Kemampuan Hutan Kota dalam Mereduksi Kebisingan Lalu Lintas di Bumi Serpong Damai City, Kota Tangerang Selatan

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan kota dengan berbagai kegiatan manusia di dalamnya sangat mempengaruhi lingkungan kota itu sendiri dan menimbulkan masalah bagi lingkungan. Masalah lingkungan yang sering terjadi di perkotaan diantaranya adalah polusi udara, polusi air dan tanah, dan sampah. Lingkungan yang tidak sehat akan meningkatkan tingkat stress manusia dan akan mempengaruhi penurunan produktivitas kerja mereka. Salah satu dari masalah lingkungan perkotaan yaitu kebisingan yang memberikan dampak negatif terhadap kegiatan dan kesehatan manusia.

Kebisingan merupakan bentuk suara yang tidak dikehendaki karena dianggap mengganggu (Warningsih 2006). Dalam lanskap kota, pengendalian kebisingan dapat dilakukan dengan membangun barrier antara sumber kebisingan dan penerima. Salah satunya yaitu dengan membangun barrier berupa vegetasi yang berfungsi sebagai peredam kebisingan. Vegetasi yang dibangun dapat berupa hutan kota. Hutan kota dengan hamparan tumbuh-tumbuhan yang terdapat di dalamnya memiliki karakteristik untuk menciptakan fungsi positif bagi lingkungan perkotaan seperti peredam kebisingan.

Kawasan Bumi Serpong Damai (BSD) City merupakan suatu kawasan permukiman dengan luas lahan 6.000 ha dan memiliki berbagai fasilitas lengkap menjadikannya terkenal dengan sebutan Kota Baru. Sebagai suatu kawasan perkotaan, BSD City tidak lepas dari masalah yang sering muncul di kota-kota lain pada umumnya, seperti masalah kebisingan. Aktivitas lalu lintas adalah sumber kebisingan utama di wilayah BSD City yang setiap harinya dialami masyarakat kota tersebut. Sebagai suatu kota baru dengan konsep pemukiman yang ramah lingkungan, BSD City memiliki ruang terbuka hijau untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang asri. Beberapa komponen ruang terbuka hijau tersebut dapat dikategorikan ke dalam hutan kota tipe pemukiman. Hutan kota tersebut tentunya memiliki peran menanggulangi masalah yang timbul di kota tersebut, salah satunya yaitu sebagai peredam kebisingan.


(2)

Vegetasi hutan kota dapat mereduksi kebisingan, memodifikasi iklim mikro, dan meningkatkan nilai estetika (Marsh 1986 diacu dalam Widagdo 1998). Tanaman dapat berperan dalam pengendalian kebisingan karena dapat menyerap dan memencarkan energi bunyi. Tanaman yang berfungsi sebagai peredam kebisingan dapat berupa pohon, perdu maupun semak.

Kemampuan reduksi kebisingan oleh vegetasi hutan kota kiranya perlu dipelajari untuk mengetahui seberapa efektif peran hutan kota dalam meredam kebisingan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan guna mempelajari perbedaan bentuk dan struktur hutan kota dalam perannya mereduksi kebisingan lalu lintas di wilayah permukiman BSD City.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan hutan kota dalam mereduksi kebisingan berdasarkan bentuk dan struktur hutan kota.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi kombinasi bentuk dan struktur vegetasi hutan kota, serta karakteristik jenis tanaman hutan kota yang efektif meredam kebisingan, yang berguna dalam perencanaan pembangunan hutan kota.


(3)

1.4 Kerangka Pemikiran

Kebisingan di lingkungan perkotaan sering terjadi karena kota merupakan pusat berbagai aktivitas masyarakat perkotaan. Sumber kebisingan di perkotaan antara lain berupa aktivitas lalulintas, industri, perkantoran, pusat perbelanjaan dan sebagainya. Kebisingan mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan dan kegiatan manusia. Pengaruh utama kebisingan terhadap manusia adalah kerusakan indera pendengaran secara sementara hingga permanen (Suratmo 1995). Kebisingan mempengaruhi kinerja masyarakat dan akan menjadi gangguan bagi yang memiliki kepekaan terhadap gelombang bunyi yang tinggi. Pengendalian kebisingan dilakukan antara lain dengan (1) melindungi permukiman dari pengaruh sumber suara, misalnya dengan pemasangan pelindung berupa tembok atau vegetasi, (2) pengaturan tataguna lahan dan kawasan, dan (3) pengaturan baku mutu kebisingan (Widagdo 1998). Dalam lanskap kota, pengendalian kebisingan dapat dilakukan dengan membangun barrier antara sumber kebisingan dan penerima. Salah satunya yaitu dengan membangun barrier berupa vegetasi yang berfungsi sebagai peredam kebisingan.

Vegetasi sering digunakan dalam pengendalian masalah kebisingan. Vegetasi peredam kebisingan dapat dijumpai dalam bentuk hutan kota. Pengertian hutan kota menurut Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Keberadaan hutan kota sangat membantu dalam menciptakan kondisi lingkungan perkotaan yang nyaman dan asri serta memberikan manfaat yang nyata dengan terjaganya fungsi dan peran dari hutan kota itu sendiri.

Hutan kota berfungsi untuk mengurangi kebisingan, selain menghalangi gelombang suara juga menghalangi sumber suara (Irwan 2008). Hutan kota tipe permukiman merupakan salah satu tipe hutan kota yang dibangun untuk memberikan kenyamanan lingkungan permukiman. Selain itu hutan kota tersebut juga dapat memberikan manfaat meredam kebisingan yang ditimbulkan dari aktivitas masyarakat pemukiman itu sendiri, seperti aktivitas lalu lintas. Tanaman yang berfungsi sebagai peredam kebisingan dapat berupa pohon, perdu maupun


(4)

semak. Fakuara (1986) menyebutkan bahwa tanaman yang paling efektif mengabsorbsi suara ialah yang mempunyai tajuk yang tebal, daun yang ringan dan bertangkai daun. Setiap jenis tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam mereduksi kebisingan, tergantung pada jenis, tinggi, bentuk dan ketebalan (Carpenter et al. 1975 diacu dalam Meilani 2002). Nilai reduksi kebisingan oleh vegetasi hutan kota kiranya perlu dipelajari untuk mengetahui seberapa efektif peran hutan kota dalam meredam kebisingan. Kemampuan tersebut dipelajari dengan membandingkan kombinasi antara struktur dan bentuk hutan kota yang berbeda. Secara ringkas, kerangka pikir penelitian tentang reduksi kebisingan oleh berbagai bentuk dan struktur hutan kota, disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Bagan alir kerangka pikir penelitian.

Reduksi kebisingan oleh hutan kota

Struktur Hutan Kota:

 Strata 2

 Strata banyak Bentuk Hutan Kota:

 Mengelompok/gerombol

 Menyebar

 Jalur hijau

Vegetasi (Hutan Kota) Pengendalian kebisingan

oleh barrier Kebisingan

Aktivitas lalu lintas di permukiman Bumi Serpong Damai (BSD) City


(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Kota

Pengertian hutan kota menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Definisi atau rumusan hutan kota yang diungkapkan oleh Irwan (1994), adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitarnya, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol (mengelompok), strukturnya menyerupai hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan bagi kehidupan satwa liar dan menimbulkan lingkungan sehat, suasana nyaman, sejuk dan estetis. Sedangkan menurut Fakuara (1987) diacu dalam Dahlan (1992), hutan kota (urban forest) adalah tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya dalam kegunaan-kegunaan proteksi, estetika, rekreasi, dan kegunaan-kegunaan khusus lainnya.

2.1.1 Tipe, bentuk dan struktur hutan kota

Hutan kota dapat dibangun ke dalam beberapa tipe dan bentuk sesuai fungsi dan tujuan pembangunannya. Tipe hutan kota menurut Dahlan (1992) terdiri dari:

a. Tipe permukiman; dibangun pada areal permukiman dapat berupa taman dan umumnya digunakan untuk olah raga dan bersantai.

b. Tipe kawasan industri; fungsi utama untuk mereduksi berbagai polusi yang ditimbulkan dari aktivitas industri seperti menyerap dan menjerap debu dan pertikel serta gas berbahaya dari udara, meredam kebisingan, dan menapis bau.

c. Tipe rekreasi dan keindahan; dibangun dengan penambahan sarana rekreasi dan unsur-unsur estetika agar dapat menyegarkan kembali kondisi tubuh yang menurun dan jenuh akibat rutinitas harian.


(6)

d. Tipe pelestarian plasma nutfah; bertujuan memberikan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam, bentuknya dapat berupa kebun raya, hutan raya dan kebun binatang.

e. Tipe perlindungan; fungsi perlindungan terhadap hidrologi dan bahaya erosi untuk perkotaan di wilayah bertopografi curam atau sebagai pelindung kota di daerah pesisir dari intrusi air laut.

f. Tipe pengamanan; berupa jalur hijau di sepanjang tepi jalan bebas hambatan. Bentuk hutan kota seperti yang disebutkan dalam PP No.63 Tahun 2002, terdiri dari bentuk bergerombol atau mengelompok, bentuk menyebar, dan bentuk jalur. Dahlan (1992) menjelaskan bahwa bentuk hutan kota dapat berupa jalur hijau, taman kota, kebun dan halaman, kebun raya atau hutan raya dan kebun binatang, hutan lindung, dan kuburan atau taman makam pahlawan.

Struktur hutan kota adalah komposisi dari jumlah dan keanekaragaman dari komunitas vegetasi yang menyusun hutan kota (Irwan 1994). Struktur hutan kota ditentukan oleh keanekaragaman vegetasi yang ditanam, sehingga terbangun hutan kota yang berlapis-lapis dan berstrata baik secara vertikal maupun horizontal yang meniru hutan alam. Struktur vegetasi hutan kota terbentuk oleh penataan terencana sesuai fungsi dan tujuan pembangunan hutan kota. Menurut Keershaw (1973), diacu dalam Fachrul (2008), struktur vegetasi dibatasi oleh tiga komponen, yaitu susunan jenis tumbuhan secara vertikal atau stratifikasi vegetasi, susunan jenis tumbuhan secara horizontal atau sebaran individu, dan kelimpahan tiap jenis tumbuhan yang ada. Irwan (2008) mengklasifikasikan struktur hutan kota menjadi hutan kota yang:

a. berstrata dua, yaitu komunitas vegetasi hutan kota hanya terdiri dari pepohonan dan rumput atau penutup tanah lainnya.

b. berstrata banyak, yaitu komunitas vegetasi hutan kota selain terdiri dari pepohonan dan rumput juga terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanam rapat tidak beraturan dengan strata, serta komposisi mengarah meniru komunitas vegetasi hutan alam.


(7)

2.1.2 Peranan hutan kota

Hutan kota merupakan unsur Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang secara ekologis melindungi kota dari masalah lingkungan, antara lain karena beberapa hal berikut:

1. Hutan kota mempunyai fungsi seperti menurunkan suhu, mengikat CO2, dan mengeluarkn O2, sebagai pelindung mata air atau peresapan air tanah, prlindungan terhadap debu, angin, kebisingan, dan memberi iklim mikro. 2. Hutan kota dapat menyerap hasil negatif dari kota dan memberi bahan baku

kepada kota sehingga terjadi keseimbangan bahan antara kota dan hutan kota, meningkatkan kualitas lingkungan kota, serta menimbulkan udara yang sehat, nyaman, dan estetis.

3. Hutan kota dapat menjadi habitat satwa dan tempat pelestarian plasma nutfah. 4. Hutan kota dapat menjadi area interaksi sosial seperti sarana rekreasi dan

pendidikan atau sebagai laboratorium hidup dan tempat interaksi sosial lainnya.

5. Hutan kota dapat mengendalikan erosi oleh angin maupun oleh air dan mengendalikan air tanah.

6. Hutan kota sebagai sumber ekonomi dan kesejahteraan manusia dan makhluk lainnya.

Peran hutan kota menurut Dahlan (1992) antara lain sebagai identitas kota, pelestarian plasma nutfah, penahan dan penyaring partikel padat dari udara, penyerap dan penjerap partikel timbal, penyerap dan penjerap debu semen, peredam kebisingan, mengurangi bahaya hujan asam, penyerap karbon-monoksida, penyerap karbon-dioksida dan penghasil oksigen, penahan angin, penyerap dan penapis bau. Selain itu, hutan kota juga memiliki peran dalam mengatasi penggenangan, mengatasi intrusi air laut, produksi terbatas, ameliorasi iklim, pengelolaan sampah, pelestarian air tanah, penapis cahaya silau, meningkatkan keindahan, sebagai habitat burung, mengurangi stress, mengamankan pantai terhadap abrasi, meningkatkan industri pariwisata, dan sebagai tempat pengisi waktu luang.


(8)

2.2 Kebisingan

Kebisingan merupakan bentuk suara yang tidak diinginkan atau bentuk suara yang tidak sesuai dengan tempat dan waktunya (Warningsih 2006). Suratmo (1995) menyebutkan bahwa kebisingan merupakan bentuk suara yang tidak diinginkan karena menimbulkan kerugian terhadap manusia dan lingkungan. Menurut Yahya (2002) selain ditentukan oleh parameter fisis terukur, bising juga sangat dipengaruhi oleh sikap masing-masing orang terhadap bunyi yang mereka terima. Dalam sudut pandang frekuensi, bising dapat terdiri superposisi (atau dalam bahasa sederhana dapat dipandang sebagai campuran) frekuensi. Bising seperti ini dikenal dengan sebutan broad band noise. Jenis bising yang lain adalah colored noise dan white noise yang secara berturut-turut merupakan bising dengan suatu frekuensi tertentu dan bising dengan kandungan frekuensi pada audible range (Yahya 2002).

2.2.1 Sumber kebisingan

Sumber kebisingan dapat dikelompokkan dalam (Hartono 1999 diacu dalam Warningsih 2006):

1. Bising lalu lintas, bising ini ditimbulkan oleh suara transportasi, misalnya kereta api, pesawat terbang, bus dan lain-lain serta lebih banyak dirasakan oleh masyarakat yang ada di sekitar jalur lalu lintas.

2. Bising industri, berasal dari industri besar yang mengoperasikan mesin-mesin yang menghasilkan bunyi sampai sekitar 100 dB. Bising industri ini dirasakan oleh karyawan maupun masyarakat pemukiman di sekitar industri.

3. Bising rumah tangga, biasanya berasal dari kegiatan rumah tangga

Salah satu komponen dampak transportasi terhadap lingkungan adalah kebisingan yang ditimbulkan oleh lalu-lintas baik jalan raya, jalan rel maupun bandar udara. Kebisingan yang ditimbulkan dari aktivitas lalu lintas jalan raya misalnya, bersumber dari suara-suara yang dihasilkan oleh kendaraan. Sumber suara kebisingan dari kendaraan, kebanyakan berasal dari (Hakim 2006):

a. suara bising dari putaran ban mobil b. suara bising dari karoseri bodi mobil c. suara bising dari knalpot dan klakson d. suara bising getaran mesin


(9)

e. suara bising putaran transmisi gardan f. suara bising kipas pendingin AC 2.2.2 Baku mutu kebisingan

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48/MENLH/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan, menjelaskan bahwa yang dimaksud tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalam satuan Desibel disingkat dB. Tingkat kebisingan diatur dengan baku mutu tingkat kebisingan agar dampak kebisingan dapat diminimalkan. Namun, di beberapa kota besar dan padat biasanya tingkat kebisingan telah melampaui batas maksimal yang ditentukan dalam peraturan baku tingkat kebisingan. Contohnya tingkat kebisingan lalu lintas jalan pada permukiman di tiga kota yaitu Kota Bekasi, Bogor dan Tangerang rata-rata di atas 70 dB A (Depkes RI 1994 diacu dalam Ikron et.al. 2007). Ukuran yang dipakai untuk menentukan besarnya nilai baku mutu tingkat kebisingan dihitung dari besarnya nilai tekanan suara (sound pressure) (Warningsih 2006). Baku mutu kebisingan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48/MENLH/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Baku mutu tingkat kebisingan

Peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan Tingkat Kebisingan dB (A) a. Peruntukan Kawasan

1. Perumahan dan Permukiman 2. Perdagangan dan Jasa 3. Perkantoran dan Perdagangan 4. Ruang Terbuka Hijau 5. Industri

6. Pemerintahan dan Fasilitas Umum 7. Rekreasi

8. Khusus:

- Bandar Udara - Stasiun Kereta Api - Pelabuhan Laut - Cagar Budaya

55 70 65 50 70 60 70 * * 60 70 b. Lingkungan Kegiatan

1. Rumah Sakit atau sejenisnya 2. Sekolah atau sejenisnya 3. Tempat ibadah atau sejenisnya

55 55 55

Sumber: KepMenLH 48/MENLH/1996

Keterangan: * disesuaikan dengan ketentuan Menteri Perhubungan


(10)

2.2.3 Dampak kebisingan

Kebisingan mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan dan kegiatan manusia. Pengaruh utama kebisingan terhadap manusia adalah kerusakan indera pendengaran secara sementara hingga permanen (Suratmo 1995). Pengaruh khusus akibat kebisingan berupa gangguan pendengaran, gangguan komunikasi, gangguan istirahat, gangguan tidur, gangguan mental, kinerja, ketidaknyamanan, dan juga gangguan berbagai aktivitas sehari-hari (Mansyur 2003).

2.2.4 Kemampuan vegetasi mereduksi kebisingan

Vegetasi hutan kota mampu mereduksi kebisingan. Seberapa jauh tingkat kebisingan dapat dikontrol oleh vegetasi tergantung pada spesies tanaman, tinggi tanaman, kerapatan, dan jarak tumbuh, faktor iklim (angin, suhu, dan kelembaban udara), properti dari suara yaitu tipe, asal, tingkat desibel, dan intensitas suara (Irwan 2008). Penelitian Zulfahani et al. (2005) di Hutan Kota Sabilal Muhtadin Banjarmasin menunjukkan bahwa hutan kota dengan luas ± 2,5 ha cukup efektif menurunkan kebisingan. Hal ini ditunjukkan dengan reduksi sebesar 7,51 dB antara titik ukur 1 (area luar bagian depan hutan kota) dengan titik ukur 2 (area dalam vegetasi hutan kota), sedangkan antara titik ukur 1 dengan titik ukur 3 (area luar bagaian belakang hutan kota) dapat mereduksi kebisingan sebesar 10,58 dB.

Setiap jenis tanaman memiliki kemampuan yang berbeda dalam mereduksi kebisingan, tergantung pada jenis, tinggi, bentuk dan ketebalan (Carpenter et al. 1975 diacu dalam Meilani 2002). Hasil penelitian Kim et al. (1989) yang dikutip oleh Widagdo (1998), menunjukkan bahwa tanaman Thuja orientalis (konifer) mereduksi kebisingan lebih efektif daripada tanaman Eunymus japonicus (berdaun lebar). Tingkat kebisingan yang dapat direduksi oleh tanaman juga dipengaruhi oleh intensitas, frekuensi dan arah bunyi (Carpenter et al. 1975 diacu dalam Meilani 2002). Reduksi kebisingan oleh vegetasi juga sangat dipengaruhi oleh lebar atau ketebalan dan kerapatan vegetasi (Gambar 2). Fang dan Ling (2003) yang mengutip penjelasan Cook dan Haverbeke (1974) menyebutkan bahwa kerapatan, tinggi, panjang dan lebar (ketebalan) jalur/sabuk hijau merupakan faktor paling efektif dalam mereduksi kebisingan dibandingkan dengan ukuran daun dan karakteristik percabangan. Kerapatan dan ketebalan vegetasi dapat menurunkan tingkat kebisingan jalan raya, dan pada jarak sama tanpa kerapatan


(11)

vegetasi tidak terjadi reduksi kebisingan yang akan menimbulkan dampak negatif terhadap psikologi penerima (FHWA 1980).

Gambar 2 Ilustrasi reduksi kebisingan lalulintas oleh vegetasi (FHWA 1980). Hutan kota berfungsi untuk mengurangi kebisingan, selain menghalangi gelombang suara juga menghalangi sumber suara. Gelombang suara diabsorpsi oleh daun-daun, cabang-cabang, ranting-ranting dari pohon dan semak (Irwan 2008). Penggunaan vegetasi untuk menyaring kebisingan tidak akan efektif apabila tidak memperhatikan ukuran dan kepadatannya. Akan lebih efektif lagi jika vegetasi mengguanakan kombinasi tofografi jalan. Hutan dapat menyerap sekitar 6-8 desibel per 30 meter. Kerapatan tanaman lebih penting daripada spesies tanaman untuk mengurangi kadar kebisingan (Irwan 1994). Hasil penelitian Irwan (1994) menunjukkan bahwa hutan kota dapat menurunkan kebisingan sebesar 18,94% di siang hari pada awal musim hujan. Hutan kota berstrata banyak lebih efektif menurunkan kebisingan sebesar 25,34% dibandingkan dengan hutan kota berstrata dua yang dapat menurunkan kebisingan sebesar 14,58%. Keefektifan barrrier kebisingan semakin meningkat dengan meningkatnya ketebalan, tinggi dan kerapatan tanaman (Grey & Deneke 1986).


(12)

2.3 Indeks Luas Daun

Indeks luas daun atau Leaf Area Index (LAI) penting untuk mempelajari struktur tajuk, secara luas digunakan untuk menggambarkan fotosintetik dan transpirasional permukaan kanopi tumbuhan (Rich et al. 1995). Pohon dengan jenis berbeda dapat memiliki nilai LAI yang berbeda-beda pula. Secara sederhana LAI dapat didefinisikan sebagai jumlah luas permukaan daun per unit area permukaan tanah, dan memiliki aplikasi luas dalam ekofisiologi, permodelan keseimbangan air, dan karakterisasi dari interaksi vegetasi dengan atmosphere (Rich et al. 1995). Nilai LAI dihitung dengan hukum sederhana berikut:

Lt LD

ILD , dimana : ILD = Indeks luas daun atau LAI

LD = Luas daun

Lt = Luas lahan yang ditumbuhi tanaman

Persamaan di atas digunakan untuk perhitungan secara manual dan bantuan alat Leaf Area Meter, biasanya pada tanaman pertanian. Secara teori hubungannya dengan proyeksi tajuk digambarkan dengan persamaan berikut:

Gap Fraction (Θ) = e –[G (θ) LAI / cos θ] ……… (1) (Chen & Black 1992 diacu dalam Rich et al. 1995)

LAI = [∑(θ)] LEAF_AREA(θ) ……… (2) (Rich et al. 1995).

Keterangan: LAI = Leaf Area Index

Gap fraction = gap/kesenjangan fraksi, theta = sudut puncak (zenith angle)

G (θ) = koefisien faktor proyeksi rata-rata

LEAF_AREA(θ)= area normal daun yang memberikan sudut puncak

Pendugaan nilai LAI dapat dilakukan dengan metode destruktif dan non-destruktif. Destruktif atau manual, LAI dihitung dengan menghitung luas daun total dari sampel daun yang diambil dari pohonnya. Metode ini dirasa tidak sederhana dan membuat pohon kehilangan daunnya. Oleh karena itu, metode non-destruktif lebih banyak dikembangkan, peneliti tidak usah memetik sampel daun dan kemudian menghitung luasnya dengan area meter atau metode cetak biru, tetapi dapat menghitung pada tanamannya tanpa merusak tanaman itu sendiri.


(13)

Pendugaan nilai LAI telah banyak dipelajari menggunakan model remote sensing dalam pendekatan statistik atau model secara fisika dasar (reflektansi kanopi) (Darvishzadeh 2008). Metode optikal (cahaya) merupakan metode indirect non-contact pendugaan LAI yang berdasarkan pada pengukuran transmisi cahaya yang menembus kanopi, dan lebih umum digunakan saat ini. Pengukuran cahaya (optikal) diperlukan untuk menghitung LAI mengharuskan langit tanpa awan, dan secara umum membutuhkan penggabungan koefisien ketiadaan cahaya yang kedua sisi dan spesifik spesies sudut daun, bentuk daun, gumpalan daun, dan sebagainya (Vose et al. 1995). Tracing Radiation and Architecture of Canopies (TRAC) dan hemispherical photografi mempelajari distribusi ukuran kesenjangan (gap size distribution), yang menurut hasil penelitian alat ini sangat efisien dan dapat dipercaya untuk mengukur LAI di lingkungan hutan (Welles 1990). Kemudian dikembangkan pula pendugaan LAI menggunakan metode Digital Hemispherical Photography (DHP), dengan menggunakan piksel pada tampilan sudut puncak (zenith angle), distribusi ukuran kesenjangan dapat diduga dari DHP. Hemispherical canopy photography merupakan teknik untuk mempelajari kanopi tumbuhan melalui foto yang diperoleh menggunakan kamera berlensa fisheye dari bawah tajuk (orientasi puncak sudut) atau tempat dibawah tutupan tajuk, dan dapat digunakan untuk berbagai tipe tajuk (Rich 1990).


(14)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai kemampuan hutan kota dalam mereduksi kebisingan lalu lintas dilakukan selama kurang lebih satu bulan yaitu pada bulan Agustus hingga September 2011. Lokasi penelitan yaitu kawasan permukiman Kota Mandiri Bumi Serpong Damai (BSD City), Kota Tangerang Selatan. Terdapat tujuh lokasi pengambilan data yang mewakili empat dari enam kombinasi bentuk dan struktur hutan kota berdasarkan, yang ditentukan secara purpossive berdasarkan ketersediaan hutan kota di kawasan tersebut dan letaknya dengan sumber kebisingan (jalan).

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam pengambilan data di lapangan antara lain:

1. Sound level meter (2 unit), untuk mengukur tingkat kebisingan 2. Kamera DSLR dengan lensa fish-eye untuk memotret tajuk 3. Baterai

4. Jam tangan

5. Termometer air raksa, untuk mengukur suhu udara

6. Termometer bola basah dan termometer bola kering, untuk mengukur kelembaban udara

7. Air murni atau Aquades

8. Pita kertas, untuk menentukan arah angin

9. Meteran, untuk mengukur jarak dari sumber kebisingan dan keliling pohon 10.Kompas, untuk mengukur proyeksi tajuk

11.Alat pengukur tinggi pohon 12.Peta kawasan

13.Kamera digital sebagai alat dokumentasi 14.Tally sheet dan alat tulis


(15)

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Parameter vegetasi

Data parameter vegetasi yang meliputi karakteristik tanaman dan diagram profil pohon di hutan kota diperoleh dengan pengamatan visual dan analisis vegetasi. Pengambilan data ini dilakukan dengan penempatan petak contoh (20 m x 20 m) di masing-masing lokasi sampel. Data yang diambil dalam pengukuran ini yaitu jenis pohon, jumlah strata, kerapatan tanaman, jarak tanam dari bahu jalan, tinggi tanaman. Pengukuran Leaf Area Index (LAI) dengan teknik Digital Hemispherical Photography (DHP) dilakukan untuk menentukan rentang nilai kerindangan pada beberapa jenis hutan kota yang diteliti.

3.3.2 Pengukuran tingkat kebisingan

Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan dengan menggunakan alat Sound Level Meter di beberapa lokasi berdasarkan kombinasi bentuk dan struktur hutan kota di BSD City. Pengelompokan jenis (kombinasi bentuk dan struktur) hutan kota tersebut secara visual. Keenam kombinasi tersebut sebagai berikut:

1. Hutan kota bentuk mengelompok strata dua (kode: G2) 2. Hutan kota bentuk mengelompok strata banyak (GB) 3. Hutan kota bentuk menyebar strata dua (S2)

4. Hutan kota bentuk menyebar strata banyak (SB) 5. Hutan kota bentuk jalur hijau strata dua (J2) 6. Hutan kota bentuk jalur hijau strata banyak (JB)

Gambar 3 Desain penelitian pada pengukuran tingkat kebisingan. S


(16)

Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan di dua titik pengamatan pada setiap lokasi pengukuran, yaitu di titik A (area depan vegetasi atau sumber kebisingan) dan di titik B (di belakang vegetasi, 10 meter diukur dari titik A), sebanyak 5 (lima) ulangan. Jarak dari titik A ke titik B sama untuk setiap lokasi sampling, agar data dapat dibandingkan (Gambar 3). Dua titik (A dan B) tersebut diukur tingkat kebisingannya secara bersamaan. Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan selama 30 detik setiap ulangan (selang waktu 10 menit per ulangan), pada waktu lalu lintas mulai padat atau sekitar pukul 08.00 pagi hari kerja (Senin s/d Kamis).

3.3.3. Suhu udara, kelembaban udara dan arah angin

Pengukuran suhu udara dan kelembaban udara dilakukan secara bersamaan dengan pengukuran tingkat kebisingan pada masing-masing lokasi. Pengukuran suhu udara menggunakan termometer air raksa dan pengukuran kelembaban udara menggunakan termometer bola kering dan termometer bola basah. Sedangkan penentuan arah angin dengan bantuan alat sederhana berupa pita kertas ringan yang diikatkan pada tongkat kecil, untuk mengetahui arah angin berhembus pada saat pengukuran tingkat kebisingan berlangsung.

3.4 Analisis Data

Data Leaf Area Index (LAI) dikerjakan dengan bantuan Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software. Gambar tutupan tajuk yang diambil menggunakan kamera berlensa fish-eye dianalisa (dikalkulasi) menggunakan Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software menghasilkan beberapa nilai analisis kanopi yang salah satunya adalah nilai LAI. Kemudian dari nilai LAI tersebut dibuat range LAI untuk menentukan kelas kerindangan vegetasi hutan kota yang diteliti.

Data tingkat kebisingan yang diperoleh digunakan untuk menentukan nilai reduksi kebisingan yang dihitung dengan menggunakan rumus (Widagdo 1998):

NRV = KDV– KBV ……….. (3)

Keterangan: NRV = nilai reduksi kebisingan pada area bervegetasi (dB) KDV = tingkat kebisingan di titik pengamatan area depan vegetasi (dB)

KBV = tingkat kebisingan di titik pengamatan area belakang vegetasi (dB)


(17)

Analisis struktur vegetasi terdiri dari:

Kerapatan jenis tanaman =

•100% Kerapatan relatif =

Masing-masing data hasil tersebut kemudian dianalisis hubungannya untuk mengetahui bentuk dan struktur hutan kota yang paling efektif mereduksi kebisingan. Analisis secara deskriftif kualitatif, serta data lain seperti data faktor lingkungan seperti suhu udara (T), kelembaban udara (RH) dan karakteristik jenis tumbuhan tertentu, digunakan sebagai data penunjang.

Jumlah individu tanaman Luas petak pontoh Kerapatan jenis


(18)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Geografis dan Administratif

Kawasan permukiman skala besar Bumi Serpong Damai (BSD City) secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Serpong Utara, Kota Tangerang Selatan, yang meliputi Desa Rawa Buntu, Rawa Mekar Jaya, Lengkong Gudang Barat, Lengkong Gudang Timur, Lengkong Wetan, Cilenggang, Setu, Ciater, Serpong dan Buaran. BSD City terletak ± 25 km dari Jakarta dan ± 17 km dari arah Kota Tangerang.

4.2 Iklim, Topografi, Tanah dan Hidrologi

Kondisi iklim di lokasi penelitian termasuk ke dalam iklim Kota Tangerang Selatan secara umum. Suhu udara rata-rata 26,5 oC dengan suhu udara maksimum mencapai 33,8 oC dan suhu udara minimum 21,8 oC. Curah hujan 2000-2500 mm/tahun dengan kelembaban udara rata-rata 76% (Wibisono 2008).

Kondisi tapak BSD City pada dasarnya relatif datar dengan kemiringan antara 0-5% (Wibisono 2008). Kondisi tersebut merupakan keuntungan bagi pengembang karena memudahkan proses persiapan lahan. Pelaksanaan proyek pembangunannya juga banyak melakukan kegiatan pengurangan (cut) dan penambahan (fill) tanah saat pembentukan kontur. Hal ini menyebabkan topografi tanahnya berubah. Untuk menghindari ancaman erosi dan longsor akibat kegiatan cut and fill tersebut, pihak BSD City melakukan upaya berupa peningkatan kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau seperti adanya taman kota.

Jenis tanah di kawasan BSD City adalah latosol (coklat kemerah-merahan dan keras) dan tanah aluvial (coklat keabu-abuan). Jenis tanah yang dominan di BSD adalah jenis tanah latosol dengan pH tanah berkisar antara 6-7 (netral), sehingga cukup subur untuk pertumbuhan tanaman. Tanah latosol memiliki dasar yang lebih dalam dan struktur tanah yang lebih baik. Jadi, pada jenis tanah latosol hampir semua kontruksi dapat dibangun, dengan tetap memperhatikan aspek lain (topografi dan drainase). Sedangkan pada tanah aluvial tidak direkomendasikan adanya kontruksi bangunan (PT. BSD 2007 diacu dalam Wibisono 2008).


(19)

Ketersediaan air di BSD City awalnya berasal dari sumur-sumur dangkal dengan kualitas yang aman untuk digunakan sebagai air minum. Terdapat tiga jenis sumber air di BSD City, yaitu sungai, PDAM dan air tanah dalam (deep well). PDAM digunakan sebagai penyedia air utama bagi masyarakat BSD City. Sumber air PDAM ditampung di lima reservoir penampung air bersih untuk kemudian disalurkan langsung ke area pelayanan masing-masing tanpa proses pengolahan. Sedangkan air yang berasal dari sungai Angke dan sungai Cisadane ditampung di dua reservoir terlebih dahulu untuk diolah di Pusat Pengolahan air BSD City sebelum disalurkan ke area pelayanan, agar kualitas air layak digunakan.

4.3 Tata Guna Lahan, Utilitas dan Fasilitas

Proyek BSD City memiliki tiga tahap pembangunan dengan luas total lahan yang direncanakan sebesar 6.000 ha. Tahap awal telah dibangun sekitar 1.300 ha. Tahap kedua sedang dikembangkan area seluas 2.400 ha dan sisanya sekitar 2.300 ha merupakan rencana tahap pembangunan berikutnya. BSD City merupakan kawasan permukiman yang terencana dan terkelola dengan baik. Terdapat 28 cluster perumahan/housing complex, terdiri dari tipe mewah, tipe menengah dan tipe sederhana. Kawasan permukiman tipe mewah lokasinya berdekatan dengan jaringan ruang terbuka yang merupakan tempat berbagai fasilitas rekreasi dengan jaminan keamanan maksimal. Kawasan permukiman tipe menengah terletak diantara daerah hunian mewah dan hunian sederhana, sehingga dapat berfungsi sebagai penyangga dan perantara. Kawasan permukiman tipe sederhana memiliki topografi yang relatif datar agar secara efisien tercapai tingkat kepadatan yang disyaratkan.

Utilitas yang ada di BSD City telah tersusun dan terencana dengan baik. Jaringan listrik, air bersih dan jaringan telepon tersusun rapi di bawah permukaan tanah. Pembuangan air menggunakan sistem tersier, sekunder dan primer. BSD City juga telah menyediakan berbagai fasilitas bagi penghuninya baik fasilitas umum maupun fasilitas sosial, antara lain sarana transportasi berupa halte bus, jalan tol dan kereta api eksekutif. Juga terdapat fasilitas perawatan kesehatan (rumah sakit), sarana pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi dan berbagai lembaga pendidikan nasional dan internasional terbaik, sarana rekreasi


(20)

seperti wahana rekreasi air Ocean Park Water Adventure dan dua buah taman kota. Selain itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagai pusat bisnis masyarakat, terdapat supermarket seperti BSD plaza dan International Trade Center (ITC), berbagai kantor pelayanan masyarakat seperti kantor polisi, kantor pajak, kantor PLN, kantor pos, pemadam kebakaran, kandatel Telkom, dan sebagainya.

4.4 Kondisi Hutan Kota dan Jalur Hijau

Sebagai suatu kawasan hunian yang mengedepankan nilai kenyamanan dan keasrian, BSD City menyediakan ruang terbuka hijau untuk melengkapi fungsi lingkungan bagi kenyamanan penghuninya. Karena merupakan kawasan hunian dalam pengembangan menuju kota baru, BSD City mengembangkan ruang terbuka hijaunya pada berbagai bentuk hutan kota tipe pemukiman. Hutan kota yang terdapat di kawasan BSD City terdiri dari bentuk mengelompok atau bergerombol seperti Taman Kota 1 dan Taman Kota 2, bentuk menyebar seperti taman lingkungan di dalam cluster atau pekarangan rumah dan kantor, dan bentuk jalur hijau di sepanjang jalan dan daerah pinggiran sungai. Jalur hijau yang terdapat di BSD City terdiri dari jalur hijau jalan dan jalur hijau bantaran sungai. Jalur hijau jalan yang terdapat di sepanjang jalan utama dan jalan-jalan arteri menuju cluster hunian memiliki fungsi utama sebagai peneduh dan estetika. Hampir semua jalur hijau jalan yang ada hanya terdiri dari satu baris tanaman utama dengan lebar jalur berbeda-beda menyesuaikan dengan kondisi jalan dan peruntukan area di belakang jalur. Ketiga bentuk hutan kota yang terdapat di kawasan BSD City hampir semuanya dibangun dekat jalan raya. Sehingga hubungan antara aktivitas lalulintas dengan keberadaan hutan kota serta perannya dalam menanggulangi masalah lingkungan di kota tersebut akan dapat diketahui melalui penelitian ini.


(21)

4.5 Ketersediaan Jenis Hutan Kota Lokasi Sampel

Penentuan lokasi sampel untuk mengukur tingkat kebisingan sebelumnya ditentukan berdasarkan survey ketersedian hutan kota dan pemotretan tajuk pohon. Tujuan pemotretan tajuk pohon adalah untuk mengetahui nilai Leaf Area Index (LAI) menggunakan bantuan Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software, yang kemudian akan menentukan kelas kerindangan lokasi sampel. Dari ketersediaan hutan kota di lokasi penelitian, diperoleh 7 (tujuh) lokasi pengambilan sampel. Ketujuh lokasi sampel tersebut merupakan jenis hutan kota yang dapat mewakili empat dari enam kombinasi bentuk dan struktur hutan kota yang ingin diteliti. Berikut penjelasan tentang masing-masing lokasi sampel: 1. Tegakan Acacia mangium, lokasi di dalam area komersil BSD City dekat

dengan pintu gerbang Damai Indah Golf. Bentuk dan struktur hutan kota menyebar berstrata dua (S2) dengan tanaman utama Acacia mangium dengan tinggi 14 hingga 19 m dan diameter 21 hingga 50 cm, serta tanaman pendukung seperti rumput. Jarak vegetasi (depan) dengan sumber kebisingan (Jalan Raya Pahlawan Seribu) yaitu sekitar 20 m.

2. Taman Kota 1 BSD, yang selanjutnya akan disebut sebagai Hutan Kota 1. Lokasi di Jalan Letnan Sutopo. Bentuk dan struktur hutan kota mengelompok berstrata banyak (GB) dengan komposisi tumbuhan berupa pohon (kapuk, bayur, mahoni, palm) dan semak (hanjuang). Tinggi pohon berkisar antara 6 hingga 17 m dan diameter antara 6 hingga 51 cm. Jarak vegetasi (depan) dengan sumber kebisingan (jalan raya) sekitar 1 m.

3. Jalur Hijau Trembesi. Jenis hutan kota ini berbentuk jalur sepanjang jalan di depan cluster Greencove, memiliki struktur strata banyak (JB), terdiri dari komposisi tanaman Trembesi dengan tinggi 8 hingga 9 m dan diameter 23 hingga 28 cm, semak teh-tehan (tinggi total (Tt) = 0,5 m) dan rumput. Jarak vegetasi (depan) dengan sumber kebisingan sekitar 1 m.

4. Jalur Hijau Pinus, lokasi di sepanjang jalan sektor I.3 dekat kolam renang sektor I.3, di depan pasar kue subuh BSD. Bentuk dan struktur hutan kota jenis ini yaitu berbentuk jalur empat lapis dan berstrata banyak (JB). Lapis pertama yaitu tanaman palm, lapis kedua semak setinggi 1 m, lapisan ketiga


(22)

dan keempat adalah tanaman pinus (Tt = 8 hingga 11 m, dan diameter 17 hingga 28 cm). Jarak vegetasi (depan) dengan jalan yaitu sekitar 0,5 m.

5. Taman Kota 2 BSD, yang selanjutnya akan disebut sebagai Hutan Kota 2. Lokasi di Jalan Tekno Utama, memiliki bentuk dan struktur hutan kota mengelompok berstrata banyak (GB). Komposisi tanaman berupa pohon (kecrutan, ketapang, pinus, sawo duren), semak dan rumput. Tinggi pohon berkisar 2 hingga 14 m dan diameter 4 hingga 35 cm. Jarak vegetasi (depan) dengan sumber kebisingan (Jalan Tekno Utama) sekitar 10 m.

6. Tegakan Pinus, lokasi di depan Eka Hospital BSD di Jalan Raya Pahlawan Seribu. Jenis hutan kota ini berbentuk menyebar dengan 2 strata (S2). Komposisi tanaman terdiri dari pinus (Tt = 5 hingga 8 m, dan D = 16 hingga 19 cm) dan rumput. Jarak vegetasi (depan) dengan jalan raya yaitu sekitar 5 m. 7. Jalur Hijau Mahoni, lokasi di sepanjang jalan sektor I.2 dekat dengan lampu lalu lintas. Jenis hutan kota ini berbentuk jalur berstrata 2 (J2). Komposisi vegetasi utama adalah mahoni daun lebar (Swietenia macrophylla) dengan tinggi 16 hingga 19 m dan diameter 27 hingga 32 cm. Jarak vegetasi (depan) dengan jalan sekitar 1 m.


(23)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Leaf Index Area (LAI) Lokasi Sampel

Kerapatan daun atau kerindangan, biasa diukur dengan nilai indeks luas daun atau Leaf Area Index (LAI) (Chen & Black 1992 diacu dalam Leblanc et al. 2005). Berdasarkan hal tersebut, kriteria kelas kerindangan yang dimiliki masing-masing jenis hutan kota dapat dilihat dari besar kecilnya nilai LAI (Tabel 2). Analisa menggunakan metode Digital Hemispherical Photography (DHP) dengan bantuan Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software, merupakan analisa gambar/foto tajuk untuk mengetahui nilai dari beberapa parameter struktur tajuk, kaitannya dengan intersepsi cahaya matahari yang terekam sensor digital pada gambar dikalkulasi dalam komponen warna RGB (Red; Green; Blue), radian, dan piksel pada proyeksi sudut puncak (zenith angle) (Leblanc et al. 2005). Salah satu parameter struktur tajuk, yaitu nilai LAI inilah yang kemudian dibagi ke dalam kelas kerindangan.

Tabel 2 Nilai LAI dan kriteria kerindangan hutan kota secara DHP

Range LAI LAI Jenis Hutan Kota Kriteria 0,89 - 1,69 0,89 Jalur Hijau Trembesi

Tidak Rindang 1,25 Jalur Hijau Mahoni

1,44 Jalur Hijau Pinus 1,70 - 2,23 1,70 Tegakan Akasia

Rindang 1,75 Hutan Kota 1

1,85 Tegakan Pinus 2,23 Hutan Kota 2

Penentuan kriteria kelas kerindangan LAI sangat relatif. Berikut referensi nilai minimum untuk LAI (LAImin) menurut Breuer et al. (2003), yang menyebutkan LAImin untuk spesies tumbuhan padang rumput atau semak berkisar antara 0,3 sampai 2,0 dan LAImin spesies tumbuhan musim dingin dengan banyak cabang seperti Populus tremoluides mulai dari 1,1. Sedangkan untuk tumbuhan konifer memiliki LAImin rata-rata 0,5 dan maksimum LAI tidak lebih dari 2,0 (Breuer et al. 2003). Oleh karena itu, berdasarkan pengamatan


(24)

visual dan nilai LAI yang diperoleh pada penelitian ini, kelas kerindangan hutan kota dibagi menjadi; tidak rindang (range LAI 0,1 – < 1,7), rindang (range LAI 1,7 – < 2,3), dan sangat rindang (range LAI > 2,3).

Hasil kalkulasi menggunakan Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software menunjukkan nilai LAI terendah yaitu pada tutupan tajuk vegetasi jenis hutan kota Jalur Hijau Trembesi (JB). Sementara yang tertinggi yaitu jenis Hutan Kota 2 (GB). Jalur Hijau Trembesi merupakan jenis hutan kota yang berbentuk jalur dengan komposisi pohon Trembesi sebagai tanaman utamanya. Tanaman trembesi memiliki bentuk tajuk lebar menyerupai payung dan dimensi daun seperti kebanyakan famili Fabaceae, yaitu daun majemuk berukuran kecil. Nilai LAI yang kecil pada Jalur Hijau Trembesi dikarenakan lokasi sampel untuk jenis hutan kota Jalur Hijau Trembesi berada di wilayah BSD City yang masih dalam tahap pengembangan. Umur tanaman yang ditanam di dalam wilayah bagian pengembangan, termasuk tanaman trembesi sebagai jalur hijaunya, masih muda berkisar 6 – 8 tahun. Tanaman trembesi pada usia tersebut cenderung memiliki kerapatan tajuk yang masih rendah (Gambar 4).

(a) (b)

Gambar 4 Foto tutupan tajuk menggunakan kamera berlensa fish-eye. (a) jalur hijau trembesi (b) hutan kota 2.

Hutan Kota 2, atau lebih dikenal oleh penduduk setempat dengan Taman Kota 2 BSD City, merupakan jenis hutan kota yang berbentuk mengelompok atau bergerombol dengan banyak strata. Jenis tanaman yang ditanam pun beragam dan dari berbagai tingkat pertumbuhan, seperti rumput sebagai tanaman ground cover,


(25)

semak, tingkat anakan, pohon dan liana. Tanaman di Hutan Kota 2 ditanam sesuai desain lanskap taman, dengan pohon-pohon ditanam acak dan mengumpul, serta semak yang ditanam berjajar mengikuti jalan setapak. Kondisi vegetasi yang dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai kondisi hutan alam, memungkinkan LAI pada lokasi Hutan Kota 2 memiliki nilai yang tinggi pula (Gambar 4).

Analisis selanjutnya mengenai kemampuan reduksi kebisingan akan dikaitkan dengan LAI hasil perhitungan Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software. Hal tersebut didasarkan pada penggunaan metode Digital Hemispherical Photograph (DHP) dan bantuan Hemiview software merupakan metode pendugaan LAI yang paling banyak dipakai saat ini karena kemudahan dan ketelitian prosesnya (Hale & Edwards 2002). Selain itu, meski hasil kalkulasi pendugaan LAI menggunakan metode DHP kadang underestimate dibanding dengan metode pendugaan destruktif, metode DHP lebih dipilih karena dapat menduga LAI pada berbagai jenis vegetasi termasuk kelapa sawit (Awal et al. 2010).

5.2 Kemampuan Reduksi Kebisingan oleh Hutan Kota

Pengukuran kebisingan dilakukan di tujuh lokasi sampel sesuai dengan lokasi pengukuran parameter vegetasi, termasuk LAI. Ketujuh lokasi tersebut merupakan 4 dari 6 kombinasi bentuk dan struktur hutan kota seperti yang dijelaskan dalam bab kondisi umum lokasi penelitian, yaitu hutan kota S2, GB, J2 dan JB. Sumber kebisingan utama di lokasi penelitian adalah aktivitas lalu lintas kendaraan bermotor. Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan di masing-masing lokasi sampel dengan dua titik diukur bersamaan (titik A dan titik B) yang diantara keduanya berjarak 10 meter. Besarnya tingkat kebisingan berbeda satu sama lain antar jenis hutan kota (lokasi sampel) yang dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.


(26)

Tabel 3 Tingkat kebisingan di lokasi sampel

No. Jenis hutan kota (Lokasi sampel) r

Rataan tingkat kebisingan (dB) (m) Titik A Titik B 1 Tegakan Acacia mangium (Area komersial Damai

Indah Golf)

20

68,30 59,64 2 Hutan Kota 1 (Taman Kota 1 Jl. Letnan Sutopo) 1 73,74 63,76 3 Jalur Hijau Trembesi (depan Greencove) 0,5 72,98 64,58 4 Jalur Hijau Pinus (Kolam Renang Sektor I.3) 0,5 71,88 61,34 5 Hutan Kota 2 (Taman Kota 2 Jl. Tekno Utama) 10 69,26 59,68 6 Tegakan Pinus (depan Eka Hospital / Halte BSD

Feeder Busway)

10

74,48 64,54 7 Jalur Hijau Mahoni (Sektor I.2) 1 71,64 63,04

Keterangan: r = jarak dari sumber kebisingan ke titik A

Tingkat kebisingan pada masing-masing lokasi menunjukkan nilai yang cukup besar. Tingkat kebisingan pada area depan vegetasi atau dekat sumber kebisingan selalu lebih besar dari tingkat kebisingan pada area belakang vegetasi. Perbedaan tingkat kebisingan di titik A yang cukup signifikan diantara ketujuh lokasi sampel, yaitu pada Tegakan Acacia mangium dan Hutan Kota 2 yang nilainya kurang dari 70 dB. Hal tersebut dikarenakan penempatan titik A kedua lokasi tersebut berbeda dengan kelima lokasi lainnya. Titik A pada lokasi Tegakan mangium berjarak sekitar 20 meter dari sumber kebisingan (jalan raya), sedangkan di Hutan Kota 2 jarak dari sumber kebisingan ke daerah depan vegetasi yaitu sekitar 10 meter. Perbedaan jarak ini akan dibahas pada sub-bab pengaruh faktor lingkungan terhadap reduksi kebisingan. Rata-rata tingkat kebisingan di setiap lokasi menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari batas yang diperbolehkan menurut baku mutu tingkat kebisingan untuk wilayah permukiman. Oleh karena itu, pentingnya keberadaan vegetasi hutan kota dalam pengendalian kebisingan di BSD City.

Nilai reduksi kebisingan merupakan selisih dari tingkat kebisingan pada area depan vegetasi (titik A; dekat sumber kebisingan) dengan tingkat kebisingan pada area yang terhalang oleh vegetasi (titik B). Reduksi kebisingan tertinggi dimiliki oleh jenis hutan kota Jalur Hijau Pinus yang merupakan hutan kota bentuk jalur hijau empat lapis dan berstrata banyak (JB). Sementara itu, jenis hutan kota yang memiliki nilai reduksi terendah diantara ketujuh lokasi sampel tersebut adalah Jalur Hijau Trembesi, hutan kota berbentuk jalur berstrata banyak. Nilai reduksi kebisingan pada ketujuh lokasi hutan kota disajikan pada Gambar 5.


(27)

Gambar 5 Kemampuan reduksi kebisingan oleh berbagai jenis hutan kota. Hutan kota dengan bentuk dan struktur hutan kota yang berbeda memiliki kemampuan mereduksi kebisingan yang berbeda pula. Hal tersebut menunjukkan adanya faktor yang berasal dari vegetasi itu sendiri maupun lingkungan sekitar yang dapat mempengaruhi reduksi kebisingan. Komposisi jenis tanaman, kerapatan dan LAI merupakan faktor dari vegetasi, sedangkan suhu udara, kelembaban udara dan arah angin merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi reduksi kebisingan oleh hutan kota.

5.3 Hubungan Reduksi Kebisingan dengan Bentuk dan Struktur Vegetasi Hutan Kota

5.3.1 Pengaruh parameter vegetasi

Parameter vegetasi yang meliputi indeks luas daun (Leaf Area Index/LAI), jumlah strata dan kerapatan tanaman diduga dapat mempengaruhi besarnya nilai reduksi kebisingan. Seperti yang dijelaskan oleh Irwan (2008), bahwa besarnya tingkat kebisingan dapat dikontrol oleh (1) vegetasi tergantung pada spesies tanaman, tinggi tanaman, kerapatan, dan jarak tumbuh, (2) faktor iklim yaitu angin, suhu, dan kelembaban udara, (3) properti dari suara yaitu tipe, asal, tingkat desibel, dan intensitas suara.

8,66 9,98 8,40 10,54 9,58 9,94 8,60 0 2 4 6 8 10 12 Tegakan Akasia Hutan Kota 1 Jalur Trembesi

Jalur Pinus Hutan Kota 2 Tegakan Pinus Jalur Mahoni Nil ai Re d u k si K eb isin g an (d B)

Jenis Hutan Kota/Lokasi Sampel Reduksi Kebisingan oleh Hutan Kota


(28)

Tabel 4 Kemampuan reduksi kebisingan dan parameter vegetasi No. Jenis Hutan Kota NRV (dB) LAI

K per plot

(individu) Keterangan 1 Tegakan A. mangium 8,66 1,70 15 Menyebar – strata 2 2 Hutan Kota 1 9,98 1,75 32 Gerombol – strata banyak 3 Jalur hijau Trembesi 8,40 0,89 12 Jalur – strata banyak 4 Jalur hijau Pinus 10,54 1,44 20 Jalur – strata banyak 5 Hutan Kota 2 9,58 2,23 29 Gerombol – strata banyak 6 Tegakan Pinus 9,94 1,85 22 Menyebar – strata 2 7 Jalur hijau Mahoni 8,60 1,25 4 Jalur – strata 2

Keterangan: NRV = nilai reduksi kebisingan (dB)

LAI = Leaf area index

K = Kerapatan tanaman (individu/plot)

Kerapatan tanaman dalam plot sampel (0,04 Ha) digunakan untuk melihat hubungannya dengan reduksi kebisingan, meski demikian nilai kerapatan tidak selalu berbanding lurus dengan nilai reduksi kebisingan (Tabel 4). Karakteristik tanaman yang berbeda-beda dalam suatu plot (misal: Hutan Kota 1) akan menghasilkan nilai reduksi yang berbeda dengan karakteristik tanaman tegakan sejenis (misal: Tegakan Akasia). Reduksi kebisingan tertinggi dimiliki oleh jenis hutan kota Jalur Hijau Pinus (JB). Jalur hijau pinus ini terdiri dari empat lapis tanaman yang ditanam cukup rapat, dengan pinus (konifer) sebagai vegetasi utama (2 lapis) semak dan palem sebagai vegetasi pendukung. Hasil penelitian Kim et al. (1989) yang diacu dalam Widagdo (1998), menunjukkan bahwa tanaman Thuja orientalis (konifer) mereduksi kebisingan lebih efektif daripada tanaman Eunymus japonicus (berdaun lebar). Nilai kerapatan jenis tanaman pada setiap lokasi sampel dapat dilihat pada Lampiran 3.

Nilai LAI yang dapat menggambarkan kerindangan (kerapatan daun) suatu jenis tanaman merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi besar-kecilnya nilai reduksi kebisingan. Dari Tabel 4 dapat dilihat hubungan antara kemampuan reduksi kebisingan pada jenis hutan kota Jalur Hijau Trembesi dengan nilai LAI-nya. Nilai LAI yang digunakan merupakan hasil kalkulasi Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software. Dapat dilihat bahwa Jalur Hijau

Trembesi yang termasuk dalam kelas “tidak rindang” juga memiliki kemampuan

reduksi yang rendah. Namun, kemampuan tertinggi yaitu pada hutan kota jenis Jalur Hijau Pinus tidak diimbangi dengan besarnya nilai LAI. Nilai LAI tertinggi justru pada Hutan Kota 2, bentuk hutan kota yang bergerombol dan memiliki


(29)

strata yang banyak mendukung besarnya nilai LAI tersebut. Hal tersebut memperlihatkan bahwa nilai LAI tidak selalu berbanding lurus dengan besarnya reduksi kebisingan.

Kemampuan reduksi kebisingan tertinggi dimiliki oleh jenis hutan kota Jalur Hijau Pinus (lokasi sektor I.3), merupakan hutan kota berbentuk jalur hijau dan berstrata banyak. Jalur hijau pinus ini terdiri dari empat lapis/baris tanaman yang ditanam cukup rapat. Melihat hasil analisis parameter vegetasi pada hutan kota tersebut, dapat diketahui bahwa faktor yang paling mendukung reduksi kebisingan yaitu kerapatan pada daerah dekat sumber kebisingan. Hal ini sesuai dengan pendapat Cook dan Haverbeke (1971) diacu dalam Irwan (2008) yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan hasil yang optimum, jajaran semak dan pohon sebaiknya ditanam dekat pusat kebisingan. Artinya, kerapatan tanaman yang tinggi akan sangat berpengaruh pada reduksi kebisingan jika ditanam dekat dengan sumber kebisingan, seperti pada jalur hijau pinus.

Fang dan Ling (2003) yang mengutip penjelasan Cook dan Haverbeke (1974) menyebutkan bahwa kerapatan, tinggi, panjang dan lebar (ketebalan) jalur/sabuk hijau merupakan faktor paling efektif dalam mereduksi kebisingan dibandingkan dengan ukuran daun dan karakteristik percabangan. Kerapatan, tinggi, panjang dan lebar sabuk hijau mendifusi kebisingan, sedangkan ukuran daun dan karakteristik percabangan mengabsorpsi resonansi (Aylor 1972 diacu dalam Fang & Ling 2003). Kerapatan tanaman tertinggi dimiliki oleh Hutan Kota 1, merupakan jenis hutan kota dengan bentuk mengelompok atau gerombol dan berstrata banyak. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor kerapatan tanaman berpengaruh terhadap reduksi kebisingan.

Kemampuan hutan kota dalam mereduksi kebisingan yang bersumber dari aktivitas lalu lintas, akan lebih berpengaruh pada jenis hutan kota yang memiliki jarak dekat dengan sumber kebisingan tersebut, seperti halnya jalur hijau. Berdasarkan hasil penelitian ini, jalur hijau sebagai barrier kebisingan akan efektif bila memiliki kerapatan yang tinggi dan memiliki banyak strata. Sesuai dengan yang dikemukakan Irwan (1994) bahwa kerapatan tanaman lebih penting daripada spesies tanaman dalam mereduksi kebisingan. Keberadaan semak yang merupakan bagian dari struktur hutan kota juga sangat penting dalam membantu


(30)

vegetasi utama hutan kota mereduksi kebisingan. Meski hasil yang diperoleh berbeda dengan hasil penelitian Irwan (1994) yang menyatakan bahwa hutan kota bentuk mengelompok strata banyak lebih efektif mereduksi kebisingan, Namun ada pernyataan yang mendukung hasil penelitian ini, yaitu tentang besarnya pengaruh strata. Hutan kota berstrata banyak lebih efektif menurunkan kebisingan dibandingkan dengan hutan kota berstrata dua (Irwan 1994).

Bentuk hutan kota yang memiliki reduksi kebisingan tertinggi pada penelitian ini yaitu bentuk jalur hijau, diimbangi dengan struktur hutan kota berstrata banyak. Namun tidak selalu dapat dikatakan lebih baik mereduksi kebisingan dibandingkan lokasi lainnya. Hal tersebut dikarenakan setiap jenis hutan kota yang diteliti memiliki karakteristik berbeda satu sama lain. Hubungan antara LAI dan kerapatan tanaman dengan nilai reduksi kebisingan yang tidak selalu berbanding lurus juga mengindikasikan bahwa adanya faktor lain di luar pengukuran yang lebih mempengaruhi reduksi kebisingan. Faktor lain yang diduga mempengaruhi reduksi kebisingan yaitu umur tanaman. Misalnya, kerapatan tanaman yang tinggi namun umur tanaman yang masih muda, maka LAI vegetasi rendah. Tanaman yang umurnya cukup tua (tinggi dan diameter besar) memiliki tajuk yang juga cukup lebar dan berdaun lebat (terkecuali tanaman sakit/rusak) sehingga memungkinkan meredam kesisingan lebih baik.

Meilani (2002) mengemukakan bahwa kemampuan suatu jenis tanaman dalam mereduksi kebisingan juga dipengaruhi oleh tinggi, ketebalan, bentuk kanopi, dan model arsitekturnya. Tegakan pinus yang memiliki tinggi, ketebalan, bentuk tajuk dan model arsitektur seragam pada Jalur Hijau Pinus diduga mempengaruhi besarnya reduksi kebisingan dibanding tegakan tidak seragam pada Hutan Kota 1 dan 2. Tinggi pohon dan ketebalan jalur hijau memiliki hubungan positif dengan redaman relatif (Fang & Ling 2005). Tinggi tanaman rata-rata pada tegakan utama Jalur Hijau Pinus yaitu sekitar 10 meter dengan tinggi bebas cabang sekitar 2 meter memungkinkan mereduksi kebisingan lebih tinggi pada tegakan seragam ini, terlebih dengan adanya semak yang ditanam rapat sejajar dengan tegakan utama. Kepadatan, tinggi tanaman, panjang dan lebar jalur hijau merupakan faktor yang lebih efektif dalam mereduksi kebisingan dibandingkan ukuran daun dan karakteristik percabangan (Cook & Haverbeke


(31)

1974 diacu dalam Fang & Ling 2003). Menurut Grey dan Deneke (1986), secara umum lebar jalur hijau dengan pohon yang tinggi akan lebih efektif dibandingkan dengan jenis tanaman dalam mereduksi tingkat kebisingan. Keefektifan barrrier kebisingan semakin meningkat dengan meningkatnya ketebalan, tinggi dan kerapatan tanaman (Grey & Deneke 1986).

Tinggi tanaman pada Hutan Kota 1 yang cukup tinggi memungkinkan reduksi pada perambatan suara dengan tinggi daerah bayang-bayang bising yang juga tinggi, tetapi tidak dapat mereduksi suara yang lewat pada daerah bayang-bayang bising yang rendah karena tidak terhalang oleh semak yang tidak ditanam rapat dan tinggi bebas cabang yang cukup tinggi pula. Suara yang merambat melauli udara dan melewati celah antara batang-batang pohon akan terus lewat tanpa redaman dari ranting dan daun sampai kekuatan suara melemah karena faktor jarak. Begitu pula halnya dengan tegakan pada Hutan Kota 2 dimana beberapa tanaman yang cukup tinggi tersebar tidak merata dengan tanaman muda (tinggi cukup rendah) dan semak yang juga tidak ditanam rapat dan sejajar dengan jalan raya (sumber kebisingan).

5.3.2 Pengaruh jarak pegukuran dan faktor lingkungan

Lokasi sampel hutan kota yang diteliti memiliki jarak dari sumber kebisingan dengan daerah depan vegetasi yang berbeda-beda. Hutan kota bentuk jalur hijau memiliki jarak terdekat antara daerah depan vegetasi dengan sumber kebisingan dibandingkan hutan kota bentuk menyebar dan mengelompok. Jarak antara sumber kebisingan dengan daerah depan vegetasi (titik pengukuran A) merupakan lahan terbuka tanpa vegetasi. Jarak terdekat yang tercatat pada penelitian ini yaitu 0,5 meter (bahu jalan) yaitu di Jalur hijau pinus dan yang terjauh adalah 20 meter yaitu di tegakan mangium. Penurunan tingkat kebisingan terjadi pada jarak yang semakin jauh dari sumber kebisingan, tetapi tidak se-efektif menggunakan barrier vegetasi. Seperti yang terlihat pada Tabel 3 dan Gambar 5, nilai reduksi kebisingan oleh hutan kota tegakan mangium lebih kecil dibandingkan reduksi kebisingan oleh jalur hijau pinus. Hal ini menunjukkan bahwa vegetasi dengan kerapatan tinggi akan efektif mereduksi kebisingan pada jarak yang dekat dengan sumber kebisingannya. Serupa dengan yang dikemukakan Cook dan Haverbeke (1971) diacu dalam Irwan (2008), bahwa


(32)

untuk mendapatkan hasil yang optimum dalam mereduksi kebisingan, jajaran semak dan pohon seharusnya ditanam dekat pusat kebisingan.

Faktor lingkungan yang diduga dapat mempengaruhi besarnya nilai reduksi kebisingan juga diukur bersamaan dengan pengukuran tingkat kebisingan di masing-masing lokasi sampel. Faktor lingkungan yang diukur bersamaan pada saat pengukuran tingkat kebisingan antara lain suhu udara, kelembaban udara, dan arah angin. Beberapa nilai tersebut diukur untuk mengetahui adanya hubungan antara faktor lingkungan dengan kemampuan reduksi kebisingan dan sebagai penunjang hasil hubungan antara bentuk dan struktur hutan kota dengan reduksi kebisingan.

Jenis hutan kota yang memiliki suhu udara tertinggi yaitu Jalur Hijau Trembesi (T = 29 oC) dengan kelembaban udara sebesar 70%. Jenis hutan kota yang memiliki suhu udara terendah (27 oC) yaitu Hutan Kota 1 dan Hutan Kota 2. Hutan Kota 1 memiliki kelembaban udara sebesar 62% dan merupakan yang terendah dari ketujuh lokasi, sedangkan Hutan Kota 2 memiliki kelembaban udara tertinggi (83%) diantara ketujuh lokasi sampel. Berikut adalah data faktor lingkungan yang disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Data faktor lingkungan pada lokasi sampel No. Lokasi Sampel Suhu udara

(oC)

Kelembaban

udara (%) Arah angin 1. Tegakan A. mangium / Area komersial

Damai Indah Golf 28,5 63 Barat laut 2. Hutan Kota 1 27,0 62 Barat laut 3. Jalur Hijau Trembesi depan Greencove 29,0 70 Timur laut 4. Jalur Hijau Pinus Kolam Renang Sektor

I.3 28,0 69 Selatan

5. Hutan Kota 2 27,0 83 Barat daya 6. Tegakan Pinus depan Eka Hospital / Halte

BSD Feeder Busway 27,5 69 Utara

7. Jalur Hijau Mahoni Setor I.2 28,0 70 Tenggara Faktor-faktor lingkungan di atas tidak dapat secara langsung berpengaruh terhadap besar-kecilnya nilai reduksi kebisingan. Faktor tersebut erat kaitannya dengan perambatan bunyi atau dengan parameter vegetasi yang membangun hutan kota tersebut. Kerapatan tanaman misalnya, semakin rapat tanaman dalam suatu plot akan memberikan penurunan suhu dibanding lahan terbuka (Irwan 1994). Ketiga lokasi sampel yang memiliki kerapatan tanaman yang cukup rapat (hutan


(33)

kota 1, hutan kota 2, tegakan pinus) juga menunjukkan temperatur yang hampir sama, yaitu lebih rendah dari lokasi sampel lainnya. Suhu udara yang tinggi menyebabkan pemuaian suara dan mempengaruhi cepat rambat suara di udara (Doelle 1985). Namun, nilai reduksi tertinggi di lokasi Jalur Hijau Pinus tidak terpengaruh nyata oleh temperatur udara di sekitarnya. Begitu pula dengan nilai kelembaban udara relatif di masing-masing lokasi sampel.

Pengukuran pada hutan kota Jalur Hijau Pinus ditemukan faktor lain yang memungkinkan mempengaruhi besarnya kemampuan reduksi kebisingan di lokasi tersebut, yaitu topografi. Kondisi yang dijumpai di keenam lokasi terkecuali Jalur Hijau Pinus di sektor I.3, memiliki topografi lahan yang datar sejajar dengan jalan raya (Gambar 6). Berbeda di Jalur Hijau Pinus yang topografi lahan dibelakang vegetasinya menurun dengan kemiringan tertentu ke arah dalam permukiman sektor I.3, seperti membentuk barrier gundukan. Ketika melakukan pengukuran tingkat kebisingan, titik B (area belakang vegetasi) berada lebih rendah dibanding titik A (daerah depan vegetasi) yang sejajar dengan jalan raya (Gambar 6).

(a) (b)

Gambar 6 Perbedaan bentuk permukaan lahan hutan kota. (a) Hutan Kota 1, (b) Jalur Hijau Pinus.

Topografi lahan bervegetasi seperti pada Jalur Hijau Pinus yang membentuk barrier berupa gundukan tanah, sangat efektif dalam membantu mereduksi kebisingan lalu lintas jalan raya. Hal tersebut sesuai dengan kaidah dinding penghalang kebisingan, yang dapat dibentuk dari material dinding keras, gundukan tanah, maupun vegetasi jalur hijau. Senada dengan pernyataan Hakim (2006) bahwa dinding penghalang kebisingan akan lebih efektif bila dikombinasikan antara material buatan, gundukan tanah dan vegetasi penghalang.


(34)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Reduksi kebisingan tertinggi oleh hutan kota BSD City yaitu terdapat pada jenis hutan kota Jalur Hijau Pinus yang memiliki bentuk hutan kota jalur hijau dan berstrata banyak (JB), dengan LAI sebesar 1,44 dan kerapatan 20 individu tanaman dapat mereduksi kebisingan sebesar 10,54 dB. Reduksi kebisingan tertinggi kedua yaitu pada Hutan Kota 1 (GB) dengan LAI 1,75 dan kerapatan 32 individu tanaman mereduksi kebisingan sebesar 9,98 dB. Tegakan pinus (S2) dengan LAI 1,85 dan kerapatan 22 individu mereduksi kebisingan sebesar 9,94 dB. Hutan Kota 2 (GB; LAI 2,23; K 29 individu) mereduksi kebisingan sebesar 9,58 dB. Tegakan Acacia mangium (S2; LAI 1,70; K 15 individu) mereduksi kebisingan sebesar 8,66 dB. Jalur Hijau Mahoni (J2; LAI 1,25; K 4 individu) mereduksi kebisingan sebesar 8,60 dB. Jalur Hijau Trembesi (JB; LAI 0,89; K 12 individu) mereduksi kebisingan sebesar 8,40 dB. Bentuk hutan kota yang memiliki kemampuan reduksi tertinggi pada penelitian ini yaitu bentuk jalur hijau, dengan struktur hutan kota berstrata banyak.

6.2 Saran

1. Penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh LAI dan umur tanaman terhadap reduksi kebisingan pada suatu tegakan hutan kota.

2. Pembangunan hutan kota yang memiliki fungsi sebagai barrier kebisingan untuk pengembangan hutan kota ke depan hendaknya memperhatikan aspek jenis tanaman (berdaun lebat dan rindang), jarak vegetasi hutan kota dari sumber kebisingan dan jarak tanam antar pohon yang cukup rapat, ketebalan atau lebar jalur hijau pada bentuk hutan kota jalur hijau, dan pengaturan struktur vegetasinya (penambahan semak untuk memperbanyak strata).

3. Tingkat kebisingan lalu lintas di BSD City telah melampaui nilai batas baku mutu tingkat kebisingan untuk wilayah permukiman. Oleh karenna itu, perlu adanya pengendalian kebisingan terpadu yang melibatkan pemerintah setempat, pihak pengembang, dan masyarakat BSD City.


(35)

DI BUMI SERPONG DAMAI CITY

KOTA TANGERANG SELATAN

ASIH RATNASIH

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(36)

DAFTAR PUSTAKA

Awal MA, Ishak WIW, dan Gevao SMB. 2010. Determination of Leaf Area Index (LAI) for oil palm plantation using hemispherical photography technique. Pert. Jour Scie. & Tech. 18 (1): 23-32.

Breuer L, Eckhardt K, dan Frede HG. 2003. Plant parameter values for models in temperate climates. Ecology Model 169: 237-293.

Dahlan EN. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. Bogor: APHI.

Darvishzadeh R, Skidmore A, Schlerf M, Atzberger C, Corsi F, dan Cho M. 2008. Estimation of leaf area index and chlorophyll for a mediterranean grassland using hyperspectral data. The International Archives of the Photogrammetry. Remote Sensing and Spatial Information Sciences. 37: Part B7.

Doelle LL. 1985. Akustik Lingkungan. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Fachrul MF. 2008. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: PT Bumi Aksara. Fang CF, dan Ling DL. 2003. Investigation of the noise reduction provided by

tree belt. Landscape and Urban Planning 63: 187-195.

_____. 2005. Guidance for noise reduction provided by tree belts. Landscape and Urban Planning 71: 29-34.

Fakuara Y. 1986. Hutan Kota, Peranan dan Permasalahannya. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Grey GW, dan Deneke FJ. 1986. Urban Forestry. New York: John Wiley and Sons.

[FHWA] Federal Highway Administration. 1980. Highway traffic noise: NPC library online. http://www.nonoise.org/traffic_files/noise_barriers/traffic. Hakim R. 2006. Rancangan Visual Lansekap Jalan; panduan estetika dinding

penghalang kebisingan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Hale SE dan Edwards C. 2002. Comparison of film and digital hemispherical photography across a wide range of canopy densities. Agricultural and Forest Meteorology 112: 51-56.

Ikron, Djaja IM, dan Wulandari RA. 2007. Pengaruh kebisingan lalulintas jalan terhadap gangguan kesehatan psikologis anak SDN Cipinang Muara Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, Propinsi DKI Jakarta, 2005. Makara, kesehatan 11(1): 32-37.

Irwan ZD. 1994. Peranan Bentuk dan Struktur Hutan Kota terhadap Kualitas Lingkungan Kota (Studi Kasus Lokasi Permukiman Kota Jakarta). [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

_____. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta: PT. Bumi Aksara.


(37)

Leblanc SG, Chen JM, Fernandes R, Deering DW, dan Conley A. 2005. Methodology comparison for canopy structure parameters extraction from digital hemispherical photography in boreal forest. Agricultural and Forest Meteorology. 129: 187-207.

Mansyur M. 2003. Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan. Makalah disampaikan pada Job Training Petugas Pengawas Kebisingan,Yogyakarta, Juli 2003.

Meilani EA. 2002. Kemampuan Jenis-Jenis Tanaman dalam Mereduksi Kebisingan. [skripsi]. Bogor: Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

[MENLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 1996. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan. Kpemen-LH-48-1996.pdf.

Pemerintah Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. PP-63-2002.pdf.

Rich PM. 1990. Characterizing plant canopies with hemispherical photographs. Remote Sensing Reviews. 5: 13-29.

Rich PM, Chen J, Sulatycki SJ, Vashisht R, and Wachspress WS. 1995. Calculation of leaf area index and other canopy indices from gap fraction: a manual for the LAICALC software. Kansas Applied Remote Sensing Program Open File Report.pdf.

Suratmo FG. 1995. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Vose JM, Sullivan NH, Clinton BD, Bolstad PV. 1995. Vertical leaf area distribution, light transmittance, and application of the Beer-Lambert law in four mature hardwood stands in the southern Appalachian. Can J. For. Res. 25: 1036-1043.

Warningsih T. 2006. Pemetaan Kebisingan dan Penilaian Masyarakat terhadap Kebisingan Bandar Udara (Studi Kasus Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru Riau). [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Welles JM. 1990. Some indirect methods of estimating canopy structure. Remote Sensing Reviews. 5: 31-43.

Wibisono Y. 2008. Pengelolaan Lanskap dan Pemeliharaan Taman Kota 1 di BSD City, Tangerang. [skripsi]. Bogor: Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Widagdo S. 1998. Studi tentang Reduksi Kebisingan Menggunakan Vegetasi dan Kualitas Lanskap Jalan Tol Jagorawi. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Yahya I. 2002. Dasar-dasar pengukuran bising. Makalah disampaikan pada Pelatihan Bunyi dan Getaran yang diselenggarakan oleh PT. Tamara Overseas Corp. Jkt, 9–12 Juli 2002.


(38)

Zulfahani R, Hatta GM, Rusmayadi. dan Maharso. 2005. Peran Hutan Kota dalam Menurunkan Tingkat Kebisingan. Enviro Scienteae . 1 (1): 29-35.


(39)

DI BUMI SERPONG DAMAI CITY

KOTA TANGERANG SELATAN

ASIH RATNASIH

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(40)

DI BUMI SERPONG DAMAI CITY

KOTA TANGERANG SELATAN

ASIH RATNASIH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(41)

ASIH RATNASIH. Kemampuan Hutan Kota dalam Mereduksi Kebisingan lalu Lintas di Bumi Serpong Damai City, Kota Tangerang Selatan. Di bawah bimbingan RACHMAD HERMAWAN dan SITI BADRIYAH RUSHAYATI

Kebisingan merupakan salah satu masalah lingkungan yang timbul di wilayah perkotaan. Kebisingan merupakan bentuk suara yang tidak dikehendaki karena dianggap mengganggu. Dalam lanskap kota, pengendalian kebisingan dapat dilakukan dengan membangun barrier antara sumber kebisingan dan penerima. Salah satunya yaitu dengan membangun barrier berupa vegetasi yang berfungsi sebagai peredam kebisingan. Vegetasi yang dibangun dapat berupa hutan kota dengan bentuk dan struktur yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan hutan kota dalam mereduksi kebisingan lalu lintas dilihat dari bentuk dan struktur hutan kota.

Penelitian dilaksanakan di kawasan permukiman kota berkembang Bumi Serpong Damai (BSD) City, Kota Tangerang Selatan, di tujuh lokasi sampel berdasarkan kombinasi bentuk dan struktur hutan kota. Penelitian dimulai dengan melakukan pemotretan tajuk vegetasi hutan kota dengan teknik Digital Hemispherical Photography (DHP) yang kemudian dianalisa menggunakan Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software untuk mengetahui nilai Leaf Area Index (LAI). Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan di titik A (area depan vegetasi) dan titik B (area dalam/belakang vegetasi) dengan jarak diantara keduanya 10 meter, pada masing-masing lokasi sampel. Data parameter vegetasi meliputi kerapatan, jumlah strata, jenis tanaman, dan diagram profil diperoleh dengan analisis vegetasi. Data penunjang yaitu faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan arah angin diukur bersamaan dengan pengukuran tingkat kebisingan. Kemudian data tersebut dianalisa untuk mengetahui hubungan reduksi kebisingan dengan parameter yang diukur.

Analisa data menunjukkan, jenis hutan kota yang berbeda (kombinasi antara bentuk dan struktur hutan kota yang berbeda) memiliki kemampuan yang berbeda pula dalam mereduksi kebisingan lalu lintas. Reduksi kebisingan tertinggi yaitu terdapat pada hutan kota Jalur Hijau Pinus (10,54 dB), yaitu hutan kota berbentuk jalur hijau dan berstrata banyak. Bentuk hutan kota yang memiliki kemampuan reduksi kebisingan tertinggi pada penelitian ini yaitu bentuk jalur hijau dengan struktur hutan kota berstrata banyak. Nilai LAI yang dapat menggambarkan kerindangan suatu vegetasi tidak selalu berbanding lurus terhadap nilai reduksi kebisingan, begitu pula dengan kerapatan tanaman. Adanya faktor lain seperti umur dan karakteristik tanaman diduga mempengaruhi reduksi kebisingan. Faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan arah angin tidak berpengaruh langsung terhadap reduksi kebisingan oleh hutan kota, Namun berpengaruh langsung pada perambatan bunyi. Hutan kota yang efektif meredam kebisingan lalulintas yaitu yang berbentuk jalur hijau, memiliki banyak strata dan kerapatan tanaman tinggi serta ditanam dekat sumber kebisingan.


(42)

ASIH RATNASIH. Ability of Urban Forest in Reducing Traffic Noise in Bumi Serpong Damai City, South Tangerang City. Under supervisions of RACHMAD HERMAWAN and SITI BADRIYAH RUSHAYATI.

Noise is one of the environmental problems that arise in many cities. Noise is a kind of unwanted sound because it being disruptive. In the city landscape, noise control could be done by construct a barrier between the noise source and receiver. One of them is by building a barrier of vegetation that serves as a noise reducer. Vegetation which is made could be constructed as an urban forest in a different form and structure. This study aims to assess the ability of urban forests in reducing traffic noise based on the form and structure of urban forest.

Research conducted in the growing urban settlements Bumi Serpong Damai (BSD) City, South Tangerang City, at seven locations sampled by a combination of form and structure of the urban forest. The study began by doing a photo shoot of vegetation canopy of the urban forest with Hemispherical Photography Digital (DHP) techniques are then analyzed using Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software to determine the value of Leaf Area Index (LAI). Noise level measurements conducted at the point A (the front area of vegetation) and point B (the area inside/back of vegetation) with a distance of 10 meters between them, at each sample location. Vegetation parameters include the density of vegetation, the number of strata, plants, and profile diagrams obtained by the analysis of vegetation. It’s supported by environmental factors such as temperature, humidity and wind direction were measured simultaneously with the measurement of noise levels. Then the data is analyzed to determine the relationship with the noise reduction parameters measured.

Data analysis show that different types of urban forests (which different combination of form and structure) have different abilities in reducing traffic noise. The highest noise reduction is found in Pine Greenbelt urban forests (10.54 dB), ie forest-shaped city greenbelt and stratified lot. Forms of urban forest that has the highest noise reduction capabilities in this research is the greenbelt forms with many stratified urban forest structure. LAI values to describe the shade of the vegetation is not always proportional to the value of noise reduction, as well as plant density. Other factors such as age and plant characteristics thought to affect noise reduction. Environmental factors such as temperature, humidity and wind direction does not directly influence the reduction of noise by the urban forest, but a direct effect on the propagation of sound. Urban forest that effectively mitigate traffic noise is a form of greenbelt, has many strata and high plant densities and planted near the source of noise.


(43)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Kemampuan Hutan Kota dalam Mereduksi Kebisingan Lalu Lintas di Bumi Serpong Damai City, Kota Tangerang Selatan” adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2012

Asih Ratnasih NIM E34070063


(44)

Lintas di Bumi Serpong Damai City, Kota Tangerang Selatan

Nama : Asih Ratnasih

NIM : E34070063

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Rachmad Hermawan, M.Sc.F Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si NIP. 19670504 199203 1 004 NIP.19650704 200003 2 001

Mengetahui

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 19580915 198403 1 003


(45)

i

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB dengan judul “Kemampuan Hutan Kota dalam Mereduksi Kebisingan Lalu Lintas di Bumi Serpong Damai City, Kota Tangerang Selatan”.

Perkembangan kota dengan berbagai kegiatan manusia di dalamnya sangat mempengaruhi lingkungan kota itu sendiri dan menimbulkan masalah bagi lingkungan, salah satunya adalah kebisingan. Kebisingan merupakan bentuk suara yang tidak dikehendaki karena dianggap mengganggu. Vegetasi hutan kota dapat mereduksi kebisingan. Nilai reduksi kebisingan oleh vegetasi hutan kota kiranya perlu dipelajari untuk mengetahui seberapa efektif peran hutan kota dalam meredam kebisingan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Namun demikian penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Akhirnya penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Rachmad Hermawan, M.Sc.F dan Ibu Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si yang telah membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini.

Bogor, April 2012


(46)

ii

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 20 Oktober 1988 sebagai anak dari pasangan Iding Sahidi, S.Pkp dan Umi Rohimi (Alm). Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan formal yang ditempuh penulis yaitu; pendidikan Sekolah Dasar di SDN Gudang-Tigaraksa dan lulus tahun 2001, sekolah menengah pertama di SMPN 1 Tigaraksa (lulus tahun 2004), dan tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Tigaraksa (sekarang bernama SMA Negeri 6 Kabupaten Tangerang). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif dalam kegiatan Kelompok Pemerhati Fotografi Konservasi (FOKA) HIMAKOVA sebagai pengurus dan Kelompok Pemerhati Flora (KPF) “Rafflesia” HIMAKOVA sebagai anggota periode 2009-2010. Selain itu penulis juga merupakan anggota dari Divisi Konservasi Primata Uni Konservasi Fauna (UKF) UKM IPB periode 2008-2010. Semasa kuliah penulis telah mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Wisata Alam Pangandaran dan Suaka Margasatwa Gunung Sawal, Jawa Barat pada tahun 2009. Penulis juga telah mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Jawa Barat pada tahun 2010. Kemudian pada tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Kegiatan lapang lain yang pernah diikuti penulis adalah Ekspedisi Global (inventarisasi satwaliar) UKF di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten (2008).

Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada Fakultas Kehutanan IPB, maka penulis menyusun skripsi dengan judul “Kemampuan Hutan Kota dalam Mereduksi Kebisingan Lalu Lintas di Bumi Serpong Damai City, Kota Tangerang Selatan” di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Rachmad Hermawan, M.Sc.F dan Ibu Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si.


(1)

55

Lampiran 7 Foto-foto lokasi penelitian

Gambar Lampiran 8a Jalur hijau pinus (Sektor I.3).


(2)

56

Lanjutan Lampiran 7

Gambar Lampiran 8c Hutan kota 2 (Jl. Tekno Utama).


(3)

57

Lanjutan Lampiran 7

Gambar Lampiran 8e Tegakan Acacia mangium (Jl. Raya Pahlawan Seribu).


(4)

58

Lanjutan Lampiran 7

Gambar Lampiran 8g Tegakan pinus (depan Eka Hospital BSD City).


(5)

RINGKASAN

ASIH RATNASIH. Kemampuan Hutan Kota dalam Mereduksi Kebisingan lalu Lintas di Bumi Serpong Damai City, Kota Tangerang Selatan. Di bawah bimbingan RACHMAD HERMAWAN dan SITI BADRIYAH RUSHAYATI

Kebisingan merupakan salah satu masalah lingkungan yang timbul di wilayah perkotaan. Kebisingan merupakan bentuk suara yang tidak dikehendaki karena dianggap mengganggu. Dalam lanskap kota, pengendalian kebisingan dapat dilakukan dengan membangun barrier antara sumber kebisingan dan penerima. Salah satunya yaitu dengan membangun barrier berupa vegetasi yang berfungsi sebagai peredam kebisingan. Vegetasi yang dibangun dapat berupa hutan kota dengan bentuk dan struktur yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan hutan kota dalam mereduksi kebisingan lalu lintas dilihat dari bentuk dan struktur hutan kota.

Penelitian dilaksanakan di kawasan permukiman kota berkembang Bumi Serpong Damai (BSD) City, Kota Tangerang Selatan, di tujuh lokasi sampel berdasarkan kombinasi bentuk dan struktur hutan kota. Penelitian dimulai dengan melakukan pemotretan tajuk vegetasi hutan kota dengan teknik Digital Hemispherical Photography (DHP) yang kemudian dianalisa menggunakan Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software untuk mengetahui nilai Leaf Area Index (LAI). Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan di titik A (area depan vegetasi) dan titik B (area dalam/belakang vegetasi) dengan jarak diantara keduanya 10 meter, pada masing-masing lokasi sampel. Data parameter vegetasi meliputi kerapatan, jumlah strata, jenis tanaman, dan diagram profil diperoleh dengan analisis vegetasi. Data penunjang yaitu faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan arah angin diukur bersamaan dengan pengukuran tingkat kebisingan. Kemudian data tersebut dianalisa untuk mengetahui hubungan reduksi kebisingan dengan parameter yang diukur.

Analisa data menunjukkan, jenis hutan kota yang berbeda (kombinasi antara bentuk dan struktur hutan kota yang berbeda) memiliki kemampuan yang berbeda pula dalam mereduksi kebisingan lalu lintas. Reduksi kebisingan tertinggi yaitu terdapat pada hutan kota Jalur Hijau Pinus (10,54 dB), yaitu hutan kota berbentuk jalur hijau dan berstrata banyak. Bentuk hutan kota yang memiliki kemampuan reduksi kebisingan tertinggi pada penelitian ini yaitu bentuk jalur hijau dengan struktur hutan kota berstrata banyak. Nilai LAI yang dapat menggambarkan kerindangan suatu vegetasi tidak selalu berbanding lurus terhadap nilai reduksi kebisingan, begitu pula dengan kerapatan tanaman. Adanya faktor lain seperti umur dan karakteristik tanaman diduga mempengaruhi reduksi kebisingan. Faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan arah angin tidak berpengaruh langsung terhadap reduksi kebisingan oleh hutan kota, Namun berpengaruh langsung pada perambatan bunyi. Hutan kota yang efektif meredam kebisingan lalulintas yaitu yang berbentuk jalur hijau, memiliki banyak strata dan kerapatan tanaman tinggi serta ditanam dekat sumber kebisingan.


(6)

SUMMARY

ASIH RATNASIH. Ability of Urban Forest in Reducing Traffic Noise in Bumi Serpong Damai City, South Tangerang City. Under supervisions of RACHMAD HERMAWAN and SITI BADRIYAH RUSHAYATI.

Noise is one of the environmental problems that arise in many cities. Noise is a kind of unwanted sound because it being disruptive. In the city landscape, noise control could be done by construct a barrier between the noise source and receiver. One of them is by building a barrier of vegetation that serves as a noise reducer. Vegetation which is made could be constructed as an urban forest in a different form and structure. This study aims to assess the ability of urban forests in reducing traffic noise based on the form and structure of urban forest.

Research conducted in the growing urban settlements Bumi Serpong Damai (BSD) City, South Tangerang City, at seven locations sampled by a combination of form and structure of the urban forest. The study began by doing a photo shoot of vegetation canopy of the urban forest with Hemispherical Photography Digital (DHP) techniques are then analyzed using Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software to determine the value of Leaf Area Index (LAI). Noise level measurements conducted at the point A (the front area of vegetation) and point B (the area inside/back of vegetation) with a distance of 10 meters between them, at each sample location. Vegetation parameters include the density of vegetation, the number of strata, plants, and profile diagrams obtained by the analysis of vegetation. It’s supported by environmental factors such as temperature, humidity and wind direction were measured simultaneously with the measurement of noise levels. Then the data is analyzed to determine the relationship with the noise reduction parameters measured.

Data analysis show that different types of urban forests (which different combination of form and structure) have different abilities in reducing traffic noise. The highest noise reduction is found in Pine Greenbelt urban forests (10.54 dB), ie forest-shaped city greenbelt and stratified lot. Forms of urban forest that has the highest noise reduction capabilities in this research is the greenbelt forms with many stratified urban forest structure. LAI values to describe the shade of the vegetation is not always proportional to the value of noise reduction, as well as plant density. Other factors such as age and plant characteristics thought to affect noise reduction. Environmental factors such as temperature, humidity and wind direction does not directly influence the reduction of noise by the urban forest, but a direct effect on the propagation of sound. Urban forest that effectively mitigate traffic noise is a form of greenbelt, has many strata and high plant densities and planted near the source of noise.