Aktivitas Ekstrak Etanol Temu Ireng (Curcuma Aeruginosa Roxb) Terhadap Immunosurveillance Tikus Putih Melalui Histopatologi Limpa, Kadar Sitokin Il-2 Dan Il-12
AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL TEMU IRENG (Curcuma aeruginosa
Roxb) TERHADAP IMMUNOSURVEILLANCE TIKUS PUTIH
MELALUI HISTOPATOLOGI LIMPA, KADAR SITOKIN
IL-2 DAN IL-12
NUR HASANAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas Ekstrak Etanol Temu
Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) Terhadap Immunosurveillance Tikus Putih
melalui Histopatologi Limpa, Kadar Sitokin IL-2 dan IL-12 adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor (IPB) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Bogor,_Februari 2016
Nur Hasanah
G851140091
RINGKASAN
NUR HASANAH. Aktivitas Ekstrak Etanol Temu Ireng (Curcuma aeruginosa
Roxb) Terhadap Immunosurveillance Tikus Putih melalui Histopatologi Limpa,
Kadar Sitokin IL-2 dan IL-12. Dibimbing oleh Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc
dan Dr. Agung Eru Wibowo, M.Si, Apt.
Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh hilangnya
mekanisme kontrol normal yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel sehingga
menyebabkan pembelahan sel secara tidak terkendali dan akhirnya membentuk
sebuah benjolan yang disebut tumor (Sakar dan Mandal 2011). Berdasarkan data
WHO 2014, kanker merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit
kardiovaskuler Metode pengobatan kanker saat ini umumnya menggunakan
pembedahan, terapi radiasi, kemoterapi dan imunoterapi. Beberapa kendala dalam
pengobatan kanker diantaranya harga obat yang mahal dengan tatalaksana yang
rumit (terkait alat dan keahlian petugas medis), adanya efek samping terhadap
kesehatan (Ranasasmita 2008). Senyawa aktif temu ireng memiliki peran utama
dalam pencegahan, penghambatan karsinogenesis serta memiliki efek antioksidan,
antiinflamasi dan mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan sel tumor
MCF-7 pada manusia (Liu et al. 2014)
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Sebanyak 48
tikus dibagi kedalam 6 kelompok perlakuan yaitu kontrol normal, kontrol (-)
DMBA, kontrol (+) Meniran, PTI-1, PTI-2 dan PTI-3 yaitu pemberian temu ireng
dengan 3 variasi dosis (40mg/200g BB, 80mg/200g BB dan 160mg/200g BB).
Penelitian ini dimulai dari pemberian ekstrak temu ireng melalui pendekatan
preventif yaitu 2 minggu sebelum masa induksi DMBA sampai akhir perlakuan.
Induksi DMBA dilakukan pada minggu ketiga dan keempat. Analisis dilakukan
terhadap organ limpa dan plasma darah. Pengamatan terhadap organ limpa
dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Plasma darah digunakan untuk
menentukan kadar IL-2 dan IL-12 dengan menggunakan teknik ELISA
Hasil uji statistik dengan uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan nyata antara indeks limpa pada t2 dan t3. Namun berdasarkan
rerata indeks limpa terlihat adanya pembengkakan pada kelompok DMBA pada t2
dan pada kelompok DMBA, Meniran dan PTI-1 pada t3, yang ditunjukkan oleh
kenaikan indeks limpa yang signifikan dibandingkan kelompok perlakuan lainnya.
Hasil analisis terhadap diameter zona marginalis, pulpa putih dan centrum
germinal menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara PTI-2 terhadap
perlakuan DMBA (P
0.05). Namun jika dilihat rerata indeks limpa terlihat bahwa indeks limpa tertinggi
ditunjukkan oleh kelompok DMBA > PTI 3 > PTI 2 > normal > PTI 1.
Pengamatan limpa secara makroskopis selanjutnya dilakukan pada akhir
penelitian, yaitu pada minggu ke-20 (t3). Kondisi hewan coba tetap mendapatkan
perlakuan PTI, PTI 2, PTI 3 dan Meniran selama 16 minggu setelah pemberian DMBA
terakhir dan diperoleh bentuk dan ukuran limpa seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Pengamatan limpa secara makroskopis pada t3
Hasil pengamatan secara makroskopis pada t3 menunjukkan adanya perubahan
bentuk limpa. Jika dibandingkan dengan kelompok normal, terlihat bahwa pada
kelompok normal memiliki bentuk limpa yang ujungnya lancip sedangkan pada
kelompok DMBA, PTI 1 dan PTI 3 bagian ujung limpa terlihat lebih tumpul. Tekstur
limpa normal lebih kenyal sedangkan pada kelompok DMBA, PTI-1 dan PTI-3 tekstrur
limpa lebih lunak. Adapun nilai indeks limpa dapat dilihat pada tabel 5. Berdasarkan
rerata indeks limpa antar kelompok perlakuan, indeks limpa tertinggi ditunjukkan oleh
kelompok DMBA > PTI 1> Meniran > PTI 3 > PTI 2 > Normal.
11
Tabel 5 Indeks limpa tikus pada t3
Kelompok perlakuan
Kontrol Normal (CMC-Na)
Indeks limpa
0.242
±
0.026
Kontrol (-) DMBA (20 mg/kgBB)
0.334
±
0.122
Kontrol (+) Meniran (40 mg/200g BB)
0.302
±
0.122
PTI-1 (dosis 40 mg/200g BB)
0.377
±
0.011
PTI-2 (dosis 80 mg/200g BB)
0.255
±
0.015
PTI-3 (dosis 160 mg/200g BB)
0.263
±
0.039
Indeks limpa t3 dianalisis menggunakan uji Kolmogorov-smirnov diperoleh
bahwa data setiap kelompok perlakuan tidak terdistribusi normal, kemudian dilanjutkan
dengan uji non parametrik Kruskal wallis dengan taraf kepercayaan 95% dan diperoleh
bahwa indeks limpa pada t3 (P-value: 0.109) sehingga diperoleh bahwa tidak terdapat
perbedaan secara signifikan antara perlakuan terhadap kelompok (P > 0.05).
Perbandingan indeks limpa pada berbagai kelompok perlakuan terhadap waktu
dapat dilihat pada gambar 5.
0.800
Indeks Limpa
0.700
1 minggu
pasca
induksi
DMBA (T2)
0.600
0.500
16 minggu
pasca
induksi
DMBA (T3)
0.400
0.300
0.200
0.100
0.000
Normal
DMBA meniran
PTI-1
PTI-2
PTI-3
Kelompok perlakuan
Gambar 5 Perbandingan indeks limpa t2 terhadap t3
Hasil Pengamatan Limpa secara Mikroskopis
Pada pengamatan histopatologi, organ limpa dibuat preparat dan dilakukan
pewarnaan dengan Hematoksilin Eosin (HE). Pewarnaan dengan Hematoksilin akan
memberikan warna biru pada pulpa putih, sedangkan Eosin akan memberikan warna
merah pada pulpa merah. Hasil pewarnaan terhadap preparat berdasarkan kelompok
dapat dilihat pada Gambar 6.
12
Kelompok
perlakuan
Pembedahan1 minggu pasca induksi
DMBA (t2)
Normal
Pembedahan16 minggu pasca induksi
DMBA (t3)
c
a
a
b
b
c
DMBA
b
a
a
c
b
c
Meniran
c
b
b
c
a
a
PTI 1
c
b
b
a
c
a
13
PTI 2
b
c
c
b
a
a
PTI 3
c
c
b
a
a
b
Gambar 6 Histopatologi limpa pada t2 dan t3
Ket: (a) zona marginalis (b) pulpa putih, (c) centrum germinal
Setelah dilakukan pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE), maka dilakukan
pengamatan secara mikroskopis terhadap limpa dengan pembesaran 100X. Adapun yang
diamati antara lain: diameter zona marginalis, diameter pulpa putih dan diameter
centrum germinal. Hasil pengamatan terhadap zona marginalis dapat dilihat pada Tabel
6. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa diameter zona marginalis pada t2 kelompok PTI 3
signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya (P< 0.05). Sedangkan
kelompok PTI 1 dan PTI 2 tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok DMBA (P
> 0.05).
Table 6 Diameter zona marginalis ( m) tikus pada t2 dan t3
Kelompok perlakuan
Kontrol Normal (CMC-Na)
t2
t3
0.066b ± 0.00
0.06 ± 0.02
Kontrol (-) DMBA (20 mg/kgBB)
0.590b ± 0.01
0.04b ± 0.01
Kontrol (+) Meniran (40 mg/200g BB)
0.790c ± 0.01
0.07 ± 0.02
PTI-1 (dosis 40 mg/200g BB)
0.059b ± 0.00
0.06 ± 0.03
PTI-2 (dosis 80 mg/200g BB)
0.065bc ± 0.02
0.06a ± 0.01
PTI-3 (dosis 160 mg/200g BB)
0.036a ± 0.00
0.05 ± 0.02
Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata (P
Roxb) TERHADAP IMMUNOSURVEILLANCE TIKUS PUTIH
MELALUI HISTOPATOLOGI LIMPA, KADAR SITOKIN
IL-2 DAN IL-12
NUR HASANAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas Ekstrak Etanol Temu
Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb) Terhadap Immunosurveillance Tikus Putih
melalui Histopatologi Limpa, Kadar Sitokin IL-2 dan IL-12 adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor (IPB) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Bogor,_Februari 2016
Nur Hasanah
G851140091
RINGKASAN
NUR HASANAH. Aktivitas Ekstrak Etanol Temu Ireng (Curcuma aeruginosa
Roxb) Terhadap Immunosurveillance Tikus Putih melalui Histopatologi Limpa,
Kadar Sitokin IL-2 dan IL-12. Dibimbing oleh Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc
dan Dr. Agung Eru Wibowo, M.Si, Apt.
Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh hilangnya
mekanisme kontrol normal yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel sehingga
menyebabkan pembelahan sel secara tidak terkendali dan akhirnya membentuk
sebuah benjolan yang disebut tumor (Sakar dan Mandal 2011). Berdasarkan data
WHO 2014, kanker merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit
kardiovaskuler Metode pengobatan kanker saat ini umumnya menggunakan
pembedahan, terapi radiasi, kemoterapi dan imunoterapi. Beberapa kendala dalam
pengobatan kanker diantaranya harga obat yang mahal dengan tatalaksana yang
rumit (terkait alat dan keahlian petugas medis), adanya efek samping terhadap
kesehatan (Ranasasmita 2008). Senyawa aktif temu ireng memiliki peran utama
dalam pencegahan, penghambatan karsinogenesis serta memiliki efek antioksidan,
antiinflamasi dan mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan sel tumor
MCF-7 pada manusia (Liu et al. 2014)
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Sebanyak 48
tikus dibagi kedalam 6 kelompok perlakuan yaitu kontrol normal, kontrol (-)
DMBA, kontrol (+) Meniran, PTI-1, PTI-2 dan PTI-3 yaitu pemberian temu ireng
dengan 3 variasi dosis (40mg/200g BB, 80mg/200g BB dan 160mg/200g BB).
Penelitian ini dimulai dari pemberian ekstrak temu ireng melalui pendekatan
preventif yaitu 2 minggu sebelum masa induksi DMBA sampai akhir perlakuan.
Induksi DMBA dilakukan pada minggu ketiga dan keempat. Analisis dilakukan
terhadap organ limpa dan plasma darah. Pengamatan terhadap organ limpa
dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Plasma darah digunakan untuk
menentukan kadar IL-2 dan IL-12 dengan menggunakan teknik ELISA
Hasil uji statistik dengan uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan nyata antara indeks limpa pada t2 dan t3. Namun berdasarkan
rerata indeks limpa terlihat adanya pembengkakan pada kelompok DMBA pada t2
dan pada kelompok DMBA, Meniran dan PTI-1 pada t3, yang ditunjukkan oleh
kenaikan indeks limpa yang signifikan dibandingkan kelompok perlakuan lainnya.
Hasil analisis terhadap diameter zona marginalis, pulpa putih dan centrum
germinal menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara PTI-2 terhadap
perlakuan DMBA (P
0.05). Namun jika dilihat rerata indeks limpa terlihat bahwa indeks limpa tertinggi
ditunjukkan oleh kelompok DMBA > PTI 3 > PTI 2 > normal > PTI 1.
Pengamatan limpa secara makroskopis selanjutnya dilakukan pada akhir
penelitian, yaitu pada minggu ke-20 (t3). Kondisi hewan coba tetap mendapatkan
perlakuan PTI, PTI 2, PTI 3 dan Meniran selama 16 minggu setelah pemberian DMBA
terakhir dan diperoleh bentuk dan ukuran limpa seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Pengamatan limpa secara makroskopis pada t3
Hasil pengamatan secara makroskopis pada t3 menunjukkan adanya perubahan
bentuk limpa. Jika dibandingkan dengan kelompok normal, terlihat bahwa pada
kelompok normal memiliki bentuk limpa yang ujungnya lancip sedangkan pada
kelompok DMBA, PTI 1 dan PTI 3 bagian ujung limpa terlihat lebih tumpul. Tekstur
limpa normal lebih kenyal sedangkan pada kelompok DMBA, PTI-1 dan PTI-3 tekstrur
limpa lebih lunak. Adapun nilai indeks limpa dapat dilihat pada tabel 5. Berdasarkan
rerata indeks limpa antar kelompok perlakuan, indeks limpa tertinggi ditunjukkan oleh
kelompok DMBA > PTI 1> Meniran > PTI 3 > PTI 2 > Normal.
11
Tabel 5 Indeks limpa tikus pada t3
Kelompok perlakuan
Kontrol Normal (CMC-Na)
Indeks limpa
0.242
±
0.026
Kontrol (-) DMBA (20 mg/kgBB)
0.334
±
0.122
Kontrol (+) Meniran (40 mg/200g BB)
0.302
±
0.122
PTI-1 (dosis 40 mg/200g BB)
0.377
±
0.011
PTI-2 (dosis 80 mg/200g BB)
0.255
±
0.015
PTI-3 (dosis 160 mg/200g BB)
0.263
±
0.039
Indeks limpa t3 dianalisis menggunakan uji Kolmogorov-smirnov diperoleh
bahwa data setiap kelompok perlakuan tidak terdistribusi normal, kemudian dilanjutkan
dengan uji non parametrik Kruskal wallis dengan taraf kepercayaan 95% dan diperoleh
bahwa indeks limpa pada t3 (P-value: 0.109) sehingga diperoleh bahwa tidak terdapat
perbedaan secara signifikan antara perlakuan terhadap kelompok (P > 0.05).
Perbandingan indeks limpa pada berbagai kelompok perlakuan terhadap waktu
dapat dilihat pada gambar 5.
0.800
Indeks Limpa
0.700
1 minggu
pasca
induksi
DMBA (T2)
0.600
0.500
16 minggu
pasca
induksi
DMBA (T3)
0.400
0.300
0.200
0.100
0.000
Normal
DMBA meniran
PTI-1
PTI-2
PTI-3
Kelompok perlakuan
Gambar 5 Perbandingan indeks limpa t2 terhadap t3
Hasil Pengamatan Limpa secara Mikroskopis
Pada pengamatan histopatologi, organ limpa dibuat preparat dan dilakukan
pewarnaan dengan Hematoksilin Eosin (HE). Pewarnaan dengan Hematoksilin akan
memberikan warna biru pada pulpa putih, sedangkan Eosin akan memberikan warna
merah pada pulpa merah. Hasil pewarnaan terhadap preparat berdasarkan kelompok
dapat dilihat pada Gambar 6.
12
Kelompok
perlakuan
Pembedahan1 minggu pasca induksi
DMBA (t2)
Normal
Pembedahan16 minggu pasca induksi
DMBA (t3)
c
a
a
b
b
c
DMBA
b
a
a
c
b
c
Meniran
c
b
b
c
a
a
PTI 1
c
b
b
a
c
a
13
PTI 2
b
c
c
b
a
a
PTI 3
c
c
b
a
a
b
Gambar 6 Histopatologi limpa pada t2 dan t3
Ket: (a) zona marginalis (b) pulpa putih, (c) centrum germinal
Setelah dilakukan pewarnaan Haematoxylin Eosin (HE), maka dilakukan
pengamatan secara mikroskopis terhadap limpa dengan pembesaran 100X. Adapun yang
diamati antara lain: diameter zona marginalis, diameter pulpa putih dan diameter
centrum germinal. Hasil pengamatan terhadap zona marginalis dapat dilihat pada Tabel
6. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa diameter zona marginalis pada t2 kelompok PTI 3
signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya (P< 0.05). Sedangkan
kelompok PTI 1 dan PTI 2 tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok DMBA (P
> 0.05).
Table 6 Diameter zona marginalis ( m) tikus pada t2 dan t3
Kelompok perlakuan
Kontrol Normal (CMC-Na)
t2
t3
0.066b ± 0.00
0.06 ± 0.02
Kontrol (-) DMBA (20 mg/kgBB)
0.590b ± 0.01
0.04b ± 0.01
Kontrol (+) Meniran (40 mg/200g BB)
0.790c ± 0.01
0.07 ± 0.02
PTI-1 (dosis 40 mg/200g BB)
0.059b ± 0.00
0.06 ± 0.03
PTI-2 (dosis 80 mg/200g BB)
0.065bc ± 0.02
0.06a ± 0.01
PTI-3 (dosis 160 mg/200g BB)
0.036a ± 0.00
0.05 ± 0.02
Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata (P