Mekanisme Kolaborasi untuk Peningkatan Kapasitas Masyarakat dalam Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Pohuwato

MEKANISME KOLABORASI UNTUK PENINGKATAN KAPASITAS
MASYARAKAT DALAM PROGRAM KEBUN BIBIT RAKYAT
DI KABUPATEN POHUWATO

IVANA BUTOLO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir berjudul Mekanisme
Kolaborasi untuk Peningkatan Kapasitas Masyarakat dalam Program Kebun Bibit
Rakyat di Kabupaten Pohuwato adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Ivana Butolo
NRP H252124085

RINGKASAN
IVANA BUTOLO. Mekanisme Kolaborasi untuk Peningkatan Kapasitas
Masyarakat dalam Program Kebun Bibit Rakyat di Kabupaten Pohuwato.
Dibimbing oleh LUKMAN M, BAGA dan IRDIKA MANSUR.
Program Kebun Bibit Rakyat (KBR) merupakan salah satu upaya
pemerintah untuk lebih memberdayakan masyarakat dalam upaya untuk
mengurangi laju kerusakan hutan dan lahan kritis. Program KBR ini adalah
fasilitasi pemerintah dalam penyediaan bibit tanaman hutan dan jenis tanaman
serbaguna yang dibuat secara swakelola oleh kelompok masyarakat.
Pada sektor kehutanan pola pemberdayaan masyarakat diwujudkan dengan
pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang penekanannya adalah pada proses
belajar masyarakat dan tujuan praktis untuk pengembangan program. Masyarakat
didorong untuk turut serta meningkatkan kapasitasnya dalam mengkaji
pengetahuan mereka mengenai kehidupan dan kondisi mereka sendiri, agar
mereka dapat menyusun rencana dan tindakan dan diharapkan akan ada hubungan

yang erat antara masyarakat dan pemerintah secara terus menerus.
Tujuan dari program KBR adalah untuk meningkatkan produktivitas lahan
dengan berbagai hasil tanaman KBR berupa tanaman kayu- kayuan dan non kayu,
serta memberikan peluang kesempatan kerja dan kesempatan berusaha sehingga
dapat meningkatan pendapatan masyarakat. Sasaran penggunaan bibit KBR yaitu
untuk kegiatan hutan rakyat, penghijauan lingkungan pada fasilitas umum,
rehabilitasi mangrove dan areal kerja hutan kemasyarakatan dan hutan desa.
Untuk keberhasilan pelaksanaan KBR ini perlu adanya kesamaan sikap dan
tindakan yang terkoordinasi oleh seluruh aktor dalam sektor kehutanan melalui
kolaborasi. Dengan kolaborasi maka ada kejelasan hak, peran, tanggung jawab,
manfaat dan hubungan diantara parapihak, sehingga akan tercipta ruang-ruang
partisipasi publik bagi parapihak yang berkepentingan terhadap hutan.
Pengelolaan hutan secara bersama selain memberi kontribusi kepada upaya-upaya
pelestarian hutan juga memberikan keuntungan kepada masyarakat setempat
dalam menunjukkan inisiatif dan kapasitas dalam pengelolaan sumberdaya. Dalam
hubungan dengan peningkatan kapasitas, mekanisme kolaborasi merupakan suatu
proses pembangunan masyarakat dalam mempelajari, memahami dan
pendayagunaan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia di wilayah tersebut.
Pelaksanaan KBR tahun 2013 di Kabupaten Pohuwato dilaksanakan di 10
kecamatan, 27 desa dengan 27 kelompok masyarakat. Setiap kelompok terdiri dari

15 orang yang terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, ketua tim perencana, ketua
tim pelaksana, ketua tim pengawas dan anggotanya masing-masing dengan lokasi
persemaian dan penanaman bibit berada dilahan milik masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengidentifikasi peran stakeholder untuk
meningkatkan kapasitas masyarakat dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato.
2) Mengevaluasi tingkat kapasitas masyarakat dalam program KBR di Kabupaten
Pohuwato, 3) Merumuskan strategi kolaborasi untuk keberhasilan program KBR
di Kabupaten Pohuwato. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara,
observasi dilapangan dan kuesioner, kemudian data dianalisis dengan
menggunakan analisis stakeholder, gap, dan SWOT. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 1) Stakeholder yang terlibat dalam program KBR lebih

didominasi oleh stakeholder primer, sementara stakeholder sekunder tidak
dilibatkan dalam proses KBR padahal dari hasil identifikasi berkepentingan dan
mempunyai pengaruh terhadap peningkatan kapasitas masyarakat dalam program
KBR; 2) Evaluasi kapasitas masyarakat pada program KBR dengan menggunakan
analisis gap menunjukkan bahwa selisih antara kinerja dan harapan semuanya
bernilai negatif baik pada tingkat kebijakan, organisasi maupun individual.
Meskipun jumlah gap yang terjadi relatif kecil, akan tetapi tetap membutuhkan
upaya kolaborasi dari semua stakeholder yang berkepentingan dan berpengaruh

terhadap implementasi program KBR. Mulai dari tingkat kebijakan dengan
membuat perumusan atau formulasi kebijakan yang memastikan pokok isu dari
permasalahan yang dihadapi kelompok masyarakat. Pada tingkatan organisasi
dengan lebih memperhatikan struktur dan proses yang dapat mendukung
perubahan organisasi secara keseluruhan. Pada tingkat individual dengan lebih
melakukan pendampingan kepada kelompok masyarakat serta bimbingan teknis
tentang cara pembuatan bibit yang baik dan benar hingga proses pemeliharaan dan
penanaman bibit KBR; 3) berdasarkan hasil analisis SWOT diperoleh beberapa
strategi yang kemudian dirumuskan kedalam beberapa program dan selanjutnya
dipetakan kedalam gambar arsitektur strategik. Dalam kondisi inilah maka
kolaborasi menjadi penting karena setiap stakeholder dapat memberikan
kontribusinya bagi upaya peningkatan kapasitas masyarakat.
Kata Kunci : Kolaborasi, stakeholder, peningkatan kapasitas masyarakat, Program
Kebun Bibit Rakyat (KBR).

SUMMARY
IVANA BUTOLO. Collaboration Mechanism in Community Capacity Building
Through The Program of Kebun Bibit Rakyat at Pohuwato Regency. Supervised
by LUKMAN M, BAGA and IRDIKA MANSUR.
Kebun Bibit Rakyat (KBR) is one of government’s efforts to empower the

society in order to combat degraded land through reforestation. This is
government’s program in facilitating and providing forest plant seeds and
versatile plant which is fully managed by the group of people.
In forestry sector, community empowerment role mode is formed by forest
management based on the community which emphasized on community learning
process and developing program as its purpose. The people are encouraged to
develop their capacity and broaden the knowledge in facing the obstacles which
may emerge in their own life, therefore, to support peoples’s initiative in
arranging action plan program. Moreover, it is expected that there will be a close
relationship between the community and government continously.
The KBR program aiming to improve land productivity by providing
various products of KBR plants, for instance wood and non wood plants, as well
as to give the opportunity for the people in working field in enhancing their
income. The target of KBR utilization are to support people’s activity in forest, to
promote green environment in public facility, as well as mangrove rehabilitation
and community forest working area and village forest.
To achieve these goals to be successful, it is required to have the same ways
of thinking, managing by all actors in forestry to make coordination and
collaboration in a program implementation. Through the collaboration, there will
create a right clarity, a role, a responsibility, a benefit as well as a relationship

among parties, hence, there will open the rooms for public participation to those
who interested in forestry sector. The sequences of forest management as
mutually will grant not only in contribution to the forest perservation efforts but
also will benefit to the community in promoting their initiative and resource
management capacity. Regarding to the capacity building, collaboration
mechanism is a process of community development in learning, understanding,
and utilizing the resources availability in the area.
The implementation of KBR in 2013 at Pohuwato Regency was done in 10
districts, 27 villages with 27 groups of community. Every group consisted of 15
persons including the chairman, secretary, treasurer, the planning team leader,
manager, supervisor, and the members inside the seedbed location and seed
planting within the area owned by the people.
This research aimed: 1) to identify the role of stakeholder in capacity
building of the community within KBR program at Pohuwato regency. 2) to
evaluate the capacity level of the community within KBR program at Pohuwato
regency, 3) to formulate the collaborative strategy to the succeed of KBR program
at Pohuwato regency. The datas were collected through interview, observation and
questioners. The datas then were analyzed by using stakeholder analysis, gap, and
SWOT.
The results showed that 1) the stakeholder involved in KBR program was

mostly dominated by primary stakeholder, meanwhile secondary stakeholder was

not involved in KBR program even though from the identification, secondary
stakeholder was concerned and influential enough towards the community
capacity building within KBR program; 2) the evaluation of community capacity
in KBR program were using gaps analysis showed that the difference between the
performance and expectation were negative either in policy level or organization
or individual level. In spite of the gaps existing were relatively small, still need
collaborative effort from all stakeholders who concerned and influential enough to
the implementation of KBR program. Starting from the level of policy maker, in
formulating policy is determined to the main issue faced by the community group.
In the organization level more concerning in emphasized to the structure and
process in supporting the changes of organization as a whole. The individual level
assisting the group of community and providing technical guidance in term of the
seed productivity, how to cultivate good seeds and how to maintain and plant
KBR seeds; 3) based on SWOT analysis, there were some strategies that could be
formulated into the programs, and they were mapped into strategic architecture
portrait. Within this condition, collaboration is very important because every
stakeholder would give contribution to the community capacity building.
Key words: collaboration, stakeholders,community capacity building, Kebun Bibit

Rakyat (KBR) program.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MEKANISME KOLABORASI UNTUK PENINGKATAN KAPASITAS
MASYARAKAT DALAM PROGRAM KEBUN BIBIT RAKYAT
DI KABUPATEN POHUWATO

IVANA BUTOLO

Tugas akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Profesional
pada
Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS

Judul Tugas Akhir : Mekanisme Kolaborasi untuk Peningkatan Kapasitas
Masyarakat dalam Program Kebun Bibit Rakyat di
Kabupaten Pohuwato
Nama
: Ivana Butolo
NRP
: H252124085

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Lukman M Baga, MAEc
Ketua

Dr Ir Irdika Mansur, MForSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Manajemen Pembangunan Daerah

Dr Ir Ma’mun Sarma, MS MEc

Tanggal Ujian: 30 Juni 2014

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah
kolaborasi untuk peningkatan kapasitas masyarakat, dengan judul Mekanisme
Kolaborasi untuk Peningkatan Kapasitas Masyarakat dalam Program Kebun Bibit
Rakyat di Kabupaten Pohuwato.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lukman M Baga, MAEc
dan Bapak Dr Ir Irdika Mansur, MForSc atas bimbingan dan ilmunya.
Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Pemerintah Provinsi
Gorontalo dalam hal ini Bapak Drs H Rusli Habibie, MAP selaku Gubernur
Gorontalo, Bapak Drs H Idris Rahim, MM selaku Wakil Gubernur Gorontalo, Ibu
Prof Dr Ir Hj Winarni Monoarfa, MSc selaku Sekretaris Daerah Provinsi
Gorontalo dan Bapak Drs H Sofyan Maku, MM selaku Kepala BKPPD Provinsi
Gorontalo atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan
studi S2. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bone Bolango Provinsi Gorontalo dan Dinas
Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Pohuwato, yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, anak,
serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014
Ivana Butolo

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
6
9
9
9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Hutan
Program Kebun Bibit Rakyat
Konsep Umum Peningkatan Kapasitas Masyarakat
Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat
Mekanisme Kolaborasi
Hasil Penelitian Terdahulu

10
10
11
13
14
16
17

3 METODE
Kerangka Pemikiran
Lokasi dan Waktu Kajian
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Metode Pengambilan Sampel
Analisis Data

19
19
22
22
23
24

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Gambaran Umum Pelaksanaan KBR di Kabupaten Pohuwato
Identifikasi Peran Stakeholder Dalam Peningkatan Kapasitas Masyarakat
Evaluasi Tingkat Kapasitas Masyarakat Dalam Program KBR

28
28
29
33
38

5 PERUMUSAN STRATEGI
Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
Strategi Kolaborasi Dalam Program KBR
Perumusan Program

45
45
51
55

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

59
59
59

DAFTAR PUSTAKA

60

LAMPIRAN

63

RIWAYAT HIDUP

83

DAFTAR TABEL
1 Luas kawasan hutan di Provinsi Gorontalo dalam hektar (ha) tahun
2013
2 Luas kawasan hutan per fungsi hutan di Kabupaten Pohuwato (ha)
tahun 2013
3 Penetapan lokasi KBR di Kabupaten Pohuwato tahun 2010-2013
4 Daftar dan jumlah responden
5 Kategorisasi stakeholder pada program KBR Kabupaten Pohuwato
6 Faktor internal dan eksternal di dalam masyarakat
7 Matriks SWOT
8 Lingkup data yang digunakan dalam penelitian
9 Luas wilayah dan jumlah penduduk menurut kecamatan tahun 2012
10 Penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha di Kabupaten
Pohuwato tahun 2010-2012
11 Lokasi KBR di Kabupaten Pohuwato tahun 2013
12 Rekapitulasi penanaman KBR tahun 2013
13 Kategorisasi stakeholder pada program KBR Kabupaten Pohuwato
14 Hubungan kolaborasi antar stakeholder
15 Hasil uji validitas
16 Hasil perhitungan analisis gap
17 Ringkasan analisis faktor internal dan faktor eksternal dalam program
KBR di Kabupaten Pohuwato
18 Matrik SWOT strategi kolaborasi untuk keberhasilan program KBR di
Kabupaten Pohuwato

2
3
5
23
24
27
27
28
29
29
30
32
33
38
40
41
50
54

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Kerangka pemikiran penelitian
Klasifikasi stakeholder menurut pengaruh dan pentingnya
Jenis dan jumlah bibit tanaman hutan
Jenis dan jumlah bibit tanaman serbaguna
Jenis dan jumlah bibit tanaman mangrove
Klasifikasi stakeholder program KBR menurut pengaruh dan
pentingnya terhadap peningkatan kapasitas masyarakat
Tingkatan pengembangan kapasitas
Analisis gap pada tingkatan kebijakan
Analisis gap pada tingkatan organisasi
Analisis gap pada tingkatan individual
Arsitektur strategi mekanisme kolaborasi dalam peningkatan kapasitas
masyarakat

21
25
31
31
32
36
39
42
43
44
58

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Kuesioner analisis stakeholder
Kuesioner analisis gap
Uji validitas kuesioner
Data isian kuesioner untuk tingkat kebijakan
Data isian kuesioner untuk tingkatan organisasi
Data isian kuesioner untuk tingkatan individual
Kuesioner SWOT
Rata-rata jawaban responden

63
64
68
74
75
76
77
81

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan termasuk salah satu sumberdaya alam yang memerlukan pengelolaan
secara arif dan bijak guna mendukung pembangunan berkelanjutan. Menurut
penjelasan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan
sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi
kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial
budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus
diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi
kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan
datang.
Ishak (2003) mengemukakan bagi Indonesia hutan merupakan sumber daya
yang penting dalam upaya menjaga kelangsungan pembangunan nasional, karena
di samping merupakan sumber kekayaan alam hutan juga merupakan salah satu
basis pertahanan nasional. Untuk itu hutan di samping dimanfaatkan secara
optimal juga harus dipikirkan sekaligus aspek pelestariannya agar hutan tidak
habis atau kehilangan daya dukungnya terhadap proses pembangunan.
Pengelolaan hutan, dengan demikian harus tetap berada dalam kerangka
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Lebih lanjut Ishak
(2003) mengemukakan kondisi berkelanjutan dalam pengelolaan hutan mencakup
aspek-aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan (ekologi). Secara ekonomis,
pemanfaatan terhadap sumberdaya hutan harus memberikan keuntungan sebanyak
mungkin kepada pihak yang terkait. Secara sosial, kebijakan pemanfaatan hutan
harus dapat diterima dan menguntungkan masyarakat secara keseluruhan, dan
bukannya mengganggu atau menghancurkan kehidupan sosial mereka. Dari segi
lingkungan, pemanfaatan hutan harus tetap menjaga potensi sumberdaya alam.
Harus ada keseimbangan antara fungsi produksi dan fungsi perlindungan.
Pada praktiknya, pengelolaan hutan seringkali tidak memperhatikan
kepentingan keberlanjutan tersebut, baik secara ekologis, sosial maupun ekonomis.
Secara perlahan tetapi meyakinkan telah terjadi kerusakan hutan yang sangat parah
di Indonesia, hal ini disebabkan karena aktivitas penebangan liar, penyelundupan
kayu, kebakaran hutan dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan
lainnya yang semakin merajalela tanpa mengindahkan hukum dan kaidah-kaidah
pengelolaan hutan yang lestari.
Menurut Awang (2003), kekuasaan negara atas sumberdaya hutan melalui
sistem pemerintahan orde baru berdampak pada monopoli pengelolaan kawasan
(mono-interpretasi) oleh konglomerat dan penggunaan dana reboisasi secara
sewenang-wenang. Sementara posisi masyarakat hanya menjadi penonton proses
penghancuran hutan tropis dan marjinalisasi lahan serta konflik atas sumberdaya
hutan antara pemerintah dan masyarakat adat. Lebih lanjut ditambahkan bahwa
secara politik, pendayagunaan sumberdaya hutan yang tidak berpihak kepada
rakyat selama ini (walaupun slogan selalu untuk kesejahteraan rakyat) telah
menghasilkan apatisme rakyat terhadap sistem perlindungan sumberdaya hutan itu
sendiri, padahal semua kita tahu bahwa sistem perlindungan paling efektif jika
dilakukan secara bersama-sama dengan rakyat dan masyarakat.

2
Pada era reformasi saat ini telah terjadi perubahan paradigma dalam
kehidupan politik dan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Diawali dengan
lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah yaitu UU No.22 Tahun 1999 yang
kemudian diubah dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. UU Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah untuk mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan, kecuali yang
ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. UU No.32 Tahun 2004, pasal 10
mengatur bahwa : Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah (yang dimaksud Pemerintah Pusat) meliputi: politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
Dalam urusan pemerintahan di bidang kehutanan memasuki era reformasi
UU Pokok Kehutanan, yaitu UU No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan diganti dengan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Undang-Undang Kehutanan ini senapas dengan Undang-Undang Otonomi Daerah,
dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian
kewenangan pengelolaan hutan kepada pemerintah daerah, termasuk Pemerintah
Provinsi Gorontalo.
Provinsi Gorontalo adalah provinsi yang ke-32 berdasarkan UndangUndang No 38 tahun 2000 tanggal 22 Desember 2000. Provinsi ini memiliki luas
wilayah 12.435,00 km2 yang mencakup Lima kabupaten dan satu kota, yaitu
Kabupaten Gorontalo, Boalemo, Pohuwato, Bone Bolango, Gorontalo Utara dan
Kota Gorontalo. Provinsi Gorontalo memiliki potensi hutan seluas ± 824.670 Ha,
seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Luas kawasan hutan di Provinsi Gorontalo dalam hektar (ha) tahun 2013
Kabupaten/Kota
Hutan
Hutan
Suaka Alam Jumlah Luas
Produksi
Lindung
Hutan
Kabupaten :
Boalemo
62.937
28.990
10.918
102.845
Gorontalo
59.662
13.180
24.839
97.681
Pohuwato
194.540
138.110
39.767
372.417
Bone Bolango
19.471
16.054
104.905
140.430
Gorut
86.798
8.016
16.224
111.038
Kota :
Gorontalo
259
259
Total
251.098
89.878
196.653
824.670
Sumber : Dinas Kehutanan dan Pertambangan Provinsi Gorontalo 2013
Tabel 1 menunjukkan bahwa Kabupaten Pohuwato memiliki luas hutan
372.417 Ha atau terbesar di Provinsi Gorontalo. Kabupaten ini berada di ujung
barat wilayah Provinsi Gorontalo dengan luas wilayah 4.244,31 km2. Luas
kawasan hutan di Kabupaten Pohuwato adalah 87,74 persen dari total luas
wilayahnya. Keberadaan hutan yang luas di kabupaten ini terbentang dari
Kecamatan Paguat sampai Kecamatan Popayato Barat, seperti pada Tabel 2.

3
Tabel 2 Luas kawasan hutan per fungsi hutan di Kabupaten Pohuwato (ha) tahun
2013
No Kecamatan
Hutan
KSA
Hutan
Jumlah Presentasi
(%)
Lindung
Produksi
(ha)
1 Paguat
362
1.462
1.694
3.518
0,95
2 Dengilo
5.505
11.266
17.585
34.356
9,22
3 Marisa
589
160
749
0,20
4 Buntulia
17.054
14.076
16.572
47.702
12,81
5 Duhiadaa
557
557
0,14
6 Wanggarasi
18.473
1.514
20.782
40.769
10,95
7 Patilanggio
11.220
7.925
7.753
26.898
7,22
8 Taluditi
31.583
1.317
28.997
61.897
16,63
9 Randangan
2.016
1.618
3.198
6.832
1,84
10 Lemito
11.517
33.991
45.508
12,21
11 Popayato
4.352
21.307
25.659
6,89
Timur
12 Popayato
3.533
9.178
12.711
3,41
13 Popayato
31.938
33.323
65.261
17,53
Barat
Total
138.110
39.767
194.540
372.417
100
Sumber : Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Pohuwato 2013
Tabel 2 menunjukkan bahwa luas hutan lindung adalah 138.110 Ha atau
37,08 persen dari total luas hutan, Kawasan Suaka Alam (KSA) sebesar 39.767
Ha atau 10,68 persen dan hutan produksi dengan luas 194.540 Ha atau 52,24
persen untuk hutan produksi. Sumber daya hutan dan lahan sebagai bagian dari
sumber daya alam mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menjaga
kelestarian ekosistem dalam menyangga kehidupan.
Namun saat ini kondisi hutan di Kabupaten Pohuwato telah mengalami
banyak kerusakan akibat adanya aktivitas pengelolaan hutan yang tidak lestari,
kebakaran hutan, konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain serta
penebangan liar yang terjadi akibat fungsi-fungsi unit manajemen tidak optimal.
Masalah penebangan liar merupakan cerita lama yang tidak pernah tuntas,
masalah penebangan liar bukan hal yang mudah karena penebangan liar adalah
sebuah fenomena yang kompleks yang disebabkan oleh lemahnya kapabilitas
negara, rendahnya modal sosial dan mandulnya penegakan hukum. Selain itu
penebangan liar juga di pengaruhi oleh buruknya sistem manajemen sektor
kehutanan (Nurrochmat, 2012). Banyak akibat negatif dari kerusakan hutan salah
satunya adalah merosotnya nilai ekonomi dan produktivitas tanah, akibatnya lahan
menjadi kritis dan tidak dapat berfungsi optimal.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) merupakan salah satu upaya untuk
memulihkan kerusakan sumber daya hutan dan lahan yang semakin meluas dan
berlangsung semakin cepat sebagai akibat dari berbagai aktivitas pembangunan
yang tidak terencana dan terkoordinasi dengan baik.
Munculnya paradigma baru perhutanan berbasis komunitas memberi
peranan yang besar kepada masyarakat. Dalam paradigma ini dipahami bahwa
hasil hutan bukan hanya kayu dan bahwa fungsi hutan bukan hanya untuk
menghasilkan devisa. Fungsi hutan sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat

4
sekitarnya mulai diperhatiakan, faedah hutan untuk keseimbangan ekosistem
kembali diapresiasi. Dengan community based forestry, masyarakat dihargai
sebagai pelaku pengelolaan hutan, bukan sebagai pengganggu, parasit ataupun
perusak sebagaimana diinterpretasi dalam paradigma state based forestry.
Masyarakat diserahi tanggung jawab untuk memelihara, merehabilitasi, dan
mengambil manfaat dari hutan
Selain itu kebijakan hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman
rakyat membuka peluang lebih besar kepada masyarakat untuk akses pada dan
memegang hak pengelolaan atas sumberdaya hutan yang dikuasai negara dengan
suatu jaminan kepastian secara hukum yang lebih kuat, meskipun masih
mengandung pembatasan-pembatasan.
Penempatan masyarakat sebagai pelaku pembangunan mutlak diperlukan
sehingga masyarakat akan dapat berperan serta secara aktif mulai dari
perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi pembangunan. Menurut
Saharuddin (2009) paradigma pembangunan nasional telah bergeser dari
pengutamaan pendekatan top down ke arah yang lebih memperkuat proses-proses
pembangunan dari bawah yang lebih mengedepankan peran aktif masyarakat,
yaitu menempatkan masyarakat sebagai titik sentral pembangunan, melalui
program-program pemberdayaan masyarakat. Program tersebut merupakan
jawaban dari kebutuhan masyarakat setempat dalam upaya untuk memperkuat
kapasitas masyarakat agar mampu mewujudkan dan meningkatkan harkat dan
martabat masyarakat setempat.
Salah satu upaya pemerintah untuk lebih memberdayakan masyarakat dalam
upaya untuk mengurangi laju kerusakan hutan dan lahan kritis adalah melalui
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang berbasis pemberdayaan masyarakat
yaitu program Kebun Bibit Rakyat (KBR). Program KBR ini merupakan fasilitasi
pemerintah dalam penyediaan bibit tanaman hutan dan jenis tanaman serbaguna
yang dibuat secara swakelola oleh masyarakat.
Bibit hasil KBR digunakan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis,
penghijauan lingkungan, rehabilitasi mangrove dan penanaman di kawasan hutan
yang telah diarahkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan dengan cara
melakukan penanaman yang dihasilkan oleh kelompok tani dengan prinsip utama
adalah mengutamakan pemberdayaan masyarakat.
Tujuan dari program KBR adalah terlaksananya penyelenggaraan KBR
melalui fasilitasi yang tepat, efektif, dan efisien; untuk meningkatkan
produktivitas lahan dengan berbagai hasil tanaman KBR berupa tanaman kayukayuan dan non kayu, serta memberikan peluang kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha sehingga dapat meningkatan pendapatan masyarakat.
Di samping itu, KBR juga diharapkan dapat digunakan sebagai wahana
pembelajaran bagi masyarakat dalam pembuatan pembibitan secara baik dan
benar. Kreativitas dan partisipasi masyarakat dapat dikembangkan dengan lebih
luas, tidak terbatas hanya penerima manfaat program, tapi juga secara aktif terlibat
langsung dalam proses KBR. Proses ini diarahkan agar setiap upaya
pemberdayaan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat guna merealisasikan
tujuan yang diinginkan bersama yaitu kelestarian hutan.
Program KBR dilaksanakan di Kabupaten Pohuwato mulai tahun 2010 dan
terus berlanjut dilakukan sampai tahun 2013, berdasarkan penetapan lokasi dari

5
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
seperti pada Tabel 3.

Bone Bolango Provinsi Gorontalo

Tabel 3 Pelaksanaan KBR di Kabupaten Pohuwato tahun 2010-2013
Tahun
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Luas areal
pelaksanaan kecamatan
desa
kelompok
penanaman/kelompok
masyarakat
(ha)
2010
9
17
17
125
2011
13
37
37
125
2012
12
34
34
65
2013
10
27
27
65
Sumber : Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Pohuwato 2013
Dalam pelaksanaan KBR, secara umum personil yang terlibat telah
menunjukkan semangat yang tinggi walaupun terkendala pada masih awamnya
pengetahuan anggota kelompok masyarakat dalam menghasilkan bibit-bibit yang
berkualitas. Dipahami bersama bahwa keberhasilan pelaksanaan KBR ditentukan
oleh partisipasi aktif kelompok masyarakat, oleh karena itu pengetahuan dan
kemampuan kelompok masyarakat masih memerlukan upaya peningkatan baik
yang bersifat teknis maupun administratif. Dalam hal ini perlu adanya kesamaan
sikap dan tindakan yang terkoordinasi oleh seluruh aktor dalam sektor kehutanan.
Program KBR ini harus ditangani secara serius oleh kolaborasi seluruh pihak,
sehingga upaya penyediaan bibit tanaman hutan maupun tanaman serbaguna
dengan kualitas yang baik dapat terpenuhi untuk memulihkan, mempertahankan
dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan agar daya dukung, produktivitas, dan
peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
Menurut Tadjudin (2000), tujuan pengelolaan hutan secara kolaboratif
adalah sebagai berikut : 1) Menyediakan instrument untuk mengenali stakeholder
yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan secara proporsional. Dalam
setiap stakeholder itu akan melekat atribut-atribut berupa hak, aspirasi, tujuan
individual, kelembagaan dan potensi konflik. Keberadaan stakeholder itu
dipahami dan diakui secara adil, tanpa pretensi untuk memenangkan kepentingan
suatu stakeholder tertentu atas stakeholder lainnya; 2) Meningkatkan potensi
kerjasama antar stakeholder secara egaliter dengan memperhatikan prinsip
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan prinsip kelestarian lingkungan; 3)
Menciptakan
mekanisme
pemberdayaan
masyarakat
agar
dapat
mengaktualisasikan pengetahuan dan kearifan lokalnya secara baik dan
menyumbangkannya dalam wahana manajemen pengelolaan sumberdaya hutan,
sehingga diperoleh sistem pendistribusian manfaat dan resiko yang adil diantara
stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan; 4) Menciptakan
mekanisme pembelajaran yang dialogik untuk memperoleh rumusan tentang
bentuk dan pola pendayagunaan sumberdaya hutan yang produktif dan lestari
dengan meloloskan sesedikit mungkin tindakan coba-coba (trial and error) yang
mengandung ketidakmenentuan yang tinggi; 5) Memperbaiki tindakan-tindakan
perlindungan sumberdaya hutan melalui mekanisme internalisasi hal-hak eksternal
yang mengancam kelestarian sumberdaya hutan yang bersangkutan; 6)
menyediakan sistem manajemen yang membuka kesempatan selebar-lebarnya
bagi tindakan perbaikan dalam setiap tahapan manajerialnya.

6
Menurut Bembah (2007), dalam proses kolaborasi harus ada kejelasan hak,
peran, tanggung jawab, manfaat dan hubungan diantara parapihak, sehingga akan
tercipta ruang-ruang partisipasi publik bagi parapihak yang berkepentingan
terhadap hutan. Pengelolaan hutan secara bersama selain memberi kontribusi
kepada upaya-upaya pelestarian hutan juga memberikan keuntungan kepada
masyarakat setempat dalam menunjukkan inisiatif dan kapasitas besar dalam
pengelolaan sumberdaya.
Secara lebih spesifik, beberapa ahli yaitu Wondolleck dan Yaffee (2000)
dalam Suporahardjo (2005), melihat pendekatan proses kolaborasi dari segi empat
kegunaan utamanya, yaitu: 1) Membangun pemahaman melalui peningkatan
pertukaran informasi dan gagasan antara lembaga pemerintah, organisasi dan
publik serta memberikan suatu mekanisme untuk penyelesaian ketidakpastian; 2)
memberikan suatu mekanisme untuk pembuatan keputusan yang efektif melalui
proses-proses yang memfokuskan pada problem bersama dan membangun
dukungan untuk keputusan; 3) menghasilkan suatu alat untuk membuat kerja yang
bagus melalui koordinasi aktivitas lintas batas, meningkatkan manajemen
bersama, dan memobilisasi suatu perluasan skenario sumberdaya; dan 4)
Pengembangan kapasitas lembaga pemerintah, organisasi dan komunitas untuk
menghadapi tantangan-tantangan masa depan.
Konsep mekanisme kolaborasi untuk peningkatkan kapasitas masyarakat
akan menjadi kajian yang menarik untuk diteliti lebih mendalam maka
pertanyaannya adalah bagaimana mekanisme kolaborasi untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat dalam Program KBR di Kabupaten Pohuwato.

Perumusan Masalah
Proses pembelajaran bersama adalah salah satu konsep strategi pengelolaan
hutan yang mendorong proses-proses kolaboratif antara pihak-pihak kepentingan
(stakeholder) yang pada gilirannya dapat membawa mereka pada sikap terbuka
untuk penyesuaian-penyesuaian dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan
kolaboratif pada intinya dapat dijadikan pijakan berbagai pola pengelolaan hutan
dimana para pengelolanya termotivasi untuk meningkatkan kemampuan
berkolaborasi (Kusumanto, 2002).
Pendekatan kolaborasi dapat dirangkum dalam berbagai tahapan, yaitu: 1)
Pemberdayaan masyarakat; 2) Transformasi posisi masyarakat dari posisi sebagai
penerima manfaat ke posisi sebagai pelaku perubahan; 3) Perwujudan kontribusi
bersama; 4) Pelibatan multipihak dalam perubahan yang lebih kompleks; 5)
Evolusi multipihak secara bersama (JICA, 2012).
Di Kabupaten Pohuwato, pendekatan kolaborasi mulai nampak sejak tahun
2007 dengan cara menggali isu-isu strategis yang menjadi latar belakang rencana
aksi. Masih minimnya tingkat kapasitas masyarakat menjadi isu yang penting dan
harus segera dicarikan solusi untuk mengatasi hal tersebut. Untuk menumbuhkan
prakarsa masyarakat, pemerintah kabupaten melakukan seleksi bagi community
facilitator (CF) dan kemudian melaksanakan pelatihan terhadap CF terpilih.
Setelah memiliki ilmu dari hasil pelatihan, CF diharapkan ke masyarakat untuk
melakukan penggalian fakta-fakta pada hutan, tanah, dan air yang selama ini
dipahami sebagai elemen dasar dalam sebuah masyarakat.

7
Pendekatan konsep mekanisme kolaborasi yang dilakukan telah
menghasilkan kegiatan-kegiatan yang merupakan hasil swadaya dari masyarakat
sendiri seperti: 1) Penanaman pohon sengong di Kecamatan Popayato Timur; 2)
Pembangunan jalan usaha tani di Kecamatan Dengilo; 3) Pembuatan jembatan di
Kecamatan Marisa; 4) Penyusunan Perdes di Kecamatan Taluditi; 5)
Pembangunan drainase di Kecamatan Popayato; 6) Penanaman mangrove di
Kecamatan Duhiadaa; 7) Pengkayaan hutan seluas 125 Ha di Kecamatan
Popayato Barat; 8) Perbaiakan jalan di Kecamatan Buntulia, (JICA, 2012).
Lahirnya prakarsa masyarakat mampu memberikan bukti kepada pemerintah desa,
kecamatan bahkan kabupaten bahwa pada dasarnya masyarakat mau berpartisipasi
dalam pembangunan jika mereka dituntun dengan benar dalam hal ini CF mampu
berkontribusi dalam peran tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, adanya program KBR ini bisa menjadi salah satu
wadah untuk diterapkannya konsep kolaborasi untuk peningkatan kapasitas
masyarakat, yang harus didukung oleh kerjasama yang kuat antar stakeholder.
Menurut Tadjudin (2000), pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan itu
mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1) Pemanfaatan hasil hutan dan
jasanya oleh manusia secara adil dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, seluruh
manfaat dan resiko ekonomi yang ditimbulkan dari kegiatan pelestarian dan
produksi hutan didistribusikan secara adil kepada masyarakat lokal, swasta, dan
pemerintah; 2) Manajemen terpadu pada skala yang tepat.; 3) Partisipasi yang
sederajat oleh seluruh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya
hutan.
Untuk meningkatkan efisien dan efektivitas keberhasilan pelaksanaan
program sesuai tujuan dan sasarannya agar tercapai optimal, maka sistem
penyelenggaraan harus dilakukan terintegrasi dan terkoordinasi sejak tahap
perencanaan, pembibitan, pelaksanaan, penanaman, pengembangan kelembagaan
hingga tahap pengendalian oleh berbagai pihak yang terlibat dalam program KBR,
sehingga kapasitas masyarakat menjadi lebih baik. Keutamaan dari mekanisme
kolaborasi ini adalah proses, peran dan inisiatif-inisiatif stakeholder yang
dilandasi pemahaman bersama tentang kondisi masyarakat sebagai subyek dalam
program KBR, maka bagaimana peran stakeholder untuk meningkatkan kapasitas
masyarakat dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato.
Ditinjau dari konsep pemberdayaan masyarakat, program ini erat kaitannya
dengan penguatan kolaboratif antara perencana program dan partsipasi
masyarakat. Dalam hubungan dengan peningkatan kapasitas, mekanisme
kolaborasi merupakan suatu proses pembangunan masyarakat dalam mempelajari,
memahami dan pendayagunaan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia di wilayah
tersebut.
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pengembangan kesempatan,
kemauan/motivasi, dan kemampuan masyarakat terhadap sumber daya, serta
mengembangkan kewenangan untuk itu, sehingga meningkatkan kapasitasnya
untuk menentukan masa depan sendiri dengan berpartisipasi dalam mempengaruhi
dan mewujudkan kualitas kehidupan diri dan komunitasnya. Tujuan jangka
pendek pemberdayaan sebaiknya jelas, terukur dan sederhana, sehingga
merupakan kondisi yang mendorong minat masyarakat untuk mewujudkannya
dalam waktu tertentu. Tujuan pemberdayaan yang lebih kompleks perlu ada dan
sebaiknya ditetapkan sebagai tujuan dalam jangka panjang. Visi yang jelas

8
berpotensi untuk menjadi pemandu kegiatan kerjasama diantara masyarakat untuk
menetapkan tujuan-tujuan jangka pendek pemberdayaan, sehingga proses
pemberdayaan menjadi lebih terarah, efektif dan efisien. (Sumardjo, 2009)
Pada sektor kehutanan pola pemberdayaan masyarakat diwujudkan dengan
pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang penekanannya adalah pada proses
belajar masyarakat dan tujuan praktis untuk pengembangan program. Masyarakat
didorong untuk turut serta meningkatkan kapasitasnya dalam mengkaji
pengetahuan mereka mengenai kehidupan dan kondisi mereka sendiri, agar
mereka dapat menyusun rencana dan tindakan. Melalui metode perencanaan
partisipatif ini diharapkan akan ada hubungan yang erat antara masyarakat dan
pemerintah secara terus menerus.
Pada berbagai program yang pernah dilakukan sebelumnya, sering
menghadapi berbagai kondisi yang kurang menguntungkan misalnya salah sasaran,
menumbuhkan ketergantungan masyarakat pada bantuan luar dan melemahnya
modal sosial yang ada pada masyarakat itu sendiri. Lemahnya modal sosial pada
gilirannya juga mendorong pergeseran perubahan perilaku masyarakat yang
semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan dan kepedulian untuk
mengatasi persoalannya secara bersama.
Menurut Sardjono (2004), kemampuan beberapa kelompok masyarakat
miskin untuk dapat bertahan hidup pada kondisi yang kurang menguntungkan
menunjukkan bahwa mereka cukup terampil dalam mengatasi kebutuhan dasarnya.
Seringkali program-program pemerintah yang berusaha memperbaiki kondisi
semacam ini tidak diarahkan pada penguatan kapasitas untuk mandiri, melainkan
mengerjakan hal yang sama dengan pemerintah sebagai pengambil keputusan dan
penyedia sumberdaya. Akibatnya, masyarakat menjadi sangat tergantung kepada
pemerintah dan kehidupannya jauh lebih sulit daripada sebelumnya.
Dalam program KBR ini, masyarakat atau kelompok tani dapat memilih
tanaman apa saja yang cocok secara teknis dan diminati oleh masyarakat itu
sendiri. Hal ini merupakan peluang bagi masyarakat atau kelompok tani untuk
memilih bibit yang berkualitas baik. Di samping itu, hal ini juga sebagai sarana
meningkatkan kapasitas masyarakat itu sendiri sehingga mampu memberdayakan
dirinya sendiri dalam mengurangi terjadinya resiko sosial berupa kemiskinan
akibat degradasi hutan dan lahan. Sehubungan dengan hal tersebut, bagaimana
tingkat kapasitas masyarakat dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato.
Persoalan siapa yang seharusnya mengelola hutan merupakan perbincangan
yang tak kunjung selesai dalam wacana kehutanan. Pedoman penyelenggaraan
KBR untuk rehabilitasi hutan dan lahan di lahan kritis, lahan kosong dan lahan
tidak produktif dengan berbasis pemberdayaan masyarakat memposisikan
masyarakat lokal sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan.
Pengelolaan KBR tidak hanya melibatkan satu pihak melainkan beberapa
pihak antara lain, pemerintah desa, pemerintah kecamatan, pemerintah kabupaten
dan provinsi, instansi vertikal dan juga pihak lain seperti LSM dan perguruan
tinggi. Untuk menyatukan beberapa elemen ini diperlukan satu mekanisme
kolaborasi yang mendorong setiap pihak untuk memberikan kontribusi positif
terhadap pelaksanaan KBR berdasar kompetensi masing-masing.
Hasil evaluasi peran stakeholder untuk peningkatan kapasitas masyarakat
dalam pelaksanaan program KBR dan evaluasi terhadap tingkat kapasitas
masyarakat dalam program KBR ini diharapkan dapat dijadikan acuan untuk

9
perbaikan penyelenggaraan program pada waktu yang akan datang.
Pendampingan atau penguatan kelembagaan kelompok masyarakat oleh petugas
lapangan KBR ataupun oleh petugas penyuluh di Kabupaten Pohuwato harus terus
dilakukan sehingga kelompok masyarakat dapat lebih memahami cara-cara
pembuatan bibit yang baik dan benar untuk menghasilkan bibit yang berkualitas.
Oleh karena itu, bagaimana strategi kolaborasi untuk keberhasilan program KBR
di Kabupaten Pohuwato.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, dapat
disampaikan beberapa tujuan dari penelitian ini, yakni :
Tujuan umum dilaksanakannya kajian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana mekanisme kolaborasi dalam meningkatkan kapasitas masyarakat
melalui program KBR di Kabupaten Pohuwato.
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah :
a. Mengidentifikasi peran stakeholder untuk meningkatkan kapasitas masyarakat
dalam program KBR di Kabupaten Pohuwato.
b. Mengevaluasi tingkat kapasitas masyarakat dalam program KBR di Kabupaten
Pohuwato.
c. Merumuskan strategi kolaborasi untuk keberhasilan program KBR di
Kabupaten Pohuwato.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan keilmuan tentang
upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat melalui mekanisme kolaborasi
antara kebijakan inovatif pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat dalam
pengembangan program KBR yang berkelanjutan di Kabupaten Pohuwato.

Ruang Lingkup Penelitian
Prinsip otonomi daerah akan lebih bermakna bagi peningkatan efektifitas
dan efisiensi pemerintahan daerah apabila diikuti upaya pemberdayaan
masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat dan meningkatnya
kemampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan. Karena
disadari bahwa program KBR hanya akan berkesinambungan dalam jangka
panjang jika tercipta sinergitas pelaku program kegiatan. Dalam kaitannya dengan
hal tersebut, maka pendekatan dalam penelitian ini dirancang melalui penguatan
mekanisme kolaborasi bagi usaha-usaha pengembangan kesinergian program
dengan peran multipihak serta tingkat kapasitas masyarakat guna mendukung
partisipasi masyarakat secara berkelanjutan. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisir dampak negatif dari pengembangan program KBR jika hanya
mengandalkan intervensi pihak pemerintah.

10
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Hutan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ini,
membagi hutan berdasarkan statusnya menjadi dua, yaitu hutan negara dan hutan
hak. Secara definisi pada pasal 1, hutan negara adalah hutan yang berada pada
tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan hutan hak adalah hutan yang
berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Menurut Mutiono (2012) Dari pembagian hutan tersebut, terdapat beberapa
opsi pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community based forest
management) dalam small scale forestry yang dapat dilakukan. Pada hutan negara
dapat dilakukan pengelolaan hutan menggunakan beberapa konsep, yaitu hutan
kemasyarakatan yang diatur dalam Permenhut No. P. 37/Menhut-II/2007 dan
perubahan ketiga No. P. 52/Menhut-II/2011, hutan desa yang diatur dalam
Permenhut No. P. 49/Menhut-II/2008 dan perubahan kedua No. P. 53/MenhutII/2011, hutan tanaman rakyat yang diatur dalam Permenhut No. P. 23/MenhutII/2007 dan perubahannya No. P. 5/Menhut-II/2008.
Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya
ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat, sedangkan hutan desa
adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak. Sementara hutan tanaman
rakyat adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan
atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumberdaya hutan.
Pada hutan hak, konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dapat
dilakukan adalah dengan hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh
diatas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha. Penutupan tajuk didominasi oleh
tanaman perkayuan, dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Dephut,
1999). Pengelolaan hutan berbasis hutan rakyat memiliki kelebihan dibanding
dengan pengelolaan hutan pada hutan negara, yaitu tidak terkendala oleh
peraturan-peraturan yang mengikat didalamnya karena memang murni hutan
tersebut pada tanah hak sehingga rakyat bebas melakukan apa saja pada hutan
mereka, sedangkan pengelolaan hutan pada hutan negara, kendala utamanya
adalah pada peraturan-peraturan yang mengikatnya, mulai dari perizinan hingga
pelaporan yang harus dilakukan masyarakat dalam mengelola hutan padahal
hampir keseluruhan masyarakat lokal disekitar hutan masih sangat banyak yang
buta huruf, buta teknologi, buta informasi serta belum berpendidikan sehingga
menjadi kendala tersendiri untuk memperoleh akses pengelolaan hutan dalam
hutan negara (Mutiono, 2012)
Menurut Ishak (2003), kerusakan sumberdaya hutan dan lahan kritis telah
menyebabkan mundurnya kualitas lingkungan yang antara lain ditandai dengan
rendahnya produktivitas lahan, tingginya laju erosi dan besarnya peluang

11
terjadinya banjir dan kekeringan yang akan mengakibatkan turunnya kualitas
kehidupan. Untuk itu upaya rehabilitasi merupakan salah satu prioritas
pembangunan subsektor kehutanan termasuk di dalamnya penegakan hukum
terhadap pelaku penyebab kerusakan kualitas lingkungan. Dalam konteks ini,
yang perlu diperhatikan adalah pengembangan penatagunaan hutan konversi
secara terpadu untuk meningkatkan nilai tambah kawasan hutan.
Menurut Sardjono (2004) ada dua faktor utama yang mempengaruhi
pemanfaatan hutan secara berlebihan, pertama, peningkatan jumlah populasi
manusia yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan kebutuhan hidup. Kondisi
ini tidak saja menuntut pemikiran pemenuhan kebutuhan, tetapi juga sejauhmana
sumberdaya mampu memenuhinya. Kedua, peningkatan kualitas kebutuhan
sendiri dari yang pada awalnya bersifat primer saja (sifatnya terbatas dan objektif)
bertambah dengan kebutuhan yang bersifat sekunder dan bahkan tersier (bersifat
subyektif dan seringkali tidak terbatas). Sumberdaya hutan tercipta dengan segala
bentuk keunikan dan keindahannya, dan oleh karena itu hutan menyimpan
kekayaan alam yang sangat beragam, baik langsung terkait dengan nilai ekonomi
maupun yang terkait dengan nilai lingkungan. Seperti yang dikemukakan oleh
(Awang, 2003) secara rinici nilai hutan adalah sebagai berikut: 1) Hutan
menghasilkan sejumlah kayu untuk kepentingan negara, wilayah, daerah dan
masyarakat; 2) Hutan memungkinkan habitat satwa tertentu dimana mereka hidup
di dalamnya, mulai biota mikro sampai primata dan lain-lain; 3) Hutan berfungsi
mengatur tata air dan sumber mata air, dan oleh karena itu air mempunyai nilai
ekonomi tinggi selain kayu; 4) Hutan mampu mencegah terjadinya erosi tanah
yang berlebihan, sehingga hutan bernilai dalam mengatur kesuburan tanah
perairan di sekitarnya; 5) Hutan banyak menghasilkan barang-barang dan jasa
selain kayu seperti rotan, jamur, pangan, obat-obatan tradisional, buah-buahan,
wisata, kayu bakar dan pakan ternak; 6) Hutan sebagai penghasil oksigen yang
nilai ekonomisnya tinggi bagi kepentingan makhluk hidup; 7) Hutan mampu
menyerap karbon bebas yang dapat membahayakan kehidupan manusia; 8) Hutan
sebagai penyangga kehidupan manusia dalam arti luas.
Dari berbagai uraian diatas dapat kita ketahui bagaimana pentingnya hutan
sehingga dibutuhkan pemanfaatan dan pengelolaan yang berkelanjutan guna
kelestarian hutan yang merupakan salah satu kekayaan alam yang dianugerahkan
Tuhan kepada bangsa Indonesia. Karena pengabaian terhadap sektor kehutanan
tidak hanya melenceng dari amanat konstitusi, tetapi juga menciderai amanah-Nya.

Program Kebun Bibit Rakyat
Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di lahan kritis, lahan kosong dan lahan
tidak produktif merupakan salah satu upaya pemulihan kondisi daerah aliran
sungai yang kritis. Upaya tersebut memberikan hasil antara lain berupa kayu,
getah, buah, daun, bunga, serat, pakan ternak, yang dapat meningkatkan ekonomi
masyarakat (pro growth) sekaligus penyerapan tenaga kerja (pro job) dan
mengurangi tingkat kemiskinan (pro poor) serta menurunkan emisi karbon (pro
environment). Salah satu kegiatan untuk mendukung program rehabilitasi hutan
dan lahan dengan pemberdayaan masyarakat adalah pembangunan Kebun Bibit
Rakyat (KBR). KBR dimaksud adalah untuk menyediakan bibit tanaman kayu-

12
kayuan atau tanaman serbaguna (MPTS) dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mendukung pemulihan fungsi dan daya
dukung DAS.
KBR dilaksanakan secara swakelola oleh kelompok masyarakat, untuk
menghasilkan jenis tanaman KBR berupa kayu-kayuan dan tanaman serbaguna.
Bibit hasil KBR digunakan untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis serta
kegiatan penghijauan lingkungan.
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.12/Menhut-II/2013, persyaratan calon lokasi KBR adalah 1) Topografi relatif
datar (kemiringan lereng 0-8%); 2) aksesibilitas baik atau mudah dijangkau; 3)
khusus untuk jenis mangrove, persemaian berada pada lokasi yang