Komunitas Burung Passerine Di Dua Hutan Kota Dengan Tingkat Kebisingan Berbeda

KOMUNITAS BURUNG PASSERINE DI DUA HUTAN KOTA
DENGAN TINGKAT KEBISINGAN BERBEDA

DENDY SUKMA HARYADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunitas Burung
Passerine di Dua Hutan Kota dengan Tingkat Kebisingan Berbeda adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor,
April 2016
Dendy Sukma Haryadi
NIM G352130041

RINGKASAN
DENDY SUKMA HARYADI. Komunitas Burung Passerine di Dua Hutan Kota
dengan Tingkat Kebisingan Berbeda. Dibimbing oleh RR. DYAH
PERWITASARI dan YENI ARYATI MULYANI.
Hutan kota merupakan habitat berbagai satwaliar di perkotaan termasuk
burung. Adanya gangguan terhadap suatu habitat akan berpengaruh pada
komunitas di dalamnya. Salah satu bentuk gangguan tersebut adalah kebisingan
yang berasal dari aktivitas transportasi dan lalu lintas. Tujuan dari penelitian ini
yaitu menganalisis kekayaan dan komposisi jenis, kelimpahan, komposisi guild,
jumlah aktivitas bersuara burung passerine di habitat dengan tingkat kebisingan
berbeda serta menganalisis pengaruh faktor jumlah pohon, tingkat kebisingan dan
jumlah kehadiran manusia terhadap jumlah aktivitas bersuara burung passerine.
Penelitian ini dilakukan di dua hutan kota yang diduga memiliki tingkat
kebisingan berbeda di kota Bogor yaitu Kebun Raya Bogor dan Hutan Penelitian
Dramaga. Koleksi data dilakukan dengan metode point count selama bulan Juni

hingga Oktober 2014. Tingkat kebisingan, jumlah manusia dan keanekaragaman
burung diukur di tiga puluh titik pengamatan pada masing-masing lokasi. Data
vegetasi dikumpulkan menggunakan metode nested sampling. Analisis data
burung menggunakan indeks kekayaan Margalef dan indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener. Kesamaan komunitas dianalisis dengan indeks similaritas
Sorensen. Kelimpahan relatif dianalisis dengan menghitung rasio kelimpahan
individu per spesies terhadap individu seluruh spesies. Uji t berpasangan
digunakan untuk membandingkan jumlah pohon, nilai rata-rata tingkat
kebisingan, jumlah manusia dan kelimpahan individu burung antara habitat dekat
dan habitat jauh dari jalan raya pada masing-masing lokasi. Generalized Linear
Model (GLM; regresi poisson) digunakan untuk menganalisis hubungan antara
jumlah aktivitas bersuara burung passerine dengan tingkat kebisingan, jumlah
pohon dan jumlah manusia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa habitat dekat dari jalan raya
memiliki indeks kekayaan jenis burung yang lebih tinggi daripada habitat jauh
dari jalan raya di kedua lokasi. Kelimpahan individu di kedua lokasi tidak berbeda
secara signifikan antara habitat dekat dan jauh dari jalan raya. Kesamaan
komunitas tertinggi adalah antara habitat dekat dan jauh dari jalan raya di Hutan
Penelitian Dramaga. Guild pemakan serangga merupakan kelompok yang
mendominasi di kedua lokasi. Pycnonotus aurigaster merupakan jenis dengan

jumlah perilaku bersuara tertinggi di kedua lokasi. Jumlah perilaku bersuara
burung semakin menurun dengan meningkatnya nilai tingkat kebisingan.
Kata kunci: Komunitas burung passerine, tingkat kebisingan, Kebun Raya Bogor,
Hutan Penelitian Dramaga

SUMMARY
DENDY SUKMA HARYADI. Bird Communities in Two Urban Forests Inferred
from Environmental Noise. Supervised by RR. DYAH PERWITASARI and
YENI ARYATI MULYANI.
Urban forest is a habitat for a variety of wildlife in urban areas, including
birds. Any disturbance to a habitat will affect the communities therein. One of the
disturbances is the noise that comes from transportation activities and traffic. The
aimed of this study was to analyze richness and species composition, abundance,
guild composition, the number of voice activity of passerine birds in habitats with
different noise levels and to analyze the influence of the number of trees, the noise
level and the number of human occurance on the number of voice activity
passerine birds.
This research was conducted in two urban forests, which have different
noise levels in the city of Bogor, Bogor Botanical Garden and Dramaga Research
Forest. Data collected using point count method during June to October 2014. The

noise level, the number of people and diversity of birds measured at thirty
observation points in each location. Vegetation data were collected using nested
sampling method. Margalef richness indices and Shannon-Wiener diversity
indices were calculated to analyze bird community. Community similarity was
analyzed by Sorensen similarity indices. The relative abundance was analyzed by
calculating the ratio of the abundance of individuals per species to individuals of
all species. Paired t-test was used to compare the number of trees, the average
value of the noise level, the number of people and the abundance of individual
birds in habitats closed to and far from the main road at each location. Generalized
Linear Model (GLM; Poisson regression) was used to analyze the relationship
between the number of bird singing activity with the noise level, the number of
trees and the number of people.
The results of this study indicated that the habitat closer to the main road
has an index of species richness higher than the habitat far from main road in both
locations. The abundance individuals in both locations did not differ significantly
between habitats close to and far from the main road. The highest similarity was
between habitat communities close and far from main road at the Dramaga
Research Forest. Insectivorous guild dominates in both locations. Pycnonotus
aurigaster is the species with the highest number of bird singing activity in both
locations. The number of vocal behavior of birds decreased with increasing value

of the noise level.
Keywords: Bogor Botanical Garden, Dramaga Research Forest, noise level,
passerine bird community

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KOMUNITAS BURUNG PASSERINE DI DUA HUTAN KOTA
DENGAN TINGKAT KEBISINGAN BERBEDA

DENDY SUKMA HARYADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScFTrop

Judul Tesis : Komunitas Burung Passerine di Dua Hutan Kota dengan Tingkat
Kebisingan Berbeda
Nama
: Dendy Sukma Haryadi
NIM
: G352130041

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir RR. Dyah Perwitasari, M.Sc
Ketua

Dr Ir Yeni Aryati Mulyani, M.Sc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biosains Hewan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir RR. Dyah Perwitasari, M.Sc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 25 Januari 2016


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala
rahmat, hidayah dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulis
akhirnya dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Komunitas Burung
Passerine di Dua Hutan Kota dengan Tingkat Kebisingan Berbeda. Shalawat serta
salam, semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Sebagian hasil penelitian ini dalam proses publikasi di jurnal ilmiah Zoo
Indonesia.
Penulis juga menyadari bahwa penyelesaian karya ilmiah ini mendapat
bantuan dari berbagai pihak dan oleh sebab itu penulis bermaksud menyampaikan
perhargaan kepada Ibu Dr Ir RR. Dyah Perwitasari MSc dan Ibu Dr Yeni Aryati
Mulyani MSc selaku pembimbing. serta Bapak Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo
MScFTrop selaku penguji. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Papa,
Mama, Kakak-kakak ku Deden –Denny –Dessy -Debby, dan Adik ku Deddy,
serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran guna kesempurnaan dengan

harapan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat.

Bogor,

April 2016

Dendy Sukma Haryadi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

1
1
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Komunitas Burung
Kebisingan
Burung dan Kebisingan
Pengaruh Tingkat Kebisingan terhadap Burung
Burung Passerine
Hutan Kota

3

3
5
6
6
7
8

3 METODE
Waktu dan Tempat
Metode Pengumpulan Data
Analisis Data

10
10
12
14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Habitat
Komunitas Burung Passerine

16
16
19

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

28
28
28

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

32

RIWAYAT HIDUP

38

DAFTAR TABEL
1 Jumlah titik, ulangan masing-masing titik dan total pengamatan di
habitat dekat dan jauh dari jalan di kedua lokasi
2 Perbandingan jumlah jenis burung passerine yang ditemukan di Kebun
Raya Bogor dan Hutan Penelitian Dramaga dari hasil penelitian
sebelumnya
3 Jumlah titik pengamatan, jumlah jenis, keanekaragaman dan kekayaan
jenis di habitat dekat dan jauh dari jalan di kedua lokasi
4 Famili, jumlah jenis dan jumlah individu di semua lokasi
5 Kelimpahan relatif dan kategori guild burung passerine di kedua lokasi
6 Hasil analisis GLM regresi poisson antara kepadatan pohon, tingkat
kebisingan dan jumlah manusia terhadap aktivitas bersuara burung
passerine

12

20
21
22
25

27

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Lokasi penelitian di Kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Peta sebaran titik pengamatan
Ilustrasi penggunaan metode petak bertingkat
Ilustrasi metode point count
Profil vegetasi pohon di Kebun Raya Bogor (KRB)
Profil vegetasi pohon di Hutan Penelitian Dramaga (HPD)
Tingkat kebisingan (dB) habitat dekat dan jauh di kedua lokasi
Jumlah manusia di habitat dekat dan jauh di kedua lokasi
Dendogram kesamaan komunitas burung passerine antar habitat
Persentase jumlah aktivitas bersuara burung di kedua lokasi

10
11
12
13
16
17
18
19
23
26

DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar jenis burung passerine di kedua lokasi pengamatan
2 Indeks Nilai Penting tingkat pohon di Kebun Raya Bogor
3 Indeks Nilai Penting tingkat pohon di Hutan Penelitian Dramaga

33
36
37

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Komunitas burung passerine merupakan bagian keanekaragaman hayati
yang menempati berbagai macam habitat termasuk habitat hutan kota. Sebagai
salah satu komponen ekosistem, komunitas ini memiliki peranan dalam rantai
makanan dan lingkungan hidupnya, menjaga keseimbangan alam serta bagi
manusia. Komunitas ini umumnya dikenal sebagai kelompok burung pengicau
(song bird). Suara yang dihasilkan anggota komunitas tersebut berfungsi untuk
berkomunikasi secara intra maupun inter jenis.
Kegiatan yang dilakukan oleh manusia seperti transportasi dan lalu lintas
kendaraan bermotor di jalan raya berpotensi meningkatkan kebisingan lingkungan.
Kebisingan merupakan salah satu masalah kualitas lingkungan. Keadaan tersebut
dapat menyebabkan gangguan suasana tidak nyaman dan gangguan kesehatan
makhluk hidup, dan diduga berpengaruh negatif terhadap komunitas burung.
Komunitas burung yang berbeda akan memberikan tanggapan berbeda
terhadap perubahan tingkat kebisingan. Komunitas burung passerine merupakan
komunitas yang rentan mengalami pengaruh negatif akibat peningkatan
kebisingan. Hal tersebut disebabkan cara berkomunikasi komunitas ini yang
menggunakan komunikasi vokal sehingga diduga sinyal komunikasi yang
dihasilkan akan tumpang tindih dengan kebisingan.
Hutan kota merupakan salah satu bentuk ruang terbuka hijau (RTH).
Sebagian hutan kota dibentuk dengan tujuan sebagai tempat untuk
mengkonservasi keanekaragaman hayati di kawasan kota, wahana penelitian dan
wilayah resapan air. Kota Bogor memiliki dua hutan kota yaitu Kebun Raya
Bogor (KRB) dan Hutan Penelitian Dramaga (HPD). KRB terletak di tengahtengah kota Bogor sedangkan HPD berada di bagian pinggir kota Bogor. Kedua
hutan kota ini merupakan habitat bagi beranekaragam burung termasuk burung
passerine.
Kebisingan yang semakin meningkat di sekitar kedua hutan kota ini diduga
mempengaruhi komunitas burung passerine. Data aktual mengenai komunitas
burung passerine sangat diperlukan untuk kegiatan pengelolaan keanekaragaman
hayati dan kualitas habitat di dua kawasan tersebut. Penelitian struktur komunitas
ini diharapkan dapat menunjukkan bagaimana komunitas burung passerine
merespon perbedaan tingkat kebisingan yang berbeda. Parameter yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kekayaan dan komposisi jenis, kelimpahan, komposisi
guild, jumlah aktivitas bersuara burung passerine di daerah dengan tingkat
kebisingan berbeda.

2
Perumusan Masalah
Kegiatan transportasi dan lalu lintas kendaraan bermotor di jalan raya dapat
menimbulkan gangguan terhadap lingkungan, terutama meningkatnya kebisingan.
Perbedaan tingkat kebisingan di sekitar kawasan hutan kota kemungkinan besar
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap komunitas burung passerine yang
hidup disana. Permasalahan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah (1)
bagaimana kekayaan dan komposisi jenis, komposisi guild serta kelimpahan
burung passerine pada habitat dengan tingkat kebisingan berbeda? (2) bagaimana
aktivitas bersuara burung passerine pada habitat dengan tingkat kebisingan
berbeda? (3) bagaimana pengaruh faktor jumlah pohon, tingkat kebisingan dan
jumlah manusia terhadap jumlah aktivitas bersuara burung passerine?

Tujuan Penelitian
1.
2.
3.

Penelitian ini bertujuan untuk
mengukur kekayaan dan komposisi jenis, komposisi guild serta kelimpahan
burung passerine pada habitat dengan tingkat kebisingan berbeda.
menganalisis jumlah aktivitas bersuara burung passerine pada habitat
dengan tingkat kebisingan berbeda.
menganalisis pengaruh faktor jumlah pohon, tingkat kebisingan dan jumlah
manusia terhadap jumlah aktivitas bersuara burung passerine.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Komunitas Burung
Komunitas merupakan kumpulan individu dari beberapa spesies yang hidup
pada waktu dan ruang yang sama (Magurran 2004). Wiens (1989) mendefinisikan
komunitas burung sebagai kelompok individu dari beberapa spesies burung yang
hidup secara bersama pada tempat dan waktu yang sama. Komunitas burung di
suatu wilayah dapat berbeda dengan wilayah lainnya (Johnsingh dan Joshua 1994).
Beberapa perbedaan tersebut meliputi kekayaan dan keanekaragaman spesies,
kelimpahan relatif serta komposisi spesies. Secara alami, fluktuasi pada komunitas
burung dapat terjadi dari waktu ke waktu sesuai dengan fluktuasi kondisi
lingkungannya.

Keanekaragaman Jenis
Keanekaragaman merupakan hal yang penting dalam mempelajari suatu
komunitas baik tumbuhan maupun hewan (Odum 1993). Oleh karena itu, cara
pengukuran dan memahami hasil pengukuran keanekaragaman jenis menjadi
penting. Beberapa konsep keanekaragaman jenis yang dikemukakan oleh berbagai
ahli seperti :
1. Kekayaan Jenis
Kekayaan jenis merupakan jumlah spesies dalam luasan tertentu (Magurran
2004). Indeks yang umumnya dikenal untuk mengukur kekayaan jenis yaitu
indeks kekayaan jenis Hulbert, indeks kekayaan jenis Margalef dan indeks
kekayaan jenis Menhinick.
- Indeks Hulbert digunakan untuk mengetahui kekayaan spesies di suatu
habitat berdasarkan jumlah kelimpahan individu terkecil. Indeks Hulbert
dihitung dengan dengan rumus:
N Ni
S

E (S n )

1
i 1

-

n
N
n

Keterangan :
E(Sn) = nilai harapan jumlah individu spesies
N
= jumlah total individu teramati
Ni
= jumlah individu jenis ke-i
n
= ukuran sampel yang distandardkan (jumlah N terkecil)
Indeks Margalef
DMg = (S-1) / ln N
Keterangan :
DMg
= indeks Margalef
S
= jumlah jenis yang teramati
ln
= logaritma natural
N
= total individu seluruh jenis

4
-

Indeks Menhinick
S
DMn =
N
Keterangan :
DMn
= indeks Menhinick
S
= jumlah jenis yang terhitung dalam plot contoh
N
= total individu seluruh jenis

2. Kemerataan Jenis
Konsep ini menggambarkan derajat kemerataan kelimpahan individu antara
setiap jenis.
Indeks kemerataan jenis dapat dihitung dengan:
H'
E'
ln S
Keterangan :
E’ = indeks kemerataan jenis
H = indeks Shannon
ln = logaritma natural
S = jumlah jenis yang ditemukan
3. Kelimpahan Jenis
Kelimpahan jenis merupakan indeks yang menggabungkan antara kekayaan
jenis dan kemerataan jenis (Magurran 2004). Indeks kelimpahan jenis yang
sering digunakan yaitu indeks diversitas Shannon dan indeks Simpson.
- Indeks diversitas Shannon
s

H'

pi Ln pi
i 1

-

Keterangan :
N
= total individu dari seluruh jenis
ni
= banyaknya individu pada jenis ke-i
Indeks Simpson
2
D
Pi
Nilai Pi diperoleh dengan menggunakan rumus:
ni
Pi
N
Keterangan :
D
= indeks Simpson
N
= total individu dari seluruh jenis
ni
= banyaknya individu pada jenis ke-i

Beberapa faktor dapat mempengaruhi keanekaragaman jenis pada suatu
komunitas. Faktor-faktor tersebut yaitu waktu, keragaman, ruang, persaingan,
pemangsaan dan kestabilan lingkungan dan produktivitas (Krebs 1978).
Stratifikasi hutan dan komposisi jenis pohon berpengaruh terhadap komposisi
komunitas burung (Acevedo dan Restrepo 2008). Hasil penelitian tersebut
menemukan bahwa jenis burung endemik berasosiasi dengan hutan, sebaliknya

5
jenis burung eksotik di pulau tersebut berasosiasi dengan habitat terbuka seperti
padang rumput atau pertanian. Selain itu, van der Zande et al. (1984) juga
menyebutkan bahwa kehadiran manusia pada tempat rekreasi memiliki pengaruh
terhadap distribusi pada suatu komunitas burung. Kelimpahan 8 jenis burung dari
13 jenis burung menurun karena adanya intensitas rekreasi yang dilakukan
manusia di lokasi penelitian.

Guild
Guild merupakan kelompok jenis yang menggunakan sumberdaya pada
kelas dan cara yang sama (O’Connell et al. 2000). Secara umum pengelompokan
suatu jenis ke dalam guild dilakukan berdasarkan tanggapan terhadap lingkungan,
adaptasi terhadap pola hidup tertentu, kondisi umum, penyebaran geografis dan
tipe makanan (Root 2001). Guild pada komunitas burung yang ditemukan di suatu
tempat dapat dijadikan suatu indikator. Hal ini karena komposisi guild dapat
menggambarkan aliran energi dan makanan dalam suatu ekosistem serta
analisisnya dapat dilakukan dari daftar jenis burung sebelumnya.

Komunitas Burung di Perkotaan
Komunitas burung di perkotaan merupakan kumpulan individu spesies yang
hidup pada waktu dan ruang yang sama yaitu wilayah perkotaan. Faktor yang
dapat mempengaruhi komunitas burung di perkotaan yaitu karakteristik habitat
dan gangguan yang berasal dari aktivitas manusia. MacKinnon et al. (2010)
menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan kekayaan jenis burung selama dua
puluh tahun terakhir di salah satu hutan kota yaitu Kebun Raya Bogor, meskipun
habitat tersebut tetap terjaga dan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal
tersebut merupakan efek fragmentasi dan terisolasinya Kebun Raya Bogor
dikarenakan hilangnya hutan yang berada di sekitar Bogor oleh adanya aktivitas
manusia. Aktivitas manusia lainnya seperti kegiatan transportasi dan lalu lintas
kendaraan bermotor di jalan raya berpotensi meningkatkan kebisingan lingkungan
dan diduga dapat berpengaruh terhadap komunitas burung di perkotaan.

Kebisingan
Definisi kebisingan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor Kep-48/MNLH/11/1996 adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha
atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Jenis-jenis kebisingan
utama di daerah perkotaan yaitu: (1) Bising lalu-lintas dan transportasi (mobil,
truk, sepeda motor, kereta jalan, kereta api, mesin diesel, kereta bawah tanah,
pesawat air, pesawat udara, dan lain-lain); (2) Bising industri (pabrik, bengkel,
proyek pembangunan, menara pendingin, pengkondisi udara, dan lain-lain); (3)
Bising yang dihasilkan manusia (olahraga, pertunjukan di udara terbuka dan lainlain) (Doelle 1993). Kebisingan dapat diukur dengan bantuan alat sound level
meter yang terdiri dari mikrofon, penguat dan instrumen keluaran (output) dalam
satuan desibel (dB).

6
Burung dan Kebisingan
Burung merupakan makhluk hidup yang berkomunikasi secara visual dan
akustik. Komunikasi akustik merupakan cara paling efektif dan unggul
dibandingkan komunikasi visual pada burung. Keunggulan komunikasi secara
vokal yaitu bekerja pada jarak jauh, tidak perlu kontak mata, dapat digunakan
malam hari, di habitat yang rapat atau pada kondisi ketika jenis komunikasi lain
tidak dapat dikirim. Hal tersebut berguna bagi burung untuk mendapatkan
berbagai macam informasi penting. Beberapa fungsi burung melakukan vokalisasi
yaitu pertahanan wilayah dan menarik pasangan (Catchpole dan Slater 1995),
informasi sinyal bahaya, makanan dan agresi (Marler 2004).
Komponen utama untuk komunikasi akustik yaitu alat penghasil sinyal
akustik dan penerima sinyal akustik. Alat penghasil sinyal akustik pada burung
adalah organ vokal burung (syrinx). Syrinx terletak pada bagian bawah
tenggorokan dan di atas dua bronkus yang mengarah ke paru-paru (King 1989).
Suara pada burung passerine dihasilkan melalui mekanisme osilasi aliran udara
pada labia di setiap bronkus yang menyebabkan fluktuasi tekanan (Goller dan
Larsen 1997). Syrinx yang tepat berada di atas bronkus berfungsi untuk mengatur
frekuensi dasar suara dan dinamika temporal dari kicauan. Komponen komunikasi
utama selanjutnya yaitu alat penerima sinyal akustik. Alat ini adalah telinga pada
burung. Telinga burung terdiri dari membran eksternal (tympanic membrane),
telinga bagian tengah (middle ear) dan telinga bagian dalam (inner ear) serta tidak
ada struktur eksternal telinga seperti yang ditemukan pada mamalia (Dooling dan
Popper 2007). Proses pendengaran diawali dengan diterimanya gelombang suara
oleh tympanic membrane. Tympanic membrane yang bergetar sebagai respon
terhadap gelombang suara kemudian meneruskannya ke middle ear dan
selanjutnya menuju inner ear melalui tekanan pada cairan. Di inner ear terdapat
sel rambut yang berfungsi untuk mengubah energi mekanik menjadi energi yang
sesuai dengan sistem saraf yang pada akhirnya menuju otak.
Faktor penting yang menurunkan efektivitas dari komunikasi vokal yaitu
kebisingan. Hal tersebut terjadi ketika vokalisasi yang ditransmisikan melalui
udara oleh burung pengirim sinyal suara (vokal yang dihasilkan oleh syrinx) ke
burung penerima sinyal akustik (menggunakan telinga burung) terganggu atau
mengalami “tumbukan” dengan suara kebisingan di udara. Akibatnya, sinyal
akustik burung tersebut tidak diterima secara lengkap oleh burung penerima.

Pengaruh Tingkat Kebisingan terhadap Burung
Salah satu sumber kebisingan yang telah banyak diteliti karena pengaruhnya
terhadap burung adalah kebisingan lalu-lintas dan transportasi. Efek dari
kebisingan lalu-lintas dan transportasi yaitu terjadinya perubahan perilaku,
selubung (masking) sinyal komunikasi burung antara individu sejenis atau sinyal
biologis lainnya seperti suara predator atau mangsa, penurunan sensitivitas
pendengaran sementara atau permanen, meningkatkan kadar stres dan mengubah
kadar hormon reproduksi, serta dapat mengancam kelangsungan hidup individu
atau jenis burung (Dooling dan Popper 2007).

7
Beberapa penelitian sebelumnya telah mempelajari perubahan perilaku
burung terhadap kebisingan. Perubahan tersebut terjadi pada tingkat jenis yaitu
burung yang berada di lokasi bising memiliki frekuensi vokalisasi dan amplitudo
lebih tinggi dibandingkan dengan burung di lokasi yang tidak bising (Brumm
2004; Salaberria dan Gil 2010), hal itu berarti bahwa burung beradaptasi pada
kondisi bising dengan cara meningkatkan frekuensi dan amplitudo atau
mengeluarkan suara lebih keras saat melakukan vokalisasi. Fuller et al. (2007)
menemukan bahwa burung Erithacus rubecula beradaptasi dengan cara berkicau
pada malam hari di daerah yang bising pada siang hari untuk mengurangi
gangguan komunikasi yang ditimbulkan oleh kebisingan. Pada tingkat komunitas,
Herrera-Montes dan Aide (2011) juga melaporkan pengaruh kebisingan terhadap
fauna burung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kekayaan dan
kehadiran jenis burung secara signifikan lebih rendah pada habitat yang terletak
dekat dengan jalan raya (sumber kebisingan).
Sebagian besar frekuensi suara burung berkisar antara 1 kHz dan 9 kHz
(Rheindt 2003). Umumnya, kebisingan lalu lintas di jalan raya adalah frekuensi
yang rendah yaitu berkisar antara 0-4 kHz (Patricelli dan Blickley 2006; Nemeth
dan Brumm 2010). Berdasarkan hal tersebut, vokalisasi burung mungkin tumpang
tindih dengan kebisingan atau mengalami efek masking. Efek masking terjadi
ketika salah satu suara terselubungi oleh suara lain. Rheindt (2003) menyatakan
bahwa selubung (masking) akustik pada vokalisasi burung merupakan salah satu
efek negatif potensial terhadap komunikasi dan kebugaran reproduktif
(reproductive fitness).
Dooling dan Popper (2007) menyatakan bahwa ambang batas kebisingan
yang dapat ditoleransi oleh burung yaitu 60 dB. Selain itu, pengaruh kebisingan
terhadap burung memang bisa berbeda dari jenis burung satu ke jenis burung lain
atau kelompok jenis satu ke kelompok jenis lain. Penelitian Paton et al. (2012)
menunjukkan adanya toleransi fauna burung terhadap berbagai tingkat kebisingan.
Hal ini berkaitan dengan respon fauna burung terhadap tingkat kebisingan.
Respon tersebut yaitu modifikasi vokalisasi dalam berkomunikasi yang dapat
membantu beberapa spesies menempati daerah yang bising sedangkan beberapa
spesies lain yang tidak dapat beradaptasi dan memodifikasi vokalisasinya
kemungkinan harus mencari habitat tenang yang lebih sesuai.

Burung Passerine
Burung passerine adalah burung petengger yang memiliki empat jari kaki,
tiga mengarah ke depan, satu mengarah ke belakang dan kelompok ini juga
termasuk ke dalam ordo Passeriformes. Tingkat keanekaragaman jenis kelompok
burung ini tergolong tinggi, tercatat bahwa 60% burung di dunia termasuk
kelompok ini. Di Indonesia terdapat 44 famili ordo Passeriformes (Sukmantoro et
al. 2007). Sebagian besar anggotanya termasuk kelompok burung pengicau (song
bird) yang memiliki ukuran tubuh kecil dan biasanya hidup di pohon atau semaksemak (Morgan 2004). Kelompok ini menggunakan suara untuk berkomunikasi
secara intra maupun inter spesies. Burung passerine merupakan salah satu
komunitas burung yang dapat ditemukan di wilayah perkotaan.

8
Linnaeus (1758), memasukkan burung passerine ke dalam susunan
klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class
: Aves
Ordo
: Passeriformes

Hutan Kota
Definisi hutan kota berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 63 Tahun 2002 adalah “suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohonpohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara
maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat berwenang”.
Hutan kota yaitu tempat yang ditumbuhi oleh pepohonan dan berasosiasi dengan
vegetasi atau bentuk lahan lainnya (Grey dan Deneke 1978). Fungsi hutan kota
adalah untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan estetika, meresapkan air,
menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, mendukung
pelestarian keanekaragaman hayati.

Kebun Raya Bogor
Kawasan Kebun Raya Bogor (KRB) merupakan kawasan konservasi yang
terletak di tengah-tengah kota Bogor dan diresmikan pertama kali pada tahun
1817. Koleksi tanaman di kebun ini diatur kembali penanamannya berdasarkan
kelompok famili pada tahun 1831. Total koleksi tumbuhan dan pohon yaitu
sebanyak 1500 jenis. Peletakan kelompok tanaman pada kawasan dibagi kedalam
beberapa area koleksi tanaman yang dipisahkan oleh jalan utama, jalan setapak
dan saluran air. Di setiap area koleksi tanaman terdiri dari bagian-bagian dan
dibagi lagi menjadi petak-petak. Setiap bagian ditandai dengan angka Romawi
dan setiap petak ditandai dengan huruf serta hampir semua tanaman memiliki
label nama jenis.
Kawasan KRB sebagai kawasan konservasi telah menjadi habitat bagi
berbagai macam fauna termasuk burung. Beberapa hasil penelitian burung
sebelumnya di kawasan KRB yaitu (1) Diamond et al.(1987) mencatat 62 jenis
burung pada periode 1932-1952 dan 43 jenis burung pada periode 1980-1985, (2)
Hermawan (2001) mencatat sebanyak 46 jenis burung, dan (3) Sukara (2014)
mencatat 48 jenis burung.

Hutan Penelitian Dramaga
Hutan Penelitian Dramaga (HPD) merupakan kawasan hutan yang didirikan
tahun 1956. Lokasi ini diperuntukkan sebagai kawasan penelitian. Kawasan HPD
terletak di pinggir kota Bogor dengan jarak dari kota yaitu 9 km. Sejak tahun 1956
sampai dengan 1998 di kawasan ini tercatat memiliki 130 jenis tumbuhan, terdiri
dari 127 jenis pohon, satu jenis bambu, satu jenis rotan dan satu jenis palmae.
Jenis fauna yang ditemukan di kawasan ini yaitu berbagai jenis burung, ular tanah

9
(Agkistrodon rhodostoma), tupai atau bajing (Lariscus sp.), musang (Paradoxurus
hermaproditus), dan berbagai jenis serangga (Dephut 2002). Penelitian burung
yang dilakukan Solihati (2007) pada kawasan ini mencatat sebanyak 29 jenis
burung.

10

3 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada Juni hingga Oktober tahun 2014 di kota
Bogor, Provinsi Jawa Barat (106° 48’ BT dan 6° 26’ LS). Kota Bogor merupakan
sebuah kota yang berkembang sangat cepat karena lokasinya sangat dekat dengan
ibukota negara Indonesia yaitu ± 58 km. Kondisi suhu rata-rata tiap bulan yaitu
32,1° C. Kelembaban udara yaitu 92,0 %, dan curah hujan rata-rata yaitu 304535,33 mm. Jumlah penduduk kota ini pada tahun 2013 mencapai lebih dari
1.013.019 orang (BPS Kota Bogor 2014).
Pengamatan ini dilakukan di dua hutan kota, yaitu: Kebun Raya Bogor
(KRB) dan Hutan Penelitian Dramaga (HPD) atau lebih dikenal dengan nama
Hutan CIFOR (Gambar 1). Total luas masing-masing habitat yaitu KRB sekitar
± 87 hektar dan luas HPD sekitar ± 60 hektar. Kawasan KRB tidak semua
ditanami oleh pepohonan tetapi juga terbagi untuk perkantoran, badan air dan
taman serta kawasan ini terletak di tengah kota Bogor dan dikelilingi oleh jalan
raya yang memiliki tingkat lalu lintas tinggi. Kawasan HPD hampir seluruhnya
ditanami oleh pepohonan dan kawasan ini terletak di pinggir kota Bogor serta
memiliki tingkat lalu lintas rendah.

Gambar 1 Lokasi penelitian di Kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia

11

a

b

Gambar 2 Peta sebaran titik pengamatan. a Kebun Raya Bogor b Hutan
Penelitian Dramaga

12
Metode Pengumpulan Data
Penentuan Titik dan Waktu Pengamatan
Tingkat kebisingan, jumlah aktivitas manusia dan keanekaragaman burung
diukur di beberapa titik pengamatan. Penentuan titik pengamatan pada masingmasing lokasi dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu dengan
mempertimbangkan jarak dari sumber kebisingan dan dilakukan hanya di habitat
pepohonan. Pada masing-masing lokasi ditentukan 30 titik dengan rincian 15 titik
pengamatan diletakkan di habitat yang dekat jalan raya dan 15 titik lainnya
diletakkan di daerah yang jauh dari jalan raya (Gambar 2 dan Tabel 1). Habitat
dekat dan jauh dikelompokkan berdasarkan jarak titik pengukuran dari jalan raya
yaitu 150 m (habitat jauh). Hal tersebut dilakukan
untuk menyesuaikan dengan luas lokasi kawasan. Total titik hitung dalam
penelitian ini yaitu 60 titik. Untuk memudahkan pengamatan ulangan, tiap pohon
yang berada di pusat lingkaran pengamatan diberi tanda dengan menggunakan
pita merah. Pengambilan data tingkat kebisingan, jumlah aktivitas manusia dan
keanekaragaman burung pada masing-masing titik hitung dilakukan dalam selang
waktu pukul 06.00 – 09.00 WIB dan diulang sebanyak tiga kali pada tiga hari
yang berbeda dan tidak berturut-turut.
Tabel 1 Jumlah titik, ulangan masing-masing titik dan total pengamatan di
habitat dekat dan jauh dari jalan di kedua lokasi
Lokasi
KRB
HPD
Dekat
Jauh
Dekat
Jauh
(150m) (150m)
Jumlah titik
15
15
15
15
Ulangan masing-masing titik
3
3
3
3
Total pengamatan
45
45
45
45
Keterangan: KRB = Kebun Raya Bogor, HPD = Hutan Penelitian Dramaga

Vegetasi
Data vegetasi dikumpulkan menggunakan metode petak bertingkat (Heddy
2012) (Gambar 3). Di setiap lokasi, jumlah petak contoh vegetasi dibuat sebanyak
6 buah yang ditempatkan pada titik pengamatan burung dengan rincian masingmasing 3 petak contoh di habitat dekat (150 m) dari
jalan raya. Data vegetasi yang dikumpulkan untuk tingkat pohon dan tiang adalah
jenis, jumlah individu setiap jenis, diameter dan tinggi. Untuk tingkat semai dan
pancang, data yang dikumpulkan yaitu jenis dan jumlah individu saja.

Gambar 3 Ilustrasi penggunaan metode petak bertingkat. a Ukuran 40m × 10m
untuk tingkat pohon b Ukuran 20m × 5m untuk tingkat tiang c Ukuran 10m ×
2.5m untuk tingkat pancang d Ukuran 5m × 1m untuk tingkat anakan

13

Tingkat Kebisingan
Estimasi rata-rata kebisingan pada tiap titik pengamatan didasarkan pada
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep-48/MNLH/11/1996
Tahun 1996, yaitu pengukuran dilakukan selama sepuluh menit dan pembacaan
dilakukan setiap lima detik menggunakan alat Sound Level Meter “Mastech
MS6701”. Alat tersebut diletakkan di tiap titik pusat pengamatan dan ditempatkan
pada ketinggian 1.5 meter dari permukaan tanah.

Aktivitas Manusia
Aktivitas manusia dinyatakan dengan jumlah manusia yang hadir di lokasi
penelitian. Data tersebut dikumpulkan dengan metode point count. Pengamat
mencatat jumlah manusia selain pengamat dalam radius 25 m selama 10 menit di
tiap titik pengamatan.

Keanekaragaman dan Kekayaan Burung Passerine
Pengamatan dilakukan menggunakan metode point count (Gambar 4) secara
visual dan berdasarkan suara. Pengamat berdiri di suatu titik yang telah dipilih dan
melakukan pencatatan jenis burung dan jumlah individu tiap jenis. Alat bantu
yang digunakan adalah binokuler “Nikon Monarch 8x42 DCF” untuk pengamatan
visual dan alat perekam suara “Sanyo ICR-PS502 RM” serta mikrofon untuk
pengamatan suara. Pengamatan pada setiap titik dilakukan dalam radius 25 m
selama 10 menit. Identifikasi terhadap jenis burung passerine yang diamati secara
visual menggunakan buku panduan pengamatan burung MacKinnon et al. (2010)
dan identifikasi suara burung dilakukan dengan membandingkan hasil rekaman
suara burung dari lapang dengan kumpulan rekaman suara burung yang terdapat
di software Birds of Tropical Asia versi 3.0.

Gambar 4 Ilustrasi metode point count

Jumlah Aktivitas Bersuara Burung Passerine
Data suara burung passerine yang diamati yaitu jumlah suara (tidak
dibedakan jenis suaranya) burung tiap jenis pada masing-masing titik pengamatan.
Data ini diperoleh dari pengamatan dan hasil rekaman suara burung pada saat
point count dilakukan.

14
Guild
Semua jenis burung passerine yang tercatat dan berhasil diidentifikasi
dimasukkan ke dalam analisis berdasarkan pendekatan a priori (Wiens 1989).
Komposisi guild dikelompokkan berdasarkan studi pustaka dari penelitianpenelitian lain mengenai guild.

Analisis Data
Vegetasi
Hasil analisis vegetasi digunakan untuk menghitung indeks nilai penting
(INP) di setiap lokasi untuk mengetahui dominasi jenis pada lokasi pengamatan.
Selain itu profil vegetasi untuk masing-masing habitat pada tiap lokasi
berdasarkan tingkat pohon. Penentuan strata tajuk dibagi menjadi lima strata tajuk
yang terdiri atas strata A, B, C, D dan E. Strata A (>30 meter), strata B (20-30
meter), strata C (0.05).

a

b
Gambar 5 Profil vegetasi pohon di Kebun Raya Bogor (KRB). a Dekat b Jauh

Lokasi HPD sebagian besar terdiri dari hutan tanaman, semak dan tanaman
perdu. Strata vegetasi terdiri atas 3 strata yaitu strata A, C dan D. Pohon-pohon
memiliki ketinggian antara 45-50 m dan kerapatan pohon dari 7 jenis di lokasi ini

17
adalah 390 pohon/hektar (Gambar 6). Tutupan tajuk pada lokasi ini cukup rapat.
Komposisi vegetasi didominasi oleh Hymenaea courbaril (INP = 60.75%),
Agathis loranthifolia (INP = 55.89%) dan Calophyllum tomentosum (INP =
50.39%) (Lampiran 3). Lantai hutan ditutupi oleh semak, tumbuhan perdu seperti
saga telik dan jenis-jenis dari famili Rubiaceae. Total jumlah pohon antara habitat
dekat dan jauh dari jalan raya di HPD tidak memiliki perbedaan signifikan (uji t
berpasangan=-0.51, P>0.05).

a

b
Gambar 6 Profil vegetasi pohon di Hutan Penelitian Dramaga (HPD). a Dekat
b Jauh

Lokasi HPD memiliki strata vegetasi yang lebih lengkap (A, C dan D)
dibandingkan KRB. Hal tersebut disebabkan HPD memiliki tegakan pohon yang
tinggi, jenis yang sama ditanam dalam satu petak serta kondisi lantai hutan yang
ditumbuhi anakan pohon, semak dan tanaman perdu akibat kurang rutinnya
pembersihan. Lokasi KRB merupakan kawasan konservasi eksitu dan salah satu
tempat tujuan wisata alam andalan kota Bogor sehingga kondisi kawasan ini
terkelola lebih baik dibandingkan HPD. Strata vegetasi KRB terdiri dari C dan E.
Hal ini dikarenakan tinggi kebanyakan tegakan pohon yaitu 20 m. Pada lantai
hutan hanya ditemukan rumput dan serasah daun serta jarang ditemukan adanya
anakan pohon yang tumbuh akibat rutinnya perawatan.

18
Tingkat Kebisingan
Lokasi KRB yang terletak di pusat keramaian kota dan dikelilingi oleh jalan
raya memiliki tingkat lalu lintas kendaraan yang tinggi. Nilai rata-rata tingkat
kebisingan KRB yaitu 57.11 dB. Berdasarkan jarak dari jalan raya, tingkat
kebisingan di habitat dekat jalan raya secara signifikan berbeda dari habitat jauh
dari jalan raya (uji t berpasangan=42.9, P0.05) (Gambar 8).
Aktivitas manusia diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan
jumlah burung akibat perubahan habitat, dan perburuan (van Balen 1987).

19

Gambar 8 Jumlah manusia di habitat dekat dan jauh di kedua lokasi

Komunitas Burung Passerine
Keanekaragaman dan Kekayaan Jenis
Burung passerine yang tercatat di dua lokasi terdiri atas 20 jenis dari 12
famili (Lampiran 1). Seluruh burung yang tercatat merupakan burung penetap
(residents) dan dua diantaranya merupakan burung endemik Sumatra, Jawa dan
Bali yaitu Orthotomus sepium dan Prinia familiaris (MacKinnon et al. 2010).
Empat jenis dilindungi berdasarkan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
No 7 Tahun 1999 yaitu Anthereptes malacensis, Arachnothera longirostra,
Nectarinia jugularis dan Rhipidura javanica.
Jumlah jenis burung passerine yang tercatat di KRB yaitu 18 jenis (Tabel
1). Hasil penelitian sebelumnya di KRB tercatat 23 jenis yang diamati selama 3
bulan di 24 titik pengamatan (Hermawan 2001) dan 27 jenis yang diamati selama
2 bulan di 12 tipe lingkungan (Sukara 2014). Jumlah jenis burung pada penelitian
ini di HPD yaitu tercatat 15 jenis (Tabel 2), sedangkan penelitian sebelumnya
tercatat 16 jenis yang diamati selama 3 bulan di 15 titik pengamatan (Solihati
2007) dan 20 jenis yang diamati selama 4 bulan di 4 tipe habitat (Saefullah 2015).
Perbedaan jumlah jenis yang tercatat dalam penelitian ini dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya dikarenakan perbedaan pengambilan lokasi penelitian,
waktu penelitian dan lamanya pengambilan data.

20
Tabel 2 Perbandingan jumlah jenis burung passerine yang ditemukan di Kebun
Raya Bogor dan Hutan Penelitian Dramaga dari hasil penelitian
sebelumnya
Lokasi
Jenis
Hemipus hirundinaceus
Aegithina tiphia
Chloropsis cochinchinensis
Pycnonotus atriceps
Pycnonotus melanicterus
Pycnonotus aurigaster
Pycnonotus goiavier
Pycnonotus brunneus
Alophoixus bres
Dicrurus macrocercus
Dicrurus leucophaeus
Oriolus chinensis
Corvus enca
Sitta frontalis
Pellorneum capistratum
Malacocincla sepiarium
Stachyris grammiceps
Copsychus saularis
Zoothera citrine
Gerygone sulphurea
Orthotomus sutorius
Orthotomus sepium
Prinia familiaris
Eumyias indigo
Cyornis banyumas
Rhipidura javanica
Artamus leucorhynchus
Lanius cristatus
Lanius schach
Aplonis panayensis
Anthreptes malacensis
Nectarinia jugularis
Arachnothera longirostra
Dicaeum trigonostigma
Dicaeum concolor
Dicaeum trochileum
Zosterops palpebrosus
Passer montanus
Lonchura leucogastroides
Lonchura punctulata
Lonchura maja
Total

a

KRB
B

c

D

HPD
e

23

27

18

16

20

f

15

Keterangan tabel mengacu pada keterangan Tabel 1, a : Data Hermawan (2001), b : Data Sukara
(2014), c dan f : Data Penulis, d : Data Solihati (2007), e : Data Saefullah (2015)

21
Beberapa jenis burung dapat ditemukan secara umum di habitat dekat dan
jauh dari jalan raya di kedua lokasi yaitu Pycnonotus aurigaster, O. sepium dan A.
malacensis. Selain itu terdapat jenis yang dapat ditemukan di semua habitat tetapi
dengan jumlah individu yang jarang diantaranya Aegithina tiphia, A. longirostra
dan Zosterops palpebrosus. Selain jenis umum, terdapat juga jenis spesifik yang
hanya ditemukan di lokasi tertentu yaitu Alophoixus bres, Chloropsis
cochinchinensis, Corvus enca, Dicaeum concolor, Lonchura maja, Malacocincla
sepiarium dan Oriolus chinensis. Hal ini mungkin dikarenakan setiap jenis burung
memiliki ekologi yang berbeda-beda dan terkait dengan bentuk tajuk pohon dan
percabangan. Hasil penelitian Azis (2014) menunjukkan bahwa beberapa jenis
burung dapat beradaptasi pada semua bentuk tajuk pohon dan percabangan, tetapi
tidak sedikit juga jenis burung yang hanya bisa ditemukan pada jenis tajuk dan
percabangan tertentu. Menurut Azis (2014), P. aurigaster merupakan salah satu
jenis burung yang terlihat mencolok dapat beradaptasi dengan seluruh bentuk
tajuk pohon.
Habitat dekat jalan raya di KRB memiliki nilai indeks keanekaragaman dan
kekayaan jenis tertinggi (H’=2.30; DMg=2.51). Selain itu, indeks kekayaan jenis di
kedua lokasi pada habitat dekat jalan raya lebih tinggi dibandingkan dengan
habitat jauh (Tabel 3). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya efek daerah
peralihan (edge effect) pada daerah tepi yang dapat mengubah kelimpahan dan
distribusi jenis serta interaksinya. Odum (1993) mendefinisikan daerah peralihan
sebagai peralihan antara dua atau lebih komunitas yang berbeda. Komunitas pada
daerah peralihan ini biasanya banyak mengandung organisme dari masing-masing
komunitas yang saling tumpang tindih. Stratifikasi dan daerah peralihan antara
dua habitat yang berbatasan memungkinkan burung menempati bagian strata yang
bervariasi di daerah tepi (Gaol 1998).
Tabel 3 Jumlah titik pengamatan, jumlah jenis, keanekaragaman dan kekayaan
jenis di habitat dekat dan jauh dari jalan di kedua lokasi
Lokasi
KRB
HPD
Dekat
Jauh
Dekat
Jauh
Jumlah titik
15
15
15
15
Jumlah jenis
17
15
15
14
Indeks keanekaragaman (H’)
2.30
2.04
2.13
2.26
Indeks kekayaan (DMg)
2.51
2.14
2.26
2.06
Keterangan tabel mengacu pada keterangan Tabel 1

Kelimpahan
Komunitas burung di lokasi KRB didominasi oleh jenis-jenis burung dari
dua famili yaitu famili Estrildidae (16.67% dari 18 jenis yang teramati) dan
Nectariniidae (16.67% dari 18 jenis yang teramati). Dominasi famili pada tingkat
individu di KRB yaitu Pycnonotidae (37% dari 476 individu). Komunitas burung
di HPD didominasi famili Nectariniidae (20% dari 3 jenis). Pada tingkat individu,
famili Pycnonotidae paling mendominasi yaitu 262 individu (25.31%) dari 1035
individu yang teramati (Tabel 4). Pycnonotus aurigaster adalah jenis burung
dengan kelimpahan tertinggi di kedua lokasi. Jenis ini merupakan jenis burung
yang hidup di habitat terbuka dan bersemak, dapat juga ditemukan di taman dan

22
pekarangan, pemakan buah dan serangga (MacKinnon et al. 2010). Jenis yang
memiliki kelimpahan terbanyak kedua yaitu Dicaeum trochileum di KRB dan P.
montanus di HPD (Tabel 5).
Tabel 4 Famili, jumlah jenis dan jumlah individu di semua lokasi
Lokasi
KRB

Famili
Chloropseidae
Pycnonotidae
Oriolidae
Corvidae
Timaliidae
Silviidae
Muscicapidae
Nectariniidae
Dicaeidae
Zosteropidae
Ploceidae
Estrildidae
Total

Jenis
2
2
1
0
0
2
1
3
2
1
1
3
18

%
11.11
11.11
5.56
0
0
11.11
5.56
16.67
11.11
5.56
5.56
16.67
100

Individu
42
476
38
0
0
157
37
200
191
15
43
83
1282

HPD
%
3
37
3
0
0
12
3
16
15
1
3
7
100

Jenis
1
1
0
1
1
2
1
3
1
1
1
2
15

%
6.67
6.67
0
6.67
6.67
13.33
6.67
20
6.67
6.67
6.67
13.33
100

Individu
11
262
0
4
15
140
57
135
88
11
153
159
1035

%
1.06
25.31
0
0.39
1.45
13.53
5.51
13.04
8.50
1.06
14.78
15.36
100

Keterangan tabel mengacu pada keterangan Tabel 1

Berdasarkan jarak dari jalan raya di masing-masing lokasi, kelimpahan di
habitat dekat jalan raya lebih rendah dibandingkan dengan habitat jauh dari jalan
raya tetapi tidak berbeda nyata pada kedua lokasi (KRB: uji t berpasangan=-1.88,
P>0.05; HPD: uji t berpasangan=-0.84, P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa
bahwa kelimpahan jenis burung tidak mengalami kecenderungan peningkatan atau
penurunan. Kondisi ini diduga karena habitat dekat jalan raya yang tidak terlalu
berbeda dengan habitat jauh dari jalan raya mengakibatkan tidak adanya fluktuasi
sumberdaya yang drastis. Kurnia (2012) menyatakan bahwa ada tiga hal yang
mempengaruhi kelimpahan burung di suatu habitat yaitu karakteristik jenis yang
berkoloni, kesesuaian habitat untuk jenis tertentu, dan kemampuan adaptasi suatu
jenis. Empa