Perlakuan Benih Cabai (Capsicum annuum L.) dengan Rizobakteri secara Tunggal ataupun Kombinasi untuk Mengendalikan Phytophthora capsici dan Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman.

PERLAKUAN BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) DENGAN
RIZOBAKTERI SECARA TUNGGAL ATAUPUN KOMBINASI
UNTUK MENGENDALIKAN Phytophthora capsici DAN
MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN

FARIH NAJAH ROSADIAH

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perlakuan Benih Cabai
(Capsicum annuum L.) dengan Rizobakteri secara Tunggal ataupun Kombinasi
untuk Mengendalikan Phytophthora capsici dan Meningkatkan Pertumbuhan
Tanaman adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Farih Najah Rosadiah
NIM A24100183

ABSTRAK
FARIH NAJAH ROSADIAH. Perlakuan Benih Cabai (Capsicum annuum L.)
dengan Rizobakteri secara Tunggal ataupun Kombinasi untuk Mengendalikan
Phytophthora capsici dan Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman. Dibimbing oleh
SATRIYAS ILYAS dan DYAH MANOHARA.
Perlakuan benih cabai menggunakan rizobakteri merupakan alternatif
pengganti fungisida dalam mengendalikan penyakit busuk phytophthora yang
disebabkan oleh cendawan patogen Phytophthora capsici. Penelitian ini bertujuan
(1) mengevaluasi keefektifan kombinasi isolat rizobakteri dalam menghambat
pertumbuhan P. capsici, dan (2) mengetahui pengaruh perlakuan benih dengan
rizobakteri dalam meningkatkan vigor benih dan pertumbuhan tanaman, serta
dalam mengurangi kejadian penyakit busuk phytophthora. Penelitian ini terdiri

atas tiga tahap percobaan, ketiganya menggunakan rancangan acak lengkap satu
faktor. Percobaan pertama (in vitro) terdiri atas sembilan taraf yaitu tujuh
kombinasi isolat rizobakteri, metalaksil dan tanpa perlakuan (kontrol). Percobaan
kedua (persemaian) terdiri atas lima taraf perlakuan benih yaitu rizobakteri
ST116B, CM8, ST116B + CM8, metalaksil, dan kontrol. Percobaan ketiga (di
rumah kaca) terdiri atas enam taraf perlakuan benih yaitu rizobakteri ST116B,
CM8, ST116B + CM8, metalaksil, kontrol positif dan kontrol negatif. Hasil
percobaan in vitro, semua perlakuan rizobakteri baik tunggal maupun yang
dikombinasikan mampu menghambat pertumbuhan patogen P. capsici. Persentase
daya hambat tertinggi berturut-turut ditunjukkan oleh isolat rizobakteri CM8,
kombinasi isolat rizobakteri ST116B + CM8 dan isolat rizobakteri ST116B.
Perlakuan benih dengan rizobakteri ST116B, CM8 dan ST116B + CM8 tidak
dapat meningkatkan vigor benih, namun secara nyata meningkatkan pertambahan
jumlah daun pada minggu keenam setelah pindah tanam, dan menurunkan
kejadian penyakit busuk phytophthora. Tidak terdapat perbedaan nyata pengaruh
rizobakteri yang diaplikasikan secara tunggal maupun kombinasi dua isolat.
Rizobakteri ST116B disarankan untuk digunakan dalam perlakuan benih cabai
sebelum tanam.
Kata kunci: agens hayati, metalaksil, penyakit busuk phytophthora, isolat
rizobakteri


ABSTRACT
FARIH NAJAH ROSADIAH. Seed Treatments of Hot Pepper (Capsicum annuum
L.) using Rhizobacteria Singly or in Combination to Control Phytophthora capsici
and Improve Plant Growth. Supervised by SATRIYAS ILYAS and DYAH
MANOHARA.
Seed treatment of hot pepper using rhizobacteria is an alternative to
fungicide in controlling phytophthora blight disease that caused by Phytophthora
capsici fungus pathogen. The objectives of this research were to evaluate: (1) the

effectiveness of rhizobacteria isolates in inhibiting P. capsici growth, and (2) the
effect of seed treatment using rhizobacteria on seed vigor and plant growth, and
incidence of phytophthora blight disease. This research consisted of three
experiments, all experiments were arranged in completely randomized design
using one factor. The first experiment (in vitro) consisted of nine levels i.e. seven
combination isolates of rhizobacteria, metalaxyl and untreated control. The
second experiment (on the seedbed) consisted of five levels of seed treatments i.e.
ST116B rhizobacteria, CM8 rhizobacteria, ST116B + CM8 rhizobacteria,
metalaxyl and control. The third experiment (in the green house) consisted of six
levels of seed treatments i.e. ST116B rhizobacteria, CM8 rhizobacteria, ST116B +

CM8 rhizobacteria, metalaxyl, positive and negative control. Results of in vitro
experiment showed that all rhizobacteria, single or combinations, were able to
inhibit P. capsici growth. The highest inhibitions were shown by CM8, ST116B,
and ST116B + CM8 consequtively. Seed treatments of hot pepper using ST116B,
CM8 and ST116B + CM8 rhizobacteria did not increase seed vigor but increased
the number of leaves 6 weeks after transplanting, and reduced the incidence of
phytophthora blight disease. There were no significant differences whether the
rhizobacteria was applied singly or in combination of the two isolates.
Rhizobacteria ST116B is suggested to be used in hot pepper seed treatment before
planting.
Keywords: biological
rhizobacteria isolates

agents,

metalaxyl,

phytophthora

blight


disease,

PERLAKUAN BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) DENGAN
RIZOBAKTERI SECARA TUNGGAL ATAUPUN KOMBINASI
UNTUK MENGENDALIKAN Phytophthora capsici DAN
MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN

FARIH NAJAH ROSADIAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini berjudul Perlakuan Benih Cabai
(Capsicum annuum L.) dengan Rizobakteri secara Tunggal ataupun Kombinasi
untuk Mengendalikan Phytophthora capsici dan Meningkatkan Pertumbuhan
Tanaman.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Satriyas Ilyas, MS dan
Ibu Dr Ir Dyah Manohara, MS selaku pembimbing skripsi, Bapak Dr Ir Iskandar
Lubis, MS selaku pembimbing akademik dan Bapak Candra Budiman, SP MSi
selaku dosen penguji. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Bapak Sutrasman dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, kelompok
peneliti hama dan penyakit dan Bapak Mamad dari tim pengelola rumah kaca
Cikabayan yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga dan teman-teman
Agonomi dan Hortikultura 47 (EDELWEISS) atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Agustus 2015
Farih Najah Rosadiah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Penyakit Busuk Phytophthora

2

Rizobakteri sebagai Pemacu Pertumbuhan Tanaman Cabai

3

Rizobakteri sebagai Agens Pengendali Patogen secara Hayati

4


Perlakuan Benih untuk Meningkatkan Mutu Benih

5

BAHAN DAN METODE

5

Tempat dan Waktu

5

Percobaan 1. Evaluasi keefektifan kombinasi isolat rizobakteri sebagai
antagonis P. capsici secara in vitro

6

Percobaan 2. Pengaruh perlakuan benih terhadap peningkatan vigor benih


7

Percobaan 3. Pengaruh perlakuan benih dalam meningkatkan pertumbuhan
tanaman dan mengurangi persentase kejadian penyakit di rumah kaca

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan 1. Evaluasi keefektifan kombinasi isolat rizobakteri sebagai
antagonis P. capsici secara in vitro

8
8

Percobaan 2. Pengaruh perlakuan benih terhadap peningkatan vigor benih

11

Percobaan 3. Pengaruh perlakuan benih dalam meningkatkan pertumbuhan
tanaman dan mengurangi persentase kejadian penyakit di rumah kaca


11

KESIMPULAN DAN SARAN

15

Kesimpulan

15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

15

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL
1 Kemampuan isolat rizobakteri menghambat pertumbuhan Phytophthora
capsici secara in vitro 6 hari setelah inkubasi
2 Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri terhadap viabilitas dan vigor
benih cabai di persemaian sampai 14 hari setelah semai
3 Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri terhadap pertambahan
jumlah daun 2-6 minggu setelah pindah tanam di polybag
4 Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri terhadap pertambahan tinggi
tanaman 2-6 minggu setelah pindah tanam di polybag
5 Pengaruh perlakuan rizobakteri pada benih terhadap kejadian penyakit
saat 28 hari setelah infestasi inokulum Phytophthora capsici ke tanah

10
11
12
13
14

DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan koloni P. capsici dan perbedaan daya hambat beberapammn
rizobakteri terhadap P. capsici
2 Keragaan pertumbuhan hifa P. capsici pada media PDA
3 Perkecambahan benih cabai yang telah dilapisi rizobakteri atau metalaksil
dan tanpa perlakuan (kontrol) di persemaian
4 Gejala serangan pada tanaman cabai

9
10
11
14

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan benih bermutu rendah dan terinfeksi penyakit merupakan salah
satu penyebab produktivitas cabai rendah di Indonesia. Phythoptora capsici
merupakan patogen penyebab busuk phytophthora pada cabai, tomat, ketimun,
labu-labuan dan terong (Louws et al. 2002). Pengendalian patogen ini masih sulit
karena patogen bersifat terbawa benih dan juga bersifat tular tanah (Miller et al.
1996; Roberts et al. 2000; Louws et al. 2002). Menurut Ilyas (2006), keberadaan
patogen terbawa benih dapat menghambat perkecambahan dan mengakibatkan
epidemi penyakit karena transmisi patogen dari benih ke tanaman, sehingga dapat
menimbulkan dampak negatif pada kualitas dan hasil tanaman. Menurut Wiyono
(2011) kehilangan hasil cabai di daerah dataran tinggi Tegal pada tahun 2010
akibat serangan cendawan P. capsici mencapai 100%. Penyakit busuk
phytophthora juga merupakan penyakit penting di beberapa negara. Granke et al.
(2012) menyebutkan bahwa patogen ini telah tersebar di beberapa daerah di
Amerika dan dunia. Kehilangan hasil akibat serangan P. capsici pada tanaman labu
siap panen seluas 32 hektar mencapai 90% di Michigan.
Benih unggul bermutu merupakan kunci utama keberhasilan suatu usaha
tani. Mutu benih menyangkut mutu genetis, fisik, fisiologis dan patologis
(kesehatan benih) (Ilyas 2012). Peningkatan mutu benih dan bibit dapat dilakukan
melalui perlakuan benih (seed treatment). Salah satu tujuan perlakuan benih adalah
untuk memperbaiki perkecambahan benih dan melindungi benih dari hama dan
penyakit. Saat ini perlakuan benih umumnya menggunakan fungisida sintesis, akan
tetapi seiring kesadaran masyarakat akan bahaya lingkungan dan kesehatan, maka
penggunaannya mulai dikurangi dan beralih pada penggunaan agens hayati
antagonis yang dapat menghambat pertumbuhan patogen serta meningkatkan vigor
benih dan pertumbuhan tanaman.
Beberapa jenis rizobakteri dilaporkan mampu menghasilkan hormon
tumbuh seperti IAA, melarutkan fosfat, serta memproduksi enzim ekstraseluler
(kitinase, protease dan selulase), HCN, dan senyawa siderofor. Kemampuan
rizobakteri tersebut berhubungan dengan peran rizobakteri sebagai pemacu
pertumbuhan tanaman serta perannya sebagai agens antagonis dalam menghambat
patogen tanaman (Sutariati et al. 2006a; Syamsuddin 2010).Menurut Ilyas et al.
(2014), aplikasi biopriming dengan Bacillus polymixa BG25 dan Pseudomonas
fluorescens PG01 pada benih cabai terinfeksi Colletotrichum capsici terbukti
mampu meningkatkan persen perkecambahan dari 56% menjadi 78%,
meningkatkan indeks vigor dari 18% menjadi 37%, meningkatkan hasil buah cabai
dari 10 buah menjadi 17 buah, serta mengurangi kejadian penyakit antraknosa dari
81% hingga menjadi 9% di lapangan.
Penelitian Ibrahim et al. (2014) menyebutkan bahwa perlakuan benih
menggunakan rizobakteri ST116B, ST156 dan E3 nyata meningkatkan vigor benih
cabai pada tolok ukur indeks vigor. Rizobakteri ST116B mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman pada tolok ukur jumlah daun dan berpotensi mengendalikan
penyakit busuk phytophthora pada tanaman cabai. Penelitian ini melanjutkan

2
penelitian Ibrahim et al. (2014) dengan mengkombinasikan rizobakteri ST116B
dan ST156 serta satu rizobakteri koleksi Balittro lainnya, yakni rizobakteri CM8.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keefektifan kombinasi isolat
rizobakteri ST116B, ST156 dan CM8 dalam menghambat pertumbuhan P. capsici
secara in vitro. Tiga kombinasi rizobakteri terbaik yang efektif menghambat
pertumbuhan P. capsici secara in vitro digunakan untuk melapisi benih cabai (seed
treatment) dengan tujuan untuk meningkatkan vigor benih dan pertumbuhan
tanaman cabai serta untuk mengendalikan P. capsici.

TINJAUAN PUSTAKA
Mutu benih merupakan faktor penentu keberhasilan pertanaman secara
ekonomis. Mutu benih mencakup mutu fisik, fisiologis, genetis dan patologis
(kesehatan benih) (Ilyas 2012). Mutu fisik benih diukur dari kebersihan benih,
bentuk dan warna cerah yang homogen serta benih tidak mengalami kerusakan
mekanis atau kerusakan karena serangan hama dan penyakit. Mutu fisiologis benih
diukur dari viabilitas benih, kadar air, maupun daya simpan benih, sedangkan mutu
genetik diukur dari tingkat kemurniannya (Widajati et al. 2013).
Menurut Ilyas (2012), salah satu karakteristik benih bermutu tinggi adalah
bebas dari penyakit seedborne, yaitu infeksi berasal dari tanaman yang
menghasilkan benih terinfeksi. Patogen ini dapat menginfeksi benih yang sedang
berkecambah sehingga benih mati. Jika perkecambahan dapat terjadi namun
patogen berkembang biak, maka kecambah/bibit yang dihasilkan akan tumbuh
abnormal.
Keberadaan patogen terbawa benih selain menghambat perkecambahan juga
dapat menyebabkan epidemi penyakit karena transmisi penyakit dari benih ke
tanaman. Hal ini mengakibatkan dampak negatif pada kualitas dan hasil produksi
tanaman. Oleh karena itu, penggunaan benih yang sehat dari awal merupakan hal
yang penting (Ilyas 2006). Louws et al. (2002) melaporkan bahwa P. capsici
penyebab penyakit busuk phytophthora pada cabai merupakan salah satu patogen
terbawa benih (seedborne) dan juga bersifat tular tanah (soilborne).
Penyakit Busuk Phytophthora
Penyakit busuk phytophthora merupakan salah satu penyakit penting pada
cabai yang disebabkan oleh serangan cendawan P. capsici. Kerusakan akibat
penyakit busuk phytophthora telah banyak dilaporkan pada banyak pertanaman
cabai di Indonesia maupun dunia. Kehilangan hasil cabai akibat serangan penyakit
ini mencapai 100% pada pertanaman cabai di dataran tinggi Tegal pada tahun 2010
(Wiyono 2011) dan juga mencapai 100% pada pertanaman cabai di Urbana, Illinois
(Babadoost 2001). Patogen P. capsici tidak hanya menyerang cabai, namun juga
beberapa tanaman lain seperti tomat, mentimun, labu-labuan dan terong (Lows et

3
al. 2002). Kehilangan hasil akibat serangan P. capsici pada tanaman labu siap
panen seluas 32 hektar mencapai 90% di Michigan (Granke et al. 2012).
Phytophthora capsici merupakan cendawan tular tanah yang dapat
membentuk struktur istirahat yang mampu bertahan dalam waktu cukup lama.
Serangan P. capsici banyak terjadi pada musim hujan. Penyebarannya dapat
terbawa air, angin yang terjadi selama hujan, bahan tanaman, ternak/hewan,
manusia dan alat pertanian (Manohara et al. 2005). Hujan, tanah basah, dan suhu di
antara 24-29 0C merupakan lingkungan yang baik untuk perkembangan penyakit
busuk phytophtora. Inisiasi infeksi terjadi ketika zoospora dilepaskan ke dalam air,
berenang dan mengadakan kontak dengan jaringan inang. Proses infeksi berikutnya
yakni pembentukan luka pada pangkal batang dekat permukaan tanah (Zitter 1989;
Babadoost 2004).
Cendawan P. capsici dapat menyerang semua umur/stadia tanaman lada,
mulai dari pembibitan sampai tanaman produktif. Serangan yang paling
membahayakan adalah pada pangkal batang atau akar karena menyebabkan
kematian tanaman dengan cepat. Gejala berupa kelayuan tanaman secara
mendadak (daun tetap berwarna hijau) akan nampak apabila terjadi serangan
patogen pada pangkal batang (Manohara et al. 2005).
Gejala awal pada tanaman cabai di lapangan yang terserang penyakit busuk
phytophthora biasanya berupa akar yang berwarna cokelat kehitaman. Fase ini
pada umumnya terjadi di bawah permukaan tanah (Louws et al.2002). Gejala pada
daun ditandai dengan adanya bercak kecil berwarna hijau kehitaman kemudian
meluas dan menjadi putih seperti terbakar, kemudian setelah 15 hari akan terbentuk
warna cokelat pada pinggir daun (Roberts et al.2000). Patogen P. capsici yang
menyerang daun dapat berpindah menyerang batang, sehingga pada fase ini
tanaman akan mati (Uchida 2005). Gejala pada batang ditandai adanya luka luas
berwarna hitam (Louwset al. 2002), sedangkan gejala pada akar ditandai dengan
akar yang berwarna cokelat kehitaman (Syamsuddin 2010). Gejala pada buah
ditandai adanya bercak gelap yang terus berkembang, bagian buah menjadi berair
yang kemudian diselimuti oleh spora cendawan berwarna putih. Buah yang
terinfeksi menyebabkan benih juga terinfeksi oleh patogen ini (Zitter 1989).
Rizobakteri sebagai Pemacu Pertumbuhan Tanaman Cabai
Rizobakteri merupakan bakteri yang hidup pada rizosfer tanaman. Rizosfer
merupakan daerah di sekitar perakaran tanaman tempat terjadinya interaksi antara
agensia pengendali hayati dan patogen tanaman (Soesanto 2008). Interaksi tersebut
secara signifikan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman. Rizosfer
mengandung berbagai macam komunitas mikroorganisme yang saling berinteraksi
dan bersaing (Dardanelli et al. 2010).
Beberapa rizobakteri berperan sebagai plant growth promoting rhizobacteria
(PGPR) atau agens pemacu pertumbuhan tanaman. Penggunaan rizobakteri untuk
memacu pertumbuhan berbagai tanaman telah banyak dikembangkan di berbagai
belahan dunia. Rizobakteri dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan
memproduksi dan melepaskan senyawa metabolit sekunder yang dapat mengurangi
atau mencegah efek kerusakan dari patogen dalam rizosfer (Dardanelli et al. 2010).
Sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, rizobakteri secara kompetitif
mengkolonisasi akar dan memanfaatkan eksudat dan lisat yang dikeluarkan akar

4
tanaman (Antoum dan Prevost 2006). Eksudat akar merupakan bahan yang
dikeluarkan dari aktivitas sel akar hidup seperti gula, asam amino, asam organik,
asam lemak dan sterol, faktor tumbuh, nukleotida, sedangkan lisat akar merupakan
bahan yang dikeluarkan secara pasif saat autolisis sel akar (Soemarno 2010).
Kemampuan rizobakteri mengkolonisasi akar merupakan tahap penting
sehubungan dengan perannya sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Kemampuan
memfiksasi nitrogen, melarutkan fosfat, dan produksi hormon tumbuh (auksin,
giberelin, sitokinin) telah banyak dilaporkan sebagai mekanisme rizobakteri dalam
perannya sebagai agens pemacu pertumbuhan dan produksi tanaman (Syamsuddin
2010).
Sutariati et al. (2006b) melaporkan, perlakuan benih cabai menggunakan
isolat rizobakteri Bacillus sp., Pseudomonas sp. dan Serratia sp. secara signifikan
meningkatkan viabilitas benih. Persentase kenaikan perkecambahan benih jika
dibandingkan dengan benih tanpa perlakuan rizobakeri mencapai lebih dari 27%,
potensi tumbuh maksimum 11%, indeks vigor 31%, spontanitas tumbuh 29%,
kecepatan tumbuh 29% dan penurunan T50 (waktu yang diperlukan untuk mencapai
50% perkecambahan) 0.75 hari. Semua rizobakteri tersebut dilaporkan dapat
mensintensis indole acetic acid (IAA) yang berperan sebagai PGPR.
Syamsuddin (2010) juga melaporkan, sebagian besar isolat rizobakteri yang
berasal dari rizosfer tanaman cabai sehat diantara tanaman cabai terserang busuk
phytophthora mampu memproduksi IAA. Perlakuan benih dengan isolat B.
megaterium BSKW03, B. brevis BSKW21 dan B. alvei BSPJG20 dari kelompok
Bacillus spp., P. fluoroscens PSPJG05, P. aeruginosa PSKW07 dan P. putida
PSKW12 dari kelompok Pseudomonas spp. memberikan dampak yang lebih baik
dalam meningkatkan vigor, viabilitas dan pertumbuhan bibit cabai dibandingkan
dengan isolat lainnya dalam kelompok yang sama. Sebagian besar isolat
rizobakteri dari masing-masing kelompok rizobakteri yang diuji juga memiliki
kemampuan melarutkan fosfat. Terdapat kecenderungan peningkatan pertumbuhan
bibit yang lebih baik pada isolat rizobakteri yang mampu melarutkan fosfat
dibandingkan dengan yang tidak mampu melarutkan fosfat.
Rizobakteri sebagai Agens Pengendali Patogen secara Hayati
Rizobakteri juga berperan sebagai agens pengendali patogen secara hayati.
Syamsuddin dan Ulim (2013) melaporkan, terdapat tiga dari 18 rizobakteri yang
diisolasi dari rizosfer tanaman tomat sehat di antara tanaman tomat berpenyakit
busuk phytophthora berpotensi sebagai agens hayati karena mampu menghambat
pertumbuhan koloni patogen P. capsici yaitu isolat RBBM36, RBBM18 dan
RBBM35. Ibrahim et al. (2014) juga melaporkan bahwa rizobakteri ST116B
berpotensi mengendalikan penyakit busuk phytophthora pada tanaman cabai.
Isolat rizobakteri yang didapat dari rizosfer tanaman cabai sehat mampu
mensekresikan enzim ekstraseluler serta memproduksi HCN dan siderofor
sehingga dapat menghambat pertumbuhan patogen P. capsici (Syamsuddin 2010).
Rizobakteri kelompok P. fluorescens PG01 mampu menghambat pertumbuhan
Colletotrichum capsici melalui sintesis senyawa HCN yang bersifat toksik bagi
patogen (Sutariati et al. 2006a).
Ilyas et al. (2014) melaporkan, biomatriconditioning dengan biofungisida
berupa minyak cengkeh 0.06% atau 0.1% dapat mengurangi persentase kejadian

5
penyakit C. capsici. Biomatriconditioning menggunakan bubuk daun cengkeh
terbukti lebih baik daripada matriconditioning dengan fungisida dalam mengurangi
tingkat infeksi C. capsici pada cabai. Hasil percobaan di lapangan menunjukkan
bahwa biopriming dengan campuran B. polymixa BG25 dan P. fluoroscens PG01
dapat mengurangi kejadian penyakit antraknosa dari 81% hingga menjadi 9%,
sedangkan pada perlakuan tunggal baik B. polymixa BG25 maupun P. fluoroscens
PG01 dapat mengurangi kejadian penyakit antraknosa dari 81% hingga menjadi
12%.
Perlakuan Benih untuk Meningkatkan Mutu Benih
Invigorasi benih merupakan perlakuan yang diberikan terhadap benih dengan
tujuan memperbaiki vigor benih. Ada berbagai teknik invigorasi benih pratanam,
tetapi secara umum terbagi menjadi dua kategori, yaitu penyerapan air secara
terkontrol dan tidak terkontrol. Penyerapan air terkontrol terdiri atas dua macam,
yaitu priming dan matriconditioning. Priming adalah perlakuan hidrasi benih
terkontrol dengan larutan berpotensial osmotik rendah, sedangkan potensial
matriks dapat diabaikan selama periode tertentu dengan tertundanya
perkecambahan (Ilyas 2012), sedangkan biopriming merupakan integrasi agens
biokontrol pada perlakuan priming (Ilyas et al. 2014).
Syamsuddin (2010) melaporkan, perlakuan benih cabai menggunakan
agens biokontrol B. megaterium BSKW03, B. brevis BSKW21, B. alvei BSPJG20,
P. flurescens PSPJG05, P. aeruginosa PSKW07 dan P. putida PSKW12 efektif
mengendalikan penyakit busuk phytophthora pada stadia bibit serta meningkatkan
pertumbuhan dan hasil cabai.
Ilyas et al. (2014) melaporkan bahwa biomatriconditioning dengan
biofungisida berupa minyak cengkeh 0.06% atau 0.1% merupakan perlakuan benih
yang efektif untuk meningkatkan indeks vigor dan kecepatan tumbuh relatif.
Biomatriconditioning menggunakan bubuk daun cengkeh juga terbukti lebih baik
dalam meningkatkan vigor dan viabilitas benih selama 24 minggu penyimpanan
dalam ruang kamar. Hasil percobaan di lapangan, biopriming dengan campuran B.
polymixa BG25 atau P. fluoroscens
PG01 terbukti dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman, hasil buah, serta mutu benih hasil panen.

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (Balittro), Laboratorium Kesehatan Benih,
Departemen Agronomi dan Hortikultura dan Rumah Kaca Cikabayan, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilaksanakan pada bulan April hingga Desember 2014.

6
Percobaan 1. Evaluasi keefektifan kombinasi isolat rizobakteri sebagai
antagonis P. capsici secara in vitro
Suspensi sel rizobakteri ST116B, ST156 dan CM8 (koleksi Balittro)
dikombinasikan dengan cara mencampurkan dua atau tiga suspensi sel rizobakteri
yang masing-masing berjumlah 50 mL ke dalam sebuah erlenmeyer, kemudian
erlenmeyer dikocok hingga suspensi sel tercampur merata. Perlakuan kombinasi
rizobakteri secara rinci adalah sebagai berikut:
1.
Rizobakteri ST116B
2.
Rizobakteri ST156
3.
Rizobakteri CM8
4.
Kombinasi ST116B + ST156
5.
Kombinasi ST116B + CM8
6.
Kombinasi ST156 + CM8
7.
Kombinasi ST116B + ST156 + CM8
8.
Metalaksil, dijadikan sebagai pembanding
9.
Kontrol
Uji keefektifan kombinasi isolat rizobakteri sebagai antagonis P. capsici
dilakukan dengan metode dual culture. Isolat P. capsici yang telah ditumbuhkan
pada media PDA (potato dextrose agar) dipotong dengan diameter 0.5 cm
kemudian dipindahkan ke media PDA baru dengan jarak 2 cm dari tepi cawan petri
menggunakan jarum inet. Isolat rizobakteri yang diuji digoreskan memanjang
dengan jarak 5 cm dari isolat P. capsici menggunakan jarum ose. Untuk perlakuan
metalaksil (Saromil berbahan aktif 35% metalaksil) dilakukan dengan merendam
paper disk Ø 0.5 cm ke dalam suspensi metalaksil 800 ppm selama 5 menit,
kemudian diletakkan dengan jarak 5 cm dari isolat P. capsici. Sebagai kontrol,
isolat P. capsici ditumbuhkan pada media PDA tanpa perlakuan rizobakteri
ataupun perlakuan metalaksil. Pengamatan dilakukan pada hari ke-3, hari ke-6 dan
hari ke-8 terhadap pertumbuhan koloni patogen P. capsici dan zona penghambatan
(ruang di antara pertumbuhan P. capsici dan rizobakteri). Pengamatan zona
penghambatan dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung hifa P. capsici dan
goresan rizobakteri menggunakan penggaris (cm). Persentase daya hambat (DH)
rizobakteri terhadap pertumbuhan patogen P. capsici dihitung dengan rumus yang
merujuk pada Syamsuddin (2010), yaitu:
Keterangan:
R1 = jari-jari pertumbuhan patogen tanpa rizobakteri (kontrol);
R2 = jari-jari pertumbuhan patogen ke arah rizobakteri.
Percobaan in vitro ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) satu
faktor yaitu isolat rizobakteri terdiri atas sembilan taraf: tujuh perlakuan kombinasi
isolat rizobakteri, perlakuan metalaksil dan kontrol. Setiap perlakuan diulang lima
kali sehingga terdapat 45 satuan percobaan. Tiga perlakuan isolat rizobakteri
terbaik yang berpotensi menghambat P. capsici kemudian digunakan untuk
percobaan selanjutnya.

7
Percobaan 2. Pengaruh perlakuan benih terhadap peningkatan vigor benih
Sumber benih
Benih yang digunakan pada penelitian ini adalah benih cabai varietas Laris
produksi PT. East West Seed Indonesia yang diperoleh dari salah satu toko
pertanian di Lampung pada bulan Mei 2014 dengan masa kadaluarsa sampai bulan
Mei 2015. Daya berkecambah awal benih sebesar 78%, sedangkan daya
berkecambah benih sesaat sebelum benih digunakan yakni 63%. Varietas Laris
dipilih karena rentan terhadap serangan patogen P. capsici (Yunianti et al. 2007).
Perlakuan benih dengan rizobakteri
Perlakuan benih dengan cara direndam dalam suspensi rizobakteri disebut
sebagai biopriming (Ilyas et al. 2014). Sebelum diberi perlakuan, benih terlebih
dahulu didisinfeksi dengan merendam benih dalam alkohol 70% selama 3 menit.
Selanjutnya benih dicuci sebanyak tiga kali dengan akuades steril dan dikeringanginkan dalam laminar air flow cabinet selama 60 menit. Benih yang telah
dikering-anginkan diberi perlakuan dengan cara merendam benih dalam 50 mL
suspensi isolat rizobakteri atau 50 mL suspensi metalaksil (800 ppm) atau 50 mL
air steril (sebagai kontrol) selama 24 jam pada suhu 26 0C. Benih yang telah diberi
perlakuan selanjutnya dikering-anginkan selama 60 menit sebelum ditanam
(Syamsuddin 2010). Suspensi sel rizobakteri yang digunakan dibuat dengan
menginkubasi masing-masing rizobakteri dalam 50 mL potato dextrose (PD)
selama 48 jam, kemudian dilihat nilai optical density (OD) dengan menggunakan
spektrofotometer agar diketahui kerapatan rizobakteri tersebut. Kerapatan populasi
ketiga rizobakteri tersebut adalah 109 cfu mL-1.
Benih yang sudah diberi perlakuan pelapisan rizobakteri kemudian disemai
pada tray semai yang berisi campuran tanah dan pupuk kandang (1:1 v/v) di rumah
kaca. Pengamatan kecambah normal benih cabai dilakukan setiap hari hingga 14
hari setelah tanam (HST), kemudian bibit dirawat di persemaian hingga berumur
35 HST. Pengamatan dilakukan pada tolok ukur: (1) daya tumbuh, (2) indeks vigor
(IV), (3) keserempakan tumbuh (KST), dan (4) kecepatan tumbuh (KCT).
Percobaan kedua ini menggunakan RAL satu faktor yaitu perlakuan benih
dengan isolat rizobakteri terdiri atas lima taraf: isolat rizobakteri ST116B, isolat
rizobakteri CM8, isolat rizobakteri ST116B + CM8, perlakuan metalaksil, dan
kontrol negatif (tanpa perlakuan benih dan tanpa inokulasi P. capsici). Setiap
perlakuan diulang empat kali sehingga terdapat 20 satuan percobaan. Setiap satuan
percobaan menggunakan 25 benih sehingga terdapat 500 satuan pengamatan. Bibit
berumur 35 HST dari hasil percobaan kedua dipindahkan ke polybag untuk
digunakan dalam percobaan ketiga.
Percobaan 3. Pengaruh perlakuan benih dalam meningkatkan pertumbuhan
tanaman dan mengurangi persentase kejadian penyakit di rumah kaca
Penanaman bibit di polybag
Sebanyak 30 bibit per perlakuan kemudian dipindahkan ke polybag (satu
bibit per polybag) berukuran 30 cm x 35 cm. Khusus pada perlakuan kontrol,

8
dipindahkan 30 bibit untuk bibit tanpa perlakuan dan tanah tidak diinokulasi P.
capsici (kontrol negatif), dan 30 untuk bibit tanpa perlakuan rizobakteri tetapi
tanah diinokulasi P. capsici (kontrol positif). Media tanam yang digunakan adalah
campuran tanah dan pupuk kandang (4:1 v/v). Media tanam yang berisi bibit
tersebut diletakkan secara teratur berjarak 30 cm x 50 cm. Penyiraman dilakukan
setiap hari agar pertumbuhan dan perkembangan bibit normal. Pemupukan
tanaman dilakukan saat 2 dan 6 minggu setelah pindah tanam (MSP) menggunakan
pupuk NPK Mutiara (15:15:15) sebanyak 50 mL per tanaman dengan dosis 2 g l-1.
Penyiapan tanah inokulum dan infestasi tanah pada tanaman
Tanah inokulum dibuat dengan mengering-anginkan tanah sebanyak 4 kg,
kemudian dicampur dengan 4% oat meal dan diberi air secukupnya hingga
membasahi seluruh campuran tanah dan oat meal. Tanah tersebut kemudian
disterilkan dengan autoklaf suhu 120°C selama 30 menit. Potongan biakan
diinfestasikan ke tanah yang sudah steril dan diinkubasi pada ruangan suhu 23-25
o
C selama 2 minggu (Manohara 1988). Infestasi tanah inokulum dilakukan saat
bibit berumur 2 MSP, dengan cara sebanyak 10 g tanah inokulum disebar di
sekeliling tanaman dan pangkal batang tidak dilukai (Ibrahim et al. 2014).
Pengamatan dilakukan 1-6 MSP pada tolok ukur pertambahan tinggi tanaman dan
pertambahan jumlah daun, dan 1-4 MSI (minggu setelah infestasi tanah inokulum)
pada tolok ukur kejadian penyakit.
Percobaan ketiga menggunakan RAL satu faktor yaitu perlakuan benih
dengan isolat rizobakteri terdiri atas enam taraf: isolat rizobakteri ST116B, isolat
rizobakteri CM8, isolat rizobakteri ST116B + CM8, metalaksil, tanpa perlakuan
benih dan tanpa inokulasi P. capsici (kontrol negatif), tanpa perlakuan benih dan
diinokulasi P. capsici (kontrol positif). Setiap perlakuan diulang tiga kali sehingga
terdapat 18 perlakuan. Setiap satuan percobaan menggunakan 10 bibit sehingga
dibutuhkan 180 bibit cabai.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Daya berkecambah benih cabai sesaat sebelum benih ditanam adalah
sebesar 63%. Penyiraman dilakukan satu kali sehari saat pagi hari untuk menjaga
kelembaban tanah. Suhu rata-rata dalam rumah kaca saat siang hari mencapai 41
o
C dengan suhu tertinggi mencapai 50 oC. Pengendalian hama dilakukan dengan
menyemprotkan insektisida berbahan aktif deltametrin 25 g l-1 dengan konsentrasi
0.5 mll-1 setiap dua minggu sekali. Pengendalian gulma dilakukan secara manual
yakni dengan pencabutan.
Percobaan 1. Evaluasi keefektifan kombinasi isolat rizobakteri sebagai
antagonis P. capsici secara in vitro
Daya hambat isolat rizobakteri terhadap pertumbuhan P. capsici terlihat
pada pertumbuhan koloni P. capsici pada perlakuan rizobakteri yang lebih lambat

9
dibandingkan kontrol (P. capsici ditumbuhkan pada media PDA tanpa perlakuan
rizobakteri ataupun metalaksil) (Gambar 1A). Saat 8 hari setelah inkubasi, jari-jari
koloni P. capsici pada kontrol telah memenuhi permukaan media tumbuh,
sedangkan pertumbuhan jari-jari koloni P. capsici pada perlakuan rizobakteri dan
metalaksil terhambat, sehingga terbentuk zona penghambatan (ruang kosong di
antara pertumbuhan P. capsici dan rizobakteri) (Gambar 1A).

A

Gambar 1 Pertumbuhan koloni P. capsici (a), rizobakteri ST116B (b) dan paper disc Ø 0.5
cm yang telah direndam metalaksil 800 ppm (c) pada media PDA (A);
perbedaan daya hambat beberapa rizobakteri terhadap P. capsici (B)

Lebar zona penghambatan pertumbuhan dari P. capsici atau daya
antagonisme yang terbentuk pada beberapa perlakuan rizobakteri yang diuji
berbeda-beda (Gambar 1B), hal ini menunjukkan bahwa setiap rizobakteri
memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menghasilkan senyawa metabolit
sekunder yang bersifat antagonis terhadap P. capsici. Menurut Syamsuddin (2010),
efektifitas penghambatan rizobakteri terhadap patogen melibatkan banyak
mekanisme, salah satunya yakni berhubungan dengan kemampuan isolat
rizobakteri dalam mensekresikan enzim ekstraseluler (kitinase, protease dan
selulase) khususnya protease dan selulase, serta produksi HCN.
Secara mikroskopis terlihat perbedaan bentuk antara ujung hifa cendawan
P. capsici pada perlakuan rizobakteri, perlakuan metalaksil dan kontrol (Gambar
2). Diby et al. (2005) menjelaskan bahwa beberapa strain P. fluoroscens dan
Trichoderma spp. mampu berperan sebagai agens antagonis terhadap patogen P.
capsici dengan menghasilkan enzim mycolytic viz. β-1,3 glucanase, β-14
glucanase dan lipase. Beberapa strain P. fluoroscens menyebabkan koagulasi
sitoplasma miselium P. capsici dan menghancurkan keseluruhan isi sitoplasma
setelah dikulturkan secara bersama-sama setelah 72 jam.

10

Gambar 2 Keragaan pertumbuhan hifa P. capsici pada media PDA: tanpa perlakuan,
sitoplasma pada ujung hifa penuh (A), uji dengan isolat ST116B, disintegrasi
sitoplasma P. capsici (B), uji dengan metalaksil 800 ppm, ujung hifa abnormal
(C). Mikroskop perbesaran 40x10

Tabel 1 Kemampuan isolat rizobakteri menghambat pertumbuhan Phytophthora
capsici secara in vitro 6 hari setelah inkubasi

No

Perlakuan rizobakteri

Rata-rata jari-jari
pertumbuhan
P. capsici (cm)

1
2
3
4
5
6
7
8
9

ST116B
ST156
CM8
ST116B + ST156
ST116B + CM8
ST156 + CM8
ST116B + ST156 + CM8
Metalaksil
Kontrol
KK
F hitung

3.31
3.60
2.62
3.93
2.84
3.30
3.18
2.23
5.16
-

Daya
Rata-rata
hambat
lebar zona
terhadap
penghambatan
P. capsici
(cm)
(%)
36 cd
1.12 d
30 de
0.04 g
49 bb
2.05 b
24 ee
0.11 g
48 bb
1.78 c
36 cd
0.59 f
38 cc
0.85 e
57 aa
2.52 a
16.10
14.10
0.0001
0.0001

Keterangan: Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan Duncan multiple range test (DMRT) pada taraf α = 5%

Daya hambat isolat rizobakteri yang diuji berkisar antara 24% - 49%
setelah enam hari inkubasi (Tabel 1). Daya hambat tertinggi ditunjukkan oleh isolat
CM8. Perlakuan kombinasi rizobakteri tidak menunjukkan persentase daya hambat
yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan rizobakteri tunggal. Dari hasil Percobaan
ini, rizobakteri CM8, kombinasi ST116B + CM8 dan rizobakteri ST116B dipilih
untuk digunakan dalam melapisi benih pada percobaan berikutnya.

11
Percobaan 2. Pengaruh perlakuan benih terhadap peningkatan vigor benih
Tabel 2 Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri terhadap viabilitas dan vigor
benih cabai di persemaian sampai 14 hari setelah semai
Perlakuan benih
ST116B
CM8
ST116B + CM8
Metalaksil
Tanpa perlakuan
KK
F hitung

Daya tumbuh Indeks vigor Keserempakan
(%)
(%)
tumbuh (%)
51 b
27 c
23 c
37 bc
65 a
31.75
0.0018

3b
0b
0b
5b
21 a
3.33
0.0001

32 b
6d
10 cd
23 bc
56 a
41.22
0.0001

Kecepatan
tumbuh
(% etmal-1)
5.19 b
1.87 c
1.86 c
3.73 bc
8.08 a
34.53
0.0001

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT pada taraf α = 5%; data Indeks Vigor sebelum diolah
ditransformasi dengan rumus

Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan rizobakteri maupun perlakuan
metalaksil tidak mampu meningkatkan viabilitas dan vigor benih di persemaian
pada tolok ukur daya berkecambah, indeks vigor, keserempakan tumbuh dan
kecepatan tumbuh. Hal tersebut diduga disebabkan oleh rendahnya viabilitas benih
cabai yang digunakan. Daya berkecambah benih cabai sesaat sebelum benih
ditanam adalah 63%. Beberapa benih yang digunakan diduga sudah tidak viabel
lagi, sehingga perlakuan rizobakteri tidak dapat menunjukkan adanya persentase
kenaikan vigor benih secara nyata. Kondisi perkecambahan benih cabai dapat
dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Perkecambahan benih cabai yang telah dilapisi rizobakteri atau metalaksil dan
tanpa perlakuan (kontrol) di persemaian. A = CM8; B = ST116B; C = ST116B
+ CM8; D = metalaksil; E = kontrol

Percobaan 3. Pengaruh perlakuan benih dalam meningkatkan pertumbuhan
tanaman dan mengurangi persentase kejadian penyakit di rumah kaca
Tabel 3 menunjukkan bahwa seluruh perlakuan rizobakteri maupun
metalaksil tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan jumlah
daun cabai saat 2-5 MSP. Benih dengan perlakuan isolat ST116B, CM8 dan
ST116B + CM8 mampu meningkatkan pertambahan jumlah daun yang sangat
nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol positif (benih tanpa perlakuan rizobakteri

12
dan tanah diinokulasi P. capsici) saat 6 MSP. Hal tersebut diduga berhubungan
dengan peranan rizobakteri sebagai pemacu pertumbuhan tanaman atau PGPR.
Tabel 3 Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri terhadap pertambahan
jumlah daun 2-6 minggu setelah pindah tanam di polybag
Perlakuan benih
ST116B
CM8
ST116B + CM8
Metalaksil
Kontrol positif
Kontrol negatif
KK
F hitung

2 MSP
a2.5
a2.3
a3.2
a2.8
a2.5
a3.1
17.06
0.9359

Pertambahan jumlah daun
3 MSP
4 MSP
5 MSP
a0.7
a1.8
a5.3
a0.9
a2.7
a3.7
a1.0
a2.7
a8.4
a1.0
a4.1
a7.2
a1.7
a1.7
10.2
a2.3
a2.4
a6.4
21.00
37.23
24.06
0.1637
0.8877
0.3121

6 MSP
8.4 a
6.5 a
9.0 a
2.1 b
2.8 b
9.0 a
9.53a
0.0001

Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT pada taraf α = 5%; data pada tabel sebelum diolah
; kontrol positif (tanpa perlakuan rizobakteri dan tanah
ditransformasi dengan rumus
diinokulasi P. capsici), kontrol negatif (tanpa perlakuan rizobakteri dan tanah tidak
diinokulasi P. capsici); MSP = minggu setelah pindah tanam; pengamatan dilakukan
terhadap 10 tanaman per ulangan, setiap perlakuan terdiri atas tiga ulangan; pertambahan
jumlah daun 2 MSP merupakan selisih jumlah daun antara pengamatan 1 MSP dan 2 MSP

Menurut Tenuta (2004), kemampuan rizobakteri sebagai PGPR
berhubungan erat dengan kemampuannya dalam memproduksi fitohormon seperti
IAA, sitokinin, giberelin dan etilen dalam peranannya sebagai biostimulant. Selain
itu, menurut McMillan (2007), kemampuan rizobakteri dalam menyediakan hara
(biofertilizer) dengan menambatkan N2 dari udara secara asimbiosis, kemampuan
melarutkan fosfat serta kemampuan mengoksidasi sulfur juga merupakan
karakteristik rizobakteri dalam peranannya sebagai PGPR. Penelitian sebelumnya
telah dilaporkan bahwa inokulasi benih dengan rizobakteri isolat Bacillus spp.,
Pseudomonas spp. dan Serratia spp. nyata meningkatkan jumlah daun cabai saat 6
MSP (Syamsuddin 2010). Ibrahim et al. (2014) juga melaporkan bahwa perlakuan
benih dengan rizobakteri ST116B mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman
cabai pada tolok ukur jumlah daun.
Hasil pengamatan saat 6 MSP (Tabel 3) juga menunjukkan bahwa
perlakuan rizobakteri mampu mempertahankan laju pertumbuhan tanaman yang
sakit seperti laju pertumbuhan tanaman yang sehat. Hal tersebut terlihat pada
tanaman yang diinokulasi P. capsici dengan isolat ST116B, CM8 dan ST116B +
CM8 memiliki laju pertambahan jumlah daun yang tidak berbeda nyata dengan
kontrol negatif (tanaman yang tidak diinokulasi P. capsici namun benih tidak
diberi perlakuan). Benih dengan perlakuan metalaksil menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (benih tanpa perlakuan dan tanah
diinokulasi P. capsici), namun nyata lebih rendah dibandingkan benih dengan
perlakuan rizobakteri. Hal tersebut diduga disebabkan karena metalaksil tidak
dapat memproduksi senyawa PGPR sebagaimana yang bisa diproduksi oleh
rizobakteri.

13
Tabel 4 Pengaruh perlakuan benih dengan rizobakteri terhadap pertambahan tinggi
tanaman 2-6 minggu setelah pindah tanam di polybag
Perlakuan benih
ST116B
CM8
ST116B + CM8
Metalaksil
Kontrol positif
Kontrol negatif
KK
F hitung

Pertambahan tinggi tanaman (cm)
2 MSP
a6.80
a6.80
a7.58
a6.85
a6.59
a5.24
10.58
0.5427

3 MSP
a1.03
a1.50
a1.38
a1.35
a1.15
a3.07
25.84
0.3244

4 MSP
a0.59
a0.56
a0.28
a0.56
a0.46
a1.11
18.73
0.3482

5 MSP
0.14 b
0.23 b
0.11 b
0.79 a
0.22 b
0.92 a
10.70 aa
0.0008

6 MSP
0.21 bc
0.51 aa
0.11 ca
0.20 bc
0.17 bc
0.45 ab
10.72aaa
0.0416

Keterangan: detil idem Tabel 3; pertambahan tinggi tanaman saat 2 MSP merupakan
selisih tinggi tanaman antara pengamatan 1 MSP dan 2 MSP

Tabel 4 menunjukkan perlakuan rizobakteri maupun metalaksil tidak
berpengaruh secara nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman cabai umur 2-4
MSP. Pertambahan tinggi tanaman saat 5 MSP pada perlakuan kontrol negatif
(benih tanpa perlakuan dan tanah tidak diinokulasi P. capsici) dan metalaksil
menunjukkan nilai yang sangat nyata lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya.
Perlakuan rizobakteri dengan pertambahan tinggi tanaman yang lebih rendah
daripada perlakuan lainnya diduga karena fitohormon IAA yang dihasilkan oleh
rizobakteri lebih banyak terkonsentrasi pada daerah pertumbuhan daun daripada
daerah pertumbuhan tinggi tanaman. Menurut Darmawan dan Baharsjah (2010)
penyebaran auksin yang tidak merata dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan
rangsangan perpanjangan sel. Harjadi (1996) juga menjelaskan bahwa dominansi
pucuk (apical dominance) merupakan penghambatan oleh titik tumbuh pada
pertumbuhan tunas-tunas dibawahnya yang merupakan fungsi dari distribusi
auksin.
Benih dengan perlakuan rizobakteri CM8 yang diinokulasi P. capsici
memiliki nilai pertambahan tinggi tanaman saat 6 MSP yang tidak berbeda nyata
dengan kontrol negatif (benih tanpa perlakuan dan tanah tidak diinokulasi P.
capsici). Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan benih dengan rizobakteri
CM8 mampu mempertahankan kemampuan tanaman cabai yang sakit untuk
melakukan pertumbuhan sama dengan kemampuan pertumbuhan tanaman cabai
yang sehat.
Pengamatan terhadap persentase kejadian penyakit dilakukan selama 28
hari sejak infestasi tanah inokulum P. capsici pada pangkal batang tanaman cabai.
Gejala serangan P. capsici mulai terlihat 14 hari setelah infestasi (HSI). Persentase
kejadian penyakit yang rendah disebabkan karena suhu rumah kaca yang tinggi
selama percobaan, yakni mencapai 41-50 oC pada siang hari. Gambar 4
menunjukkan gejala serangan pada batang bagian bawah yang mengalami
perubahan warna dari hijau menjadi cokelat, tanaman tersebut kemudian menjadi
layu dan mati. Menurut Ibrahim et al. (2014), gejala serangan P. capsici berupa
pangkal batang yang mengalami perubahan warna dari hijau menjadi cokelat
kemudian seluruh bagian daun layu, tanaman mengering dan selanjutnya tanaman
mati.

14

Gambar 4 Gejala serangan pada tanaman cabai: warna pangkal batang berubah dari hijau
menjadi cokelat (A), tanaman layu (B), tanaman mengering dan mati (C)

Tabel 5 Pengaruh perlakuan rizobakteri pada benih terhadap kejadian penyakit saat
28 hari setelah infestasi inokulum Phytophthora capsici ke tanah
Perlakuan rizobakteri
ST116B
CM8
CM8 + ST116B
Metalaksil
Kontrol positif
Kontrol negatif
KK
F hitung

14 HSI
3
0
3
0
3
0
244.95
0.7013

Kejadian penyakit (%)
21 HSI
28 HSI
3 ab
3 bcc
7 ab
7 abc
3 ab
3 bcc
10 aaa
10 abbb
13 aaa
17 aaaa
0 bb
0 ccc
72.63
74.96
0.0435
0.0420

Keterangan: detil idem Tabel 3; data pada tabel sebelum diolah ditransformasi dengan
rumus arcsin
; HSI = hari setelah infestasi

Perlakuan benih dengan rizobakteri terbukti mampu mengurangi tingkat
serangan patogen P. capsici pada tanaman (Tabel 5). Saat 21 HSI, persentase
kejadian penyakit pada benih yang mendapat perlakuan menunjukkan nilai yang
lebih rendah dibandingkan tanaman cabai pada kontrol positif (tanpa perlakuan
rizobakteri dan tanah diinokulasi P. capsici). Saat 28 HSI, persentase kejadian
penyakit pada perlakuan rizobakteri juga menunjukkan nilai yang lebih rendah
dibandingkan kontrol positif. Benih dengan perlakuan rizobakteri sebelum tanam
terbukti mampu menurunkan persentase kejadian penyakit dan tumbuh
sebagaimana tanaman sehat (kontrol negatif). Hal tersebut menunjukkan bahwa
perlakuan rizobakteri berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit dan menghambat
serangan patogen P. capsici.
Penurunan kejadian penyakit pada perlakuan rizobateri diduga karena
kemampuan rizobakteri dalam menghasilkan enzim ekstraselular, senyawa
siderofor dan senyawa HCN. Penelitian Syamsuddin (2010) menyebutkan bahwa
isolat rizobakteri yang didapat dari rizosfer tanaman cabai sehat mampu
mensekresikan enzim ekstraselular serta memproduksi HCN dan siderofor
sehingga mampu menghambat pertumbuhan patogen P. capsici. Enzim
ekstraselular yang paling berperan ialah protease dan lipase.
Jika dibandingkan kontrol positif, perlakuan benih dengan metalaksil
menunjukkan persentase kejadian penyakit busuk phytophthora yang tidak berbeda

15
nyata (Tabel 5). Perlakuan benih dengan rizobakteri terbukti mampu menurunkan
persentase kejadian penyakit yang lebih baik dibandingkan perlakuan benih dengan
metalaksil. Menurut Syamsuddin (2010) meskipun metalaksil merupakan fungisida
yang bersifat sistemik, namun efek pengendalian metalaksil berdurasi singkat tidak
seperti halnya efek pengendalian yang diberikan oleh agens biokontrol yang
bersifat lama dan mampu menginduksi ketahanan tanaman secara sistemik serta
secara tidak langsung juga berperan sebagai pemacu pertumbuhan.
Perlakuan metalaksil juga menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata
dengan perlakuan rizobakteri (Tabel 5), namun jika ditinjau dari aspek keramahan
terhadap lingkungan, penggunaan rizobakteri ini tentu lebih disarankan
dibandingkan dengan penggunaan fungisida metalaksil. Rizobakteri ST116B dapat
digunakan untuk melapisi benih karena kemampuannya dalam meningkatkan
pertambahan jumlah daun dan mengurangi persentase kejadian penyakit busuk
phytophthora di lapangan. Selain itu, karena perlakuan campuran rizobakteri
ST116B + CM8 tidak berbeda nyata dengan ST116B, maka disarankan agar
rizobakteri ST116B diaplikasikan secara tunggal.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tiga isolat rizobakteri baik yang dikombinasikan maupun yang tunggal
secara in vitro mampu menghambat pertumbuhan patogen P. capsici. Persentase
daya hambat tertinggi secara in vitro ditunjukkan oleh isolat rizobakteri CM8.
Perlakuan CM8 nyata meningkatkan pertambahan jumlah daun dan pertambahan
tinggi tanaman, namun tidak dapat menurunkan persentase kejadian penyakit
secara nyata dibandingkan kontrol positif. Perlakuan ST116B dan kombinasi
ST116B + CM8 nyata meningkatkan pertambahan jumlah daun dan menurunkan
persentase kejadian penyakit busuk phytophthora dari 17% pada benih tanpa
perlakuan yang diinfeksi penyakit hingga menjadi 3%. Tidak terdapat perbedaan
nyata pengaruh rizobakteri yang diaplikasikan secara tunggal maupun kombinasi
dua isolat rizobakteri.

Saran
Perlakuan benih sebelum tanam menggunakan rizobakteri ST116B disarankan
untuk meningkatkan mutu benih cabai karena sifatnya yang ramah lingkungan
dibandingkan dengan metalaksil.

DAFTAR PUSTAKA
Antoum H, Prevost D. 2006. Ecology of plant growth promoting rhizobacteria. In:
Siddiqui, Z.A, editor. PGPR: Biocontrol and Biofertilization. Springer,
Dordrecht, p. 1-38.

16
Babadoost M. 2001. Phytophthora blight of pepper. Department of Crop Science.
University of Illinois, Urbana-Champaign.
Babadoost M. 2004. Phytophthora blight: a serious threat to cucurbit industries.
American Phytopathological Society, St. Paul, MN.
Dardanelli MS, Carletti SM, Paulucci NS, Medeot DB, Caseres EAR, Vita FA,
Bueno M, Fumero MF, Garcia MB. 2010. Plant Growth and Health
Promoting Bacteria: Benefit of plant growth-promoting rhizobacteria and
rhizobia in agriculture. Dinesh K. Maheswari, editor. Berlin: Springer.
Darmawan J, Baharsjah JS. 2010. Dasar Dasar Fisiologi Tanaman. Jakarta (ID):
SITC.
Diby P, Saju KA, Jisha PJ, Sarma YR, Kumar A, Anandaraj M. 2005. Mycolytic
enzymes produced by Pseudomonas fluoroscens and Trichoderma spp.
against Phytophthora capsici, the foot rot pathogen of black pepper (Piper
nigrum L.). Annals of Microbiology. 55(2):129-133.
Granke LL, Ocampo LQ. 2012. Advances in research on Phytophthora capsici on
vegetable crops in the United States. Plant Disease. 95(11):1588-1600.
Harjadi SS. 1996. Pengantar Agronomi. Jakarta (ID): PT Gramedia.
Ibrahim A, Ilyas S, Manohara D. 2014. Perlakuan benih cabai (Capsicum annuum
L.) dengan rizobakteri untuk mengendalikan Phytophthora capsici,
meningkatkan vigor benih, dan pertumbuhan tanaman. Bul Agrohorti.
2(1):22-30.
Ilyas S. 2006. Seed treatments using matriconditioning to improve vegetable seed
quality [ulas balik]. Bul Agron. 34(2):124-132.
Ilyas S. 2012. Ilmu dan Teknologi Benih: Teori dan Hasil-Hasil Penelitian. Bogor
(ID): IPB Press.
Ilyas S, Asie KV, Sudarsono. 2014. Biomatriconditioning or biopriming with
biofungicide or biological agent applied on hot pepper (Capsicum annuum
L.) seeds reduced seedborne Colletotrichum capsici and increased seed
quality and yield. Presented at the 29th International Horticultural
Congress 2014. Brisbane, 17-22 August 2014.
Louws FJ, Holmes GJ, Ristaino JB. 2002. Phytophthora blight of pepper and
cucurbits. Vegetable disease information Note 27. College of Agriculture
and Life science, Plant Pathology Extension, North Carolina State
University: p:14.
Manohara D. 1988. Ekologi Phytophthora palmivora (Bulter), Penyebab Penyakit
Busuk