Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi Staphylococcus Aureus Pada Daging

PEMBUATAN LABEL CERDAS PENDETEKSI
Staphylococcus aureus PADA DAGING

RIA OCTAVIA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pembuatan Label Cerdas
Pendeteksi Staphylococcus aureus pada Daging adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015
Ria Octavia
NIM F34110090

ABSTRAK
RIA OCTAVIA. Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi Staphylococcus aureus pada
Daging. Dibimbing oleh ENDANG WARSIKI dan MULYORINI
RAHAYUNINGSIH.
Salah satu bakteri pathogen yang berbahaya adalah Staphylococcus aureus.
Bakteri ini menghasilkan enterotoksin penyebab racun pada makanan. Penelitian
ini bertujuan untuk membuat label indikator sebagai pendeteksi S. aureus.
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk memperoleh bahan dasar pembuat label
yang dapat mendeteksi pertumbuhan S. aureus. Jenis bahan terdiri dari (i) manitol;
(ii) sorbitol; (iii) gliserol. Manitol menghasilkan label paling sensitif terhadap
pertumbuhan S. aureus. Formula terbaik terdiri dari 1% agar bubuk, 0.5% tapioka,
1% manitol, 1% kuning telur, 6% garam, dan 1% indikator phenol red. Label
mampu mendeteksi keberadaan S. aureus dalam kurun waktu 12-16 jam dan
mengalami perubahan warna dari merah menjadi jingga sampai kuning.
Berdasarkan hasil aplikasi label pada daging, label dapat mendeteksi penurunan
kualitas daging selama penyimpanan. Penurunan kualitas daging dapat terlihat dari

konsentrasi gas H₂S yang semakin meningkat seiring dengan lama penyimpanan.
Respon perubahan warna label yakni nilai L, a, b, dan ºhue dipengaruhi secara
signifikan oleh konsentrasi H2S. Selain itu, daging juga mengalami peningkatan
jumlahS. aureus selama penyimpanan. Jumlah S. aureus pada daging di jam ke-0
sebesar 0,5 ×
cfu/g meningkat menjadi 2,45 ×
cfu/g pada jam ke-8.
Kata kunci: label cerdas, Staphylococcus aureus, indikator, daging

ABSTRACT
RIA OCTAVIA. Producing a Smart Label as Staphylococcus aureus Detector on
Meat.
Supervised
by
ENDANG
WARSIKI
and
MULYORINI
RAHAYUNINGSIH.
A pathogenic bacterium is harmful for human and among them is

Staphylococcus aureus. This bacteria can produce enterotoxin and this toxin can
cause food poisioning. The study was aimed to produce a label to detect S. aureus
growth on meat. Preliminary studies was carried out to obtain the main material for
label producing which it can detect to S. aureus. Type of material composed to (i)
mannitol; (ii) sorbitol; (iii) gliserol. Mannitol produced a label that more sensitive
to S. aureus growth compare to other material. The best formula consisted of 1%
agar powder, 0.5% tapioca, 1% manitol, 1% egg yolk, 6% salt, and 1% indicator
phenol red. This label can detect S. aureus in 12-16 hours with a color change from
red to orange- yellow. Based on result of label application on meat, the label showed
that meat stored already spoiled and it could detect by color changing of the label.
H2S concentration increased during storage. There were significant different in the
value of L, a, b, and ºhue on the color of label along storage and it seemed to be
affected by the increasing of H2S. S. aureus was also detected to increase in number
during storage. The growth in the beginning was 0,5 ×
cfu/gram and became
2,45 ×
cfu/gram at the time of the eighth.
Keywords: smart label, Staphylococcus aureus, indicator, meat

PEMBUATAN LABEL CERDAS PENDETEKSI

Staphylococcus aureus PADA DAGING

RIA OCTAVIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi Staphylococcus aureus pada
Daging
Nama
: Ria Octavia

NIM
: F34110090

Disetujui oleh

Dr Endang Warsiki, STP MSi
Pembimbing I

Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan

rahmat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penulis mengambil tema
pengemasan, dengan judul skripsi Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi
Staphylococcus aureus pada Daging yang telah dilakukan dari bulan Februari
hingga Juli 2015.
Ucapan terimakasih serta penghargaan penulis ucapkan kepada :
1. Ibu Dr Endang Warsiki, STP MSi selaku dosen pembimbing I atas perhatian
dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi.
2. Ibu Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi selaku dosen pembimbing II yang
telah mengarahkan dan membimbing dalam penelitian.
3. Ibu Prof Dr Ir Erliza Noor selaku dosen penguji atas masukan dan arahannya
dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Ayahanda Totok Sujono, Ibunda Sri Katon, dan kakak Royyan Herlambang,
beserta seluruh keluarga besar atas doa, semangat, dan kasih sayangnya.
5. Sapto Pujo Sejati yang selalu memberi dukungan penuh dalam penyelesaian
skripsi ini.
6. Paguyuban Mahasiswa Bandung (PAMAUNG) 48 dan Jeko yang selalu
memberi motivasi penuh dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Keluarga besar Teknologi Industri Pertanian 48 atas bantuan, kritik,
dukungan, informasi, dan kebersamaannya selama ini.
8. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu – persatu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015
Ria Octava

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

iii

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN


xii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian


2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Kemasan Cerdas

2

Staphylococcus aureus

4

Staphylococcus aureus pada Daging

5

Fermentasi Karbohidrat dan Gula


5

METODE

7

Bahan

7

Alat

8

Metodologi

8

HASIL DAN PEMBAHASAN


10

Label Cerdas

10

Konsentrasi Garam Terbaik

12

Nilai Chroma Label

14

Pengemasan Label

17

Sensitifitas Label Terhadap Suhu Penyimpanan

18

Aplikasi Label Pada Daging Sapi

19

SIMPULAN DAN SARAN

26

Simpulan

26

Saran

26

DAFTAR PUSTAKA

27

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

36

DAFTAR TABEL
1 Contoh indikator eksternal, internal, dan prinsip kerja dalam kemasan
cerdas
2 Syarat mutu mikrobiologi daging sapi
3 Indikator warna untuk media fermentasi karbohidrat dan gula
4 Kode formula berdasarkan konsentrasi garam
5 Hasil uji sensitifitas terhadap pertumbuhan S. aureus
6 Respon pertumbuhan S. aureus pada jam ke -24 dari berbagai formula
7 Nilai L, a, b, dan °Hue label terhadap lama penyimpanan
8 Uji sensitifitas label cerdas yang dikemas
9 Jumlah koloni S. aureus pada suhu (25 ± °C
10 Jumlah koloni S. aureus pada suhu (4 ± 2)°C
11 Nilai °hue dan daerah kisaran warna kromatis (Hutchings 1999)

3
5
6
9
12
13
14
18
22
22
31

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Perubahan warna phenol red berdasarkan pH
Stuktur kimia manitol
Stuktur kimia sorbitol
Rumus molekul gliserol
Diagram alir pembuatan label
Langkah uji sensitifitas label terhadap S. aureus
Aplikasi label cerdas pada daging
Perubahan warna phenol red pada pH (a) 12 ; (b) 6 ; (c) 3
Batas pH indikator warna phenol red
Perubahan visual warna label selama penyimpanan: (a) merah; (b) merah
kekuningan; (c) kuning
Nilai L label selama penyimpanan
Nilai a label selama penyimpanan
Nilai b label selama penyimpanan
Nilai °hue label selama penyimpanan
Label dikemas dengan plastik (a) LDPE ; (b) cling PVC
Grafik pertumbuhan S. aureus
Aplikasi label cerdas pada penyimpanan daging sapi
Perubahan pH daging dan label pada penyimpanan suhu ruang (25± °C

6
7
7
7
8
9
10
11
11
14
15
15
16
17
17
19
19
20

19 Perubahan pH daging dan label pada penyimpanan suhu dingin (4±

°C
20

20 Respon label (a) jam ke-0 ; (b) jam ke-72 suhu (4 ± 2) °C ; (c) jam ke-72
suhu (25 ± 2) °C
21 Hubungan jumlah H₂S dalam kemasan dengan ºHue label pada suhu (4
± °C
22 Hubungan jumlah H₂S dalam kemasan dengan ºHue label pada suhu (25
± °C

21
23
23

23 Nilai kekerasan daging sapi pada suhu (4 ± 2) °C
24 Nilai kekerasan daging sapi pada suhu (25 ± 2) °C

24
24

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Prosedur pengujian
Hasil pengaruh konsentrasi garam pada label
Jumlah koloni pada sensitifitas suhu penyimpanan
Hasil pengamatan daging mengalami pembusukan pada suhu (4 ± 2) °C
dan (25 ± 2) °C
Hasil pengamatan daging mengalami pembusukan pada suhu (4 ± 2) °C
dan (25 ± 2) °C (lanjutan)

30
32
33
34
35

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemasan cerdas merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan dalam
bidang pengemasan. Kemasan cerdas bertujuan untuk memberikan informasi
mengenai kualitas makanan yang dikemas. Beberapa kemasan cerdas yang telah
ada yaitu pembuatan label cerdas pendetekasi Escherichia coli (Lestari 2013), label
pendeteksi Escherichia coli dari berbagai indikator warna (Dwirianti 2014), label
indikator kerusakan buah potong menggunakan pewarna natural dan sintetik
(Warsiki dan Putri 2012), dan label pendeteksi kebusukan fillet ikan nila (Hasnedi
2009). Lestari (2013) mengembangkan label indikator pendeteksi Escherichia coli
dengan mengggunakan indikator warna eosin dan methylene blue, sedangkan
Dwirianti (2014) menggunakan berbagai indikator warna yaitu methyl red, Brain
Heart Infusion Broth (BHI)-laktosa, dan Eosin Methylene Blue Agar. Methyl red
memberikan perubahan warna label yang terlihat jelas dari jingga menjadi merah
muda. Contoh lain dari kemasan cerdas dengan indikator warna adalah label
indikator pendeteksi Staphylococcus aureus berbahan BPA (Baird Parked Agar)
dan egg yolk tellurite oleh Latifah (2014). Dengan memanfaatkan BPA dan egg yolk
tellurite, label dapat menunjukkan adanya pertumbuhan S. aureus dengan
timbulnya koloni abu – abu gelap sampai hitam pada permukaan label. Label
indikator Latifah (2014) belum dapat diaplikasikan pada produk pangan karena
waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi S. aureus masih cukup lama sekitar 48
jam dengan jumlah koloni sebesar 1,8 ×
cfu/g, jauh diatas angka batas SNI
yang sebesar
cfu/g. Oleh karena itu, label ini perlu dikembangkan lebih lanjut
karena S. aureus salah satu bakteri pathogen yang dapat membahayakan manusia.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri pathogen yang dapat menyebabkan
kebusukan pada produk pangan. S. aureus sangat mudah tumbuh di makanan yang
mengandung protein tinggi dan tidak diolah dengan baik, seperti daging segar,
daging yang telah diawetkan, serta produk panggang yang mengandung krim, saus,
dan keju. Selain itu, bakteri ini juga dapat ditemukan di udara dan lingkungan
sekitar. Menurut Robinson et al (2000), keberadaan S. aureus dalam bahan pangan
erat kaitannya dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan
pengolahan. S. aureus terdapat luas di alam pada bahan baku pangan sehingga
penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan risiko keracunan pangan.
Brooks et al. (1995) menyatakan S. aureus dapat menimbulkan penyakit
melalui kemampuan berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan dan
melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler seperti enzim dan toksin. S. aureus
dapat menghasilkan enterotoksin dan toksin ini adalah racun. Toksin ini
menyebabkan gastroenteritis atau inflamasi pada mukosa usus. Jumlah toksin yang
dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0 µg/gr makanan.
Berdasarkan informasi diatas, perlu dikembangkan label pendeteksi S. aureus
untuk menghindari kontaminasi pangan dari bakteri tersebut. Penelitian ini
diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik mekanis label indikator yang dihasilkan
oleh Latifah (2014) dengan mengganti formulasi label untuk memperbaiki kadar
media tumbuh S. aureus. Media ini diyakini lebih sensitif dalam mendeteksi
keberadaan S. aureus. Selain itu, label ditambahkan phenol red sebagai indikator

2
warna yang sensitif terhadap perubahan pH. Label diharapkan mengalami
perubahan warna ketika mendeteksi keberadaan S. aureus yang signifikan secara
visual. Perubahan warna terjadi karena adanya fermentasi gula pada label oleh
S.aureus yang memproduksi asam organik sehingga pH label turun dan warna
indikator berubah dari merah menjadi kuning.
Perumusan Masalah
Keberadaan S. aureus dalam produk pangan harus dideteksi dan
diinformasikan kepada konsumen dengan menggunakan label pendeteksi S. aureus.
Label pendeteksi S. aureus merupakan label yang direkatkan pada bagian
permukaan sisi dalam kemasan suatu produk. Label ini mampu mendeteksi
pertumbuhan S. aureus dengan perubahan warna secara signifikan dan dapat terlihat
secara visual. Label ini dapat menjadi sumber informasi bagi konsumen untuk
mengetahui kondisi pangan yang dikemas akibat keberadaan bakteri S. aureus.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Menghasilkan label indikator pendeteksi S. aureus
2. Mengevaluasi perubahan warna label karena keberadaan S. aureus
3. Mengaplikasikan label pendeteksi S. aureus pada daging segar
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada perlakuan konsentrasi garam pada formula label
dan uji sensitifitas label terhadap S. aureus. Selanjutnya, aplikasi label pada daging
segar juga dilakukan pada penelitian ini.

TINJAUAN PUSTAKA
Kemasan Cerdas
Kemasan cerdas disebut sebagai kemasan interaktif karena adanya interaksi
aktif dari bahan kemasan dengan bahan pangan yang dikemas. Menurut Europan
Commission (2009), kemasan cerdas dirancang untuk memantau kondisi produk
yang dikemas atau lingkungan sekitar produk tersebut. Sistem dari kemasan cerdas
yaitu mampu mendeteksi, merekam, melacak atau mengkomunikasikan informasi
tentang kualitas atau keadaan produk selama seluruh rantai makanan (Yam,
Takhistov dan Miltz 2005). Kemasan cerdas tidak hanya akan memberikan
informasi tentang produk (asal, tanggal kadaluarsa, komposisi) tetapi juga
menginformasikan tentang sejararah produk (kondisi penyimpanan, komposisi
headspace, pertumbuhan mikroba). Keuntungan dari teknik kemasan cerdas adalah
tidak mahal (relatif terhadap harga produk yang dikemas), ramah lingkungan,
mempunyai nilai estetika yang dapat diterima dan sesuai untuk sistem distribusi.

3
Day (2003) menjelaskan bahwa kemasan aktif memiliki definisi yang berbeda
dengan kemasan cerdas. Menurut Robertson (2006), kemasan cerdas merupakan
kemasan yang memiliki indikator, baik yang diletakkan secara internal maupun
secara eksternal dan mampu memberikan informasi tentang keadaan kemasan atau
kualitas makanan didalamnya. Contoh dari indikator eksternal, internal, dan prinsip
kerja dalam kemasan cerdas dapat dilihat pada Tabel 1. Kerry dan Butler (2008)
menyebutkan bahwa terdapat tiga kelompok indikator yaitu:
1. Indikator eksternal, merupakan indikator yang melekat di luar kemasan, seperti
indikator suhu, waktu, dan indikator fisik
2. Indikator internal, berada di dalam kemasan seperti indikator kebocoran oksigen
dan indikator mikrobial
3. Indikator yang meningkatkan efisiensi arus informasi dan komunikasi yang
efektif antara produk dengan konsumen, seperti masa kadaluarsa, kandungan
gizi, dan barcode.
Tabel 1 Contoh indikator eksternal, internal, dan prinsip kerja dalam kemasan
cerdas
Teknik
Prinsip/ Reagen
Informasi
Aplikasi
Indikator waktu Mekanik, kimia,
Kondisi
Penyimpanan
dan temperatur enzimatik
penyimpanan
makanan dingin dan
(eksternal)
kondisi beku
Indikator
oksigen
(internal)

Pewarnaan redoks, Kondisi
pewarnaan pH,
penyimpanan ,
enzim
kebocoran
kemasan

Penyimpanan
makanan dalam
kemasan dengan
menurunkan
konsentrasi oksigen

Indikator
Kimia
Karbondioksida
(internal)

Kondisi
penyimpanan,
kebocoran
kemasan

Penyimpanan
makanan dalam
kemasan dengan
adanya kontak dengan
karbondioksida

Indikator
pertumbuhan
microbial

Pewarnaan pH,
semua reaksi
pewarnaan dengan
metabolitas
tertentu

Kebusukan produk

Penyimpanan dalam
kemasan dengan
kondisi yang sesuai
untuk pertumbuhan
mikroba

Indikator
pathogen
(internal)

Beragam kimia

Bakteri pathogen
yang spesifik
seperti E.coli

Penyimpanan
makanan dalam
kemasan dengan
menahan bakteri
pathogen

Sumber : Kerry dan Butler (2008)

4
Media indikator pendeteksi S. aureus termasuk ke dalam kelompok indikator
pertumbuhan mikroba dengan mekanisme perubahan warna akibat terjadinya
perubahan pH. Perubahan warna label terjadi karena penurunan pH media sehingga
merubah indikator warna yang terdapat pada label. Saat ini telah dikembangkan
indikator pertumbuhan mikroba dengan berbagai indikator warna untuk mendeteksi
E. coli oleh Dwirianti (2014) dan label pendeteksi S. aureus berbahan BPA dan egg
yolk tellurite oleh Latifah (2014).
Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif pada pengecatan gram
terlihat berbentuk kokus/bulat dengan ukuran 0,8 – 1,0 mm dan berdiameter 0.7 –
0.9 mikron ( Ray 2004). S. aureus terkadang hidup berpasangan tetapi lebih sering
bergerombol berbentuk tidak teratur seperti anggur. S. aureus tidak bergerak dan
tidak membentuk spora. Bakteri ini hidup bebas dalam lingkungan dan tumbuh
dengan baik pada berbagai media bakteriologi dibawah suasana aerobik atau
microaerofilik. Koloni S. aureus berwarna abu – abu sampai kuning keemasan dan
akan tumbuh cepat pada temperatur 37ºC dan pH 7,4 namun pembentukan pigmen
yang terbaik adalah pada temperatur kamar (20-35 ºC). Golongan taksonomi S.
aureus adalah sebagai berikut.
Dunia : Bacteria
Kerajaan : Eubacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo
: Bacillales
Famili : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
Menurut Ray (2004), S. aureus merupakan bakteri halofilik sedang,
kebutuhan garam untuk pertumbuhan optimum sekitar 5 – 20%. Bakteri halofilik
ini dapat ditemukan pada makanan dengan kadar garam tinggi. S. aureus aktif
melakukan metabolisme, mampu melakukan fermentasi karbohidrat dan
menghasilkan bermacam – macam pigmen dari putih hingga kuning. Menurut
Beishir (1991), S. aureus bersifat katalase positif. Enzim katalase dapat memecah
hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen karena menghasilkan enzim katalase.
Menurut Chotiah (2009), S. aureus merupakan bakteri yang beredar di manamana, seperti udara, debu, air, susu, makanan, peralatan makan, lingkungan, dan
tubuh manusia atau hewan yang terdapat pada kulit, rambut, serta saluran
pernafasan. Bakteri ini dapat menyebabkan keracunan makanan karena bakteri ini
menghasilkan enterotoksin. Enterotoksin merupakan enzim yang mampu bertahan
dalam kondisi panas dan tahan terhadap suasana yang bersifat basa di dalam usus
yang dapat menyebabkan keracunan makanan. Toksin ini dapat menyebabkan
gastroenteritis. Dosis infeksi S. aureus adalah

cfu/g untuk dewasa dan
<

cfu/g untuk anak – anak, orang tua, dan orang sakit. Jumlah toksin
yang dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0µg/gr makanan. Gejala utama
terkena enterotoksin adalah mual dan muntah, kram, dan diare (Ray 2004). S.aureus
sangat mudah tumbuh di makanan yang mengandung protein tinggi dan tidak diolah
dengan baik, seperti daging segar, daging yang telah diawetkan dengan garam,

5
salami, daging barbeque, salad, dan produk panggang yang mengandung krim, saus,
dan keju.

Staphylococcus aureus pada Daging
Daging merupakan semua jaringan hewan beserta produk hasil pengolahanya
yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang
memakannya. Menurut Soeparno (2005), daging tersusun dari jaringan ikat, epitel,
jaringan – jaringan saraf, pembuluh darah, dan lemak. Daging merupakan bahan
pangan yang memiliki kadar air tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroba.
Mikroba yang tumbuh pada daging dapat merusak kondisi daging menjadi tidak
segar sehingga berwarna keabuan dan juga menjadi tidak layak untuk dikonsumsi.
Selain kadar air yang tinggi, kondisi yang mendukung mikroba untuk tumbuh pada
daging adalah ada atau tidaknya oksigen, terutama pada kondisi aerobik. Menurut
Lawrie (1995) bakteri pencemar daging yang paling sering ditemukan adalah
Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Bacillus cereus, Bacillus proteus,
Staphylococcus albus, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus dari feses.
Keberadaan dan keberlangsungan hidup dari bakteri pathogen yang terdapat
pada daging segar dapat berkontribusi dalam meningkatkan resiko kesehatan
terhadap manusia saat daging siap untuk dikonsumsi. Mikroba dapat merusak
daging pada kondisi anaerobik terutama pada saat daging dikemas dalam kondisi
vakum. Hal ini dapat terjadi karena bakteri anaerobik dapat menempel pada
kemasan dan kemudian mengkontaminasi daging yang dikemas. Standar mutu
mikrobiologi daging segar menurut SNI 3932 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Syarat mutu mikrobiologi daging sapi
Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
Total Plate Count
cfu/g
Maksimum 1 ×
Coliform
cfu/g
Maksimum 1 ×
Staphylococcus aureus
cfu/g
Maksimum 1 ×
Salmonella sp
per 25 gram
Negatif
Escherichia coli
cfu/g
Maksimum 1 ×
Sumber : BSN (2008)
Fermentasi Karbohidrat dan Gula
Fermentasi merupakan gambaran penguraian atau katabolisme karbohidrat
dalam kondisi anaerob. Oleh karena itu, bakteri yang mampu melakukan fermentasi
adalah bakteri anaerob fakultatif. Fermentasi karbohidrat dan fermentasi gula sering
digunakan secara bergantian. Produk akhir dari fermentasi karbohidrat dan gula
sangat beragam tergantung pada organisme yang terlibat, substrat yang
difermentasi, enzim yang terlibat, dan faktor lingkungan (Stanier et al 1963).
Namun, menurut Mahon et al (2011) produk akhir fermentasi pada umumnya yaitu
asam laktat. Reaksi fermentasi terdeteksi oleh adanya perubahan warna indikator
pH karena produk asam yang terbentuk. Indikator warna yang dapat digunakan
untuk menguji fermentasi karbohidrat dan gula adalah phenol red, bromcresol

6
purple (BCP), bromthymol blue (BTB) dan andrade. Indikator warna untuk media
fermentasi karbohidrat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Indikator warna untuk media fermentasi karbohidrat dan gula
Indikator
Netral
Fermentasi Asam
Alkaline (Basa)
Warna
pH
Warna pH Warna
pH
Warna
Andrade
7.1 – 7.2 Merah
5.0 Merah Muda 12.0 – 14.0 Kuning
Muda
Kemerahan
Bromcresol
7.4
Ungu
5.2 Kuning
6.8
Ungu
purple (BCP)
Tua
Bromthymol
7.0
Hijau
6.0 Kuning
7.6
Biru Tua
blue (BTB)
Phenol red
7.4
Merah
6.8 Kuning
8.4
Merah
Keunguan
Menurut Narumi dan Soehartojo (1987), Staphylococcus aureus merupakan
salah satu bakteri yang berperan dalam proses fermentasi karbohidrat dan gula
secara bergantian. Oleh karena itu, dibutuhkan indikator warna yang dapat
mengidentifikasi keberadaan S. aureus. Phenol red merupakan indikator yang
memiliki rentang pH yang paling kecil dibandingkan indikator warna yang lain
sehingga sangat cocok untuk mengidentifikasi keberadaan S. aureus dengan cepat.
Menurut MacFaddin (2000), phenol red umumnya digunakan sebagai indikator pH
untuk menguji fermentasi karbohidrat dan fermentasi gula karena sebagian besar
produk akhir dari fermentasi keduanya adalah asam organik. Jika menggunakan
phenol red sebagai indikator pH, warna kuning menunjukkan produk asam telah
dihasilkan pada fermentasi dan menurunkan pH hingga kurang dari 6,8. Apabila
reaksi fermentasi tertunda maka dapat menghasilkan warna orange. Perubahan
warna phenol red dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Perubahan warna phenol red berdasarkan pH (MacFaddin 2000)
Pada penelitian ini, sumber gula yang digunakan untuk proses fermentasi
yaitu manitol, sorbitol, dan gliserol. Manitol dan sorbitol dihasilkan dari reaksi
hidrogenasi fruktosa. Saat reaksi hidrogenasi, β-fruktosa akan menjadi manitol
sedangkan α-fruktosa akan menjadi sorbitol. Pada kondisi reaksi normal akan
terbentuk manitol (HO-C-H) dan sorbitol (H-C-OH) dalam jumlah yang sama
(Kearsley dan Deis 2006). Manitol merupakan monosakaridapoliol yang
mempunyai rumus kimia C H O dengan berat molekul 182,17. Manitol
berbentuk kristal berwarna putih, tidak berbau, larut dalam air, sangat sukar larut

7
dalam alkohol, dan hampir tidak larut dalam pelarut organik. Rumus struktur kimia
manitol dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia manitol (Merck &Co, Inc 2001)
Sorbitol adalah senyawa monosakarida polyhydric alcohol. Nama kimia lain
dari sorbitol adalah hexitol atau glusitol dengan rumus kimia C H O . Struktur
molekul sorbitol mirip dengan stuktur molekul glukosa hanya berbeda gugus
aldehid pada glukosa diganti menjadi gugus alkohol. Rumus struktur kimia sorbitol
dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur kimia sorbitol (Merck &Co, Inc 2001)
Gliserol adalah suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas 3 atom karbon dan
tiap atom karbon mempunyai gugus –OH. Poedjiadi (2006) menyatakan bahwa
gliserol diperoleh dari hasil penyabunan lemak atau minyak yang tidak berwarna,
mempunyai rasa agak manis, larut dalam air, dan tidak larut dalam eter. Rumus
molekul gliserol dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Rumus molekul gliserol (Poedjiadi 2006)

METODE
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuades, agar
bubuk, indikator warna phenol red, manitol, sorbitol, gliserol, garam, kuning telur,
dan tapioka. Bahan lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah garam
fisiologis, alkohol, media Nutrient Agar (NA), media Baird Parked Agar (BPA),
dan biakan S. aureus. Sementara itu, daging sapi segar disiapkan untuk aplikasi
label pendeteksi S. aureus.

8
Alat
Alat – alat yang digunakan dalam pembuatan label pendeteksi S. aureus antara
lain, gelas piala, botol scotch, otoklaf, hot stirrer, magnetic stirrer, erlenmeyer,
pipet volumetrik dan pipet mikro. Selain itu juga dibutuhkan neraca analitik, cawan
petri, batang pengaduk, inkubator, lemari pendingin, dan chromameter.
Metodologi
Pembuatan Label
Pembuatan label dilakukan dengan memodifikasi metode yang telah
dikembangkan oleh Lestari (2003). Modifikasi yang dilakukan yaitu dengan
menambahkan garam, indikator warna phenol red, dan kuning telur. Selain itu,
modifikasi juga dilakukan dengan mengganti gliserol dengan manitol dan sorbitol.
Label dibuat dengan variasi penambahan yaitu (i) gliserol; (ii) manitol; (iii)
sorbitol. Label dibuat dengan menghomogenkan akuades dengan bahan – bahan
yang terdiri dari garam, tapioka, agar bubuk, kuning telur, dan phenol red,
kemudian campuran ditambahkan dengan variasi gula. Setelah itu larutan
disterilisasi pada 121°C selama 15 menit. Setelah dilakukan sterilisasi, larutan
ditambahkan kuning telur kemudian dihomogenisasi kembali. Larutan dicetak
dengan ukuran 3 × 3 cm² dan dikemas dengan LDPE dan cling film PVC. Diagram
alir pembuatan label cerdas dapat dilihat pada Gambar 5.
Campuran Bahan*

Akuades

Homogenisasi

Gula*

Sterilisasi suhu 121°C, 15 menit
Larutan Agar
Penuangan pada cawan petri
Pendinginan
Pencetakan ukuran 3×3 cm
Label Cerdas
Gambar 5 Diagram alir pembuatan label
*Keterangan : Campuran bahan terdiri dari garam, tapioka, agar bubuk,
kuning telur, dan phenol red
Gula yaitu manitol, gliserol, dan sorbitol

9
Pemilihan formulasi terbaik didasarkan pada uji sensitifitas pertumbuhan
S.aureus pada label yang menyebabkan terjadinya perubahan warna dari merah
menjadi kuning dengan waktu tercepat. Uji sensitifitas label terhadap S. aureus
dilakukan untuk mengetahui bahan yang terbaik sebagai pemilihan bahan
pembuatan label cerdas yang dapat mendeteksi S. aureus secara signifikan. Selain
itu, uji sensitifitas label terhadap S. aureus bertujuan agar label dapat dijadikan
sebagai indikator S. aureus. Label diuji dengan cara menginokulasikan 1 mL kultur
S. aureus pada cawan yang berisi media Nutrient Agar (NA) dan label diletakkan
pada tutup cawan petri. Setelah itu media diinkubasi pada suhu ruang (25±2°C)
selama 24 jam. Langkah uji sensitifitas label terhadap pertumbuhan S.aureus dapat
dilihat pada Gambar 6.

Label cerdas

S. aureus

Batang penyebar

Cawan Petri
Gambar 6 Langkah uji sensitifitas label terhadap S. aureus
Pengaruh Konsentrasi Garam terhadap Pertumbuhan S. aureus
Tahap ini bertujuan untuk menguji pengaruh konsentrasi garam pada larutan
label terhadap pertumbuhan S. aureus. Sebanyak 1 mL kultur S. aureus
diinokulasikan pada permukaan label dan disimpan pada suhu ruang 25±2°C.
Pengaruh konsentrasi garam dilihat dari perubahan warna yang terjadi pada label
tersebut. Kode formula dapat dilihat pada Tabel 4. Formula terbaik dipilih
berdasarkan sensitifitas label dalam mendeteksi S. aureus paling cepat dengan
perubahan warna yang signifikan secara visual.
Tabel 4 Kode formula berdasarkan konsentrasi garam
Konsentrasi Garam (%)
Kode Formula
6
G6
7
G7
8
G8
Uji Kuantifikasi Warna Label
Pengukuran warna secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan alat
chromameter. Kalibrasi chromameter dilakukan dengan cara membaca nilai kroma
kertas warna putih yang telah tersedia untuk kalibrasi. Hasil pengukuran yang
terbaca adalah L (lightness), A (redness) dan B (yellowness). Pengukuran dilakukan
setiap 4 jam sehingga degradasi perubahan warna label dapat diamati. Nilai ini
kemudian digunakan untuk mengetahui nilai ºHue dengan menggunakan rumus
seperti pada Lampiran 1.

10
Pengemasan Label
Label dikemas dengan LDPE (Low Density Polyethylene) dan plastik cling
flim PVC dan kemudian label diletakkan pada tutup cawan petri. Sebelumnya,
cawan petri dimasukkan 1 mL kultur S. aureus dan diinokulasikan pada media
Nutrient Agar (NA). Setelah itu, cawan diinkubasikan pada suhu ruang (25 ± °C.
Perlakuan terbaik adalah label yang dapat mendeteksi S. aureus paling cepat dengan
perubahan warna signifikan.
Uji Sensitifitas Label Cerdas Terhadap Suhu Penyimpanan
Label pendeteksi terbaik diuji sensitifitasnya terhadap suhu penyimpanan
untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan label dalam mendeteksi
S.aureus pada berbagai suhu penyimpanan. Suhu penyimpanan yang digunakan
yaitu suhu (4 ±
°C dan (25 ±
°C. Sebanyak 1 mL kultur S. aureus
diinokulasikan pada media Nutrient Agar (NA). Kemudian label ditempelkan pada
tutup cawan petri. Setelah itu diinkubasikan pada suhu (4 ± °C dan (25 ± °C.
Pengamatan pada suhu (4 ± °C dilakukan setiap 2 jam selama 3 hari, sedangkan
pada suhu (25± °C dilakukan setiap 24 jam selama 7 hari.
Aplikasi Label Indikator pada Daging Sapi
Daging sebanyak 50 gram diletakkan pada styrofoam dan ditutup dengan
plastik cling film PVC yang sebelumnya telah direkatkan label indikator (Gambar
7). Selanjutnya daging disimpan pada suhu (4 ± °C dan (25 ± °C. Uji yang
dilakukan meliputi perubahan warna label, konsentrasi gas dalam kemasan, dan
penurunan mutu daging yang terdiri dari kekerasan, pH, dan uji total S. aureus pada
daging. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1. Pengamatan pada suhu (25
±
°C dilakukan setiap 2 jam untuk melihat perubahan warna label, sedangkan
pengamatan pada suhu (4 ±
°C dilakukan setiap 24 jam sekali. Sampel diuji
secara duplo. Ilustrasi aplikasi label pada daging dapat dilihat pada Gambar 7.
Cling film PVC

Label Cerdas

Styrofoam
Daging
Gambar 7 Aplikasi label cerdas pada daging

HASIL DAN PEMBAHASAN
Label Cerdas
Pada penelitian ini, pemilihan bahan pembuat label dilakukan sebagai
penelitian pendahuluan. Pemilihan bahan ini bertujuan untuk mendapatkan bahan
pembuat label terbaik yang dapat mendeteksi S. aureus, sehingga label tersebut
dapat digunakan sebagai label indikator pendeteksi S. aureus. Menurut Lestari
(2013), bahan pembuat label indikator yaitu agar bubuk, tapioka, gliserol, dan

11
EMB. Bahan – bahan tersebut dapat menghasilkan sifat fisik label yang lebih baik
dan sensitif terhadap pertumbuhan E. coli. Pada penelitian ini dilakukan modifikasi
pada bahan pembuat label indikator, yaitu penambahan garam, indikator phenol
red, dan kuning telur serta mengganti gliserol dengan manitol dan sorbitol.
Menurut Ray (2004), S. aureus merupakan bakteri gram positif dan berbentuk
bulat dengan ukuran 0.8 – 1.0 mm dengan diameter 0.7 - 0.9 mikron. S. aureus
merupakan bakteri halofilik sedang dengan kebutuhan garam untuk pertumbuhan
optimum S. aureus sekitar 5 – 20%. Oleh karena itu dilakukan penambahan garam
dalam pembuatan label pendeteksi S. aureus. Penambahan garam bertujuan untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain didalam label karena hanya
beberapa organisme yang dapat tumbuh pada konsentrasi garam tinggi.
Pada pertumbuhan S. aureus dibutuhkan juga sumber karbon. Sumber karbon
yang ditambahkan pada pembutan label ini adalah gula. Menurut Sudirman (2014),
S. aureus dapat memfermentasi gula dan menghasilkan asam laktat. Asam laktat
hasil fermentasi tersebut akan dideteksi oleh indikator warna phenol red sehingga
terjadi perubahan warna dalam label. Menurut MacFaddin (2000), pada suasana
netral dengan pH 7,4 indikator phenol red menghasilkan warna merah sedangkan
pada suasana asam dengan pH 6,8 akan berubah menjadi kuning. Gambar 8
menunjukkan perubahan warna pada indikator phenol red.

(a)
(b)
(c)
Gambar 8 Perubahan warna phenol red pada pH (a) 12 ; (b) 6 ; (c) 3
Dari hasil pengamatan, perubahan warna indikator phenol red diikuti dengan
adanya perubahan pH. Warna menunjukkan transisi bertahap dari merah ke kuning
selama rentang pH 12 – 3. Diatas pH 8, phenol red memperlihatkan warna merah
keunguan, sedangkan dibawah pH 6, phenol red berubah menjadi warna kuning.
Berikut adalah gambar batas pH dari indikator warna phenol red.

pH 7,2

pH 6,8

Gambar 9 Batas pH indikator warna phenol red
Phenol red akan berubah warna menjadi kuning apabila mikroba
memproduksi asam organik saat mensintesis gula. Asam organik akan membuat pH
label turun sehingga warna label mengalami perubahan. Narumi dan Soehartojo
(1987) menyatakan bahwa S. aureus dapat memfermentasi gula seperti glukosa,
manitol, laktosa, gliserol, sorbitol, dan sukrosa dengan baik, memfermentasi
karbohidrat dengan lambat, serta tidak memfermentasi salicin, rafinosa, dan inulin.
Oleh karena itu, dipilih manitol, gliserol, dan sorbitol sebagai gula untuk sumber
fermentasi S. aureus.

12
Perbedaan jenis gula yang ditambahkan pada larutan pembuat label tidak
memperlihatkan warna awal label yang signifikan. Namun demikian, setelah
diinkubasi ada beberapa perbedaan sensitifitas ketika label mendeteksi
pertumbuhan S. aureus. Adanya pertumbuhan S. aureus ditandai dengan adanya
perubahan warna dari merah menjadi kuning. Dari penelitian ini, hasil uji
sensitifitas label terhadap S. aureus dengan berbagai macam gula yang ditambahkan
ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil uji sensitifitas terhadap pertumbuhan S. aureus
Bahan
Sebelum Uji
Setelah Uji
Keterangan
Manitol
+++

Keterangan :

Sorbitol

++

Gliserol

+

+++
++
+

: Perubahan warna terjadi pada jam ke-16
: Perubahan warna terjadi pada jam ke-24
: Pertumbuhan S. aureus kurang baik dan perubahan warna terjadi lebih
dari jam ke-24

Dari tabel 5 terlihat bahwa manitol difermentasi sempurna oleh S. aureus dan
memproduksi asam laktat. Asam laktat ini menurunkan pH label dari 7.4 menjadi
6.3 dan merubah warna indikator phenol red dari merah menjadi kuning. Terlihat
dari hasil uji bahwa perubahan warna yang ditunjukkan oleh label berbahan manitol
terlihat lebih signifikan dibandingkan label berbahan sorbitol dan gliserol. Hal ini
sesuai dengan Johnson dan Case (1995) yang menjelaskan bahwa bakteri
Staphylococcus aureus dapat menghasilkan enzim koagulase atau bersifat
koagulase positif dan dapat memfermentasi manitol. Oleh karena itu, manitol
dipilih sebagai sumber gula untuk proses fermentasi oleh S. aureus.
Konsentrasi Garam Terbaik
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Warsiki et al (2010), formula
label terbaik terbuat dari 0,5% tapioka dan 1% gliserol. Dari hasil penelitian
pendahuluan, manitol merupakan gula terbaik untuk pembuatan label. Menurut
Johnson dan Case (1995), manitol merupakan media differensial yang cocok untuk
membedakan S. aureus dengan bakteri Staphylococcus lainnya sedangkan gliserol
merupakan media umum yang dapat difermentasikan oleh bakteri gram negatif
maupun positif. Oleh karena itu, penambahan manitol dilakukan sebagai substitutor
gliserol.

13
Menurut Lestari (2013), bahan pembuat label yaitu dibutuhkan 2% agar bubuk
yang memiliki nilai �� (activity water) dibawah 0,83 agar karakteristik fisik
mekanis label menjadi lebih baik. Dalam hal ini, S. aureus membutuhkan nilai
�� minimal 0,83 untuk melakukan pertumbuhan sehingga konsentrasi agar bubuk
diturunkan menjadi 1%. Sedangkan penambahan konsentrasi garam belum
diketahui sehingga dilakukan penelitian ini untuk mendapatkan konsentrasi dari
garam tersebut.
Garam dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroorganisme
pathogen lain selain S. aureus karena hanya mikroorganisme tertentu yang dapat
tumbuh pada media dengan konsentrasi garam tinggi. Menurut Ray (2004) garam
yang dibutuhkan oleh S. aureus antara 5 – 10%, dan dalam penelitian ini garam
yang ditambahkan adalah 6 - 8%. Tabel 6 menunjukkan respon pertumbuhan S.
aureus pada jam ke-24 dari berbagai konsentrasi garam. Sedangkan gambar hasil
pengaruh konsentrasi garam pada label dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 6 Respon pertumbuhan S. aureus pada jam ke - 24 dari berbagai formula
Kode Konsentrasi Keterangan Sebelum Uji
Setelah Uji
Garam (%)
G6
6
+++

G7

7

++

G8

8

+

Keterangan :

+++
++
+

: Pertumbuhan S. aureus sangat baik dan terjadi perubahan warna yang
signifikan
: Pertumbuhan S. aureus baik tetapi perubahan warna lambat dan kurang
signifikan
: Pertumbuhan S. aureus kurang baik dan tidak terjadi perubahan warna
yang signifikan

Kode formula G6 dengan konsentrasi garam 6% memiliki hasil terbaik
dengan perubahan warna label yang jelas. Selain perbedaan warna, waktu
mendeteksi S. aureus lebih cepat dibandingkan formula lainnya Pada jam ke-12,
warna label terlihat berbeda nyata dari kontrol (sebelum uji). Selain itu, terjadi
perbedaan warna antara kontrol (sebelum uji) dengan label setelah uji. Semakin
banyak konsentrasi garam yang ditambahkan, warna label akan semakin kurang
merah karena garam dalam medium dapat menjernihkan kuning telur sehingga
warna merah akan semakin memudar.

14
Nilai Chroma Label
Pada penyimpanan suhu ruang (25±2) °C, label mengalami perubahan warna
dari merah menjadi kuning dalam waktu 24 jam. Hasil uji yang dilakukan, warna
label secara visual menunjukkan degradasi warna dari merah, merah kekuningan,
dan akhirnya kuning (Gambar 10). Warna merah menunjukkan bahwa S. aureus
belum tumbuh pada label dan seiring dengan lama penyimpanan, warna label
berubah karena adanya S. aureus. Meningkatnya jumlah S. aureus pada label
menyebabkan manitol dalam label difermentasi oleh S. aureus dan menghasilkan
asam laktat. Asam laktat ini yang menyebabkan pH label turun dan warna indikator
menjadi kuning. Perubahan warna pada label ini akan menentukan kelayakan label
untuk digunakan sebagai media informasi. Perubahan warna yang signifikan akan
semakin mudah untuk menginformasikan kondisi produk yang dikemas.

a

0 Jam

4 Jam

b

8 Jam

12 Jam

c

16 Jam

20 Jam

24 Jam

Gambar 10 Perubahan visual warna label selama penyimpanan: (a) merah; (b)
merah kekuningan; (c) kuning
Label yang disimpan pada suhu ruang ruang (25±2) °C, secara visual berubah
dari warna merah menjadi kekuningan dalam waktu kurang dari 24 jam dan terjadi
perubahan warna menjadi kuning setelah disimpan selama 16 jam. Hasil ini sesuai
dengan pernyataan Ray (2004),S. aureus membutuhkan waktu untuk melakukan
pembelahan yaitu 0,47jam sehingga pada jam ke-16 jumlah S. aureus semakin
meningkat. Dari hasil pengamatan warna secara visual, perubahan warna kemudian
dianalisis menjadi empat parameter warna yaitu tingkat kecerahan, parameter
kemerahan, parameter kekuningan, dan °hue. Nilai dari keempat parameter tersebut
ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Nilai L, a, b, dan °Hue label terhadap lama penyimpanan
Nilai Perubahan Warna
Jam
Foto
ke L
a
b
°Hue
0

57.12

32.41

24.16

36.71

4

59.48

28.76

24.54

40.47

8

61.15

27.99

25.07

41.84

12

61.84

23.73

32.01

53.45

16

62.83

23.53

34.72

55.87

20

63.24

13.07

36.75

70.43

24

66.83

12.72

37.90

71.45

15

Nilai L

Nilai L
Nilai L (lightness) menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna
akromatik putih, abu – abu, dan hitam. Interval skala nilai L berkisar antai 0 - 100.
Semakin tinggi nilai L maka sampel bisa diartikan memiliki warna yang semakin
terang. Grafik nilai L pada perubahan warna label dapat dilihat pada Gambar 11.
80
60
40
20
0

y = 0.3423x + 57.673
R² = 0.9347

Nilai L
Linear (Nilai L)

0

4

8

12

16

20

24

Lama Penyimpanan (Jam)

Gambar 11 Nilai L label selama penyimpanan
Dari hasil analisis warna yang ditunjukkan pada Gambar 11 diketahui bahwa
parameter kecerahan L yang diukur mengalami peningkatan seiring lama waktu
penyimpanan. Peningkatan nilai L dari 57,27 pada jam ke-0 menjadi 66,76 pada
jam ke-24. Penelitian yang mirip juga dilakukan oleh Hong dan Park (2000),
perubahan warna indikator methyl red dari orange menjadi merah dan terjadi
penurunan nilai L. Pergerakan nilai L pada penelitian ini berbanding terbalik
dengan penelitian Hong dan Park (2000), karena perubahan warna phenol red juga
berbanding terbalik yaitu dari merah menjadi kuning. Dari data yang diperoleh
dapat digambarkan bahwa semakin lama penyimpanan maka semakin banyak
bakteri yang tumbuh dan warna berubah dari merah menjadi kuning sehingga nilai
L semakin meningkat.

Nilai a

Nilai a
Nilai a (redness) mengidentifikasikan intensitas kemerahan pada label cerdas.
Menurut Nofrida (2013), nilai a positif (+ a) menunjukkan sampel memiliki derajat
kemerahan, sedangkan nilai a negatif (- a) menunjukkan sampel memiliki derajat
kehijauan. Phenol red merupakan indikator warna yang memiliki nilai a positif. Hal
ini dapat dibuktikan dari pengujian nilai a pada label cerdas, indikator warna yang
dihasilkan berada pada kisaran nilai a positif (+ a) yang berarti label cerdas indikator
phenol red berada pada kisaran warna merah. Grafik nilai a pada perubahan warna
label cerdas dapat dilihat pada Gambar 12.
40
30
20
10
0

y = -0.8474x + 33.34
R² = 0.9151
0

4

8

12

16

Nilai a
Linear (Nilai a)
20

24

Lama Penyimpanan (Jam)

Gambar 12 Nilai a label selama penyimpanan

16
Menurut Nofrida (2013), nilai a akan meningkat ketika warna sampel menjadi
kemerahan dan akan menurun ketika warna sampel menjadi kekuningan. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian ini. Pada penelitian ini, nilai a pada perubahan warna
label cerdas turun dari 32,41 pada jam ke-0 menjadi 12,72 pada jam ke- 24.
Penurunan nilai a menunjukkan terjadinya penurunan derajat kemerahan.
Penurunan pada nilai a dapat dilihat secara visual bahwa label cerdas berubah warna
dari merah menjadi kekuningan. Penurunan nilai a ini juga sejalan dengan Warsiki
dan Putri (2012), dimana terjadi penurunan nilai a pada label pendeteksi kerusakan
buah potong dari merah menjadi merah muda, sedangkan Hong dan Park (2000)
menemukan terjadi kenaikan nilai a pada perubahan warna indikator methyl red dari
orange menjadi merah.

Nilai b

Nilai b
Nilai b (yellowness) mengidentifikasikan intesitas warna kekuningan pada
sampel. Menurut Nofrida (2013), nilai b positif (+b) menunjukkan sampel memiliki
derajat kekuningan, sedangkan nilai b negatif (-b) menunjukkan sampel memiliki
derajat kebiruan. Label cerdas ini memiliki nilai b positif (+b). Hal ini terbukti dari
pengujian perubahan warna, nilai b pada sampel menunjukkan positif dan tidak ada
yang menunjukkan nilai negatif. Grafik nilai b pada perubahan warna label cerdas
dapat dilihat pada Gambar 13.
40
38
36
34
32
30
28
26
24
22
20

Nilai b

y = 0.6723x + 22.665
R² = 0.9256

0

4

8

12

16

20

Linear (Nilai b)

24

Lama penyimpanan (Jam)

Gambar 13 Nilai b label selama penyimpanan
Dari hasil uji nilai b, terjadi peningkatan nilai selama penyimpanan. Pada
perubahan label cerdas didapatkan nilai b yang meningkat dari nilai 24,16 pada jam
ke-0 menjadi 37,90 pada jam ke-24. Secara umum rata – rata nilai b (derajat
kekuningan) label cerdas semakin lama semakin meningkat. Hal ini menunjukkan
bahwa derajat kekuningan pada label cerdas berubah kearah positif. Perubahan ini
terlihat juga secara visual, perubahan label berubah dari merah menjadi kuning
sehingga nilai b (yellowness) meningkat.
Nilai °Hue
Setelah mendapatkan nilai a dan nilai b, dapat ditentukan nilai °hue dari nilai
invers tangen dari perbandingan nilai b dan nilai a sesuai dengan Lampiran 1.
Nilai °hue menunjukkan derajat warna yang dilihat oleh indra penglihatan.
MacDougall (2002) menyatakan nilai °hue merupakan gambaran dari sumbu 360°

17
di mana daerah kuadran 1 menunjukkan warna kemerahan, daerah kuadran 2
menunjukkan warna kuning hijau, daerah kuadran 3 menunjukkan warna hijau biru,
dan daerah kuadran 4 menunjukkan warna ungu. Grafik perubahan nilai °hue dapat
dilihat pada Gambar 14.
80

Nilai °Hue

70
60
50

°Hue
y = 1.5908x + 33.797
R² = 0.9453

40

Linear (°Hue)

30
20
0

4

8

12

16

20

24

Lama penyimpanan (Jam)

Gambar 14 Nilai °hue label selama penyimpanan
Dari hasil uji nilai °hue yang didapatkan terhadap lama penyimpanan, maka
dapat diketahui warna kromatik visual yang terlihat oleh indera penglihatan. Pada
jam ke-0, °hue menunjukkan nilai °hue sebesar 36,71° hingga jam ke-12 nilai °hue
menunjukkan 53,45°. Nilai °hue hingga jam ke-12 menunjukkan daerah kisaran
warna merah. Pada jam jam ke-24 menunjukkan nilai °hue sebesar 71,45° sehingga
daerah kisaran warna kuning – merah.
Pengemasan Label
Pengemasan adalah suatu perlakuan pengamanan terhadap produk, baik yang
belum maupun sudah mengalami pengolahan hingga sampai ke tangan konsumen.
Label cerdas pun membutuhkan pengemasan agar tidak terkontaminasi dengan
kotoran dan pencemaran lainnya. Bahan kemasan yang digunakan untuk mengemas
label cerdas yaitu plastik LDPE dan cling film PVC. Kedua bahan pengemas ini
dipilih karena memiliki sifat permeabilitas yang tinggi, warna yang transparan,
bersifat lentur, dan mempunyai pori – pori yang lebih besar dari S. aureus.
Pada penelitian ini, label dikemas dengan plastik LDPE dan cling film PVC,
kemudian diuji sensitifitas label terkemas terhadap aktivitas S. aureus. Penampakan
label indikator dapat dilihat pada Gambar 15. Sedangkan Tabel 8 menunjukkan
hasil uji sensitifitas label cerdas yang telah dikemas.

(a)
(b)
Gambar 15 Label dikemas dengan plastik (a) LDPE ; (b) cling PVC

18
Tabel 8 Uji sensitifitas label cerdas yang dikemas
Respon
Kemasan
Waktu
Pengamatan
Cling Film
Cling Film
LDPE
LDPE
(Jam)
PVC
PVC
0

-

-

4

+

+

16

++

++

20

++

++

24

++

++

48

++

++

Dari hasil uji,terlihat sensitifitas label yang dikemas dengan plastik LDPE dan
cling film PVCmemiliki sensitifitas yang sama dan perubahan warna yang terjadi
hampir terlihat sama. Joseph (1984) menyatakan bahwa plastik LDPE dan cling film
PVC memiliki tingkat permeabilitas yang tinggi dengan laju uap air yang rendah
sehingga kedua plastik ini merupakan kemasan terbaik sebagai pengemas label.
Namun secara teknik dan penampilan label, plastik LDPE terlihat lebih mudah dan
lebih baik dibandingkan label dengan kemasan cling film PVC. Oleh karena itu,
plastik LDPE digunakan untuk mengemas label cerdas.
Sensitifitas Label Terhadap Suhu Penyimpanan
Label cerdas terbaik yang dibuat adalah label manitol dengan konsentrasi
garam 6%. Label tersebut dapat berubah warna setelah diinkubasi dalam cawan
selama 12 jam. Dari formula label terbaik, kemudian dilakukan uji sensitifitas label
cerdas pada suhu penyimpanan. Uji sensitifitas label pada suhu penyimpanan perlu
dilakukan untuk mengetahui sensitifitas label dalam mendeteksi S. aureus pada
berbagai suhu penyimpanan. Selain itu, uji sensitifitas ini bertujuan untuk
mengetahui waktu yang dibutuhkan oleh label untuk berubah warna saat
mendeteksi S. aureus. Suhu (4 ± °C dan (25 ± °C pada umumnya masyarakat
terbiasa menyimpan makanan pada suhu – suhu tersebut.
Menurut Fardiaz (1992) S. aureus merupakan bakteri mesofil yang dapat
hidup pada suhu 10 – 45°C. Namun, Sudirman (2014) menyatakan bahwa
Staphylococcus aureus tumbuh optimum pada suhu 37°C, tetapi pigmen paling
optimum terbentuk pada suhu kamar (20 - 25°C). Pada umumnya, masyarakat
menyimpan makanan pada refrigerator untuk memperpanjang umur simpan
makanan tersebut. Suhu (4 ± °C merupakan suhu refrigerator yang dapat

19

Jumlah koloni cfu/ 9
cm²

menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan mencegah hampir
semua bakteri pathogen (Koswara 2001). Data pertumbuhan koloni S. aureus pada
uji ini ditunjukkan pada Lampiran 3. Grafik pertumbuhan koloni pada dua suhu
yaitu (4 ± °C dan (25 ± °C ditunjukkan pada Gambar 16.
150
100
4 ºC

50

25 ºC
0
0

24

48

72

96

120

Lama penyimpanan (jam)

Gambar 16 Grafik pertumbuhan S. aureus
Pada suhu 25± °C, S. aureus lebih banyak tumbuh dibandingkan pada suhu
4± °C. Jumlah S. aureus pada suhu 25± °C jam ke-24 hingga jam ke-72
meningkat dari 55 cfu/ 9 cm² menjadi 136 cfu/ 9 cm², sedangkan pada jam ke-72
hingga jam ke-120 terjadi penurunan dari 136 cfu/ 9 cm² menjadi 27 cfu/ 9 cm².
Hal yang sama terjadi pada suhu 4± °C, jumlah S. aureus jam ke-24 hingga jam
ke-72 meningkat dari 6 cfu/ 9 cm² menjadi 64 cfu/ 9 cm² dan menurun pada jam
ke-72 hingga jam ke-120.
Aplikasi Label Pada Daging Sapi
Label pendeteksi S. aureus dapat digunakan untuk jumlah pertumbuhan
S.aureus pada daging segar, ikan, daging unggas, dan produk olahan daging
lainnya. Label ini digunakan untuk memberikan informasi atas penurunan kualitas,
aktivitas S. aureus selama penyimpanan, distribusi dan transportasi. Label
diaplikasikan pada daging sapi segar seperti yang terlihat pada Gambar 17.
Pengemasan yang dilakukan untuk aplikasi label ini dibuat semirip mungkin dengan
kemasan daging sapi ketika dijual di supermarket. Penyimpanan dilakukan pada
suhu ruang (25± °C) dan suhu dingin (4± °C) agar dapat terlihat respon yang
ditunjukkan label pada saat suhu – suhu tersebut.

Styrofoam
Label Cerdas
Cling film PVC

Daging