Komunitas Burung Bawah Tajuk pada Berbagai Tingkat Gangguan Habitat di Kampus IPB Darmaga

(1)

K

B

OMUNIT

ERBAGA

D

S

IN

TAS BURU

AI TINGK

DI KAMPU

LINA K

SEKOLAH

NSTITUT P

UNG BAW

KAT GANG

US IPB DA

KRISTINA

H PASCAS

PERTANIA

BOGOR

2014

WAH TAJ

GGUAN H

ARMAGA

A DEWI

SARJANA

AN BOGOR

UK PADA

HABITAT

A

R

A

T


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Komunitas Burung Bawah Tajuk pada Berbagai Tingkat Gangguan di Kampus IPB Darmaga” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Lina Kristina Dewi NIM E3511006


(4)

RINGKASAN

LINA KRISTINA DEWI. Komunitas Burung Bawah Tajuk pada Berbagai Tingkat Gangguan di Kampus IPB Darmaga. Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI dan YENI ARYATI MULYANI.

Adanya gangguan terhadap habitat di suatu lokasi akan berpengaruh pada komunitas satwaliar yang ada di dalamnya. Gangguan terhadap suatu habitat dapat berasal dari berbagai kegiatan pembangunan dan aktivitas pembukaan lahan di suatu lokasi. Kampus IPB Darmaga pada awalnya merupakan salah satu habitat bervegetasi yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi terutama keanekaragaman satwa burung. Sebagai kampus yang masih dalam tahap perkembangan, areal kampus IPB tidak terlepas dari banyaknya kegiatan pembangunan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis komunitas burung bawah tajuk, komposisi guild serta bobot tubuh burung-burung di habitat dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi.

Penelitian dilaksanakan di kampus IPB Darmaga pada bulan Februari−Mei 2013, selain itu digunakan data pencincinan burung dari Cikabayan Birdbanding Club tahun 2012. Pengambilan data dilakukan dengan metode IPA (total 70 titik) dan metode jala kabut (total 19.666 jam jala). Tercatat 41 jenis dari 23 suku yang tertangkap dan teramati dalam penelitian ini. Lokasi dengan tingkat gangguan rendah memiliki nilai keanekaragaman dan kekayaan tertinggi (H’ = 2.53, DMg =

5.17) dibandingkan dengan lokasi gangguan sedang (H' = 2.40, DMg = 4.85) dan

lokasi dengan gangguan tinggi (H' = 1.84, DMg = 3.68). Uji chi square

menunjukkan bahwa jumlah jenis pada ketiga lokasi penelitian sangat berbeda nyata (χ2 = 15.95, df = 2, P < 0.01). Kesamaan komunitas tertinggi adalah antara lokasi dengan gangguan sedang dan tinggi (69.20%). Terdapat 22% jenis yang hanya ditemukan di lokasi dengan tingkat gangguan rendah saja. Terdapat perbedaan nyata pada komposisi guild di ketiga lokasi penelitian (χ2 = 5.82, df= 2, P < 0.05). Beberapa jenis burung terpengaruh dengan adanya gangguan habitat, Cekakak jawa dan Cucak kutilang memiliki bobot tubuh lebih berat di lokasi gangguan rendah, namun Cinenen jawa justru memiliki bobot tubuh lebih berat di lokasi dengan gangguan tinggi.

Burunggereja Erasia yang merupakan jenis dominan dalam penelitian ini lebih banyak tertangkap pada awal musim hujan (56%). Jenis ini memiliki bobot tubuh antara 7.0 – 31.0 g, dengan bobot paling mendominasi antara 15.5 - 21.5 g (112 individu; 88%). Tidak terdapat perbedaan signifikan antara bobot tubuh pada awal dan akhir musim hujan ataupun pada kelas umur anak dan dewasa. Jenis burung ini hanya ditemukan di lokasi dengan tingkat gangguan rendah dan tinggi saja, tidak ditemukan di lokasi dengan tingkat gangguan sedang. Bobot tubuh rata-rata Burunggereja Erasia di lokasi dengan tingkat gangguan rendah lebih berat (20.3 ± 4.2; n=4) dibandingkan dengan lokasi gangguan tinggi (18.6 ± 4.4; n =141).


(5)

SUMMARY

LINA KRISTINA DEWI. Understory Birds Community at Different Levels of

Habitat Disturbance in IPB Darmaga Campus, Supervised by ANI

MARDIASTUTI and YENI ARYATI MULYANI

Habitat disturbance on a site will affect wildlife communities that exist within it. Various development activities and land clearing activities in one location will affect the overall habitat. IPB Campus in Darmaga initially was a vegetated habitat that has a fairly high biodiversity, especially birds. As the campus is still in the developmental stage, it is not independent of the number of development activities. This can lead to changes in habitat, including habitat for understory birds. This study aims to analyze the understory bird community, the composition of the guild as well as the body weight of birds in habitats with low, moderate and high disturbance levels.

This study was conducted at IPB Darmaga Campus during February-May 2013. Bird banding data of Cikabayan Birdbanding Club (2012) is also used as additional data. Data collection used IPA method (total of 70 points) and mist netting method (total of 19.666 hours). This study records a total of 931 individuals (41 species) of 23 families. Location with low level of disturbance has the highest diversity value and richness (H' = 2.53, DMg = 5.17) compared to

moderate (H' = 2.40, DMg = 4.85) and high disturbance (H' = 1.84, DMg = 3.68).

Chi-square test showed that number of species in the three locations of study had significant differences (χ2 = 15.95, df = 2, P < 0.01). There is a quite high community similarity between locations with moderate disturbance with the high disturbance locations (69.20%). Twenty-two percent of species were found in locations with low level of disturbance. There are significant differences in the composition of guild three among study sites (χ2 = 5.82, df = 2, P > 0.05). The differences are seen in bird's body weight. Some bird species at the low disturbance location have heavier body weights, such as Javan Kingfisher, Sooty-headed Bulbul. The same condition was also found at low disturbance locations (Olive-backed Tailorbird).

Eurasian tree sparrow, which is the dominant species in this study were caught more at the beginning of the rainy season (56%). This species has a body weight between 7.0 - 31.0 g, with most dominating weights between 15.5 - 21.5 g (112 individuals; 88%). There were no significant differences between the body weight at the beginning and end of the rainy season or the age of juvenile and the adult class. This species is only found in locations with low and high levels of disturbance only, not found in locations with moderate disturbance. The average body weights Eurasian Tree Sparrow in a location with low interference level heavier (20.3 ± 4.2, n = 4) compared with high level of disturbance location (18.6 ± 4.4, n = 141).


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

KOMUNITAS BURUNG BAWAH TAJUK PADA

BERBAGAI TINGKAT GANGGUAN HABITAT

DI KAMPUS IPB DARMAGA

 

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014


(8)

(9)

Judul Tesis : Komunitas Burung Bawah Tajuk pada Berbagai Tingkat Gangguan Habitat di Kampus IPB Darmaga

Nama : Lina Kristina Dewi

NIM : E351110061

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc Ketua

Dr Ir Yeni Aryati Mulyani, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(10)

(11)

PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim…

Teriring doa dan ucapan syukur kepada Allah SWT atas izin-Nya penulisan karya ilmiah ini dapat selesai. Ucapan terimakasih tak terhingga saya ucapkan kepada orang tua dan keluarga besar di Subang yang tidak pernah terputus doanya untuk penulis. Dukungan moril yang diberikan sungguh menjadi kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.Terima kasih yang tak terhingga kepada Direktorat Perguruan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan dana pendidikan berupa Beasiswa Unggulan (BU) DIKTI sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan Master di IPB.

Kepada yang saya hormati Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc (Ketua komisi pembimbing) yang telah dengan sabar memberikan arahan dan wejangan serta melatih kemandirian penulis sehingga mampu menyelesaikan studi ini dengan baik.Selain itu penulis ucapkan terimakasih atas dukungan moril dan motivasi yang luar biasa selama 6 tahun penulis menjadi personal assistant.

Kepada yang saya hormati Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, MSc (Anggota pembimbing) yang telah memberikan masukan berharga untuk penulis.Terima kasih atas kesabarannya mendampingi penelitian, pengolahan data serta penulisan tesis sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi ini. Nasihat, wejangan dan kebersamaan selama 7 tahun menjadi pengalaman yang luar biasa untuk penulis dan menjadi pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan yang akan datang.

Kepada yang saya hormati penguji luar komisi Prof.Dr.Ir. Hadi Susilo Arifin MSc dan ketua sidang Prof. Dr.Ir. Ervizal AM Zuhud, MS atas masukan berharga kepada penulis. Terimakasih yang tak terhingga kepada Bapak Ir. Suwarno Sutarahardja,MSc dan Ibu Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto,MSc atas kesediaan memberikan informasi mengenai sejarah Kampus IPB Darmaga.

Anggota Cikabayan Birdbanding Club (CBC) atas bantuan pengambilan dan penggunaan data serta masukan berharga untuk penulis. Fransisca Noni, S.Si, Fakhruddin Surahmat, SP, dan Iwan “Londo” Febrianto, SE atas masukan berharga dan tidak lelah mengingatkan penulis akan metode yang standar dalam birdbanding. Semoga ilmu ini akan bisa diestafetkan kepada generasi berikutnya.

Indonesian Birdbanding Scheme (IBBS) dan Ibu Dr. Dewi Malia Prawiradilaga atas ijin penggunaan alat dan cincin selama penelitian dan izin penggunaan data CBC dalam penulisan tugas akhir ini.Terimakasih pula kepada Wildlife Conservation Society (WCS) atas ijin penggunaan alat selama penelitian.Semoga data yang dihasilkan penulis dapat bermanfaat bagi generasi birdbanding selanjutnya.

Penghargaan yang luar biasa kepada Aronika Kaban, S. Hut, Zulfikri, S. Hut, atas kesediaan menemani penelitian. Nurindah Ristiana, S.Hut atas pengambilan data koordinat plot penelitian. Serta kepada Ilham K Abywijaya, S. Hut dan Ikhwan Agustian, S. Hutatas bantuan pengambilan serta pengolahan data habitat.

Ucapan terimakasih disampaikan pula kepada Nanang Khairul Hadi, S. Hut, Putri Wardhani, S.Si, Eki Santoso, S.Si, Chairunnas, S.Si, Maiser Syaputra, S. Hut, MSi, Ajrini, Pratiwi, Ima, Alya, Setiawan, S. Hut, M. Asyief, Adlan Yusran, M. Fahmi, Mila Rahmania, S. Hut, Hafiyyan Sastranegara, S.Hut atas kesediaan membantu pengambilan data.Terimakasih juga disampaikan kepada Mahasiswa KVT 2011 dan Insan Kurnia, S.Hut MSi atas masukan dan sharingnya.

Umar Hadikusumah S.Pd yang telah membantu penulis dalam pembuatan profil vegetasi dan peta penelitian. Terimakasih tak terhingga atas masukan berharga, mendampingi dalam proses penulisan tugas akhir. Terimakasih atas waktu, dukungan doa motivasi serta dukungan moral maupun moril kepada penulis.

Bogor, Juni 2014 Lina Kristina Dewi


(12)

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Kerangka Pikir 3

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Hipotesis 3

      1.6 Manfaat Penelitian 4

2 METODE PENELITIAN 4

2.1 Tempat dan Waktu 4

2.2 Peralatan Penelitian 7

2.3 Pengumpulan Data 7

2.4 Analisis Data 11

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 13

3.1 Hasil 13

3.1.1.Kondisi Habitat 13 3.1.2 Struktur Komunitas Burung 16

3.2. Pembahasan 28

3.2.1 Kondisi Habitat 28 3.2.2. Struktur Komunitas Burung 29

4 SIMPULAN DAN SARAN 37

4.1 Simpulan 37

4.2 Saran 38

DAFTAR PUSTAKA 39

LAMPIRAN RIWAYATHIDUP


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria kondisi mikrohabitat masing-masing lokasi 5 Tabel 2.2 Rincian penggunaan jala kabut (mist net) dalam

penelitian ini

8

Tabel 2.3 Waktu pengambilan data menggunakan metode jala kabut (mist net)

10

Tabel 3.1 Perbandingan komposisi jenis pada lokasi dengan gangguan gangguan rendah, sedang dan tinggi (tata nama: MacKinnon et al. 2010)

17

Tabel 3.2 Jumlah pengambilan contoh, keanekaragaman dan kekayaan jenis serta individu pada lokasi dengan tingkat gangguan berbeda menggunakan metode IPA dan mist net

18

Tabel 3.3 Famili, jumlah spesies dan jumlah individu yang ditangkap dan diamati pada semua lokasi

19

Tabel 3.4 Kelimpahan relatif pada habitat dengan gangguan sedang, rendah, tinggi dengan menggunakan metode IPA

dan mist net

20

Tabel 3.5 Perbandingan kategori jenis dan jumlah individu pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi

21

Tabel 3.6 Perbandingan komposisi guild pada lokasi dengan tingkat gangguan habitat rendah, sedang dan tinggi

23

Tabel 3.7 Perbandingan komposisi guild pada lokasi dengan tingkat gangguan habitat rendah, sedang dan tinggi

23

Tabel 3.8 Perbandingan jumlah individu yang tertangkap dengan

mist net berdasarkan bobot tubuh pada lokasi dengan

tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi

25

Tabel 3.9 Variasi bobot tubuh jenis burung yang ditemukan di semua lokasi dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi

25

Tabel 3.10 Variasi bobot tubuh jenis burung yang ditemukan di lokasi penelitian dengan gangguan rendah, sedang dan tinggi (n> 4)

26

Tabel 3.11 Perbandingan bobot tubuh Burunggereja Erasia pada musim berbeda

27

Tabel 3.12 Perbandingan jumlah jenis burung serta lokasi penelitian di Kampus IPB Darmaga pada tahun berbeda


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian, menunjukkan lokasi dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi di Kampus IPB Darmaga

6

Gambar 2.2 Ilustrasi penggunaan metode IPA 8

Gambar 2.3 Mekanisme pemasangan jala, (A) bentuk jala, (B) pemasangan jala tunggal horizontal dan diagonal, (C) pemasangan jala seri (sejajar), (D) pemasangan jala seri (menyiku)

9

Gambar 3.1 Perbandingan profil vegetasi pada berbagai tingkat gangguan

15

Gambar 3.2 Perbandingan penemuan jumlah jenis dan dan pengambilan titik pada lokasi dengan berbagai tingkat gangguan

18

Gambar 3.3 Dendogram kesamaan komunitas burung pada habitat dengan gangguan rendah, sedang dan tinggi

22

Gambar 3.4 Komposisi guild jenis burung di tiga lokasi dengan tingkat gangguan berbeda

23

Gambar 3.5 Komposisi guild pemakan serangga pada habitat dengan gangguan rendah sedang dan tinggi

24

Gambar 3.6 Sebaran bobot tubuh Burunggereja Erasia 27

Gambar 3.7 Perbandingan komposisi bobot tubuh Burunggereja Erasia pada kelas anak (n = 62) dan dewasa (n = 58)

28

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jenis, famili, dan lokasi penangkapan serta

pengamatan burung dengan metode IPA dan Mist net

v Lampiran 2 Kelimpahan individu relatif pada lokasi dengan

gangguan rendah, sedang dan tinggi

vii Lampiran 3 Jenis burung yang ditemukan di ketiga lokasi

penelitian

viii Lampiran 4 Jenis burung yang hanya ditemukan di lokasi dengan

tingkat gangguan rendah

xi Lampiran 5 Jenis burung yang hanya ditemukan di lokasi dengan

tingkat gangguan sedang

xiii Lampiran 6 Jenis burung yang hanya ditemukan di lokasi dengan

tingkat gangguan tinggi


(16)

(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Komunitas burung merupakan kumpulan individu dari beberapa spesies burung yang hidup secara bersama di tempat dan pada waktu yang sama (Wiens 1989). Komunitas burung dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan habitat, cara mencari makan serta berbagai kelompok yang menempati berbagai strata termasuk burung yang menempati strata bawah tajuk atau yang umum disebut burung bawah tajuk. Kelompok burung bawah tajuk merupakan burung-burung yang banyak menggunakan strata mulai permukaan tanah hingga ketinggian tiga meter dari permukaan tanah untuk mencari makan atau bersarang (Novarino 2008; Willson dan Comet 1996).

Berbagai kegiatan pembangunan dan aktivitas pembukaan lahan di suatu lokasi akan berdampak terhadap habitat secara keseluruhan. Johnson (2007) menyatakan bahwa pengurangan dan degradasi habitat merupakan ancaman terbesar terhadap kehidupan burung liar di Amerika Serikat. Fragmentasi habitat di Manaus, Amazon telah mengakibatkan efek yang besar terhadap komposisi jenis burung serta jumlah individu yang menempati wilayah tersebut (Bierregaard dan Lovejoy 1989). Mulyani dan Pakpahan (1995) menyatakan bahwa telah terjadi penurunan keanekaragaman jenis burung secara drastis antara tahun 1990-1991 di Kota Baru Bandar Kemayoran, Jakarta akibat dari perubahan fungsi lahan menjadi kawasan pusat niaga.

Komunitas burung yang berbeda akan memberikan tanggapan yang berbeda pula terhadap perubahan vegetasi ataupun tingkat gangguan terhadap habitat hidupnya. Di antara komunitas tersebut, burung bawah tajuk memiliki tingkat sensitivitas tinggi dan sangat rentan terhadap gangguan habitat. Komunitas burung bawah tajuk terutama pada guild pemakan serangga merupakan jenis burung yang yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap adanya gangguan dan fragmentasi habitat (Karr et al. 1982; Wong 1985; Lambert dan Collar 2002). Haugaasen et al. (2003) menyatakan bahwa komunitas burung bawah tajuk memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap perubahan vegetasi.

Kampus IPB Darmaga yang terletak di bagian barat Kota Bogor pada awalnya merupakan salah satu habitat bervegetasi yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, meliputi satwaliar mamalia, burung, reptilia, dan amphibia (Mulyani 1985; van Balen et al. 1986; Hernowo et al.

1991; Kurnia 2003; HIMAKOVA 2012). Beberapa jenis burung yang sudah jarang ditemui di Jawa Barat masih dapat ditemukan di Kampus IPB Darmaga seperti Betet Biasa (Psitacula alexandrii) dan Kapasan Kemiri (Lalage nigra) (van Balen 1987). Tingginya keanekaragaman hayati, terutama burung menjadi salah satu alasan pencanangan Kampus IPB Darmaga sebagai “Kampus Biodiversitas” oleh Rektor IPB pada bulan Mei 2011.

Pembangunan yang semakin pesat di sekitar wilayah kampus mengakibatkan areal bervegetasi di Kampus IPB Darmaga semakin terisolasi sehingga areal ini semakin penting bagi kelestarian satwa liar, terutama burung (Mulyani et al. 2013). Sebagai kampus yang masih dalam tahap perkembangan, IPB tidak terlepas dari banyaknya kegiatan pembangunan yang dapat menyebabkan perubahan habitat burung bawah tajuk. Aktivitas manusia diduga


(18)

menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan jumlah burung akibat perubahan habitat, perburuan maupun penggunaan pestisida (van Balen 1987). Ontario et al. (1990) menyatakan bahwa faktor penting untuk mendukung kehidupan jenis burung di daerah perkotaan adalah struktur dan komposisi vegetasi serta tekanan akibat aktivitas manusia.

Data aktual mengenai komunitas burung sangat diperlukan untuk menunjang kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati yang ada di Kampus IPB Darmaga. Himakova (2012) menyatakan bahwa sejak tahun 1986 hingga tahun 2012 tercatat sebanyak 85 jenis burung ditemukan di Kampus IPB. Beberapa penelitian terdahulu sebagian besar mengkaji mengenai keanekaragaman dan kekayaan jenis burung, namun untuk kegiatan pengelolaan, diperlukan kajian yang lebih spesifik. Penelitian dapat dilakukan diantaranya dengan mengkaji komunitas pada beberapa habitat, sebesar apa perubahan habitat yang terjadi, serta pengaruh yang mungkin timbul dari adanya perubahan habitat tersebut. Pengetahuan mengenai kualitas habitat burung sangat penting untuk ekologi dan pengelolaan burung itu sendiri (Johnson 2007).

Informasi lain yang diperlukan diantaranya mengenai komunitas burung yang terdapat di Kampus IPB Darmaga. Penelitian struktur komunitas ini diharapkan dapat melihat bagaimana komunitas burung bawah tajuk merespon perubahan lingkungan lingkungan di sekitarnya. Selain itu agar diketahui bagaimana tingkat gangguan habitat berpengaruh terhadap komunitas burung bawah tajuk yang ada di dalamnya. Parameter yang digunakan berupa kajian komposisi guild (Wong 1985; Novarino 2008; Imanuddin 2009) dan bobot tubuh burung (Novarino 2008, Lind et al. 2004). Bobot tubuh burung merupakan salah satu faktor karakter morfologi yang sering dikaitkan dengan aspek fisiologi, sebab jumlah energi yang dibutuhkan seekor satwa diketahui berhubungan dengan bobot tubuh satwa tersebut (Adhikerana dan Prawiradilaga 1991). Burung diketahui sebagai satwa yang secara cepat mengalami perubahan ukuran bobot tubuh sebagai respons terhadap perubahan kondisi lingkungan (Lind et al. 2004).

1.2 Perumusan Masalah

Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah apakah tingkat gangguan berpengaruh terhadap struktur komunitas burung yang ada di dalamnya, khususnya dalam hal keanekaragaman, kekayaan, kesamaan komunitas, kelimpahan individu, dan komposisi guild. Pengukuran mengenai bobot tubuh burung juga penting dikaji untuk melihat perbandingan bobot tubuh burung pada tingkat gangguan habitat yang berbeda. Pertanyaan lain dari penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk profil vegetasi pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi? Benarkah habitat dengan gangguan rendah memiliki struktur komunitas burung yang lebih lengkap dan lebih baik dibandingkan habitat dengan gangguan sedang dan tinggi?

1.3 Kerangka Pikir

Komunitas burung bawah tajuk memiliki kerentanan tinggi terhadap gangguan habitat (Karr et al. 1982; Wong 1985; Lambert dan Collar 2002;


(19)

Haugaasen et al. 2003). Perubahan tutupan lahan akibat pembangunan di Kampus IPB Darmaga serta aktivitas manusia diduga telah mengganggu habitat yang digunakan oleh komunitas burung di lokasi tersebut. Gangguan oleh manusia terhadap habitat dapat berupa gangguan terhadap vegetasi yang mengakibatkan perubahan struktur dan komposisi vegetasi, dan dapat pula berupa gangguan langsung terhadap komunitas burung yaitu aktivitas manusia di dalam habitat tersebut. Berdasarkan penjelasan Wiens (1989) tentang komunitas, gangguan habitat terhadap komunitas burung dapat berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis, komposisi dan peran ekologis jenis-jenis burung yang membentuk komunitas tersebut.

Adanya gangguan terhadap habitat juga dapat mempengaruhi interaksi yang terjadi di dalam komunitas, misalnya meningkatkan persaingan terhadap sumberdaya, khususnya pakan. Perbedaan tingkat gangguan pada suatu habitat kemungkinan besar memberikan pengaruh yang berbeda terhadap komunitas burung. Tingkat gangguan habitat yang tinggi akan mendorong terjadinya persaingan pakan yang berdampak kepada penurunan bobot tubuh burung, dan dalam jangka panjang mungkin berakibat kepada keberhasilan reproduksinya.

Penelitian dilakukan untuk menganalisis pengaruh struktur vegetasi, komposisi vegetasi, dan aktivitas manusia terhadap komunitas burung bawah tajuk yang ada di dalamnya. Penelitian dilakukan di tiga lokasi yang berbeda dalam struktur dan komposisi vegetasi serta tutupan lahan dan tingkat aktivitas manusia.

1.4 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian adalah untuk membandingkan struktur komunitas burung pada tingkat gangguan habitat yang berbeda. Tujuan khusus adalah sebagai berikut:

1. Menggambarkan profil vegetasi di habitat dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi

2. Menghitung kekayaan dan keanekaragaman jenis burung serta kelimpahan individu dan kesamaan komunitas di habitat dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi

3. Mengidentifikasi komposisi guild di habitat dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi

4. Mengukur dan membandingkan bobot tubuh burung-burung di habitat dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi

1.5 Hipotesis

1. Semakin rendah gangguan habitat, kerapatan pohon semakin tinggi dan jumlah strata vegetasi semakin lengkap

2. Semakin rendah gangguan habitat, komunitas burung akan semakin baik (H’ dan DMg semakin tinggi)

3. Semakin rendah gangguan habitat, komposisi guild semakin lengkap 4. Semakin rendah gangguan habitat bobot tubuh burung semakin berat


(20)

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat terutama bagi Kampus IPB Darmaga dalam rangka:

1. Memberikan informasi terbaru mengenai profil vegetasi, INP dan jenis-jenis tumbuhan di beberapa lokasi di Kampus IPB Darmaga

2. Memberikan informasi terbaru mengenai jenis-jenis burung di Kampus IPB Darmaga

3. Memberikan informasi mengenai perbandingan komunitas burung pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi di Kampus IPB Darmaga 4. Memberikan informasi untuk pengelolaan burung maupun habitat sebagai

upaya menunjang kegiatan Kampus Biodiversitas di Kampus IPB Darmaga.

2 METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Kampus IPB (Institut Pertanian Bogor) Darmaga Bogor. Kampus IPB Darmaga (6033’45’’ sampai 6032’42” LS dan 106042’52” sampai 1060 44’45” BT) terletak 9 km arah Barat pusat Kota Bogor atau 49 km sebelah Selatan kota Jakarta. Kampus IPB Darmaga secara administrasi termasuk dalam wilayah Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Kampus IPB Darmaga berbatasan dengan Desa Babakan (Timur), Sungai Ciapus dan Sungai Cisadane (Utara), Sungai Cihideung (Barat) serta Jalan Raya Bogor – Jasinga (Selatan). Luas keseluruhan Kampus IPB Darmaga adalah 267 ha (IPB 2013).

Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2013. Selain itu, untuk melengkapi data pengukuran bobot tubuh digunakan data tahun 2012 dari Cikabayan Birdbanding Club (CBC). Adapun data yang digunakan adalah data pengukuran burung di lokasi Biofarmaka (mewakili habitat gangguan sedang) pada bulan Juni dan November 2012 serta lokasi belakang Gymnasium (mewakili habitat gangguan tinggi) pada bulan Maret dan Oktober 2012.

Secara umum, menurut Hernowo et al. (1991), vegetasi di lingkungan Kampus IPB Darmaga berupa vegetasi semak berumput, tegakan karet, hutan pinus, hutan campuran, hutan percobaan, arboretum dan tanaman pekarangan perumahan dosen dan taman. Pada penelitian lain Kosmaryandi (1991) menyebutkan bahwa vegetasi yang ada berupa tegakan karet, tegakan campuran, tegakan pinus, rawa-rawa berumput, kebun-kebun percobaan, dan alang-alang. Tegakan karet (Hevea brasiliensis) pernah mendominasi kawasan Kampus IPB Darmaga (Mulyani 1985) mengingat pada mulanya seluruh wilayah Kampus IPB Darmaga adalah lahan perkebunan karet, namun saat ini tegakan karet hanya tinggal di beberapa bagian saja. Terdapat beberapa arboretum yang ditanam sejak tahun 1968 yaitu Arboretum Fakultas Kehutanan, Arboretum Al-Hurriyah, dan Arboretum Cikabayan (Sutarahardja S, April 2014, komunikasi pribadi)


(21)

Penelitian dilaksanakan di tiga lokasi yang mewakili tiga tingkat gangguan habitat. Penentuan tingkat gangguan didasarkan atas kriteria jumlah tutupan lahan, dan adanya aktivitas manusia (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Kriteria kondisi mikrohabitat masing-masing lokasi

Kriteria Lokasi menurut tingkat gangguan

A (rendah) B (sedang) C (tinggi)

Luas (ha) 4.0 4.0 4.0

Tutupan lahan a. Vegetasi (ha) b. Areal terbangun (ha) c. Lahan terbuka (ha) d. lain-lain 3.5 0.2 0.1 0.2 2.1 0.3 1.5 0.1 1.2 0.9 1.8 0.1 Asosiasi vegetasi 1. Hutan

percobaan dan tegakan jati 2. Hutan percobaan dan semak belukar 3. Tegakan jati dan tegakan bambu 1. Hutan percobaan dan kebun 2. Hutan percobaan dan semak belukar 3. Taman dan semak belukar 4. Kebun perobaan tumbuhan obat dan hutan percobaan 1. Kebun masyarakat dan tegakan bambu 2. Tegakan pohon dan semak belukar 3. Semak belukar dan lahan kosong

Berbatasan dengan: sungai, kebun, perumahan dosen sungai, jalan, kebun percobaan jalan desa, gedung, permukiman, arena olah raga

Lokasi A yang mewakili habitat dengan tingkat gangguan rendah terletak di bagian tengah kampus (hutan di belakang perumahan dosen sampai perbatasan kandang primata IPB). Lokasi B mewakili habitat dengan tingkat gangguan sedang, terletak di bagian barat dan utara kampus (kebun percobaan Cikabayan dan Biofarmaka University Farm). Lokasi C yang mewakili habitat dengan tingkat gangguan tinggi terletak di bagian timur kampus (lapangan terbuka dan sarana olah raga serta beberapa lokasi bervegetasi (Gambar 2.1). Penentuan lokasi contoh didasarkan pada peta tutupan lahan IPB tahun 2013, kemudian dilakukan pemeriksaan ke lapangan dengan bantuan GPS.


(22)

Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian, menunjukkan lokasi dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi di Kampus IPB Darmaga


(23)

2.2 Peralatan Penelitian

Pengamatan burung dilakukan dengan bantuan binokuler (ukuran 7 x 35). Jala kabut berukuran panjang 9 m, 12 m dan 18 m digunakan untuk menangkap burung yang diukur bobotnya. Titik koordinat pemasangan jala kabut ditentukan di peta berdasarkan tutupan lahan, sedangkan penentuan lokasi di lapangan dilakukan dengan bantuan GPS. Pengukuran bobot tubuh burung dilakukan dengan menggunakan timbangan pegas dengan ketelitian 0.1g. Penandaan burung-burung yang sudah diukur menggunakan cincin logam (alumunium atau

incoloy) bernomor dari IBBS (Indonesian Bird Banding Scheme). Identifikasi

jenis burung dibantu dengan menggunakan buku panduan lapang MacKinnon et

al. (1998) dan Robson (2000) sedangkan penulisan jenis burung mengacu pada

Sukmantoro et al. (2007). Untuk menunjang data penelitian (kondisi habitat, teknis pelaksanaan penelitian, jenis burung, penciri jenis, dan lain-lain) dikumpulkan pula gambar berupa foto yang diambil dengan menggunakan kamera digital. Pengambilan data vegetasi menggunakan alat ukur meteran 50m, meteran 2m, tali rafia, dan walking stick.

2.3 Pengumpulan Data 2.3.1 Habitat

Pengukuran vegetasi dilakukan di setiap lokasi dengan mengambil 3 plot unit contoh berukuran 20 x 20 m, sehingga total plot yang diambil adalah 9 plot. Peletakan plot dilakukan secara purposive, yaitu di lokasi sekitar pengamatan burung dan pemasangan jala kabut. Parameter yang dicatat adalah jenis pohon, diameter pohon, tinggi pohon (total dan bebas cabang), diameter tajuk. Untuk analisis tumbuhan bawah digunakan plot ukuran 1 x 1 m pada masing-masing plot. Selain itu dicatat juga jenis vegetasi dominan di sekitar plot pengukuran. Pengukuran aktivitas manusia dilakukan dengan cara mencatat jumlah orang (tidak termasuk tim peneliti) dan aktivitas yang dilakukan serta berapa lama aktivitas itu berlangsung di lokasi penelitian.

2.3.2 Keanekaragaman dan Kelimpahan Burung

Data burung diambil dengan dua metode yaitu metode IPA (Indices

Ponctuele d’Abundance) dan metode jala kabut (mist net) (Bibby et al. 2000).

Pengamatan dengan metode IPA dilakukan di dalam plot-plot berbentuk lingkaran. Dalam penelitian ini diambil jari-jari 25 m berdasarkan pertimbangan kerapatan tajuk di habitat dengan tingkat gangguan yang paling rendah. Pengamat mencatat jenis dan jumlah burung yang terdeteksi di dalam setiap plot selama 10 menit. Sejumlah 10 plot diletakkan di setiap tipe gangguan habitat dengan jarak antar pusat lingkaran lebih dari 50 m untuk menghindari penghitungan ganda (Gambar 2.2).


(24)

j m d d a P m d P k M p h y P t y e h p y Metod jenis burun mendapatka daerah sedik di daerah ya agar didapa Penggunaan mengamati b dan Good 1

Jala Pada habitat sedangkan u karena juran Mengingat b pemasangan hasil di keti yang dinyata Jala k Pemeriksaan terhadap jar yang terjari ekstrim, ma hujan. Untu pencatatan t yang dipasan Gam

de jala kabu ng pemalu an data bobo kit berbukit, ang menjadi atkan individ n jala kabut burung baw

996). kabut dipasa t yang luas a untuk habita ng, sungai bentuk dan n jala kabut iga lokasi m akan dalam j kabut dipas n dilakukan ring dilakuka ing. Selain aka jaring di uk menghit terhadap wak

ng (Tabel 2.

mbar 2.2 Ilus

ut digunakan dan sensiti ot tubuh bur daerah deng lintasan bur du sebanyak

merupakan ah tajuk yan ang secara tu atau memanj at yang relat dan lain-lai kondisi hab di setiap lo maka digunak

jam jala (net

sang mulai setiap jam, an setiap 30

itu, untuk m itutup pada tung jumlah ktu membuk 2).

strasi penggu

n untuk men if terhadap rung. Jala ka

gan vegetasi rung. Dasar p k mungkin y metode de ng pemalu d unggal ataup

ang, digunak tif sempit at in-- digunak bitat yang d okasi bervari kan standard

t hour). pukul 06

sedangkan 0 menit, untu

mencegah c kondisi cua h usaha pe ka dan menu

unaan metod

ngetahui jen aktivitas m abut dipasan

i berbunga d pemilihan kr yang terjarin ngan standa an tidak ban pun seri terg

kan pemasan tau tidak ho kan jaring t diteliti tidak

iasi. Untuk disasi berup 6.00 WIB apabila cua uk menguran cedera pada aca yang san enangkapan

utup jala ser de IPA

nis-jenis krip manusia) se ng di daerah

dan/atau ber riteria lokasi ng dengan j ar sangat tin nyak bersuar antung kond ngan jaring omogen --ata

tunggal (Ga seragam m dapat memb pa upaya pen sampai 17 aca panas pe

ngi risiko b a burung ak ngat panas a

(jam jala) rta jumlah p

ptik (jenis-erta untuk h peralihan,

rbuah, serta i ini adalah jala kabut. nggi dalam ra (Remsen disi habitat. secara seri, au terputus ambar 2.3). maka skema bandingkan nangkapan, 7.00 WIB. emeriksaan agi burung kibat cuaca atau ketika dilakukan anjang jala


(25)

G T d d d A B Gambar 2.3 Tabel 2.2 Ri

P Jumlah jam

Ukuran jala Jumlah she

Ukuran me

Jarak dari p

Setia dimasukkan diidentifikas ditentukan u

3  1  Mekanism tunggal ho (D) pemasa incian pengg Parameter m jala a

elves/ rak

esh/ mata jala permukaan t

ap burung n ke dalam k

si. Burung umurnya (da 2  me pemasang rizontal dan angan jala se gunaan jala k

19

9, 4 d a 30 tanah 50 yang tert kantung kain yang tela ata struktur 1  C gan jala, (A) n diagonal, ( eri (menyiku kabut (mist n

Satuan 9.666 jam jal

12 dan 18 m dan 5 0 mm 0-100 cm

tangkap dil n kemudian d

ah diidentif umur yang

) bentuk jala (C) pemasan u).

net) dalam p

la Lo seb Lo seb Lo seb m Dip tun Ter pem hab sek lepaskan d dibawa ke st fikasi diber akan disajik

a, (B) pemas ngan jala ser

enelitian ini Keteran kasi gangua banyak 6816 kasi ganggu banyak 6336 kasi ganggu banyak 6514 pasang secar nggal rgantung lok masangan da bitat serta se kitarnya dengan hati

tasiun pengu ri cincin, kan khusus u

D sangan jala ri (sejajar), ngan n rendah 6 uan sedang 6 jam jala uan tinggi 4 jam jala

ra seri atau

kasi an kondisi emak di i-hati dan ukuran dan ditimbang, untuk jenis 1 2 


(26)

dominan), dicatat dan diambil gambarnya. Setelah itu, burung dilepaskan kembali di lokasi tempat burung tersebut terjaring atau daerah di sekitarnya yang masih memiliki habitat yang sama.

Pemasangan jala kabut tidak dilakukan pada tahun yang sama (Tabel 2.3), hal tersebut dikarenakan keterbatasan logistik dalam pelaksanaan penelitian. Selain itu, penelitian ini memerlukan tenaga ahli (trainer) di bidang pencincinan burung sehingga waktu pelaksanaan penelitian disesuaikan dengan waktu dari tenaga ahli tersebut untuk mendampingi penelitian.

Tabel 2.3 Waktu pengambilan data menggunakan metode jala kabut (mist net) Waktu penelitian Tingkat Gangguan Habitat

Rendah Sedang Tinggi Pengambilan data ke-1 16 Maret 2013 1 September 2012 10 Maret 2012

Pengambilan data ke-2 23 Maret 2013 2 September 2012 11 Maret 2012 Pengambilan data ke-3 3 April 2013 10 November 2012 6 Oktober 2012 Pengambilan data ke-4 10 Apil 2013 11 November 2012 7 Oktober 2012 Pengambilan data ke-5 11 April 2013 2 Februari 2013 9 Maret 2013 Pengambilan data ke-6 12 April 2013 3 Februari 2013 10 Maret 2013

2.3.3 Komposisi Guild

Guild adalah kelompok spesies yang menggunakan sumberdaya pada kelas

dan cara yang sama (Root 2001). Karr et al. (1982) mengelompokkan guild

berdasarkan tiga karakter utama, yaitu:

1) Strata vegetasi utama yang digunakan oleh jenis-jenis tersebut untuk mencari makan, seperti daerah tajuk atau strata bawah.

2) Jenis makanan, seperti serangga, buah dan biji, nektar, biji rumput.

3) Teknik atau substrat tempat mencari makan yang utama, seperti menelisik dedaunan, menangkap sambil melayang, mencari di dahan pohon.

Pada penelitian ini, pengumpulan data untuk memperoleh data mengenai komposisi guild burung dilakukan dengan studi pustaka. Jenis-jenis yang tertangkap dicatat kemudian dilihat bentuk paruh (dari foto atau secara langsung) serta informasi lain seperti adanya sisa makanan seperti serangga atau biji dan lain-lain. Setelah itu dilakukan studi pustaka dari penelitian-penelitian sejenis atau dari buku panduan lapang burung yang sudah umum digunakan dalam bidang penelitian ornitologi.

2.3.4 Bobot tubuh

Individu burung yang tertangkap ditimbang menggunakan timbangan pegas dengan ketelitian 0.1g. Mekanisme penimbangan adalah menimbang burung beserta kantong (berat kotor) setelah itu untuk berat bersih digunakan cara mengurangi berat kotor dengan berat kantong.


(27)

2.4 Analisis Data 2.4.1 Kondisi Habitat

Hasil analisis vegetasi digunakan untuk menghitung indeks nilai penting (INP) vegetasi di setiap lokasi untuk mengetahui dominasi jenis pada tiap lokasi pengamatan. Selain itu dibuat profil vegetasi untuk masing-masing lokasi berdasarkan pohon-pohon tingkat tiang dan tingkat pohon (Soerianegara dan Indrawan 2008). Pada penelitian ini, penentuan strata tajuk dibagi menjadi lima strata tajuk yang terdiri atas strata A, B, C, D, dan E. Lapisan A (> 20 meter), B (20-30 meter) dan C (< 20 meter) merupakan lapisan tajuk untuk tingkat pertumbuhan pohon dan lapisan D merupakan lapisan perdu dan semak, sedangkan lapisan E adalah lapisan serasah tanah atau lantai (Soerianegara dan Indrawan 2008).

2.4.2 Aktivitas Manusia

Aktivitas manusia dinyatakan dengan jumlah dan aktivitas manusia di lokasi penelitian, baik di lokasi dengan gangguan rendah, sedang maupun tinggi.

2.4.3 Komunitas Burung

a. Kekayaan Jenis

Kekayaan jenis dianalisis dengan menggunakan nilai indeks Margalef (Magurran 2004):

Indeks Margalef : DMg = (S-1)/ ln N

Keterangan:

S : jumlah individu seluruh jenis

N : jumlah seluruh individu yang tertangkap dan teramati b. Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman dianalisis dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shanon (Magurran 2004).

= s i

pi pi H

1 ln '

Keterangan:

H’ : nilai indeks diversitas Shanon

pi : proporsi kelimpahan jenis ke-i terhadap kelimpahan seluruh jenis atau ni/N

Perbedaan keanekaragaman antara lokasi dibandingkan dengan menggunakan uji chi square yang dihitung secara manual menggunakan tabel chi

square pada taraf kepercayaan 99% dan 95%.

c. Kelimpahan Relatif Burung

Kelimpahan relatif dihitung dengan cara menghitung perbandingan antara jumlah individu satu jenis dengan jumlah individu seluruh jenis.


(28)

Pi = Jumlah individu jenis ke i X 100% Jumlah individu seluruh jenis

Keterangan:

Pi = kelimpahan individu x 100 %

Seluruh jumlah individu yang tertangkap dan teramati dikelompokkan ke dalam empat kelas kelimpahan (Fowler dan Cohen 1986), yaitu:

Sering : lebih dari 100 individu Umum : antara 21-99 individu Tidak umum : antara 5-20 individu Jarang : antara 1-4 individu d. Kesamaan antar Komunitas

Kesamaan komunitas pada ketiga lokasi dianalisis dengan menggunakan program Minitab 16 dengan analisis multivariate cluster untuk variabel lebih dari tiga. Adapun analisis spesifik dilakukan dengan dendogram ward linkage karena data yang dibandingkan berupa indeks kesamaan antar komunitas.

e. Komposisi Guild

Jenis-jenis burung yang sudah ditangkap dan diamati dikelompokkan ke dalam guild berdasarkan pendekatan a priori (Wiens 1989) yang dilakukan dengan mengacu pada data penelitian lain mengenai guild. Adapun pengelompokan guild dalam penelitian ini mengacu pada Wong 1986; MacKinnon dan Phillips 1993; Coates et al. 1997; Lambert dan Collar 2002; MacKinnon et al. 2010 yaitu:

1) Insektivora (pemakan serangga) dibedakan lagi atas:

a. Aerial insectivore (AI): pemakan serangga sambil melayang

b. Tree foliage gleaning insectivore (TFGI): pemakan serangga yang aktif

mencari makan di bagian tajuk pohon

c. Bark gleaning insectivore (BGI): pemakan serangga yang mencari

makan di bagian dahan atau ranting pohon.

d. Shrub foliage gleaning insectivore (SFGI): pemakan serangga yang

mencari makan di daerah semak belukar

e. Litter gleaning insectivore (LGI): pemakan serangga yang mencari

makanan di serasah atau lantai hutan

f. Insectivore-frugivore (I/F): pemakan serangga dan buah-buahan

g. Insectivore-nectarivore (I/N): pemakan serangga sekaligus pemakan

nektar

h. Insectivore-piscivore (I/P): pemakan serangga dan ikan atau vertebrata

lain di dalam air

2) Frugivora (F): kelompok pemakan buah-buahan 3) Granivora(G): kelompok pemakan biji-bijian

4) Karnivore (K): kelompok pemakan hewan vertebrata lainnya

5) Omnivora (O): kelompok yang memakan serangga, buah atau hewan vertebrata lain.


(29)

f. Bobot Tubuh

Data bobot tubuh rata-rata beserta simpangan baku dari jenis-jenis yang tertangkap di ketiga lokasi penelitian disajikan dalam bentuk tabel. Menurut Fowler and Cohen (1986) simpangan baku merupakan ukuran yang paling sering digunakan untuk mengetahui variabilitas dalam satu populasi. Jenis-jenis burung yang disajikan dalam tabel adalah jenis burung yang memiliki data jumlah individu lebih dari empat individu. Selain itu, untuk jenis burung yang ditemukan di semua lokasi juga akan dianalisis dan disajikan dalam tabel.

Analisis statistik bobot tubuh dilakukan terhadap jenis dominan, yaitu Burunggereja Erasia. Uji-t dilakukan untuk memeriksa perbedaan bobot tubuh antara kelas umur dewasa dan juvenil. Uji ANOVA satu arah dilakukan untuk menguji variasi bobot tubuh pada interval pagi, siang dan sore hari.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil

3.1.1 Kondisi Habitat

Lokasi A (Tingkat gangguan rendah)

Lokasi dengan tingkat gangguan rendah sebagian besar terdiri dari tegakan pohon-pohon dan bagian lain berupa kebun dan semak belukar. Strata vegetasi terdiri dari 4 strata yaitu strata B, C, D dan E yang memiliki tegakan masih rapat yaitu 0.083 individu/m2 (Gambar 3.1). Pohon tertinggi pada plot pengamatan di lokasi ini adalah durian (Durio zibethinus) yaitu 28.0 m.

Komposisi vegetasi di lokasi ini didominasi oleh jenis durian (Durio

zibethinus; INP 119.47%), angsana (Pterocarpus indicus; INP 42.3%), meranti

(Shorea leprosula; INP 35.55%), jati (Tectona grandis; INP 37.8%), nangka

(Artocarpus heterophyllus), sukun (Artocarpus communis) dan melinjo (Gnetum

gnemon). Tumbuhan bawah dan semak terdiri atas seuseureuhan (Piper

aduncum), rumput gajah (Paspalum conjugatum), pakis-pakisan (Cyclosorus

aridus, Cylosorus sp.), harendong bulu (Clidemia hirta) dan talas (Colocasia sp.)

dengan kerapatan tumbuhan bawah tidak terlalu rapat (18 individu/m2).

Aktivitas manusia berupa kunjungan atau kehadiran di lokasi ini rata-rata kurang dari 10 orang per hari. Bentuk aktivitas adalah penggunaan akses jalan setapak di lokasi ini. Selain aktivitas manusia, di lokasi ini juga relatif sepi dari kebisingan, sehingga kemungkinan gangguan terhadap burung-burung di lokasi ini kecil.

Lokasi B (Tingkat gangguan sedang)

Sebagian besar tutupan lahan di lokasi dengan tingkat gangguan sedang adalah hutan tanaman, semak belukar, kebun percobaan, lahan terbuka dan area khusus yang disebut unit penanaman. Area khusus ini ditanami beberapa jenis tanaman musiman seperti mengkudu, jambu, dan jagung. Di lokasi ini strata


(30)

vegetasi terdiri atas 5 strata yaitu strata A, B, C, D dan E yang memiliki tegakan pohon yang masih cukup rapat yaitu 0.043 individu/m2 (Gambar 3.1). Pohon tertinggi pada plot pengamatan di lokasi ini adalah leda (Eucalyptus sp.) yaitu 34.0 m.

Tajuk pohon pada lokasi ini masih cukup rapat, namun tidak saling bersambungan antara tajuk yang satu dengan tajuk yang lainnya. Komposisi pohon di lokasi ini didominasi oleh jenis Leda (Eucalyptus sp., INP 207.1%) dan mahoni (Swietenia macrophylla, INP 92.99%). Tumbuhan bawah dan semak terdiri atas saliara (Lantana camara), rambusa (Passiflora foetida), gulma mikania (Mikania micrantha), putri malu (Mimosa pudica), pakis kawat

(Gleichenia linearis), sentro/ buah polong (Centrosema pubescens). Kerapatan

tumbuhan bawah di lokasi ini adalah 52.67 individu/m2. Di lokasi ini hampir tidak ada aktivitas pembangunan, namun ada bangunan yang sudah permanen dan dibangun pada tahun 1980-an yaitu rumah bagi penjaga kebun.

Aktivitas manusia berupa kunjungan atau kehadiran di lokasi ini rata-rata 10−50 orang per hari. Selama penelitian di lapangan, terlihat adanya aktivitas masyarakat sekitar yang mencari rumput, mencari kayu bakar, dan menggunakan lokasi ini sebgai akses jalan. Selain itu, lokasi ini merupakan tempat praktik mahasiswa, sehingga pada waktu-waktu tertentu ramai dengan aktivitas manusia (30−50 orang).

Lokasi C (Tingkat gangguan tinggi)

Lokasi dengan tingkat gangguan tinggi sebagian besar terdiri dari lahan terbuka, kebun, semak belukar, tegakan bambu, arena olah raga dan lahan kosong. Di lokasi ini strata vegetasi terdiri atas 3 strata yaitu strata C, D dan E yang memiliki tegakan pohon tidak rapat yaitu 0.0067 individu/m2 (Gambar 3.1). Pohon tertinggi pada plot pengamatan di lokasi ini adalah lamtorogung (Leucaena

leucocephala) yaitu 15.0 m. Tumbuhan bawah dan semak diantaranya terdiri atas

putri maludan polong-polongan.

Kondisi habitat di lokasi ini berupa areal terbuka (lahan kosong berumput), beberapa kumpulan tegakan bambu (Bambusa sp., Gigantochloa sp.), sebagian kecil tegakan pohon akasia (Acacia mangium) serta sebagian besar berupa semak belukar. Semak dan tumbuhan bawah yang mendominasi adalah ilalang (Imperata cylindrica) dan putri malu. Tumbuhan bawah di lokasi ini memiliki kerapatan 9.58 individu/m2. Lahan terbangun di lokasi ini sudah banyak diantaranya gedung olah raga Gymnasium, lapangan tenis, asrama putri, dan kantin.

Aktivitas manusia berupa kunjungan atau kehadiran di lokasi dengan tingkat gangguan tinggi yaitu lebih dari 50 orang per hari. Selama penelitian, di lokasi ini terlihat adanya aktivitas mencari rumput, mencari kayu bakar, dan beberapa masyarakat menggunakan lokasi ini sebagai akses jalan. Lokasi ini juga berbatasan langsung dengan permukiman warga, sehingga banyak aktivitas warga keluar masuk lokasi ini. Selain itu, lokasi ini cukup ramai dikunjungi mahasiswa yang melakukan aktivitas olah raga. Hampir setiap hari lokasi ini selalu ramai dikunjungi. Tingginya aktivitas manusia di lokasi ini membuat banyak jenis burung sulit dijumpai, meskipun ada beberapa jenis burung yang dapat dijumpai dengan mudah.


(31)

Gambar 3.1 Perbandingan profil vegetasi pada berbagai tingkat gangguan

60m

60m 60m 35m

35m

Gangguan rendah 

Gangguan sedang 

Gangguan tinggi


(32)

3.1.2.Struktur Komunitas Burung

Keanekaragaman dan Kekayaan Jenis

Total jumlah burung yang tercatat selama penelitian menggunakan kedua metode adalah 41 jenis dari 23 suku (931 individu; IPA = 634 individu, mist net = 297 individu) (Tabel 3.1; Tabel 3.2; Lampiran 1). Pada penelitian ini tercatat satu jenis burung yang tidak tercatat dalam penelitian sebelumnya (1986 – 2012) yaitu Cabai Bunga-api (Dicaeum trigonostigma) dari Suku Dicaeidae. Jenis ini tertangkap dengan jala kabut pada lokasi bersemak di habitat dengan gangguan rendah.

Tujuh jenis teridentifikasi sebagai jenis yang dilindungi PP no 7 tahun 1999 yaitu dari suku Alcedinidae (Cekakak Sungai, Cekakak Jawa, dan Rajaudang Meninting), Nectariniidae (Burungmadu Sriganti, dan Pijantung Kecil), Muscicapidae (Kipasan Belang) dan Strigiformes (Celepuk Reban). Dua jenis termasuk kedalam kriteria Appendix II CITES (Soehartono dan Mardiastuti 2003) yaitu Betet Biasa dan Celepuk Reban. Terdapat jenis-jenis endemik yang ditemukan di lokasi penelitian yaitu Cekakak Jawa, Cinenen Jawa, Perenjak Jawa, Cabai Jawa dan Bondol Jawa. Tertangkap dengan jala kabut satu jenis burung migran yaitu Bentet Loreng.

Lokasi dengan tingkat gangguan berbeda memiliki jumlah jenis dan komposisi yang berbeda pula (Tabel 3.1). Lokasi dengan tingkat gangguan sedang memiliki jumlah jenis terbanyak 28 jenis (68%), sedangkan penemuan jenis terendah adalah di lokasi dengan gangguan tinggi 24 jenis (59%). Walaupun jumlah jenis pada ketiga lokasi tidak berbeda jauh namun uji chi square

menunjukkan bahwa jumlah jenis pada ketiga lokasi penelitian sangat berbeda nyata (χ2 = 15.95, df = 2, P < 0.01).

Beberapa jenis burung dapat ditemukan secara umum di semua habitat dengan tingkat gangguan berbeda di antaranya Tekukur Biasa, Cucak Kutilang dan Pelanduk Semak. Selain itu terdapat jenis-jenis yang dapat ditemukan pada semua semua habitat dengan tingkat gangguan berbeda tetapi dengan jumlah individu yang jarang di antaranya Bubut Alang-alang dan Rajaudang Meninting.

Selain jenis-jenis umum, terdapat juga jenis-jenis spesifik yang hanya ditemukan di lokasi tertentu yaitu Punai Gading, Kedasi Hitam, Bentet Loreng, Celepuk Reban, Srigunting Hitam, Cabak Maling, Gagak Kampung, Caladi Ulam, Pijantung Kecil dan Cabai Bunga-api.

Pencatatan dengan metode IPA menghasilkan perbandingan jumlah jenis pada ketiga lokasi penelitian (Gambar 3.2). Data menunjukkan bahwa pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah, penemuan jumlah jenis mencapai lebih dari 20 jenis pada titik awal (kurang dari 10 titik). Hal tersebut berbeda pada lokasi dengan gangguan sedang penemuan jumlah jenis mencapai lebih dari 20 jenis tercatat setelah pengamatan lebih dari 15 titik. Pada lokasi dengan tingkat gangguan tinggi penemuan jumlah jenis mencapai lebih dari 20 jenis setelah pengamatan lebih dari 20 titik.


(33)

Tabel 3.1 Perbandingan komposisi jenis pada lokasi dengan gangguan gangguan rendah, sedang dan tinggi (tata nama: Sukmantoro et al. 2007)

No Nama Ilmiah Nama indonesia Famili Tingkat Gangguan

Rendah Sedang Tinggi

1 Turnix suscitator Gemak Loreng Turnicidae √ √

2 Amaurornis phoenicurus Kareo Padi Rallidae √ √

3 Treron vernans Punai Gading Columbidae √

4 Streptopelia chinensis Tekukur Biasa Columbidae √ √ √

5 Chalcopaps indica Delimukan Zamrud Columbidae √

6 Psittacula alexandri Betet Biasa Psittacidae √

7 Cacomantis merulinus Wiwik Kelabu Cuculidae √ √ √

8 Cacomantis sepulcralis Wiwik Uncuing Cuculidae √

9 Cacomantis sonneratii Wiwik Lurik Cuculidae √ √

10 Surniculus lugubris Kedasi Hitam Cuculidae √

11 Centropus bengalensis Bubut Alang-alang Cuculidae √ √ √

12 Otus lempiji Celepuk Reban Strigiformes √

13 Caprimulgus macrurus Cabak Maling Caprimulgidae √

14 Collocalia linchi Walet Linci Apodidae √ √ √

15 Alcedo meninting Rajaudang Meninting Alcedinidae √ √ √

16 Halcyon cyanoventris Cekakak Jawa Alcedinidae √ √ √

17 Halcyon chloris Cekakak Sungai Alcedinidae √ √ √

18 Dendrocopos macei Caladi Ulam Picidae √

19 Hirundo tahitica Layanglayang Batu Hirundinidae √ √

20 Aegithina tiphia Cipoh Kacat Chloropseidae √

21 Pycnonots aurigaster Cucak Kutilang Pycnonotidae √ √ √

22 Dicrurus macrocercus Srigunting Hitam Dicruridae √

23 Oriolus chinensis Kepudang Kuduk-hitam Oriolidae √

24 Corvus macrorhynchos Gagak Kampung Oriolidae √

25 Pellorneum capistratum Pelanduk Topi-hitam Timaliidae √ √ √

26 Malacocinla sepiarium Pelanduk Semak Timaliidae √ √ √

27 Orthotomus sutorius Cinenen Pisang Silviidae √ √ √

28 Orthotomus sepium Cinenen Jawa Silviidae √ √ √

29 Prinia familiaris Perenjak Jawa Silviidae √ √

30 Prinia polychroa Perenjak Coklat Silviidae √ √

31 Rhipidura javanica Kipasan Belang Muscicapidae √

32 Artamus leucorhynchus Kekep Babi Artamidae √

33 Lanius tigrinus Bentet Loreng Laniidae √

34 Lanius schach Bentet Kelabu Laniidae √

35 Nectarinia jugularis Burungmadu Sriganti Nectariniidae √ √ √

36 Arachnothera longirostra Pijantung Kecil Nectariniidae √

37 Dicaeum trigonostigma Cabai Bunga-api Dicaeidae √

38 Dicaeum trochileum Cabai Jawa Dicaeidae √ √ √

39 Passer montanus Burunggereja Erasia Ploceidae √ √

40 Lonchura leucogastroides Bondol Jawa Ploceidae √ √ √

41 Lonchura punctulata Bondol Peking Ploceidae √ √


(34)

Gambar 3.2 Perbandingan penemuan jumlah jenis dan dan pengambilan titik pada lokasi dengan berbagai tingkat gangguan

Lokasi dengan tingkat gangguan rendah memiliki nilai indeks keanekaragaman dan kekayaan jenis tertinggi (H’ = 2.53; DMg = 5.17) walaupun

jumlah jenis tertinggi (68%) tercatat di lokasi dengan tingkat gangguan sedang (Tabel 3.2). Lokasi dengan gangguan tinggi memiliki nilai indeks keanekaragaman dan kekayaan jenis burung paling rendah (H’ = 1.84; DMg =

3.68) walaupun titik pengamatan lebih banyak dibandingkan dengan dua lokasi yang lainnya. Meskipun keanekaragaman jenis di lokasi dengan tingkat gangguan rendah lebih tinggi daripada lokasi dengan gangguan sedang dan tinggi, namun jika dilihat dari jumlah individu yang tertangkap dan teramati, lokasi dengan tingkat gangguan tinggi memiliki jumlah individu paling banyak (55%) dibandingkan dengan lokasi pada tingkat gangguan rendah (17%) maupun gangguan sedang (28%).

Tabel 3.2 Jumlah pengambilan contoh, keanekaragaman dan kekayaan jenis serta individu pada lokasi dengan tingkat gangguan berbeda menggunakan metode IPA dan mist net

Tingkat gangguan habitat Rendah Sedang Tinggi Jumlah titik 20 20 30 Jumlah jam jala 6816 6336 6514 Jumlah jenis total 27 (66%) 28 (68%) 24 (59%) Jumlah individu total 153 (17%) 262 (28%) 516 (55%) Keanekaragaman (H’) 2.53 2.40 1.84 Kekayaan (DMg) 5.17 4.85 3.68

0 5 10 15 20 25 30

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29

Jum

lah je

nis

Jumlah titik


(35)

Kelimpahan Individu

Komunitas burung di Kampus IPB Darmaga didominasi oleh jenis-jenis burung dari suku Cuculidae (12.20% dari 41 jenis burung yang tertangkap dan teramati). Jenis-jenis tersebut adalah Wiwik Kelabu, Wiwik Uncuing, Wiwik Lurik, Kedasi Hitam dan Bubut Alang-alang. Pada tingkat individu, suku Ploceidae paling mendominasi yaitu 403 individu (43.29%) dari 931 burung yang yang tertangkap dan teramati merupakan anggota dari famili tersebut (Tabel 3.3). Suku ini terdiri dari tiga jenis yaitu Burunggereja Erasia sebanyak 29.68% (268 individu; IPA = 109, mist net = 159), Bondol Jawa sebanyak 13.18% (119 individu; IPA = 109, mist net = 10) dan Bondol Peking sebanyak 1.77%. (16 individu; IPA = 7, mist net = 9). Suku Apodidae memiliki jumlah individu yang banyak walaupun hanya terdiri dari satu jenis yaitu Walet Linci (Tabel 3.3).

Uji chi square menunjukkan bahwa jumlah jenis yang tertangkap dan

teramati tidak berbeda nyata untuk setiap suku (χ2 = 15.68, df = 22, P > 0.05), namun berbeda sangat nyata antara jumlah individu yang tertangkap dan teramati pada masing-masing suku (χ2= 4180.13, df = 22, P < 0.01).

Tabel 3.3 Suku, jumlah jenis dan jumlah individu yang ditangkap dan diamati pada semua lokasi

Suku Jumlah

Jenis % Individu %

Turnicidae 1 2.44 9 0.97

Rallidae 1 2.44 2 0.21

Collumbidae 3 7.32 27 2.90

Psittacidae 1 2.44 12 1.29

Cuculidae 5 12.20 24 2.58

Strigiformes 1 2.44 1 0.11

Caprimulgidae 1 2.44 1 0.11

Apodidae 1 2.44 153 16.43

Alcedinidae 3 7.32 24 2.58

Picidae 1 2.44 4 0.43

Hirundinidae 1 2.44 38 4.08

Chloropseidae 1 2.44 4 0.43

Pycnonotidae 1 2.44 96 10.31

Dicruridae 1 2.44 1 0.11

Oriolidae 2 4.88 2 0.21

Timaliidae 2 4.88 38 4.08

Silviidae 4 9.76 50 5.37

Muscicapidae 1 2.44 1 0.11

Artamidae 1 2.44 1 0.11

Laniidae 2 4.88 2 0.21

Nectariniidae 2 4.88 8 0.86

Dicaeidae 2 4.88 30 3.22

Ploceidae 3 7.32 403 43.29


(36)

Individu dengan kelimpahan tertinggi adalah Burunggereja Erasia (268 individu, 29%) yang ditemukan di lokasi dengan tingkat gangguan rendah dan tinggi (Tabel 3.3). Jenis ini hanya tertangkap pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah (4 individu, 1%) dan tertangkap serta teramati pada lokasi dengan tingkat gangguan tinggi (264 individu, 99%). Jenis ini merupakan jenis yang paling sering tertangkap dengan jala kabut (155 individu, 66%) dan merupakan individu dominan di lokasi dengan tingkat gangguan tinggi.

Jenis burung yang mendominasi berdasarkan kedua metode (IPA dan mist net) pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah adalah Cucak Kutilang sebanyak 34% (52 individu; IPA = 48, mist net = 4), pada lokasi dengan tingkat gangguan sedangWalet Lincisebanyak34% (89 individu; IPA = 88, mist net = 1), dan pada lokasi dengan gangguan tinggi Burunggereja Erasia sebanyak 51% (264 individu; IPA = 109, mist net = 155) (Tabel 3.4). Kelimpahan individu bervariasi berdasarkan lokasi ditemukan jenis tersebut (Lampiran 2). Beberapa jenis memiliki kelimpahan tinggi pada lokasi tertentu namun pada lokasi lain jenis ini memiliki kelimpahan rendah atau bahkan tidak ditemukan seperti Burunggereja Erasia. Selain itu terdapat beberapa jenis yang ditemukan di semua lokasi penelitian dengan kelimpahan yang hampir sama seperti Walet Linci, Bondol Jawa, danCabai Jawa (Tabel 3.3).

Jenis Cucak Kutilang melimpah pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah (34%) namun sangat kecil kelimpahannya pada lokasi dengan gangguan tinggi (2.5%). Berbeda halnya dengan Walet Linci yang dapat ditemukan pada semua lokasi dengan kelimpahan yang relatif sama (gangguan rendah = 13%, gangguan sedang = 11%, ganggun tinggi = 8.5%). Bondol Jawa dan Cabai Jawa juga tercatat memiliki kelimpahan individu yang hampir merata pada semua lokasi penelitian (Tabel 3.4).

Tabel 3.4 Kelimpahan relatif pada habitat dengan gangguan sedang, rendah, tinggi dengan menggunakan metode IPA dan mist net

No Jenis Tingkat gangguan habitat

Rendah Sedang Tinggi 1 Tekukur Biasa 0.033 0.061 0.004 2 Wiwik Kelabu 0.026 0.019 0.006 3 Bubut Alang-alang 0.007 0.011 0.008 4 Walet Linci 0.131 0.340 0.085 5 Rajaudang Meninting 0.007 0.004 0.002 6 Cekakak Jawa 0.039 0.011 0.006 7 Cekakak Sungai 0.026 0.011 0.004 8 Cucak Kutilang 0.340 0.118 0.025 9 Pelanduk Topi-hitam 0.059 0.004 0.012 10 Pelanduk Semak 0.039 0.019 0.021 11 Cinenen Pisang 0.013 0.031 0.004 12 Cinenen Jawa 0.039 0.027 0.035 13 Perenjak Jawa 0.007 0.011 0.000 14 Burungmadu Sriganti 0.020 0.008 0.004 15 Cabai Jawa 0.046 0.027 0.029

16 Burunggereja Erasia 0.026 0.000 0.512


(37)

Lokasi dengan tingkat gangguan tinggi merupakan lokasi dengan penemuan individu terbanyak dibandingkan lokasi lain yaitu sebanyak 516 inividu atau 55.42% (metode IPA dan mist net). Uji chi square menunjukkan bahwa jumlah individu pada ketiga lokasi penelitian berbeda sangat nyata (χ2 = 223.85, df = 2, P < 0.01).

Jenis burung yang ditemukan pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah memiliki komposisi individu yang berbeda sangat nyata untuk setiap jenis (χ2 = 466.67, df = 26, P < 0.01). Hal yang sama juga tercatat pada lokasi dengan tingkat gangguan sedang (χ2 = 929.03, df = 27, P < 0.01) dan lokasi dengan tingkat gangguan tinggi (χ2 = 3156.74, df = 23, P < 0.01) yang memiliki komposisi individu per jenis sangat berbeda nyata.

Lokasi dengan gangguan tinggi memiliki jenis yang termasuk kategori sering (n > 100) yaitu Burunggereja Erasia (264 individu). Kategori ini tidak ditemukan pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah dan sedang (Tabel 3.5). Selain itu lokasi dengan gangguan tinggi juga memiliki jenis dengan kategori umum paling banyak dibandingkan dengan habitat lain.

Jenis-jenis yang termasuk kategori jarang dan tidak umum paling banyak ditemukan pada lokasi dengan gangguan rendah. Cucak Kutilang merupakan jenis dengan kategori umum yang ditemukan di semua lokasi penelitian, sedangkan jenis dengan kategori jarang yang ditemukan di semua lokasi adalah Burungmadu SrigantidanRajaudang Meninting.

Tabel 3.5 Perbandingan kategori jenis dan jumlah individu pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi

Kategori jenis (n) Tingkat gangguan habitat

Rendah Sedang Tinggi Sering ( > 100) 0% 0% 1 jenis (4%) Umum (21-99) 2 jenis (7%) 3 jenis (11%) 4 jenis (17%) Tidak umum (5-20) 8 jenis (30%) 7 jenis (25%) 6 jenis (25%) Jarang (1-4) 18 jenis (67%) 16 jenis (57%) 13 jenis (54%) Kesamaan Komunitas

Kesamaan komunitas tertinggi adalah antara habitat dengan gangguan sedang dan habitat yang memiliki gangguan tinggi. Analisis menghasilkan indeks kesamaan sebesar 69.20% (Gambar 3.3). jenis-jenis yang ditemukan di lokasi dengan gangguan sedang namun tidak ditemukan di lokasi dengan gangguan tinggi adalah Caladi Ulam, Kepudang Kuduk-hitam, Bentet Loreng, dan Bentet Kelabu. Adapun jenis-jenis di lokasi gangguan tinggi yang tidak ditemukan di lokasi gangguan sedang yaitu Kareo Padi, Gagak Kampung, Kekep Babi dan Burunggereja Erasia.

Kesamaan komunitas antara kedua lokasi ini (gangguan sedang dan tinggi) dengan lokasi tingkat gangguan rendah hanya 38.77%. Sembilan jenis burung di lokasi dengan tingkat gangguan rendah, tidak ditemukan di lokasi dengan tingkat gangguan sedang dan tinggi. Jenis tersebut adalah Punai Gading, Celepuk Reban, Cabak Maling, Kedasi Hitam, Sigunting hitam, Kipasan Belang, Pijantung Kecil, Cipoh Kacat, dan Cabai Bunga-api. Hal ini menunjukkan bahwa di lokasi dengan tingkat gangguan rendah terdapat jenis-jenis spesialis.


(38)

G K u g o p K p k b d ( d g p 0 Gambar 3.3

Komposisi G

Kom utama guild

granivora (p omnivora (p paling mend Komposisi p penelitian ( komposisiny

Kelo banyak darip demikian, an (χ2 = 3.5, d ditemukan d sedangkan k gangguan tin paling banya 0.05). 3 Dendogra gangguan Guild

mposisi guild d, yaitu inse pemakan bij pemakan cam

dominasi pad penyusun bu (χ2 = 5.82, ya jenis berb ompok jenis

pada di habi nalisis statis df= 2, P > 0 di habitat d kelompok pe nggi (χ2 = 0. ak ditemuka

am kesamaa rendah, sed

d pada ketig ektivora (pem

ji), karnivor mpuran). Bur

da ketiga lo urung pemak

df = 2, P beda untuk ti

pemakan bu itat dengan t stik menunju 0.05). Kelom dengan gang

emakan biji .6, df= 2, P > an di habitat

an komunit ang dan ting

ga lokasi pe makan seran ra (pemakan

rung pemaka kasi peneliti ka serangga P < 0.05), iap lokasi (G

uah di habit tingkat gang ukkan komp mpok pema gguan renda paling bany > 0.05). Kel dengan gan

tas burung ggi

enelitian terd ngga), frugi n daging ata an serangga ian (χ2 = 59 a berbeda ny adapun un Gambar 3.4).

tat dengan g guan rendah posisi tersebu akan vertebra ah (χ2 = 2.6 yak ditemuka ompok buru gguan tingg

pada habit

diri dari lim ivora (pema au vertebrata

merupakan 9.85, df = 4,

yata pada ke ntuk guild

gangguan se h dan tinggi. ut tidak berb ata lain pali 67, df= 2, P an pada habi ung pemakan i (χ2 = 2.67,

69. 38.77

tat dengan

ma kategori kan buah), a lain) dan

guild yang

P < 0.01). etiga lokasi yang lain, edang lebih Walaupun beda nyata ing banyak P > 0.05), itat dengan n campuran df= 2, P >


(39)

Gambar 3.4 Komposisi guild jenis burung di tiga lokasi dengan tingkat gangguan berbeda

Lokasi dengan gangguan rendah memiliki jenis karnivora paling banyak yaitu sebanyak tiga jenis, sedangkan di lokasi gangguan sedang dan tinggi masing-masing tercatat satu jenis guild karnivora (Tabel 3.7). Bubut Alang-alang ditemukan di semua lokasi penelitian. Adapun yang hanya ditemukan di lokasi dengan gangguan rendah adalah Celepuk Reban dan Cabak Maling.

Tabel 3.7 Perbandingan komposisi guild pada lokasi dengan tingkat gangguan habitat rendah, sedang dan tinggi

Guild Tingkat gangguan

Rendah Sedang Tinggi

Insektivora 19 21 16

Frugivora 2 3 1

Granivora 2 2 3

Carnivora 3 1 1

Omnivora 1 1 3

Jumlah jenis 27 28 24

Pada habitat dengan tingkat gangguan rendah, komposisi guild berbeda sangat nyata untuk setiap kategori (χ2 = 43.16, df = 4, P < 0.01). Perbedaan tersebut juga tercatat pada komposisi guild di habitat dengan gangguan sedang (χ2 = 53.43, df = 4, P < 0.01), dan habitat dengan tingkat gangguan tinggi (χ2 = 160.8, df = 4, P < 0.01). Pada kelompok guild pemakan serangga, secara spesifik terbagi lagi menjadi 8 kategori sesuai tempat dan cara mencari makan. Pada masing-masing habitat, komposisi guild serangga ini menunjukkan adanya perbedaan (Gambar 3.5). Kelompok burung pemakan serangga di bagian batang (BGI) hanya ditemukan sebanyak satu jenis yaitu di lokasi dengan tingkat gangguan sedang yaitu Caladi Ulam yang tertangkap dengan jala kabut serta teramati saat pengamatan dengan menggunakan binokuler.

Karnivora 70.37%

75.00% 66.67%

7.41% 10.71% 4.17%

7.41% 7.14% 12.50%

11.11%

3.57% 4.17%

3.70% 3.57% 12.50%

Gangguan rendah Gangguan

sedang Gangguan

tinggi


(40)

Gambar 3.5 Komposisi guild pemakan serangga pada habitat dengan gangguan rendah sedang dan tinggi

Keterangan: pemakan serangga sambil melayang (AI), pemakan serangga yang aktif mencari makan di bagian tajuk pohon (TFGI), pemakan serangga yang mencari makan di daerah batang pohon (BGI), pemakan serangga yang mencari makan di daerah semak belukar (SFGI), pemakan serangga yang mencari makanan di serasah atau lantai hutan (LGI), pemakan serangga dan buah-buahan (IF), pemakan serangga sekaligus pemakan nektar (IN), pemakan serangga dan ikan atau vertebrata lain di dalam air (IP).

Bobot Tubuh

Pada ketiga lokasi penelitian, sebanyak 297 individu berhasil ditangkap, namun yang berhasil ditimbang sebanyak 279 individu. Sebanyak 18 individu tidak berhasil ditimbang karena terlepas sebelum proses penimbangan atau lepas saat dilepaskan dari jaring. Individu dengan bobot 11−20 g merupakan individu yang paling sering tertangkap yaitu 156 individu (55.91%). Individu yang tertangkap dengan bobot di bawah 50 g sebanyak 270 individu (96.77%), sedangkan individu yang tertangkap dengan bobot di atas 50 g sebanyak 9 individu (3.23%).

Sebanyak 26 individu berhasil ditangkap dan ditimbang di lokasi dengan gangguan rendah. Individu dengan bobot dibawah 10 g merupakan individu yang paling banyak tertangkap (9 individu, 34.61%). Pada lokasi ini tidak ditemukan individu dengan bobot antara 51−100 g, tetapi ditemukan 3 individu dengan bobot antara 101−130 g. Pada lokasi dengan gangguan sedang berhasil ditangkap dan ditimbang sebanyak 35 individu. Sebanyak 11 individu (31.43%) merupakan individu dengan bobot kurang dari 10 g. Bobot tertinggi di lokasi ini adalah antara 91−100 g, dan tidak tertangkap individu yang lebih dari 100 g (Tabel 3.8).

Pada lokasi dengan gangguan tinggi, individu yang tertangkap dan berhasil ditimbang sebanyak 218 individu dan merupakan yang paling banyak diantara lokasi yang lainnya. Individu dengan bobot antara 11-20 g merupakan individu yang paling sering tertangkap di lokasi ini (150 individu, 68.81%) (Tabel 3.8).

0 1 2 3 4 5

AI TFGI BGI SFGI LGI IF IN IP

Jum

la

h

jenis


(41)

Tabel 3.8 Perbandingan jumlah individu yang tertangkap dengan mist net

berdasarkan bobot tubuh pada lokasi dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi

Bobot tubuh (g) Tingkat Gangguan Habitat Jumlah total Rendah Sedang Tinggi

< 10 9 11 30 50

11−20 2 4 150 156

21−30 8 6 32 46

31−40 1 7 2 10

41−50 3 4 1 8

51−60 0 0 1 1

62−70 0 0 0 0

71−80 0 2 0 2

81−90 0 0 1 1

91−100 0 1 0 1

101−120 2 0 0 2

121−130 1 0 1 2

Jumlah individu 26 35 218 279

Terdapat beberapa jenis burung yang memiliki bobot tubuh bervariasi pada lokasi dengan tingkat gangguan berbeda (Tabel 3.9). Tidak dilakukan uji statistik untuk melihat perbedaan tersebut dikarenakan sampel individu yang tidak mencukupi. Secara umum dapat diketahui perbedaan bobot tubuh tubuh Cekakak Jawa dan Cucak Kutilang di lokasi dengan tingkat gangguan rendah yang lebih berat daripada lokasi yang lainnya. Bobot tubuh Pelanduk Topi-hitam di lokasi dengan gangguan sedang lebih berat dibandingkan lokasi lain. Bobot tubuh Pelanduk Semak, Cinenen Jawa dan Cabai Jawa di lokasi dengan gangguan tinggi lebih berat dibandingkan lokasi yang lainnya.

Tabel 3.9 Variasi bobot tubuh jenis burung yang ditemukan di semua lokasi dengan tingkat gangguan rendah, sedang dan tinggi

Jenis

Variasi bobot tubuh pada lokasi dengan tingkat gangguan berbeda (rata-rata + SD, n)

Rendah Sedang Tinggi Cekakak Jawa 114.5 (2) 77.0 (1) 82.0 (1)

Cucak Kutilang 41.3 ± 6.5 (4) 39.6 ± 6.2 (7) 30.0 (1) Pelanduk Topi-hitam 25.0 ± 5.2 (4) 27.0 (1) 25.6 ± 5.0 (5) Pelanduk Semak 23.0 (1) 24.0 (1) 24.0 ± 4.5 (7) Cinenen Jawa 6.7 ± 1.9 (4) 7.8 ± 2.8 (6) 9.0 ± 3.3 (11) Cabai Jawa 8.0 (2) 7.0 (2) 12.0 (1)

Lokasi dengan tingkat gangguan tinggi memiliki beberapa jenis burung dengan individu melimpah (Tabel 3.10). Pada lokasi dengan gangguan rendah dan sedang hanya empat jenis yang memiliki jumlah individu lebih dari empat, selain itu jumlah individu terbanyak hanya enam individu. Berbeda dengan lokasi gangguan tinggi yang memiliki delapan jenis burung dengan individu lebih dari empat dan dengan jumlah individu terbanyak mencapai 141 individu.


(42)

Tabel 3.10 Variasi bobot tubuh jenis burung yang ditemukan di lokasi penelitian dengan gangguan rendah, sedang dan tinggi (n > 4)

Jenis

Variasi bobot tubuh pada lokasi dengan tingkat gangguan berbeda (rata-rata + SD, n)

Rendah Sedang Tinggi Burunggereja Erasia 20.3 ± 4.2 (4) - 18.6 ± 4.4 (141) Walet Linci - - 6.8 ± 2.4 (9) Laying-layang batu - - 11.4 ± 4.2 (19) Bondol Peking - 15.5 ± 5.4 (4) 13.5 ± 3.5 (5) Bondol Jawa - - 11.1 ± 3.5 (9) Cucak Kutilang 41.3 ± 6.5 (4) 39.6 ±6.2 (7) -

Cinenen Pisang - - -

Pelanduk Topi-hitam 25.0 ± 5.2 (4) - 25.6 ± 5.0 (5) Pelanduk Semak - - 24.0 ± 4.5 (7) Caladi Ulam - 36.3 ± 6.1 (4) -

Jenis Dominan (Burunggereja Erasia)

Analisis dilakukan di lokasi gangguan tinggi saja, karena di lokasi gangguan rendah jenis ini hanya ditemukan 4 individu, dan di lokasi gangguan sedang tidak ditemukan sama sekali. Data yang dianalisis adalah data pada bulan Maret dan Oktober tahun 2012. Pada bulan Maret (jumlah curah hujan 136 mm) diidentifikasi sebagai akhir musim hujan. Sedangkan pada bulan Oktober (jumlah curah hujan 540 mm) diidentifikasi sebagai awal musim hujan. Penentuan identifikasi tersebut berdasarkan data curah hujan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tahun 2012.

Jumlah total Burunggereja Erasia yang tertangkap selama 4 hari pemasangan jala kabut adalah 125 individu, tetapi tidak semuanya berhasil dicincin, karena ada beberapa individu yang terbang sewaktu sedang dilepaskan dari jaring sehingga 116 (93%) individu diantaranya berhasil dicincin dan ditimbang. Pada penelitian ini tidak ada individu yang mati selama proses penangkapan dan penimbangan. Sebanyak 12 individu (10%) yang dicincin pada Maret 2012 tertangkap kembali (retrap) pada Oktober 2013. Jumlah individu yang tertangkap dan retrap pada awal musim hujan (72 individu; 56%) lebih banyak daripada individu yang tertangkap pada akhir musim hujan (56 individu; 44%). Uji chi square menunjukkan bahwa jumlah individu yang tertangkap pada musim kemarau dan musim hujan tidak berbeda nyata (χ2 = 2.0, df = 1, P > 0.05).

Bobot tubuh rata-rata Burunggereja Erasia secara keseluruhan adalah 18.6 ± 2.9 g (n=128). Bobot tubuh terendah adalah 7.0 g dan bobot tertinggi 31.0 g (Gambar 3.6) dengan selang 15.5 – 21.5 g. Terdapat 10 individu (8%) yang memiliki bobot tubuh dibawah rata-rata dan 8 individu (6%) yang memiliki bobot tubuh di atas rata-rata. Individu dengan bobot tubuh 18.0 g dan 19.0 g merupakan individu yang paling sering tertangkap yaitu 27 kali (21 %) dan 26 kali (20 %).


(43)

Gambar 3.6 Sebaran bobot tubuh Burunggereja Erasia

Terdapat variasi bobot tubuh burung baik antar musim maupun antar waktu penangkapan (Tabel 3.11), tetapi perbedaan bobot tubuh rata-rata tidak berbeda nyata antar musim (t = 1.274, df = 126, P > 0.05). Perbedaan sangat nyata tampak pada bobot tubuh Burunggereja Erasia antar waktu pengamatan pagi, siang dan sore hari (df = 2, Fhitung= 5.064, P < 0.01) pada musim kemarau,

sedangkan pada musim hujan menunjukkan tidak berbeda nyata (df = 2, Fhitung =

0.258, P> 0.05).

Tabel 3.11 Perbandingan bobot tubuh Burunggereja Erasia pada musim berbeda Penghitungan Bobot tubuh (rata-rata ± SD, n)

Awal musim hujan Akhir musim hujan Rata-rata per musim 18.9 ± 3.0 (56) 18.2 ± 2.8 (72) Pagi (05.00-09.-00) 18.1 ± 2.3 (30) 18.3 ± 2.7 (56) Siang (09.00-13.00) 19.3 ± 3.5 (20) 18.0 ± 3.8 (12) Sore (13.00-17.00) 22.0 ± 2.4 (6) 19.3 ± 0.5 (4)

Berdasarkan bobot tubuh individu yang tertangkap, pada kelas umur anak individu yang paling sering tertangkap adalah yang memiliki bobot 18.0 g (15 individu; 24%), sedangkan pada kelas umur dewasa adalah 19.0 g (17 individu; 29%) (Gambar 3.7). Pada kelas umur anak bobot terendah adalah 9.0 g dan tertinggi 27.0 g, sedangkan pada kelas umur dewasa bobot terendah adalah 7.0 g dan bobot tertinggi 31.0 g. Uji chi square menunjukkan bahwa jumlah individu yang tertangkap pada pagi, siang dan sore hari berbeda sangat nyata pada baik musim kemarau (X2 = 15.6, df = 2, P < 0.01) maupun musim hujan (χ2 = 65.34, df = 1, P < 0.01).

0 5 10 15 20 25 30 35

0 20 40 60 80 100 120 140

Bobot tubuh


(1)

dibandingkan dengan metode tangkap lain seperti metode clap net dan trap. Hal ini dikarenakan fakta bahwa individu muda belum memiliki pengalaman seperti individu dewasa. Kemungkinan bagi individu yang pernah tertangkap sewaktu muda, akan lebih hati-hati untuk mendekati jala kabut, sedangkan individu muda mudah terjerat karena belum menegtahui adanya jaring yang dipasang.

Jumlah tangkapan individu muda (anak) di Kampus IPB Darmaga berbeda dengan penelitian Fogden (1972) di Kalimantan yang juga menggunakan metode mist net menyatakan bahwa individu muda paling banyak ditemukan antara Januari-Maret (akhir musim penghujan). Pada penelitian ini, individu muda justru paling banyak tertangkap pada bulan Oktober (awal musim penghujan). Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan bukanlah satu-satunya penentu aktivitas berbiak, tetapi faktor lain seperti ketersediaan pakan maupun suhu juga mempengaruhi musim berbiak dari Burunggereja Erasia. Pada musim hujan, di lokasi penelitian terlihat banyak serangga. Serangga merupakan sumber protein yang diperlukan oleh Burunggereja Erasiauntuk masa berbiak.Sehingga pada musim ini digunakan oleh Burunggereja Erasiauntuk berbiak dan menghasilkan individu-individu muda.Hal ini berbeda dengan pernyataan MacKinnon et al. (2010) yang menyatakan bahwa musim berbiak burung-burung pemakan biji adalah pada bulan yang lebih kering (curah hujan rendah).

4 SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan

1. Lokasi dengan tingkat gangguan sedang memiliki strata tajuk yang paling lengkap (5 strata), kerapatan pohon tertinggi tercatat di lokasi dengan gangguan rendah.

2. Semakin rendah tingkat gangguan, komunitas burung semakin baik, ditandai dengan H’ dan DMg yang semakin tinggi (Hipotesis 2 diterima). Kesamaan

komunitas tertinggi adalah antara lokasi dengan tingkat gangguan sedang dan tinggi (69.20%). Lokasi dengan tingkat gangguan rendah memiliki kesamaan jenis yang rendah dengan dua lokasi yang lainnya. Sebanyak 22% jenis burung di lokasi gangguan rendah, tidak ditemukan di lokasi dengan gangguan sedang dan tinggi.

3. Lokasi dengan tingkat gangguan sedang memiliki guild yang paling lengkap dibanding kedua lokasi lainnya (Hipotesis 3 tidak terbukti)

4. Khusus untuk Cekakak Jawa dan Cucak Kutilang bobot tubuh burung makin rendah dengan adanya gangguan habitat (Hipotesis 4 diterima), namun untuk Cinenen Jawa bobot tubuh justru semakin berat seiring bertambahnya tingkat gangguan (Hipotesis 4 tidak diterima). Untuk jenis-jenis lain tidak dapat dianalisis karena sampel masih kurang.


(2)

4.2 Saran

Keanekaragaman hayati yang tinggi di Kampus IPB Darmaga telah menjadi perhatian civitas akademika IPB sehingga Rektor IPB mencanangkan Kampus IPB Darmaga sebagai “Kampus Biodiversitas” pada bulan Mei 2011 yang lalu. Konsekuensi dari pencanangan tersebut adalah diperlukannya tindak lanjut pengelolaan kampus untuk pelestarian keanekaragaman hayati termasuk keanekaragaman burung. Diperlukan monitoring berkala setiap bulan mengenai jumlah individu atau kelimpahan setiap jenis, sebaran, struktur umur, kondisi kesehatan satwa, dan status perkembangbiakan dari jenis-jenis tersebut. Pengelolaan habitat juga menjadi penting untuk menjamin komunitas burung agar tidak terganggu seperti perlindungan pohon-pohon yang dijadikan tempat bersarang bagi burung; tidak melakukan pembangunan atau kegiatan dengan intensitas tinggi di habitat-habitat yang menjadi tempat hidup burung.


(3)

Daftar Pustaka

Adhikerana AS, Prawiradilaga DM. 1991. Laju metabolisme basal dan ekologi beberapa burung Passerine di Indonesia. Media Konservasi 3(3): 11-19. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (ID). 2012. Data curah

hujan tahun 2012 dan data curah hujan harian pada bulan Maret dan Oktober 2012. (tidak dipublikasikan).

Barlow JC, Leckie SN. 2000. Eurasian tree sparrow (Passer montanus) in the Birds of North Amerika. The Birds of North America no 566: Philadephia. Bautista LM, Alonso JC. 2013. Factors influencing daily food-intake patterns in

birds: A case study with wintering common cranes. The Condor 115(2):330–339.

Bibby C, Martin J, Stuart M. 2000. Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan Survei Burung. Bogor (ID): Birdlife Indonesia Programme.

Bierregaard RO, Lovejoy TE. 1989. Effect of forest fragmentation on Amazonian Understory Bird Communities. Acta Amazonica 19 (Unico): 215-241. [BTO] British Trust of Ornithologist (UK). 2009. Tree sparrow Passer montanus.

http://www.bto.org/about-birds/nnbw/nesting-birds/tree-sparrow (Diunduh pada 27 Januari 2014).

Bokma F. 2004. Why most birds are small-a macro-ecological approach to the evolution of avian body size. [Disertasi]. Oulu: Departement of Biology, University of Oulu.

Coates BJ, Bishop KD, Gardner D. 1997. A Field Guide to The Birds of Wallacea. Dove Publications, Alderley, Australia.

Deslauries JV, Francis JM. 1991. The effect of time of day on mist-net captures of Passerine on spring migration. Journal of Field Ornithology 62: 107-116. Domenech J, Senar JC. 1997. Trapping methods can bias age ratio in samples of

passerine populations. Bird Study 44:348–354.

Fogden MPL. 1972. The Seasonality and population dynamics of equatorial forest birds in Sarawak. Ibis 114:307-343.

Fowler J, Cohen L. 1986. Statistics for ornithologist. Hertfordshire (GB): Birish Trust for Ornithologist.

Haugaasen T, Barlow J, Peres CA. 2003. Effects of surface fires on understorey insectivorous bird and terrestrial arthropods in Central Brazilian Amazone. Animal Conservation 6: 299-306.

Hernowo JB, Prasetyo LB. 1989. Konsep ruang terbuka hijau di kota sebagai pendukung pelestarian burung. Media Konservasi 2(4): 61-71.

Hernowo JB, Soekmadi R, Ekarelawan. 1991. Kajian pelestarian satwaliar di Kampus IPB Darmaga [catatan penelitian]. Media Konservasi 3:43-65.


(4)

HIMAKOVA. 2012. Buku Panduan Lapang Burung Kampus IPB Darmaga. Bogor (ID): IPB Pr.

Imanuddin. 2009. Komunitas burung di bawah tajuk pada hutan primer dan hutan sekunder di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

[IPB] Institut Pertanian Bogor (ID). 2013. http://ipb.ac.id/about/campus-location (diunduh 27 Juli 2013).

Jenni L, Leuenberger M, Rampazzi F. 1996. Capture efficiency of mist nets with comments on their role in the assessment of Passerine habitat use. Journal of Field Ornithology 67:263-274.

Johnson DM. 2007. Measuring habitat quality: A Review. The Condor 109:489-504.

Karr JR, Schemske DW, Brokaw NJ. 1982. Temporal variation in the understory bird community of a tropical forest. Di dalam: Leight Jr. EG, Rand AS, Windsor DM, editor. The ecologi of a tropical forest seasonal rhytms and long-term changes. Washington DC (US): Smithsonians Institution: 441-453.

Koepff C, Romagnano A. 2001. The Finch Handbook. Barron’s Educational Series, New York (US).

Kosmaryandi N. 1991. Studi tata letak pohon di ruang terbuka danau Kampus IPB Darmaga ditinjau dari segi konservasi. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kurnianto AS, Kurniawan N. 2013. The predicted distribution of javan munia (Lonchura leucogastroides) in Indonesia based of behavior analysis in Kalibaru, Banyuwangi, East Java. Biotropika 1(1): 1-5.

Kurnia I. 2003. Studi Keanekaragaman jenis burung untuk pengembangan wisata birdwatching di Kampus IPB Darmaga [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Lambert FR, Collar NJ. 2002. The future for Sundaic lowland forest birds: long-term effects of commercial logging and fragmentation. Forktail 18: 127-146.

Lind J, Gustin M, Sorace A. 2004. Compensatory bodily changes during moult in Tree sparros Passer montanus in Italy. Ornis Fenica 81: 1-9.

MacKinnon J, Phillips K. 1993. Field Guide to the Birds of Sumatera, Borneo, Java and Bali. The Greater Sunda Islands. Oxford (GB): Oxford University Press.

MacKinnon J, Phillips K, van Balen B. 1998. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Puslitbang Biologi LIPI dan Birdlife International. MacKinnon J, Phillipps K, van Balen B. 2010. Burung-burung di Sumatra, Jawa,


(5)

Mardiastuti A, Mranata B. 1996. Biology and distribution of Indonesia Swiftlet with a special reference to Collocalia fuciphaga and Collocalia maxima. Technical workshop on conservation priorities and action for the sustainability of harvesting and trade in nest of swiftlet of the genus Collolalia that feature prominently in the bird nest trade, Surabaya, Indonesia. November 4-7 1996.

Mulyani YA. 1985. Studi keanekaragaman burung di lingkungan Kampus Darmaga. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Mulyani YA, Pakpahan AM. 1995. Studi pendahuluan tentang keanekaragaman burung di Kota Baru Bandar Kemayoran Jakarta. Media Konservasi 4(2): 59-63.

Mulyani YA, Ulfah M, Sutopo. 2013. Bird use of several habitat types in an academic campus of Institut Pertanian Bogor in Darmaga, Bogor, West Java. Media Konservasi 18(1) :18-27.

Novarino W. 2008. Dinamika Jangka Panjang Komunitas Burung Strata Bawah di Sipisang, Sumatera Barat. [Disertasi] Sekolah Pascasarjana IPB.

Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Yogyakarta (ID) Gajah Mada University Press.

Ontario J, Hernowo JB, Putro HR, Ekarelawan. 1990. Pola Pembinaan Habitat Burung di Kawasan Pemukiman terutama Perkotaan. Kerjasama DIKTI – Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat. Media Konservasi 3(1): 15-28.

Pardieck K, Waide RB. 1992. Mesh Size as a factor in avian community studies using mist nets. Journal of Field Ornithology 63: 250-255.

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. http://bksdadiy.dephut.go.id/images/data/PP_7_1999.pdf. (diunduh tanggal 5 September 2012).

Remsen Jr. JV, Good DA. 1996. Misuse of data from mist-net capture to assess relative abundance in bird populations. Auk 113: 381-398.

Robson C. 2000. A Field Guide to the Birds of South-East Asia. London (GB): New Holland Publishers.

Root RB. 2001. Guilds. Encyclopedia of biodiversity. Vol 3. Academic Press. 295-302.

Sheshnarayan MS. 2009. Breeding ecology of the Edible-nest Swiftlet Aerodramus fuciphaga and the Glossy Swiftlet Collocalia esculenta in the Andaman Islands, India. [Disertation]. Coimbatore (IN): Bharathiar University.

Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan konvensi CITES di Indonesia. Jakarta (ID): Japan International Coorporation Agaency (JICA).


(6)

Sukmantoro W, Irham M, Novarino W, Hasudungan, F, Kemp N, Muchtar M. 2007. Burung Indonesia No.2. Bogor (ID): Indonesian Ornithologists’ Union

Tobolka M. 2011. Roosting of Tree sparrow (Passer montanus) and House sparrow (Passer domesticus) in White stork (Ciconia ciconia) nests during winter. Tubitak. 35(6): 879-882

van Balen S, Hernowo JB, Mulyani YA, Putro HR. 1986 The birds of Darmaga. Media Konservasi 1(2):1-5.

van Balen S. 1987. Measure to increase wil bird population in urban area in Java 1. Nest site management. Media Konservasi 1: 17-20.

van Helvoort B. 1981. Bird Population in The Rural Ecosystem of West Java. Wageningen (NL): University Wageningen- The Nederland.

Wiens. 1989. The Ecology of Bird Communities II. Cambridge: Cambridge University Press.

Willson MF, Comet TA. 1996. Bird communities of northern forest: ecological correlates of diversity and abundance in the understory. Condor 98: 358-362.

Wong M. 1986. Trophic organization of understory birds in a Malaysian dipterocarp forest. Auk 103: 100-116.