Manfaat Mengkaji Sejarah dalam Bingkai Nasionalisme

ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013 Kawilarang dikenal sebagai panglima yang pernah menempeleng Letkol Soeharto, saat itu Soeharto sebagai bawahannya Kompas, 9112013, hlm.2. Menurut Adam, di Indonesia rata-rata setiap tahun menganugerahkan gelar pahlawan terhadap tiga orang. Pada 1964 diangkat pahlawan selaku tokoh mewakili aliran Nasakom yakni dua jenderal, Alimin dari PKI, dua dari Muhammadiyah, dan dua dari NU kakek dan ayah Gus Dur, dan tiga tokoh perempuan. Ada pula pahlawan karena mewakili wilayah tertentu sehingga tidak dikenal publik seperti Pong Tiku dan Garamata. Bung Karno diangkat sebagai pahlawan pada 1986, 16 tahun setalah wafat. Penunjukan pahlawan terdapat unsur tertentu, misalnya etnis China dengan ditunjuknya John Lie pada 2009. Catatan Adam, belum ada usulan pahlawan nasional dari unsur Polri, ada pula pahlawan yang diusulkan oleh wilayah lain dan diprotes oleh daerah asalnya, seperti Anak Agung Gde Agung yang diusulkan dari Yogyakarta dan setelah diangkat pahlawan diprotes oleh Legiun Veteran cabang Bali, belum ada pahlawan dari etnis Arab meski AR Baswedan telah diusulkan. Bila seniman musik telah diangkat sebagai pahlawan bagi Ismail Marzuki, perlu diusulkan pahlawan dari unsur olahragawan sebagaimana Suratin yang mendirikan PSSI sejak 1930. Usulan pahlawan perempuan yang belum disetujui antara lain Rohana Kudus dan SK Trimurti, meski pahlawan nasional dari perempuan telah ada. Ada pula pahlawan yang suami-isteri seperti Ahmad Dahlan dan Nyi Ahmad Dahlan, Teuku Umar dan Tjut Nyak Dien, Soekarno dan Fatmawati. Ada pula ayah-anak seperti Hasyim Ashari dan Wahid Hasyim. Mengapa Inggit Garnasih tidak diusulkan menjadi pahlawan? Dikhawatirkan nilai poligami muncul 2013:7. Pengusulan dua tokoh menjadi pahlawan yang menuai kritik publik adalah Pak Harto dan Gus Dur. Pak Harto dianggap Bapak Pembangunan tetapi kepemimpinannya meninggalkan persoalan HAM dan Gus Dur mengakhiri jabatan presiden dengan cara dilengserkan paksa.

2. Manfaat Mengkaji Sejarah dalam Bingkai Nasionalisme

Mengkaji data sejarah diharapkan tumbuhnya penghormatan generasi kini terhadap generasi pendahulu yang telah berkiprah dalam kemerdekaan bangsa dan mengisi pembangunan. Buah yang dapat dipetik dalam konteks sejarah berupa: Pertama, meluruskan informasi dengan data faktual bahwa benarkah Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun? Terdapat kejanggalan informasi, pertama, menurut Tauik Abdullah, Belanda memerlukan lebih Moh. Rosyid Pembelajaran Sejarah dalam Menumbuhkan Karakter Kepahlawanan dari 300 tahun untuk menaklukkan beberapa daerah di Hindia Belanda Nusantara. Orang Belanda yang pertama kali memasuki wilayah Nusantara adalah Cornelius De Houtman tahun 1552 yang mendarat di pelabuhan Banten, sedangkan berakhirnya kolonialisme Belanda tahun 1942 ketika Hindia Belanda diduduki tentara Jepang. Data tersebut menandaskan, mungkinkah Belanda langsung berkuasa ketika mereka baru saja datang di Banten Kedua, kekuasaan raja-raja di Nusantara masih kokoh, sebagaimana pada abad ke-17 masa kejayaan Sultan Iskandar Muda 1607-1636 yang wilayah kekuasaannya hingga ke Semenanjung dan Pantai Barat Sumatera. Begitu pula Sultan Agung yang memperluas kekuasaannya ke seluruh Jawa, kecuali Banten dan Batavia. Raja Tallo yang menjabat sebagai Perdana Menteri Kerajaan Gowa dan Sultan Hasanuddin Raja Goa 1653-1669 mampu menghalau iniltrasi Belanda, Spanyol, dan Portugis Republika, 8102012, hlm.27. Begitu pula meluruskan data sejarah di tengah kontroversi penentuan hari jadi pemerintah daerah. Sebagaimana kontroversi hari jadi Kabupaten Purworejo, Jateng pada 5 Oktober 901 M berdasarkan penemuan prasasti tertanggal 5 paro gelap, senin pahing wukurung bulan asuji tahun 823 saka atau 5 Oktober 901 M pada Kayu Ara Hiwang di Boro Wetan, Kec. Banyuurip. Prasasti menyatakan adanya tanah perdikan dan adanya kehidupan masyarakat di sepanjang Sungai Bogowonto pada abad ke-8 M, tetapi tak menyebutkan kata Purworejo. Prasasti disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan inventaris Nomor d 87. Prasasti tersebut adalah penetapan Desa Kayu Arahiwang menjadi tanah perdikan oleh Rakai Wanua Poh Dyah Sala Putra Sang Ratu Bajra, utusan Raja Mataram Kuno. Tulisan tersebut diartikan sejak saat itu sudah ada pemerintahan di Purworejo yang dipersoalkan, di antaranya oleh warga Purworejo, Liyanto Binar. Binar berpandangan bahwa hari jadi Purworejo lebih tepat bersama dengan diangkatnya RAA Tjokronagoro I sebagai Bupati Purworejo pertama pada 30 Juni 1830. Tjokronagoro pulalah yang mencetuskan pertama kali nama Purworejo. Oleh Bupati Purworejo, Mahsun Zain hari jadi tersebut bukanlah harga mati bila ada bukti sejarah yang bisa dijadikan acuan untuk menentukan hari jadi yang lebih akurat Suara Merdeka, 6102012, hlm. 31. Versi lain menyatakan bahwa penentuan hari jadi berdasarkan prasasti Ayam Teas I, Perjanjian Giyanti tertanggal 13 Februari 1755, Kamis Kliwon wulan 13 langkir, 1 Jumadil Awal 1580 Be atau 1168 H merupakan tonggak awal sejarah dan batas teritorial administrasi pemerintahan kekuasaan Bagelen lama yang secara administratif berkaitan ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013 dengan Kerajaan Mataram yang dibagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Alternatif lain, berdasarkan Perang Diponegoro di wilayah PurworejoBagelen berupa pertempuran di sepanjang Sungai Bogowonto, terutama penyerangan pada Pos Belanda di Brengkelan awal Januari 1828 -yang menyebabkan kerugian besar pada pihak Belanda- pada Senin Kliwon 7 Januari 1828, wuku warigalit, 19 Jumadil Akhir 17551243 H. Hari jadi Purworejo telah ditetapkan berdasarkan Perda Nomor 9 Tahun 1994 Suara Merdeka, 7102012, hlm.18. Tak bedanya kontroversi penentuan hari jadi Kabupaten Banjarnegara yang jatuh pada Senin Pon, 22 Agustus 1831 yang diputuskan oleh DPRD pada 1 Juli 1981 yang tuangkan dalam Perda Nomor 3 tahun 1994 tentang Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara. Menurut Purwono, tanggal hari jadi tersebut sangat kental dengan patron klien kolonialisme karena tanggal tersebut tanggal penetapan RT Dipayudha IV oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai bupati berdasarkan surat keputusan besluit yang dikeluarkan di Buitenzorg Bogor pada 22 Agustus 1831. Konteks masa kini, hal tersebut merupakan upaya Belanda menghilangkan pengaruh dari pengikut Pangeran Diponegoro, R. Mangunyudho Sedaloji yang tewas akibat membantu etnis China melawan Kumpeni di Surakarta. Pemerintah Belanda takut bila keturunan Sedaloji dibiarkan berkuasa di Banjarnegara dan berpeluang menjadi pemberontak sehingga disingkirkan. Pada 22 Agustus 1831 merupakan masa dipretelinya kekuasaan Dipayudha IV meski secara de facto terjadi pemindahan pusat kekuasaan dari Banjarwatulembu kini Kecamatan Banjarmangu ke Banjarnegara saat ini Purwono, 2013:7. Kedua, membangkitkan nilai lokal kedaerahan untuk memperkuat nasionalisme bangsa dengan mewujudkan lembaga daerah sebagai mediator dalam penyambung lidah rakyat di daerah pada tataran nasional. Hal ini pasca- Orde Baru, Era Reformasi, muncul lembaga perwakilan daerah yakni Dewan Perwakilan Daerah DPD. DPD merupakan lembaga yang dibentuk imbas perubahan keempat UUD 1945 pada November 2001 yang memiliki anggota sejak hasil Pemilu 2004. Harapan dibentuknya DPD adalah mengakomodasi aspirasi daerah dan dalam proses pengambilan keputusan politik, terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah di tingkat nasional, DPD dapat memberi pertimbangan pada DPR, tetapi tidak adanya kewajiban DPR untuk selalu menggunakan pertimbangan dari DPD. Dengan demikian, ketimpangan dan rasa ketidakadilan yang dapat mengancam persatuan Moh. Rosyid Pembelajaran Sejarah dalam Menumbuhkan Karakter Kepahlawanan nasional dapat dicegah. Realitanya, fungsi DPD belum optimal sehingga DPD berusaha memperkuat kewenangannya dengan mengajukan perubahan kelima UUD 1945. Namun Pasal 37 UUD 1945 menyatakan, perubahan dapat diusulkan oleh sepertiga anggota MPR, jika disetujui 50 persen ditambah satu orang dari anggota MPR. Anggota MPR berjumlah 692 orang, terdiri 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD. Untuk mengajukan usulan perubahan harus didukung 231 anggota MPR. Artinya usulan perubahan itu harus didukung DPR, maknanya untuk mengusulkan perubahan, DPD harus menggandeng DPR dan perubahan kelima jika disetujui, secara otomatis akan mengurangi peran DPR. Sebagaimana pada tahun 2007, DPD pernah gagal untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945 karena hanya didukung 216 anggota MPR, idealnya harus 226 anggota MPR Kompas, 2982012, hlm.2. Kontroversi UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD MD3 bahwa wewenang DPD berdasarkan UUD ’45 Pasal 1 22 D 1 DPD dapat mengajukan RUU yang berkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 22 D 2 DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan perimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Pasal 22 D 3 DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otda; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; hubungan pusat dan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Wewenang DPD di bidang legislasi itu dibatasi UU Nomor 27 Tahun 2009 bahwa DPD hanya dapat mengajukan draf usulan RUU dan kemudian menyampaikan pandangan mini pada pengambilan keputusan tingkat pertama, tetapi tidak ikut menyampaikan daftar isian masalah DIM dan tidak membahasnya. Untuk urusan membahas Rencana Undang-Undang RUU, DPD hanya boleh menyampaikan pendapat, tetapi tidak boleh ikut ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013 membahas. Dengan demikian, DPD pada 14 September 2012 mengajukan gugatan uji materi terhadap UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD MD3 ke Mahkamah Konstitusi MK. DPD menunjuk I Wayan Sudirta, anggota DPD dari daerah pemilihan Bali sebagai Ketua Tim litigasi gugatan uji materi. DPD meminta penjelasan dan tafsir dari MK terhadap kewenangan DPD seperti tercantum dalam Pasal 22 D UUD ’45. Aturan dalam UU MD3 melemahkan kewenangan DPD dan tidak sejalan dengan amanat UUD ’45. Landasan pengajuan, menurut Ketua DPD, Irman Gusman, DPD kesulitan memperjuangkan kepentingan rakyat karena tidak diberi wewenang membahas UU dan wewenang DPD direduksi hanya menjadi setingkat fraksi di DPR. Di sisi lain, keberadaan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang meniadakan peran DPD dalam membuat UU di parlemen. Menurut pakar Tata Negara dari UI, Rely Harun, pada 11 September 2012, semua UU yang berkaitan dengan daerah harus dibuat dan dibahas bersama oleh DPR dan DPD. Bila DPD tidak dilibatkan, produk legislasi yang dihasilkan DPR menjadi inkonstitusional, sebagaimana amanat Pasal 22 D 2 UUD 1945 perihal wewenang DPD untuk membahas sejumlah RUU Media Indonesia, 1492012, hlm.3. Ketiga, meluruskan data sejarah, sebagaimana data hukuman mati yang dialami oleh Kartosuwiryo yang lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 ada yang menyatakan 1907. Berdasarkan perolehan Fadli Zon atas 81 foto yang dibukukan dengan judul Hari Terakhir Kartosoewirjo, 81 Foto Eksekusi Imam DITII yang menggambarkan detik-detik eksekusi mati Soekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, Imam Darul IslamTentara Islam Indonesia DITII pada 12 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta sekaligus lokasi pemakaman. Tanda makamnya berupa pohon yang daunnya berguguran pada musim kemarau dan posisi pohon di dekat makam. Pada 16 Agustus 1962 Pengadilan Militer menjatuhkan vonis mati bagi Kartosoewiryo. Data sejarah selama ini Kartosoewiryo dimakamkan di Pulau Onrust Suara Merdeka, 692012, hlm.1. Menurut Fadli Zon, tujuan ditulisnya buku tersebut untuk meluruskan sejarah dan mengenal sosok sejarah. Merespon buku tersebut, sejarawan UI, Anhar Gonggong menyatakan foto perlu dicek berdasarkan metode sejarah dengan kritik intern dan ekstern Republika, 792012, hlm.1 dan 10. Keempat, menumbuhkan nasionalisme anak bangsa dengan memahami fakta sejarah sebagai bukti penjajahan dan direspon dengan perjuangan Moh. Rosyid Pembelajaran Sejarah dalam Menumbuhkan Karakter Kepahlawanan oleh leluhur. Imbasnya akan memelihara terhadap data, artefak, dan bukti sejarah, bukan sebaliknya yakni merusak bukti sejarah. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh warga Desa Wawama, Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara terhadap situs Perang Dunia II di daerahnya. Pada 15 September 1944, Pulau Morotai yang dikuasai Jepang digempur pasukan sekutu, ribuan pesawat yang diawaki 16.915 pilot AU AS dan Australia menyerang dengan operasi tradewind. Secara berangsur, Morotai dikuasai AS. Komandan pasukan AS wilayah pasiik barat daya, Jenderal Douglas MacArthur menginstruksikan agar Morotai dijadikan pangkalan militer. Pulau seluas 2.314 km yang berada di bibir Samudera Pasiik dinilai strategis untuk menguasai Filipina dan membidik wilayah kekuasaan Jepang. Akan tetapi, dermaga yang dibangun sekutu hanya menyisakan bongkahan batu bekas pelindung dermaga dan tersisa satu dermaga dan lima lainya tertutup ilalang. Sejumlah peralatan perang berupa senjata, bom, panser, kapal laut, hingga pesawat terbang, namun Belanda yang menduduki Morotai saat itu mengangkutnya ke Papua untuk memperkuat pertahanan Papua. Bahkan pada 1980, sebuah BUMN industri baja mengambil benda peninggalan untuk diolah. Masyarakat sekitar sejak 1970 dengan 50 perajin besi mengolah barang antik seperti gelang, kalung, dan pedang samurai untuk dikomersilkan dengan omzet per perajin Rp 10 juta per bulan yang dijual ke Ternate dan Halmahera Utara, Maluku Utara Kompas, 2992012, hlm.1. Kelima, data sejarah diharapkan dapat menegakkan hukum karena penegakan hukum pelaku tindak kriminal pada masa silam memerlukan data sejarah. Sebagaimana kebanggaan terhadap kepahlawanan sang sosok pada masa lalu, bisa berputar haluan menjadi sosok penjahat karena pergantian kepentingan rezim. Sebagaimana kiprah Pangeran Diponegoro dalam melawan Belanda. Perlawanannya dibukukan oleh Peter Brian Ramsay Carey, sejarawan dari Oxford University, Inggris yang membukukan selama 30 tahun dalam bukunya Kuasa Ramalan Pangeran Dipanegara dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 terbitan 2012 terdiri 892 halaman. Titik awal yang menyebabkan Carey terpanggil mendokumentasikan Pangeran Dipanegara karena ia tahu bahwa perang sengit antara kolonial Inggris dengan Keraton Ngayogyokarto. Penjajah Inggris Negara asal Carey merampas kitab dan referensi dari Keraton Yogya untuk ‘diamankan’ di Inggris hingga kini. Dalam sejarah nasional, Perang Dipanegara dikenal Perang Jawa pada 1825-1830 dipicu oleh ketersinggungan Diponegoro ketika Belanda menggusur makam trah Keraton Yogya untuk pembangunan jalan. Penggusuran itu direspon ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013 Dipanegara dan warga dengan semboyan sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi pati sejari kepala, sejengkal tanah, dibela hingga mati. Dipanegara dibuang Belanda ke Makassar hingga wafat di pengasingan pada 5 Januari 1855. Hingga kini makamnya masih membujur di Makassar. Dipanegara nama kecilnya Raden Mas Ontowiryo lahir pada 11 November 1785 merupakan putra Sulung Hamengkubuwono III, Raja Mataram Yogyakarta, dari seorang garwo selir garwo ampeyan, R.A Mangkarawati dari Pacitan. Nasionalisme bangsa asing terhadap Indonesia dibuktikan pula oleh Ernest Douwes Dekker berdarah Belanda, Perancis, Jerman, dan Jawa yang ke manapun lebih senang menyebut dirinya orang Jawa. Dekker lahir di Pasuruan 8101879 tahun yang sama dengan lahirnya R.A Kartini. Pada 20 Mei 1908 Dekker hadir dalam Kongres I Boedi Oetomo bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara membidani lahirnya Indische Partij, parpol pertama Hindia Belanda yang beranggaran dasar pada 25121912. Imbas kiprahnya, Dekker menjadi buronan Belanda. Ia wafat 2881950 dan dimakamkan di Makam Pahlawan Cikutra Bandung. Keenam, artefak budaya yang bersejarah bila didalami makna yang tersirat implisit maupun tersurat eksplisit untuk dirawat dapat menumbuhkan semangat berkreasi generasi kini. Sebagaimana ditemukannya benda cagar budaya berupa candi di Dusun Buloh, Desa Kayen, Kecamatan Kayen, Pati, Jateng yang ditemukan masyarakat di kawasan makam sesepuh desa pada 1976. Laporan ditujukan pada pemerintah daerah oleh warga sekitar kurang direspon, sehingga candi kondisinya memprihatinkan. Candi diduga kawasan permukiman masyarakat Hindu abad ke-9 hingga ke-10 M dan candi dijadikan sebagai tempat pemujaan. Pada akhir 2010, Yayasan Pengelola Makam Ki Gede Miyono, sesepuh warga Kayen, tatkala membangun makam Ki Gede memanfaatkan batu candi untuk pembangunan makam. Keberadaan bangunan induk candi berada di teras musala dapat dirunding untuk langkah penggalian research excavation. Tim penelitian candi pada September 2011 merupakan tahap awal penelitian dan dilanjutkan pada 14 s.d 20 Juli 2012. Ketua Tim Penelitian Candi Kayen, Balai Arkeologi Yogyakarta, TM Rita Istari, temuan kaki candi tersebut menyumbangkan ilmu arsitektur tentang bangunan bata kuno dalam bentuk susunan batu dengan teknik gosod dan takik. Teknik gosod merupakan cara menempelkan bata dengan menggesek- gesekkan dua abtu bata setengah basah. Bata mengeluarkan lumpur bata jika kering bisa merekat. Teknik takik merupakan cara menyambung atau Moh. Rosyid Pembelajaran Sejarah dalam Menumbuhkan Karakter Kepahlawanan memasang dua sisi bata mirip puzzle, di satu sisi ada bagian yang menonjol dan di sisi lain ada bagian untuk memasukkan sisi yang menonjol tersebut. Penemuan candi juga sebagai referensi baru sejarah penyebaran agama Hindu di pesisir utara Jawa. Selama ini penemuan candi di wilayah dataran tinggi karena hinduisme menghormati gunung yang disertai penggunaan istilah kuno seperti toyaning sumber air, batanan kawasan candi bata, momahan pasar. Pada lokasi candi ditemukan arca Siwa Mahakala dari batu putih, kemuncak candi, darpana bingkai cermin dari perunggu, dan hiasan candi anteiks. Batu bata dengan panjang 39 cm, lebar 25 cm, tinggi 10-11 cm dengan struktur semitris, diduga dicetak dengan cetakan kayu Kompas dan Suara Merdeka, 2172012, hlm.12 dan 25. Pendalaman penemuan candi diharapkan dapat dijadikan dasar mengungkap peradaban masa lalu.

3. Memudarnya Nilai Nasionalisme