Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan Daging Sapi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Impor

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PERMINTAAN DAGING SAPI DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP KEBIJAKAN IMPOR

WASI NURSALAMAH

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-faktor
yang Memengaruhi Permintaan Daging Sapi dan Implikasinya terhadap Kebijakan
Impor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Wasi Nursalamah
NIM H14090054

ABSTRAK
WASI NURSALAMAH. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan
Daging Sapi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Impor. Dibimbing oleh
MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL.
Kisruh impor daging sapi pada November 2012 mengakibatkan naiknya
harga daging sapi di pasaran sehingga perlu adanya penanganan khusus agar harga
daging sapi stabil. Penelitian ini dilakukan untuk menganalis faktor-faktor yang
memengaruhi permintaan daging sapi di Indonesia dan peran substitusi, serta
implikasinya terhadap kebijakan. Penelitian ini menggunakan data sekunder
berupa data deret waktu periode 1982-2011. Analisis dilakukan dengan
pendekatan ekonometrika, pendugaan model menggunakan metode Regresi
Komponen Utama (RKU). Hasil analisis menunjukkan koefisien determinasi (R2)
sebesar 71.7 persen, dan nilai elastisitas dari masing-masing variabel yang diuji
relatif kecil terhadap permintaan daging sapi menunjukkan bahwa konsumsi

daging sapi tidak tergantikan. Permintaan daging sapi terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya walaupun harga daging sapi yang relatif mahal.
Formulasi kebijakan meliputi stabilisasi harga, penambahan persediaan pada saat
hari besar keagamaan, impor dilakukan hanya untuk memenuhi kekurangan
persediaan daging sapi nasional, dan menjamin ketersediaan pangan substitusi
daging sapi seperti ketersediaan daging ayam dan telur, serta meningkatkan
produksi daging sapi dalam jangka panjang.
Kata kunci: konsumsi daging sapi, peran substitusi, implikasi kebijakan

ABSTRACT
WASI NURSALAMAH. Analysis of Factors Affecting Beef Demand and
Implikcation of The Import Policy. Supervised by MANUNTUN PARULIAN
HUTAGAOL.
Chaotic imported beef in November 2012, resulting in a rise in the price of
beef in the market so that the need for special handling so that beef prices. This
research was conducted to analyze the factors that affect the demand for beef in
Indonesia and the role of substitution, and the implications of policy import. This
study uses secondary data the period 1982-2011. Analyses were performed with
the econometric approach, estimation models using Principal Component
Regression (RKU). The results show the coefficient of determination (R2) of 71.7

percent, and the elasticity of each of the variables tested small relative to the
demand for beef show that beef consumption is not replaceable. Beef demand
continues to increase every year even though the price of beef is relatively
expensive. Formulations stabilization policy covering the prices of additional
supplies at the time of the great religious, imports done merely to meet national
shortage of supplies beef and ensure the availability of food -substitutions beef as
the availability of chicken meat and eggs, and increases the production of beef in
the long run.
Keywords: the consumption of beef, the role of -substitutions, policy implications

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PERMINTAAN DAGING SAPI DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP KEBIJAKAN IMPOR

WASI NURSALAMAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada

Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan Daging Sapi
dan Implikasinya terhadap Kebijakan Impor
Nama
: Wasi Nursalamah
NIM
: H14090054

Disetujui oleh

Dr Ir Manuntun Parulian Hutagaol, MS
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah
konsumsi daging sapi, dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi
Permintaan Daging Sapi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Impor.
Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis, D.T Supardjan dan Kapiyah atas segala doa,
dukungan dan kasih sayang yang tak terhingga serta kakak-kakak dan
keponakan atas doa, perhatian dan motivasi kepada penulis.
2. Bapak Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, M.S. selaku dosen pembimbing
skripsi atas segala masukannya yang membangun serta kepercayaan dan
kesabarannya dalam membimbing penulis hingga selesainya penelitian ini.

3. Ibu Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama yang telah banyak
memberikan saran dan kritik demi perbaikan skripsi ini.
4. Ibu Dewi Ulfah Wardani, M.Si. selaku dosen penguji komisi pendidikan yang
memberikan banyak masukan mengenai penyusunan yang baik.
5. Seluruh dosen yang telah memberikan banyak ilmu yang sangat berharga dan
segenap Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi atas bantuannya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013
Wasi Nursalamah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

4


Ruang Lingkup Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA

5

Pola Konsumsi

5

Teori Permintaan

6

Elastisitas

8


Krisis Moneter

9

Swasembada Pangan

10

Kerangka Pemikiran

11

Hipotesis

12

METODE

13


Jenis dan Sumber Data

13

Metode Analisis

13

Model Penelitian

14

Definisi Operasional

14

Prosedur Analisis Data

15


HASIL DAN PEMBAHASAN

17

Gambaran Umum

17

Model Penduga Konsumsi Daging Sapi

20

Pembahasan

27

Implikasi Kebijakan

29

SIMPULAN DAN SARAN

30

Simpulan

30

Saran

31

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

44

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Indikator utama ekonomi Indonesia tahun 1990-1997
Penduga parameter model konsumsi daging sapi
Hasil estimasi menggunakan regresi komponen utama
Kandungan gizi beberapa jenis bahan makanan

10
21
22
27

DAFTAR GAMBAR
1 Konsumsi rata-rata konsumsi per kapita daging sapi, daging ayam ras,
dan telur ayam ras tahun 2007-2011
2 Harga rata-rata per kilogram daging sapi, daging ayam, dan telur tahun
2006-2011
3 Kerangka pemikiran
4 Konsumsi nasional daging sapi di Indonesia tahun 1982-2011
5 Pendapatan Domestik Bruto (PDB) di Indonesia tahun 1982-2011
6 Jumlah penduduk di Indonesia tahun 1982-2011
7 Harga daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam ras di Indonesia
tahun 1982-2011

1
2
12
17
18
19
20

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Terminologi elastisitas
3
Elastisitas harga dan perubahan pembelanjaan konsumen
4
Koefisien korelasi antar peubah variabel
5
Hasil estimasi menggunakan model OLS
6
Tahapan mengatasi masalah multikolinearitas menggunakan RKUError! Bookmark not define
Uji kenormalan
42
Uji Heteroskedastisitas
43

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Salah satu kebutuhan pangan yaitu kebutuhan protein hewani. Protein
hewani dibutuhkan tubuh untuk tumbuh kembang serta nilai gizi yang ada dalam
protein hewani sangat baik dan tidak dapat digantikan oleh sumber pangan lain.
Oleh sebab itu, kebutuhan protein harus terpenuhi dalam konsumsi pangan seharihari.
Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk
adalah tingkat kecukupan gizi, yang lazim disajikan dalam bentuk kalori dan
protein. Angka kecukupan kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menetapkan patokan
kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing 2000
kalori dan 52 gram protein (BPS 2012).
Sumber protein hewani terbagi atas tiga golongan yaitu golongan rendah
lemak, lemak sedang dan lemak tinggi. Daging sapi termasuk dalam golongan
lemak sedang, kandungan gizi yang terkandung dalam dalam daging sapi lemak
sedang untuk setiap 35 gram mengandung 75 Kkal, 7 gram protein, dan 5 gram
lemak (Almatsier 2004).
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan bahwa salah
satu permasalahan penting konsumsi pangan di Indonesia ialah rendahnya
konsumsi pangan protein hewani seperti daging (BPS 2012). Daging sebagai
sumber protein hewani masih dianggap sebagai barang mewah bagi sebagian
masyarakat di Indonesia. Harga sumber protein hewani, khususnya daging relatif
lebih mahal jika dibandingkan dengan harga sumber protein nabati. Sumber
protein hewani meliputi ikan, daging, telur dan susu. Sedangkan sumber protein
hewani meliputi kacang-kacangan dan serealia.

Konsumsi per Kapita (Kg)

8
7
6
5
4

Daging sapi

3

Daging ayam ras

2

Telur ayam ras

1
0
2007

2008

2009

2010

2011

Tahun
Sumber: Data Susenas Badan Pusat Statistik, 2007-2011 (data diolah)

Gambar 1 Konsumsi rata-rata per kapita daging sapi, daging ayam ras, dan telur
ayam ras tahun 2007-2011

2
Terlihat dari Gambar 1, konsumsi rata-rata per kapita setahun daging sapi
hanya sebanyak 0.3 hingga 0.4 kilogram per tahunnya. Kondisi ini jauh dibawah
konsumsi telur ayam ras yang konsumsinya mencapai 6 kilogram per kapita per
tahun. Konsumsi rata-rata per kapita daging ayam masih sekita 3 kilogram per
tahunnya. Hal ini berarti konsumsi per kapita per tahun daging sapi hanya sebesar
satu per delapan konsumsi daging ayam ras dan satu per enam belas konsumsi
telur ayam. Tingkat konsumsi daging sapi per kapita per tahun masih sangat
rendah.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan
pendidikan yang semakin baik di Indonesia, maka permintaan dan kebutuhan
konsumsi atas komoditas daging sapi di Indonesia dari tahun ke tahun
menunjukan trend yang meningkat. Walaupun tingkat konsumsi per kapita masih
lebih rendah dibandingkan dengan tingkat konsumsi daging ayam.
Faktor lain yang menyebabkan tingkat konsumsi daging sapi di Indonesia
masih rendah adalah harga daging sapi yang relatif mahal. Harga daging sapi
pada tahun 2012 rata-rata Rp 76 925 per kilogram, terbilang mahal bagi sebagian
penduduk Indonesia yang berpendapatan rendah. Harga daging ayam sebesar Rp
25 320 pada tahun 2012. Sehingga, tingkat konsumsi daging ayam lebih tinggi
daripada tingkat konsumsi daging sapi.
80000

Rupiah per kilogram

70000
60000
50000
40000

Harga Daging Sapi

30000

Harga Daging Ayam Ras

20000

Harga Telur Ayam Ras

10000
0
2006

2007

2008

2009

2010

2011

Tahun
Sumber: Direktorat Jendral Peternakan (data diolah)

Gambar 2 Harga rata-rata per kilogram daging sapi, ayam ras, dan telur ayam ras
Periode 2006 hingga 2011
Harga daging sapi yang disajikan pada Gambar 2 diatas, memperlihatkan
trend harga yang meningkat dari tahun 2006 hingga tahun 2011. Harga daging
sapi pada tahun 2006 sebesar Rp 45 952 per kilogramnya dan pada tahun 2011
naik menjadi Rp 69 725 per kilogram. Harga daging ayam dan harga telur juga
mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Harga yang relatif mahal itu menyebabkan konsumsi daging sapi terbesar
adalah pada saat hari besar keagaaman seperti Lebaran dan Natal. Pada saat

3
tersebut, konsumsi daging sapi meningkat secara signifikan. Konsumsi daging
sapi pada saat hari besar keagamaan dipengaruhi oleh faktor budaya dan
kebiasaan yang sudah turun temurun setiap tahunnya.
Pola konsumsi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain tingkat pendapatan, gaya
hidup, status sosial keluarga, pengaruh lingkungan, dan pendapatan. Pendapatan
merupakan salah satu faktor terpenting yang menentukan pola konsumsi rumah
tangga. Pendapatan yang semakin tinggi menunjukkan daya beli yang semakin
meningkat, dan semakin meningkat pula aksesbilitas terhadap pangan yang
berkualitas lebih baik.
Perubahan pola konsumsi penduduk merupakan indikator penting dalam
proses pembangunan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut
adalah perubahan pendapatan. Rendahnya pendapatan diikuti dengan menurunnya
daya beli penduduk secara langsung akan berimplikasi pada sektor lain khususnya
sektor produksi, distribusi, dan perdagangan.
Jumlah produksi daging sapi domestik belum mampu memenuhi semua
kebutuhan konsumsi dalam negeri. Perlu adanya impor untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dalam negeri. Impor dilakukan agar terjadi keseimbangan
antara jumlah penawaran dan permintaan daging sapi dalam negeri. Impor yang
dilakukan seharusnya hanya untuk memenuhi kekurangan daging sapi domestik.
Sehinga jumlah impor disesuaikan dengan penawaran dan permintaan daging sapi
domestik.

Perumusan Masalah
Jumlah permintaan dan penawaran daging sapi di pasar terjadi
ketidakseimbangan. Kekurangan supply daging sapi yang terjadi pada Nopember
2012 lalu, menyebabkan harga daging sapi meningkat menjadi Rp 98 000 hingga
Rp 105 000 per kilogram. Tingginya harga sapi menyebabkan daya beli
masyarakat semakin menurun, secara langsung berpengaruh pada tingkat
konsumsinya. Harga yang tinggi ini menyebabkan masalah dilematis yang harus
dihadapi yaitu pertama, membiarkan harga daging sapi tetap tinggi agar peternak
merasakan dampak positif dari tingginya harga daging sapi tersebut. Kedua,
menurunkan harga daging sapi karena tingginya harga daging sapi menyebabkan
rendahnya daya beli masyarakat sehingga konsumsi per kapita daging sapi
Indonesia tetap rendah sekitar 2.1 kilogram per kapita per tahun. Faktor-faktor apa
yang dapat memengaruhi permintaan daging sapi?
Respon masyarakat sebagai konsumen daging sapi berbeda tiap individunya.
Faktor-faktor seperti tingkat pendapatan, selera, dan gaya hidup setiap individu
berbeda, sehingga respon terhadap kenaikan harga juga berbeda. Sebagian beralih
mengonsumsi sumber protein hewani seperti daging ayam, ikan, telur yang
harganya relatif lebih murah. Individu yang berpendapatan tinggi tidak
terpengaruh oleh kenaikan harga karena memiliki daya beli yang kuat. Sehingga
analisis ini perlu mengetahui bagaimana peran substitusi terhadap permintaan
daging sapi di Indonesia?

4
Program swasembada daging sapi (PSDS) yang dicanangkan oleh
pemerintah dengan cara menurunkan jumlah impor daging sapi nasional secara
bertahap. PSDS dilakukan seiring dengan rencana ASEAN Free Trade Area
(AFTA) yang akan dimulai pada tahun 2015. Untuk menguatkan usaha ternak
dalam negeri agar pada saat AFTA tahun 2015 diberlakukan tidak kalah saing
dengan produk ternak dari luar negeri. Rencana program swasembada daging sapi
ini menyebabkan jumlah sapi dan daging sapi yang di impor turun. Impor yang
diperbolehkan sebesar 15 persen dari kebutuhan daging sapi secara nasional atau
sekitar 80 000 ton setara dengan daging. Jumlah itu sebanyak 32 000 ton dalam
bentuk daging, dalam bentuk sapi bakalan sebanyak 26 700 ekor setara dengan 48
000 ton daging (Harian Detik 2013).
Target pemerintah yang ingin mencapai swasembada daging sapi yang
direncanakan akan tercapai pada tahun 2010 ternyata targetnya mundur menjadi
tahun 2014. Mengutip kata-kata dari Profesor Bungaran Saragih yang mengatakan
bahwa “Pemerintah menjerat dirinya sendiri dengan janji yang tidak mungkin dan
tidak perlu swasembada daging sapi 2010”. Daging sapi bukanlah komoditi
strategis seperti beras, gula, kedelai, dan jagung. Program swasembada daging
sapi dinilai kurang tepat, karena program swasembada daging sapi berarti tidak
mengimpor sapi dan daging sapi. Hal itu tidaklah mungkin karena keterbatasan
bibit sapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (Saragih 2010). Kebijakan
yang bagaimana yang cocok diterapkan terkait dengan daging sapi?
Dampak yang terjadi yaitu kelangkaan jumlah supply daging sapi di pasar.
Kelangkaan daging sapi menyebabkan kenaikan harga daging sapi sejak
Nopember 2012 lalu diduga karena adanya kartel pada komoditas daging sapi.
Peranan kartel ini menyebabkan harga daging sapi meningkat hingga Rp 98 000
hingga Rp 105 000 per kilogram. Pelaku kartel importir daging sapi ini
menyebabkan kelangkaan daging sapi di pasar sehingga harganya menjadi mahal.
Kasus kuota impor daging sapi tidak hanya membuat harga daging sapi yang
tinggi di pasar. Kisruh daging sapi yang terjadi menjadi semakin melebar, menjadi
kasus korupsi yang melibatkan petinggi salah satu partai di Indonesia. Selain itu,
modus pencucian uang dengan memberikannya kepada sejumlah wanita.

Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah yang dijelaskan diatas, maka tujuan penelitian
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan daging sapi di
Indonesia
2. Menganalisis peran substitusi permintaan daging sapi di Indonesia
3. Merumuskan implikasi kebijakan terhadap permintaan daging sapi di
Indonesia

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat
konsumsi daging sapi di Indonesia dan implikasinya terhadap kebijakan impor.

5
Data yang digunakan mencakup data konsumsi daging sapi, harga daging sapi,
harga daging ayam, harga telur, pendapatan per kapita, dan jumlah penduduk
Indonesia. Data yang dianalisis berupa data tahunan dari tahn 1982 hingga tahun
2011. Untuk menganalisis besarnya konsumsi daging sapi, maka dianalisis pula
besarnya respon (elastisitas). Kemudian menganalisis implikasi kebijakan yang
terhadap impor daging sapi di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Pola Konsumsi Rumah Tangga
Pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga secara garis besar
terbagi atas pengeluaran konsumsi untuk bahan pangan dan non-pangan.
Pengeluaran konsumsi pangan menurut pencacahan Badan Pusat Statistik (BPS)
terdiri atas padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayur-sayuran,
kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbubumbuan, konsumsi lainnya, konsumsi makanan jadi, serta tembakau dan sirih.
Sedangkan konsumsi non-pangan terdiri atas pengeluaran konsumsi untuk
perumahan dan fasilitas rumah tangga, barang dan jasa, pakaian, alas kaki, tutup
kepala, barang-barang tahan lama, pajak dan asuransi, serta keperluan pesta dan
upacara (BPS 2012).
Besarnya pengeluaran konsumsi dapat dilihat melalui besarnya nilai
Marginal Propensity to Consume (MPC). Semakin besar nilai MPC suatu rumah
tangga berarti semakin besar proposi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi.
Sehingga jumlah pendapatan yang disimpan atau ditabung menjadi lebih sedikit.
Nilai MPC juga menunjukkan tingkat kesejahteraan rumah tangga. Semakin besar
nilai MPC berarti semakin tidak sejahtera, karena dari total pendapatan yang
diterima, sebagaian besar porsi pengeluaran digunakan untuk konsumsi (Lipsey
1995).
Penelitian Priyanto (2003) menyatakan bahwa pola konsumsi penduduk
Indonesia bergeser dari konsumsi sumber protein nabati ke sumber protein hewani.
Pergeseran pola konsumsi ini salah satunya dipengaruhi oleh pendapatan per
kapita penduduk Indonesia yang meningkat. Pendapatan yang meningkat
mengindikasikan meningkatnya daya beli, sehingga pola konsumsi berubah untuk
mengkonsumsi sumber protein hewani, salah satunya dengan mengkonsumsi
daging sapi.
Sedangkan menurut Ilham (2001), pola konsumsi daging sapi di Indonesia
tidak hanya ditentukan oleh faktor harga dan pendapatan. Faktor lain yang secara
kualitatif dapat memengaruhi besarnya konsumsi daging sapi ialah faktor tingkat
pendidikan dan aksesbilitas terhadap fasilitas sosial ekonomi. Dengan asumsi
bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka pengetahuan terhadap nilai
gizi dan kesadaran untuk mengonsumsi sumber protein hewani seperti konsumsi
daging sapi akan meningkat.

6
Teori Permintaan
Hukum permintaan yang dinyatakan dalam cara yang paling sederhana yaitu
“Jika harga tinggi maka jumlah barang yang diminta akan semakin sedikit dengan
asusmsi ceteris paribus, sebaliknya jika harga rendah maka jumlah barang yang
diminta akan semakin banyak dengan asumsi ceteris paribus”. Konsekuensi dari
hukum permintaan yang berlaku ialah (1) kenaikan harga menyebabkan konsumen
mencari barang lain yang digunakan sebagai pengganti (substitusi atau
komplemen), sedangkan kebalikannya, apabila terjadi penurunan harga maka
jumlah permintaan barang tersebut akan meningkat, dan (2) kenaikan harga akan
membuat pendapatan riil seseorang menjadi berkurang, sehingga jumlah barang
yang dapat dibeli akan menurun.
Faktor-faktor yang memengaruhi besarnya permintaan yaitu (1) pendapatan
riil, (2) selera dan preferensi, (3) harga barang yang berkaitan (barang substitusi
dan atau komplemen), (4) perubahan dalam dugaan tentang harga relatif di masa
depan, dan (5) jumlah penduduk (Miller 1993).
Besarnya permintaan terhadap komoditi tertentu juga disebabkan oleh sifat
dari komoditi tersebut. Apabila komoditi tersebut adalah barang normal, maka
dengan meningkatnya pendapatan maka permintaan konsumsi terhadap barang
tersebut akan meningkat. Sedangkan, apabila barang tersebut merupakan barang
inferior, maka dengan meningkatnya pendapatan menyebabkan barang tersebut
cenderung ditinggalkan dan diganti dengan barang lain. Barang giffen merupakan
barang yang efek pendapatannya lebih besar jika dibandingkan dengan efek
substitusinya. Efek totalnya menjadi positif, sehingga peningkatan harga akan
tetap meningkatkan permintaan terhadap barang tersebut.
Secara umum fungsi permintaan dapat dinyatakan sebagai berikut:
...(2.1)
Dimana:
Q
Y

S
U

:
:
:
:
:

Jumlah komoditas yang dikonsumsi
Tingkat pendapatan
Harga komoditas itu sendiri
Harga komoditas substitusi atau komplemen
Selera
Faktor-faktor lainnya

Priyanto (2003) dalam penelitian mengenai evaluasi kebijakan impor daging
sapi dalam rangka proteksi peternakan domestik menyatakan bahwa konsumsi
sumber protein hewani yang semakin meningkat menyebabkan meningkatnya
impor terhadap daging sapi dan sapi bakalan. Kondisi seperti ini diperlukan
langkah proteksi yang bertujuan untuk melindungi peternak rakyat. Hasil dari
penelitian ini ialah peranan impor masih dibutuhkan untuk memenuhi permintaan
daging sapi nasional. Hal ini terkait dengan perkembangan usaha ternak sapi
potong belum mampu memenuhi kebutuhan nasional. Faktor harga daging pun
belum mampu membuat kinerja usaha ternak sapi potong menjadi lebih produktif.
Kebijakan peningkatan tarif impor mampu menekan impor daging sapi, tetapi
tidak berdampak pada usaha pengembangan ternak domestik. Depresiasi rupiah

7
menimbulkan turunnya impor daging sapi tetapi tidak menurunkan impor sapi
bakalan.
Kondisi krisis moneter berdampak terhadap menurunnya perkembangan
usaha feedloter dan berdampak pada pemotongan sapi lokal secara berlebihan.
Dummy krisis moneter digunakan karena krisis moneter akan menurunkan
konsumsi daging sapi nasional. Hal ini terjadi karena menurunnya daya beli
masyarakat akibat depresiasi rupiah yang berdampak pada meningkatnya harga.
Kriris moneter juga berdampak pada meningkatnya proporsi jumlah penduduk
miskin dan mengakibatkan kesenjangan sosial. Terjadinya depresiasi rupiah
menyebabkan harga daging sapi menjadi semakin mahal karena pasokan daging
impor yang berkurang sedangkan permintaan daging sapi cenderung tetap, dengan
asumsi konsumen adalah golongan menengah dan menengah ke atas.
Konsumsi daging nasional dipengaruhi dan responsif terhadap laju
peningkatan populasi penduduk. Produk substitusi yaitu daging ayam bersifat
kompetitif terhadap daging sapi. Faktor pendapatan bersifat negatif terhadap
konsumsi daging sapi, yaitu kenaikan pendapatan per kapita maka akan
menurunkan konsumsi daging sapi. Faktor krisis dan harga daging domestik
berdampak pada penurunan konsumsi daging sapi nasional. Konsumsi daging sapi
nasional dalam penelitian ini menggunakan faktor-faktor harga riil daging sapi
domestik, harga riil daging ayam, pendapatan per kapita, populasi penduduk,
dummy krisis, dan lag konsumsi daging sapi nasional.
Hadiwijoyo (2009) mengenai analisis permintaan dan penawaran daging
sapi di Indonesia menyatakan bahwa permintaan daging sapi dipengaruhi oleh
harga daging domestik, harga ikan, pendapatan per kapita, dan jumlah penduduk.
Dari hasil uji ekonometrika menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS)
didapatkan hasil bahwa harga daging domestik bersifat negatif terhadap
permintaan daging sapi, sesuai teori permintaan bahwa harga barang itu sendiri
bersifat negatif terhadap permintaannya. Apabila terjadi kenaikan harga daging
sapi maka permintaan daging sapi akan mengalami penurunan. Dengan nilai
elasisitas kurang dari satu, maka harga terhadap permintaan daging sapi bersifat
inelastis. Sedangkan variabel lain seperti harga ikan, pendapatan per kapita, dan
jumlah penduduk bertanda positif terhadap permintan daging sapi. nilai elastisitas
harga ikan dan pendapatan per kapita terhadap permintaan daging sapi bersifat
inelastis dengan nilai elastisitas masing-masing 0.195 dan 0.42.
Ilham (2001) menyatakan bahwa permintaan daging sapi dipengaruhi oleh
harga daging sapi harga ikan, dan respon terhadap perubahan harga daging.
Dikatakan bahwa daging sapi masih merupakan barang mewah bagi sebagian
besar masyarakat Indonesia. Keputusan untuk mengonsumsi daging sapi tidak
hanya ditentukan oleh harga dan pendapatan, faktor kualitatif lain seperti tingkat
pendidikan dan aksesbilitas terhadap fasilitas sosial ekonomi juga berpengaruh
terhadap banyaknya permintaan daging sapi di Indonesia.
Pendapat lain dikemukakan oleh ekonom Inggris yang bernama Robert
Giffen yang mengamati suatu fenomena yang terjadi di Irlandia pada abad ke 19.
Giffen mengamati fenomena harga kentang yang meningkat di Irlandia, tetapi
konsumsi kentang di sana meningkat. Padahal sebagaimana teori permintaan yang
dikemukakan oleh berbagai ekonom menyatakan bahwa jika harga barang X
meningkat maka permintaan terhadap barang X akan menurun. Hasil dari
fenomena ini dapat dijelaskan dengan melihat efek pendapatan terhadap perbahan

8
harga kentang. Efek pendapatan lebih besar jika dibandingkan dengan efek
substitusinya. Sekalipun efek substitusi dapat mengurangi konsumsi, tetapi
kenaikan harga kentang akan tetap meningkatkan konsumsi kentang. Efek
pendapatan yang kuat ini membuat keseluruhan dari kenaikan harga kentang
bersifat positif. Hal ini yang dikenal sebagai Paradoks Giffen (Nicholson 1991).

Elastisitas
Elastisitas merupakan besaran yang menunjukkan derajat kepekaan suatu
barang yang diukur dari perubahan suatu variabel yang diakibatkan oleh
perubahan variabel lain. Secara umum elastisitas dinyatakan sebagai berikut:




...(2.2)



1) Elastisitas harga permintaan
Elastisitas harga terhadap permintaan merupakan sebuah konsep yang
menghubungkan perubahan kuantitas pembelian atau permintaan optimal atas
suatu komoditi dengan perubahan harga relatifnya. Koefisien elastisitas harga
permintaan adalah perubahan persentase kuantitas yang diminta atas suatu
barang dibagi dengan perubahan harga atas barang tersebut.


...(2.3)

2) Elastisitas Pendapatan Pemintaan
Elastisitas pendapatan permintaan merupakan konsep terhadap besarnya
perubahan jumlah barang yang diminta terhadap besarnya pendapatan. Secara
umum dinyatakan sebagai berikut:


...(2.4)

3) Elastisitas Harga Silang
Elastisitas harga silang didefinisikan sebagai berikut:


...(2.5)

9
Apabila nilai elastisitas silang lebih besar dari nol (฀
) artinya antara
barang X dan barang Y merupakan barang substitusi. Sedangkan, bila nilai
elastisitas silang kurang dari nol ( ฀
) artinya barang X dan barang Y
merupakan barang komplemen.
Penelitian yang dilakukan oleh Hadiwijoyo (2009) memperlihatkan
besarnya nilai elastisitas harga ikan terhadap permintaan daging sapi domestik
sebesar -0.39. Artinya, bahwa permintaan daging sapi bersifat inelastis terhadap
perubahan harga ikan. Perubahan jumlah yang permintaan daging sapi lebih kecil
jika dibandingkan dengan persentase perubahan harga ikan. Faktor lain yang
diteliti oleh Hadiwijoyo (2009) yaitu pendapatan per kapita dan jumlah penduduk
juga bersifat inelastis, dengan nilai elatisitanya masing-masing sebesar 0.195 dan
0.42.
Pada penelitian Priyanto (2003), nilai elastisitas dari faktor-faktor yang
diteliti terhadap konsumsi daging sapi nasional yaitu harga riil daging sapi 0.5882;
harga riil daging ayam 0.2340; pendapatan per kapita 0.2030; populasi penduduk
0.0431. Nilai elastisitas daring masing-masing variabel bernilai kurang dari satu,
artinya elastisitasnya bersifat inelastis. Maka perubahan jumlah yang diminta
untuk konsumsi daging sapi nasional lebih kecil jika dibandingkan dengan
masing-masing variabel yang diteliti.
Penelitian Ilham (2001) yang membahas mengenai permintaan daging sapi
nilai elastisitas harga daging sapi terhadap permintaan daging sapi sebesar -1.0546
pada jangka pendek dan -1.3851 pada jangka panjang. Nilai elastisitas produk
substitusinya, yaitu harga ikan terhadap permintaan daging sapi sebesar 0.569
pada jangka pendek dan 0.7380 pada jangka panjang.

Krisis Moneter
Sebelum terjadi krisis moneter pada tahun 1998, fundamental ekonomi
Indonesia dinilai cukup kuat. Dinilai dari pertumbuhan ekonomi yang meningkat,
laju inflasi yang terkendali, pengangguran yang menurun, surplus neraca
pembayaran walaupun neraca berjalan defisit tetapi masih terkendali, cadangan
devisa yang cukup banyak, dan realisasi anggaran pemerintah yang menunjukkan
sedikit surplus.
Fundamental ekonomi yang kuat ini ternyata tetap saja ada kelemahannya,
yaitu kelemahan struktural. Kelemahan struktural ini dipengaruhi oleh peraturan
perdagangan domestik yang kaku, adanya monopoli impor sehingga pasar
menjadi tidak efisien dan tidak kompetitif, kurangnya transparansi sistem
keuangan, serta sistem perbankan yang lemah.

10
Tabel 1 Indikator utama ekonomi Indonesia tahun 1990-1997
1990
1991
1992
1993
Pertumbuhan Ekonomi
7.24
6.95
6.46
6.50
(%)
Tingkat Inflasi (%)
9.93
9.93
5.04
10.18
Neraca
pembayaran 2.099 1.207
1.743
741
(US$ juta)
Neraca perdagangan
5.352 4.801
7.022
8.231
Neraca berjalan
-3.24 -4.39
-3.12
-2.30
Neraca modal
4.746 5.829 18.111 17.972
Pemerintah (neto)
633 1.419 12.752 12.753
Swasta (neto)
3.021 2.928
3.582
3.216
PMA (neto)
1.092 1.482
1.777
2.003
Cadangan devisa akhir 8.661 9.868 11.611 12.352
tahun (US$ juta)
Debt-service ratio (%)
30.9
32.0
31.6
33.8
Nilai
tukar
Des 1.901 1.992
2.062
2.110
(Rp/US$)
APBN (Milyar rupiah)
3.203
433
-551
-1.852
Sumber: Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, World Bank

1994
7.54

1995
8.22

1996
7.98

1997
4.65

9.66
806

8.96
1.516

6.63
4.451

11.60
-10.02

7.901
-2.96
4.008
307
1.593
2.108
13.158

6.533
-6.76
10.589
336
5.907
4.346
14.674

5.946
-7.08
10.989
-522
5.317
6.194
19.125

12.964
-2.10
-4.845
2.102
-10.78
1.833
17.427

30.0
2.200

33.7
2.308

33.0
2.383

4.650

1.495

2.807

818

456

Krisis moneter yang berawal dari krisis di Thailand kemudian menyebar ke
beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia. Krisis moneter ini menyebabkan
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dan utang luar
negeri yang jatuh tempo beserta bunga pinjamannya. Nilai rupiah yang
terdepresiasi menyebabkan utang luar negeri Indonesia semakin besar jika
dirupiahkan. Cadangan devisa yang semakin sedikit menyebabkan Indonesia
semakin terpuruk. Pinjaman yang diajukan pemerintah kepada IMF tertunda
pencairan dananya karena Indonesia dinilai tidak melakukan 50 butir kesepakatan
yang diajukan IMF.
Selain kodisi tersebut, krisis moneter 1998 diperparah oleh kondisi dalam
negeri yang tidak kondusif. Dituntutnya Presiden Soeharto untuk mundur dari
jabatannya, serta tuntutan adanya reformasi. Demo besar-besaran terjadi di
beberapa kota di Indonesia untuk menggulingkan era orde baru. Kerusuhan besar
terjadi dimana-mana menuntut adanya perubahan yang lebih baik.

Swasembada Pangan
Swasembada pangan merupakan salah satu program kemandirian pangan
dengan ruang lingkupnya nasional. Sasaran utama dari swasembada pangan ialah
komoditas pangan itu sendiri, seperti swasembada beras, kedelai, gula, dan yang
sekarang dicanangkan yait swasembada daging sapi. Strategi yang digunakan
untuk mewujudkan swasembada pangan yaitu dengan melakukan substitusi impor.
Dari program swasembada pangan ini diharapkan dapat meningkatkan produksi
dan produktifitas pangan serta kecukupan pangan dipenuhi oleh produksi dalam
negeri.

11
Kerangka Pikir Ilmiah
Permintaan daging sapi di Indonesia diproksi dengan besarnya konsumsi
daging sapi di Indonesia. Belum mampunya Indonesia memenuhi kebutuhan
domestik, menyebabkan Indonesia harus mengimpor sapi dan daging sapi. Akan
tetapi, kebijakan pemerintah yang mencanangkan kemandirian pangan dengan
menerapkan Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) menimbulkan masalah.
Konsekuensi dari PSDS ini ialah pemerintah secara kontinu menurunkan jumlah
sapi dan daging sapi impor.
Belum mampunya Indonesia menyediakan kebutuhan domestiknya
mengakibatkan kelangkaan suplai daging sapi di pasar. Kelangkaan suplai daging
sapi ini menyebabkan harga daging sapi yang mahal. Harga yang mahal ini dapat
menurunkan daya beli masyarakat yang relatif berpenghasilan rendah. Selain
karena PSDS, kelangkaan suplai daging sapi diduga karena adanya peranan kartel
dan unsur politis.
Suatu kebijakan dikatakan berhasil apabila tujuan dari diberlakukannya
kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai rencana. Tujuan dari kebijakan PSDS
ialah menyejahterakan peternak lokal dengan proteksi impor yang dilakukan oleh
pemerintah serta mengurangi ketergantungan daging impor. Apabila kebijakan
tersebut dapat menyejahterakan peternak lokal, maka kebijakan tersebut dapat
dikatakan berhasil.
Pemerintah juga tidak boleh melupakan kepentingan masyarakat sebagai
konsumen daging sapi. Jika untuk menyejahterakan peternak lokal membuat harga
daging sapi mahal, diluar kemampuan daya beli konsumen, maka kebijakan
tersebut patut dipertanyakan. Apabila hal tersebut terjadi, maka pemerintah
dikatakan gagal dalam menerapkan kebijakan. Pemerintah harus
menyeimbangkan antara kepentingan peternak lokal dan kebutuhan konsumen.
Daging sapi yang disuplai dapat mencukupi kebutuhan pasar dengan harga
yang terjangkau. Pemerintah juga harus memperhatikan ketersediaan produk
substitusi, karena pada saat daya beli masyarakat menurun terhadap produk
daging sapi maka akan beralih mengonsumsi produk substitusinya. Produk
substitusi yang dianalisis dalam penelitian ini ialah daging ayam dan telur.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya permintaan
daging sapi dan besarnya peranan barang substitusi maka dilakukan analisis
ekonometrika menggunakan regresi linear berganda. Analisis menggunakan
regresi linear berganda ternyata terjadi pelanggaran asumsi multikolinearitas.
Pelanggaran asumsi multikolinearitas mengakibatkan hasil yang tidak valid dan
menghasilkan penduga koefisien regresi yang tidak stabil. Untuk mengatasi
masalah multikolinearitas, maka dalam penelitian ini menggunakan Regresi
Komponen Utama (RKU).
Hasil analisis digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel
yang diteliti terhadap konsumsi daging sapi. Hasil analisis ini menjadi sebuah alat
yang digunakan untuk menentukan formulasi kebijakan terkait dengan permintaan
daging sapi di Indonesia. Skema kerangka pemikiran akan disajikan pada Gambar
3.

12
Kebutuhan untuk
memenuhi
sumber protein
hewani

Siapa
yang
diunt
ungk
an
dari
progr
am
ini?

Permintaan daging sapi nasional

 Harga daging sapi
 Harga barang substitusi
 Jumlah penduduk
 Pendapatan

Suplai daging sapi impor

Suplai daging sapi domestik

Kebijakan swasembada
daging sapi sehingga
menurunkan
kuota
impor daging sapi

Produksi daging sapi
yang masih bertumpu
pada usaha peternakan
rakyat

Terjadi
kelangkaan
suplai daging sapi di
pasar

Data statistik mengenai
jumlah populasi sapi
menjadi kurang akurat

Harga
daging
menjadi mahal

sapi

Terjadi gap antara jumlah
populasi sapi dan sapi yang
siap potong

Perlu adanya kebijakan yang relevan
 Melakukan substitusi ke konsumsi daging ayam dan telur atau tetap
melakukan impor daging sapi untuk memenuhi permintaan domestik
 Sejauh mana peran substitusi sebagai buffer penyuplai kebutuhan protein
hewani
Gambar 3 Kerangka pemikiran

Hipotesis
1.

Pola konsumsi daging sapi diduga dipengaruhi oleh tingkatan pendapatan,
harga daging sapi, harga produk substitusinya, dan jumlah penduduk.

13
2.

3.

4.

5.

GDP per kapita diduga bertanda positif terhadap konsumsi daging sapi,
apabila GDP per kapita naik maka diduga porsi pengeluaran untuk konsumsi
daging sapi akan meningkat.
Jumlah penduduk diduga bertanda positif terhadap konsumsi daging sapi,
semakin banyak jumlah penduduk Indonesia maka diduga akan meningkatkan
konsumsi daging sapi.
Konsumsi daging sapi diduga bertanda negatif terhadap harga daging sapi.
Artinya, apabila terjadi kenaikan harga daging sapi maka konsumsi daging
sapi akan menurun.
Konsumsi daging sapi diduga bertanda positif terhadap harga substitusi
(harga daging ayam ras, harga telur ayam ras). Artinya, apabila terjadi
penurunan harga substitusinya maka konsumsi daging sapi akan mengalami
penurunan.

METODE
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang didapat dari institusi terkait
dengan judul penelitian. Data didapatkan dari Badan Pusat Statistik (BPS), Pusat
Data dan Sistem Informasi Departemen Pertanian (Pusdatin Deptan), dan
Direktorat Jenderal Peternakan (Ditjen Peternakan), serta literatur lain yang
mendukung penelitian ini.
Data yang digunakan berupa data deret waktu (time series) dari tahun 1982
hingga 2011. Data yang dimaksud meliputi data konsumsi daging sapi nasional,
harga daging sapi (HDS), harga daging ayam ras (HDA), harga telur ayam ras
(HT), jumlah populasi penduduk Indonesia (JPI), dan pendapatan perkapita
nasional (PND). Data kemudian diolah menggunakan software Minitab 15 dan
program Microsoft Excel 2010.
Penelitian mengenai “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan
Daging Sapi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Impor” di Indonesia,
dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2013.

Metode Analisis
Metode yang digunakan pada penelitian ini ialah metode regresi linear
berganda atau ordinary least square (OLS). Metode ini dikemukakan oleh Francis
Galton yang mengatakan bahwa analisis regresi diartikan sebagai suatu analisis
tentang ketergantungan suatu variabel terhadap variabel lain (yaitu variabel bebas).
Estimasi atau prediksi dari nilai rata-rata variabel tergantung dengan diketahuinya
nilai variabel bebas (Lains 2003).
Ada beberapa asumsi yang dikemukakan oleh Gauss-Markov yang disebut
Hukum Gauss-Markov. Hukum ini guna memenuhi asumsi terbaik, linear, tidak

14
berbias, dan dapat diestimasi. Atau dikenal dengan best, linear, unbaised,
estimator (BLUE). Penaksir OLS mempunyai sifat:
1.
dan
merupakan penaksir linear; dalam hal ini kedua penaksir
tersebut merupakan fungsi linear dari variabel acak .
dan
2. Kedua penaksir tersebut tidak bias; dalam hal ini,
. Oleh karena itu, dalam penerapan yang dilakukan secara
berulang-ulang, secara rata-rata
dan
akan tepat dan sama dengan
masing-masing nilai
dan .
3.
̂
; dalam hal ini, varians kesalahan dari penaksir OLS tidak bias.
Dalam penerapan yang dilakukan secara berulang-ulang, secara nilai
taksiran dari varians kesalahan akan tepat sama dengan nilai varians yang
sebenarnya.
lebih
4.
merupakan penaksir yang efisien; dalam hal ini,
kecil daripada varians penaksir tak bias linear lainnya untuk
, dan
lebih kecil daripada varians penaksir tak bias linear lainnya untuk
. Oleh karena itu, kita akan mampu menaksir
dan
yang
sebenarnya secara lebih tepat jika kita menggunakan OLS daripada metode
lainnya yang juga memberikan penaksir tak bias linear dari parameter yang
sebenarnya.

Model Penelitian

Keterangan:

HT
GDP
Dummy
krisis

Konsumsi daging sapi nasional (Ton)
Harga rata-rata daging sapi nasional (Rupiah per Kg)
Harga rata-rata daging ayam ras nasional (Rupiah per Kg)
Harga rata-rata telur ayam ras nasional (Rupiah per Kg)
GDP nasional (Rupiah)
Jumlah penduduk Indonesia (Jiwa)
Dummy krisis moneter (0 untuk sebelum tahun 1998; 1
untuk setelah tahun 1998)
parameter yang akan diuji
Error term

Elastisitas harga dan elastisitas pendapatan pada model tersebut adalah
sebagai berikut:

Definisi Operasional
1. Konsumsi daging sapi merupakan banyaknya permintaan daging sapi untuk
konsumsi nasional penduduk Indonesia. Konsumsi yang diproduksi dalam

15

2.
3.

4.

5.

6.

negeri maupun yang berasal dari impor. Satuan konsumsi daging sapi adalah
ton.
Harga daging sapi merupakan harga rata-rata nasional daging sapi. Satuan
harga daging sapi adalah rupiah.
Harga daging ayam merupakan harga rata-rata nasional daging ayam ras atau
broiler. Terpilihnya daging ayam ras karena daging ayam ras yang umum
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Satuan harga daging ayam adalah
rupiah.
Harga telur merupakan harga rata-rata nasional telur ayam ras. Terpilihnya
telur ayam ras karena telur ayam ras merupakan produk yang umum
digunakan oleh penduduk Indonesia untuk dikonsumsi. Satuan harga telur
adalah rupiah.
Pendapatan merupakan pendapatan yang berasal dari produk domestik bruto
(PDB) nasional Indonesia. Karena PDB nasional menggambarkan pendapatan
nasional yang mewakili semua sektor. Satuan dari pendapatan adalah rupiah.
Jumlah penduduk Indonesia merupakan total penduduk Indonesia dari semua
provinsi di Indonesia. Satuan dari jumlah penduduk adalah jiwa.

Prosedur Analisis Data
Pengujian Statistik
Uji Koefisien Determinan ( )
Koefisien determinasi ( ) digunakan untuk mengukur ukuran kesesuaian
(goodness of fit) secara keseluruhan dari suatu model.
menunjukkan besarnya
kecocokan antara garis regresi yang ditaksir terhadap nilai Y yang sebenarnya
(Gujarati 2007).
dihitung untuk menjelaskan berapa persen keragaman Y dapat
dijelaskan oleh model tersebut. Nilai
berkisar dari nol sampai satu ( 0 ≤

1 ). Sehingga garis regresi yang mendekati satu dapat meramalkan Y mendekati
sempurna. Sedangkan jika bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara X dan Y
atau model yang terbentuk tidak tepat untuk meramalkan Y.
Uji F
Uji F digunakan untuk menguji hipotesis koefisien (slope) regresi secara
bersama-sama. Jika model signifikan dapat menjelaskan atau memprediksi
keragaman variabel dependent (Y). Pengujian ini menggunakan hipotesa sebagai
berikut:
H0 : b1=b2=....=bn=0
H1 : minimal ada satu b yang ≠ 0
Apabila dengan asumsi tolak H0 berarti variabel independen memiliki
pengaruh terhadap variabel dependen, begitu juga dengan sebaliknya. Tolak H0
jika Fhit > Fα (k,n-k-1) dengan kata lain paling tidak terdapat satu variabel independen
yang signifikan dan berpengaruh terhadap variabel dependen secara statistik.
Terima H0 jika Fhit < Fα (k,n-k-1) dengan kata lain tidak ada satu pun variabel
independen yang signifikan dan berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
Uji-t

16
Uji-t digunakan untuk mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh
nyata terhadap variabel dependen (Y). Tolak H0 jika | thitung | > ttabel, artinya, secara
statistik sudah dapat membuktikan bahwa variabel X berpengaruh nyata terhadap
Y. Sebaliknya, apabila terima H0 jika | thitung | < ttabel, artinya, secara statistik belum
dapat membuktikan bahwa variabel X berpengaruh nyata terhadap Y.

Uji Ekonometrika
Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat error term terdistribusi normal atau
tidak. Uji normalitas ini dapat dilihat melalui Jarque-Bera Test (J-B) atau melihat
plot sisaan yang pengujiannya pada error term yang harus terdistribusi secara
normal. Kriteria uji yang digunakan adalah:
a. Jika nilai probabilitas pada (J-B) > taraf nyata α, maka error term dalam
model yang digunakan terdistribusi secara normal.
b. Jika nilai probabilitas pada (J-B) < taraf nyata α, maka error term dalam
model yang digunakan tidak terdistribusi secara normal.
Multikoliniearitas
Multikoliniearitas menunjukan adanya hubungan linear yang sempurna
atau pasti diantara beberapa atau semua varibael yang menjelaskan dari model
regresi. Indikasi adanya multikoliniearitas adalah sebagai berikut:
1. Tanda tidak sesuai dengan yang diharapkan.
2. R-squared-nya tinggi tetapi uji individu tidak banyak bahkan tidak ada
yang nyata.
3. Korelasi sederhana antara variabel individu tinggi (rij tinggi).
4. R2 lebih kecil dari rij2 menunjukkan adanya masalah multikoliniearitas.
5. Nilai VIF lebih besar dari sepuluh.
Multikolinearitas dapat diatasi dengan cara: 1) membuang peubah bebas
yang mempunyai multikolinearitas tinggi terhadap peubah bebas lainnya, 2)
menambah data pengamatan, 3) menggunakan regresi komponen utama (RKU).
Autokorelasi
Autokorelasi digunakan untuk melihat korelasi yang terjadi antar observasi
dalam satu variabel. Autokorelasi juga bisa melihat adanya korelasi error masa
yang lalu dan error masa sekarang. Uji autokorelasi yang dilakukan di software
Minitab dapat dilihat dari nilai Durbin Watson (Uji-DW). Uji ini dilakukan untuk
mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi. Uji ini dilakukan dengan
membandingkan nilai DW statistiknya dengan nilai DW tabelnya.
Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi jika asumsi dasar metode OLS berbentuk
(
)
untuk i = j tidak terpenuhi. Dengan dilanggarnya asumsi
homoskedastisitas berarti variabel disturbansi tidak lagi mempunyai varian yang
konstan untuk setiap observasi. Varian tersebut mungkin naik atau turun seiring
dengan berubahnya nilai variabel bebas. Variabel disturbansi dapat pula menjadi
nonrandom jika kita gagal menspesifikasikan model yang benar. Sehingga

17
beberapa variabel independen terabaikan dan tidak masuk ke dalam model (Lains
2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum
Konsumsi
Konsumsi daging sapi di Indonesia sejak tahun 1982 hingga tahun 2011
memiliki trend yang positif. Tingkat konsumsi daging sapi cenderung mengalami
peningkatan setiap tahunnya walaupun berfluktuasi. Pada tahun 1985 terjadi
peningkatan konsumsi yang signifikan dari tahun sebelumnya, konsumsinya
mencapai 243 417 ton. Meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 1984, yaitu
sebesar 127 865 ton.

Konsumsi Nasional (Ton)

400000
350000
300000
250000
200000
150000
100000
50000
0
1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011
Tahun
Sumber: Direktorat Jenderal Perternakan (Ditjen Peternakan)

Gambar 4 Konsumsi nasional daging sapi di Indonesia tahun 1982-2011
Meningkatnya jumlah konsumsi daging sapi di Indonesia selain karena
faktor meningkatnya pendapatan dan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia
tetapi juga faktor gaya hidup dan meningkatnya kesadaran gizi. Seperti yang
dikemukakan sebelumnya, daging memiliki nilai gizi yang baik untuk tubuh yang
tidak didapatkan dari sumber protein nabati.
Menurut Setiabudi et al., ada beberapa hal yang memengaruhi pola
konsumsi produk peternakan, yaitu 1) tingkat perbedaan karakteristik individu
yang meliputi tingkat pendapatan, pengalaman, gaya hidup, dan komunitas
pergaulan, 2) pengaruh eksternal yang meliputi status sosial keluarga didalam
masyarakat, latar belakang budaya dan kebiasaan, 3) pengaruh lingkungan, 4)
komersialisasi dalam bentuk kampanye atau promosi iklan, serta 5) pengaruh

18
image yang melekat pada poduk makanan itu sendiri, yaitu kebersihan, kesehatan,
penampilan, kandungan gizi, harga, kemudahan diperoleh.
Produk Domestik Bruto (PDB)
PDB yang digunakan pada data ini karena PDB nasional merupakan
generalisasi pendapatan nasional. Pendapatan cenderung secara konstan
mengalami peningkatan sehingga memiliki trend yang meningkat setiap tahunnya.
Akan tetapi, PDB mengalami penurunan pada tahun 1998 karena pada tahun
tersebut Indonesia sedang mengalami krisis moneter sehingga memengaruhi
besarnya PDB.
3000000

PDB (Rupiah)

2500000
2000000
1500000
1000000
500000
0

Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2012

Gambar 5 Produk domestik bruto (PDB) Indonesia Tahun 1982-2011
PDB yang cenderung meningkat setiap tahunnya memiliki arti bahwa
meningkatkan daya beli masyarakat terhadap suatu produk, termasuk juga produk
daging sapi. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang,
maka daya belinya akan meningkat untuk membeli daging sapi. Sehingga,
permintaan daging sapi akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan.
Jumlah Penduduk
Indonesia merupakan negara kepulauan yang membentang dari Sabang
sampai Merauke. Indonesia memiliki penduduk yang berjumlah sekitar 250 juta
jiwa. Jumlah penduduk yang sangat banyak ini turut meningkatkan permintaan
daging sapi. Setiap tahunnya jumlah penduduk meningkat, berarti permintaan
daging sapi setiap tahunnya juga ikut meningkat.
Saat ini konsumsi daging sapi per kapita sebanyak 2.1 kilogram per kapita
per tahun maka kebutuhan daging sapi sebanyak 525 000 ton. Dan jika jumlah
penduduk meningkat, maka jumlah permintaan daging sapi juga akan meningkat.
Konsumsi per kapita akan meningkat seiring dengan perubahan pendapatan,

19
kesadaran mengonsumsi daging sapi, selera, dan sebagainya sehingga permintaan
daging sapi juga akan meningkat.

Jumlah Penduduk (jiwa)

300000000
250000000
200000000
150000000
100000000
50000000
0

Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2012

Gambar 6 Jumlah Penduduk di Indonesia Tahun 1982-2011
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 sebanyak 243 juta jiwa
meningkat tajam dari tahun 1982 yang berjumlah 158 juta jiwa. Berarti sejak
tahun 1982 hingga tahun 2011 jumlah penduduk Indonesia bertambah sekitar 85
juta jiwa. Pertambahan penduduk di Indonesia akan meningkatkan tingkat
konsumsi, baik konsumsi makanan maupun bukan makanan. Semakin banyak
jumlah penduduk, maka permintaan untuk konsumsi akan bertambah. Begitu juga
untuk konsumsi daging sapi, setiap tahunnya mengalami peningkatan. Rata-rata
perubahan konsumsi daging sapi 5.48 persen sedangkan rata-rata perubahan
penduduk Indonesia 1.56 persen. Laju pertumbuhan tingkat k