Identifikasi Staphylococcus aureus pada Salmon Mentah dalam Sajian Sashimi di Restoran Jepang Kota Medan

(1)

KARYA TULIS ILMIAH

IDENTIFIKASI Staphylococcus aureus PADA SALMON MENTAH DALAM SAJIAN SASHIMI DI RESTORAN JEPANG KOTA MEDAN

Oleh :

SAMUEL REYNALDO HAMONANGAN PASARIBU NIM : 120100323

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

IDENTIFIKASI Staphylococcus aureus PADA SALMON MENTAH DALAM SAJIAN SASHIMI DI RESTORAN JEPANG KOTA MEDAN

“ Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh :

SAMUEL REYNALDO HAMONANGAN PASARIBU NIM : 120100323

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

i

ABSTRAK

Sashimi adalah istilah dalam bahasa Jepang yang ditujukan pada ikan atau kerang-kerangan yang dipotong menjadi irisan tipis kemudian disajikan dengan beberapa sausseperti wasabi, kecap atau saus ponzudan disertai dengan akar lobak. Proses pengolahan sajian sashimi ini dilakukan dengan steril unutk menghindari kontaminasi bakteri patogen karena sashimi ini disajikan tanpa dimasak. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya kontaminasi bakteri patogen pada sajian sashimi tersebut. Penelitian ini difokuskan untuk mengidentifikasi Staphylococcus aureus pada salmon mentah dalam sajian sashimi di seluruh restoran Jepang yang ada kota Medan.

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif observational. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengambil sampel sashimi disetiap restoran Jepang, kemudian membawanya ke laboratorium untuk menumbuhkannya dalam media Manitol Salt Agar (MSA) kemudian diidentifikasi menggunakan pewarnaan gram, setelah itu dilakukan tes katalase dan tes koagulase untuk mengetahui ada tidaknya bakteri Staphylococcus aureus.

Dari 10 sampel yang ada terdapat 5 sampel yang positif ditemukannya bakteri Staphylococcus aureus dan ditemukannya juga bakteri patogen lain diantaranya Klebsiella, Eschericia coli dan Bacilus subtilis.


(4)

ii

ABSTRACT

Sashimi is a Japanese term intended to fish or shellfish which is cut into thin slices and then served with several sauces such as wasabi, soy sauce or ponzu sauce accompanied with radish roots. The processing of sashimi dish is done with sterile fatherly avoid contamination of pathogenic bacteria as sashimi is served without cooking. Nevertheless there is a possibility of contamination of pathogenic bacteria in the sashimi dish. This research study is focused on identifying Staphylococcus aureus in raw salmon in a dish of sashimi in Japanese restaurants exist throughout the city of Medan.

The method used is descriptive observational. Data collection was done by taking a sashimi sample in every Japanese restaurant, and then took it to the laboratory to grow them in media Mannitol Salt Agar (MSA) then identified using gram stain, after that catalase test was carried out and coagulase test to determine the presence or absence of the bacterium Staphylococcus aureus.

5 samples out of 10 samples were found positive of Staphylococcus aureus and also the discovery of other pathogenic bacteria including Klebsiella, Eschericia coli and Bacilus subtilis.


(5)

(6)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan Kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya tulis ilmiah ini berjudul “Identifikasi Staphylococcus aureus pada salmon mentah dalam sajian sashimi di restoran Jepang kota Medan” dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2. dr. Sri Amelia, M.Kes., selaku dosen pembimbing saya yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pemikirannya dalam membimbing saya menyelesaikan karya tulis ilmiah ini

3. Prof. dr. H. Aznan Lelo, Ph.D., Sp.FK dan dr. Rosmayanti S. Siregar, Sp.A., selaku dosen penguji saya yang telah membantu dan memberikan arahan dan masukan kepada saya dalam menyelesaikan penelitian ini

4. dr. Ramona Duma Sari Lubis, Sp.KK (K) , selaku dosen penasehat akademik saya selama belajar di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

5. Orang tua saya dr. Tunggul Pasaribu, Sp.OG dan dra. Rosaulina Tinambunan, dan adik-adik saya Gio, Gerry, Timothy yang selalu memberi dukungan lewat doa dan semangat sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian saya dan merampungkan penulisan karya tulis ilmiah ini


(7)

v

6. Seluruh staf dan pegawai Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara khususnya Mirza Hasibuan yang telah membantu saya dalam penelitian ini

7. Marthin Ardo dan Paulus Saudjana yang telah membantu saya dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

8. Teman satu dosen pembimbing saya, Sarah dan Septami atas bantuan dan kerjasamanya dalam proses penelitian ini.

9. Seluruh staff pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

10. Seluruh teman dan sahabat yang telah membantu, memberikan semangat dan masukan dalam pengerjaan penelitian ini

Penulis menyadari dalam penulisan karya tulis ilmiah ini banyak hal yang harus disempurnakan. Untuk itu, penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata, semoga Tuhan senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Penulis berharap karya tulis ilmiah ini dapat diterima dan memberikan manfaaat bagi semua pihak. Terima kasih.

Medan, 7 Desember 2015

Penulis


(8)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Salmon ... 5

2.1.1. Pengenalan Salmon ... 5

2.1.2. Kandungan Gizi yang Terdapat dalam Salmon ... 6

2.2. Sashimi... 7

2.2.1. Pengenalan Sashimi ... 7

2.2.2. Komposisi Sashimi ... 8

2.2.3. Cara Pembuatan Sashimi ... 9

2.2.4. Higienitas Sashimi ... 9

2.3. Keracunan Makanan (foodborne Disease) ... 10

2.3.1. Penyakit yang Ditularkan melalui Makanan ... 10

2.3.2. Kontaminasi Staphylococcus aureus terhadap Produk Pangan ... 11


(9)

vii

2.3.2.1. Epidemiologi Keracunan Staphylococcus

aureus ... 11

2.3.2.2. Patogenesis ... 11

2.3.2.3. Tanda Klinis ... 12

2.3.2.4. Penanganan ... 12

2.3.2.5. Pencegahan ... 12

2.4. Staphylococcus aureus ... 14

2.4.1. Pengenalan Staphylococcus aureus ... 14

2.4.2. Morfologi ... 15

2.4.3. Sifat Kultur ... 16

2.4.4. Toksin dan Enzim ... 16

2.4.5. Patogenitas ... 18

2.4.6. Diagnosa Laboratorium ... 18

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL . 21 3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 21

3.2. Defenisi Operasional ... 21

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 23

4.1. Jenis Penelitian ... 23

4.2. Waktu dan Tempat ... 23

4.2.1. Waktu ... 23

4.2.2. Tempat ... 23

4.3. Populasi dan Sampel ... 23

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 24

4.4.1. Teknik Pengambilan Sampel ... 24

4.4.2. Alat dan Bahan ... 24

4.4.3. Cara Kerja ... 25


(10)

viii

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 27

5.1. Hasil Penelitian ... 27

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 27

5.1.2. Karakteristik Sampel Penelitian ... 27

5.1.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium ... 27

5.2. Pembahasan ... 28

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

6.1. Kesimpulan ... 32

6.2. Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33 LAMPIRAN


(11)

ix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Keterangan Halaman

Gambar 2.1 Ikan salmon ... 5 Gambar 2.2 Kandungan nutrisi salmon ... 6 Gambar 2.3 Staphylococcus aureus hasil pewarnaan gram ... 14 Gambar 2.4 Sifat β-hemolisis Staphylococcus aureus, tampak

zona gelap mengelilingi koloni ... 15 Gambar 2.5 Pigmen Kuning Keemasan Staphylococcus aureus

pada nutrient agar ... 16 Gambar 2.6 Uji koagulase Staphylococcus aureus mampu

menggumpalkan plasma darah kelinci (bawah),

kontrol negatif (atas) ... 19 Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 21


(12)

x

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Kandungan sashimi yang bahan dasarnya ikan ... 8 Tabel 2.2 Intoksifikasi Staphylococcus aureus pada produk

pangan ... 13 Tabel 3.1 Hasil uji biokimia Staphylococcus aureus ... 22 Tabel 5.1 Hasil analisis sashimi yang di jual di restoran Jepang


(13)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Daftar Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4

Judul Daftar riwayat hidup

Dokumentasi Surat izin penelitian


(14)

i

ABSTRAK

Sashimi adalah istilah dalam bahasa Jepang yang ditujukan pada ikan atau kerang-kerangan yang dipotong menjadi irisan tipis kemudian disajikan dengan beberapa sausseperti wasabi, kecap atau saus ponzudan disertai dengan akar lobak. Proses pengolahan sajian sashimi ini dilakukan dengan steril unutk menghindari kontaminasi bakteri patogen karena sashimi ini disajikan tanpa dimasak. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya kontaminasi bakteri patogen pada sajian sashimi tersebut. Penelitian ini difokuskan untuk mengidentifikasi Staphylococcus aureus pada salmon mentah dalam sajian sashimi di seluruh restoran Jepang yang ada kota Medan.

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif observational. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengambil sampel sashimi disetiap restoran Jepang, kemudian membawanya ke laboratorium untuk menumbuhkannya dalam media Manitol Salt Agar (MSA) kemudian diidentifikasi menggunakan pewarnaan gram, setelah itu dilakukan tes katalase dan tes koagulase untuk mengetahui ada tidaknya bakteri Staphylococcus aureus.

Dari 10 sampel yang ada terdapat 5 sampel yang positif ditemukannya bakteri Staphylococcus aureus dan ditemukannya juga bakteri patogen lain diantaranya Klebsiella, Eschericia coli dan Bacilus subtilis.


(15)

ii

ABSTRACT

Sashimi is a Japanese term intended to fish or shellfish which is cut into thin slices and then served with several sauces such as wasabi, soy sauce or ponzu sauce accompanied with radish roots. The processing of sashimi dish is done with sterile fatherly avoid contamination of pathogenic bacteria as sashimi is served without cooking. Nevertheless there is a possibility of contamination of pathogenic bacteria in the sashimi dish. This research study is focused on identifying Staphylococcus aureus in raw salmon in a dish of sashimi in Japanese restaurants exist throughout the city of Medan.

The method used is descriptive observational. Data collection was done by taking a sashimi sample in every Japanese restaurant, and then took it to the laboratory to grow them in media Mannitol Salt Agar (MSA) then identified using gram stain, after that catalase test was carried out and coagulase test to determine the presence or absence of the bacterium Staphylococcus aureus.

5 samples out of 10 samples were found positive of Staphylococcus aureus and also the discovery of other pathogenic bacteria including Klebsiella, Eschericia coli and Bacilus subtilis.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia untuk pertumbuhan maupun mempertahankan hidup. Namun, dapat pula timbul penyakit yang disebabkan oleh pangan. Keracunan pangan atau foodborne disease (penyakit bawaan makanan), terutama yang disebabkan oleh bakteri patogen masih menjadi masalah yang serius di berbagai negara termasuk Indonesia. Foodborne disease (penyakit bawaan pangan) merupakan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi pangan (makanan atau minuman) yang terkontaminasi oleh mikroorganisme atau bahan kimia (BPOM RI,2014).

Secara menyeluruh, diperkirakan ada sebanyak dua juta orang meninggal akibat diare pada tahun 2005; sekitar 70% dari penyakit diare tersebut disebabkan oleh penyakit bawaan makanan, 30% lagi disebabkan oleh kondisi lain. Diperkirakan bahwa sampai 30% dari populasi di beberapa negara industri menderita karena foodborne illnesses setiap tahun (WHO, 2011).

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2011, setiap tahun 48 juta orang Amerika terserang penyakit bawaan pangan; sebanyak 128.000 orang masuk rumah sakit dan 3.000 orang lagi meninggal.Di negara Australia diperkirakan terdapat 5,4 juta kasus foodborne illnesses setiap tahun yang menyebabkan 18.000 orang dirawat inap, 120 kematian, 21 juta mengalami kehilangan hari libur kerja, 1,2 juta orang konsultasi ke dokter, dan 300.000 resep untuk antibiotik (Ifenkwe, 2012).

Di Inggris setiap tahun terdapat satu juta orang menderita penyakit foodborne illnesses, dimana sekitar 20.000 orang menerima perawatan di rumah sakit karena keracunan makanan, dan 500 kematian yang disebabkan oleh foodborne illnesses dengan biaya mencapai 1,5 miliar pounds (FDS, 2011).

Di negara Indonesia data valid untuk kasusfoodborne disease tidak diketahui dengan pasti namun berdasarkan laporan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) pada periode Oktober 2014 sampai


(17)

Desember 2014 terdapat 38 berita insiden keracunan akibat pangan.Keracunan akibat pangan berturut-turut disebabkan oleh pangan jasaboga sebanyak 15 (lima belas) insiden keracunan dengan jumlah korban 543 (lima ratus empat puluh tiga) orang; 7 (tujuh) insiden keracunan akibat minuman keras / alkohol dengan jumlah korban 164 (seratus enam puluh empat) orang dengan 23 (dua puluh tiga) korban diantaranya meninggal dunia; 6 (enam) insiden keracunan akibat pangan jajanan dengan jumlah korban 118 (seratus delapan belas) orang; 5 (lima) insiden keracunan akibat minuman laindengan jumlah korban 183 (seratus delapan puluh tiga) orang dengan 1 (satu) korban diantaranya meninggal dunia; 5 (lima) insiden keracunan akibat pangan olahan rumah tangga dengan jumlah korban sebanyak 72 (tujuh puluh dua) orang dengan 5 (lima) korban diantaranya meninggal dunia.

Beberapa spesies bakteri patogen yang sering ditemukan pada ikan dan produk perikanan antara lain: Vibrio parahaemolyticus dan jenis Vibrio lainnya, Escherichia coli, Aeromonas spp., Salmonella spp., Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes,Clostridium botulinum, C. perfringens, dan Shigella spp (Dwiyitno, 2010).

Gejala klinis yang terjadi apabila mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh S. aureus adalah mual yang berat, kram perut, muntah, dan keadaan umum yanglemah yang dapat disertai diare biasanya awitan bersifat mendadak dan intensif. Biasanya foodborne disease akibat S. aureus ini terjadi karena konsumsi makanan yang mengandung toksin bakteri tersebut. Makanan terkontaminasi melalui penjamah makanan. Jika kondisi penyimpanan makanan tidak memadai, bakteri ini dapat memperbanyak diri untuk memproduksi toksinnya (WHO, 2000).

Menurut CDC 2011, telah diidentifikasi beberapa faktor umum yang bertanggungjawab untuk penyakit yang disebabkan oleh makanan, mencakup: membeli makanan dari sumber-sumber yang tidak aman, kegagalan untuk memasak makanan secara tepat, merebus makanan pada temperatur yang tidak sesuai, menggunakan peralatan yang tercemar, dan kebersihan pribadi yang buruk.

Ikan Salmon merupakan salah satu spesies ikan yang banyak mengandung asam lemak omega-3. Senyawa omega-3 memiliki fungsi untuk mengurangi


(18)

resiko terkena penyakit jantung, menurunkan tekanan darah tinggi, dan mengurangi resiko terkena stroke.Beberapa studi menunjukkan suplemen omega-3 dapat meringankan gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Kita tahu asam lemak omega-3 yang penting dalam perkembangan dan fungsi otak. Meskipun bukti tersebut tidak konklusif dan suplemen diet tidak dapat menawarkan obat semua untuk ADHD, omega-3 dapat memberikan beberapa manfaat tambahan untuk pengobatan tradisional.(Itokindo, 2011).

Sashimi juga merupakan makanan yang favorit di masyarakat di kota Medan, hal ini ditandai dengan semakin banyaknya restoran-restoran di kota Medan yang menyajikan Sashimi sebagai menunya. Oleh karena manfaatnya yang banyak, sehingga masyarakat sering mengkonsumsi ikan salmon, namun apabila ikan salmon yang dikonsumsi tercemar oleh bakteri pathogen seperti S. aureusyang didapat dari konsumsi ikan salmon tersebut bukanlah manfaatnya melainkan penyakit bawaan pangan akibat toksin bakteri S. aureus. Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk mengidentifikasi bakteri S. aureus pada salmon mentah dalam sajian sashimi di restoran Kota Medan.

1.2 Rumusan Masalah

“Apakah terdapat bakteri Staphylococcus aureuspada salmondalam sajian sashimidi restoran Jepang Kota Medan?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Untuk mengetahui apakah terdapat bakteri Staphylococcus aureus pada salmon mentahdalam sajian sashimi di seluruh restoran Jepang Kota Medan.


(19)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi masyarakat, untuk memberikan wawasan kepada pembaca karya tulis ini agar mendapat pemahaman yang cukup mengenai kelayakan konsumsi sashimi dan dampak dari komsumsi sashimi tersebut apabila terkontaminasi bakteriS. aureus.

2. Bagi peneliti, menambah wawasan dan pengetahuan mengenai bagaimana cara mengidentifikasi bakteri S. aureus pada salmon mentah dalam sajian sashimi di restoran Jepang Kota Medan.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Salmon

2.1.1 Pengenalan Salmon

Taksonomi Salmon adalah sebagai berikut:

Phylum :Choradata Subphylum :Vertebrata Class :Actinopterygii Order :Salmoniformes Family :Salmonidae Genus :Salmo Species :Salar

Gambar 2.1. Ikan salmon (FDA, 2014)

Salmon, trout,dan sejenis mereka adalah jenis ikan Salmonidae (salmon), yaitu ikan ikonik dari belahan bumi utara. Karakteristik mereka berupa hidup di lautan dingin, sungai yang mengalir deras, dan danau dalam yang dingin. Mereka beradaptasiuntuk hidup di perairan yang dipengaruhi oleh gletser, gunung berapi, gempa bumi, dan iklim yang ekstrem. Salmon berkembang melalui mobilitas mereka seperti bergerak bebas melalui laut dansungai besar serta kemampuan mereka untuk beradaptasi dari perubahan lingkungan yang ekstrimdari gurun ke hujan hutan. Hal ini mengakibatkan beberapa spesies memproduksi


(21)

ratusangenetik yang berbeda, ras, dan subspesies yang banyak dengan warna,khas, dan atribut lainnya(CWS, 2008).

2.1.2 Kandungan Gizi yang Terdapat dalam Salmon

Semua jenis salmon menyediakan sumber protein baik berupa asam lemak 3 yang berkualitas tinggi dan membuat jantung sehat. Lemak dan omega-3 yang terkandung bervariasidari satu spesies ke spesies lain. Jumlah rentang kandungan lemak sekitar 4-11 gram per 3 ons dalam satu porsi. Asam lemak omega-3 mengandung 700-1.800 miligram asam lemak omega-3 per 3 ons sewaktu dimasak. Salmon jugasumber dari berbagai vitamin dan mineral. Salmon kalengan yang mengandungtulang juga merupakan sumber kalsium yang baik (SHF,2010).


(22)

2.2. Sashimi

2.2.1 Pengenalan Sashimi

Sushi dan sashimi merupakan makanan tradisional Jepang yang dalam beberapa tahun terakhir menarik sejumlah besar konsumen Eropa. Sushi awalnya diproduksi di Asia Tenggara sebagai metode untuk mengawetkan ikan. Sushi disiapkan dengan nasi dingin diasamkan dengan cuka dan dibentuk menjadi potongan seukuran gigitan dan atasnya dengan ikan mentah lalu dimasak atau dibentuk menjadi gulungan dengan ikan, telur atau sayuran, dan dibungkus rumput laut (nori). Sashimi menggunakan ikan dan kerang-keranganyang dipotong menjadi irisan tipis dan disajikan dengan beberapa saus (misalnya wasabi, kecap atau saus ponzu), dan disertai dengan akar lobak (Muscolino, 2014).

Tidak seperti anggapan orang, sushi memiliki arti “dengan nasi” dan bukan “ikan mentah.” Sashimimengacu kepada ikan mentah. Sashimi bisa menjadi bagian dari bahan isian sushi gulung dalam empat bentuk, yaitu futomaki (gulungan besar), hosomaki (gulungan tipis), temaki (gulungan sushi bentuk kerucut), uramaki(gulungan terbalik). Ada bahan lain yang dapat digunakan sebagai bahan isian sushi gulung.

Bahan dasar untuk membuat nasi sushi, antara lain lembaran rumput laut(nori sheet), beras bulir pendek, saus kedelai, pasta wasabi. Ikan mentah yang biasa digunakan sebagai bahan untuk sushi gulung, antara lain belut, makarel, salmon, kakap,tuna, ekor kuning.Sushi gulung sangat populer dan memiliki reputasi sebagai makanan yang aman. Meskipun demikian, ikan mentah membusuk dengan cepat dan setiap produk daging mentah mengandung bakteri patogen(Shewfelt, 2009).


(23)

2.2.2. Komposisi Sashimi

Sushi mengandung nasi dingin diasamkan dengan cuka yang dibentuk menjadi potongan seukuran gigitan dan atasnya dengan ikan mentah atau dimasak, atau dibentuk menjadi gulungan dengan ikan, telur atau sayuran dan dibungkus rumput laut. Dua jenis utama dari sushi yang dijual di Australia adalah: • Nigiri, biasanya terdiri dari rumpun padi yang diasamkandengan bahan-bahan

seperti sepotong makanan laut atau telur dadar ditempatkan di atas.

• Maki, terdiri dari nasi yang diasamkan dan bahan-bahan seperti seafood, daging, ayam, dan sayuran yang digulung dalam rumput laut, juga disebut nori gulungan (NSW Makanan , 2008).

Tabel 2.1 Kandungan sashimi yang bahan dasarnya ikan (Adawyah, 2011)

No Mineral Rata-rata mencukupi(mg%)

1 Potassium 300

2 Chloride 200

3 Phosphorus 200

4 Sulfur 200

5 Sodium 63

6 Magnesium 25

7 Calsium 15

8 Iron 1,5

9 Manganese 1

10 Zinc 1

11 Fluorine 0,5


(24)

2.2.3 Cara Pembuatan Sashimi

Potong ikan salmon atau tuna mentah. Lalu siapkan piring saji, kemudian susun ikan yang sudah dipotong beserta irisan lobak dan daun okba.Beri wasabi di sampingnya dan dicampur dengan air jeruk lemon, setelah itu aduk hingga rata. Sajikan dengan saus sashimi atau kecap asin (Leehans, 2013).

2.2.4 Higienitas sashimi

a. Semua bahan baku yang berpotensi berbahaya harus disimpan di dalam pendinginan sampai digunakan, terutama ikan mentah.

b. Makanan beku harus dicairkan dalam chiller atau dengan menggunakan oven microwave. Tidak boleh mencairkan makanan beku di bawah suhu kamar. Makanan beku dapat dicairkan di dalam air tapi harus dilindungi dari kontak dengan air dengan menempatkannya di dalam paket anti bocor.

c. Jangan membekukan ikan atau daging yang dicairkan.

d. Cuci semua bahan dan hiasan (misalnya, daun bambu, kerang, bunga, rumput laut) di air secara menyeluruh sebelum digunakan.

e. Masak makanan secara menyeluruh dalam suhu internal minimal 75°C lebih dari 1 menit, terutama ayam, daging, dan telur.

f. Cuci dan membersihkan tangan dan peralatan setiap kali mereka datang untuk berkontak daging, ayam dan telur.

g. Siapkan makanan laut mentah (misalnya ikan dan udang) di tempat yang terpisah dari ayam dan daging.

h. Siapkan makanan yang sudah siap saji (misalnya sashimi, salmon, timun) di daerah yang terpisah dari makanan mentah lainnya.

i. Cuci beras sampai bersih sebelum dimasak sampai sisa-sisa airnya hilang. Campur dengan cukup cuka dengan dengan pH dibawah 4,6. Beras dengan pH dibawah 4,6 dapat disimpan pada suhu kamar hingga 8 jam tapi harus dibuang pada akhir hari.

j. Setelah siap, sushi harus ditempatkan di dalam pendingin dibawah 5° C kecuali ketika mau dijual.


(25)

k. Tidak boleh mempersiapkan sushi yang berlebihan sehingga sushi yang dijual menjadi tidak beku atau tidak terjual pada suhu kamar selama lebih dari 4jam(NEA 2012).

2.3 Keracunan Makanan (Foodborne Disease) 2.3.1 Penyakit Yang Ditularkan Melalui Makanan

Penyakit bawaan makanan (foodborne disease), biasanya bersifat toksik maupun infeksious, disebabkan oleh agen penyakit yang masuk kedalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi. Kadang-kadang penyakit ini disebut keracunan makanan (food poisoning) walaupun istilah ini tidak tepat. Penyakit bawaan makanan mencakup lingkup penyakit yang etiologinya bersifat kimiawi maupun biologis, termasuk penyakit kolera dan diare, sekaligus beberapa penyakit parasit (WHO, 2000).

Penyakit bawaan makanan merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang paling banyak dan paling membebani yang pernah dijumpai di zaman modern ini. Penyakit tersebut meminta banyak korban dalam kehidupan manusia dan menyebabkan sejumlah besar penderitaan, khususnya di kalangan bayi, anak, lansia, dan mereka yang kekebalan tubuhnya terganggu. Tingkat keparahan (besaran) dan konsekuensi penyakit bawaan makanan ini kerap kali diremehkan oleh pihak berwenang di bidang kesehatan masyarakat. Baru terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini saja sebagai akibat dari Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit bawaan makanan (misalnya listeriosis, salmonelosis, dan kolera) (WHO, 2000).

Negara berkembang diserang oleh beragam jenis penyakit bawaan makanan. Penyakit kolera, kampilobakteriosis, salmonelosis, shigelosis, demam tifoid, dan paratiroid, bruselosis, amoebiasis dan poliomielitis merupakan beberapa contoh saja (WHO, 2000).


(26)

2.3.2.1 Epidemiologi Keracunan Staphylococcus aureus

Bentuk keracunan makanan yang lazim ini disebabkan oleh multiplikasi S.aureuspembentuk toksin di dalam makanan sebelum disantap. Pencemaran makanan oleh jasad renik ini sering terjadi karena bakteri ini dapat tumbuh di tangan 50% orang. Pertumbuhan yang pesat kerap berlangsung pada celah-celah dan luka kecil pada kulit yang tampak tidak terinfeksi. S.aureusyang berasal dari manusia yang mencemari daging bertindak sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), tetapi hanya 10% ditularkan melalui air susu, umumnya ditularkan melalui sapi. Kondisi yang mendukung keracunan jenis ini adalah kontaminasi makanan yang cocok (banyak sekali makanan yang dapat menunjang pertumbuhanS.aureus) dan rentang waktu beberapa jam setelah makanan disiapkan (selama waktu tersebut, jasad renik mampu memperbanyak diri). Suasana seperti itu dapat terbentuk selama pendinginan lambat sesudah proses memasak, atau bila makanan dibiarkan terletak didalam suhu ruang dengan iklim sekitar yang panas. Pemanasan ulang, atau bahkan mendidihkan, tidak akan dapat mencegah penyakit, karena penyebab langsungnya adalah toksin yang tahan panas dan bukan S.aureus hidup yang terdapat di dalamnya (Arisman, 2008).

2.3.2.2 Patogenesis

Penelitian yang rinci mengenai enterotoksin yang dihasilkan oleh S.aureus agak tersendat karena banyak kendala teknis yang ditemukan. Galur yang membentuk enterotoksin hampir selalu bersifat koagulase positif. Namun sebaliknya, produksi enterotoksin tidak berkaitan dengan semua kegiatan metabolisme yang dapat diukur dengan mudah. Selain itu, penelitian tentang toksin ini terbatas karena ketiadaan tentang hewan percobaan yang cocok (kebanyakan peneliti menggunakan suntikan intraperitonium terhadap anak kucing sebagai sistem pengujian). Banyak kemajuan yang telah dibuat pada tahun-tahun terakhir ini. Terdapat perbedaan diantara 4 jenis antigen: enterotoksin A, B, C, dan D. Enterotoksin B telah diisolasi dalam bentuk relatif murni oleh Bergdoll dan kawan-kawan. Galur ini berantigen khas dan tidak bereaksi silang,


(27)

tetapi satu galur S.aureus dapat menghasilkan lebih dari satu macam antigen. Toksin tersebut (seperti ekstrak yang kasar) relatif tahan terhadap panas dan tripsin (Arisman, 2008).

2.3.2.3 Tanda Klinis

Rentang waktu antara makan dan timbulnya penyakit cukup pendek, yaitu sekitar satu sampai enam jam (kadang-kadang lebih singkat) dan ditandai dengan adanya nyeri perut (dengan kram) yang disertai muntah hebat yang berulang. Diare bervariasi, yaitu dapat sangat berat, sedang, atau derajat ringan. Meskipun seringkali ganas, keracunan makanan oleh S.aureusberlangsung sementara, biasanya segera mereda dalam 6 atau 8 jam, jarang sekali sampai melebihi 24 jam (Arisman, 2008).

2.3.2.4 Penanganan

Keracunan makanan ini terkadang mengancam jiwa bila menimpa penderita yang berusia lanjut atau mereka yang (meskipun tidak tua) sedang menderita sakit berat. Pasien mulai tampak sembuh saat bertemu dengan dokter untuk pertama kalinya, tetapi memerlukan suntikan 12½ mg proklorperazin atau 10 mg metoklopramid sebagai pengendali muntah. Pasien yang menunjukkan tanda kekurangan cairan membutuhkan pengobatan cairan intravena yang menggunakan NaCl isotonik yang ditambah kalium (Arisman, 2008).

2.3.2.5 Pencegahan

Langkah pencegahan yang paling penting adalah melatih para pengolah makanan dalam masalah kebersihan perorangan dan cara pendinginan cepat makanan yang tidak segera disantap. Enterotoksin tidak dihasilkan pada keadaan dengan temperatur lemari pendingin yang biasa digunakan di rumah tangga. Makanan selayaknya tidak dingin dengan begitu lambat, terutama dalam kemasan besar. Jika perlu, ambil dari lemari pendingin lalu dipanaskan kembali segera sebelum dihidangkan (Arisman, 2008).


(28)

Peneliti epidemiologi terhadap kejadian luar biasa keracunan makanan oleh S. aureusmencakup standar baku bacteriophage typing untuk mengidentifikasi sumber galur bakteri penyebab. Karena pemanasan akhir dapat membunuh jasad renik tanpa menginaktivasi enterotoksin, S.aureus tidak dapat tumbuh pada makanan yang dicurigai. Uji binatang untuk penentuan enterotoksin kini diganti dengan metode serologis (Arisman, 2008).

Tabel 2.2 Intoksifikasi Staphylococcus aureus pada produk pangan (Arisman, 2008)

Topik Intoksifikasi Akibat Staphylococus aureus Etiologi Toksin bakteri S.aureus (enterotoksin)

Inkubasi 2-6 jam

Gejala Terkadang timbul mendadak dan membahayakan (violen onset), seperti mual berat, kram, muntah, dan terkadang disertai diare.

Durasi Sekitar 2 hari

Sumber Manusia (kulit, hidung, dan tenggorok), sekitar 25-40% manusia sehat didiami oleh bakteri ini.

Cara penyebaran

dan contoh

makanan yang terlibat dalam KLB.

Menyantap makanan yang mengandung toksin. Jika kondisi tempat penyimpanan tidak baik, bakteri akan berkembang biak dan menghasilkan toksin. Contoh makanannya, yaitu ham, ayam, selada telur, bahan yang diisi krim, es krim, dan keju.

Pengawasan Meliburkan orang yang terinfeksi kulit, kebersihan perorangan diperhatikan, serta memasak makanan dengan waktu dan pemanasan yang adekuat.

Angka Kejadian Seluruh dunia. Angka kejadian1-100 orang per 100.000 penduduk, bergantung pada keadaan kebersihan makanan.

2.4 Staphylococcus aureus 2.4.1 Pengenalan S. aureus


(29)

Kingdom :Bacteria Phylum :Firmicutes

Class :Cocci

Ordo :Bacillales

Family :Staphylococcaceae Genus :Staphylococcus

Spesies :Staphylococcus aureus

Gambar 2.3Staphylococcus aureushasil pewarnaan gram (sumber: Janardhanan, 2011)

Staphylococcus aureus merupakan salah satu dari tiga spesies yang paling sering dijumpai pada kelompok genus staphylococcus yang mempunyai kepentingan dalam klinis.S.aureus merupakan patogen utama untuk manusia. Hampir setiap orang akan mengalami beberapa jenis infeksi S.aureus sepanjang hidup dengan kisaran keparahan dari keracunan makanan atau infeksi kulit minor hingga infeksi berat yang mengancam jiwa. Stafilokokus koagulase negatif merupakan flora normal manusia dan kadang-kadang menyebabkan infeksi, sering berkaitan dengan alat implan, seperti protesis sendi, shunt, dan kateter intravaskular, terutama pada pasien-pasien yang berusia sangat muda, dan luluh imun. Sekitar 75% infeksi-infeksi ini disebabkan oleh stafilokokus koagulase negatif, yaitu S. epidermidis; infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus lugdunensis, Staphylococcus warneri, Staphylococcus hominis, dan spesies lain yang lebih jarang.S. saprophyticus relatif sering menyebabkan infeksi saluran


(30)

kemih pada wanita muda, meskipun jarang menyebabkan infeksi pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Spesies lainnya adalah penting pada kedokteran hewan (Jawetz, 2010).

S. aureus biasanya membentuk koloni berwarna abu-abu hingga kuning emas pekat. Koloni S. epidermidis biasanya berwarna abu-abu hingga putih pada isolasi primer.Banyak koloni menghasilkan pigmen hanya pada inkubasi yang berkepanjangan. Tidak ada pigmen yang terbentuk secara anaerob atau pada kaldu. Berbagai tingkat hemolisis ditimbulkan oleh S. aureus dan kadang-kadang oleh spesies lainnya.Peptostreptococcus dan Peptoniphilus spyang merupakan kokus anaerob, secara morfologi sering menyerupai S. aureus. Genus Staphylococcus terdiri dari dua subspesies, S.saccharolyticus dan S.aureus subsp. Anaerobius, yang pada mulanya hanya tumbuh pada kondisi anaerob, tetapi lebih menjadi lebih aerotoleran pada subkultur (Jawetz, 2010).

Gambar 2.4Sifat β-hemolisis S.aureus, tampak zona gelap mengelilingi koloni (sumber: Purnomo, 2006)

2.4.1 Morfologi

S. aureus adalah bakteri berbentuk bulat, bersifat gram positif, biasanya tersusun dalam rangkaian tidak beraturan seperti buah anggur. Beberapa diantaranya tergolong flora normal pada kulit dan selaput mukosa manusia, menyebabkan penanahan, abses, berbagai infeksi piogen dan bahkan septikimia yang fatal (Jawetz, 2010).


(31)

S. aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media bakteriologik dibawah suasana aerobik atau mikro-aerobik. Tumbuh dengan cepat pada temperatur 37°C namun pembentukan pigmen yang terbaik adalah pada temperatur kamar (20-35°C). Koloni pada media yang padat akan berbentuk bulat, halus, menonjol, dan berkilau-kilau, membentuk berbagai pigmen berwarna kuning keemasan (Jawetz, 2010).

Gambar 2.5 Pigmen kuning keemasan Staphylococcus aureus pada nutrient agar (sumber: Janarhanan, 2011)

2.4.3 Toksin dan Enzim 1.Eksotoksin

Toksin-α adalah protein heterogen yang bekerja pada spektrum luas membran sel eukariot. Toksin-α merupakan hemolisis poten. Toksin-β mendegradasi sfingomielin dan karena itu bersifat toksik untuk banyak jenis sel, termasuk sel darah merah manusia. Toksin-δ bersifat heterogen dan mengalami disosiasi menjadi subunit-subunit di dalam detergen nonionik. Toksin ini merusak membran biologi dan mungkin mempunyai peran pada penyakit diare S.aureus(Jawetz, 2010).

2.Leukosidin panton valentine

Toksin S. aureus ini mempunyai dua komponen. Toksin ini dapat membunuh sel darah putih manusia dan kelinci. Dua komponen yang disebut F dan S bekerja secara sinergis pada membran sel darah putih, seperti yang dijelaskan di atas untuk toksin- γ. Toksin ini merupakan faktor virulensi penting


(32)

dalam infeksi S. aureus yang resisten terhadap metisilin yang berhubungan dengan komunitas (Jawetz, 2010).

3. Toksin eksfoliatif

Toksin epidermolitik S.aureus ini adalah dua protein berbeda dengan berat molekul sama. Toksin A epidermolitik merupakan suatu produk gen kromosom dan bersifat stabil-panas (tahan pendidihan selama 20 menit). Toksin B epidermolitik diperantarai oleh plasmid dan labil-panas. Toksin epidermolitik menimbulkan deskuamasi generalisata pada sindom kulit lepuh stafilokok dengan cara melarutkan matriks mukopolisakarida epidermis. Toksin ini adalah antigen super (Jawetz, 2010).

4.Toksin sindrom syok toksin

Sebagian besar galur S.aureus yang diisolasi dari pasien dengan sindrom syok toksik menghasilkan toksin yang disebut toksin-1 sindrom syok toksik (toxic shock syndrome toxin-1, TSST-1), yang sama dengan enterotoksin F. TSST-1 adalah antigen super prototipe. TSST-1 terikat pada molekul MHC kelas II, menghasilkan stimulasi sel T, yang meningkatkan manifestasi yang berubah-ubah pada sindrom syok toksik. Toksin berkaitan dengan demam, syok, dan keterlibatan multi sistem, termasuk ruam kulit deskuamatif. Gen untuk TSST-1 ditemukan pada sekitar 20% isolat S.aureus, termasuk MRSA (Jawetz, 2010). 5.Enterotoksin

Terdapat banyak jenis enterotoksin (A-E, G-J, K-R danU,V). Sekitar 50% galur S.aureus dapat menghasilkan satu atau lebih jenis enterotoksin. Seperti TSST-1, enterotoksin merupakan antigen super. Enterotoksin bersifat stabil panas dan resisten terhadap kerja usus. Sebagai penyebab penting keracunan makanan, enterotoksin dihasilkan ketika S.aureus tumbuh pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein. Ingesti 25 µg enterotoksin B menimbulkan muntah dan diare. Efek muntah enterotoksin kemungkinan disebabkan oleh stimulasi sistem saraf pusat (pusat muntah) sesudah toksin bekerja pada reseptor saraf di usus (Jawetz, 2010).


(33)

S.aureus menghasilkan katalase yang mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Uji katalase membedakan stafilokokus yang positif, dari streptokokus yang negatif (Jawetz, 2010).

7. Koagulase

S.aureus menghasilkan koagulase, protein yang menyerupai enzim yang membekukan plasma beroksalat atau bersitrat. Koagulase terikat pada protrombin; yang bersama-sama secara enzimatis menjadi aktif dan memulai polimerisasi fibrin. Koagulase mungkin mendeposit fibrin pada permukaan S.aureus, mungkin mengubah ingestinya oleh sel fagosit atau destruksinya didalam sel seperti itu. Produksi koagulase dianggap sinonim dengan potensi patogenik invasif (Jawetz, 2010).

2.4.4 Patogenitas

S.aureus yang invasif dan patogenik menghasilkan koagulase dan cenderung menghasilkan pigmen kuning serta hemolitik. Kapasitas patogenik suatu galur S.aureus adalah efek kombinasi faktor ekstraseluler dan toksin bersama dengan sifat invasif galur itu. Di satu sisi spektrum penyakit adalah keracunan makanan oleh S.aureus, berkaitan secara eksklusif degan ingesti enterotoksin yang belum terbentuk; pada sisi lainnya adalah bakteremia stafilokok dan abses diseminata pada semua organ (Jawetz, 2010).

2.4.5 Diagnosa Laboratorium 1. Spesimen

Swab permukaan pus, darah, aspirat trakea, atau cairan spinal untuk kultur, tergantung dari lokasi proses, semuanya merupakan spesimen yang tepat untuk pengujian (Jawetz, 2010).

2. Apusan

S.aureus tipikal tampak sebagai kokus gram-positif berkelompok pada apusan pus atau sputum dengan perwarnaan Gram. Organisme saprofit (S. epidermidis) tidak mungkin dibedakan dengan patogen (S. aureus) pada apusan uji (Jawetz, 2010).


(34)

Spesimen yang ditanam pada cawan agar darah menghasilkan koloni tipikal dalam 18 jam pada 37°C, tetapi hemolisis dan produksi pigmen dapat tidak terjadi hingga beberapa hari kemudian dan optimal pada temperatur ruang. S.aureus memfermentasi manitol, sedangkan staphylococcus lainnya tidak. Spesimen yang terkontaminasidengan flora campuran dapat dikultur pada media yang mengandung NaCl 7,5%; garam ini menghambat sebagian besar flora normal lainnya, tetapi tidak menghambat S.aureus. Agar garam manitol atau media kromogen yang dijual bebas digunakan untuk menapis karier S.aureus nasal dan pasien dengan fibrosis kistik (Jawetz, 2010).

4. Uji katalase

Uji ini digunakan untuk mendeteksi adanya enzim sitokrom oksidase. Setetes larutan hidrogen peroksida 3% diteteskan pada kaca objek, dan sejumlah kecil pertumbuhan bakteri diletakkan pada larutan. Pembentukan gelembung (pelepasan oksigen) menunjukkan hasil tes positif (Jawetz, 2010).

5. Uji koagulase

Plasma kelinci (atau manusia) bersitrat yang diencerkan 1:5 dicampur dengan volume yang sama kultur kaldu atau pertumbuhan dari koloni pada agar dan diinkubasi pada 37°C. Tabung plasma yang dicampur dengan kaldu steril juga diinkubasi sebagai kontrol. Jika bekuan terbentuk dalam 1-4 jam, hasil tes positif (Jawetz, 2010).

Gambar 2.6Uji koagulase, S. aureus mampu menggumpalkan plasma darah klinci (bawah), kontrol negatif (atas) (sumber: Purnomo, 2006).

Stafilokokus koagulase-positif dianggap patogenik untuk manusia, tetapi stafilokokus koagulase positif pada anjing (Staphylococcus intermedius) dan lumba-lumba (staphylococcus delphini) jarang menimbulkan penyakit pada


(35)

manusia. Infeksi alat protesis dapat disebabkan oleh organisme grup S.epidermidis koagulase negatif (Jawetz, 2010).

6. Uji serologi dan penetuan tipe

Uji serologi untuk diagnosis infeksi S.aureus hanya punya sedikit nilai praktis. Pola kerentanan antibiotik membantu dalam melacak infeksi S.aureus dan dalam penentuan jika banyak isolat S.epidermidis dari kultur darah mencerminkan bakteremia karena galur yang sama, dibenihkan oleh suatu fokus infeksi. Teknik penentuan tipe molekular telah digunakan untuk mendokumentasi penyebaran klon S.aureus yang menimbulkan penyakit epidemis (Jawetz, 2010).


(36)

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2 Defenisi Operasional

1. Sashimi adalah makanan khas jepang yang terbuat dari bahan dasar berbagai ikan, contohnya ikan salmon.

2. Identifikasi S. aureus

S. aureus adalah bakteri gram positif yang berbentuk bulat dan koloninya berbentuk seperti anggur, berwarna abu-abu dengan ukuran 1mm.

Identifikasi S. aureus adalah dengan cara:

• Pewarnaan Gram:Ini adalah teknik pewarnaan yang digunakan untuk mengetahui bentuk bakteri di bawah mikroskop.

• Uji kultur: Merupakan metode yang dilakukan untuk mengetahui adanya kontaminasi S. aureus pada sashimi dengan mengembangbiakkan bakteri yang kemungkinan ada pada sashimi di laboratorium Mikrobiologi FK USU.

• Uji biokimia: Merupakan salah satu uji yang dilakukan untuk mengidentifikasi S. aureus. Uji yang dilakukan berupa uji katalase dan uji koagulase

Hasil ukur: Karakteristik S. aureus Salmon pada Sajian

Sashimi

Identifikasi Staphylococcus aureus


(37)

Tabel 3.1 Hasil uji Biokimia

Uji Katalase + Bila terbentuk gelembung udara - Bila tidak terbentuk gelembung udara Uji Koagulase + Bila terbentuk gumpalan

- Bila tidak terbentuk gumpalan


(38)

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis penelitian

Jenis penelitian ini merupakan uji laboratorium yang dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui ada atau tidaknya kontaminasi S. aureus pada sashimi di seluruh restoran jepang Kota Medan.

4.2 Waktu dan tempat penelitian 4.2.1 Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus-November 2015. 4.2.2 Tempat

Pengumpulan data dilakukan di seluruh restoran jepang yang menyediakan masakan sashimi. Pemilihan tempat ini disebabkan tingginya tingkat konsumsi Sashimi pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan belum adanya penelitian tentang deteksi S. aureus pada sashimi di restoran jepang Kota Medan.

4.2.3. Tempat Uji Laboratorium

Di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara mengingat bahwa laboratorium ini merupakan laboratorium terdekat sehingga mengurangi durasi waktu yang diperlukan untuk pengiriman sampel. 4.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah sashimi yang disajikan diseluruh restoran jepang kota medan. Pengambilan sample dalam penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling karena populasi yang diteliti bersifat homogen. Rumus yang digunakan dalam penentuan jumlah sampel adalah sebagai berikut:

Namun, jumlah populasi yang kurang dari 100 menyebabkan teknik pengambilan sampel ini tidak dapat digunakan. Dengan demikian, teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah teknik total sampling.


(39)

4.4 Metode pengumpulan data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi secara langsung dengan mengambil sampel sashimi dan melakukan uji laboratorium sehingga diperoleh data jumlah sashimi yang terkontaminasi S. aureus.

4.4.1 Teknik Pengambilan Sampel

a. Persiapkan berbagai alat, seperti beaker glass sebagai tempat sampel, yakni sashimi.

b. Persiapkan catatan pada formulir pemeriksaan tentang lokasi tempat pengambilan sampel dan tanggal pengambilan.

c. Makanan dibeli sebanyak satu porsi tanpa memberikan perlakuan khusus pada sampel guna menghindari pemberian sampel yang berbeda dari yang biasa dijajakan.

d. Sampel dimasukkan ke dalam beaker glass yang sudah disterilkan dan diberi kode penanda.

e. Sampel dikirim segera ke Laboratorium Mikrobiologi dengan secepatnya, maksimal 24 jam.

4.4.2 Alat dan Bahan 1. Alat

• Timbangan

• Blender

• Labu Erlenmeyer

• Inkubator suhu 37°C

• Tabung reaksi

• Ose

• Lampu spritus / Bunsen

• Mikroskop

• Rak tabunng reaksi


(40)

• Object glass

• Spidol 2. Bahan

• Media Manitol Salt Agar

• H202

• Serum

• Media Blood agar

• Imvic

• Aquadest

• Selenith broth

• Larutan gentian violet

• Aceton alkohol

• Fuchsin air

• Minyak imersi

• Spritus

4.4.3 Cara Kerja 1. Isolasi Bakteri

A. Timbang sashimi sebanyak 25 gram, dihancurkan atau dicairkan. B. Tambahkan dengan menggunakan aquadest 90 ml.

C. 10 ml dari larutan tadi dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer yang sudah dibubuhi selenith broth sebagai media pengayaanya.

D. Ambil 5 cc ose cairan tadi dan tanam secara zigzag pada media Manitol Salt Agar dan Blood agar.

E. Kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37°C. F. Amati koloni yang tumbuh.

G. Ambil koloni dengan menggunakan ose steril kemudian sapukan pada object glass, kemudian difiksasi dengan lampu bunsen.

H. Lakukan pewarnaan Gram.

I. Lihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x menggunakan minyak imersi untuk identifikasi bakteri.


(41)

2. Uji Biokimia Tes Katalase

1. Teteskan satu tetes hidrogen peroksida (H2O2) di atas kaca slide yang bersih.

2. Sterilkan ose/sengkelit.

3. Ambil koloni bakteri yang akan diuji.

4. Campurkan koloni yang diambil ke dalam hidrogen peroksida. 5. Interpretasi :

• Bila terbentuk gelembung udara tes katalase positif.

• Bila tidak terbentuk gelembung udara tes katalase negatif. Tes Koagulase

Terdapat dua cara untuk melakukan tes koagulase yaitu Slide Tes 1. Teteskan satu tetes aquadest diatas kaca slide yang bersih

2. Emulsikan koloni bakteri Staphylococcus sp. pada tetesan aquadest itu. 3. Tambahkan satu sengkelit plasma manusia.

4. Campuran tersebut diaduk menggunakan batang pengaduk. 5. Interpretasi Perhatikan adanya gumpalan.

• Bila terbentuk gumpalan slide tes (+) : Staphylococcus aureus.

• Bila gumpalan tidak terbentuk slide tes (-) 4.5 Metode Analisis Data

Data yang terkumpul dari uji laboratorium diolah dengan secara manual dan diolah dengan metode statistik deskriptif.


(42)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di seluruh restoran jepang yang ada di Kota Medan. Di Kota Medan terdapat sepuluh restoran Jepang yang menyajikan hidangan sashimi berbahan dasar ikan salmon. Dari kesepuluh restoran tersebut seluruhnya bersedia dilakukan pemeriksaaan terhadap hidangan sashimi yang disajikan restoran.

5.1.2. Karakteristik Sampel Penelitian

Sashimi yang diambil adalah sashimi yang dihidangkan di seluruh restoran jepang di Kota Medan. Waktu pengambilan sampel antara pukul 10.00 WIB – 12.00 WIB, kemudian sashimi tersebut langsung dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran USU untuk diidentifikasi bakteri Staphylococcus aureus. Ada beberapa informasi mengenai sample penelitian yang tidak dicantumkan dalam penelitian ini untuk menjaga kerahasiaan data yang diperoleh dari penelitian ini yaitu nama dan alamat restoran.

5.1.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Dari pemeriksaan tersebut, didapatkan data bahwa dari 10 sampel sashimi yang diperiksa, 5 sampel (50%) tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, hanya 5 sampel (50%) yang ditemukan adanya pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1 di bawah ini.


(43)

Tabel 5.1 Hasil analisis sashimi yang di jual di restoran Jepang Kota Medan tahun 2015

No Kode

Sampel

Mikroskopis/ pewarnaan

gram

Identifikasi Hasil identifikasi pada media MSA Tes

Katalase

Tes Koagulase

1. A - - - -

2. B Coccus gram

(+)

+ + Staphylococcus

aureus

3. C - - - -

4. D - - - -

5. E Coccus gram

(+)

+ + Staphylococcus

aureus

6. F - - - -

7. G Coccus gram

(+)

+ + Staphylococcus

aureus

8. H - - - -

9. I Coccus gram

(+)

+ + Staphylococcus

aureus

10. J Coccus gram

(+)

+ + Staphylococcus


(44)

5.2. Pembahasan

Dari pemeriksaan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 10 sashimi yang diperiksa, 5 diantaranya tidak ditemukan adanya Staphylococcus aureus, namun pada sampel tersebut ditemukan adanya pertumbuhan bakteri lain, yaitu Klebsiella, Eschericia coli, Bacilus subtilis. Sedangkan 5 sampel lagi yang ditemukan adanya Staphylococcus aureus juga ditemukan adanya bakteri Klebsiella, Eschericia coli, Bacilus Subtilis.

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit bawaan pangan, pada dasarnya bakteri ini merupakan flora normal pada permukaan kulit terutama disekitar hidung dan mulut (Pratami, 2013). Bakteri Staphylococcus aureustumbuh dengan mudah pada sebagian besar media bakteriologis dengan kondisi aerob atau mikroaerofilik, bakteri ini tumbuh paling cepat pada suhu 37°C (Jawetz, 2014). Staphylococcus aureus dapat mengkontaminasi makanan atau bahan olahan pangan yang menimbulkan keluhan seperti pusing, muntah-muntah, kram usus, diare berdarah dan berlendir pada beberapa kasus, sakit kepala, kram otot, berkeringat, menggigil, detak jantung lemah, pembengkakan saluran pernafasan. Keluhan tersebut timbul setelah 1-7 jam, namun bisa juga terjadi 2-4 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi.

Keracunan oleh Staphylococcus aureus diakibatkan oleh enterotoksin yang tahan panas yang dihasilkan oleh bakteri tersebut (Kusuma, 2009). Selain itu enterotoksin Staphylococcus aureus dapat menimbulkan Sindroma syok toksik (SST) yang timbul secara tiba-tiba dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi dalam lima hari permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, atau pada anak-anak dan pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. Staphylococcus aureus dapat diisolasi dari vagina, tampon, luka atau


(45)

infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan dalam aliran darah (Jawetz et al.,2014).

Keberadaan Staphylococcus aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan (Hidayati, 2012). Bahan makanan yang biasa terkontaminasi oleh Staphylococcus aureus adalah bahan makanan yang disiapkan menggunakan tangan, seperti penyiapan sayuran mentah untuk salad (Agnesia, 2008). Sashimi merupakan bahan makanan yang diolah menggunakan tangan dan tanpa dimasak, sehingga berpotensi untuk terkontaminasi oleh Staphylococcus aureus. Pada penelitian ini terbukti ditemukan 5 dari 10 sajian sashimi yang ada di restoran jepang di kota medan terkontaminasi Staphylococcus aureus.

Ditemukannya bakteri Staphylococcus aureus ini bisa diakibatkan oleh proses penyajian sashimi yang tidak steril yaitu tangan penyaji sashimi ataupun peralatan yang digunakan untuk menyajikan sashimi tersebut terkontaminasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Karimela dkk pada tahun 2013 di Manado yang menyatakan bahwa cara pengolahan yang kurang saniter dan higienis serta penyimpanan dalam keadaan tidak dilindungi atau tidak dikemas dengan baik pada kondisi tropik mengakibatkan produk ikan olahan tradisional sangat rentan terhadap kerusakan mikrobiologis yaitu berupa infeksi bakteri. Asumsi lain ditemukannya Staphylococcus aureus pada identifikasi bakteri ini adalah adanya kontaminasi pada peralatan yang digunakan untuk proses identifikasi bakteri tersebut ataupun kontaminasi pada media transport yang digunakan untuk membawa sampel ke laboratorium pemeriksaan.

Selain Staphylococcus aureus, bakteri lain penyebab penyakit bawaaan pangan yang ditemukan pada penelitian ini adalah Salmonela, Bacillus cereus, Klebsiela, Eschericia coli. Ditemukannya bakteri lain erat kaitannya dengan lingkungan yang kotor memudahkan perkembangan mikroorganisme dalam produk ikan (Salamena, 2014).


(46)

Pada kelompok yang tidak ditemukannnya bakteri Staphylococcus aureus hal ini diduga karena proses pembuatan sashimi tersebut telah higienis ataupun peralatan yang digunakan untuk proses identifikasi bakteri dilaboratorium pemeriksaan sudah steril.


(47)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian, maka kesimpulan yang di peroleh adalah ditemukan bakteri Staphylococcus aureus pada salmon mentah dalam sajian sashimi direstoran Jepang Kota Medan.

6.2. Saran

1. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab adanya kontaminasi bakteri yang ditemukan pada sashimi.

2. Bagi pihak restoran haruslah mengutamakan kebersihan dari makanan yang dijualnya melalui perilaku bersih, menjaga kebersihan peralatan yang digunakan, proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan makanan dan penyajian, serta lingkungan sekitar restoran.

3. Bagi BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) Kota Medan harus lebih memperhatikan dan mengadakan pengawasan terhadap produk makanan dan minuman yang dipasarkan di Kota Medan sehingga higienitasnya terjaga. BPOM juga perlu mengadakan penyuluhan tentang pentingnya kebersihan dan cara -cara menjaga kebersihan kepada pemilik restoran.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Arlita, Y., Rares, F. E. S. & Soeliongan, S., n.d. identifikasi bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp. pada makanan jajanan bakso tusuk di kota manado. Badan POM RI, 2008. Pengujian Mikrobiologi Pangan. Info POM, 9(2), pp. 1-11. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2015. Peraturan Kepala

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Strategi Badan Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2015-2019. s.l., s.n.

BPOM RI, 2008. Keracunan Pangan Akibat Bakteri Patogen.Sentra Informasi Keracunan Nasional.

Brewer, S. M., 1991. Food Storage, Food Spoilage, and Foodborne Illness, Urbana: Illinois Cooperative Extension Service.

Conlan, J., 2013. Staphylococcus aureus. In: J. Conlan, ed. Agents of Foodborne Illness. New Zealand: Food Standards Australia New Zealand, pp. 95-99. Exler, J. & Pehrsson, P. R., n.d. Nutrient content and variability in newly obtained

salmon data for USDA Nutrient Database for Standard Reference. [Online]

Available at:

http://www.ars.usda.gov/SP2UserFiles/Place/80400525/Articles/EB07_Salm on.pdf[Accessed 02 June 2015].

Food Standards Agency, 2011. Foodborne Disease Strategy. pp. 2-24.

Hallerman, E., n.d. Atlantic salmon: Natural history, aquaculture, genetic improvement -and - Ecological risk assessment for transgenic fish, Blacksburg: Virginia Polytechnic Institute and State University.

Hanson, L. A. et al., 2012. Estimating global mortality from potentially Foodborne diseases: An analysis using vital registration data. Population Health Metrics, 10(5), pp. 1-6.

Ifenkwe, 2012. Food safety regulations. Agricultural Science Research Jurnals. 7(2): 384-389.

Jawetz, Melnick, & Adelberg, 2014. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC , 194-200.


(49)

Karimela, E. J., Ijong, F. G. & Agustin, A. T., 2013. Staphylococcus sp. pada ikan layang (Decapterus russelii) asap Pinekuhe produk khas Sangihe. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan, 1(2), pp. 1-5.

Kisko, G., 2011. Foodborne Pathogens, Budapest: Corvinus University of Budapest.

Kusuma, S. A. F., 2009. Staphylococcus aureus. Jatinangor, Universitas Padjadjaran.

MB, Arisman.,2014.Buku Ajar Ilmu Gizi Keracunan Makanan. Jakarta. Penerbit buku Kedokteran EGC, 90-92.

Moyle, P. B., Israel, J. A. & Purdy, S. E., 2008. Salmon, Steelhead, and Trout in California: Status of Emblematic Fauna. A Report Commisioned by California Trout, pp. 101-208.

Muscolino, 2014. Hygienic-sanitary evaluation of sushi and sashimi soldin italy.Italian Journal of Food Safety. 1701(3): 134-136.

National Environment Agency, 2012. Guidelines on the Preparation and Sale of

Sushi. [Online]

Available at: http://www.nea.gov.sg/docs/default-source/public health/guidelines_on_preparation_and_sale_of_sushi_%28jul_2012%29_v3.p df?sfvrsn=2[Accessed 2 June 2015].

NSW Food Authority, 2008. Report on food handling practices and microbiological quality of sushi in Australia. [Online]

Available at:

http://www.foodauthority.nsw.gov.au/_Documents/science/Microbiological-quality-of-sushi-in-Australia.pdf [Accessed 02 June 2015].

Purnomo, A., Khusnan, H., Salasia, S. I. O. & S., 2006. Isolasi dan Karakterisasi Staphylococcus aureus Asal Susu. Media Kedokteran Hewan, 22(3), pp. 142-146.

Rhode Island, Florida & California and the Community Seafood Initiative, 2010. Seafood Health Facts. Florida: Rhode Island, Florida & California and the


(50)

http://seafoodhealthfacts.org/pdf/seafood-choices-salmon.pdf. [Accesed 13 Mei 2015].

Salamena, R. P., 2015. Deteksi dan resistensi staphylococcus aureus patogen pada daging ayam. Makassar, Universitas Hasanuddin.

Schneider, K. R., Parish, M. E., Goodrich, R. M. & Cookingham, T., n.d. Preventing Foodborne Illness: Bacillus cereus and Bacillus anthracis. Florida, University of Florida.

Standar Nasional Indonesia, 2011. Cara uji mikrobiologi - Bagian 9: Penentuan Staphylococcus aureus pada produk perikanan. Badan Standardisasi Nasional, 2332(9), pp. 1-8.

Tajkarimi, M., 2007. Bacillus cereus. PHR 250, 25 4, pp. 1-6.

Thomas, M. K. et al., 2013. Estimates of the Burden of Foodborne Illness in Canada for 30 Specified Pathogens and Unspecified Agents, Circa 2006. FOODBORNE PATHOGENS AND DISEASE, 10(7), pp. 639-646.

WHO, 2006. Penyakit Bawaan Makanan. Jakarta, penerbit buku kedokteran EGC. World Health Organization, 2008. Guidelines for investigation and Control.


(51)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Samuel Reynaldo Hamonangan Pasaribu Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 25 Mei 1994 Warga Negara : Indonesia

Status : Belum Menikah

Agama : Kristen Protestan

Alamat :JL. Pasar 2, Komp. Graha Tj. Sari Blok H2/3, Setiabudi, Medan

Email : samuelreypa1000@yahoo.com

Riwayat Pendidikan :

1. TKSt. Maria Tarutung (1998-2000) 2. SD St. Maria Tarutung (2000-2006) 3. SMP St. Thomas I Medan (2006-2009) 4. SMA St. Thomas I Medan (2009-2012)

5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara (2012-Sekarang) Riwayat Pelatihan :

1. Peserta PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) FK USU 2012 2. Peserta MMB (Manajemen Mahasiswa Baru) FK USU 2012

3. Peserta Pelatihan Manajemen Luka dan Terapi Cairan TBM FK USU 2012 4. Peserta Pelatihan Balut Bidai TBM FK USU 2012

5. Peserta Pelatihan Basic Life Support TBM FK USU 2012 6. Peserta Pelatihan Advance Life Support TBM FK USU 2012


(52)

Riwayat Organisasi :

1. Anggota Divisi Pendidikan dan Penelitian (Diklat) TBM FK USU 2012-2013


(53)

LAMPIRAN 2

Gambar 1. Hasil tes katalase positif yang menandakan terdapat gelembung udara

Gambar 2. Hasil tes koagulase positif yang menandakan terdapat gumpalan


(54)

(55)

(1)

http://seafoodhealthfacts.org/pdf/seafood-choices-salmon.pdf. [Accesed 13 Mei 2015].

Salamena, R. P., 2015. Deteksi dan resistensi staphylococcus aureus patogen pada daging ayam. Makassar, Universitas Hasanuddin.

Schneider, K. R., Parish, M. E., Goodrich, R. M. & Cookingham, T., n.d. Preventing Foodborne Illness: Bacillus cereus and Bacillus anthracis. Florida, University of Florida.

Standar Nasional Indonesia, 2011. Cara uji mikrobiologi - Bagian 9: Penentuan Staphylococcus aureus pada produk perikanan. Badan Standardisasi Nasional, 2332(9), pp. 1-8.

Tajkarimi, M., 2007. Bacillus cereus. PHR 250, 25 4, pp. 1-6.

Thomas, M. K. et al., 2013. Estimates of the Burden of Foodborne Illness in Canada for 30 Specified Pathogens and Unspecified Agents, Circa 2006. FOODBORNE PATHOGENS AND DISEASE, 10(7), pp. 639-646.

WHO, 2006. Penyakit Bawaan Makanan. Jakarta, penerbit buku kedokteran EGC. World Health Organization, 2008. Guidelines for investigation and Control.


(2)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Samuel Reynaldo Hamonangan Pasaribu Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 25 Mei 1994 Warga Negara : Indonesia

Status : Belum Menikah

Agama : Kristen Protestan

Alamat :JL. Pasar 2, Komp. Graha Tj. Sari Blok H2/3, Setiabudi, Medan

Email : samuelreypa1000@yahoo.com

Riwayat Pendidikan :

1. TKSt. Maria Tarutung (1998-2000) 2. SD St. Maria Tarutung (2000-2006) 3. SMP St. Thomas I Medan (2006-2009) 4. SMA St. Thomas I Medan (2009-2012)

5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara (2012-Sekarang) Riwayat Pelatihan :

1. Peserta PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru) FK USU 2012 2. Peserta MMB (Manajemen Mahasiswa Baru) FK USU 2012

3. Peserta Pelatihan Manajemen Luka dan Terapi Cairan TBM FK USU 2012 4. Peserta Pelatihan Balut Bidai TBM FK USU 2012

5. Peserta Pelatihan Basic Life Support TBM FK USU 2012 6. Peserta Pelatihan Advance Life Support TBM FK USU 2012


(3)

Riwayat Organisasi :

1. Anggota Divisi Pendidikan dan Penelitian (Diklat) TBM FK USU 2012-2013


(4)

LAMPIRAN 2

Gambar 1. Hasil tes katalase positif yang menandakan terdapat gelembung udara

Gambar 2. Hasil tes koagulase positif yang menandakan terdapat gumpalan


(5)

(6)