PEMBELAJARAN SEJARAH DALAM MENUMBUHKAN KARAKTER KEPAHLAWANAN | Rosyid | ELEMENTARY 283 1160 1 PB

(1)

MENUMBUHKAN KARAKTER

KEPAHLAWANAN

Moh. Rosyid

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus

Abstract: Nationalism is obvious as a willingness to dedicate fully to the nation and country as a citizen because of his consciousness. It is a part of hero’s character which can be given through historical subject at an early age by valid historical data. Its validity can straighten controversies experienced by the people of the nation to trace their ancestors. Straightening history data must be done in order to make a historic event being a political weapon to secure his regime or invade another regime is not sustainable due to distance and the nature of the educational attitudes. This is relected in the data conferment of the National Hero title that is not conirmed on the particular regime but conirmed the next regime. All is dominated by political factors. The impact is a ‘hero’ title in provinces unequally. Thus, the historical data have implied meaning (implicit) or explicitly (explicit). To understand the meaning by the historical mastery provision as a preparation citizen awareness about national history that has been inscribed by their hero. Increasing patriotism and nationalism needs a solid argument so that historical events can actually be accounted for on

the basis of regeneration of the nation.

Key words: education, historical data, nationalism.

A. Latar Belakang Masalah

Penghargaan terhadap leluhur yang telah mendahului generasi kini atas perjuangannya perlu diwujudkan di antaranya dengan mengenang, mengabadikan, dan menganugerahi. Langkah mengenang dan mengabadikan dengan dibukukan kiprahnya agar dipahami sejak usia anak-anak, sedangkan menganugerahi dengan memberi gelar pahlawan oleh pemerintah.

Wakil Presiden Boediono saat membuka Konferensi Nasional Sejarah IX di Jakarta pada 5 Juli 2012 menyatakan, tanpa pemahaman


(2)

sejarah yang matang, Indonesia akan terjebak pada kesalahan yang sama. Pemahaman sejarah yang komprehensif membantu Indonesia menghadapi tantangan. Langkah ke depan harus diarahkan dengan pedoman dan perspektif yang benar yang diperoleh dengan belajar sejarah (Kompas, 6/7/2012,hlm.12). Sejak reformasi bergulir, kesadaran terhadap sejarah dan budaya yang melandasi keberadaan bangsa ini semakin meluntur, terutama di kalangan remaja dan anak muda pada umumnya. Untuk itu nilai dan karakter kepahlawanan perlu ditanamkan sejak usia anak-anak. Hal ini

memunculkan keprihatinan, menurut Tauik Abdullah -disampaikan pada

dialog kebudayaan di Pontianak, 12-13 Desember 2011- kekinian kita sebagai bangsa tidak berdiri di ruang kosong, ia hadir dan dibangun melalui proses berdarah. Pada lapis bawah, rantai sejarah yang panjang mengikatnya sebagai negara-bangsa. Tanpa landasan historis, kekinian kita hampa (Kompas,

13/12/2011). Sepatutnya, proses pembelajaran sejarah sebagai bagian ilmu sosial yang memotret kiprah leluhur dioptimalkan agar hasil pembelajaran tergapai dengan baik yakni terwujudnya nasionalisme dan tertanamnya karakter kepahlawanan sejak dini. Proses pembelajaran sejarah di kelas yang menjenuhkan karena metode yang tidak dinamis. Berdasarkan analisis dan temuan United States Agency for International Development (USAID) kurang lebih sepertiga pelajaran yang diobservasi di kelas jenjang tingkat dasar hingga perguruan tinggi (PT) masih didominasi model ceramah. Menurut Djoko Santoso, Dirjen Dikti Kemendikbud,hal itu berdampak proses belajar tidak berjalan kreatif, tidak efektif, dan tidak menyenangkan (Republika,

6/7/2010, hlm.6). Dampak lanjutan dari jenuhnya siswa menerima mata ajar sejarah yang menjenuhkan di antaranya adalah substansi mendasar pembelajaran sejarah hambar. Imbas lanjutannya adalah jerih payah yang pernah dicurahkan oleh founding fathers dalam mengusir kolonial dari Bumi Pertiwi, memproklamirkan kemerdekaan, dan mengisi pembangunan bangsa perlu diwarisi nilai juangnya oleh anak bangsa terlewatkan dan hanya dikenang hari dan tanggal peristiwanya.

Dengan demikian, pembelajaran sejarah standar keberhasilannya bila peserta didik menjadi insan yang tertanam dalam sanubarinya jiwa nasionalisme dan terwujudnya karakter kepahlawanan sebagai calon pemimpin bangsa pada mendatang. Sehingga naskah ini perlu dijadikan pijakan untuk mewujudkan tujuan adiluhung tersebut.


(3)

B. Landasan Teori

1. Pilar Berbangsa

Kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini mengalami dinamika yang muncul silih berganti, antara suka-duka, maju-mundur, gundah, dst. Hal itu merupakan realitas kehidupan yang tidak dapat dipungkiri. Kegundahan itu diduga akibat empat pilar bernegara meliputi pemahaman terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), dan Bhinneka Tunggal Ika mengalami degradasi (penurunan) pemahaman dan jauh dari aplikasi ideal oleh warga negara. Kondisi demikian ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) -yang anggotanya pada periode 2009-2014 terdiri 560 anggota DPR RI dan 132 anggota DPD RI- tahun 2011 mensosialisasikan pada publik empat pilar tersebut dalam masa reses tahun 2011 dengan dana dari APBN sebesar Rp 21,2 juta untuk setiap masa reses, di luar anggaran penyerapan aspirasi Rp 7 juta per hari (dengan jatah maksimal sembilan hari dan tambahan anggaran untuk sosialisasi) (Jawa

Pos, 27/4/2011,hlm.2). Hal ini menggambarkan pemahaman yang terbatas terhadap empat pilar bernegara perlu didatarkan kepada warga negara.

Pancasila sebagai dasar negara mendapat perhatian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mendorong Kemendikbud untuk memandirikan kurikulum Pancasila. Pasalnya, dari hasil penelusuran MPR yang dilakukan bersama lembaga survei, terkait pemahaman Pancasila, sekitar 76 persen siswa di Indonesia tidak mengerti makna Pancasila. Dengan demikian, Kemendikbud akan memisahkan kurikulum Pancasila dari bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) mulai tahun 2013

(Suara Merdeka, 3/9/2012, hlm.9). Satu hal yang perlu dipahami bersama

bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka yakni ideologi yang lentur atau dapat menyesuaikan dengan dinamika zaman. Presiden Soekarno menyebut Pancasila sebagai pandangan dunia (weltanschauung) dan dasar falsafah (philosoische grondslag) bagi bangsa kita dalam mengatur perikehidupan berbangsa. Pancasila juga sebagai alat perjuangan yang membedakan negeri ini dengan negeri lain. Pancasila perlu dibumikan dengan perangkat operasional yang sesuai dengan arus zaman. Jangan sampai Pancasila didistorsi secara sempit oleh penguasa hanya untuk melanggengkan kekuasaan. Praduga selama ini (pasca-Orde Baru), keberadaan Pancasila dianggap ’angin lalu’ oleh anak negeri. Indikatornya dengan dilupakannya pelaku sejarah yang manis atau yang pahit, sebagaimana generasi kita yang


(4)

tidak lagi memahami apalagi mendalami dan mempraktikkan nilai-nilai luhur dari Pancasila. Imbasnya, nasionalisme anak negeri nyaris tergadaikan! Nasionalisme dipahami sebagai kesediaan mengabdi sepenuhnya kepada Tanah Air, sentimen patriotik, berprinsip yang kokoh pada rasa berbangsa.

Ideologi Pancasila dirumuskan dan dilahirkan oleh pendiri bangsa sebagai kompromi atau wadah pemersatu kebhinekaan rakyat. Namun, dalam perjalanan sejarah dihadapkan dengan batu sandungan yang datangnya mulai dari penjajah hingga pemahaman sempit dari warga bangsa sendiri karena kepentingan diri dan kelompok untuk rentang sesaat. Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai jargon, dogma, dan doktrin dengan keangkuhan kekuasaannya. Seperti pola penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) diperkokoh dengan lembaga yang menanunginya yakni Badan Penyelenggara P4 (BP4) dijadikan wahana indoktrinasi. Di sisi lain, rezim Orba menuding pihak oposisi rezim dengan julukan subversif dan diasingkan. Keangkuhan tersebut berdampak BP4 ditutup oleh rezim era Reformasi karena lembaga dianggap singa ompong dan warga alergi dengan ’nama’ Pancasila. Dengan sikap otoriter tersebut, Pancasila menjadi momok anak bangsa. Lantas, bagaimana seharusnya sekarang?

Memunculkan perbedaan prestasi antar-era kepemimpinan (rezim) nasional menyimpan sisi positif dan negatif. Sebagaimana analisis Litbang Kompas, pertama, Presiden Soekarno dari unsur sipil periode 1945-1967 yang memproklamirkan negeri ini didampingi Bung Hatta, membangun identitas bangsa, menerbitkan UU Pokok Agraria, meskipun pembangunan ekonomi dinilai tidak berkembang. Kedua, Presiden Soeharto dari unsur militer periode 1967-1998 dianggap menciptakan stabilitas sosial dan keamanan meskipun membungkam kritik dengan cara koersif, dan menetapkan ideologi pembangunan (Pancasila). Ketiga, BJ Habiebie dari unsur sipil periode 21 Mei 1998-20 Oktober 1999 yang mampu menggelar Pemilu 1999 yang dinilai pemilu paling demokratis setelah pemilu 1955 dan pembebasan tahanan politik serta terjaminnya kebebasan Pers (UU Nomor 40 Tahun 1999). Keempat, Abdurrahman Wahid dari unsur sipil periode 20 Oktober 1999-23 Juli 2001 yang memisahkan polisi dari TNI, munculnya Pengadilan HAM (UU Nomor 26 Tahun 2000), dan amandemen UUD 1945 tentang Pembatasan Kekuasaan Presiden. Kelima, Megawati Soekarnoputri dari unsur sipil periode 23 Juli 2001-20 Oktober 2004 yang mengamandemen UUD 1945 soal presiden dipilih secara langsung dan terbentuknya UU Nomor 30 Tahun


(5)

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan lembaga KPK. Keenam, Susilo Bambang Yudhoyono dari unsur militer periode pertama 2004-2009 dan periode kedua 2009-2014 adanya perdamaian di Aceh, pilkada langsung sejak tahun 2005,dsb.

2.Nasionalisme dan Kepahlawanan

Mewarisi nilai juang oleh generasi muda memerlukan fondasi yakni rasa nasionalisme kebangsaan. Penanaman nasionalisme di antaranya melalui pendidikan sejak dini dengan memanfaatkan data sejarah. Hal ini diharapkan tumbuh rasa memiliki tumpah darahnya dengan harapan terciptanya generasi yang mikul duwur mendem jero terhadap pejuang bangsa. Bila nasionalisme terkikis maka rasa berbangsa secara alami akan keropos yang diakibatkan oleh lunturnya memahami dasar negara.

Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November berpijak pada peristiwa pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945 yang digelorakan Bung Tomo dan K.H Hasyim Asy’ari. Perlawanan rakyat dipicu oleh kedatangan tentara Inggris bersama India atas nama tentara sekutu ke Hindia Belanda (Indonesia) dengan misi melucuti, memulangkan, dan membebaskan tawanan Dai Nippon Jepang. Tetapi niat baik tersebut disertai keinginan mengembalikan kedaulatan Indonesia pada Belanda dengan

Netherlands Indies Civil Administration (NICA) sebagai pembonceng gelap.

Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Maka, Inggris, mewakili Sekutu, hendak menerima Hindia Belanda dari Jepang. Mereka datang ke Surabaya, Jawa Timur, diboncengi Belanda, tetapi disambut perlawanan sengit arek-arek Suroboyo yang dikobarkan oleh Bung Tomo. Perjuangan tersebut layak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Pasal 1 (4) UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan bahwa Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.


(6)

C. Pembahasan

1. Potret Pahlawan Nasional

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 15 Presiden yang berhak memberi gelar pahlawan. Pemberian gelar pahlawan oleh pemerintah sejak 1959 karena setahun sebelumnya terjadi pemberontakan PRRI/Permesta. Pemberian gelar era Bung Karno tersebut bertujuan untuk mengembalikan dan membangkitkan semangat persatuan dan kebersamaan. Hingga 2012 terdapat 156 pahlawan dan Jumat 8 November 2013 ditambah 3 pahlawan menjadi 159 pahlawan nasional yang dibacakan oleh Sekretaris Militer Presiden Mayjen Benny Indra Pujihastono berdasarkan Kepres Nomor 68/TK/Tahun 2013 tanggal 6 November 2013. Pertama, KRT Radjiman Wedyodiningrat yang diwakili oleh Prof.Dr.dr. Retno Widyowati. Ia dinilai berjasa dalam mengelola perbedaan pendapat dalam sidang-sidang yang membahas dasar negara selama menjabat sebagai Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada April-Agustus 1945 dan ide tentang kemerdekaan walau Jepang masih berkuasa. Radjiman juga pernah menjabat sebagai Ketua Boedi Oetomo periode 1915-1923 sebagai tokoh Jawa Timur. Kedua, Letjen (Purn) TB Simatupang diwakili oleh Marsinta Hatigoran Simatupang. Tokoh Sumatera Utara itu jasanya ikut bergerilya ketika bertugas sebagai Kepala Staf Panglima Besar Jenderal Soedirman, menjabat Kepala Staf Angkatan Perang RI 1950-1954, ia tercatat menghadiri Konferensi Meja Bundar di Den Hag Belanda tahun 1949. Ketiga, Lambertus Nicodemus (LN) Palar diwakili Mesi Palar Wartowardoyo. Diplomat dari Sulawesi Utara ini berhasil mendesak Dewan Keamanan PBB untuk memerintahkan Belanda mengadakan gencatan senjata dengan RI dan meyakinkan eksistensi bangsa dan negara Indonesia kepada perwakilan bangsa-bangsa di PBB.

Kepala Dinas Sosial Provinsi Sulut di Manado mengumumkan bahwa Pemprov Sulut mengusulkan Alex Kawilarang dan Hein Victor Worang menjadi pahlawan nasional. Kawilarang lahir di Jakarta 23/2/1920. Pendidikannya ditempuh di Europeesche Lagre School kemudian di Cimahi dan Bandung Jawa Barat. karier militernya sebagai komandan peleton di Magelang pada 1942, Komandan Brigade Suryakencana Divisi Siliwangi. Pada 1949 menjadi Gubernur Militer Wilayah Aceh dan Sumut lalu Panglima tentara Bukit Barisan. Pada 1951 Kawilarang mendesain terbentuknya Kopassus di atujajar, Jawa Barat, kemudian menjadi Pangdam III Siliwangi.


(7)

Kawilarang dikenal sebagai panglima yang pernah menempeleng Letkol Soeharto, saat itu Soeharto sebagai bawahannya (Kompas, 9/11/2013, hlm.2).

Menurut Adam, di Indonesia rata-rata setiap tahun menganugerahkan gelar pahlawan terhadap tiga orang. Pada 1964 diangkat pahlawan selaku tokoh mewakili aliran Nasakom yakni dua jenderal, Alimin dari PKI, dua dari Muhammadiyah, dan dua dari NU (kakek dan ayah Gus Dur), dan tiga tokoh perempuan. Ada pula pahlawan karena mewakili wilayah tertentu sehingga tidak dikenal publik seperti Pong Tiku dan Garamata. Bung Karno diangkat sebagai pahlawan pada 1986, 16 tahun setalah wafat. Penunjukan pahlawan terdapat unsur tertentu, misalnya etnis China dengan ditunjuknya John Lie pada 2009. Catatan Adam, belum ada usulan pahlawan nasional dari unsur Polri, ada pula pahlawan yang diusulkan oleh wilayah lain dan diprotes oleh daerah asalnya, seperti Anak Agung Gde Agung yang diusulkan dari Yogyakarta dan setelah diangkat pahlawan diprotes oleh Legiun Veteran cabang Bali, belum ada pahlawan dari etnis Arab meski AR Baswedan telah diusulkan. Bila seniman musik telah diangkat sebagai pahlawan bagi Ismail Marzuki, perlu diusulkan pahlawan dari unsur olahragawan sebagaimana Suratin yang mendirikan PSSI sejak 1930. Usulan pahlawan perempuan yang belum disetujui antara lain Rohana Kudus dan SK Trimurti, meski pahlawan nasional dari perempuan telah ada. Ada pula pahlawan yang suami-isteri seperti Ahmad Dahlan dan Nyi Ahmad Dahlan, Teuku Umar dan Tjut Nyak Dien, Soekarno dan Fatmawati. Ada pula ayah-anak seperti Hasyim Ashari dan Wahid Hasyim. Mengapa Inggit Garnasih tidak diusulkan menjadi pahlawan? Dikhawatirkan nilai poligami muncul (2013:7). Pengusulan dua tokoh menjadi pahlawan yang menuai kritik publik adalah Pak Harto dan Gus Dur. Pak Harto dianggap Bapak Pembangunan tetapi kepemimpinannya meninggalkan persoalan HAM dan Gus Dur mengakhiri jabatan presiden dengan cara dilengserkan paksa.

2. Manfaat Mengkaji Sejarah dalam Bingkai Nasionalisme

Mengkaji data sejarah diharapkan tumbuhnya penghormatan generasi kini terhadap generasi pendahulu yang telah berkiprah dalam kemerdekaan bangsa dan mengisi pembangunan. Buah yang dapat dipetik dalam konteks sejarah berupa:

Pertama, meluruskan informasi dengan data faktual bahwa benarkah Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun? Terdapat kejanggalan


(8)

dari 300 tahun untuk menaklukkan beberapa daerah di Hindia Belanda (Nusantara). Orang Belanda yang pertama kali memasuki wilayah Nusantara adalah Cornelius De Houtman tahun 1552 yang mendarat di pelabuhan Banten, sedangkan berakhirnya kolonialisme Belanda tahun 1942 ketika Hindia Belanda diduduki tentara Jepang. Data tersebut menandaskan, mungkinkah Belanda langsung berkuasa ketika mereka baru saja datang di Banten! Kedua, kekuasaan raja-raja di Nusantara masih kokoh, sebagaimana pada abad ke-17 masa kejayaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang wilayah kekuasaannya hingga ke Semenanjung dan Pantai Barat Sumatera. Begitu pula Sultan Agung yang memperluas kekuasaannya ke seluruh Jawa, kecuali Banten dan Batavia. Raja Tallo yang menjabat sebagai Perdana Menteri Kerajaan Gowa dan Sultan Hasanuddin Raja Goa (1653-1669)

mampu menghalau iniltrasi Belanda, Spanyol, dan Portugis (Republika, 8/10/2012, hlm.27).

Begitu pula meluruskan data sejarah di tengah kontroversi penentuan hari jadi pemerintah daerah. Sebagaimana kontroversi hari jadi Kabupaten Purworejo, Jateng pada 5 Oktober 901 M berdasarkan penemuan prasasti tertanggal 5 paro gelap, senin pahing wukurung bulan asuji tahun 823 saka atau 5 Oktober 901 M pada Kayu Ara Hiwang di Boro Wetan, Kec. Banyuurip. Prasasti menyatakan adanya tanah perdikan dan adanya kehidupan masyarakat di sepanjang Sungai Bogowonto pada abad ke-8 M, tetapi tak menyebutkan kata Purworejo. Prasasti disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan inventaris Nomor d 87. Prasasti tersebut adalah penetapan Desa Kayu Arahiwang menjadi tanah perdikan oleh Rakai Wanua Poh Dyah Sala Putra Sang Ratu Bajra, utusan Raja Mataram Kuno. Tulisan tersebut diartikan sejak saat itu sudah ada pemerintahan di Purworejo yang dipersoalkan, di antaranya oleh warga Purworejo, Liyanto Binar. Binar berpandangan bahwa hari jadi Purworejo lebih tepat bersama dengan diangkatnya RAA Tjokronagoro I sebagai Bupati Purworejo pertama pada 30 Juni 1830. Tjokronagoro pulalah yang mencetuskan pertama kali nama Purworejo. Oleh Bupati Purworejo, Mahsun Zain hari jadi tersebut bukanlah harga mati bila ada bukti sejarah yang bisa dijadikan acuan untuk menentukan hari jadi yang lebih akurat (Suara

Merdeka, 6/10/2012, hlm. 31). Versi lain menyatakan bahwa penentuan

hari jadi berdasarkan prasasti Ayam Teas I, Perjanjian Giyanti tertanggal 13 Februari 1755, Kamis Kliwon wulan 13 langkir, 1 Jumadil Awal 1580 Be atau 1168 H merupakan tonggak awal sejarah dan batas teritorial administrasi pemerintahan kekuasaan Bagelen lama yang secara administratif berkaitan


(9)

dengan Kerajaan Mataram yang dibagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Alternatif lain, berdasarkan Perang Diponegoro di wilayah Purworejo/Bagelen berupa pertempuran di sepanjang Sungai Bogowonto, terutama penyerangan pada Pos Belanda di Brengkelan awal Januari 1828 -yang menyebabkan kerugian besar pada pihak Belanda- pada Senin Kliwon 7 Januari 1828, wuku warigalit, 19 Jumadil Akhir 1755/1243 H. Hari jadi Purworejo telah ditetapkan berdasarkan Perda Nomor 9 Tahun 1994 (SuaraMerdeka, 7/10/2012, hlm.18).

Tak bedanya kontroversi penentuan hari jadi Kabupaten Banjarnegara yang jatuh pada Senin Pon, 22 Agustus 1831 yang diputuskan oleh DPRD pada 1 Juli 1981 yang tuangkan dalam Perda Nomor 3 tahun 1994 tentang Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara. Menurut Purwono, tanggal hari jadi tersebut sangat kental dengan patron klien kolonialisme karena tanggal tersebut tanggal penetapan RT Dipayudha IV oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai bupati berdasarkan surat keputusan (besluit) yang dikeluarkan di Buitenzorg (Bogor) pada 22 Agustus 1831. Konteks masa kini, hal tersebut merupakan upaya Belanda menghilangkan pengaruh dari pengikut Pangeran Diponegoro, R. Mangunyudho Sedaloji yang tewas akibat membantu etnis China melawan Kumpeni di Surakarta. Pemerintah Belanda takut bila keturunan Sedaloji dibiarkan berkuasa di Banjarnegara dan berpeluang menjadi pemberontak sehingga disingkirkan. Pada 22 Agustus 1831 merupakan masa dipretelinya kekuasaan Dipayudha IV meski secara de facto terjadi pemindahan pusat kekuasaan dari Banjarwatulembu (kini Kecamatan Banjarmangu) ke Banjarnegara saat ini (Purwono, 2013:7).

Kedua, membangkitkan nilai lokal kedaerahan untuk memperkuat nasionalisme bangsa dengan mewujudkan lembaga daerah sebagai mediator dalam penyambung lidah rakyat di daerah pada tataran nasional. Hal ini pasca-Orde Baru, Era Reformasi, muncul lembaga perwakilan daerah yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD merupakan lembaga yang dibentuk imbas perubahan keempat UUD 1945 pada November 2001 yang memiliki anggota sejak hasil Pemilu 2004. Harapan dibentuknya DPD adalah mengakomodasi aspirasi daerah dan dalam proses pengambilan keputusan politik, terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah di tingkat nasional, DPD dapat memberi pertimbangan pada DPR, tetapi tidak adanya kewajiban DPR untuk selalu menggunakan pertimbangan dari DPD. Dengan demikian, ketimpangan dan rasa ketidakadilan yang dapat mengancam persatuan


(10)

nasional dapat dicegah. Realitanya, fungsi DPD belum optimal sehingga DPD berusaha memperkuat kewenangannya dengan mengajukan perubahan kelima UUD 1945. Namun Pasal 37 UUD 1945 menyatakan, perubahan dapat diusulkan oleh sepertiga anggota MPR, jika disetujui 50 persen ditambah satu orang dari anggota MPR. Anggota MPR berjumlah 692 orang, terdiri 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD. Untuk mengajukan usulan perubahan harus didukung 231 anggota MPR. Artinya usulan perubahan itu harus didukung DPR, maknanya untuk mengusulkan perubahan, DPD harus menggandeng DPR dan perubahan kelima jika disetujui, secara otomatis akan mengurangi peran DPR. Sebagaimana pada tahun 2007, DPD pernah gagal untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945 karena hanya didukung 216 anggota MPR, idealnya harus 226 anggota MPR (Kompas, 29/8/2012, hlm.2).

Kontroversi UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) bahwa wewenang DPD berdasarkan UUD ’45 Pasal 1 22 D (1) DPD dapat mengajukan RUU yang berkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 22 D (2) DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan perimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Pasal 22 D (3) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otda; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; hubungan pusat dan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

Wewenang DPD di bidang legislasi itu dibatasi UU Nomor 27 Tahun 2009 bahwa DPD hanya dapat mengajukan draf usulan RUU dan kemudian menyampaikan pandangan mini pada pengambilan keputusan tingkat pertama, tetapi tidak ikut menyampaikan daftar isian masalah (DIM) dan tidak membahasnya. Untuk urusan membahas Rencana Undang-Undang (RUU), DPD hanya boleh menyampaikan pendapat, tetapi tidak boleh ikut


(11)

membahas. Dengan demikian, DPD pada 14 September 2012 mengajukan gugatan uji materi terhadap UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK). DPD menunjuk I Wayan Sudirta, anggota DPD dari daerah pemilihan Bali sebagai Ketua Tim litigasi gugatan uji materi. DPD meminta penjelasan dan tafsir dari MK terhadap kewenangan DPD seperti tercantum dalam Pasal 22 D UUD ’45. Aturan dalam UU MD3 melemahkan kewenangan DPD dan tidak sejalan dengan amanat UUD ’45. Landasan pengajuan, menurut Ketua DPD, Irman Gusman, DPD kesulitan memperjuangkan kepentingan rakyat karena tidak diberi wewenang membahas UU dan wewenang DPD direduksi hanya menjadi setingkat fraksi di DPR. Di sisi lain, keberadaan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang meniadakan peran DPD dalam membuat UU di parlemen. Menurut pakar Tata Negara dari

UI, Rely Harun, pada 11 September 2012, semua UU yang berkaitan dengan

daerah harus dibuat dan dibahas bersama oleh DPR dan DPD. Bila DPD tidak dilibatkan, produk legislasi yang dihasilkan DPR menjadi inkonstitusional, sebagaimana amanat Pasal 22 D (2) UUD 1945 perihal wewenang DPD untuk membahas sejumlah RUU (Media Indonesia, 14/9/2012, hlm.3).

Ketiga, meluruskan data sejarah, sebagaimana data hukuman mati yang dialami oleh Kartosuwiryo yang lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 (ada yang menyatakan 1907). Berdasarkan perolehan Fadli Zon atas 81 foto yang dibukukan dengan judul Hari Terakhir Kartosoewirjo, 81 Foto Eksekusi Imam DI/TII yang menggambarkan detik-detik eksekusi mati Soekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, Imam Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 12 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta sekaligus lokasi pemakaman. Tanda makamnya berupa pohon yang daunnya berguguran pada musim kemarau dan posisi pohon di dekat makam. Pada 16 Agustus 1962 Pengadilan Militer menjatuhkan vonis mati bagi Kartosoewiryo. Data sejarah selama ini Kartosoewiryo dimakamkan di Pulau Onrust (Suara Merdeka, 6/9/2012, hlm.1). Menurut Fadli Zon, tujuan ditulisnya buku tersebut untuk meluruskan sejarah dan mengenal sosok sejarah. Merespon buku tersebut, sejarawan UI, Anhar Gonggong menyatakan foto perlu dicek berdasarkan metode sejarah dengan kritik intern dan ekstern (Republika, 7/9/2012, hlm.1 dan 10).

Keempat, menumbuhkan nasionalisme anak bangsa dengan memahami fakta sejarah sebagai bukti penjajahan dan direspon dengan perjuangan


(12)

oleh leluhur. Imbasnya akan memelihara terhadap data, artefak, dan bukti sejarah, bukan sebaliknya yakni merusak bukti sejarah. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh warga Desa Wawama, Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara terhadap situs Perang Dunia II di daerahnya. Pada 15 September 1944, Pulau Morotai yang dikuasai Jepang digempur pasukan sekutu, ribuan pesawat yang diawaki 16.915 pilot AU AS dan Australia menyerang dengan operasi tradewind. Secara berangsur, Morotai dikuasai

AS. Komandan pasukan AS wilayah pasiik barat daya, Jenderal Douglas

MacArthur menginstruksikan agar Morotai dijadikan pangkalan militer.

Pulau seluas 2.314 km yang berada di bibir Samudera Pasiik dinilai strategis

untuk menguasai Filipina dan membidik wilayah kekuasaan Jepang. Akan tetapi, dermaga yang dibangun sekutu hanya menyisakan bongkahan batu bekas pelindung dermaga dan tersisa satu dermaga dan lima lainya tertutup ilalang. Sejumlah peralatan perang berupa senjata, bom, panser, kapal laut, hingga pesawat terbang, namun Belanda yang menduduki Morotai saat itu mengangkutnya ke Papua untuk memperkuat pertahanan Papua. Bahkan pada 1980, sebuah BUMN industri baja mengambil benda peninggalan untuk diolah. Masyarakat sekitar sejak 1970 dengan 50 perajin besi mengolah barang antik seperti gelang, kalung, dan pedang samurai untuk dikomersilkan dengan omzet per perajin Rp 10 juta per bulan yang dijual ke Ternate dan Halmahera Utara, Maluku Utara (Kompas, 29/9/2012, hlm.1).

Kelima, data sejarah diharapkan dapat menegakkan hukum karena penegakan hukum pelaku tindak kriminal pada masa silam memerlukan data sejarah. Sebagaimana kebanggaan terhadap kepahlawanan sang sosok pada masa lalu, bisa berputar haluan menjadi sosok penjahat karena pergantian kepentingan rezim. Sebagaimana kiprah Pangeran Diponegoro dalam melawan Belanda. Perlawanannya dibukukan oleh Peter Brian Ramsay Carey, sejarawan dari Oxford University, Inggris yang membukukan selama 30 tahun dalam bukunya Kuasa RamalanPangeran Dipanegara dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 terbitan 2012 terdiri 892 halaman. Titik awal yang menyebabkan Carey terpanggil mendokumentasikan Pangeran Dipanegara karena ia tahu bahwa perang sengit antara kolonial Inggris dengan Keraton Ngayogyokarto. Penjajah Inggris (Negara asal Carey) merampas kitab dan referensi dari Keraton Yogya untuk ‘diamankan’ di Inggris hingga kini. Dalam sejarah nasional, Perang Dipanegara dikenal Perang Jawa pada 1825-1830 dipicu oleh ketersinggungan Diponegoro ketika Belanda menggusur makam trah Keraton Yogya untuk pembangunan jalan. Penggusuran itu direspon


(13)

Dipanegara dan warga dengan semboyan sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi pati (sejari kepala, sejengkal tanah, dibela hingga mati). Dipanegara dibuang Belanda ke Makassar hingga wafat di pengasingan pada 5 Januari 1855. Hingga kini makamnya masih membujur di Makassar. Dipanegara nama kecilnya Raden Mas Ontowiryo lahir pada 11 November 1785 merupakan putra Sulung Hamengkubuwono III, Raja Mataram Yogyakarta, dari seorang garwo selir (garwo ampeyan), R.A Mangkarawati dari Pacitan.

Nasionalisme bangsa asing terhadap Indonesia dibuktikan pula oleh Ernest Douwes Dekker berdarah Belanda, Perancis, Jerman, dan Jawa yang ke manapun lebih senang menyebut dirinya orang Jawa. Dekker lahir di Pasuruan 8/10/1879 (tahun yang sama dengan lahirnya R.A Kartini). Pada 20 Mei 1908 Dekker hadir dalam Kongres I Boedi Oetomo bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara membidani lahirnya Indische Partij, parpol pertama Hindia Belanda yang beranggaran dasar pada 25/12/1912. Imbas kiprahnya, Dekker menjadi buronan Belanda. Ia wafat 28/8/1950 dan dimakamkan di Makam Pahlawan Cikutra Bandung.

Keenam, artefak budaya yang bersejarah bila didalami makna yang tersirat (implisit) maupun tersurat (eksplisit) untuk dirawat dapat menumbuhkan semangat berkreasi generasi kini. Sebagaimana ditemukannya benda cagar budaya berupa candi di Dusun Buloh, Desa Kayen, Kecamatan Kayen, Pati, Jateng yang ditemukan masyarakat di kawasan makam sesepuh desa pada 1976. Laporan ditujukan pada pemerintah daerah oleh warga sekitar kurang direspon, sehingga candi kondisinya memprihatinkan. Candi diduga kawasan permukiman masyarakat Hindu abad ke-9 hingga ke-10 M dan candi dijadikan sebagai tempat pemujaan. Pada akhir 2010, Yayasan Pengelola Makam Ki Gede Miyono, sesepuh warga Kayen, tatkala membangun makam Ki Gede memanfaatkan batu candi untuk pembangunan makam. Keberadaan bangunan induk candi berada di teras musala dapat dirunding untuk langkah penggalian (research excavation). Tim penelitian candi pada September 2011 merupakan tahap awal penelitian dan dilanjutkan pada 14 s.d 20 Juli 2012. Ketua Tim Penelitian Candi Kayen, Balai Arkeologi Yogyakarta, TM Rita Istari, temuan kaki candi tersebut menyumbangkan ilmu arsitektur tentang bangunan bata kuno dalam bentuk susunan batu dengan teknik gosod dan

takik. Teknik gosod merupakan cara menempelkan bata dengan

menggesek-gesekkan dua abtu bata setengah basah. Bata mengeluarkan lumpur bata jika kering bisa merekat. Teknik takik merupakan cara menyambung atau


(14)

memasang dua sisi bata mirip puzzle, di satu sisi ada bagian yang menonjol dan di sisi lain ada bagian untuk memasukkan sisi yang menonjol tersebut. Penemuan candi juga sebagai referensi baru sejarah penyebaran agama Hindu di pesisir utara Jawa. Selama ini penemuan candi di wilayah dataran tinggi karena hinduisme menghormati gunung yang disertai penggunaan istilah kuno seperti toyaning (sumber air), batanan (kawasan candi bata),

momahan (pasar). Pada lokasi candi ditemukan arca Siwa Mahakala dari batu putih, kemuncak candi, darpana (bingkai cermin) dari perunggu, dan hiasan candi (anteiks). Batu bata dengan panjang 39 cm, lebar 25 cm, tinggi 10-11 cm dengan struktur semitris, diduga dicetak dengan cetakan kayu (Kompas

dan Suara Merdeka, 21/7/2012, hlm.12 dan 25). Pendalaman penemuan

candi diharapkan dapat dijadikan dasar mengungkap peradaban masa lalu.

3. Memudarnya Nilai Nasionalisme

Selain mengoptimalkan upaya mengevaluasi pembelajaran sejarah, perlu pula mengokohkan fondasi anak bangsa dalam berbangsa dan bernegara yakni mengaplikasikan kehidupan sehari-hari berbekal pada Pancasila. Tetapi, semakin muncul kekhawatiran, Pancasila sebagai pandangan hidup (dasar kehidupan berbangsa dan bernegara) tidak dengan optimal dijadikan acuan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Penghayatan dan realisasi kehidupan dari butir-butir Pancasila memprihatinkan. Sila pertama, adanya sensitivitas tertentu dalam hubungan antar dan intern umat beragama. Sila kedua, kekerasan antar dan intern etnis mewarnai kehidupan. Sila ketiga, semangat sebagai warga negara (citizen) yang majemuk masih diliputi sikap primordialisme (mengutamakan teman atau ikatan kesukuan). Sila keempat, budaya demokrasi yang menghormati perbedaan belum menjadi ruh kehidupan, terutama dalam berpolitik praktis yang ditunjukkan setiap kemenangan Pilkada, pihak yang kalah sering menguji kesahihannya di hadapan Mahkamah Konstitusi. Sila kelima, kesenjangan si kaya dengan si miskin semakin melebar.

Menurut penulis, pudarnya sendi-sendi kehidupan dan menjauhnya karakter bangsa Indonesia dari ruh Pancasila karena (1) gaya hidup yang glamour, memaksakan diri memenuhi selera dan kebutuhan hidup dengan menghalalkan berbagai cara. (2) minimnya tokoh yang dapat dijadikan tauladan hidup bagi rakyat, (3) tidak sinkronnya peran keempat soko guru kehidupan, sebagaimana sabda Nabi SAW, terdapat 4 sendi stabilitas dunia, ilmunya ulama (cendekiawan, intelektual), adilnya penguasa, dermanya orang


(15)

mampu, dan doanya fakir miskin. Bila salah satu sendi tak berfungsi, yang terjadi adalah instabilitas dalam kehidupan. Ulama sebagai pewaris keilmuan pendahulu yang adiluhung, bertugas mengajak (mengingatkan) pada publik menuju jalan kebajikan dan meninggalkan jalan kemunkaran dengan ide yang ditulisnya. Penguasa yang adil adalah yang mampu mengayomi semua unsur masyarakat, kedermawanan si kaya mengurangi kesenjangan hidup antarsesama, dan doanya si fakir sebagai penopang kehidupan bangsa, dan (4) perlunya belajar dari kiprah perjuangan pahlawan nasional. Pemerintah sejak era Bung Karno hingga era Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013 telah mengukuhkan pahlawan nasional dari berbagai daerah berdasarkan data dari Kemensos RI.

(1) Aceh; Tjuk Njak Dien dikukuhkan pada 1964, Tjut Meutia (1964), Teuku Umar (1973), Teuku Tjik Ditiro (1973), Teuku Nyak Arief (1974), Sultan Iskandar Muda (1993), Teuku Muhammad Hasan (2006), (2) Sumatera Utara; Si Singamangaraja XII (1961), Ferdinand Lumban Tobing

(1962), K.H Zainul Ariin (1963), Tan Malaka (1963), Mayjen DI Pandjaitan

(1965), Tengku Amir Hamzah (1975), Kiras Bangun/Garamata (2005), Letjen TB Simatupang (2013), (3) Sumatera Barat; Abdul Muis (1959), K.H Agus Salim (1961), Sutan Sjahrir (1966), Tuanku Imam Bondjol (1973), Mohammad Yamin (1973), Rasuna Said (1974), Moh Hatta (1986/2012), Ilyas Yacoub (1999), Bagindo Azizchan (2005), Dr.Mohammad Natsir (2008), Syafruddin Prawiranegara (2011), Buya Hamka (2011), (4) Sumatera Selatan; Sultan Mahmud Badaruddin II (1984), Mayjen Adnan Kapau Gani (2007), (5) Riau; Tuanku Tambusai (1995), Raja Haji Fisabilillah (1997), Sultan Asyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin/Syarif Kasim II (1998), (6) Kepulauan Riau; Raja Ali Haji (2004), (7) Jambi; Sultah Thaha Sjaifuddin (1977), (8) Bengkulu, Prof. Dr. Hazairin,S.H (1999) dan fatmawati Soekarno (2000), (9) Kalbar, Abdul kadir Gelar Raden Tumenggung Setia Pahlawan (1999), (10) Kalimantan Tengah; Tjilik Riwut (1998), (11) Kalsel; Pangeran Antasari (1968), Brigjen Hasan Basry (2001), dan Idham Chalid (2011), (12) Gorontalo; Nani Wartabone (2003), (13) Sulut; Dr.GSSJ Ratulangi (1961), AF Lasut (1969), Maria Walanda Maramis (1969), Robert Wolter Monginsidi (1973), Laksda Jayja Daniel Dharma/John Lie (2009), Lambertus Nicodemus Palar (2013), (14)Sulsel; Sultan Hasanuddin (1973), Syekh Yusuf Tajul Khalwati (1995), La Maddukelleng (1998), Ranggong Daeng Romo (2001), Andi Djemma (2002), Pong Tiku (2002), Andi Mappanyukki (2004), Andi Abdullah Bau Massepe (2005), Pajongga Daeng


(16)

Ngalle (2006), Opu Daeng Risadju (2006), Sultan Daeng Radja (2006), (15) Lampung; Radin Inten II (1986), (16) Jateng; K.H Samanhudi (1961), Jend. gatot Subroto (1962), Sukardjo Wirjopranoto (1962), MGR A Sugiopranoto (1963), Ir. Djuanda Kartawidjaja (1963), Dr.Sahardjo (1963), R.A Kartini (1964), Dr.Tjiptomangunkusumo (1964), Alimin (1964), Dr Muwardi (1964), Sri Susuhunan Pakubuwono VI (1964), Jenderal Soedirman (1964), Jenderal Oerip Soemohardjo (1964), Prof. Dr. Soepomo (1965), Jenderal Ahmad Yani (1965), Letjen Soeprapto (1965), Letjen S.Parman (1965), Mayjen Soetojo Siswomihardjo (1965), Supeno (1970), Laksda Josaphat Soedarso (1973), Prof.Dr.R.Soeharso (1973), Nji Ageng Serang (1974), Fatimah Siti Hartinah Soeharto (1996), Pangeran Sambernyawa/KGPAA Mangkunegoro (1988), K.H Ahmad Rifa’i (2004), Brigjen Ignatius Slamet Rijadi (2007), Sri Susuhunan Pakubuwono X (2011), (17) Yogyakarta; Ki Hadjar Dewantoro (1959), Surjopranoto (1959), K.H Ahmad Dahlan (1961), H Fachruddin (1964), Brigjen Katamso (1965), Kol Sugiono (1965), Nyai Achmad Dachlan (1971), Pangeran Diponegoro (1973), Dr.Wahidin Soedirohoesodo (1973), Marsda Abdulrachman Saleh (1974), Marsda Mas Agustinus Adisutjipto (1974), Sultan Agung Anyokrokusumo (1975), Sri Sultan hamengkubuwono IX (1990), Hamengkubuwono I (2006), Dr Ide Anak Agung Gde Agung (2007), Ki Sarmidi Mangunsarkoro (2011), Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono (2011), KRT Radjiman Wedyoningrat (2013), (18) Jabar; Dr.Koesoemah Atmadja (1965), Laksamana Laut RE Martadinata (1966), Raden Dewi sartika (1966), Sultan Ageng Tirtayasa (1970), K.H Zainal Moestafa (1972), R Otto Iskandardinata (1973), Prof. Iwa Kusuma Sumantri (2002), Maskoen Soemadiredja (2004), Gatot Mangkoepradja (2004), Tirto Adhi Soeryo (2006), KH Noer Ali (2006), KH Abdul Halim (2008), (19) Jakarta; Kapten Piere Tendean (1965), Mohammad Hoesni Thamrin (1960), Adam Malik (1998), Jenderal Besar AH Nasution (2002), Jenderal GPH Djatikusumo (2002), Ismail Marzuki (2004), Prof. Achmad Subardjo (2009), (20) NTT; Prof. WZ Johannes (1968), Izaak Huru Doko (2006), Prof Herman Johannes (2009), (21) Jatim, HOS Tjokroaminoto (1961), Setyabudi (1961), Dr Sutomo (1961), KH Mas Mansur (1964), KH Abdul Wahid Hasjim (1964), KH Hasjim Asjarie (1964), Gubernur Surjo (1964), Letjen MT Harjono (1965), Serda Djanatin/Osman Bin Haji Mohammad Ali (1968), Kopral Harun Bin Said/ Tahir (1968), Jend Basuki Rachmat (1969), WR Soepratman (1971), Marsda Abdul Halim Perdana Kusuma (1975), Marsma R Iswahjudi (1975), Soeprijadi (1975), Untung Surapati (1975),Dr.Ir.Soekarno (1986/2012), RP Soeroso


(17)

(1986), Mayjen Prof.Dr.Moestopo (2007), Sutomo/Bung Tomo (2008), (22) Bali Kol I Gusti Ngurah Rai (1975), I Gusti Ketut Jelantik (1993), I Gusti Ketut Pudja (2011), (23) Maluku, Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun (1965), Martha Christina Tijahahu (1969), Kapitan Pattimura (1973), Nuku Muhammad Amiruddin Kaicil Paparangan (1995), Johannes Leimena (2010).

Data tersebut menandaskan bahwa belum semua wilayah provinsi di Nusantara terwakili sosok yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden.

G. Simpulan

Penanaman nilai nasionalisme dalam pendidikan dengan memanfaatkan data sejarah sebagaimana paparan di atas diharapkan bagi generasi terdidik untuk, pertama, menumbuhkan rasa nasionalisme dan kebangsaan. Kedua, meluruskan data sejarah karena dapat dijadikan senjata politik untuk mengamankan rezimnya atau membunuh rezim lain. Ketiga, mengenang kiprah pejuang ke permukaan yang kadangkala tertindih oleh hiruk-pikuk dinamika kehidupan. Keempat, data sejarah dapat dijadikan sebagai bukti otentik di hadapan mahkamah pengadilan. Kelima, artefak budaya yang bersejarah bila didalami makna yang tersirat (implisit) maupun tersurat (eksplisit) untuk dirawat dan dapat menumbuhkan semangat berkreasi generasi kini.

Kekuatan sejarawan dalam menggali data sejarah dan dipaparkan di hadapan publik merupakan usaha optimal yang bernilai tinggi untuk publik karena dapat dijadikan pelajaran hidup. Apapun bentuk data sejarah, mulai dari hal yang sederhana yakni sekeping pemberitaan koran, info yang bersumber dari tumpukan buku yang lusuh dan kumal, wawancara dengan pelaku sejarah atau saksi sejarah yang tidak mengenyam pendidikan formal, diharapkan dapat memasok kebenaran peristiwa sejarah dan boleh jadi data tersebut menyejarah.


(18)

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Asvi Warman. Perlu Berapa Pahlawan Nasional? Kompas, 9 November 2013.

Purwono, Heni. Menguji Kebenaran Hari Jadi. SuaraMerdeka, 21 September2013.


(1)

Dipanegara dan warga dengan semboyan sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi pati (sejari kepala, sejengkal tanah, dibela hingga mati). Dipanegara dibuang Belanda ke Makassar hingga wafat di pengasingan pada 5 Januari 1855. Hingga kini makamnya masih membujur di Makassar. Dipanegara nama kecilnya Raden Mas Ontowiryo lahir pada 11 November 1785 merupakan putra Sulung Hamengkubuwono III, Raja Mataram Yogyakarta, dari seorang garwo selir (garwo ampeyan), R.A Mangkarawati dari Pacitan.

Nasionalisme bangsa asing terhadap Indonesia dibuktikan pula oleh Ernest Douwes Dekker berdarah Belanda, Perancis, Jerman, dan Jawa yang ke manapun lebih senang menyebut dirinya orang Jawa. Dekker lahir di Pasuruan 8/10/1879 (tahun yang sama dengan lahirnya R.A Kartini). Pada 20 Mei 1908 Dekker hadir dalam Kongres I Boedi Oetomo bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara membidani lahirnya Indische Partij, parpol pertama Hindia Belanda yang beranggaran dasar pada 25/12/1912. Imbas kiprahnya, Dekker menjadi buronan Belanda. Ia wafat 28/8/1950 dan dimakamkan di Makam Pahlawan Cikutra Bandung.

Keenam, artefak budaya yang bersejarah bila didalami makna yang tersirat (implisit) maupun tersurat (eksplisit) untuk dirawat dapat menumbuhkan semangat berkreasi generasi kini. Sebagaimana ditemukannya benda cagar budaya berupa candi di Dusun Buloh, Desa Kayen, Kecamatan Kayen, Pati, Jateng yang ditemukan masyarakat di kawasan makam sesepuh desa pada 1976. Laporan ditujukan pada pemerintah daerah oleh warga sekitar kurang direspon, sehingga candi kondisinya memprihatinkan. Candi diduga kawasan permukiman masyarakat Hindu abad ke-9 hingga ke-10 M dan candi dijadikan sebagai tempat pemujaan. Pada akhir 2010, Yayasan Pengelola Makam Ki Gede Miyono, sesepuh warga Kayen, tatkala membangun makam Ki Gede memanfaatkan batu candi untuk pembangunan makam. Keberadaan bangunan induk candi berada di teras musala dapat dirunding untuk langkah penggalian (research excavation). Tim penelitian candi pada September 2011 merupakan tahap awal penelitian dan dilanjutkan pada 14 s.d 20 Juli 2012. Ketua Tim Penelitian Candi Kayen, Balai Arkeologi Yogyakarta, TM Rita Istari, temuan kaki candi tersebut menyumbangkan ilmu arsitektur tentang bangunan bata kuno dalam bentuk susunan batu dengan teknik gosod dan

takik. Teknik gosod merupakan cara menempelkan bata dengan

menggesek-gesekkan dua abtu bata setengah basah. Bata mengeluarkan lumpur bata jika kering bisa merekat. Teknik takik merupakan cara menyambung atau


(2)

memasang dua sisi bata mirip puzzle, di satu sisi ada bagian yang menonjol dan di sisi lain ada bagian untuk memasukkan sisi yang menonjol tersebut. Penemuan candi juga sebagai referensi baru sejarah penyebaran agama Hindu di pesisir utara Jawa. Selama ini penemuan candi di wilayah dataran tinggi karena hinduisme menghormati gunung yang disertai penggunaan istilah kuno seperti toyaning (sumber air), batanan (kawasan candi bata),

momahan (pasar). Pada lokasi candi ditemukan arca Siwa Mahakala dari batu putih, kemuncak candi, darpana (bingkai cermin) dari perunggu, dan hiasan candi (anteiks). Batu bata dengan panjang 39 cm, lebar 25 cm, tinggi 10-11 cm dengan struktur semitris, diduga dicetak dengan cetakan kayu (Kompas

dan Suara Merdeka, 21/7/2012, hlm.12 dan 25). Pendalaman penemuan

candi diharapkan dapat dijadikan dasar mengungkap peradaban masa lalu.

3. Memudarnya Nilai Nasionalisme

Selain mengoptimalkan upaya mengevaluasi pembelajaran sejarah, perlu pula mengokohkan fondasi anak bangsa dalam berbangsa dan bernegara yakni mengaplikasikan kehidupan sehari-hari berbekal pada Pancasila. Tetapi, semakin muncul kekhawatiran, Pancasila sebagai pandangan hidup (dasar kehidupan berbangsa dan bernegara) tidak dengan optimal dijadikan acuan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Penghayatan dan realisasi kehidupan dari butir-butir Pancasila memprihatinkan. Sila pertama, adanya sensitivitas tertentu dalam hubungan antar dan intern umat beragama. Sila kedua, kekerasan antar dan intern etnis mewarnai kehidupan. Sila ketiga, semangat sebagai warga negara (citizen) yang majemuk masih diliputi sikap primordialisme (mengutamakan teman atau ikatan kesukuan). Sila keempat, budaya demokrasi yang menghormati perbedaan belum menjadi ruh kehidupan, terutama dalam berpolitik praktis yang ditunjukkan setiap kemenangan Pilkada, pihak yang kalah sering menguji kesahihannya di hadapan Mahkamah Konstitusi. Sila kelima, kesenjangan si kaya dengan si miskin semakin melebar.

Menurut penulis, pudarnya sendi-sendi kehidupan dan menjauhnya karakter bangsa Indonesia dari ruh Pancasila karena (1) gaya hidup yang glamour, memaksakan diri memenuhi selera dan kebutuhan hidup dengan menghalalkan berbagai cara. (2) minimnya tokoh yang dapat dijadikan tauladan hidup bagi rakyat, (3) tidak sinkronnya peran keempat soko guru kehidupan, sebagaimana sabda Nabi SAW, terdapat 4 sendi stabilitas dunia, ilmunya ulama (cendekiawan, intelektual), adilnya penguasa, dermanya orang


(3)

mampu, dan doanya fakir miskin. Bila salah satu sendi tak berfungsi, yang terjadi adalah instabilitas dalam kehidupan. Ulama sebagai pewaris keilmuan pendahulu yang adiluhung, bertugas mengajak (mengingatkan) pada publik menuju jalan kebajikan dan meninggalkan jalan kemunkaran dengan ide yang ditulisnya. Penguasa yang adil adalah yang mampu mengayomi semua unsur masyarakat, kedermawanan si kaya mengurangi kesenjangan hidup antarsesama, dan doanya si fakir sebagai penopang kehidupan bangsa, dan (4) perlunya belajar dari kiprah perjuangan pahlawan nasional. Pemerintah sejak era Bung Karno hingga era Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013 telah mengukuhkan pahlawan nasional dari berbagai daerah berdasarkan data dari Kemensos RI.

(1) Aceh; Tjuk Njak Dien dikukuhkan pada 1964, Tjut Meutia (1964), Teuku Umar (1973), Teuku Tjik Ditiro (1973), Teuku Nyak Arief (1974), Sultan Iskandar Muda (1993), Teuku Muhammad Hasan (2006), (2) Sumatera Utara; Si Singamangaraja XII (1961), Ferdinand Lumban Tobing

(1962), K.H Zainul Ariin (1963), Tan Malaka (1963), Mayjen DI Pandjaitan

(1965), Tengku Amir Hamzah (1975), Kiras Bangun/Garamata (2005), Letjen TB Simatupang (2013), (3) Sumatera Barat; Abdul Muis (1959), K.H Agus Salim (1961), Sutan Sjahrir (1966), Tuanku Imam Bondjol (1973), Mohammad Yamin (1973), Rasuna Said (1974), Moh Hatta (1986/2012), Ilyas Yacoub (1999), Bagindo Azizchan (2005), Dr.Mohammad Natsir (2008), Syafruddin Prawiranegara (2011), Buya Hamka (2011), (4) Sumatera Selatan; Sultan Mahmud Badaruddin II (1984), Mayjen Adnan Kapau Gani (2007), (5) Riau; Tuanku Tambusai (1995), Raja Haji Fisabilillah (1997), Sultan Asyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin/Syarif Kasim II (1998), (6) Kepulauan Riau; Raja Ali Haji (2004), (7) Jambi; Sultah Thaha Sjaifuddin (1977), (8) Bengkulu, Prof. Dr. Hazairin,S.H (1999) dan fatmawati Soekarno (2000), (9) Kalbar, Abdul kadir Gelar Raden Tumenggung Setia Pahlawan (1999), (10) Kalimantan Tengah; Tjilik Riwut (1998), (11) Kalsel; Pangeran Antasari (1968), Brigjen Hasan Basry (2001), dan Idham Chalid (2011), (12) Gorontalo; Nani Wartabone (2003), (13) Sulut; Dr.GSSJ Ratulangi (1961), AF Lasut (1969), Maria Walanda Maramis (1969), Robert Wolter Monginsidi (1973), Laksda Jayja Daniel Dharma/John Lie (2009), Lambertus Nicodemus Palar (2013), (14)Sulsel; Sultan Hasanuddin (1973), Syekh Yusuf Tajul Khalwati (1995), La Maddukelleng (1998), Ranggong Daeng Romo (2001), Andi Djemma (2002), Pong Tiku (2002), Andi Mappanyukki (2004), Andi Abdullah Bau Massepe (2005), Pajongga Daeng


(4)

Ngalle (2006), Opu Daeng Risadju (2006), Sultan Daeng Radja (2006), (15) Lampung; Radin Inten II (1986), (16) Jateng; K.H Samanhudi (1961), Jend. gatot Subroto (1962), Sukardjo Wirjopranoto (1962), MGR A Sugiopranoto (1963), Ir. Djuanda Kartawidjaja (1963), Dr.Sahardjo (1963), R.A Kartini (1964), Dr.Tjiptomangunkusumo (1964), Alimin (1964), Dr Muwardi (1964), Sri Susuhunan Pakubuwono VI (1964), Jenderal Soedirman (1964), Jenderal Oerip Soemohardjo (1964), Prof. Dr. Soepomo (1965), Jenderal Ahmad Yani (1965), Letjen Soeprapto (1965), Letjen S.Parman (1965), Mayjen Soetojo Siswomihardjo (1965), Supeno (1970), Laksda Josaphat Soedarso (1973), Prof.Dr.R.Soeharso (1973), Nji Ageng Serang (1974), Fatimah Siti Hartinah Soeharto (1996), Pangeran Sambernyawa/KGPAA Mangkunegoro (1988), K.H Ahmad Rifa’i (2004), Brigjen Ignatius Slamet Rijadi (2007), Sri Susuhunan Pakubuwono X (2011), (17) Yogyakarta; Ki Hadjar Dewantoro (1959), Surjopranoto (1959), K.H Ahmad Dahlan (1961), H Fachruddin (1964), Brigjen Katamso (1965), Kol Sugiono (1965), Nyai Achmad Dachlan (1971), Pangeran Diponegoro (1973), Dr.Wahidin Soedirohoesodo (1973), Marsda Abdulrachman Saleh (1974), Marsda Mas Agustinus Adisutjipto (1974), Sultan Agung Anyokrokusumo (1975), Sri Sultan hamengkubuwono IX (1990), Hamengkubuwono I (2006), Dr Ide Anak Agung Gde Agung (2007), Ki Sarmidi Mangunsarkoro (2011), Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono (2011), KRT Radjiman Wedyoningrat (2013), (18) Jabar; Dr.Koesoemah Atmadja (1965), Laksamana Laut RE Martadinata (1966), Raden Dewi sartika (1966), Sultan Ageng Tirtayasa (1970), K.H Zainal Moestafa (1972), R Otto Iskandardinata (1973), Prof. Iwa Kusuma Sumantri (2002), Maskoen Soemadiredja (2004), Gatot Mangkoepradja (2004), Tirto Adhi Soeryo (2006), KH Noer Ali (2006), KH Abdul Halim (2008), (19) Jakarta; Kapten Piere Tendean (1965), Mohammad Hoesni Thamrin (1960), Adam Malik (1998), Jenderal Besar AH Nasution (2002), Jenderal GPH Djatikusumo (2002), Ismail Marzuki (2004), Prof. Achmad Subardjo (2009), (20) NTT; Prof. WZ Johannes (1968), Izaak Huru Doko (2006), Prof Herman Johannes (2009), (21) Jatim, HOS Tjokroaminoto (1961), Setyabudi (1961), Dr Sutomo (1961), KH Mas Mansur (1964), KH Abdul Wahid Hasjim (1964), KH Hasjim Asjarie (1964), Gubernur Surjo (1964), Letjen MT Harjono (1965), Serda Djanatin/Osman Bin Haji Mohammad Ali (1968), Kopral Harun Bin Said/ Tahir (1968), Jend Basuki Rachmat (1969), WR Soepratman (1971), Marsda Abdul Halim Perdana Kusuma (1975), Marsma R Iswahjudi (1975), Soeprijadi (1975), Untung Surapati (1975),Dr.Ir.Soekarno (1986/2012), RP Soeroso


(5)

(1986), Mayjen Prof.Dr.Moestopo (2007), Sutomo/Bung Tomo (2008), (22) Bali Kol I Gusti Ngurah Rai (1975), I Gusti Ketut Jelantik (1993), I Gusti Ketut Pudja (2011), (23) Maluku, Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun (1965), Martha Christina Tijahahu (1969), Kapitan Pattimura (1973), Nuku Muhammad Amiruddin Kaicil Paparangan (1995), Johannes Leimena (2010).

Data tersebut menandaskan bahwa belum semua wilayah provinsi di Nusantara terwakili sosok yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden.

G. Simpulan

Penanaman nilai nasionalisme dalam pendidikan dengan memanfaatkan data sejarah sebagaimana paparan di atas diharapkan bagi generasi terdidik untuk, pertama, menumbuhkan rasa nasionalisme dan kebangsaan. Kedua, meluruskan data sejarah karena dapat dijadikan senjata politik untuk mengamankan rezimnya atau membunuh rezim lain. Ketiga, mengenang kiprah pejuang ke permukaan yang kadangkala tertindih oleh hiruk-pikuk dinamika kehidupan. Keempat, data sejarah dapat dijadikan sebagai bukti otentik di hadapan mahkamah pengadilan. Kelima, artefak budaya yang bersejarah bila didalami makna yang tersirat (implisit) maupun tersurat (eksplisit) untuk dirawat dan dapat menumbuhkan semangat berkreasi generasi kini.

Kekuatan sejarawan dalam menggali data sejarah dan dipaparkan di hadapan publik merupakan usaha optimal yang bernilai tinggi untuk publik karena dapat dijadikan pelajaran hidup. Apapun bentuk data sejarah, mulai dari hal yang sederhana yakni sekeping pemberitaan koran, info yang bersumber dari tumpukan buku yang lusuh dan kumal, wawancara dengan pelaku sejarah atau saksi sejarah yang tidak mengenyam pendidikan formal, diharapkan dapat memasok kebenaran peristiwa sejarah dan boleh jadi data tersebut menyejarah.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Asvi Warman. Perlu Berapa Pahlawan Nasional? Kompas, 9 November 2013.

Purwono, Heni. Menguji Kebenaran Hari Jadi. SuaraMerdeka, 21 September2013.