media disimpan selama 3-6 hari untuk melihat ada atau tidaknya kontaminasi.

Penyiapan bahan tanaman, media dan sterilisasi bahan tanam. Benih yang dipakai disterilkan dalam larutan 15% (v/v) Clorox dengan bahan aktif NaOCl (0.7%). Sterilisasi dalam larutan Clorox dilakukan selama 10 menit. Benih tersebut dibilas dua kali dengan aquades steril. Selanjutnya benih cabai direndam lagi dengan Clorox 10% selama 15 menit. Kemudian benih dibilas dengan air steril sebanyak dua kali. Benih yang sudah dibilas diberi betadine 20% kemudian benih ditanam pada media MS0 dalam botol kultur. Bahan tanaman yang digunakan adalah eksplan berupa tunas pucuk tanaman cabai yang telah di sterilkan.


(23)

Pengamatan

Pengamatan dilakukan dengan intensitas waktu satu kali setiap minggu. Tolok ukur pengamatan dari perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA) dalam penelitian ini adalah :

1. Jumlah akar

Pengamatan dilakukan dengan menghitung akar primer yang tumbuh dari pangkal eksplan yang telah di kultur.

2. Tinggi eksplan

Pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi eksplan dari pangkal eksplan sampai dengan titik tumbuh.

3. Jumlah daun

Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung semua jumlah daun yang tumbuh pada eksplan.

4. Kalus yang berkembang

Pengamatan dilakukan adalah menghitung persentase kalus yang tumbuh pada eksplan dari setiap perlakuan yang diberikan.

5. Multiplikasi tunas

Pengamatan dilakukan dengan menghitung persentase multiplikasi tunas yang tumbuh pada eksplan dari setiap perlakuan


(24)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbanyakan tanaman cabai secara in vitro dapat dilakukan melalui organogenesis ataupun embriogenesis. Perbanyakan in vitro melalui organogenesis dilakukan dalam media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh dan bahan suplemen lainnya.

Benih cabai

Gambar 1. Pengecambahan benih cabai menjadi eksplan untuk perlakuan Mikroba yang menyerang kultur tanaman saat penelitian adalah cendawan putih, cendawan hitam, dan bakteri. Mikroba tersebut menyerang hanya pada saat sterilisasi bahan tanaman dan tidak menyerang pada saat perlakuan. Kondisi ruangan kultur yang kurang steril dan benih yang kurang steril yang menyebabkan adanya mikroba yang menyerang.


(25)

Cendawan hitam

Bakteri

Gambar 2. Candawan hitam dan bakteri yang menyerang saat pengecambahan benih

Cendawan putih


(26)

13

Pengaruh Kombinasi BAP dan IAA terhadap Induksi Akar

Tolok ukur dari induksi akar merupakan salah satu parameter dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Induksi akar dapat dipengaruhi dengan adanya penambahan zat pengatur tumbuh, khususnya pemberian zat pengatur tumbuh berupa auksin (IAA). Auksin (IAA) ini dapat menginduksi pertumbuhan akar dengan cepat.

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan pengaruh dari pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA) terhadap induksi akar. Pemberian zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap induksi akar. Tabel 1 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan jumlah akar dari awal perlakuan sampai dengan akhir pengamatan.

Pada minggu pertama, perlakuan yang terbaik adalah perlakuan P1, yaitu kombinasi 0 mg/L BAP dan 0.2 mg/L IAA. Pada minggu kedua sampai dengan minggu keempat, perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan P2 dengan kombinasi 0 mg/L BAP dan 0.5 mg/L IAA. Pada minggu keempat sampai dengan minggu terakhir pengamatan (12MSK), perlakuan yang terbaik adalah pada P3 yaitu kombinasi antara 0 mg/L BAP dan 1 mg/L IAA. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi auksin yang tinggi pada perlakuan ini. Secara umum, perlakuan yang terbaik dalam menginduksi akar adalah perlakuan P3 (0 mg/L BAP + 1 mg/L IAA).

Penambahan auksin pada media tanam memberikan pengaruh sangat nyata terhadap induksi akar. Jika diberikan dengan penambahan sitokinin (BAP), maka induksi akar akan tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan karena sitokinin berfungsi sebagai zat pengatur tumbuh yang dapat menginduksi pembelahan sel, mendorong proliferasi tunas dan diferensiasi tunas adventif dari organ tanaman dan sintesa protein (George dan Sherington, 1984). Adanya penambahan sitokinin (BAP) yang semakin tinggi tidak akan meningkatkan induksi akar dan melainkan akan mengakibatkan pembelahan sel yang membentuk kalus pada eksplan cabai tersebut.


(27)

Tabel 1. Rata-rata jumlah akar cabai pada berbagai perlakuan BAP dan IAA

Perlakuan Waktu Pengamatan

1MSK 2MSK 3MSK 4MSK 5MSK 6MSK 7MSK 8MSK 9MSK 10MSK 11MSK 12MSK

P0 1.8 bc 3.1 bc 3.7 b 4.3 c 4.9 c 5.2 d 5.5 def 5.8 def 6 de 6.5 d 7.1 cd 7.7 cd

P1 3.6 a 4.8 a 5.4 a 6.1 ab 6.7 ab 7.4 bc 7.9 bc 8.2 bc 8.5 bc 9.3 bc 9.6 b 9.6 bc

P2 3.5 a 5.1 a 5.9 a 6.9 a 8a 8.2 ab 9.2 b 9.3 b 9.6 b 10.2 b 10.4 b 10.6 b

P3 2.1 bc 4.1 bc 5.8 a 6.7 a 8.3 a 9.6 a 11.8 a 13.5 a 15 a 17 a 18 a 19.5 a

P4 2.1 bc 2.8 bc 3.4 b 3.9 c 4.9 c 5.7 cd 7.2 cd 7.7 bcd 8.1 bcd 9.3 bc 9.8 b 10.3 b

P5 2 bc 2.9 bc 3.5 b 3.6 c 4.4 c 4.6 d 4.8 ef 5.4 ef 6 de 6.7 d 7.1 cd 7.2 d

P6 2.8 ab 4 ab 4.5 ab 4.7 bc 5.1 bc 5.7 cd 6 cde 6.2 cde 6.5 cd 7.8 cd 8.2 bc 8.4 bcd

P7 1.3 cd 1.9 c 2 c 2.1 d 2.2 d 2.7 e 3.6 fg 4 f 4 e 5.6 d 5.7 d 6.1 d

P8 0.2 d 0.2 d 0.2 d 0.7 de 1.3 de 1.6 ef 1.8 gh 1 g 1.9 f 2.2 e 2.5 e 2.8 ef

P9 0.3 d 0.5 d 0.6 d 0.6 de 0.9 de 1 ef 1.1 h 1.1 g 1.1 f 1.2 e 1.3 e 1.4 efg

P10 0 d 0 d 0.1 d 0.8 de 0.8 d 0.9 ef 1.3 h 1.4 g 1.8 f 2 e 2.6 e 3.3 e

P12 0 d 0 d 0 d 0.1 e 0.5 de 0.7 f 0.9 h 0.9 g 1.1 f 1.1 e 1.1 e 1.2 efg

P13 0 d 0 d 0 d 0.1 e 0.4 de 0.5 f 0.5 h 0.5 g 0.6 f 0.8 e 0.8 e 0.8 fg

P14 0 d 0 d 0.1 d 0.1 e 0.3 e 0.3 f 0.5 h 0.5 g 0.5 f 0.6 e 0.8 e 0.6 fg

P15 0 d 0 d 0.1 d 0.1 e 0.2 e 0.3 f 0.4 h 0.4 g 0.4 f 0.4 e 0.4 e 0.4 fg

P16 0 d 0 d 0 d 0 e 0.2 e 0.2 f 0.5 h 0.5 g 0.6 f 0.6 e 0.6 e 0.7 fg

P17 0 d 0.1 d 0.1 d 0.2 e 0.3 e 0.3 f 0.3 h 0.3 g 0.3 f 0.3 e 0.3 e 0.3 fg

P18 0 d 0 d 0.1 d 0.2 e 0.2 e 0.2 f 0.2 h 0.2 g 0.3 f 0.3 e 0.3 e 0.3 fg


(28)

15

Rataan jumla

h

akar

Minggu Setelah Kultur

Gambar 4. Pemberian kombinasi BAP dan IAA terhadap induksi akar. Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa pertumbuhan akar pada setiap perlakuan mengalami peningkatan. Laju jumlah akar pada bulan pertama tidak jauh berbeda antara setiap perlakuannya. Setelah memasuki bulan kedua, peningkatan yang sangat nyata terlihat pada perlakuan P3. Pada perlakuan P3 ini dapat dilihat bahwa pertumbuhan induksi akar yang terjadi sangat signifikan.

Penambahan kombinasi zat pengatur tumbuh BAP dan IAA ini memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap induksi akar. Perlakuan yang terbaik dalam menginduksi akar yaitu dengan perlakuan P3 (0 mg/L BAP dan 1 mg/L IAA).


(29)

Pengaruh Kombinasi BAP dan IAA terhadap Pertumbuhan Tinggi Eksplan

Pertumbuhan tinggi merupakan salah satu tolok ukur dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pertambahan tinggi dapat dipengaruhi dengan adanya penambahan zat pengatur tumbuh, khususnya pemberian zat pengatur tumbuh berupa sitokinin (BAP) yang dapat merangsang pertumbuhan tinggi eksplan cabai dengan cepat.

Tabel 2 menunjukkan pengaruh dari pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA) terhadap tolok ukur pertumbuhan tinggi. Pemberian zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi. Dilihat dari tabel 2, terjadi peningkatan tinggi eksplan cabai dari awal perlakuan sampai dengan akhir pengamatan. Pada minggu pertama, perlakuan yang terbaik adalah perlakuan P8, yaitu kombinasi 2 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA. Selanjutnya dapat dilihat, pada minggu kedua hingga minggu ke-11 bahwa perlakuan yang terbaik adalah perlakuan P9 yaitu kombinasi antara 2 mg/L BAP dan 0,2 mg/L IAA. Namun perlakuan P19 (4 mg/L BAP dan 1 mg/L IAA) tidak mengalami pertumbuhan yang cepat, hal ini dapat disebabkan oleh konsentrasi dari BAP dan IAA yang tinggi, sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan tanaman cabai secara in vitro ini. Jika dilihat pada akhir pengamatan terjadi perubahan, perlakuan terbaik pada perlakuan P4.


(30)

17

Tabel 2. Rata-rata tinggi eksplan cabai pada berbagai perlakuan BAP dan IAA Perlakuan 

Waktu Pengamatan 

1MSK  2MSK  3MSK  4MSK  5MSK  6MSK  7MSK  8MSK  9MSK  10MSK  11MSK  12MSK 

P0  0.64 bcd  0.91 ab  0.99 abcd  1.17 abc  1.32 

abcde  1.52 abcd  1.66 abcd  1.79 abcde  1.85 abcd  2.11 abcd  2.23 abcd  2.36 abcd  P1  0.67 bcd  0.84 abc  0.96 abcde  1.04 bcde  1.19 bcdef  1.56 abcd  1.73 abcd  1.78 abcde  1.86 abcd  2.05 abcd  2.18 abcd  2.26 abcd 

P2  0.63 bcd  0.73 abcd  0.8 cdef  0.92 bcde  0.94 cdef  1.1 bcde  1.11 bcd  1.15 cde  1.24 cd  1.35 cd  1.47 cd  1.55 bcd 

P3  0.66 bcd  0.83 abc  1.03 abc  1.22 abc  1.43 abcd  1.57 abcd  1.67 abcd  1.78 abcde  1.85 abcd  2.02 abcd  2.11 abcd  2.22 abcd 

P4  0.61 dc  0.76 abcd  0.86 bcdef  1.01 bcde  1.2 bcdef  1.43 abcde  1.76 abcd  1.92 abc  2.05 abc  2.54 ab  2.86 ab  3.22 a 

P5  0.76 abc  0.91 ab  1.06 abc  1.3 ab  1.58 ab  1.74 ab  1.91 abc  1.95 abc  2 abc  2.24 abcd  2.35 abcd  2.46 abc 

P6  0.73 abcd  0.83 abc  1.14 ab  1.3 ab  1.44 abc  1.65 abc  1.77 abcd  1.82 abcd  1.85 abcd  1.94 abcd  2.03 abcd  2.07 abcd 

P7  0.59 dc  0.71 bcd  0.81 cdef  0.87 cde  1.01 cdef  1.11 bcde  2.01 ab  1.26 bcde  1.31 bcd  1.4 cd  1.52 cd  1.6 bcd 

P8  0.87 a  0.95 a  1.02 abcd  1.12 bcd  1.2 bcdef  1.28 bcde  1.48 abcd  1.56 abcde  1.66 abcd  2.23 abcd  2.32 abcd  2.41 abcd 

P9  0.81 ab  0.96 a  1.19 a  1.53 a  1.79 a  2.05 a  2.26 a  2.33 a  2.37 a  2.89 a  3.05 a  3.12 a 

P10  0.64 bcd  0.69 bcd  0.74 def  0.87 cde  0.98 cdef  1.07 bcde  1.11 bcd  1.22 bcde  1.3 bcd  1.4 cd  1.47 cd  1.51 bcd 

P11  0.73 abcd  0.82 abc  0.96 abcde  1.2 abc  1.57 ab  1.78 ab  1.95 abc  2.09 ab  2.19 ab  2.46 abc  2.57 abc  2.65 ab 

P12  0.74 abcd  0.83 abc  0.95 abcde  1.03 bcde  1.08 bcdef  1.14 bcde  1.3 abcd  1.33 bcde  1.36 bcd  1.45 bcd  1.61 cd  1.66 bcd 

P13  0.62 cd  0.64 cd  0.69 ef  0.72 de  0..81 ef  0.88 de  0.95 cd  1.05 cde  1.17 cd  1.27 d  1.36 d  1.48 bcd 

P14  0.73 abcd  0.79 abcd  0.87 bcdef  1.02 bcde  1.11 bcdef  1.19 bcde  1.22 bcd  1.28 bcde  1.37 bcd  1.48 bcd  1.55 cd  1.63 bcd 

P15  0.67 bcd  0.74 abcd  0.81 cdef  0.88 cde  0.98 cdef  1.1 bcde  1.15 bcd  1.26 bcde  1.34 bcd  1.43 cd  1.48 cd  1.54 bcd 

P16  0.62 cd  0.64 cd  0.65 f  0.72 de  0.77 f  0.86 de  0.93 cd  1 de  1.06 d  1.12 d  1.24 d  1.3 cd 

P17  0.72 abcd  0.84 abc  0.98 abcd  1.1 bcd  1.16 bcdef  1.28 bcde  1.38 abcd  1.4 bcde  1.44 bcd  1.65 bcd  1.75 bcd  1.8 bcd 

P18  0.69 bcd  0.76 abcd  0.79 cdef  0.85 cde  0.9 def  0.97 cde  1.04 bcd  1.08 cde  1.14 cd  1.26 d  1.27 d  1.36 cd 


(31)

Rataan jumla

h

akar

Minggu Setelah Kultur

Gambar 5. Pemberian kombinasi BAP dan IAA terhadap tinggi eksplan Gambar menunjukkan rata-rata tinggi eksplan yang diberi dengan perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh pada beberapa taraf konsentrasi. Dilihat dari laju pertumbuhannya, antara masing-masing perlakuan tidak terdapat petumbuhan yang sangat mencolok. Jika dibandingkan, terdapat satu perlakuan yang terbaik dalam menginduksi pertambahan tinggi yaitu pada perlakuan P9 ( 2 mg/L BAP dan 0,2 mg/L IAA ).

Perlakuan yang terbaik dalam menginduksi pertumbuhan tinggi eksplan cabai secara in vitro ini adalah perlakuan P9 (2 mg/L BAP dan 0,2 mg/L IAA). Kombinasi antara BAP dan IAA pada media perlakuan ini cenderung menginduksi tunas dengan baik dibandingkan media dengan BAP saja, sehingga pertambahan tinggi eksplan pun sangat nyata terlihat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang sudah dilaporkan (Fari dan Czako 1981; Hyde dan Philips 1996) bahwa konsentrasi BAP yang digunakan untuk induksi tunas dan pertambahan tinggi bervariasi antara 2-5 mg/L dan tergantung dari varietas cabai yang digunakan.


(32)

19

Pengaruh Kombinasi BAP dan IAA terhadap Jumlah Daun pada Eksplan

Jumlah daun dapat menandakan pertumbuhan dan perkembangan suatu eksplan yang ditanam. Tabel 3 menjelaskan tentang pengaruh dari pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA) dengan beberapa taraf terhadap perkembangan jumlah daun pada eksplan tanaman cabai ini.

Pada minggu pertama pengamatan, tidak terjadi perubahan pada setiap perlakuan. Pada minggu kedua, terjadi peningkatan rataan jumlah daun. Perlakuan yang terbaik pada minggu kedua ini adalah perlakuan P6 yaitu 1 mg/L BAP dan 0,5 mg/L IAA. Pada minggu ketiga sampai dengan minggu keenam, terjadi perubahan peningkatan jumlah daun. Perlakuan yang terbaik adalah perlakuan P1 (0 mg/L BAP dan 0,2 mg/L IAA). Pada minggu ketujuh sampai dengan akhir pengamatan, peningkatan jumlah daun yang lebih signifikan pada perlakuan P4 (1 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA).

Peningkatan jumlah daun yang cepat pada perlakuan P4 ini dapat dipengaruhi dengan sitokinin yang diberikan pada perlakuan. Adanya sitokinin, dapat menginduksi terbentuknya tunas dengan pertambahan jumlah daun (George dan Sherington, 1984).

Perlakuan yang terbaik untuk perkembangan jumlah daun pada eksplan cabai ini adalah pada perlakuan P4. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan yang sangat nyata dengan kenaikan yang signifikan pada gambar 6. Kombinasi zat pengatur tumbuh antara BAP dan IAA ini, memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan jumlah daun. Peningkatan jumlah daun berpengaruh terhadap fotosintesis yang akan terjadi saat tanaman diaklimatisasi.


(33)

Tabel 3. Rata-rata jumlah daun cabai pada berbagai perlakuan BAP dan IAA

Perlakuan Waktu Pengamatan

1MSK 2MSK 3MSK 4MSK 5MSK 6MSK 7MSK 8MSK 9MSK 10MSK 11MSK 12MSK

P0 2 a 2 a 2.8 ab 4 b 4.1 bcd 4.6 abcd 4.6 bcde 5.4 bcd 5.4 bcde 6.4 bcde 7.9 bcde 8.3 bcd

P1 2 a 2.4 a 3.3 a 5.3 a 5.6 a 5.9 a 6.6 ab 7.1 ab 7.6 b 8.6 bc 9.6 bc 10.5 b

P2 2 a 2 a 2.4 b 3.5 bcd 3.8 bcd 4 bcde 4 cde 4.1 cde 4.1 cde 4.7 de 6.8 cdefg 6.9 cdef

P3 2 a 2 a 2.7 ab 3 bcd 3.4 bcd 4.1 bcde 4.2 cde 4.4 cde 4.8 cde 5.5 cde 6.1 defg 6.4 cdef

P4 2 a 2 a 2.4 b 3.6 bc 4.2 abc 5.6 ab 7.4 a 8.6 a 10 a 11.4 a 12.7 a 14 a

P5 2 a 2.1 a 2.4 b 3.2 bcd 3.7 bcd 4.1 bcde 4.8 bcde 5.4 bcd 6.1 bc 7.2 bcd 8.5 bcd 8.8 bc

P6 2 a 2.4 a 2.8 ab 3.1 bcd 3.4 bcd 3.9 bcde 4.6 bcde 5.6 bcd 5.9 bcd 9.2 ab 10.2 ab 10.7 b

P7 2 a 2.2 a 2.3 b 2.9 bcd 3.2 bcd 3.7 bcde 3.9 cde 4.1 cde 4.6 cde 5.6 cde 6.2 defg 6.4 cdef

P8 2 a 2 a 2.1 b 2.3 d 2.6 d 2.8 e 3 e 3 e 3.1 e 3.5 e 3.9 g 4.3 f

P9 2 a 2.4 a 2.6 ab 2.8 bcd 2.8 cd 3.2 de 3.3 de 3.4 de 3.5 de 3.8 e 4.1 fg 4.6 ef

P10 2 a 2 a 2.1 b 2.4 cd 3.1 bcd 4.1 bcde 6.1 abc 6.3 bc 6.4 bc 6.6 bcde 7.1 cdef 7.5 cde

P11 2 a 2.3 a 2.3 b 2.5 cd 2.8 cd 3.9 bcde 4.4 bcde 4.4 cde 4.5 cde 4.9 de 5.2 efg 6.2 cdef

P12 2 a 2.3 a 2.3 b 2.5 cd 2.7 cd 3.3 de 3.8 de 4.6 cde 4.7 cde 5.7 cde 6 defg 6.5 cdef

P13 2 a 2.1 a 2.2 b 2.4 cd 3 bcd 4.6 abcd 4.8 bcde 5.4 bcd 5.5 bcde 6.3 bcde 6.5 defg 6.6 cdef

P14 2 a 2 a 2.2 b 2.6 cd 4.1 bcd 4.6 abcd 4.9 bcde 5.6 bcd 5.8 bcd 6.3 bcde 7 cdef 7.5 cdee

P15 2 a 2.4 a 2.6 ab 2.8 bcd 3.9 bcd 4.7 abcd 5 bcde 5.8 bc 5.9 bcd 6.1 cde 6.4 defg 6.8 cdef

P16 2 a 2.1 a 2.4 b 2.4 cd 3.8 bcd 4.5 abcde 4.8 bcde 5.4 bcd 5.6 bcd 5.7 cde 5.7 defg 5.9 cdef

P17 2 a 2 a 2.6 ab 2.6 cd 4.5 ab 5.3 abc 5.4 abcd 5.6 bcd 5.7 bcd 5.8 cde 6.1 defg 6.2 cdef

P18 2 a 2.1 a 2.6 ab 2.7 cd 3.6 bcd 4.4 abcde 4.7 bcde 5 bcde 5.3 bcde 5.6 cde 5.5 defg 5.5 def


(34)

21

Rataan jumla

h

akar

Minggu Setelah Kultur


(35)

Pengaruh Kombinasi BAP dan IAA terhadap Pertumbuhan Kalus dan Multiplikasi Tunas

Tabel 4. Persentase kalus dan multiplikasi tunas

Perlakuan 

Frekuensi Eksplan (%)

Berkalus  Multiplikasi  Rata‐rata jumlah  tunas multiplikasi

P0 0  0 0

P1 0  0 0

P2 0  0 0

P3 0  0 0

P4 50  0 0

P5 60  0 0

P6 50  0 0

P7 50  0 0

P8 60  0 0

P9 60  0 0

P10 70  0 0

P11 60  0 0

P12 70  20 2

P13 80  10 3

P14 80  10 2

P15 70  10 4

P16 100  30 5

P17 90  20 3

P18 80  20 4

P19 90  20 3

Pengaruh sitokinin dalam kultur jaringan tanaman antara lain berhubungan dengan proses pembelahan sel, perbesaran sel dan dominansi apikal (George dan Sherington, 1984). BAP berperan dalam mendorong proses pembelahan sel, proliferasi tunas dan penghambatan pertumbuhan akar (Pierik, 1987). Dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan sinergis antara BAP dan IAA dalam mendorong pembelahan dan pembesaran sel yang mengakibatkan terjadinya pengkalusan dan multiplikasi pada eksplan yang di tanam.

Tabel 4 dapat dilihat semakin tinggi kosentrasi BAP yang diberikan, semakin tinggi juga frekuensi eksplan yang berkalus dan semakin tinggi pula yang mengalami multiplikasi. Pada tabel juga dapat dilihat bahwa perlakuan terbaik untuk pengkalusan dan multiplikasi adalah perlakuan P16. Perlakuan P16


(36)

23

(4 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA) sangat nyata dalam menginduksi kalus dan multiplikasi.

Jika dilihat dari rata-rata jumlah tunas multiplikasi, perlakuan P16 memiliki rata-rata jumlah tunas yang lebih banyak. Hal ini juga disebabkan oleh penambahan zat pengatur tumbuh berupa sitokinin (BAP) yang memberikan pengaruh nyata terhadap proliferasi tunas dan diferensiasi tunas adventif. Dapat disimpulkan, dengan kombinasi zat pengatur tumbuh yang sesuai dapat meningkatkan jumlah eksplan yang berkalus dan eksplan yang mengalami multiplikasi yang dapat dilihat pada perlakuan P16.


(37)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kombinasi zat pengatur tumbuh BAP dan IAA berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan cabai secara in vitro. Perlakuan P3 (0 mg/L BAP dan 1 mg/L IAA) menginduksi akar dengan baik. Kombinasi perlakuan P9 (2 mg/L BAP dan 0,2 mg/L IAA) berpengaruh sangat nyata dalam induksi tunas yang menyebabkan tinggi eksplan yang meningkat dengan baik. Perlakuan P4 (1 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA) merupakan perlakuan yang terbaik. Sedangkan dalam pengkalusan dan multiplikasi eksplan, semakin tinggi konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan (khususnya konsentrasi sitokinin yang tinggi), semakin tinggi pula persentase kalus dan multiplikasi yang terjadi. Perlakuan yang terbaik untuk pengkalusan dan multiplikasi adalah perlakuan P16 ( 4 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA). Perlakuan P16 merupakan perlakuan terbaik dalam perbanyakan tanaman untuk selanjutnya karena memiliki persentase multiplikasi tertinggi.

Saran

Pada penelitian selanjutnya lebih disarankan untuk menggunakan bahan tanam yang steril dan larutan zat pengatur tumbuh yang baru agar tidak mengganggu hasil akhir dari pengamatan. Selain itu, untuk perbanyakan tanaman cabai secara in vitro selanjutnya lebih disarankan menggunakan perlakuan P16 karena dapat menginduksi multiplikasi tunas denga persentase yang lebih baik.


(38)

DAFTAR PUSTAKA

Ebida, A.I. and C.Y. Hu. 1993. In vitro morphogenetic responses and plant regeneration from pepper ( Capsicum annuum L. cv. Early California Wonder) seedling explants. Plant Cell Rep. 13:107-110.

Edmond, J.B, T.L. Senna, F.S. Andrews, and R.G. Halfarce. 1983. Fundamental of Horticulture. McGraw Hill Inc. New York. 56p.

Fari, M. and M. Czako. 1981. Relationship between position of morphogenetic response of pepper hypocotyls explants cultured in vitro. Scientia Horticulturae. 15:207-213.

George, H.F. and P. Sherington. 1984. Plant propagation by tissue culture. Exegetic Public td, England. 709p.

Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan, PAU Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Direktorat Pendidikan Tinggi. 252 hal.

Gunawan, L.W. 1995. Kultur in Vitro dalam Hortikultura. Jakarta: Penebar Swadaya.

Hartman, H.T and Kester D.E. 1983. Plant Propagation: Principle and practice. Ed 4. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.

Hyde, C.L. and G.C. Phillips. 1996. Silver nitrate promotes shoot development and plant regeneration of pepper (Capsicum annuum L.) via organogenesis. In Vitro Cell Dev. Bio. 32:172-180.

Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Cultures of Higher Plant. Martinus - Nijhoff Publ. Dordrecht. Netherlands. 344p.

Setyadi. 1996. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. 120 hal.

Siregar, E.B.M., S. Ramadiana, and Sudarsono. 1997. Difficulties in including shoot regeneration from various explants in in vitro culture of hot pepper (Capsicum annuum. L.). International Biotechnology Conference. Jakarta 17-19 Juni 1997 (Abstract)

Thompson, H.C. and W.C Kelly. 1979. Vegetable Crops. McGraw Hill Book Co. New York. 61lp.

Tindall, H.D. 1983. Vegetables in the Tropics. McMillan Press. London. 533p. Zhang S and PG Lemaux. 2005. Molecular aspects of in vitro Shoot

organogenesis. 173-185. In Robert N. Trigiano and Dennis J. Gray (eds). Plant Development and Biotechnology. USA: CRC Press.


(39)

(40)

27

Lampiran 1. Komposisi Media Murashige – Skoog

Stok Bahan Kosentrasi

Larutan (mg/l)

Pemakaian

ml/l media ppm

A NH4NO3 82.500 20 1.650.000

B KNO3 95.000 20 1.900.000

C KH2PO4 34.000 5 170.000

H3BO3 1.240 5 6.200

KI 0.166 5 0.830

NaMoO42H2o 0.050 5 0.2500

CoCl2.6H2O 0.005 5 0.025

D CaCl2.2H2O 88.000 5 440.000

E MgSO4.7H2O 74.000 5 370.000

MgSO4.4H2O 4.41060 5 22.300

ZnSO4.7H2O 1.720 5 8.600

CuSO4.5H2O 0.005 5 0.025

F Na2EDTA.2H2O 3.730 10 37.300

FeSO4.7H2O 2.780 10 27.800

Myo Myo-Inositol 10.000 10 100.000

Vit Thiamin 0.010 10 0.100

Niacin 0.050 10 0.500

Pyridoxin 0.050 10 0.500

Glicin 0.200 10 2.000


(41)

Lampiran 2. Foto-foto pengamatan dari masing-masing perlakuan cabai

P0 (0 mg/L BAP + 0 mg/L IAA)

P1 (0 mg/L BAP + 0,2 mg/L IAA)

P2 (0 mg/L BAP + 0,5 mg/L IAA) P3 (0 mg/L BAP + 1 mg/L IAA)

P4 (1 mg/L BAP + 0 mg/L IAA) P5 (1 mg/L BAP + 0,2 mg/L IAA)

P6 (1 mg/L BAP + 0,5 mg/L IAA) P7 (1 mg/L BAP + 1 mg/L IAA)


(42)

29

P10 (2 mg/L BAP + 0,5 mg/L IAA) P11 (2 mg/L BAP + 1 mg/L IAA)

P12 (3 mg/L BAP + 0 mg/L IAA) P13 (3 mg/L BAP + 0,2 mg/L IAA)

P14 (3 mg/L BAP + 0,5 mg/L IAA) P15 (3 mg/L BAP + 1 mg/L IAA)

P16 (4 mg/L BAP + 0 mg/L IAA) P17 (4 mg/L BAP + 0,2 mg/L IAA)


(43)

Abstract

Curly red pepper (Capsicum annuum L.) is one of the crops that are important and widely cultivated in Indonesia. The purpose of this experiment was to determine the effect of the use of plant growth regulators BAP and IAA in various doses on the growth and development of curly red peppers in vitro. This research was conducted on March 2011 until October 2011 in Tissue Culture Laboratory Departement of Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agriculture University. This research using Randomized Complete Design (RAL) with one factor, was plant growth regulators. The results showed that administration of combinations of growth regulators significantly influenced root induction, high growth, number of leaves, callus and shoot multiplication. P3 was very good treatment in inducing roots. P9 treatment effect was very evident in the high growth and induction of shoots. P4 was the best treatment in an increasing number of leaves. while for callus and multiplication, the best treatment was a very real P16.

Keyword : pepper, plant growth regulators, induction  


(44)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai merah keriting (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu hasil pertanian yang penting dan banyak dibudidayakan di Indonesia. Buah cabai memiliki aroma, rasa pedas dan warna yang spesifik, sehingga banyak digunakan oleh masyarakat sebagai rempah dan bumbu masakan. Cabai merah juga digunakan sebagai bahan baku industri pangan, obat-obatan dan bahan kosmetik. Pertambahan penduduk yang pesat dan berkembangnya industri makanan, maka kebutuhan cabai di Indonesia pun meningkat.

Produksi cabai di Indonesia saat ini masih tergolong rendah. Permasalahan yang dihadapi adalah mutu hasil produksi cabai yang kurang baik. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai Indonesia antara lain penggunaan benih yang kurang bermutu, teknik budidaya yang belum efisien dan penanaman kultivar cabai yang tidak tahan terhadap hama serta penyakit.

Perbaikan varietas dari cabai merah keriting ini seperti pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang baik serta ketahanan terhadap penyakit dapat dilakukan dengan teknik kultur jaringan. Teknik kultur jaringan dapat meningkatkan nilai tambah program pemuliaan tanaman, terutama dalam usaha peningkatan kualitas dan kuantitas produksi cabai merah keriting secara optimal.

Penelitian ini menggunakan teknik penanaman secara in vitro. Penanaman cabai in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai bagian tanaman seperti hipokotil, kotiledon, daun muda, batang muda, tunas pucuk, atau bagian kecambah. Keberhasilan dalam menginduksi tunas dari eksplan secara in vitro dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah zat pengatur tumbuh yang digunakan dan kondisi ruang kultur jaringan (George dan Sherington, 1984). Tanaman cabai dalam regenerasi tunas secara in vitro dapat dilakukan dari berbagai bagian yaitu kotiledon (Ebida dan Hu, 1993; Hyde dan Phillips, 1996), hipokotil (Ebida dan Hu, 1993; Fari dan Czako, 1981), atau daun muda.

Tunas dapat di induksi dari berbagai eksplan yang pada umumnya dilakukan dalam media kultur jaringan yang mengandung BAP dengan atau tanpa IAA. IAA ditambahkan ke dalam media dengan BAP untuk meningkatkan


(45)

frekuensi pembentukan tunas. BAP juga dilaporkan lebih efektif untuk menginduksi pembentukan tunas cabai merah secara in vitro dibanding 2-iP atau kinetin (Siregar et al, 1997). Penelitian lebih lanjut berguna dalam menentukan kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA) yang terbaik terhadap pertumbuhan dan perkembangan cabai keriting secara in vitro.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari penggunaan zat pengatur tumbuh BAP dan IAA dalam berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan cabai merah keriting secara in vitro.

Hipotesis

Penambahan kombinasi BAP dan IAA sekaligus meningkatkan dengan cepat terhadap pertumbuhan dan perkembangan cabai keriting in vitro.


(46)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Cabai

Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) termasuk famili Solanaceae genus Capsicum. Tanaman ini berasal dari daerah tropis Amerika Selatan, terutama dari Brazil (Thompson dan Kelly, 1979). Cabai merupakan tanaman dikotil. Di Indonesia jenis cabai yang banyak dibudidayakan adalah cabai merah keriting (Capsicum annuum L.) dan cabai rawit (C. Frustecens L.).

Tanaman cabai termasuk tanaman semusim berbentuk perdu, bercabang banyak, batang utama tegak, dengan daun berbentuk hati dan perakaran mencapai 25 sampai 35 cm. Tanaman cabai mempunyai bunga sempurna, berdiri tegak atau berkelompok pada ketiak daun, mahkota bunga berwarna putih dan mempunyai lima benang sari serta sebuah putik yang dapat melakukan penyerbukan sendiri ataupun penyerbukan silang (Edmond et al., 1983).

Syarat Tumbuh

Cabai merah dapat tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi, antara 100-1000 m dpl. Tanaman cabai cocok bila ditanam pada daerah kering atau berhawa panas, walaupun daerah itu merupakan daerah pegunungan (Setyadi, 1996). Tanaman cabai kurang cocok ditanam pada daerah dengan kelembaban yang tinggi (curah hujan 600-1250 mm per tahun) yang dapat menyebabkan terserangnya tanaman oleh penyakit antraknosa (Setyadi, 1996).

Pada umumnya tanaman cabai dapat tumbuh baik pada suhu lingkungan sekitar 18-35oC dan suhu optimal 21-29 oC . Benih cabai akan berkecambah pada suhu 16-35 oC dan optimal pada 29 oC. Penyinaran matahari langsung dapat menyebabkan sunscald dan menyebabkan tidak suburnya serbuk sari, sehingga menurunkan pembentukan buah (Tindall, 1983).


(47)

Teknik Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawanm, 1995). Teknik kultur jaringan merupakan salah satu teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif.

Hartmann dan Kester (1983) menyatakan bahwa proses yang menginduksi pembentukan jaringan dari sel atau kalus menjadi tunas, tunas adventif atau akar hingga akhirnya menjadi tanaman lengkap yang sempurna disebut organogenesis. Menurut Zhang dan Lemaux (2005) pada kultur in vitro organogenesis tunas berasal dari diferensiasi sel somatik bukan sel embrio. Organogenesis tersebut dikendalikan oleh keberadaan gen yang berada pada eksplan yang berespon terhadap pemberian zat pengatur tumbuh, sehingga mempengaruhi pembelahan sel dan proses diferensiasinya.

Metode perbanyakan tanaman secara in vitro dapat ditempuh dengan dua cara yaitu (1) melalui multiplikasi tunas dari mata tunas aksilar dan (2) melalui pembentukan tunas adventif dan embrio somatik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui pembentukan kalus. Keberhasilan dari teknik kultur jaringan ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan dan morfogenesis jaringan yang dikulturkan dan dipengaruhi oleh faktor genotip dari bakal tanaman yang dikulturkan, media dan zat pengatur tumbuh, serta faktor lingkungan dan faktor fisiologi jaringan yang digunakan sebagai eksplan (George dan Sherington, 1984).

Media Kultur Jaringan

Media kultur jaringan tanaman menyediakan unsur hara makro dan mikro serta karbohidrat yang umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapatkan dari atmosfer melalui fotosintesis. Kehadiran vitamin, asam amino, zat pengatur tumbuh dan senyawa-senyawa organik kompleks seperti yeast, air kelapa dan sari tomat dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan kultur (George dan Sherington, 1984).

Beberapa macam media yang banyak yang digunakan untuk menunjang perbanyakan tanaman secara in vitro adalah formulasi media Murashige dan


(48)

5

Skoog (MS), Vasin dan Went, Nitsch dan Nitsch, White dan Knudson C. Media MS telah digunakan secara luas untuk berbagai tujuan kultur (Gunawan, 1988).

Vitamin yang sering digunakan dalam media kultur jaringan adalah tiamin (B1), nicotinic acid (niacin) dan piridoksin (B6). Vitamin ini berperan dalam reaksi enzimatik yang penting bagi pertumbuhan jaringan tanaman. Penambahan myo-inositol ke dalam media juga diketahui dapat memperbaiki pertumbuhan bahan tanaman yang dikulturkan.

Gula merupakan sumber energi pengganti karbon yang perlu ditambahkan dalam media. Sumber karbon yang dapat digunakan adalah sukrosa, glukosa, atau fruktosa. Sukrosa merupakan sumber karbon terbaik diikuti glukosa. Konsentrasi sukrosa yang sering digunakan berkisar antara 1-5% (Pierik, 1987). Selain sumber energi, gula berpengaruh terhadap tekanan osmotik media. Dalam media MS sendiri, setengah dari potensial osmotiknya disebabkan oleh gula (George dan Sherington, 1984).

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh adalah persenyawaan organik bukan hara yang dalam jumlah kecil dapat merangsang, menghambat, atau mengubah pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pertumbuhan dan morfogenesis secara in vitro terjadi karena adanya aktivitas zat pengatur tumbuh yang dapat berfungsi seperti hormon tumbuh yang dihasilkan oleh sel-sel tanaman secara endogen (George dan Sherington, 1984).

Dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam kultur jaringan yaitu auksin dan sitokinin. Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pembentukan akar, kalus, penghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, serta diferensiasi sel (Pierik, 1987). Auksin yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah indoleacetik acid (IAA), 3-indolebutyric acid (IBA), 1-naphtalene aceticacid (NAA), dan 2,4-dichloro phenoxyacetic acid (2,4-D). Sitokinin adalah turunan dari adenin yang berfungsi untuk menginduksi pembelahan sel, mendorong proliferasi tunas dan diferensiasi tunas adventif dari organ tanaman dan sintesa protein (George dan Sherington, 1984). Sitokinin yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah


(49)

6-benzylamino purin (BAP), 2-isopentenil adenin (2-iP), zeatin dan 6-fulfurilamino purin (kinetin). Sitokinin BAP, 2-iP dan kinetin adalah sitokinin sintetik yang tidak dapat dihasilkan secara endogen dalam tanaman. BAP merupakan sitokinin sintetik yang banyak digunakan dalam kultur jaringan karena sifatnya stabil, harganya relatif tidak mahal dan paling efektif dibandingkan jenis sitokinin lainnya.


(50)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan Oktober 2011.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan berupa benih komersial tanaman cabai merah kriting hibrida TM88. Media yang digunakan adalah MS (Murashige dan Skoog). Komposisi media MS terdapat pada lampiran 1. Zat pengatur tumbuh meliputi BAP dan IAA. Bahan lain yang digunakan adalah agar-agar, gula, bahan kimia komponen media MS, aquadest dan spritus. Bahan untuk sterilisasi adalah deterjen, alkohol, betadine, sodium hypoklorit, bakterisida, fungisida, dan air steril.

Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Percobaan ini yang terdiri dari satu faktor tunggal (pemberian zat pengatur tumbuh).

Metode rancangannya :

Yij = µ + τi + έij (i = 1,...p; j = 1,...r) Yij = Respon pengamatan perlakuan kombinasi ZPT µ = Nilai tengah umum

τi = Kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA)

έij = Pengaruh galat percobaan (experimental error) perlakuan ke-i, ulangan ke-j Rancangan dalam penelitian terdapat 20 kombinasi (5 taraf konsentrasi BAP dan 4 taraf konsentrasi IAA) dengan 10 ulangan dari setiap perlakuan. Satu unit percobaan terdiri atas 1 tanaman. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F, apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5%.


(51)

Berikut adalah kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA) dalam beberapa taraf konsentrasi:

P0 : 0 mg/L BAP + 0 mg/L IAA P1 : 0 mg/L BAP + 0.2 mg/L IAA P2 : 0 mg/L BAP + 0.5 mg/L IAA P3 : 0 mg/L BAP + 1 mg/L IAA P4 : 1 mg/L BAP + 0 mg/L IAA P5 : 1 mg/L BAP + 0.2 mg/L IAA P6 : 1 mg/L BAP + 0.5 mg/L IAA P7 : 1 mg/L BAP + 1 mg/L IAA P8 : 2 mg/L BAP + 0 mg/L IAA P9 : 2 mg/L BAP + 0.2 mg/L IAA P10 : 2 mg/L BAP + 0.5 mg/L IAA P11 : 2mg/L BAP + 1 mg/L IAA P12 : 3 mg/L BAP + 0 mg/L IAA P13 : 3 mg/L BAP + 0.2 mg/L IAA P14 : 3 mg/L BAP + 0.5 mg/L IAA P15 : 3 mg/L BAP + 1 mg/L IAA P16 : 4 mg/L BAP + 0 mg/L IAA P17 : 4 mg/L BAP + 0.2 mg/L IAA P18 : 4 mg/L BAP + 0.5 mg/L IAA P19 : 4 mg/L BAP + 1 mg/L IAA

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian diawali beberapa tahap pekerjaan yang saling berkesinambungan : 1) Sterilisasi alat-alat gelas, alat-alat diseksi dan aquadest, (2) Pembuatan larutan stok dan media, (3) Sterilisasi Sumber Eksplan.

Sterilisasi alat-alat kultur jaringan. Alat tanam (pinset, scalpel), cawan petri dan pipet yang sudah dicuci dibungkus dengan aluminium foil serta botol kultur disterilkan dengan autoklaf selama 1 jam pada suhu 121oC tekanan 17,5 – 20 psi. Pada saat tanam, scalpel, pisau kultur dan pinset juga disterilkan dengan perendaman dalam alkohol 95% dan nyala api lampu spritus. Permukaan tempat


(52)

9

kerja (ruang laminar air flow cabinet) sebelum digunakan disterilkan dengan menyemprot alcohol 70% dan dilap dengan tissue steril.

Pembuatan larutan stok dan pembuatan media. Media kultur jaringan yang digunakan adalah media Murashige dan Skoog (MS). Larutan stok digunakan untuk mempermudah kelarutan unsur yang digunakan dan untuk mendapatkan ketelitian yang tinggi. Pembuatan larutan stok media MS dikelompokkan ke dalam kelompok larutan stok A, B, C, D, E, F, G, vitamin, myo inositol dan stok zat pengatur tumbuh.

Pembuatan media dilakukan dengan cara memipet larutan stok media dasar sebanyak volume yang dibutuhkan dan ditambah zat pengatur tumbuh sesuai perlakuan serta gula 30 g/l , kemudian campuran larutan tersebut ditera dengan menambahkan aquadest menjadi satu liter kedalam labu takar dan diaduk menggunakan magnetic stirrer. Selanjutnya di ukur pH dengan menggunakan pH meter menjadi 5,8. Untuk menaikkan pH dapat ditambahkan dengan KOH atau HCl 0,1 N. kedalam larutan media ditambah 8 gram agar-agar, dimasak sampai mendidih. Media yang telah mendidih dimasukkan ke dalam botol steril sebanyak 15 ml/botol dan ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet. Kemudian disterilkan selama 20 menit dengan autoklaf dengan suhu 121oC dan tekanan 17,5-20 psi. setelah disterilkan media disimpan selama 3-6 hari untuk melihat ada atau tidaknya kontaminasi.

Penyiapan bahan tanaman, media dan sterilisasi bahan tanam. Benih yang dipakai disterilkan dalam larutan 15% (v/v) Clorox dengan bahan aktif NaOCl (0.7%). Sterilisasi dalam larutan Clorox dilakukan selama 10 menit. Benih tersebut dibilas dua kali dengan aquades steril. Selanjutnya benih cabai direndam lagi dengan Clorox 10% selama 15 menit. Kemudian benih dibilas dengan air steril sebanyak dua kali. Benih yang sudah dibilas diberi betadine 20% kemudian benih ditanam pada media MS0 dalam botol kultur. Bahan tanaman yang digunakan adalah eksplan berupa tunas pucuk tanaman cabai yang telah di sterilkan.


(53)

Pengamatan

Pengamatan dilakukan dengan intensitas waktu satu kali setiap minggu. Tolok ukur pengamatan dari perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA) dalam penelitian ini adalah :

1. Jumlah akar

Pengamatan dilakukan dengan menghitung akar primer yang tumbuh dari pangkal eksplan yang telah di kultur.

2. Tinggi eksplan

Pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi eksplan dari pangkal eksplan sampai dengan titik tumbuh.

3. Jumlah daun

Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung semua jumlah daun yang tumbuh pada eksplan.

4. Kalus yang berkembang

Pengamatan dilakukan adalah menghitung persentase kalus yang tumbuh pada eksplan dari setiap perlakuan yang diberikan.

5. Multiplikasi tunas

Pengamatan dilakukan dengan menghitung persentase multiplikasi tunas yang tumbuh pada eksplan dari setiap perlakuan


(54)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbanyakan tanaman cabai secara in vitro dapat dilakukan melalui organogenesis ataupun embriogenesis. Perbanyakan in vitro melalui organogenesis dilakukan dalam media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh dan bahan suplemen lainnya.

Benih cabai

Gambar 1. Pengecambahan benih cabai menjadi eksplan untuk perlakuan Mikroba yang menyerang kultur tanaman saat penelitian adalah cendawan putih, cendawan hitam, dan bakteri. Mikroba tersebut menyerang hanya pada saat sterilisasi bahan tanaman dan tidak menyerang pada saat perlakuan. Kondisi ruangan kultur yang kurang steril dan benih yang kurang steril yang menyebabkan adanya mikroba yang menyerang.


(55)

Cendawan hitam

Bakteri

Gambar 2. Candawan hitam dan bakteri yang menyerang saat pengecambahan benih

Cendawan putih


(56)

13

Pengaruh Kombinasi BAP dan IAA terhadap Induksi Akar

Tolok ukur dari induksi akar merupakan salah satu parameter dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Induksi akar dapat dipengaruhi dengan adanya penambahan zat pengatur tumbuh, khususnya pemberian zat pengatur tumbuh berupa auksin (IAA). Auksin (IAA) ini dapat menginduksi pertumbuhan akar dengan cepat.

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan pengaruh dari pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA) terhadap induksi akar. Pemberian zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap induksi akar. Tabel 1 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan jumlah akar dari awal perlakuan sampai dengan akhir pengamatan.

Pada minggu pertama, perlakuan yang terbaik adalah perlakuan P1, yaitu kombinasi 0 mg/L BAP dan 0.2 mg/L IAA. Pada minggu kedua sampai dengan minggu keempat, perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan P2 dengan kombinasi 0 mg/L BAP dan 0.5 mg/L IAA. Pada minggu keempat sampai dengan minggu terakhir pengamatan (12MSK), perlakuan yang terbaik adalah pada P3 yaitu kombinasi antara 0 mg/L BAP dan 1 mg/L IAA. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi auksin yang tinggi pada perlakuan ini. Secara umum, perlakuan yang terbaik dalam menginduksi akar adalah perlakuan P3 (0 mg/L BAP + 1 mg/L IAA).

Penambahan auksin pada media tanam memberikan pengaruh sangat nyata terhadap induksi akar. Jika diberikan dengan penambahan sitokinin (BAP), maka induksi akar akan tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan karena sitokinin berfungsi sebagai zat pengatur tumbuh yang dapat menginduksi pembelahan sel, mendorong proliferasi tunas dan diferensiasi tunas adventif dari organ tanaman dan sintesa protein (George dan Sherington, 1984). Adanya penambahan sitokinin (BAP) yang semakin tinggi tidak akan meningkatkan induksi akar dan melainkan akan mengakibatkan pembelahan sel yang membentuk kalus pada eksplan cabai tersebut.


(57)

Tabel 1. Rata-rata jumlah akar cabai pada berbagai perlakuan BAP dan IAA

Perlakuan Waktu Pengamatan

1MSK 2MSK 3MSK 4MSK 5MSK 6MSK 7MSK 8MSK 9MSK 10MSK 11MSK 12MSK

P0 1.8 bc 3.1 bc 3.7 b 4.3 c 4.9 c 5.2 d 5.5 def 5.8 def 6 de 6.5 d 7.1 cd 7.7 cd

P1 3.6 a 4.8 a 5.4 a 6.1 ab 6.7 ab 7.4 bc 7.9 bc 8.2 bc 8.5 bc 9.3 bc 9.6 b 9.6 bc

P2 3.5 a 5.1 a 5.9 a 6.9 a 8a 8.2 ab 9.2 b 9.3 b 9.6 b 10.2 b 10.4 b 10.6 b

P3 2.1 bc 4.1 bc 5.8 a 6.7 a 8.3 a 9.6 a 11.8 a 13.5 a 15 a 17 a 18 a 19.5 a

P4 2.1 bc 2.8 bc 3.4 b 3.9 c 4.9 c 5.7 cd 7.2 cd 7.7 bcd 8.1 bcd 9.3 bc 9.8 b 10.3 b

P5 2 bc 2.9 bc 3.5 b 3.6 c 4.4 c 4.6 d 4.8 ef 5.4 ef 6 de 6.7 d 7.1 cd 7.2 d

P6 2.8 ab 4 ab 4.5 ab 4.7 bc 5.1 bc 5.7 cd 6 cde 6.2 cde 6.5 cd 7.8 cd 8.2 bc 8.4 bcd

P7 1.3 cd 1.9 c 2 c 2.1 d 2.2 d 2.7 e 3.6 fg 4 f 4 e 5.6 d 5.7 d 6.1 d

P8 0.2 d 0.2 d 0.2 d 0.7 de 1.3 de 1.6 ef 1.8 gh 1 g 1.9 f 2.2 e 2.5 e 2.8 ef

P9 0.3 d 0.5 d 0.6 d 0.6 de 0.9 de 1 ef 1.1 h 1.1 g 1.1 f 1.2 e 1.3 e 1.4 efg

P10 0 d 0 d 0.1 d 0.8 de 0.8 d 0.9 ef 1.3 h 1.4 g 1.8 f 2 e 2.6 e 3.3 e

P12 0 d 0 d 0 d 0.1 e 0.5 de 0.7 f 0.9 h 0.9 g 1.1 f 1.1 e 1.1 e 1.2 efg

P13 0 d 0 d 0 d 0.1 e 0.4 de 0.5 f 0.5 h 0.5 g 0.6 f 0.8 e 0.8 e 0.8 fg

P14 0 d 0 d 0.1 d 0.1 e 0.3 e 0.3 f 0.5 h 0.5 g 0.5 f 0.6 e 0.8 e 0.6 fg

P15 0 d 0 d 0.1 d 0.1 e 0.2 e 0.3 f 0.4 h 0.4 g 0.4 f 0.4 e 0.4 e 0.4 fg

P16 0 d 0 d 0 d 0 e 0.2 e 0.2 f 0.5 h 0.5 g 0.6 f 0.6 e 0.6 e 0.7 fg

P17 0 d 0.1 d 0.1 d 0.2 e 0.3 e 0.3 f 0.3 h 0.3 g 0.3 f 0.3 e 0.3 e 0.3 fg

P18 0 d 0 d 0.1 d 0.2 e 0.2 e 0.2 f 0.2 h 0.2 g 0.3 f 0.3 e 0.3 e 0.3 fg


(58)

15

Rataan jumla

h

akar

Minggu Setelah Kultur

Gambar 4. Pemberian kombinasi BAP dan IAA terhadap induksi akar. Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa pertumbuhan akar pada setiap perlakuan mengalami peningkatan. Laju jumlah akar pada bulan pertama tidak jauh berbeda antara setiap perlakuannya. Setelah memasuki bulan kedua, peningkatan yang sangat nyata terlihat pada perlakuan P3. Pada perlakuan P3 ini dapat dilihat bahwa pertumbuhan induksi akar yang terjadi sangat signifikan.

Penambahan kombinasi zat pengatur tumbuh BAP dan IAA ini memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap induksi akar. Perlakuan yang terbaik dalam menginduksi akar yaitu dengan perlakuan P3 (0 mg/L BAP dan 1 mg/L IAA).


(59)

Pengaruh Kombinasi BAP dan IAA terhadap Pertumbuhan Tinggi Eksplan

Pertumbuhan tinggi merupakan salah satu tolok ukur dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pertambahan tinggi dapat dipengaruhi dengan adanya penambahan zat pengatur tumbuh, khususnya pemberian zat pengatur tumbuh berupa sitokinin (BAP) yang dapat merangsang pertumbuhan tinggi eksplan cabai dengan cepat.

Tabel 2 menunjukkan pengaruh dari pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA) terhadap tolok ukur pertumbuhan tinggi. Pemberian zat pengatur tumbuh memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertumbuhan tinggi. Dilihat dari tabel 2, terjadi peningkatan tinggi eksplan cabai dari awal perlakuan sampai dengan akhir pengamatan. Pada minggu pertama, perlakuan yang terbaik adalah perlakuan P8, yaitu kombinasi 2 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA. Selanjutnya dapat dilihat, pada minggu kedua hingga minggu ke-11 bahwa perlakuan yang terbaik adalah perlakuan P9 yaitu kombinasi antara 2 mg/L BAP dan 0,2 mg/L IAA. Namun perlakuan P19 (4 mg/L BAP dan 1 mg/L IAA) tidak mengalami pertumbuhan yang cepat, hal ini dapat disebabkan oleh konsentrasi dari BAP dan IAA yang tinggi, sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan tanaman cabai secara in vitro ini. Jika dilihat pada akhir pengamatan terjadi perubahan, perlakuan terbaik pada perlakuan P4.


(60)

17

Tabel 2. Rata-rata tinggi eksplan cabai pada berbagai perlakuan BAP dan IAA Perlakuan 

Waktu Pengamatan 

1MSK  2MSK  3MSK  4MSK  5MSK  6MSK  7MSK  8MSK  9MSK  10MSK  11MSK  12MSK 

P0  0.64 bcd  0.91 ab  0.99 abcd  1.17 abc  1.32 

abcde  1.52 abcd  1.66 abcd  1.79 abcde  1.85 abcd  2.11 abcd  2.23 abcd  2.36 abcd  P1  0.67 bcd  0.84 abc  0.96 abcde  1.04 bcde  1.19 bcdef  1.56 abcd  1.73 abcd  1.78 abcde  1.86 abcd  2.05 abcd  2.18 abcd  2.26 abcd 

P2  0.63 bcd  0.73 abcd  0.8 cdef  0.92 bcde  0.94 cdef  1.1 bcde  1.11 bcd  1.15 cde  1.24 cd  1.35 cd  1.47 cd  1.55 bcd 

P3  0.66 bcd  0.83 abc  1.03 abc  1.22 abc  1.43 abcd  1.57 abcd  1.67 abcd  1.78 abcde  1.85 abcd  2.02 abcd  2.11 abcd  2.22 abcd 

P4  0.61 dc  0.76 abcd  0.86 bcdef  1.01 bcde  1.2 bcdef  1.43 abcde  1.76 abcd  1.92 abc  2.05 abc  2.54 ab  2.86 ab  3.22 a 

P5  0.76 abc  0.91 ab  1.06 abc  1.3 ab  1.58 ab  1.74 ab  1.91 abc  1.95 abc  2 abc  2.24 abcd  2.35 abcd  2.46 abc 

P6  0.73 abcd  0.83 abc  1.14 ab  1.3 ab  1.44 abc  1.65 abc  1.77 abcd  1.82 abcd  1.85 abcd  1.94 abcd  2.03 abcd  2.07 abcd 

P7  0.59 dc  0.71 bcd  0.81 cdef  0.87 cde  1.01 cdef  1.11 bcde  2.01 ab  1.26 bcde  1.31 bcd  1.4 cd  1.52 cd  1.6 bcd 

P8  0.87 a  0.95 a  1.02 abcd  1.12 bcd  1.2 bcdef  1.28 bcde  1.48 abcd  1.56 abcde  1.66 abcd  2.23 abcd  2.32 abcd  2.41 abcd 

P9  0.81 ab  0.96 a  1.19 a  1.53 a  1.79 a  2.05 a  2.26 a  2.33 a  2.37 a  2.89 a  3.05 a  3.12 a 

P10  0.64 bcd  0.69 bcd  0.74 def  0.87 cde  0.98 cdef  1.07 bcde  1.11 bcd  1.22 bcde  1.3 bcd  1.4 cd  1.47 cd  1.51 bcd 

P11  0.73 abcd  0.82 abc  0.96 abcde  1.2 abc  1.57 ab  1.78 ab  1.95 abc  2.09 ab  2.19 ab  2.46 abc  2.57 abc  2.65 ab 

P12  0.74 abcd  0.83 abc  0.95 abcde  1.03 bcde  1.08 bcdef  1.14 bcde  1.3 abcd  1.33 bcde  1.36 bcd  1.45 bcd  1.61 cd  1.66 bcd 

P13  0.62 cd  0.64 cd  0.69 ef  0.72 de  0..81 ef  0.88 de  0.95 cd  1.05 cde  1.17 cd  1.27 d  1.36 d  1.48 bcd 

P14  0.73 abcd  0.79 abcd  0.87 bcdef  1.02 bcde  1.11 bcdef  1.19 bcde  1.22 bcd  1.28 bcde  1.37 bcd  1.48 bcd  1.55 cd  1.63 bcd 

P15  0.67 bcd  0.74 abcd  0.81 cdef  0.88 cde  0.98 cdef  1.1 bcde  1.15 bcd  1.26 bcde  1.34 bcd  1.43 cd  1.48 cd  1.54 bcd 

P16  0.62 cd  0.64 cd  0.65 f  0.72 de  0.77 f  0.86 de  0.93 cd  1 de  1.06 d  1.12 d  1.24 d  1.3 cd 

P17  0.72 abcd  0.84 abc  0.98 abcd  1.1 bcd  1.16 bcdef  1.28 bcde  1.38 abcd  1.4 bcde  1.44 bcd  1.65 bcd  1.75 bcd  1.8 bcd 

P18  0.69 bcd  0.76 abcd  0.79 cdef  0.85 cde  0.9 def  0.97 cde  1.04 bcd  1.08 cde  1.14 cd  1.26 d  1.27 d  1.36 cd 


(61)

Rataan jumla

h

akar

Minggu Setelah Kultur

Gambar 5. Pemberian kombinasi BAP dan IAA terhadap tinggi eksplan Gambar menunjukkan rata-rata tinggi eksplan yang diberi dengan perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh pada beberapa taraf konsentrasi. Dilihat dari laju pertumbuhannya, antara masing-masing perlakuan tidak terdapat petumbuhan yang sangat mencolok. Jika dibandingkan, terdapat satu perlakuan yang terbaik dalam menginduksi pertambahan tinggi yaitu pada perlakuan P9 ( 2 mg/L BAP dan 0,2 mg/L IAA ).

Perlakuan yang terbaik dalam menginduksi pertumbuhan tinggi eksplan cabai secara in vitro ini adalah perlakuan P9 (2 mg/L BAP dan 0,2 mg/L IAA). Kombinasi antara BAP dan IAA pada media perlakuan ini cenderung menginduksi tunas dengan baik dibandingkan media dengan BAP saja, sehingga pertambahan tinggi eksplan pun sangat nyata terlihat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang sudah dilaporkan (Fari dan Czako 1981; Hyde dan Philips 1996) bahwa konsentrasi BAP yang digunakan untuk induksi tunas dan pertambahan tinggi bervariasi antara 2-5 mg/L dan tergantung dari varietas cabai yang digunakan.


(62)

19

Pengaruh Kombinasi BAP dan IAA terhadap Jumlah Daun pada Eksplan

Jumlah daun dapat menandakan pertumbuhan dan perkembangan suatu eksplan yang ditanam. Tabel 3 menjelaskan tentang pengaruh dari pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh (BAP dan IAA) dengan beberapa taraf terhadap perkembangan jumlah daun pada eksplan tanaman cabai ini.

Pada minggu pertama pengamatan, tidak terjadi perubahan pada setiap perlakuan. Pada minggu kedua, terjadi peningkatan rataan jumlah daun. Perlakuan yang terbaik pada minggu kedua ini adalah perlakuan P6 yaitu 1 mg/L BAP dan 0,5 mg/L IAA. Pada minggu ketiga sampai dengan minggu keenam, terjadi perubahan peningkatan jumlah daun. Perlakuan yang terbaik adalah perlakuan P1 (0 mg/L BAP dan 0,2 mg/L IAA). Pada minggu ketujuh sampai dengan akhir pengamatan, peningkatan jumlah daun yang lebih signifikan pada perlakuan P4 (1 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA).

Peningkatan jumlah daun yang cepat pada perlakuan P4 ini dapat dipengaruhi dengan sitokinin yang diberikan pada perlakuan. Adanya sitokinin, dapat menginduksi terbentuknya tunas dengan pertambahan jumlah daun (George dan Sherington, 1984).

Perlakuan yang terbaik untuk perkembangan jumlah daun pada eksplan cabai ini adalah pada perlakuan P4. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan yang sangat nyata dengan kenaikan yang signifikan pada gambar 6. Kombinasi zat pengatur tumbuh antara BAP dan IAA ini, memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan jumlah daun. Peningkatan jumlah daun berpengaruh terhadap fotosintesis yang akan terjadi saat tanaman diaklimatisasi.


(63)

Tabel 3. Rata-rata jumlah daun cabai pada berbagai perlakuan BAP dan IAA

Perlakuan Waktu Pengamatan

1MSK 2MSK 3MSK 4MSK 5MSK 6MSK 7MSK 8MSK 9MSK 10MSK 11MSK 12MSK

P0 2 a 2 a 2.8 ab 4 b 4.1 bcd 4.6 abcd 4.6 bcde 5.4 bcd 5.4 bcde 6.4 bcde 7.9 bcde 8.3 bcd

P1 2 a 2.4 a 3.3 a 5.3 a 5.6 a 5.9 a 6.6 ab 7.1 ab 7.6 b 8.6 bc 9.6 bc 10.5 b

P2 2 a 2 a 2.4 b 3.5 bcd 3.8 bcd 4 bcde 4 cde 4.1 cde 4.1 cde 4.7 de 6.8 cdefg 6.9 cdef

P3 2 a 2 a 2.7 ab 3 bcd 3.4 bcd 4.1 bcde 4.2 cde 4.4 cde 4.8 cde 5.5 cde 6.1 defg 6.4 cdef

P4 2 a 2 a 2.4 b 3.6 bc 4.2 abc 5.6 ab 7.4 a 8.6 a 10 a 11.4 a 12.7 a 14 a

P5 2 a 2.1 a 2.4 b 3.2 bcd 3.7 bcd 4.1 bcde 4.8 bcde 5.4 bcd 6.1 bc 7.2 bcd 8.5 bcd 8.8 bc

P6 2 a 2.4 a 2.8 ab 3.1 bcd 3.4 bcd 3.9 bcde 4.6 bcde 5.6 bcd 5.9 bcd 9.2 ab 10.2 ab 10.7 b

P7 2 a 2.2 a 2.3 b 2.9 bcd 3.2 bcd 3.7 bcde 3.9 cde 4.1 cde 4.6 cde 5.6 cde 6.2 defg 6.4 cdef

P8 2 a 2 a 2.1 b 2.3 d 2.6 d 2.8 e 3 e 3 e 3.1 e 3.5 e 3.9 g 4.3 f

P9 2 a 2.4 a 2.6 ab 2.8 bcd 2.8 cd 3.2 de 3.3 de 3.4 de 3.5 de 3.8 e 4.1 fg 4.6 ef

P10 2 a 2 a 2.1 b 2.4 cd 3.1 bcd 4.1 bcde 6.1 abc 6.3 bc 6.4 bc 6.6 bcde 7.1 cdef 7.5 cde

P11 2 a 2.3 a 2.3 b 2.5 cd 2.8 cd 3.9 bcde 4.4 bcde 4.4 cde 4.5 cde 4.9 de 5.2 efg 6.2 cdef

P12 2 a 2.3 a 2.3 b 2.5 cd 2.7 cd 3.3 de 3.8 de 4.6 cde 4.7 cde 5.7 cde 6 defg 6.5 cdef

P13 2 a 2.1 a 2.2 b 2.4 cd 3 bcd 4.6 abcd 4.8 bcde 5.4 bcd 5.5 bcde 6.3 bcde 6.5 defg 6.6 cdef

P14 2 a 2 a 2.2 b 2.6 cd 4.1 bcd 4.6 abcd 4.9 bcde 5.6 bcd 5.8 bcd 6.3 bcde 7 cdef 7.5 cdee

P15 2 a 2.4 a 2.6 ab 2.8 bcd 3.9 bcd 4.7 abcd 5 bcde 5.8 bc 5.9 bcd 6.1 cde 6.4 defg 6.8 cdef

P16 2 a 2.1 a 2.4 b 2.4 cd 3.8 bcd 4.5 abcde 4.8 bcde 5.4 bcd 5.6 bcd 5.7 cde 5.7 defg 5.9 cdef

P17 2 a 2 a 2.6 ab 2.6 cd 4.5 ab 5.3 abc 5.4 abcd 5.6 bcd 5.7 bcd 5.8 cde 6.1 defg 6.2 cdef

P18 2 a 2.1 a 2.6 ab 2.7 cd 3.6 bcd 4.4 abcde 4.7 bcde 5 bcde 5.3 bcde 5.6 cde 5.5 defg 5.5 def


(64)

21

Rataan jumla

h

akar

Minggu Setelah Kultur


(65)

Pengaruh Kombinasi BAP dan IAA terhadap Pertumbuhan Kalus dan Multiplikasi Tunas

Tabel 4. Persentase kalus dan multiplikasi tunas

Perlakuan 

Frekuensi Eksplan (%)

Berkalus  Multiplikasi  Rata‐rata jumlah  tunas multiplikasi

P0 0  0 0

P1 0  0 0

P2 0  0 0

P3 0  0 0

P4 50  0 0

P5 60  0 0

P6 50  0 0

P7 50  0 0

P8 60  0 0

P9 60  0 0

P10 70  0 0

P11 60  0 0

P12 70  20 2

P13 80  10 3

P14 80  10 2

P15 70  10 4

P16 100  30 5

P17 90  20 3

P18 80  20 4

P19 90  20 3

Pengaruh sitokinin dalam kultur jaringan tanaman antara lain berhubungan dengan proses pembelahan sel, perbesaran sel dan dominansi apikal (George dan Sherington, 1984). BAP berperan dalam mendorong proses pembelahan sel, proliferasi tunas dan penghambatan pertumbuhan akar (Pierik, 1987). Dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan sinergis antara BAP dan IAA dalam mendorong pembelahan dan pembesaran sel yang mengakibatkan terjadinya pengkalusan dan multiplikasi pada eksplan yang di tanam.

Tabel 4 dapat dilihat semakin tinggi kosentrasi BAP yang diberikan, semakin tinggi juga frekuensi eksplan yang berkalus dan semakin tinggi pula yang mengalami multiplikasi. Pada tabel juga dapat dilihat bahwa perlakuan terbaik untuk pengkalusan dan multiplikasi adalah perlakuan P16. Perlakuan P16


(66)

23

(4 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA) sangat nyata dalam menginduksi kalus dan multiplikasi.

Jika dilihat dari rata-rata jumlah tunas multiplikasi, perlakuan P16 memiliki rata-rata jumlah tunas yang lebih banyak. Hal ini juga disebabkan oleh penambahan zat pengatur tumbuh berupa sitokinin (BAP) yang memberikan pengaruh nyata terhadap proliferasi tunas dan diferensiasi tunas adventif. Dapat disimpulkan, dengan kombinasi zat pengatur tumbuh yang sesuai dapat meningkatkan jumlah eksplan yang berkalus dan eksplan yang mengalami multiplikasi yang dapat dilihat pada perlakuan P16.


(67)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kombinasi zat pengatur tumbuh BAP dan IAA berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan cabai secara in vitro. Perlakuan P3 (0 mg/L BAP dan 1 mg/L IAA) menginduksi akar dengan baik. Kombinasi perlakuan P9 (2 mg/L BAP dan 0,2 mg/L IAA) berpengaruh sangat nyata dalam induksi tunas yang menyebabkan tinggi eksplan yang meningkat dengan baik. Perlakuan P4 (1 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA) merupakan perlakuan yang terbaik. Sedangkan dalam pengkalusan dan multiplikasi eksplan, semakin tinggi konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan (khususnya konsentrasi sitokinin yang tinggi), semakin tinggi pula persentase kalus dan multiplikasi yang terjadi. Perlakuan yang terbaik untuk pengkalusan dan multiplikasi adalah perlakuan P16 ( 4 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA). Perlakuan P16 merupakan perlakuan terbaik dalam perbanyakan tanaman untuk selanjutnya karena memiliki persentase multiplikasi tertinggi.

Saran

Pada penelitian selanjutnya lebih disarankan untuk menggunakan bahan tanam yang steril dan larutan zat pengatur tumbuh yang baru agar tidak mengganggu hasil akhir dari pengamatan. Selain itu, untuk perbanyakan tanaman cabai secara in vitro selanjutnya lebih disarankan menggunakan perlakuan P16 karena dapat menginduksi multiplikasi tunas denga persentase yang lebih baik.


(68)

PENG

TER

CABAI

GARUH Z

RHADAP

I KERITI

ZAT PEN

PERTUM

ING (Cap

NGATUR

MBUHAN

psicum an

R TUMBU

N DAN PE

nuum L.)

UH (BAP

ERKEMB

) SECARA

DAN IAA

BANGAN

A IN VIT

A)

N

TRO

Oleh :

VER

RDY SOE

ELAIMAN

N

A24070

0096

DE

EPARTEM

MEN AGR

RONOMII DAN HO

ORTIKU

ULTURA

FAKU

ULTAS PE

ERTANIA

AN

IN

NSTITUT

T PERTA

ANIAN BO

OGOR

2012

2


(1)

(2)

27

Lampiran 1. Komposisi Media Murashige – Skoog Stok Bahan Kosentrasi

Larutan (mg/l)

Pemakaian

ml/l media ppm

A NH4NO3 82.500 20 1.650.000

B KNO3 95.000 20 1.900.000

C KH2PO4 34.000 5 170.000

H3BO3 1.240 5 6.200

KI 0.166 5 0.830

NaMoO42H2o 0.050 5 0.2500

CoCl2.6H2O 0.005 5 0.025

D CaCl2.2H2O 88.000 5 440.000

E MgSO4.7H2O 74.000 5 370.000

MgSO4.4H2O 4.41060 5 22.300

ZnSO4.7H2O 1.720 5 8.600

CuSO4.5H2O 0.005 5 0.025

F Na2EDTA.2H2O 3.730 10 37.300

FeSO4.7H2O 2.780 10 27.800

Myo Myo-Inositol 10.000 10 100.000

Vit Thiamin 0.010 10 0.100

Niacin 0.050 10 0.500

Pyridoxin 0.050 10 0.500

Glicin 0.200 10 2.000


(3)

Lampiran 2. Foto-foto pengamatan dari masing-masing perlakuan cabai

P0 (0 mg/L BAP + 0 mg/L IAA) P1 (0 mg/L BAP + 0,2 mg/L IAA)

P2 (0 mg/L BAP + 0,5 mg/L IAA) P3 (0 mg/L BAP + 1 mg/L IAA)

P4 (1 mg/L BAP + 0 mg/L IAA) P5 (1 mg/L BAP + 0,2 mg/L IAA)

P6 (1 mg/L BAP + 0,5 mg/L IAA) P7 (1 mg/L BAP + 1 mg/L IAA)


(4)

29

P10 (2 mg/L BAP + 0,5 mg/L IAA) P11 (2 mg/L BAP + 1 mg/L IAA)

P12 (3 mg/L BAP + 0 mg/L IAA) P13 (3 mg/L BAP + 0,2 mg/L IAA)

P14 (3 mg/L BAP + 0,5 mg/L IAA) P15 (3 mg/L BAP + 1 mg/L IAA)

P16 (4 mg/L BAP + 0 mg/L IAA) P17 (4 mg/L BAP + 0,2 mg/L IAA)


(5)

RINGKASAN

VERDY SOELAIMAN. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh (BAP dan IAA) terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Cabai Keriting (Capsicum

annuum L.) secara In Vitro (dibimbing oleh ANDRI ERNAWATI).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari penggunaan zat pengatur tumbuh BAP dan IAA pada berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan cabai merah keriting secara in vitro. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2011 sampai bulan Oktober 2011.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas satu faktor tunggal (pemberian zat pengatur tumbuh). Dalam rancangan terdapat 20 kombinasi (5 taraf konsentrasi BAP dan 4 taraf konsentrasi IAA) dengan 10 ulangan dari setiap perlakuan. Satu unit percobaan terdiri atas 1 tanaman. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F, apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5%.

Eksplan cabai yang digunakan berasal dari benih cabai hibrida TM888 yang dikecambahkan terlebih dahulu dalam media MS0. Bagian tanaman cabai yang digunakan adalah bagian tunas pucuk. Peubah untuk mengamati pertumbuhan dan perkembangan tanaman dilihat dari jumlah akar, pertumbuhan tinggi, jumlah daun, multiplikasi tunas, dan perkembangan kalus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh BAP dan IAA berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan cabai secara in vitro. Perlakuan P3 (0 mg/L BAP dan 1 mg/L IAA) dapat menginduksi akar dengan baik. Kombinasi dari perlakuan P9 (2 mg/L BAP dan 0,2 mg/L IAA) berpengaruh sangat nyata dalam induksi tunas yang menyebabkan tinggi eksplan yang meningkat dengan baik. Dilihat dari jumlah daun, perlakuan P4 (1 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA) merupakan perlakuan yang terbaik. Dalam pengkalusan dan multiplikasi eksplan, semakin tinggi konsentrasi zat pengatur


(6)

tumbuh yang diberikan (khususnya konsentrasi BAP yang tinggi), semakin tinggi pula persentase kalus dan multiplikasi yang terjadi. Perlakuan yang terbaik untuk pengkalusan dan multiplikasi adalah perlakuan P16 ( 4 mg/L BAP dan 0 mg/L IAA). Perlakuan P16 merupakan perlakuan terbaik dalam perbanyakan tanaman untuk selanjutnya karena memiliki persentase multiplikasi tertinggi.