PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DAN KORUPSI DI DUNIA PENDIDIKAN | Rosyid | ELEMENTARY 1297 4511 1 SM

(1)

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DAN

KORUPSI DI DUNIA PENDIDIKAN

Moh. Rosyid

Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus

Abstract: Awareness of the government in tackling corruption with a variety of efforts starts from the publication of legislation, the establishment of institutions that extra anti rasuwah irm and perpetrators of corruption, but the data corruption remains vibrant. Even it still leaves the problem that corruption still increases so it needs more earlier effort education, not only the legal extra-irm aspects. This raises concerns over corrupt behavior covered not only the politicians and law enforcement, but also penetrated in academia. This is a reality that must be pursued in real terms. Anti-corruption education should be realized that comes from a combination of curriculum initiated by education experts as well the idea of law enforcement that comes from real experience. The combination of both is expected to bring the concept of anti-corruption education right. The importance of anti-anti-corruption education is an investment and understanding of the learners that corruption is not just a crime but anti-human action. The education should be early on the value of age in education and escorted bench with a family environment and an ideal educational environment that has been the creation of life in accordance with the sacred teachings of every religion and culture are valuable.

Key words: law enforcement, education, and corruption

A. Latar Belakang Penulisan

Freedom House yakni organisasi nonpemerintah/nirlaba terkemuka di Amerika yang meriset dan mengadvokasi di bidang

demokrasi, kemerdekaan politik, dan HAM. Dalam laporan Countries

at the Crossroads 2012 yang dirilis di Washington DC, AS 17 September 2012 hasil riset di 35 negara periode 1 Januari s.d 31 Desember 2011 yang dipandang penting dan strategis di seluruh dunia. Lima negara anggota


(2)

Asean, yakni Indonesia, Malaysia, Myanmar, Kamboja, Vietnam, dan untuk ketiga kalinya bagi Indonesia. Indonesia disorot khusus karena telah terjadi penurunan kebebasan pers dengan peningkatan insiden serangan terhadap para wartawan, kepemimpinan media mengerucut pada kelompok tertentu yang jumlahnya semakin sedikit. Indonesia juga dinilai tidak sungguh-sungguh memberantas korupsi dan menyedot sumber daya alam secara serampangan, dan adanya oligarkhi ekonomi yang memanipulasi kebijakan pemerintah. Skor Indonesia pada penegakan hukum dari 3,17 pada 2010 menjadi 2,60 tahun 2012. Skor kebebasan sipil merosot dari 3,64 menjadi 3,09, skor pada tindak antikorupsi dan transparansi melorot dari 2,96 menjadi 2,80. Skor akuntabilitas dan suara publik naik dari 3,54 menjadi 4,22 berada di bawah angka 5 yakni standar minimal pemerintahan demokrasi yang dianggap efektif (Kompas, 19 September 2012, hlm.1). Berdasarkan Indeks Persepsi

Korupsi (IPK), menurut survey Transparency International, skor IPK

Indonesia adalah 3, beranjak dari 0,2 dari sekor tahun lalu (membaik). Indonesia menempati peringkat ke-100 (menyamai Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome and Prince, Suriname, dan Tanzania) dari 183 negara. Skor tersebut masih di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand (Kompas, 2 Desember 2011, hlm.4). Pada Era Reformasi, semangatnya diwujudkan dengan perlawanan terhadap korupsi sebagaimana produk reformasi 1998 adalah Tap MPR Nomor XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU Pengadilan Tipikor, UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dsb.

Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga

pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra-ordinary).

Mata rantai pemberantasannya dilakukan dengan tindakan preventif melalui pengenalan dan pemahaman agar masyarakat memahami apa itu korupsi, imbasnya menjadi warga negara yang taat hukum karena memahami dampak yang diderita bagi pelaku korup dan korban yang dikorup. Pemahaman ini perlu ditanamkan sedari berada di bangku


(3)

pendidikan wajib belajar agar menjadi warga terdidik yang berkarakter akhlakul karimah dan cerdas. Berdasarkan Konvensi PBB, hanya ada tiga isu kejahatan yang termasuk dalam indikator terorganisasi dan membutuhkan badan khusus yakni korupsi, narkoba, dan terorisme. Artikel ini membahas tentang peran pendidikan dalam mengantisipasi terjadinya tindak korupsi.

Akan tetapi, agenda pemberantasan korupsi pasca-tumbangnya rezim Orde Baru, menurut Syawawi, korupsi tetap saja bergeming. Di tingkat global, penilaian atas upaya pemberantasan korupsi selalu

menempati urutan sebagai negara korup. Hasil survey Corruption

Perception Index (CPI) pada 1998, Indonesia menempati urutan ke-80 dari 85 negara yang disurvei dengan skor 2,0. Pada 2008, penilaian CPI atas kerja pemberantasan korupsi di Indonesia hanya bergeser sedikit menjadi 2,6 dan menempati posisi ke-126 dari 180 negara yang disurvei. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2010 menempati urutan ke-110 dari 178 negara dengan nilai 28. Pada 2011 menduduki peringkat ke-100 dari 182 negara dengan nilai 30. Pada 2012 turun menjadi ke-118 dari 176 dengan nilai 32. Indeks perilaku antikorupsi Indonesia meningkat dari 3,55 pada 2012 menjadi 3,63 pada 2013, tetapi hasil survei BPS (Badan Pusat Statistik), masih banyak masyarakat yang permisif (cuek) terhadap perilaku korupsi. Pada 2013, posisi Indonesia menurut CPI dengan skor 32 (0-100; 0: sangat korup, 100: sangat rendah) atau naik menjadi ke-114 dari 177 negara dengan nilai masih 32. Dengan demikian, dalam jangka waktu 15 tahun, Indonesia masih dipersepsikan sebagai negara yang tidak serius dalam memberantas korupsi. Problem korupsi di Indonesia mayoritas berasal dari sektor politik, misalnya DPR dan kepala daerah. Rekomendasi CPI, untuk memberantas korupsi di Indonesia yang harus di-reform adalah parlemen dan parpol (2013:6).

Berdasarkan Perpres Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, BPS mendapat tugas melakukan survei perilaku antikorupsi terhadap 10 ribu rumah tangga di 49 kota dan 121 kabupaten di 33 provinsi pada 1-15 November 2013. Hasil survey, 24 persen responden permisif terhadap perilaku korupsi, 76 persen responden menyatakan kurang wajar atau tidak wajar jika seorang istri tidak mempertanyakan asal-usul uang pemberian suami di luar


(4)

Upaya Indonesia dalam mendorong transparansi dan pemberantasan

korupsi menjadi panutan sejumlah Negara di Asia Pasiik. Indonesia

dianggap berhasil dalam upaya pemberantasan korupsi degan membuat

UU serta lembaga yang menangani korupsi. Indonesia telah meratiikasi

Konvensi PBB melawan korupsi (United Nations Convention Against Corruptionn/UNCAC). Oleh karena itu, dalam sidang tahunan Forum

Parlemen Asia Pasiik (APPF) di Puerto Vallarta, Meksiko, Senin 13

Januari 2014, Parlemen Indonesia diminta memaparkan langkah dan upaya yang sudah dilakukan dalam memberantas korupsi. Terdapat enam pilar strategi nasional pemberantasan korupsi (1) pembentukan dan penguatan sistem pencegahan; peningkatan penegakan hukum; pelaksanaan reformasi hukum di tingkat nasional dan internasional; pengembalian aset yang dilarikan ke luar negeri; penguatan kerja sama di tingkat daerah, nasional, dan internasional, dan pengembangan

mekanisme pelaporan tingkat daerah (Kompas, 15 Januari 2014, hlm.3).

B. Landasan Teori 1. Deinisi Korupsi

Deinisi korupsi tertuang dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang

diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 (1) setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 3 setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 21 setiap orang yang sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. Penanganan terhadap pelaku tindak korupsi dilakukan dengan berbagai cara karena korupsi selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, juga pelanggaran terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Sewajarnya bila


(5)

tindak pidana korupsi digolongkan kejahatan yang penanganannya secara luar biasa.

Dengan demikian, lembaga pendidikan sudah sepatutnya memberikan wadah pencerahan bagi pendidik dan peserta didik agar memahami dan mendalami apa yang disebut korupsi. Harapannya, peserta didik tidak menjadi korup dan ikut menegakkan hukum.

2. Konsep Pendidikan

Dasar pelaksanaan pendidikan nasional di antaranya dalam UU Nomor 20 Tahun 2003. UU ini disahkan oleh Pemerintah RI semasa Presiden Megawati Soekarno Putri pada 8 Juli 2003. Pasal 1 (1) pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa dan negara. Deinisi tersebut menandaskan bahwa unsur

yang dikembangkan bagi peserta didik di antaranya adalah kekuatan spiritual keagamaan, dengan harapan tujuan pendidikan tergapai yakni untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3). Korupsi merupakan karakter yang tak berakhlak mulia dan tidak bertanggung jawab.

3. Peta Data Koruptor Penegak Hukum

Korupsi dilakukan oleh ragam elemen sosial, bahkan oleh penegak hukum, sebagaimana penangkapan tangan oleh KPK dilakukan terhadap hakim, jaksa, polisi, dan pengacara. Hakim yang diamankan antara lain (1) Ibrahim, hakim PTUN DKI Jakarta yang menerima suap Rp 300 juta dari Adner Sirait, pengacara PT Sabar Ganda. Pada 19 Juli 2010 dituntut hukuman 12 tahun. Pada Maret 2011 divonis kasasi oleh MA 3 tahun, (2) Syarifuddin Umar, hakim kepailitan PN Jakarta Pusat ditangkap KPK beserta ratusan ribu mata uang asing dan uang Rp 392 juta. Pada 12 Desember 2011 dituntut 20 tahun dan divonis 4 tahun pada 28 Februari 2012, (3) Imas Dianasari, hakim


(6)

ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial PN Bandung ditangkap KPK beserta uang Rp 200 juta. Pada 21 Desember 2011 dituntut 13 tahun dan divonis 6,5 tahun pada 30 Januari 2012, (4) Heru Krisbandono, hakim Pengadilan Tipikor Pontianak, ditangkap KPK beserta uang Rp 150 juta. Pada 14/2/2013 dituntut 10 tahun dan divonis 6 tahun pada 18 Maret 2013, (5) Kartini Marpaung, hakim Pengadilan Tipikor Semarang ditangkap KPK beserta uang Rp 150 juta. Pada 14 Maret 2013 dituntut 15 tahun dan divonis 8 tahun pada 18 April 2013, (6) Setyabudi Tejocahyono Wakil Ketua PN Bandung ditangkap KPK di Bandung beserta uang Rp 150 juta. Pada 25 November 2013 dituntut 16 tahun.

Jaksa yang ditangkap tangan KPK (1) Cirus Sinaga, mantan asisten pidana khusus Kejati Jateng yang memeras dan merintangi

penyidikan kasus maia hukum yang melibatkan Gayus Tambunan.

Pada 29 September 2011 dituntut 6 tahun dan divonis 5 tahun pada 25 Oktober 2011, (2) Dwi Seno Wijanarko, jaksa di Kejati Kota Tangerang menerima uang hasil pemerasan dari seorang pegawai BUMN. Pada 22 Oktober 2011 dituntut 2 tahun dan divonis 1,5 tahun pada 20 September 2011, (3) Sistoyo, Kepala Subbag Pembinaan Kejaksaan Negeri Cibinong menerima uang suap terkait penipuan yang disidangkan di PN Cibinong. Pada 15 Juni 2012 dituntut 6,5 tahun dan divonis 6 tahun pada 20 Juni 2012, (4) Subri Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah, NTB ditangkap KPK karena menerima uang suap terkait perkara pengurusan pemalsuan dokumen. Pada 15 Desember 2013 ditetapkan sebagai tersangka.

Polisi yang korup (1) Komjen (Pol) Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri korupsi penanganan perkara PT Salmah Arwana Lestari dan dana pengamanan Pilkada Jabar 2008. Pada 14 Februari 2011 dituntut 7 tahun dan divonis 3,5 tahun pada 24 Maret 2011, (2) Irjen (Pol) Djoko Susilo mantan Kakorlantas, suap proyek pengadaan simulator kemudi motor dan mobil pada 2011. Dituntut 18 tahun pada 20 Agustus 2013 dan divonis 10 tahun pada 20 Juni 2012, Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukuman menjadi 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar dan uang pengganti senilai Rp 32 miliar subsider 5 tahun penjara, (3) Brigjen (Pol) Didik Purnomo mantan Waka Korlantas Polri disuap proyek pengadaan simulator kemudi motor


(7)

dan mobil pada 2011. Tersangka pada 27/5/2012. Pengacara yang korup (1) Adner Sirait, pengacara PT Sabar Ganda dalam perkara banding sengketa tanah seluas 9,9 ha di Cengkareng, Jakbar dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta; penyuapan terhadap hakim PT TUN DKI. Pada 5/10/2010 dituntut 5 tahun dan divonis 4,5 tahun pada 25 Oktober 2010, (2) Mario Cornelio Bernardo pengacara yang membantu kasus hukum PT Grand Wahana Indonesia, suap kepada pegawai MA Djodi Supratman untuk memenangkan kasus penipuan pengurusan izin pertambangan di Kab. Kampar, Riau, dituntut 5 tahun pada 25/11/2013, (3) Susi Tur Andayani pengacara pembela Amir Hamzah dan H Kasmin yang kalah pada Pilkada Kab. Lebak, Banten,

sebagai tersangka pada 28 November 2013 (Kompas, 16/12/2013,

hlm.1). Mantan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI yang membidangi energi dari FPDI-P, Emir Moeis divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan oleh hakim Tipikor Jakarta pada Senin 14 April 2014. Terpidana terbukti menerima hadiah 357.000 dollar AS dari Alstom Power Inc AS dan Murbeni Inc Jepang terkait

proyek PLTU Tarahan, Lampung tahun 2004 (Kompas, 15/4/2014).

5. Data Koruptor Kepala Daerah

Gubernur yang terjerat kasus korupsi antara lain,

No Nama/Asal Gubernur Kasus Korupsi Vonis 1.

2.

3.

4.

Agusrin M Najamuddin/ Bengkulu

Awang Faroek Ishak/ Kaltim

Ismeth Abdullah/ Kepulauan Riau

Syamsul Ariin/Sumut

Dana bagi hasil PBB 2006 Rp 20,16 M

Divestasi saham PT Kaltim Prima Coal di SP3 28/5/2013

Proyek mobil pemadam kebakaran Rp 5,463 M

APBD Kab.Langkat 2000-2007 Rp 31 M

4 th oleh MA pada 1/1/2012

-2 th oleh Tipikor Jkt 23/8/2010 4 th Tipikor 24/11/2011


(8)

5.

6.

Rusli Zainal/Riau

Ratu Atut Chosiyah

Suap pembahasan Perda pembangunan arena PON dan penyalahgunaan wewenang izin usaha hasil hutan

Suap penanganan Pilkada Lebak,

Banten dan korup alat kesehatan di Banten

Ditahan KPK 14/6/2013

Ditahan KPK 20/12/2013

(Kompas, 21/12/2013, hlm.1).

Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah menetapkan Bupati Karanganyar Hj. Rina Iriani Sri Ratnaningsih, M.Hum berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print 37/0.3/Fd.1/11/2013 tanggal 13 November sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana subsidi Perumahan Griya Lawu Asri tahun 2007-2008 sebesar Rp 11,13 miliar dari Kementerian Perumahan Rakyat. Kemenpera mengucurkan bantuan sebesar Rp 35 miliar untuk pembangunan dan perbaikan rumah sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Desa Jeruksawit, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar. Dana tersebut tak semua tersalurkan, diduga untuk kepentingan pribadi sang bupati. Peran Rina adalah

merekomendasikan tanpa melalui veriikasi, kerugian Negara sebesar

Rp 18.409.769.656 (Suara Merdeka, 15/11/2013, hlm.1).

Tabel Koruptor Bupati/Walkot dan Wabup se-Jateng

No Jabatan Jenis Korupsi dan Kerugian Negara

Vonis

1.

2.

3.

Indra Kusuma, Bupati Brebes

Bambang Bintoro, Bupati Batang

Agus Riyanto, Bupati Tegal

Pengadaan tanah

pembangunan pasar Brebes, Rp 5 M APBD 2003

Pembagian dana purnatugas DPRD 1999-2004, Rp 796 juta APBD 2004

Jalan lingar Slawi, Rp 3,9 M

2 th penjara

1,5 th penjara


(9)

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Djaka Srijanta, Bupati Boyolali Endang Setyaningdyah, Bupati Demak Hendy Boedoro, Bupati Kendal Marsaid, Bupati Purworejo Kelik Sumrahardi, Bupati Purworejo Bambang Guritno, Bupati Kab.Semarang Sukawi Sutarip, Walkot Semarang Slamet Riyanto, Walkot Solo Bambang Riyanto, Bupati Sukoharjo Totok Ary Prabowo, Bupati Temanggung Trimawan Nugrohadi, Bupati Wonosobo Hindarsono, Rembang

Pengadaan buku paket APBD 2003/2004, Rp 8,7 M Penyelewengan APBD 2006 Rp 1,6 M , pemotongan dana Bandes 2006

Penyalahgunaan DAU, DTT, DPD BPD Kendal Rp 47 M APBD 2003

Pembobolan APBD 2004 Rp 5,5 M, pengadaan buku perpus APBD 2004 Rp 4,6 M

Korupsi APBD 2006 Rp 2,5 M

Fee rekanan buku SD/MI 2004 Rp 620 jt

Korup dana komunikasi APBD 2004 Rp 5 M

ABT 2003 Rp 6,9 M, pengadaan buku ajar 2003 Rp 3,7 M

Pengembalian 40 sepeda motor DPRD 99-2004 Rp 470 juta

Dana bantuan Pemilu 2004 Rp 6,5 M, dana pendidikan putra DPRD Rp 1,8 M Mobil damkar 2003 Rp 786,5 jt pengadaan buku 2004/2005 Rp 7,3 M APBD 2005 Rp 6,8 M

Tersangka

Dibebaskan PN Demak, sedang kasasi MA Vonis MA 7 th penjara

PN Purworejo memvonis 4 th penjara utk kasus APBD

PN Purworejo memvonis 1 th

Vonis 2 th, buron Dihentikan Kejati Jateng, kurang bukti.

1 th 3 bln penjara (ABT), pengadaan buku belum disidang Belum disidang di Pengadilan Tipikor

Vonis MA 4 th utk dana Pemilu, dana pendidikan belum divonis, buron

Vonis 1 th untuk Damkar

Vonis 4 th penjara


(10)

16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.

M. Zakir, Walkot Tegal Untung Wiyono, Bupati Sragen Probo Yulastoro, Bupati Cilacap Tasiman, Bupati Pati Fahriyanto, Walkot Magelang

Sri Sadoyo Harjo Migoeno, Wabup Karanganyar

Kotot Kusmanto, Wabup Pati

Ganti rugi Tanah Polsek Tegal Selatan 97/98, proyek Dasawisma 98/99, PDK dan Ketenagakerjaan 97/98 Rp 73,3 juta

Penyalahgunaan APBD 2003-2010 Rp 42,5 M Korup APBD 2004-2008 Rp 21,8 M dan Sistem Informasi Pemerintah Desa (SIPD) Rp 6,8 M

APBD 2003 pos biaya LPJ 2002 dan bantuan pihak ketiga Rp 1,9 M

Pembangunan stadion Madya Rp 11 M, buku paket 2003 Rp 2 M, DTT Rp 470 jt, alat berat 2006 dan asuransi jiwa APBD 2002-2004

APBD 2001-2002 Rp 2,9 M

APBD 2003 biaya LPj 2002 dan bantuan pihak ketiga Rp 1,9 M

Vonis 2 th penjara

Pidana Penjara 7 th oleh MA Vonis 9 th penjara kasus APBD, SIPD belum disidang Vonis 1,5 th penjara Vonis 1 th 6 bl (buku ajar), Kasus DTT dilimpahkan ke Tipikor PN Karanganyar memvonis bebas, Kasasi divonis 6 th

Vonis 14 bl penjara

Suara Merdeka, 11/11/2013, hlm.10.

Disusul Bupati Rembang, M.Salim dijadikan tersangka korupsi APBD Kabupaten Rembang oleh Polda Jateng. Salim didakwa tim jaksa penuntut umum menyalahgunakan APBD Rembang melalui pendirian perusahaan daerah sehingga mengakibatkan kerugian keuangan Negara mencapai Rp 4,19 miliar. Pada November 2006 terdakwa meminta pinjaman APBD Rembang 2007 sebesar Rp 25


(11)

miliar melalui alokasi dana tak terduga yang belum disahkan dicairkan di Bank BTN untuk pendirian PT Rembang Bangkit Sejahtera Jaya (RBSJ) dalam bentuk usaha SPBU dan perkebunan. Namun dana untuk RSBJ mengalir ke CV Karya Mina Putra dan PT Amir Hajar Kilisi (AHK) selaku perusahaan milik keluarga Salim. Dana itu untuk membeli tanah seluas 47.421 m seharga Rp 1,4 miliar, tetapi dana yang dikeluarkan RSBJ mencapai Rp 2,2 miliar. Tim jaksa menilai telah terjadi kesepakatan seolah-olah RSBJ membeli tanah dari PT AHK. Lalu, AHK membangun SPBU senilai Rp 3,7 miliar dan

mengoperasikan SPBU dengan dana RSBJ (Kompas, 19/2/2014).

Pada sidang perdananya di Pengadilan Tipikor Semarang Selasa 18/2/2014 Salim didakwa memaksakan pencairan dana dari pos dana tak terduga APBD Rembang yang dilakukan pada November 2006. Pencairan menyalahi Permendagri Nomor 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 48 (2) penggunaan dana tak terduga adalah untuk kepentingan tak terduga seperti bencana alam, bencana sosial, dan pengembalian kelebihan penerimaan daerah tahun sebelumnya. Akan tetapi, penyertaan modal itu untuk penyertaan modal ke perusahaan PT RSBJ. Pencairan dana sempat tersendat karena perbedaan pendapat. Saat itu Salim mengatakan bahwa ‘Saya ini Bupati, saya pemilik modal. Jadi saya bisa mengatur. Sudah cairkan saja’ (Suara Merdeka, 19/2/2014).

Begitu pula mantan Bupati Demak (2001-2006) Endang Setyaningdyah pada 28 September 2006 diperiksa penyidik Polda Jateng, 6 Oktober 2006 sebagai tersangka dugaan korupsi dana tak tersangka APBD 2003-2004 dan pemotongan dana bantuan desa se-Kab. Demak dari APBD 2006 kerugian Negara Rp 2.148 miliar. Pada 15 November 2007 Polda Jateng menyerahkan tersangka ke Kejari Demak. Pada 28 April 2008 berkas tersangka dilimpahkan ke pengadilan. Pada 26 Juni 2009 tersangka divonis tak bersalah oleh PN Demak dengan Ketua Majelis Hakim Supomo dan anggotanya Sumedi dan Retnoningsih. Kuasa hukumnya Dani Sriyanto, Helly Sulistynato, dan Lukman Hakim. Jaksa penuntutnya Pattikawa, Suci Utami, dan Muhlisin. Pada 2009 Jaksa mengajukan kasasi ke MA, Februari 2009 MA memvonis Endang 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Pada 24 April 2013 Endang mengajukan PK ke


(12)

MA dan 16 Februari 2014 Endang ditangkap di rumahnya di Jalan S.Parman No.10 Semarang sebagai buron dan disel di LP Perempuan

Semarang (Suara Merdeka, 17/2/2014). KPK menetapkan Wali Kota

Tegal periode 2008-2013 Ikmal Jaya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait tukar guling (ruilslag) tanah Pemkot Tegal dengan CV Tri Daya Pratama tahun anggaran 2012. Ikmal diduga membiarkan atas pengalihan tanah yang telah ditetapkan untuk pembangunan

kepentingan umum sehingga Negara dirugikan Rp 8 miliar (Suara

Merdeka, 15/4/2014). Mantan Bupati Karanganyar Jawa Tengah, Rina Iriani Sri Ratnaningsih dieksekusi ke LP Kelas II A Wanita Semarang pada Selasa, 18 November 2014 diduga korupsi dana subsidi Kementerian Negara Perumahan Rakyat (Kemenpera) untuk

proyek Griya Lawu Asri Karanganyar tahun 2007 dan 2008 (Suara

Merdeka, 19 November 2014). Majelis kasasi MA yang diketuai Artidjo Alkostar akhir Maret 2014 memidanakan mantan Sekda Tapanuli Selatan Rahudman 5 tahun penjara, pidana tambahan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 480.495.500 subsider 1 tahun kurungan. Putusan didasarkan atas kasasi jaksa atas pembebasan Rahudman dari dakwaan korupsi dan tunjangan penghasilan aparatur pemerintah desa (TPAPD) Kabupaten Tapanuli

Selatan tahun anggaran 2005 senilai Rp 2,07 miliar (Kompas,

16/4/2014). Keterangan: DAU : Dana Alokasi Umum, DTT: Dana Tak Tersangka, DPD:Dana Pinjaman Daerah, ABT:Anggaran Biaya Tambahan, Damkar: Pemadam kebakaran, PDK: Penanggulangan Dampak Kekeringan

6. Koruptor Akademisi

Realitas yang kita temui, koruptor tidak hanya merambah penegak hukum dan politisi, tetapi merambah para intelektual yang menjabat di birokrasi kampus. KPK memanggil 16 Rektor PTN yang proyek pengadaan sarana dan prasarananya terkait dengan kasus korupsi dengan tersangka Angelina Sondakh. Anggaran pengadaan tersebut dengan total nilai Rp 600 miliar. Perguruan tinggi tersebut adalah USU, Unibraw, Unud, Universitas Jambi, ITS, Unsoed, Universitas Tadulako, dan Universitas Papua masing-masing Rp 30 miliar, Uncen Rp 20 miliar, Universitas Pattimura Rp 35 miliar, Universitas Haluoleo, IPB, dan UNS masing-masing Rp 40 miliar,


(13)

UNJ Rp 45 miliar, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Rp 50 miliar,

dan Unsri Rp 75 miliar (Kompas, 20 Juni 2012, hlm.5). Hasil

pemanggilan belum diperoleh datanya oleh penulis. Mantan Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Edy Yuwono, mantan Pembantu Rektor IV Budi Rustomo, mantan Kepala UPT Percetakan Winarto Hadi diduga melakukan tindak pidana korupsi Rp 2,15 miliar atas kerja sama antara Unsoed sebagai Badan Layanan Umum (BLU) dengan PT Aneka Tambang (Antam)Tbk. Pada 2011 Unsoed sebagai BLU menerima dana CSR sebesar Rp 5,856 miliar untuk pemberdayaan masyarakat dengan mengembangkan pertanian, peternakan, dan perikanan terpadu di kawasan bekas tambang di Desa Mugangsari Kecamatan Grabag Purworejo. Berdasarkan investigasi BPKP Jateng, fasilitas yang tak ada berupa gudang pakan, sumur untuk peternakan itik, kandang bibit sapi, bak air, biosida, kamar mandi umum, dan kolam ikan. Fasilitas tersebut dananya mengalir pada ketiga terdakwa, termasuk pada Asisten Senior Manager Posmining PT Antam, Suatmadj. Ada kesepakatan bila dana cair maka Suatmadji

akan mendapat komisi 10 persen (Suara Merdeka, 28/11/2013,

hlm.12). Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Kamis 3/4/2014 memvonis 2 tahun dan 6 bulan penjara mantan Rektor Unsoed. Edy Yuwono terbukti tindak korupsi proyek kerja sama penggunaan dana CSR PT Aneka Tambang Rp 5,8 miliar yang merugikan Negara Rp 2,154 miliar. Edy juga dihukum mengembalikan uang senilai Rp 133.702.100 dan membayar denda Rp 50 juta atau subside 2 bulan penjara. Vonis tersebut terdakwa melakukan banding. Mantan Pemantu Rektor IV Budi Rustomo dan mantan kepala Unit Pelaksana Teknis Percetakan Unsoed Winarto Hadi. Budi membayar uang pengganti Rp 81.300.000, Winarto Rp

135.212.000 subsider 3 bulan penjara (Kompas, 4/4/2014).

Mantan Wakil Rektor UI bidang SDM, Keuangan, dan Administrasi Tafsir Nurchamid ditahan KPK di Rutan KPK yang berada di Pomdan Jaya setelah pemeriksaan pada Kamis 13/3/2014. Penahanan karena menjadi tersangka sejak 13/6/2013 dengan dugaan korupsi pengadaan instalasi teknologi informasi di Perpustakaan Pusat UI (Tribun Jateng, 15/3/2014). Dosen Fakultas Teknik Undip yang juga konsultan pengawas proyek CV Temadea, Joko Siswanto Senin


(14)

malam 17 November 2014 ditahan Kejati Jateng di LP Kedungpane Semarang. Sebelumnya, Joko menjalani sidang perdananya Senin 17 November 2014 atas kasus dugaan korupsi pengadaan sarana prasarana indoor Gelanggang Olahraga (GOR) Kridanggo, Salatiga. Dugaannya, dana yang digunakan untuk pengawasan sebesar Rp 49,7 juta tapi yang dibayarkan hanya Rp 4,4 juta untuk PPN, sisanya sebesar Rp 45 juta diduga digunakan untuk pribadi. Kerugian Negara

dalam kasus ini Rp 583,9 juta (Suara Merdeka, 18 November 2014).

Data di atas menegaskan bahwa korupsi sudah tidak mengenal batas

profesi, persoalannya, penegak hukum yang kekeh menindaknya

dicoba dilemahkan, bagaimana kelanjutannya?

C. Pembahasan

1. Penelikungan terhadap KPK

Beragam upaya menenggelamkan peran KPK dalam pemberantasan korupsi. Pertama, pemerintah menyerahkan RUU Tipikor pada DPR yang substansinya tidak mengakui eksistensi KPK dan Pengadilan Tipikor. Kewenangan KPK dibatasi hanya penuntutan seperti kewenangan yang dimiliki lembaga antirasuh saat ini. Sejumlah anggota DPR menyetujui revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang

KPK karena KPK dianggap sebagai lembaga ad hoc (sementara). Pada

8 Oktober 2012 Presiden SBY menyatakan bahwa revisi UU KPK kurang tepat. Pada 17 Oktober 2012 Baleg DPR sepakat menghentikan pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 dan Ahmad Yani dari Fraksi PPP menilai revisi dilakukan setelah KUHP direvisi. Kedua, revisi Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP) hasil analisis Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dan Reformasi Hukum (Institute for Criminal Justice Reform/ICJR, YLBHI, LBH Jakarta, Arus Pelangi, Transparency International Indonesia, dan ICW) menengarai revisi melemahkan KPK. Ada 12 skenario pelemahan yang terkandung dalam revisi (1) penghapusan ketentuan penyelidikan, (2) KUHAP berlaku bagi tindak pidana yang diatur di luar KUHP,(3) penghentian penuntutan suatu perkara, (4) KPK tidak memiliki kewenangan perpanjangan penahanan pada tahap penyidikan, (5) masa penahanan tersangka lebih singkat, (6) hakim dapat menangguhkan penahanan


(15)

yang dilakukan penyidik, (7) penyitaan harus seizin hakim, (8) penyadapan harus seizin hakim, (9) penyadapan (dalam keadaan mendesak) dapat dibatalkan hakim, (10) putusan bebas tak dapat dikasasi pada MA, (11) putusan MA tak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi, dan (12) ketentuan pembuktian terbalik tak diatur. Dengan demikian, RUU KUHAP terkesan meniadakan KPK dan pengadilan tipikor. Hal ini dapat dilihat tidak adanya penyebutan lembaga lain di luar kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan (negeri, tinggi, dan MA) (Suara Merdeka, 5/2/2014, hlm.2).

KPK meminta pemerintah dan DPR menunda pembahasan revisi Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bila revisi dilanjutkan dan tuntas, KPK bisa bubar karena sifat kejahatan luar biasa berupa tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, dan pelanggaran HAM tereliminasi sehingga lembaga seperti KPK, PPATK, dan BNN tak relevan lagi atau bisa dikatakan lembaga bubar bila kejahatan luar biasa itu dipaksakan masuk ke buku II KUHP. KPK mengusulkan agar delik korupsi dan delik kejahatan luar biasa lainnya diatur dalam UU tersendiri agar

lex specialis kelihatan. KPK memberikan catatan keberatan dalam RUU KUHP melalui surat yang disampaikan pada presiden dan DPR

pada Rabu, 29/2/2014 (Suara Merdeka, 20/2/2014). Lima catatan

KPK berupa sifat kejahatan luar biasa pada korupsi bisa tereliminasi,

tak ada tempat aktivitas penyelidikan, suap dan gratiikasi tak lagi

menjadi delik korupsi, penyitaan harus izin hakim pendahuluan,

dan waktu penahanan dipersingkat (Kompas, 20/2/2014). KPK

memenuhi undangan Kemenkum HAM pada Rabu, 5 Maret 2014 bahwa KPK menyetujui pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP dengan sejumlah persyaratan di tengah kurangnya waktu efektif pembahasan kedua RUU di DPR sehingga sulit membahas seluruh pasal. DPR periode 2009-2014 akan reses 6 Maret s.d 10 Mei 2014. Dengan demikian, agar mendahulukan pembahasan revisi KUHP yang berisi hukum materiil dibanding KUHAP yang berisi hukum

formil. KPK mengharap dilibatkan pembahasan kedua RUU (Suara

Merdeka, 6/3/2014).

Menurut Transparency International Indonesia (TII) pun meminta pada presiden menunda pembahasan revisi RUU KUHP


(16)

dan KUHAP dengan empat alasan (1) masa kerja DPR periode 2009-2014 hanya sekitar 145 hari kerja lagi, di sisi lain jumlah pasal dan daftar isian masalah yang dibahas 1.169 hal, materi yang dibahas kompleks melibatkan banyak pemangku kepentingan dan berdampak luas pada struktur hukum dan HAM, (2) untuk kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dan HAM, (3) partisipasi dan pelibatan masyarakat tak optimal dalam pembahasan, (4) beberapa UU yang

di produk dengan buru-buru selalu meninggalkan masalah (Suara

Merdeka, 25 Februari 2014). Meskipun demikian, Ketua DPR (Marzuki Ali) menyatakan tetap meneruskan pembahasan revisi bersama pemerintah karena UU yang lama merupakan produk warisan kolonial Belanda selama 68 tahun yang tak mampu membuat sistem hukum Indonesia. Belanda sendiri sudah meninggalkan sistem hukum sejak dulu. Indonesia harus memiliki sistem hukum yang sesuai dengan kondisi bangsa dan Negara, sebagai penyempurnaan atas kelemahan yang ada dalam UU KUHP dan KUHAP yang berlaku saat ini. Keberatan yang diajukan KPK akan menjadi pertimbangan, sehingga pasal-pasal yang dinilai akan melemahkan lembaga antirasuah bisa

diperbaiki bersama (Suara Merdeka, 24/2/2014). Menkumham

Amir Syamsuddin di Jakarta pada Senin 24/2/2014 menyatakan, pemerintah menjamin tak akan melemahkan KPK dalam pembahasan RUU KUHP. Revisi tetap dilanjutkan karena sudah menjadi bagian pembangunan hukum nasional ke depan. RUU KUHP dan KUHAP

merupakan ketentuan hukum umum (lex generalis) sehingga tak

menghilangkan kewenangan KPK untuk menyelidiki, menyidik, dan menuntut sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan ketentuan hukum

khusus (lex specialis). RU KUHP memberi keleluasaan pada produk

UU di luar KUHP mengatur hukum acaranya masing-masing. Dengan demikian, KPK dapat menyadap tanpa izin pengadilan, sesuai Pasal

39 (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 (Kompas, 25 Februari 2014).

2. Peta Pelaku Korupsi

Presiden SBY dalam pidatonya sebagai inspektur upacara pada Hari Bhayangkara ke-66 pada 1 Juli 2012 di Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok mengingatkan, Polri dituntut lebih peka dan responsif dalam menghadapi dinamika yang berkembang di


(17)

masyarakat. Polri juga dituntut lebih tegas dalam menegakkan hukum dan menindak kelompok anarkis yang memaksakan kehendaknya

dengan jalan kekerasan (Kompas, 2 Juli 2012, hlm.1). Polri juga

dituntut mencegah dan memberantas semua bentuk KKN (Suara

Merdeka, 2 Juli 2012, hlm.2). Meskipun demikian, pemberantasan korupsi sebagai amanah reformasi tidak menunjukkan hasil yang memuaskan karena korupsi hampir merata di semua lembaga negara. Mengapa ini terjadi? Menurut Piliang gerakan pemberantasan korupsi bertujuan memutus relasi sosial korupsi dan jejaring korupsi serta menghapus mental korupsi pada setiap komponen bangsa di setiap lembaga. Realitanya aparat sebagai subyek yang bersih, jujur, terpercaya, dan amanah justru menjadi reproduksi relasi korupsi (Piliang, 2012:6).

Korupsi dianggap sebagai penyakit sosial yang harus dilawan secara bersama-sama. Kejelekan korupsi disimbolkan oleh publik dengan sosok tikus, yang menggerogoti modal pembangunan dan membahayakan bangsa. Negara kita telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai wujud pelaksanaan amanat UU Nomor 31 Tahun 1999. Pembentukan KPK sejak 29 Desember 2003 dijadikan ’algojo’ untuk menerkam koruptor kelas kakap. KPK sepanjang tahun 2013 berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp 1,19 triliun, Rp 1,17 triliun berasal dari pengembalian kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi antara lain berupa uang

pengganti dan rampasan. Sisanya dari pendapatan gratiikasi yang

ditetapkan KPK menjadi milik Negara. Pada 2013, KPK menangani 70 perkara tindak pidana korupsi, 10 kali operasi tangkap tangan (OTT), meski tahun 2008 ada 4 OTT, 2009 ada 2 OTT, 2010 hanya 1 OTT. KPK juga tidak lagi mengembangkan pengusutan kasus perkara impor kereta rel listrik dari Jepang dan suap pencairan dana percepatan

pembangunan infrastruktur daerah di Kemenakertrans (Kompas,

31/12/2013, hlm.4). Data Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang tren pemberantasan korupsi selama 2010-2013 menunjukkan peningkatan dalam hal jumlah kasus yang ditangani dan aktor yang dijadikan tersangka. Data ICW bersumber dari pemberitaan media massa, situs aparat penegak hukum, permintaan informasi ke aparat penegak hukum, dan laporan masyarakat. Pada semester I 2010 jumlah


(18)

kasus 176, kerugian Negara Rp 2,1 triliun, jumlah tersangka 441 orang. Semester II 2010 jumlah kasus 272, kerugian Negara Rp 1,2 triliun, jumlah tersangka 726 orang. Pada 2011 jumlah kasus 436, kerugian Negara Rp 2,1 triliun, jumlah tersangka 1053 orang. Pada 2012 jumlah kasus 401, kerugian Negara Rp 10,4 triliun, jumlah tersangka 877 orang. Pada 2013 semester I jumlah kasus 293, kerugian Negara Rp 5,7 triliun, jumlah tersangka 677 orang. Semester II jumlah kasus 267, kerugian Negara Rp 1,6 triliun, jumlah tersangka 599 orang. Dalam 3 tahun terakhir berdasarkan riset ICW, pemberantasan korupsi masih belum bergeser dari sektor infrastruktur, keuangan daerah, dan pendidikan dengan sidang pengadaan jasa dan barang (Kompas, 3 Februari 2014, hlm.3).

KPK pun telah menggandeng Kemendikbud dengan membentuk modul pendidikan antikorupsi dari SD hingga PT sebagai wujud pemberantasan terhadap korupsi yang direncanakan realisasinya pada tahun ajaran 2013/2014 dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Perguruan Tinggi (PT). Begitu pula pencegahan terhadap (calon) koruptor dengan dicanangkannya laporan harta kekayaan pejabat serta wajib melaporkan bagi PNS dan semua pengiriman uang berapa pun dari dan ke luar negeri pada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mulai Januari 2014. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, terutama Pasal 23 ayat 1 huruf C. PPATK selama Januari 2003-November 2013 menyerahkan 3.224 laporan, 2.415 hasil analisis kepada penyidik (Polri, Kejaksaan Agung, KPK, BNN, dan Dirjen Pajak) yang berisi petunjuk adanya transaksi keuangan mencurigakan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan 809 disimpan dalam database PPATK karena analisis yang tidak atau belum adanya indikasi mencurigakan atau tindak pidana tertentu dan untuk analisis berikutnya terhadap keterkaitan dengan data yang akan atau sedang dianalisis. Tidak ditemukannya indikasi mencurigakan karena

underlying transaction atau tujuan dilakukannya transaksi sudah

jelas, transaksi tidak signiikan, dan kasus sudah inkrah (berkekuatan

hukum tetap) (Suara Merdeka, 4 Januari 2014, hlm.2). Kemendikbud


(19)

bentuk ’kantin kejujuran’ di beberapa sekolah agar anak didik tidak menjadi koruptor.

3. Peran Pendidikan dalam Penanggulangan Korupsi Dini

Ruh pendidikan yang dapat dijadikan penangkal korupsi di antaranya adalah pendidikan karakter. Terdapat tiga fungsi pendidikan karakter/nilai (1) seleksi terhadap nilai yang terdapat

dalam ilsafat dengan menempatkan ahli pendidikan karakter untuk menata kerangka berpikir ilosois untuk mengartikulasikan nilai

unggul, (2) seleksi terhadap nilai dalam ilmu pengetahuan dengan menempatkan ahli pendidikan nilai untuk selalu cermat dalam menelaah perkembangan ilmu pengetahuan dan implikasinya terhadap ilmu pengetahuan, dan (3) seleksi terhadap nilai dalam teori pendidikan dengan menempatkan ahli dan praktisi pendidikan nilai untuk cermat dan memilih teori pendidikan yang sesuai kebutuhan penyadaran nilai dan pribadi yang berjati diri.

Esensi pendidikan karakter adalah mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional tersebut secara luas, sedangkan secara sempit di antaranya adalah membentuk individu menjadi baik dan cerdas (good and smart). Baik dari aspek perilaku, sedangkan cerdas dari aspek kemampuan berpikir. Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan bentuk individu yang baik dari aspek perilaku, didukung kualitas aspek berpikir. Pendidikan karakter pada dasarnya mengimplementasikan 18 nilai yang mengacu pada religiusitas, kejujuran, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Berbekal pendidikan karakter itulah,


(20)

harapan mewujudkan nasionalisme akan terwujud dengan baik. Munculnya pendidikan karakter karena pendidikan masih terfokus pada kecerdasan akademik, diukur dengan nilai dan kelulusan yang bersifat numerik. Meskipun tingginya nilai/angka hasil tes/ujian bukan jaminan peserta didik piawai menjadi ilmuwan sejati yakni memegang etika dan menjadi ilmuwan, bahkan terpenuhinya lahan pekerjaan karena kualitas diri.

4. Dukungan Penindakan Korupsi

Gerakan masif pemberantasan korupsi melalui pendekatan represif dengan sasaran utama sebagai strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi (Stranas PPK) berdasarkan Perpres Nomor 55 Tahun 2012. Tujuan Stranas PPK adalah menurunkan tingkat korupsi dan mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan terbebas dari korupsi dengan indikator keberhasilan berupa peningkatan indeks persepsi korupsi (IPK). Indeks ini merupakan agregat dari penggabungan beberapa indeks yang dihasilkan beberapa lembaga. Indeks itu mengukur tingkat persepsi korupsi sektor publik, yakni korupsi yang dilakukan pejabat negara dan politisi.

Penilaian Political and Economic Research Consultant (PERC)

tahun 2009 IPK Indonesia 8,32, pada 2010 menjadi 9,07, pada 2011 menjadi 9,27, dan tahun 2012 sebesar 9,27. Transparency International (TI) menilai, IPK Indonesia pada 2009 dan 2010 sebesar 2,9 dan tahun 2011 sebesar 3, pada 2012 dan 2013 menjadi 3,2. Skor IPK Indonesia versi TI menempati 70 persen Negara di dunia atau 63

persen Negara di Asia Pasiik yang memiliki skor IPK di bawah 5,0. Skor

IPK 3,2 Indonesia sejajar dengan Mesir, Republik Dominika, Ekuador dan Madagaskar, atau peringkat ke-114 negara terkorup di dunia. Bila dibandingkan dengan Singapura memiliki IPK 8,6 dan Brunei dengan IPK 6,0. Selain pendekatan represif, menurut Widyopramono (Jampidsus Kejagung RI) formula penting dikembangkan adalah pencegahan dengan politik kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi yakni membangun rezim hukum dan perundangan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih efesien dan efektif (2013:6). Peran serta masyarakat dalam penegakan hukum di bidang korupsi, tertuang dalam Pasal 41. Pasal 41 (2) peran masyarakat diwujudkan dalam bentuk: mencari, memperoleh, dan


(21)

memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Pasal 41 (3) masyarakat berhak dan bertanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hingga tahun 2012, KPK sudah menangani 283 kasus korupsi,

terbanyak adalah kasus penyuapan (bribery), pengadaan barang dan

jasa (procurement), penyalahgunaan APBN/APBD, gratiikasi, dan

pemerasan. Menurut Wakil Menkumham, Denny Indrayana (saat itu) ada 5 aspek pendukung antikorupsi (1) sistem bernegara yang lebih demokratis, (2) regulasi antikorupsi membaik berupa UU Tipikor, UU KPK, UU Pencucian Uang, dan Perpres pelarangan TNI berbisnis, (3) institusi korupsi yang membaik dengan eksisnya KPK, Pusat Pelayanan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Mahkamah Konstitusi (MK), (4) kebebasan pers, dan (5) meningkatnya partisipasi publik

berupa eksisnya LSM ICW dan lain-lain (Kompas, 23 Mei 2012,

hlm.1).

5. Format Pendidikan Antikorupsi

Pemberantasan korupsi selama ini lebih difokuskan pada penegakan hukum yang membutuhkan waktu lama. Menurut Widoyoko, perlu pula mengedepankan pencegahan, pendidikan, dan perbaikan sistem pengawasan. Presiden harus memastikan instruksinya dijalankan oleh birokrat (bawahannya) dengan monitoring, memanfaatkan lembaga pengawas internal sebagai sumber informasi untuk penegakan hukum seperti BPK, BPKP, dan inspektorat (2014:7). Format pendidikan anti-korupsi inilah yang perlu dikembangkan. Bila hal ini dilakukan dengan penuh tanggung jawab maka peristiwa tragis operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap Prof. Rubi Rubiandini karena menerima suap menyentak publik tak terjadi. Rektor ITB Ahmaloka menyatakan permintaan maaf secara terbuka terhadap khalayak terkait penangkapan Rubi, meski gelar profesor Rubi sudah tak berlaku sejak Rubi berkiprah di

BP Migas, Wamen ESDM, dan Kepala SKK Migas sejak 2010 (Suara

Merdeka, 18 Agustus 2013, hlm.2). Mantan Rektor Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Darni M Daud terlibat korupsi dana beasiswa program Jalur Pengembangan Daerah dan Calon Guru Daerah


(22)

Terpencil tahun 2009-2010 senilai Rp 322,4 juta dengan hukuman 2 tahun penjara, denda sebesar Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan dan membayar uang pengganti kerugian negara Rp 322,4 juta subsider 6 bulan kurungan. Hukuman lebih ringan dibanding tuntutan tim jaksa yang menuntut 8 tahun penjara, denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti kerugian Negara lebih dari Rp 1,799 miliar (Kompas, 1 Maret 2014).

Pendidikan antikorupsi merupakan pola pembelajaran yang memberikan pemahaman tentang korupsi dalam hal: bentuk, modus, teknik perilaku koruptor, dan lainnya yang tertuang dalam silabi pembelajaran. Sehingga dengan memberi pemahaman terhadap peserta didik sedari dini terhadap dampak dan akibat yang dilakukan oleh koruptor berupa kerugian negara tidak dilakukan oleh peserta didik. Bangunan karakter peserta didik yang tidak melanggar norma etika, norma hukum, dan lainnya merupakan harapan ideal yang diangankan dari pembelajaran anti-korupsi. Bangunan tersebut dapat diwadahi dalam pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Tujuannya adalah membentuk kepribadian manusia seutuhnya yang berkarakter dalam keseluruhan praktek pendidikan/pembelajaran di lembaga pendidikan dalam bentuk kurikulum, ekstrakurikuler, dan upaya pendidikan lainnya. Hal ini mencakup nilai agama, budaya, etika, dan estetika menuju pembentukan pribadi yang cerdas spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian yang utuh, berakhlak mulia, dan terampil. Adapun misi pendidikan karakter/nilai (1) membina peserta didik agar memahami dan menyadari nilai diri dan orang lain, (2) berakhlakul karimah dan melakukan proses pembelajaran pembinaan nilai dengan pendekatan holistik (Sauri dan Hufad, 2007: 41). Juga untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Konsep ideal itu akan sia-sia jika kesadaran setiap diri dalam mengendalikan nafsu duniawiyah tak terkontrol karena


(23)

ketidakmampuannya menahan godaan nafsu dan kehidupan yang megah.

Dengan demikian, modul dan tata cara praktis pemahaman atas korupsi, dampak korupsi, dan cara menjauhi perilaku korup menjadi bahan pendalaman yang harus didiskusikan oleh ahli pendidikan di bidang kurikulum dan lainnya dengan praktisi hukum, khususnya di bidang korupsi dalam bentuk yang mudah dipahami bagi peserta didik sesuai jenjang pendidikan, terutama bagi anak usia dini. Bila hanya mengandalkan konsep ahli pendidikan, dikhawatirkan tidak ‘mendatar’ tapi melangit.

D. Penutup

Upaya memberantas korupsi yang sudah akut di negeri ini perlu di konsep dengan matang untuk diberikan pada peserta didik calon pemimpin masa depan. Bila tidak, korupsi akan mentradisi pada setiap generasi. Persoalannya, mengantisipasi, memberantas, dan menanggulangi korupsi memerlukan kepaduan antara iktikad (niat), aksi, dan evaluasi yang berkesinambungan. Di antara langkah iktikad adalah dengan pencanangan pendidikan anti-korupsi yang melibatkan peran ahli pendidikan dan praktisi hukum yang melakukan tindakan pengawal korupsi. Konsep pendidik dan pengalaman praktisi hukum dilakukan secara padu disesuaikan dengan daya nalar peserta didik.


(24)

DAFTAR PUSTAKA

Husein, Harun. Pemilu Serentak Vs Pilkada Serentak. Republika, 25

Maret 2013.

Piliang, Yasraf Amir. Tembok Besar Korupsi. Kompas, 23 Mei 2012.

Sauri, Sofyan dan Achmad Hufad. 2007. Pendidikan Nilai dalam Ilmu

dan Aplikasi Pendidikan. Bagian 3. UPI: Bandung.

Syawawi, Reza. “15 tahun Melawan Korupsi”. Kompas, 12 Desember

2013.

Widyopramono, R. Pendekatan Represif Plus. Suara Merdeka, 17

Desember 2013.

Widoyoko, J Danang. Prospek Pemberantasan Korupsi. Kompas, 27


(1)

bentuk ’kantin kejujuran’ di beberapa sekolah agar anak didik tidak menjadi koruptor.

3. Peran Pendidikan dalam Penanggulangan Korupsi Dini

Ruh pendidikan yang dapat dijadikan penangkal korupsi di antaranya adalah pendidikan karakter. Terdapat tiga fungsi pendidikan karakter/nilai (1) seleksi terhadap nilai yang terdapat

dalam ilsafat dengan menempatkan ahli pendidikan karakter untuk menata kerangka berpikir ilosois untuk mengartikulasikan nilai

unggul, (2) seleksi terhadap nilai dalam ilmu pengetahuan dengan menempatkan ahli pendidikan nilai untuk selalu cermat dalam menelaah perkembangan ilmu pengetahuan dan implikasinya terhadap ilmu pengetahuan, dan (3) seleksi terhadap nilai dalam teori pendidikan dengan menempatkan ahli dan praktisi pendidikan nilai untuk cermat dan memilih teori pendidikan yang sesuai kebutuhan penyadaran nilai dan pribadi yang berjati diri.

Esensi pendidikan karakter adalah mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional tersebut secara luas, sedangkan secara sempit di antaranya adalah membentuk individu menjadi baik dan cerdas (good and smart). Baik dari aspek perilaku, sedangkan cerdas dari aspek kemampuan berpikir. Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan bentuk individu yang baik dari aspek perilaku, didukung kualitas aspek berpikir. Pendidikan karakter pada dasarnya mengimplementasikan 18 nilai yang mengacu pada religiusitas, kejujuran, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Berbekal pendidikan karakter itulah,


(2)

harapan mewujudkan nasionalisme akan terwujud dengan baik. Munculnya pendidikan karakter karena pendidikan masih terfokus pada kecerdasan akademik, diukur dengan nilai dan kelulusan yang bersifat numerik. Meskipun tingginya nilai/angka hasil tes/ujian bukan jaminan peserta didik piawai menjadi ilmuwan sejati yakni memegang etika dan menjadi ilmuwan, bahkan terpenuhinya lahan pekerjaan karena kualitas diri.

4. Dukungan Penindakan Korupsi

Gerakan masif pemberantasan korupsi melalui pendekatan represif dengan sasaran utama sebagai strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi (Stranas PPK) berdasarkan Perpres Nomor 55 Tahun 2012. Tujuan Stranas PPK adalah menurunkan tingkat korupsi dan mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan terbebas dari korupsi dengan indikator keberhasilan berupa peningkatan indeks persepsi korupsi (IPK). Indeks ini merupakan agregat dari penggabungan beberapa indeks yang dihasilkan beberapa lembaga. Indeks itu mengukur tingkat persepsi korupsi sektor publik, yakni korupsi yang dilakukan pejabat negara dan politisi.

Penilaian Political and Economic Research Consultant (PERC)

tahun 2009 IPK Indonesia 8,32, pada 2010 menjadi 9,07, pada 2011 menjadi 9,27, dan tahun 2012 sebesar 9,27. Transparency International (TI) menilai, IPK Indonesia pada 2009 dan 2010 sebesar 2,9 dan tahun 2011 sebesar 3, pada 2012 dan 2013 menjadi 3,2. Skor IPK Indonesia versi TI menempati 70 persen Negara di dunia atau 63

persen Negara di Asia Pasiik yang memiliki skor IPK di bawah 5,0. Skor

IPK 3,2 Indonesia sejajar dengan Mesir, Republik Dominika, Ekuador dan Madagaskar, atau peringkat ke-114 negara terkorup di dunia. Bila dibandingkan dengan Singapura memiliki IPK 8,6 dan Brunei dengan IPK 6,0. Selain pendekatan represif, menurut Widyopramono (Jampidsus Kejagung RI) formula penting dikembangkan adalah pencegahan dengan politik kriminal pemberantasan tindak pidana korupsi yakni membangun rezim hukum dan perundangan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih efesien dan efektif (2013:6). Peran serta masyarakat dalam penegakan hukum di bidang korupsi, tertuang dalam Pasal 41. Pasal 41 (2) peran masyarakat diwujudkan dalam bentuk: mencari, memperoleh, dan


(3)

memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi. Pasal 41 (3) masyarakat berhak dan bertanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hingga tahun 2012, KPK sudah menangani 283 kasus korupsi,

terbanyak adalah kasus penyuapan (bribery), pengadaan barang dan

jasa (procurement), penyalahgunaan APBN/APBD, gratiikasi, dan

pemerasan. Menurut Wakil Menkumham, Denny Indrayana (saat itu) ada 5 aspek pendukung antikorupsi (1) sistem bernegara yang lebih demokratis, (2) regulasi antikorupsi membaik berupa UU Tipikor, UU KPK, UU Pencucian Uang, dan Perpres pelarangan TNI berbisnis, (3) institusi korupsi yang membaik dengan eksisnya KPK, Pusat Pelayanan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Mahkamah Konstitusi (MK), (4) kebebasan pers, dan (5) meningkatnya partisipasi publik

berupa eksisnya LSM ICW dan lain-lain (Kompas, 23 Mei 2012,

hlm.1).

5. Format Pendidikan Antikorupsi

Pemberantasan korupsi selama ini lebih difokuskan pada penegakan hukum yang membutuhkan waktu lama. Menurut Widoyoko, perlu pula mengedepankan pencegahan, pendidikan, dan perbaikan sistem pengawasan. Presiden harus memastikan instruksinya dijalankan oleh birokrat (bawahannya) dengan monitoring, memanfaatkan lembaga pengawas internal sebagai sumber informasi untuk penegakan hukum seperti BPK, BPKP, dan inspektorat (2014:7). Format pendidikan anti-korupsi inilah yang perlu dikembangkan. Bila hal ini dilakukan dengan penuh tanggung jawab maka peristiwa tragis operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap Prof. Rubi Rubiandini karena menerima suap menyentak publik tak terjadi. Rektor ITB Ahmaloka menyatakan permintaan maaf secara terbuka terhadap khalayak terkait penangkapan Rubi, meski gelar profesor Rubi sudah tak berlaku sejak Rubi berkiprah di

BP Migas, Wamen ESDM, dan Kepala SKK Migas sejak 2010 (Suara

Merdeka, 18 Agustus 2013, hlm.2). Mantan Rektor Universitas Syiah

Kuala Banda Aceh Darni M Daud terlibat korupsi dana beasiswa program Jalur Pengembangan Daerah dan Calon Guru Daerah


(4)

Terpencil tahun 2009-2010 senilai Rp 322,4 juta dengan hukuman 2 tahun penjara, denda sebesar Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan dan membayar uang pengganti kerugian negara Rp 322,4 juta subsider 6 bulan kurungan. Hukuman lebih ringan dibanding tuntutan tim jaksa yang menuntut 8 tahun penjara, denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti kerugian Negara lebih dari Rp 1,799 miliar (Kompas, 1 Maret 2014).

Pendidikan antikorupsi merupakan pola pembelajaran yang memberikan pemahaman tentang korupsi dalam hal: bentuk, modus, teknik perilaku koruptor, dan lainnya yang tertuang dalam silabi pembelajaran. Sehingga dengan memberi pemahaman terhadap peserta didik sedari dini terhadap dampak dan akibat yang dilakukan oleh koruptor berupa kerugian negara tidak dilakukan oleh peserta didik. Bangunan karakter peserta didik yang tidak melanggar norma etika, norma hukum, dan lainnya merupakan harapan ideal yang diangankan dari pembelajaran anti-korupsi. Bangunan tersebut dapat diwadahi dalam pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Tujuannya adalah membentuk kepribadian manusia seutuhnya yang berkarakter dalam keseluruhan praktek pendidikan/pembelajaran di lembaga pendidikan dalam bentuk kurikulum, ekstrakurikuler, dan upaya pendidikan lainnya. Hal ini mencakup nilai agama, budaya, etika, dan estetika menuju pembentukan pribadi yang cerdas spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian yang utuh, berakhlak mulia, dan terampil. Adapun misi pendidikan karakter/nilai (1) membina peserta didik agar memahami dan menyadari nilai diri dan orang lain, (2) berakhlakul karimah dan melakukan proses pembelajaran pembinaan nilai dengan pendekatan holistik (Sauri dan Hufad, 2007: 41). Juga untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Konsep ideal itu akan sia-sia jika kesadaran setiap diri dalam mengendalikan nafsu duniawiyah tak terkontrol karena


(5)

ketidakmampuannya menahan godaan nafsu dan kehidupan yang megah.

Dengan demikian, modul dan tata cara praktis pemahaman atas korupsi, dampak korupsi, dan cara menjauhi perilaku korup menjadi bahan pendalaman yang harus didiskusikan oleh ahli pendidikan di bidang kurikulum dan lainnya dengan praktisi hukum, khususnya di bidang korupsi dalam bentuk yang mudah dipahami bagi peserta didik sesuai jenjang pendidikan, terutama bagi anak usia dini. Bila hanya mengandalkan konsep ahli pendidikan, dikhawatirkan tidak ‘mendatar’ tapi melangit.

D. Penutup

Upaya memberantas korupsi yang sudah akut di negeri ini perlu di konsep dengan matang untuk diberikan pada peserta didik calon pemimpin masa depan. Bila tidak, korupsi akan mentradisi pada setiap generasi. Persoalannya, mengantisipasi, memberantas, dan menanggulangi korupsi memerlukan kepaduan antara iktikad (niat), aksi, dan evaluasi yang berkesinambungan. Di antara langkah iktikad adalah dengan pencanangan pendidikan anti-korupsi yang melibatkan peran ahli pendidikan dan praktisi hukum yang melakukan tindakan pengawal korupsi. Konsep pendidik dan pengalaman praktisi hukum dilakukan secara padu disesuaikan dengan daya nalar peserta didik.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Husein, Harun. Pemilu Serentak Vs Pilkada Serentak. Republika, 25

Maret 2013.

Piliang, Yasraf Amir. Tembok Besar Korupsi. Kompas, 23 Mei 2012.

Sauri, Sofyan dan Achmad Hufad. 2007. Pendidikan Nilai dalam Ilmu

dan Aplikasi Pendidikan. Bagian 3. UPI: Bandung.

Syawawi, Reza. “15 tahun Melawan Korupsi”. Kompas, 12 Desember

2013.

Widyopramono, R. Pendekatan Represif Plus. Suara Merdeka, 17

Desember 2013.

Widoyoko, J Danang. Prospek Pemberantasan Korupsi. Kompas, 27