A pengertian dari sosialisasi politik

a pengertian dari sosialisasi politik?Pengertian sosialisasi politik adalah proses di mana orang
belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik. Proses tersebut hakikatnya
merupakan upaya mempelajari nilai-nilai atau budaya politik masyarakat. Sosialisasi politik pada
dasarnya adalah proses belajar, baik dari pengalaman maupun pola-pola tindakan. Sosialisasi politik
memberikan indikasi umum hasil belajar tingkahlaku politik dan kelompok berkenaan dengan
pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap politik tertentu. Sosialsasi politik tidak hanya berlangsung
pada fase anak-anak dan remaja, melainkan berlangsung sepanjang hayat. Sosialisasi politik
memberikan penjelasan mengenai tingkah laku politik masyarakat, karenanya merupakan prakondisi
yang diperlukan bagi aktivitas politik.

Iklan Politik sarana Sosialisasi Politik

Sosialisasi politik bersifat laten dan manifes. Sosialisasi politik laten berlangsung dalam transmisi
informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input, dan output sistem sosial (misalnya keluarga)
yang mempengaruhi sikap terhadap peran, input, dan output sistem politik. Sedangkan, sosialisasi
politik manifes berlangsung dalam bentuk transmisi informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap
peran, input, dan output sistem politik.
Apa fungsi dari sosialisasi politik? Fungsi sosialisasi politik antara lain sebagai berikut:
enis-jenis sosialisasi politik dapat dikelompokkan berdasarkan metode penyampaian pesan. Dari
segi metode ini, jenis sosialisasi politik terbagi menjadi:



Pendidikan Politik: Pendidikan Politik adalah proses dialogis yang bertujuan agar anggota
masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik
negaranya. Hal ini biasa dilakukan melalui kegiatan kursus, latihan kepemimpinan, diskusi,
atau keikutsertaan dalam berbagai pertemuan formal maupun informal.



Indoktrinasi Politik: Indoktrinasi Politik adalah proses sosialisasi yang dilakukan untuk
memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat agar menerima nilai, norma, dan simbol
politik. Hal ini biasanya dilakukan secara satu arah dengan menggunakan cara-cara paksaan
psikologis.

Siapa yang dapat melakukan sosialisasi politik? Sekurang-kurangnya ada enam agen sosialisasi
politik, yaitu:



Keluarga: Keluarga merupakan agen pertama dalam pembentukan nilai-nilai politik bagi
seorang individu,




Sekolah: Sekolah memberikan pengetahuan kepada kaum muda tentang dunia politik dan
peranan mereka di dalamnya. Juga memberikan pandangan yang lebih konkret tentang
lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik.



Kelompok Pergaulan: Kelompok pergaulan dapat berupa kelompok bermain, kelompok
persahabatan, dan kelompok kerja. Melalui kelompok pergaulan orang belajar tentang
menyesuaikan diri terhadap sikap-sikap atau tingkah laku yang dianut oleh kelompok.



Tempat

Kerja: Dalam hal ini, terutama adalah organisasi-organisasi formal ataupun

nonformal yang dibentuk atas dasar pekerjaan, seperti serikat-serikat kerja, serikat buruh, dan

sejenisnya. Organisasi semacam itu seringkali menjadi acuan individu dalam kehidupan politik.


Media Massa: Melalui media massa masyarakat dapat memperoleh pengetahuan dan
informasi-informasi politik. Selain itu, media massa merupakan sarana ampuh untuk
membentuk sikap dan keyakinan politik warga masyarakat.



Kontak Politik Langsung: Yaitu pengalaman nyata seseorang dalam kehidupan politik. Hal
ini sangat berpengaruh terhadap orientasi politik seseorang. Pandangan terhadap sistem
politik yang telah ditanamkan oleh keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, tempat kerja, dan
media massa bisa berubah oleh karena pengalaman nyata seseorang dalam kehidupan politik.

Proses Sosialisasi Budaya Politik
Sosialisasi politik diawali pada masa kanak-kanak atau Berdasarkan hasil riset David Easton
dan Robert Hess, proses sosialisasi politik meliputi empat tahap sebagai berikut.

1.
Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua, anak, presiden, dan

polisi.
2.
Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang eksternal, yaitu antara
pejabat swasta dan pejabat pemerintah.
3.
Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti kongres
(parlemen), Mahkamah Agung, dan pemungutan suara (pemilu).
4.
Perkembangan pembedaan antara situasi-situasi politik dan mereka yang terlibat
dalam aktivitas yang disosialisasikan dengan institusi-institusi ini.
Cara kerjaatau mekanisme sosialisasi pengembangan budaya politik yang meliputi tiga cara
berikut.

1.
Imitasi, proses sosialisasi melalui peniruan terhadap perilaku yang ditampilkan
individu-individu lain. Sosialisasi pada masa kanakkanak merupakan hal yang amat penting.

2.
Instruksi, mengacu pada proses sosialisasi melalui proses pembelajaran formal,
informal, maupun nonformal.

3.

Motivasi, proses sosialisasi yang berkaitan dengan pengalaman individu.

Dengan dua pendapat tersebut, dapat kita pahami bahwa proses sosialisasi politik dapat
dimulai sejak dini (masih kanak-kanak) hingga akhir hayat. Proses sosialisasi
politik dapat dilaksanakan melalui pembelajaran formal, informal, dan nonformal. Dengan
demikian, proses sosialisasi politik dapat dilakukan melalui berbagai agen atau tempat
sesuai dengan jenis pembelajarannya.
b. Agen Sosialisasi Budaya Politik
Ada berbagai agen atau tempat dilaksanakannya sosialisasi politik. Mulai dari lingkungan
terdekat dengan anak hingga yang ada di luar lingkungan anak. Beberapa agen atau tempat
dilaksanakannya sosialisasi budaya politik seperti berikut.
1. Keluarga (Family)
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah di
dalam keluarga. Dimulai dari keluarga inilah antara orang tua dengan anak, sering terjadi
”obrolan” politik ringan tentang segala hal sehingga tanpa disadari terjadi transfer
pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak. Misalnya, seorang ibu
menceritakan kepada anaknya tentang pentingnya memberikan suara dalam pengambilan
kebijakan bersama. Melalui cerita dari sang ibu, seorang anak akan selalu mengingat

pentingnya memberikan suara dalam pengambilan kebijakan bersama seperti pemilihan
ketua OSIS.
2. Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics education (pendidikan kewarganegaraan), siswa dan
gurunya saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu
yang mengandung nilai-nilai politik teoretis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah
memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai
politik yang benar dari sudut pandang akademis. Misalnya, guru memberikan informasi
tentang budaya politik bangsa Indonesia pada era Orde Baru. Dari informasi guru, siswa
menjadi tahu bentuk dan ciri budaya politik Indonesia pada era Orde Baru.

3. Partai Politik
Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai sosialisasi politik. Ini berarti
partai politik tersebut setelah merekrut anggota kader maupun simpatisannya secara periodik maupun
pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Partai politik harus mampu menciptakan ”image” memperjuangkan kepentingan umum agar
mendapat dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan pemilu. Partai politik
mempunyai beberapa tujuan khusus sebagai berikut.



Meningkatkan partisipasi politik anggota
penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.

dan

masyarakat

dalam

rangka


Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.

Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
4. Peer Group atau Teman Sepermainan (Teman Sebaya)
Peer group adalah teman-teman sepermainan atau teman sebaya yang mengelilingi seorang individu.
Apa yang dilakukan oleh temanteman sepermainan tentu sangat mempengaruhi beberapa tindakan

seorang individu. Dalam hal sosialisasi politik, contoh bentuk pengaruh peer group adalah pandangan
teman sepermainan terhadap seorang tokoh politik atau sebuah partai politik. Pandangan peer group ini
bisa mempengaruhi pandangan individu lain.
5. Media Massa
Berita-berita yang dikemas dalam media massa baik audio visual (televisi), surat kabar cetak, internet,
ataupun radio, yang berisikan perilaku pemerintah ataupun partai politik banyak mempengaruhi perilaku
politik setiap individu. Meskipun tidak memiliki kedalaman, tetapi media massa mampu menyita perhatian
individu karena sifatnya yang terkadang menarik atau cenderung ”berlebihan”.
6. Pemerintah
Pemerintah merupakan agen yang mempunyai kepentingan langsung atas sosialisasi politik. Hal ini
karena pemerintah adalah pelaksana sistem politik dan stabilitasnya. Pemerintah biasanya melibatkan
diri dalam politik pendidikan, yaitu melalui beberapa mata pelajaran yang ditujukan untuk
memperkenalkan siswa kepada sistem politik negara, pemimpin, lagu kebangsaan, dan sejenisnya.
Pemerintah secara tidak langsung juga melakukan sosialisasi politik melalui tindakan-tindakannya.
Melalui tindakan pemerintah, orientasi afektif individu bisa terpengaruh. Hal ini secara otomatis juga
mempengaruhi budaya politik individu yang bersangkutan.
Dalam menjabarkan tujuan khusus pada tiap-tiap partai politik tidaklah sama. Yang penting, tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai asas
partai politik.
c. Sosialisasi Politik dan Komunikasi Politik

Menurut Hyman, sosialisasi politik merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik
belajar secara emosional maupun indoktrinasi politik yang nyata dan dimediasi (sarana komunikasi) oleh
segala partisipasi dan pengalaman individu yang menjalaninya. Hal ini menunjukkan betapa besar
peranan komunikasi politik dalam proses sosialisasi politik di tengah masyarakat. Dengan demikian,
segala aktivitas komunikasi politik berfungsi pula sebagai suatu proses sosialisasi bagi anggota
masyarakat yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas komunikasi politik
tersebut.
Dalam suatu sistem politik negara, fungsi sosialisasi menunjukkan bahwa semua sistem politik cenderung
berusaha mengekalkan kultur dan struktur mereka sepanjang waktu. Hal ini dilakukan terutama melalui
cara pengaruh struktur-struktur primer dan sekunder yang dilalui oleh anggota muda masyarakat dalam
proses pendewasaan mereka.
Di dalam realitas kehidupan masyarakat, pola-pola sosialisasi politik juga mengalami perubahan seperti
juga berubahnya struktur dan kultur politik. Perubahan-perubahan tersebut menyangkut pula soal

perbedaan tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam subsistem masyarakat yang beraneka
ragam.
Pada sisi lain, sosialisasi budaya politik merupakan proses induksi ke dalam suatu kultur politik
yang dimiliki oleh sistem politik yang dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah seperangkat sikap mental,
kognisi (pengetahuan), standar nilai-nilai, dan perasaan-perasaan terhadap sistem politik dan aneka
perannya, serta peran yang berlaku. Hasil proses tersebut juga mencakup pengetahuan tentang nilai-nilai

yang mempengaruhi, serta perasaan mengenai masukan tentang tuntutan dan klaim terhadap sistem,
dan output otoritasnya.

Klasifikasi partai politik[sunting | sunting sumber]
Klasifikasi partai politik dapat didasarkan atas beberapa hal antara lain :
Dari segi komposisi, fungsi keanggotaan dan dasar ideologinya. Dalam klasifikasi berdasarkan
komposisi dan fungsi keanggotaan, partai politik dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu partai
kader dan partai massa.
Partai kader biasanya lebih mementingkan keketatan, disiplin dan kualitas anggota. Kelemahan
partai kader ini teutama dalam mencari dukungan, biasanya mereka kalah dalam persaingan
mengumpulkan jumlah dukungandi masyarakat luas karena dianggap anggota partai kader terbatas
pada kelompok-kelompok tertentu.
Partai massa merupakan kebalikan dari partai kader karena mereka lebih menekankan pada
pencarian jumlah dukungan yang banyak di masyarakat atau dengan kata lain lebih menekankan
aspek kuantitas. Kelemahan partai massa adalah bahwa disiplin anggota biasanya lemah, juga
lemahnya ikatan organisasi sesame anggota, bahkan kadang kala tidak saling kenal, karena
luasnya dukungan dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat.
Perkembangn partai massa sebenarnya berawal dari partai kader. Partai – partai kader yang
sebelumnya masih terbatas keanggotaannya pada kalangan tertentu mulai membuka diri untuk
keanggotaan yang lebih luas.

Pada tahun 1966, Otto von Kircheimer menambahkan lagi sebuah jenis partai berdasarkan
keanggotaannya, yang disebut partai catch-all. Partai jenis ini adalah perkembangan lebih lanjut dari
partai massa.
Pada tahun 1980-an, Richard S. katz dan Peter Mair menambahkan lagi sebuah jenis partai
berdasarkan perkembangan kecenderungan Negara-negara Barat untuk memberikan subsidi bagi
partai-partai politik yang ada dan meningkatnya peran media elektronik dalam kampanye pemilu.
Katz dan Mair mengutip kesuksesan kerja sama tiga partai politik Austria (the socialist Party, the

people’s Party and the freedom Party), yang berhasil mempertahankan kemenangannya dalam
pemilu selama bertahun-tahun.
Klasifikasi partai politik dapat juga didasarkan atas sifat dan orientasinya. Dalam hal ini partai politik
dibagi atas partai lindungan dan partai ideologi atau asas. Partai lindungan umumnya memiliki
organisasi nasional yang kendor, meskipun pada tingkat lokal sering kalicukup ketat.
Partai ideologi atau partai asas, adalah partai yang mengikat diri pada ideologi atau asas tertentu
dalam menyusun program kerja partainya. Klaus von Beyme pada tahun 1985 dalam bukunya
Political Parties in western Democracies, mengklasifikasikan 9 kelompok partai yang selama ini
berkembang di Eropa Barat berdasarkan ideologinya (familles spiritualles) yaitu :
1. Partai Liberal dan Radikal.
2. Partai Konservatif.
3. Partai Sosialis dan Sosial Demokrat.
4. Partai Kristen Demokrat.
5. Partai Komunis.
6. Partai Agraris.
7. Partai Regional dan Etnis.
8. Partai Ekstrim Kanan.
9. Gerakan Ekonomi/Lingkungan.
Von Beyme tidak menutup kemungkinan bahwa ada partai-partai politik dengan ideologi lain yang
kemudian tidak bisa dimasukkan dalam klasifikasi yang ia buat.
Orientasi para pemilih tersebut bisa dikelompokan menjadi empat klasifikasi yang muncul dalam
masyarakat bersamaan dengan perkembangan sosial politik di Negara itu sendiri, yaitu:
1. Pusat daerah (centre-periphery)
2. Negara gereja (state-church)
3. Ladang Industri (land-industri)
4. Pemilik modal pekerja (owner-worker)

Sistem, Fungsi, dan Struktur Partai Politik di
Indonesia[sunting | sunting sumber]
Partisipasi politik secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu
pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses
politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh
para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik.
Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak
pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta
dalam pelaksanaan keputusan.
Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative
democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain
terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat
pemilih (hanya berkisar 50 - 60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu
terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang
dengan konsep deliberative democracy.
Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu
pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para
pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin "Saya mengharapkan partispasi
masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihngmasing". Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor
utama pembuatan keputusan.

Bentuk Partisipasi Politik
Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi
politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud
nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson
membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
1.

Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan
umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi
calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha
mempengaruhi hasil pemilu;
2.
Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi
pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang
suatu isu;

3.

Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi,
baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi
pengambilan keputusan oleh pemerintah;
4.
Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun
jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan
mereka, dan
5.
Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok
guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan
kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara,
teror,
kudeta,
pembutuhan
politik
(assassination),
revolusi
dan
pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk
klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan
individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu,
penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik
adalah masuk ke dalam kajian ini.
Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson relatif lengkap. Hampir
setiap fenomena bentuk partisipasi politik kontemporer dapat dimasukkan ke dalam
klasifikasi mereka. Namun, Huntington dan Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk
partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya
yang berlangsung di dalam skala subyektif individu.