Aktivitas Ekstrak Cacing Laut Siphonosoma Australe Sebagai Antihiperglikemik Pada Tikus Galur Sprague Dawley Yang Diinduksi Streptozotocin

AKTIVITAS EKSTRAK CACING LAUT Siphonosoma australe
SEBAGAI ANTIHIPERGLIKEMIK PADA TIKUS GALUR
Sprague Dawley YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN

GESTI RIZKA ANINDA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA *
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Aktivitas
Ekstrak Cacing Laut Siphonosoma australe sebagai Antihiperglikemik pada Tikus
Galur Sprague Dawley yang Diinduksi Streptozotocin adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

Gesti Rizka Aninda
NIM C34110080

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

ABSTRAK
GESTI RIZKA ANINDA. Aktivitas Ekstrak Cacing Laut Siphonosoma australe
sebagai Antihiperglikemik pada Tikus Galur Sprague Dawley yang Diinduksi
Streptozotocin. SRI PURWANINGSIH dan EKOWATI HANDHARYANI.
Siphonosoma australe merupakan salah satu spesies cacing laut yang
termasuk ke dalam filum Sipuncula dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan aktivitas ekstrak cacing laut
Siphonosoma australe sebagai antihiperglikemik pada tikus galur Sprague Dawley
yang diinduksi streptozotocin serta mengetahui pengaruhnya terhadap kadar

SGOT, SGPT, dan MDA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol
cacing S. australe memiliki aktivitas antihiperglikemik terbaik pada dosis
45 mg/kgBB yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus sebesar
104±38,59 mg/dL dan meningkatkan bobot tubuh sebesar 18,2±19,49 g.
Perlakuan ekstrak cacing S. australe memberikan efek pemulihan terbaik pada
dosis 45 mg/kgBB dengan kadar SGOT 152,67±17,21 U/L, kadar SGPT sebesar
16,33 ± 28,01 U/L, dan kadar MDA 0,54±0,1 nmol/mL. Kandungan senyawa
bioaktif ekstrak etanol cacing S. australe yang diduga dapat memberikan efek
antihiperglikemik yaitu flavonoid, alkaloid, saponin, dan steroid.
Kata kunci: antihiperglikemik, Siphonosoma australe, streptozotocin.

ABSTRACT
GESTI RIZKA ANINDA. The Activity of Marine Worms Siphonosoma australe
Extract as Antihyperglycemic in Sprague Dawley Rat Strain were Induced by
Streptozotocin SRI PURWANINGSIH and EKOWATI HANDHARYANI.
Siphonosoma australe is one species of marine worms belonging to the
phylum Sipuncula and is not used optimally yet. The purpose of this study was to
determine the activity of marine worms (Siphonosoma australe) ethanol extract as
antihyperglycemic in Sprague Dawley rat strain were induced by streptozotocin
and determine its influence on the levels of SGOT, SGPT, and MDA. The results

showed that the ethanol extract of S. australe worm had the best
antihyperglycemic activity at a dose of 45 mg/kg body weight could decrease
blood glucose levels of rat by 104 ± 38.59 mg /dL and increased the body weight
of 18.2 ± 19.49 g. S. australe worm extract treatment gave the best recovery effect
at a dose of 45 mg/kg body weight with SGOT levels of 152.67±17.2 U/L, SGPT
levels of 16.33 ± 28.01 U/L, and MDA levels of 0.54 ± 0.1 nmol/mL. The
bioactive compounds of S. australe ethanol extract that could provide
antihyperglycemic effect were flavonoids, alkaloids, saponins and steroids.
Keywords: antihyperglycemic, Siphonosoma australe, streptozotocin

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang – Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa menyantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


AKTIVITAS EKSTRAK CACING LAUT Siphonosoma australe
SEBAGAI ANTIHIPERGLIKEMIK PADA TIKUS GALUR
Sprague Dawley YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN

GESTI RIZKA ANINDA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aktivitas Ekstrak

Cacing Laut Siphonosoma australe sebagai Antihiperglikemik pada Tikus Galur
Sprague Dawley yang Diinduksi Streptozotocin”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyusunan karya ilmiah ini, terutama kepada:
1 Dr Ir Sri Purwaningsih, MSi dan Prof Dr Ekowati Handharyani, PhD
APVet selaku dosen pembimbing atas segala saran, arahan, motivasi dan
ilmu yang diberikan kepada penulis,
2 Dr Desniar, SPi MSi selaku dosen penguji, terima kasih atas segala saran,
bimbingan, arahan, dan ilmu yang diberikan kepada penulis,
3 Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku Komisi Pendidikan dan Ketua
Departemen Teknologi Hasil Perairan atas segala saran dan bimbingan
yang diberikan,
4 Orang tua dan keluarga yang telah memberikan doa serta dukungannya
baik secara moril maupun materil,
5 Laboran dan teknisi yang telah membantu penulis selama penelitian,
6 Teman–teman Teknologi Hasil Perairan atas segala doa, bantuan,
semangat dan dukungan yang diberikan.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih ada kekurangan. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.


Bogor, Maret 2016

Gesti Rizka Aninda

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .............................................................................................
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
PENDAHULUAN .............................................................................................
Latar Belakang ............................................................................................
Perumusan Masalah ....................................................................................
Tujuan Penelitian ........................................................................................
Manfaat Penelitian ......................................................................................
Ruang Lingkup Penelitian ...........................................................................
METODE PENELITIAN ...................................................................................
Bahan ..........................................................................................................
Alat ..............................................................................................................
Prosedur Penelitian .....................................................................................
Prosedur Analisis ........................................................................................

Analisis Data ...............................................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................................
Karakteristik Cacing Siphonosoma australe ...............................................
Komposisi Kimia Cacing Siphonosoma australe .......................................
Rendemen Ekstrak Cacing Siphonosoma australe .....................................
Komponen Aktif Ekstrak Cacing Siphonosoma australe ...........................
Aktivitas Antihiperglikemik Ekstrak Cacing Siphonosoma australe .........
SGOT dan SGPT Serum Darah Tikus .........................................................
MDA Hati Tikus ..........................................................................................
KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................
Kesimpulan .................................................................................................
Saran ...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
LAMPIRAN .......................................................................................................
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................

vii
vii
vii
1

1
2
2
2
2
3
3
3
4
6
9
9
9
10
12
12
14
19
20
22

22
22
22
29
33

DAFTAR TABEL
1 Hasil pengukuran morfometrik cacing S. australe ....................................... 10
2 Hasil analisis proksimat cacing S. australe .................................................. 11
3 Hasil analisis komponen bioaktif ekstrak cacing S. australe ........................ 13

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir prosedur penelitian ...................................................................
2 Pengukuran morfometrik cacing S. australe ..................................................
3 Grafik kadar glukosa darah hari ke 1, 7, dan 14 hari pada kelompok
perlakuan kontrol normal, diabet, metformin, E22,5, E45, E90 15 ...............
4 Grafik perubahan kadar glukosa darah setelah 14 hari perlakuan pada
kelompok N= normal, D= diabet, M= metformin, E22,5= ekstrak 22,5
mg/kgBB, E45= ekstrak 45 mg/kgBB, E90= ekstrak 90 mg/kgBB ...............

5 Grafik bobot tubuh tikus hari ke 1, 7, dan 14 hari pada kelompok
perlakuan kontrol normal, diabet, metformin, E22,5, E45, E90 ....................
6 Grafik perubahan bobot tubuh setelah 14 hari perlakuan pada kelompok
N= normal, D= diabet, M= metformin, E22,5= ekstrak 22,5 mg/kgBB,
E45= ekstrak 45 mg/kgBB, E90= ekstrak 90 mg/kgBB .................................
7 Grafik rata-rata jumlah kebutuhan minum selama 14 hari pada kelompok
perlakuan kontrol normal, kontrol diabet, metformin, 22,5, E45, E90 ...........
8 Grafik rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada tikus kontrol normal, kontrol
diabet, metformin, E22,5= ekstrak 22,5 mg/kgBB, E45= ekstrak 45
mg/kgBB, E90= ekstrak 90 mg/kgBB ............................................................
9 Grafik rata-rata kadar MDA pada tikus kontrol normal, kontrol diabet,
metformin, E22,5= ekstrak 22,5 mg/kgBB, E45= ekstrak 45 mg/kgBB,
E90= ekstrak 90 mg/kgBB .............................................................................

4
9
15

16
17


17
18

19

21

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Data pengukuran morfometrik cacing S. australe ........................................
Perhitungan analisis proksimat cacing S. australe .......................................
Perhitungan rendemen ekstrak cacing S. australe ........................................
Hasil analisis komponen aktif ekstrak cacing S. australe ............................

31
32
32
32

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Siphonosoma australe merupakan salah satu cacing laut yang termasuk
dalam filum Sipuncula. Sipuncula sering dikonsumsi oleh masyarakat pesisir dan
digunakan para nelayan sebagai umpan untuk memancing. Masyarakat di daerah
Bangka menjual Sipuncula sebagai produk pangan dan mayoritas pembelinya
merupakan masyarakat Tionghoa. Cacing Sipuncula bernilai ekonomis tinggi
namun belum dimanfaatkan secara optimal di Indonesia. Cacing Sipuncula hingga
kini belum terdaftar sebagai komoditas hasil laut dalam statistik hasil perairan
Indonesia (Fakhrurrozi 2011).
Masyarakat banyak yang belum mengetahui perihal pemanfaatan cacing
Sipuncula, padahal cacing Sipuncula berpotensi dijadikan sebagai bahan baku
obat-obatan (Fakhrurrozi 2011). Zhang dan Zi (2011) menyebutkan Sipuncula
telah lama digunakan sebagai obat tradisional Cina untuk pengobatan penyakit
tuberkulosis, pengatur fungsi lambung dan limpa, serta pemulihan kesehatan yang
disebabkan oleh patogen. Menurut Zhang et al. (2011), ekstrak Sipunculus nudus
dengan dosis 50 mg/kgBB memiliki aktivitas antiinflamasi yang baik.
Purwaningsih (2014) menyatakan ekstrak Siphonosoma australe memiliki potensi
sebagai antidiabates yang diperoleh melalui uji in vitro yang dapat menghambat
aktivitas enzim α-glukosidase sebesar 16-24 ppm. Penghambatan enzim
α-glukosidase diperlukan bagi penderita diabetes melitus karena dapat
menghambat penyerapan glukosa di usus sehingga dapat mengontrol kadar
glukosa dalam darah.
Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu dari enam penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di dunia (WHO 2006). International Diabetes
Federation (IDF) mengemukakan bahwa pada tahun 2013 sebanyak 382 juta
menderita DM usia 20-79 tahun dan diperkirakan akan meningkat menjadi 592
juta jiwa pada tahun 2035. Prevalensi penyakit DM di Indonesia pada tahun 2013
adalah 8,5 juta jiwa dan pada tahun 2035 diperkirakan akan meningkat menjadi
21,3 juta jiwa (IDF 2013).
Akbarzadeh et al. (2007) menyatakan penyakit DM biasanya disebut silent
killer karena hampir sepertiga penderita DM tidak mengetahui mereka menderita
DM. Menurut Fitriah et al. (2013), penyakit DM ditimbulkan oleh
ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan insulin yang diproduksi dengan
efektif atau insulin yang diproduksi oleh pankreas tidak cukup untuk mengikat
glukosa darah. Penyakit DM ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah dari
normal atau hiperglikemia akibat kerusakan sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya.
Ndraha (2014) menyatakan bahwa pengobatan DM dapat dilakukan dengan
terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Terapi nonfarmakologi yaitu dengan
memperhatikan asupan nutrisi dan latihan fisik untuk menjaga kebugaran,
menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan sensitivitas insulin. Terapi
farmakologi dapat dilakukan dengan pengonsumsian obat antidiabetes oral (OAD)
dan penambahan insulin. Pengobatan DM dengan terapi farmakologi dapat
memberikan efek negatif, seperti hipoglikemia berat, mual, rasa tidak enak di

2

perut, dan terjadinya komplikasi jangka panjang yang dapat membahayakan otak.
Terapi farmakologi juga membutuhkan biaya yang mahal, sehingga banyak
penderita yang berusaha mengendalikan kadar glukosa darahnya dengan
pengobatan berbahan alami (Dalimunthe 2004).
Cacing S. australe diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif sumber
pengobatan diabetes berbahan alami. Pengujian aktivitas ekstrak S. australe
sebagai antihiperglikemik secara in vivo perlu dilakukan untuk mendukung hasil
penelitian secara in vitro Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi ilmiah mengenai khasiat antihiperglikemik S. australe secara in vivo,
serta dapat dijadikan dasar pengembangan cacing laut menjadi produk obat yang
dapat digunakan secara luas oleh masyarakat.

Perumusan Masalah
Cacing S. australe dimanfaatkan oleh masyarakat Tionghoa sebagai obat
tradisional berbahan alami, namun informasi ilmiah dari cacing S. australe belum
banyak dikaji. Penelitian ilmiah tentang cacing S. australe perlu dilakukan agar
dapat diketahui lebih lanjut untuk pemanfaatannya. Ekstrak cacing S. australe
belum dilakukan uji aktivitas antihiperglikemik sehingga perlu dilakukan
penelitian tentang hal tersebut.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan aktivitas ekstrak cacing laut
S. australe sebagai antihiperglikemik pada tikus galur Sprague Dawley yang
diinduksi streptozotocin.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan nilai tambah terhadap cacing laut
S. australe sebagai bahan baku hasil perairan. Hasil penelitian diharapkan menjadi
sumber informasi baru dan sebagai bahan nutraseutika maupun farmaseutika.

Ruang Lingkup Penelitian
Tahap penelitian dimulai dari preparasi bahan baku yang dilanjutkan dengan
proses ekstraksi. Ekstrak yang didapat digunakan untuk analisis aktivitas
antihiperglikemik secara in vivo menggunakan hewan uji. Hewan uji yaitu tikus
putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley dengan jenis kelamin jantan.
Ekstrak diberikan selama 14 hari. Parameter kadar glukosa darah dan bobot tubuh
diamati pada hari ke 1, 7 dan 14. Jumlah kebutuhan minum tikus diukur setiap
hari selama 14 hari. Semua tikus dikorbankan dengan cara eutanasi
intraperitoneal setelah 14 hari perlakuan untuk mendapatkan organ hati serta
dilakukan pengambilan sampel darah dari jantung untuk mendapatkan serum

3

darah. Serum darah digunakan untuk mengukur kadar serum glutamic oxaloacetic
transaminase (SGOT) dan serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT). Organ
hati digunakan untuk pengujian malondialdehida (MDA).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Desember 2015.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Analisis
fitokimia dilaksanakan di Laboratorium Kimia Analitik, Depatemen Kimia,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Pengujian aktivitas
antihiperglikemik ekstrak cacing S. australe secara in vivo dilakukan di Rumah
Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor, serta Laboratorium Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Analisis biokimia darah dilakukan
di laboratorium klinis Mandapa, Bogor. Analisis MDA organ hati dilakukan di
Laboratorium Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah cacing S. australe, etanol 95%,
selenium, H2SO4 pekat, aquades, NaOH 40%, H3BO3 2%, indikator brom
cherosol green-methyl red, HCl 0,1 N, n-heksana, pereaksi Dragendorff, pereaksi
Meyer, pereaksi Wagner, kloroform, anhidra asam asetat, asam sulfat pekat,
serbuk magnesium, amil alkohol, larutan HCl 2 N, larutan FeCl3 5%,
streptozotocin (STZ), metformin, Phosphate Buffer Saline (PBS), buffer sitrat,
TRIS buffer, L-aspartate, L-alanine, LDH, MDH, NADH, α-Ketoglutaric,
tiobarbiturat acid (TBA) 0,67%, trikloroasetat (TCA) 20%.

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jangka sorong,
timbangan digital Sartorius TE212-L (New York, Amerika), blender, pisau,
orbital shaker, rotary vacuum evaporator Eyela SB-2100 (Tokyo, Jepang), labu
Erlenmeyer, tabung reaksi, beaker glass, gelas ukur, aluminium foil, kertas saring
Whatman No. 42, pipet tetes, pipet volumetrik, sudip, corong, lemari pendingin,
mortar, cawan porselen, gegep, desikator, oven, kompor listrik, tanur pengabuan,
kapas bebas lemak, labu lemak, kondensator, tabung Soxhlet, penangas air, labu
Kjeldahl, destilator, kandang tikus, sekam, botol 150 ml, glukometer GlucoDr tipe
AGM-2100 (Dong Il, Korea), spoit lambung, tabung ependorff, setrifuge
MiniSpin Eppendorf AG 22331 (Hamburg, Jerman), spektrofotometer Cobas Mira
Plus CC by Roche (Grenzach, Jerman).

4

Prosedur Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama yaitu ekstraksi cacing
laut S. australe dan tahap kedua yaitu pengujian aktivitas antihiperglikemik
ekstrak cacing S. australe pada tikus galur Sprague Dawley. Diagram alir
prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Cacing Laut
S. australe

Preparasi bahan baku

Lumatan halus
cacing S. australe

Analisis proksimat

Maserasi

Filtrasi

Residu

Filtrat

Evaporasi

Ekstrak cacing
S. australe

Perhitungan rendemen
Analisis fitokimia
Uji aktivitas
antihiperglikemik secara
in vivo

Perlakuan selama 14 hari
pada tikus

Pemanenan

Serum darah dan
organ hati

Analisis SGOT SGPT
serum darah
Analisis MDA hati

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian

5

Karakterisasi dan Preparasi Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan adalah cacing S. australe. Cacing S. australe
dilakukan pengukuran morfometrik sebanyak 30 ekor yang meliputi pengukuran
panjang, diameter, dan bobot tubuh. Pengukuran panjang dan diameter
menggunakan jangka sorong, pengukuran bobot menggunakan timbangan digital.
Sampel yang telah diukur morfometriknya selanjutnya dicuci menggunakan air
mengalir. Sampel cacing yang sudah bersih dihaluskan menggunakan blander.
Cacing S. australe yang sudah dihaluskan tersebut digunakan untuk proses
ekstraksi.
Ekstraksi (Purwaningsih et al. 2008)
Proses ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi 24 jam. Lumatan halus
cacing direndam menggunakan pelarut etanol dengan perbandingan 1:4 (b:v),
dimaserasi selama 24 jam menggunakan orbital shaker 24 jam pada suhu ruang
kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman no.42. Filtrat yang
dihasilkan dipisahkan pelarutnya menggunakan rotary vacuum evaporator pada
suhu 40 oC selama 6 jam. Ekstrak yang dihasilkan kemudian ditimbang bobotnya.
Persentase rendemen ekstrak cacing S. australe dapat dihitung dengan rumus:
Rendemen (%) =

Berat ekstrak (g)
x 100%
Berat sampel (g)

Pengujian Aktivitas Antihiperglikemik Ekstrak Cacing S. australe
Pengujian aktivitas antihiperglikemik dilakukan secara in vivo
menggunakan hewan uji, yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague
Dawley dengan jenis kelamin jantan. Tikus yang digunakan memiliki bobot tubuh
150-250 g dengan umur 8 minggu. Hewan coba diperoleh dari Badan Pengawas
Obat dan Makanan, Jakarta.
Hewan coba sebelum digunakan diaklimatisasi selama kurang lebih tujuh
hari untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Hewan coba diberi makan
dengan pakan standard dan minum secara ad libitum. Tikus ditimbang dan
dikelompokkan menjadi 6 kelompok (n=3) di dalam kandang secara terpisah pada
hari terakhir adaptasi. Kelompok perlakuan adalah sebagai berikut:
K
= kontrol normal, diberi larutan aquades.
D
= diabetes; diberi streptozotocin (STZ) secara intraperitoneal dengan
dosis 50 mg/kgBB pada hari ke-0 dan hari selanjutnya diberi
aquades.
M
= perlakuan sama dengan kelompok D. Dosis metformin yang
diberikan 45 mg/kgBB/hari.
E22,5 = perlakuan sama dengan kelompok D. Dosis ekstrak yang diberikan
22,5 mg/kgBB/hari.
E45 = perlakuan sama dengan kelompok D. Dosis ekstrak yang diberikan
45 mg/kgBB/hari.
E90 = perlakuan sama dengan kelompok D. Dosis ekstrak yang diberikan
90 mg/kgBB/hari.
Kadar glukosa darah tikus diperiksa tiga hari setelah penginduksian STZ.
Tikus dinyatakan diabetes jika memiliki kadar glukosa darah sesaat ≥ 200 mg/dL
(ADA 2013). Tikus yang telah diabetes selanjutnya diberikan perlakuan sesuai

6

dengan kelompok yang telah ditentukan. Pemberian obat metformin dan ekstrak
cacing dilakukan secara peroral. Perlakuan diberikan selama 14 hari. Pengukuran
bobot dan glukosa darah diamati pada hari ke-1, hari ke-7 dan hari ke-14
perlakuan. Pengukuran bobot tubuh menggunakan timbangan digital. Pengukuran
kadar glukosa darah menggunakan glucometer.
Semua tikus dikorbankan dengan cara eutanasi intraperitoneal setelah 14
hari perlakuan, untuk mendapatkan organ hati serta dilakukan pengambilan
sampel darah dari jantung untuk mendapatkan serum darah. Serum darah
digunakan untuk mengukur SGOT dan SGPT. Organ hati digunakan untuk
pengujian MDA.
Prosedur Analisis
Analisis Proksimat (AOAC 2005)
a)
Analisis kadar air
Analisis kadar air dilakukan dengan mengeringkan cawan porselen dalam
oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam
desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian
ditimbang.. Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian
dikeringkan dengan oven pada suhu 105 °C selama 8 jam atau hingga beratnya
konstan. Setelah selesai, cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator
dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali.
Perhitungan kadar air:
Kadar air (%)=

Berat sampel awal (g) – Berat sampel kering (g)
x 100%
Berat contoh awal (g)

b)

Analisis Kadar Abu
Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu
sekitar 105 oC selama 1 jam. Cawan abu porselen tersebut dimasukkan ke dalam
desikator (15 menit) dan kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 1 g ditimbang
kemudian dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Selanjutnya dibakar di atas
kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan
dengan suhu 600 oC selama 6 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator
dibiarkan sampai dingin dan kemudian ditimbang.
Perhitungan kadar abu:
Kadar abu (%)=

c)

Bobot setelah tanur (g) – Cawan kosong (g)
x 100%
Berat sampel awal

Analisis Kadar Protein
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap
yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan
metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 g kemudian
dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 0,25 g selenium
dan 3 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih
1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu

7

Kjeldahl ditambahkan 50 ml aquades dan 20 ml NaOH 40%, kemudian dilakukan
proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam
labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2% dan
2 tetes indikator bromocresol green-methyl red yang berwarna merah muda.
Setelah volume destilat mencapai 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka
proses destilasi dihentikan. Destilat kemudian dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai
terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat.
Perhitungan kadar protein:
N (%)=

(mL HCl – mL blanko) x N HCl x 14,007
x 100%
mg contoh

Protein (%) = N (%) x fk
Keterangan:

fk = faktor koreksi = 6,25

d)

Analisis Kadar Lemak
Sampel seberat 2 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua
ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya dimasukkan ke
dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2). Kemudian
disambungkan dengan tabung Soxhlet lalu dilakukan refluks selama 6 jam dengan
pelarut lemak berupa n-heksana 150 mL. Pelarut lemak yang ada dalam labu
lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut
akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali
ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu
105 oC selama 1 jam setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya
konstan (W3).
Perhitungan kadar lemak:
W3 – W2
x 100%
Kadar lemak (%)=
W1

Keterangan:

e)

W1 = bobot sampel (g)
W2 = bobot labu kosong (g)
W3 = bobot labu dan lemak (g)

Analisis Karbohidrat by Difference
Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode by difference yaitu:
Karbohidrat (%)= 100% - (kadar air + abu + protein + lemak)

Analisis Fitokimia (Harborne 1987)
Analisis fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen aktif pada suatu
bahan. Analisis yang dilakukan terhadap ekstrak etanol daun bakau hitam ini
meliputi pemeriksaan senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, fenol
hidrokuinon, steroid dan triterpenoid.
a)
Alkaloid
Sebanyak 0,05 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu dilakukan
penambahan H2SO4 2 N 2 tetes dan dikocok hingga benar–benar tercampur.
Kemudian dituangkan dalam plat tetes dan ditetesi pereaksi Meyer dengan melihat
endapan putih, pereaksi Wagner dengan melihat endapan coklat dan pereaksi

8

Dragendorff dengan endapan jingga, jika terdapat endapan tersebut maka sampel
dikatakan positif.
b)
Flavonoid
Sebanyak 0,05 g sampel ditambahkan serbuk Mg sebanyak 0,05 mg, setelah
itu ditambahkan 0,2 mL amil alkohol dan 4 mL alkohol 70%. Hasil uji positif bila
larutan berwarna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.
c)
Saponin
Uji saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Sebanyak 0,05
g sampel diletakkan dalam tabung reaksi. Ditambahkan air panas kemudian
tabung reaksi dikocok. Setelah tabung dikocok, dibiarkan selama 30 menit dan
ditambahkan HCl 2 N sebanyak 1 tetes. Hasil uji positif saponin ditunjukkan
dengan adanya busa yang stabil.
d)
Tanin
Sebanyak 0,05 g sampel ditambah air panas, kemudian sampel tersebut
ditetesi dengan FeCl3 1% sebanyak 2 tetes. Hasil uji positif jika larutan berwarna
biru tua atau hijau kehitaman.
e)
Fenol hidrokuinon
Sebanyak 0,05 g sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi. Kemudian
dicampurkan dengan 0,25 mL etanol 70%. Selanjutnya ditambahkan FeCl3 5%
sebanyak 2 tetes. Hasil uji positif jika terbentuknya warna hijau atau hijau biru.
f)
Steroid/ Triterpenoid
Sebanyak 0,05 g sampel ditambah dengan 2 mL kloroform kemudian
ditetesi dengan anhidrida asam asetat sebanyak 5 tetes. Setelah itu ditetesi dengan
H2SO4 2 N sebanyak 3 tetes. Hasil uji steroid positif bila warna larutan berubah
menjadi biru, sedangkan hasil uji triterpenoid positif bila terbentuk warna merah
kecoklatan pada lapisan permukaan sampel.
Analisis Biokimia Darah (IFCC 2002)
Pembuatan serum darah diawali dengan pengambilan sampel darah hewan
percobaan. Sampel darah diambil dari jantung. Sampel darah didiamkan selama 3
jam. Sampel darah yang diperoleh kemudian disentrifus dengan kecepatan 3000
rpm selama 10 menit untuk mendapatkan serum darah. Serum tersebut kemudian
dipisahkan ke dalam tabung ependorff. Serum darah digunakan untuk pengujian
kadar SGOT dan SGPT dengan menggunakan alat spektrofotometer.
Pengujian biokimia darah diawali dengan pencampuran dua reagen. Reagen
satu untuk uji SGOT dilakukan dengan pencampuran 100 mmol/L TRIS buffer,
330 mmol/L L-aspartate, 2000 U/L LDH, dan 1000 U/L MDH. Reagen satu
untuk uji SGPT meliputi 120 mmol/L TRIS buffer, 550 mmol/L L-alanine, dan
1700 U/L LDH. Reagen dua untuk uji SGOT dan SGPT meliputi 1,1 mM NADH,
78 mM α-Ketoglutaric. Pencampuran reagen tersebut sebanyak 200 µL reagen
satu dan 50 µL reagen dua. Serum darah dan yang digunakan pada uji SGOT dan
SGPT dipipet masing-masing sebanyak 25 µL dengan reagen masing-masing
sebanyak 250 µL. Serum darah dan reagen diukur menggunakan spektrofotometer
pada suhu 25 ºC, pada panjang gelombang 340 nm.
Analisis kadar MDA hati (Wills 1987)
Organ hati ditimbang 100 mg kemudian digerus dengan mortar sampai
homogen dan ditambahkan buffer fosfat 0,1 pH 7,4 sebanyak 1 ml. Homogenat

9

sebanyak 400 µL dimasukkan ke dalam tabung reaksi, selanjutnya sampel
ditambahkan 200 µl TCA 20%. Kemudian divorteks dan sentrifus dengan
kecepatan 5000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk diambil dan
tambahkan 400 µL TBA 0,67%. Selanjutnya diinkubasi dalam pemanas air pada
suhu 96 °C selama 10 menit kemudian angkat dan dinginkan pada suhu ruang.
Kemudian baca serapan pada panjang gelombang 530 nm.

Analisis Data
Analisis data diperlukan untuk mendapatkan kesimpulan dari percobaan
yang dilakukan. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah secara
deskriptif. Analisis deskriptif menggunakan rata-rata dari tiga ulangan yang
ditunjukkan dalam hasil berupa grafik atau tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Cacing Siphonosoma australe
Sampel cacing S. australe yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari
Desa Toronipa, Kecamatan Toronipa, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
Cacing S. australe termasuk filum Sipuncula. Sipuncula dalam bahasa Latin
berarti tabung kecil atau menyedot. Sipuncula sering dikaitkan dengan Annelida,
namun Sipuncula tidak memiliki segmen tubuh (Cutler 1994). Pengukuran
morfometrik cacing S. australe disajikan pada Gambar 2.

diameter= 2,63 cm

panjang= 13,67 cm
Gambar 2 Pengukuran morfometrik cacing S. australe
Sebanyak 30 sampel cacing S. australe digunakan untuk pengukuran
morfometrik. Pengukuran morfometrik S. australe meliputi panjang, diameter,
dan bobot. Hasil pengukuran morfometrik S. australe disajikan dalam Tabel 1 dan
Lampiran 1.

10

Tabel 1 Pengukuran morfometrik cacing S. australe
Nilai
No. Parameter
S. australe
Xenosiphon sp.*
1
Panjang (cm)
14,67 ± 1,83
21,13 ± 2,46
2
Diameter (cm)
2,51 ± 0,36
1,27 ± 0,21
3
Bobot (g)
42,22 ± 8,53
27,58 ± 5,89
Keterangan: *Fakhrurrozi (2011)
Sipuncula dewasa memiliki panjang rata-rata 10-30 cm saat masih segar
dan dapat menjadi lebih panjang saat dikeringkan. Kekuak atau Xenosiphon sp.
berbentuk silindris dan memiliki panjang maksimal dapat mencapai 80 cm setelah
dikeringkan (Fakhrurrozi 2011). Chen dan Ru (2011) menyatakan bahwa
Sipunculus nudus yang diperoleh dari pesisir Teluk Beibu, China memiliki
panjang 10 ± 2 cm.
Tubuh cacing Sipuncula terbagi menjadi badan utama (trunk) dan belalai
(introvert). Belalai Sipuncula dapat ditarik ke belakang menggunakan dua pasang
retractor muscle dalam keadaan terancam yang dapat melindungi seluruh bagian
tubuh sehingga menyerupai kacang, oleh karena itu Sipuncula sering disebut
cacing kacang. Panjang badan utama dan belalai berbeda-beda pada tiap jenis.
Warna tubuh putih, kelabu atau kecoklatan (Cutler dan Gibbs 1985).
Mulut Sipuncula terletak di ujung anterior belalai yang dikelilingi oleh
tentakel bersilia. Tentakel digunakan untuk mengumpulkan detritus organik yang
terdapat di air atau substrat. Sipuncula tidak mempunyai sistem pembuluh darah
maupun organ pernafasan. Cairan rongga tubuh (coelomic fluid) berfungsi
mengedarkan nutrisi keseluruh tubuh. Sistem ekskresi melalui metanephridia
berbentuk kantung besar. Sistem saraf terdiri dari cincin saraf (ganglion cerebral)
sekitar kerongkongan, yang berfungsi sebagai otak, dan tali saraf ventral tunggal
(Cutler 1994).
Reproduksi seksual Sipuncula dengan cara pembuahan diluar. Telur dan
sperma dikeluarkan melalui metanephridia. Perkembangan langsung atau melalui
stadia trochophore yang berenang bebas sampai satu bulan, kemudian mengalami
metamorfosa menjadi cacing muda dan turun ke dasar laut. Beberapa jenis
Sipuncula melakukan reproduksi aseksual dengan membuat sekatan dan
membelah dua pada bagian posterior badan (Cutler 1994).
Karakteristik khusus yang membedakan S. australe dengan Sipuncula lain
yaitu S. australe memiliki panjang tubuh berkisar antara 200 mm dan belalai
dapat mencapai seperempat panjang total tubuh. Otot dinding tubuh dapat terlihat
dari bagian luar kulit. Daerah distribusi S. australe di perairan tropis hingga sub
tropis seperti Madagascar, India, Indonesia, Vietnam, Australia, New Zealand.
Cacing ini dapat ditemukan di perairan berair tenang, daerah berlumpur dan
berpasir, dalam lubang tidak permanen, dalam cangkang siput, atau dalam celah
karang (Cutler 1994).

Komposisi Kimia Siphonosoma australe
Komposisi kimia cacing S. australe dapat diketahui melalui analisis
proksimat. Hasil analisis proksimat S. australe menunjukkan bahwa komposisi

11

kimia tertinggi terdapat pada kadar air. Hasil analisis proksimat S. australe
disajikan dalam Tabel 2 dan Lampiran 2.
Tabel 2 Hasil analisis proksimat cacing S. australe
S. australe
Xenosiphon sp.a
Teripang pasirb
(%)
(%)
(%)
Kadar air
71,65 ± 0,62
76,47
87,03
Kadar abu
15,58 ± 1,53
2,20
1,86
Kadar lemak
0,34 ± 0,02
0,18
0,54
Kadar protein
6,53 ± 0,34
10,61
9,94
Kadar karbohidrat
5,91 ± 1,78
10,02
0,64
a
b
Sumber: Fakhrurrozi (2011), Karnila et al. (2011)
Parameter (bb)

Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar air cacing S. australe memiliki
persentase terbesar dibandingkan kadar abu, lemak, protein, dan karbohidrat.
Karnila et al. (2011) menjelaskan kondisi perairan laut memiliki kelarutan garam
anorganik tinggi yang dapat mengakibatkan terjadinya peristiwa hipotonik air
pada biota laut, yaitu keluarnya air dari dalam tubuh ikan menuju larutan garam.
Organisme laut beradaptasi dengan melakukan osmoregulasi dengan meminum air
laut sebanyak-banyaknya dan sedikit mengeluarkan urin untuk menjaga agar
kondisi tubuh tetap isotonik.
Hasil pengujian kadar abu cacing S. australe diperoleh hasil 15,58 ± 1,53%.
Hasil penelitian Karnila (2011) pada teripang pasir yang diperoleh dari Perairan
Lampung memiliki kadar abu sebesar 1,86%. Nilai ini berbeda dengan hasil
penelitian Lewerissa (2014) pada sampel yang sama namun dari Perairan Saparua,
Maluku Tengah memiliki kadar abu sebesar 27,6%.
Arifin (2008) menjelaskan tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan
oleh perbedaan jenis organisme dan lingkungan hidup dari organisme tersebut.
Masing-masing organisme memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam
meregulasi dan mengabsorb mineral, sehingga akan memberikan pengaruh pada
kadar abu dalam masing-masing bahan. Hermawan et al. (2015) menyatakan
substrat sangat mempengaruhi kadar abu cacing laut. Substrat pasir pada dasar
perairan mengandung berbagai mineral. Substrat pada perairan yang berbeda
terdapat kandungan mineral yang berbeda. Cacing laut bersifat deposit feeder
sehingga mengandung banyak mineral ditubuhnya karena memakan semua
endapan yang terdapat di substrat. Menurut Lewerissa (2014), substrat pasir
Perairan Timur Indonesia kaya akan kandungan zat besi, magnesium, kalsium,
natrium, phospor serta mineral lainnya.
Hasil pengujian kadar lemak cacing S. australe yaitu sebesar 0,34±0,02%.
Menurut Syaputra et al. (2007), peranan lemak dalam bahan pangan adalah
sebagai sumber energi yang dapat menyediakan energi sekitar 2,25 kali lebih
banyak dibandingkan karbohidrat atau protein. Lemak yang terdapat pada ikan
dan hewan laut lain tidak membahayakan tubuh meskipun mengandung kadar
lemak sekitar 0,1-2,2%. Lemak yang terkandung dalam hewan laut merupakan
asam lemak tidak jenuh yang sangat dibutuhkan manusia
Protein merupakan zat gizi yang sangat penting bagi tubuh, karena selain
sebagai sumber energi, protein berfungsi sebagai zat pembangun tubuh dan zat
pengatur di dalam tubuh (Muchtadi 2009). Munairi dan Abida (2012) menyatakan

12

kandungan protein pada cacing Nereis sp. berasal dari plankton yang
dikonsumsinya. Plankton diketahui sebagai sumber protein sekaligus simbion
dalam sistem pencernaan pada Nereis sp.
Hasil analisis proksimat pada cacing S. australe memiliki kadar karbohidrat
sebesar 5,91 ± 1,78%. Kadar karbohidrat hasil penelitian Syaputra et al. (2007)
pada sampel cacing kapal (tembilok) sekitar 16%. Kadar karbohidrat tembilok
mirip seperti kerang-kerangan yang cenderung menyimpan hasil pencernaan
dalam bentuk glikogen (gula otot).

Rendemen Ekstrak Cacing Siphonosoma australe
Ekstraksi menurut Mukhriani (2014) yaitu proses pemisahan bahan dari
campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi
dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam
pelarut dengan konsentrasi dalam sel sampel. Pelarut dipisahkan dari sampel
dengan penyaringan. Ekstrak perlu dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki
polaritas dan ukuran molekul yang sama.
Rendemen ekstrak cacing S. australe didapati dari hasil perhitungan
banyaknya ekstrak yang dihasilkan dengan bobot total bobot bahan yang
digunakan. Besar kecilnya nilai rendemen menurut Mukhraini (2014)
menunjukkan keefektivan proses ekstraksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas proses ekstraksi adalah jenis pelarut yang digunakan, ukuran partikel
bahan, metode, dan lamanya ekstraksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen ekstrak etanol S. australe
sebesar 1,71%. Perhitungan rendemen ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 3.
Menurut Heath dan Reineccius (1986), etanol mampu mengekstrak senyawa
organik yang menyebabkan hasil ekstraksi etanol cukup kuat. Pelarut etanol
memiliki nilai kostanta dielektrik tinggi sehingga pelarut etanol dapat membuka
dinding sel yang mengakibatkan hampir semua senyawa dapat tertarik keluar dari
dalam sel.
Hasil penelitian Leiwakabessy (2011) didapatkan hasil rendemen ekstrak
metanol tambelo memiliki rendemen sebesar 5,72%. Perbedaan rendemen hasil
ekstrak diduga karena perbedaan jenis pelarut yang digunakan. Wirda et al. (2011)
menyatakan pelarut etanol memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah
dibandingkan dengan metanol sehingga rendemen yang dihasilkan lebih sedikit.
Mukesh et al. (2012) menjelaskan pelarut etanol memiliki toksisitas yang rendah
dan banyak digunakan dalam industri farmasi.

Komponen Aktif Ekstrak Cacing Siphonosoma australe
Ekstrak cacing S. australe yang diperoleh dari proses ekstraksi diuji
komponen aktif menggunakan metode uji fitokimia. Penapisan fitokimia secara
kualitatif dilakukan sebagai uji awal untuk mengetahui keberadaan senyawa kimia
spesifik, yaitu senyawa metabolit sekunder yang diharapkan dapat berperan
sebagai antihiperglikemik. Hasil pengujian analisis komponen aktif dapat dilihat
pada Tabel 3 dan Lampiran 4.

13

Tabel 3 Hasil analisis komponen aktif ekstrak cacing S. australe
Uji
Hasil
Parameter
Alkaloid
a. Dragendroff
+
Terbentuk endapan jingga
b. Meyer
+
Terbentuk endapan putih
c. Wagner
+
Terbentuk endapan coklat
Tanin
Tidak terjadi perubahan warna
Saponin
+
Busa stabil
Fenol hidroquinon
Tidak terjadi perubahan warna
Flavonoid
+
Kuning kemerahan
Steroid
+
Hijau kebiruan
Triterpenoid
Tidak terjadi perubahan warna
Keterangan : (+) = terdeteksi, (-) = tidak terdeteksi

Hasil analisis komponen aktif pada Tabel 3 menunjukkan bahwa ekstrak
etanol cacing S. australe mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, dan steroid.
Alkaloid dapat dideteksi dengan cara pengendapan menggunakan pereaksi Mayer,
Wagner, dan Dragendorff (Harborne 1987). Tiong et al. (2013) menyebutkan
bahwa alkaloid sering digunakan untuk pengobatan seperti antimalaria,
antioksidan, obat asma serta alkaloid radikamin memiliki efek sebagai
antihiperglikemik. Menurut Firdaus et al. (2004), alkaloid yang berkhasiat sebagai
antihiperglikemik antara lain leurosine, leurosine sulfat, vindoline, dan
vindolinine.
Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai gugus hidroksil
atau gula, sehingga dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol,
butanol, aseton, dimetilsulfoksida, dan air (Harborne 1987). Flavonoid menurut
Dheer dan Bhatnagar (2010) merupakan zat yang mampu meregenerasi sel beta
pankreas dan membantu merangsang sekresi insulin. Brahmachari (2011)
menyatakan bahwa flavonoid memiliki efek hipoglikemik yaitu dengan
mengurangi penyerapan glukosa dan mengatur aktivitas ekspresi enzim yang
terlibat dalam metabolisme karbohidrat. Flavonoid yang berperan sebagai
antihiperglikemik yaitu apigenin dan aminoguanidin.
Firdous et al. (2009) menyatakan saponin adalah senyawa aktif dengan
permukaan yang kuat dan dapat menimbulkan busa jika dikocok dengan air.
Strukturnya terdiri dari aglycone (triterpene atau steroid) dan gugus glukosa.
Menurut Yoshikawa et al. (2005), saponin memiliki banyak fungsi biologi dan
farmakologi diantaranya sebagai hemolisa, kardiotonik, hipoglikemik,
hipokolesterolemik, modulator imun, hepatoproteksi, antioksidan, dan
antikardiogenik. Saponin berfungsi sebagai antihiperglikemik mekanismenya
yaitu untuk mencegah pengosongan lambung dan mencegah peningkatan uptake
glukosa pada brush border membran di intestinal. Saponin juga bekerja untuk
mencegah penyerapan glukosa dengan cara mencegah transpor glukosa menuju
brush border intestinal di usus halus yang merupakan tempat penyerapan glukosa.
Steroid merupakan senyawa yang secara umum memiliki struktur siklik dan
mempunyai gugus hidroksil (Harbone 1987). Menurut Mukhriani (2014), senyawa
steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat. Senyawa steroid
fukosterol yang diisolasi dari sumber daya hayati laut bersifat non toksik dan

14

mempunyai khasiat menurunkan kolesterol dalam darah dan mendorong aktivitas
antidiabetes. Nurulita et al. (2008) menyebutkan senyawa steroid merupakan
komponen aktif yang telah digunakan untuk pengobatan penyakit diabetes,
gangguan menstruasi, antibakteri dan antivirus.
Hasil pengujian komponen bioaktif yang dilakukan Sari et al. (2014) pada
ekstrak metanol teripang hitam (Holothuria edulis) terdapat hasil positif pada
triterpenoid, steroid, flavonoid, dan saponin. Perbedaan hasil yang diperoleh
menurut Iswantini et al. (2011) diduga karena adanya perbedaan kondisi
lingkungan hidup. Kondisi lingkungan hidup yang berbeda dapat menyebabkan
perbedaan jenis dan jumlah dari metabolit sekunder yang terkandung dalam suatu
bahan. Sompong et al. (2010) menyatakan bahwa perbedaan spesies dan tempat
tumbuh menghasilkan komponen bioaktif yang berbeda. Widarta et al. (2013)
menyebutkan perbedaan jenis dan tingkat kepolaran pelarut dapat menghasilkan
rendemen ekstrak dan komponen bioaktif yang berbeda.
Aktivitas Antihiperglikemik Ekstrak Cacing Siphonosoma australe

Hiperglikemia merupakan salah satu gejala klinis penyakit diabetes melitus.
Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipida dan protein sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh
gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar
pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin
(WHO 2006).
Menurut Erwin et al. (2013), pankreas merupakan organ yang bertanggung
jawab dalam mengatur kadar glukosa darah dengan menghasilkan hormon insulin.
Perubahan kadar glukosa darah mengakibatkan penyesuaian sekresi insulin untuk
mengembalikan kadar glukosa darah pada rentang yang normal. Insulin
membantu meningkatkan kerja enzim mengubah glukosa menjadi bentuk
cadangan energi yang lebih stabil yaitu glikogen.
Fitriah et al. (2013) menjelaskan antihiperglikemik merupakan zat atau
senyawa yang dapat menetralkan atau menurunkan kadar glukosa yang tinggi
dalam darah. Mekanisme agen antihiperglikemik dalam menurunkan kadar
glukosa darah yaitu dengan merangsang sekresi insulin atau melalui
penghambatan aktivitas α-glukosidase. Matuputun et al. (2013) menjelaskan
penghambatan aktivitas α-glukosidase dapat menunda penyerapan glukosa pada
saluran pencernaan, sehingga dapat mencegah peningkatan kadar glukosa darah
setelah makan. Pengujian aktivitas antialfaglukosidase dapat dilakukan secara in
vitro menggunakan metode spektrofotometri.
Pengujian secara in vivo harus dilakukan sebagai pendukung hasil pengujian
secara in vitro, selain itu juga sebagai acuan dalam pelaksanaan uji pengembangan
obat baru, obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, dan pangan. Pengujian
secara in vivo perlu dilakuan dengan uji bioekivalensi antara bahan uji dengan
obat komparator. Obat komparator adalah obat yang digunakan sebagai
pembanding dari suatu bahan yang akan diuji (BPOM 2011). Fitriah et al. (2013)
menyatakan pengujian secara in vivo menggunakan hewan coba dapat membantu

15

menjalakan penelitian yang tidak bisa secara langsung dilakukan dalam tubuh
manusia. Hewan coba diasumsikan memiliki jaringan, sel-sel penyusun tubuh,
serta enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh sama dengan manusia.
Kadar Glukosa Darah
Glukosa darah adalah gula yang terdapat dalam darah yang terbentuk dari
karbohidrat dalam makanan dan disimpan sebagai glikogen di hati dan otot
rangka. Energi untuk sebagian besar fungsi sel dan jaringan berasal dari glukosa
(Dalimunthe 2004). Seseorang dikatakan DM apabila konsentrasi glukosa darah
sesaat ≥ 200 mg/dL dan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL (ADA 2013).
Pengukuran kadar glukosa darah setelah induksi STZ menunjukkan semua
tikus yang diinduksi STZ telah menderita hiperglikemia (Gambar 3). Tikus yang
telah mengalami hiperglikemia diberikan ekstrak cacing S. australe, metformin
dan aquades setiap hari selama 14 hari. Pengukuran kadar glukosa darah
dilakukan pada hari ke-1, hari ke-7, dan hari ke-14 perlakuan. Kadar glukosa
darah tikus setelah induksi STZ berkisar antara 200-600 mg/dL.

Kadar Glukosa Darah
(mg/dL)

700
600
500
400
300
200
100

0
1

7

14

Hari

Gambar 3 Grafik kadar glukosa darah hari ke 1, 7, dan 14 hari pada kelompok
perlakuan
kontrol normal,
diabet,
metformin,
E22,5,
E45,
E90
Kelompok N memiliki kadar glukosa darah yang normal selama 14 hari
perlakuan. Kelompok N memiliki kadar glukosa darah yang normal karena tidak
diinduksi STZ. Kelompok diabet mengalami peningkatan kadar glukosa darah
pada hari ke 7 dan 14. Kelompok metformin, E22,5 dan E45 dapat menurunkan
kadar glukosa darah pada hari ke 7 dan 14, sedangkan kelompok E90 mengalami
penurunan kadar glukosa darah pada hari ke 7, namun mengalami peningkatan
kembali pada hari ke 14.
Kadar glukosa darah mengalami perubahan setelah 14 hari perlakuan. Nilai
perubahan kadar glukosa darah merupakan hasil perhitungan kadar glukosa darah
setelah 14 hari perlakuan dengan kadar glukosa darah pada hari ke-1. Hasil
perubahan kadar glukosa darah dapat dilihat pada Gambar 4.

16

Perubahan Kadar Glukosa
Darah (mg/dL)

250

212

200
150
100
23,33

50
0
-50
-100

N
-5

D

M

E22,5
-32

-86,33

-150

E45

E90

-104

Perlakuan

Gambar 4 Grafik perubahan kadar glukosa darah setelah 14 hari perlakuan pada
kelompok N= normal, D= diabet, M= metformin, E22,5= ekstrak 22,5
mg/kgBB, E45= ekstrak 45 mg/kgBB, E90= ekstrak 90 mg/kgBB
Peningkatan kadar glukosa darah kelompok D sebesar 212±36 mg/dL
setelah 14 hari perlakuan. Akbarzadeh et al. (2007) menyatakan injeksi
streptozotocin (STZ) dengan dosis 40-60 mg/kgBB pada tikus dapat
menyebabkan kerusakan sel β-pankreas dan menginduksi DM dalam 2-4 hari.
Tikus dapat dinyatakan DM apabila dalam 2-4 hari post induksi STZ kadar
glukosa darah sesaat ≥ 200 mg/dL. Streptozotocin disintesis oleh Streptomycetes
acrhomogenes. Streptomicin yang terkandung dalam STZ dapat membantu
mengobati sel metastatis dari tumor di pankreas, tumor karsinoid malignan dan
mempunyai efek sebagai antibakteri, namun setelah diteliti lebih lanjut senyawa
ini memiliki efek negatif yaitu menyebabkan kerusakan sel β-pankreas. Menurut
Elsner et al. (2000), Streptozotocin bekerja dengan cara membentuk radikal bebas
sangat reaktif yang dapat menimbulkan kerusakan pada membran sel, protein, dan
deoxyribonucleic acid (DNA), sehingga menyebabkan gangguan produksi insulin
oleh sel beta Langerhans pankreas. Szkudelski (2001) menyatakan bahwa
streptozotocin memasuki sel β-Langerhans pankreas melalui glucose transporter 2
(GLUT 2) dan menyebabkan fragmentasi DNA.
Pemberian metformin dengan dosis 45 mg/kgBB dapat menurunkan kadar
glukosa darah sebesar 86,33±4,75 mg/dL setelah 14 hari perlakuan. Menurut
Diani dan Aman (2010), metformin merupakan obat antidiabetika oral golongan
big

Dokumen yang terkait

Pengaruh Hormon Testosteron Undekanoat (TU) Dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Histologi Spermatogenesis Tikus Jantan (Rattus Novergicus L) Galur Sprague Dawley

4 46 157

Uji Antifertillitas Ekstrak Metanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) pada Tikus Jantan Strain Sprague Dawley Secara In Vivo

4 11 134

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

Uji Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Air Sarang Burung Walet Putih (Collocalia fuciphaga Thunberg, 1821). Terhadap Aktivitas SGPT & SGOT Pada Tikus Putih Jantan Galur Sprague-Dawley

0 23 107

Aktivitas antifertilitas ekstrak etanol 70% daun pacing (costus spiralis) pada tikus sprague-dawley jantan secara in vivo

1 32 0

Aktivitas ekstrak etanol-air daun kari (Murraya koenigii) sebagai hepatoprotektor pada tikus putih galur Sprague Dawley

1 7 85

Aktivitas antikanker ekstrak etanol daun surian (Toona sinensis) pada tikus betina galur sprague-dawley yang diinduksi 7,12-Dimetilbenz(α)Antrasena

3 18 39

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor (Moringa Oleifera Lam) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa, Morfologi Spermatozoa, Dan Diameter Tubulus Seminiferus Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

4 34 116

Pengaruh Ekstrak Alium sativum terhadap Diameter Glomeruli Ginjal Tikus Sprague Dawley Jantan yang Diinduksi Streptozotocin

0 0 6

UJI AKTIVITAS HIPOGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL SEMUT JEPANG (Tenebrio Sp.) PADA TIKUS PUTIH GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI ALOKSAN

0 0 6