Menjaga Prinsip Checks And Balances
b. Menjaga Prinsip Checks And Balances
undang juga merupakan bentuk pengontrolan yang dilakukan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat
Mahkamah Konstitusi utnuk memastikan arah perkembangan (binding) dapat membatalkan sebuah produk undang-undang yang
politik tetap berada dalam koridor konstitusi. dibahas dengan melibatkan dua kekuasaan negara, yakni DPR,
c. Mendorong Terjadinya Proses Politik
selaku pemegang kekuasaan legislatif dan Pemerintah, di bidang
eksekutif. Meskipun keputusan politik tersebut dihasilkan melalui Seperti halnya dengan akibat hukum yang berujung pada suatu perdebatan yang alot dan membutuhkan jangka waktu yang
berakhirnya sebuah sengketa hukum – sebagaimana yang telah panjang, serta menghabiskan anggaran negara yang cukup besar.
dibahas sebelumnya – akibat hukum yang mendorong terjadinya Namun dalam jangka waktu yang terbilang cukup singkat, 9
proses politik ini, tidak mencakup seluruh kewenangan yang (sembilan) orang Hakim Konstitusi dapat membatalkan keputusan
dimiliki Mahkamah Konstitusi, hanya mencakup 3 (tiga) politik dalam dalam bentuk sebuah undang-undang tersebut. Hal
kewenangan yang menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi saja inilah yang kemudian menurut penulis sebagai salah satu bentuk
yang dapat mengimplikasikannya, yakni menyangkut perkara:
1. Pengujian Undang-Undang;
2. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum; dan pemilihan umum. Hal tersebut disebabkan oleh hasil putusan
3. Putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran Mahkamah Konstitusi yang berpotensi merubah konstalasi politik oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
di suatu daerah terkait perselisihan hasil pemilihan umum yang diperkarakan dan mengikat secara hukum (binding).
Pertama , Akibat hukum yang ditimbulkan putusan Mahkamah Sedangkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Konstitusi yang telah memutuskan perkara pengujian undang- dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau undang yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sejumlah Wakil Presiden berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, putusan Mahkamah Konstitusi menganai pengujian undang-undang penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, secara tidak langsung telah mendorong terjadinya proses politik. dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Seperti
Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, juga 05/PUU‑V/2007, tertanggal 23 Juli 2007 terhadap permohonan
dimaknai dapat mendorong terjadinya proses politik, baik setelah pengujian Undang‑Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Konstitusi memutuskan Presiden dan/atau Wakil Pemerintahan Daerah terhadap Undang‑Undang Dasar Republik
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, maupun disaat Indonesia Tahun 1945. 53 Mahkamah Konstitusi memutuskan Presiden dan/atau Wakil
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi membuka Presiden tidak bersalah, tetap melahirkan konsekuensi politis. kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat
Oleh karena itu, salah satu akibat hukum yang dapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 UU No. 32 Tahun 2004
ditimbulkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final tentang Pemerintahan Daerah melalui mekanisme yang demokratis
dan mengikat (binding), yaitu dapat meniadakan ataupun dan transparan. Hal ini salah satu bentuk akibat hukum putusan
menciptakan suatu proses politik, demi memastikan praktik politik Mahkamah Konstitusi yang berperan dalam mendorong terjadinya
yang berlaku tetap berjalan sesuai koridor konstitusi. proses politik untuk merubah undang-undang tersebut.
Selanjutnya, proses politik juga akan terjadi sebagai akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil
Malik, Op.cit., hlm. 91.
IV/2006 terkait uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 22 Adapun akibat hukum yang ditimbulkan oleh sifat final dan
Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
mengikat (binding) putusan Mahkamah Konstitusi dalam makna Pada amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan negatif adalah sebagai berikut: bahwa sejumlah Pasal atau bagian Pasal dalam UU No. 22 Tahun
d. Menutup Akses Upaya Hukum
2004 tentang Komisi Yudisial, serta Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Meski telah diketahui bahwa putusan Mahkamah Konstitusi
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bertentangan dengan yang bersifat final dan mengikat (binding), bermakna tidak ada lagi
UUD 1945. Dengan demikian pasal-pasal tersebut di atas, tidak ruang yang diberikan untuk menempuh upaya hukum terhadap
lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. 54 putusan Mahkamah Konstitusi. Kendati demikian, selama ini
Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004: dirasakan pula sejumlah permasalahan berkenaan dengan putusan- Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi yang seringkali
serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-
menjadi sorotan, khususnya
konstitusionalitas undang-undang (judicial review). Namun mengingat bahwa segala ketentuan dari UU No. 22 Tidak jarang putusan Mahkamah Konstitusi berbuah sangat
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan UU No. 4 Tahun 2004 kontroversial, yang kemudian menimbulkan pro-kontra dalam
tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya menyangkut fungsi masyarakat. Hal tersebut, justru akan memberikan dampak
pengawasan oleh Komisi Yudisial, terbukti menimbulkan psikologis dan akan terus menciderai rasa keadilan para yustisiabel
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Sehingga dengan yang kecewa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat
demikian, putusan Mahkamah Konstitusi ini secara langsung final dan mengikat secara hukum.
memangkas kewenangan yang sebelumnya dimiliki Komisi Sehubungan dengan hal ini, penulis mencoba menarik contoh kasus yang kiranya dapat representatif terhadap permasalahan ini.
Sebut saja, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU- 54 Dikutip dari artikel, Adithiya Diar, Pergeseran Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Melakukan Pengawasan Terhadap Perilaku Hakim Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-
IV/2006,
http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/06/pergeseran- kewenangan-komisi-yudisial.html . Diakses pada hari Rabu, 14 September 2011. Pukul
melalui
situs
14:30 wita.
Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap hakim yang telah membatalkan ketentuan yang menjadi “roh” keberadaan berada dalam lembaga peradilan yang ada di Indonesia.
Komisi Yudisial.
“Mengapa tidak keseluruhan undang-undangnya saja yang Mahkamah Konstitusi menilai, pengawasan yang dilakukan
dibatalkan, toh Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketentuan oleh Komisi Yudisial dalam menilai putusan Hakim merupakan
yang menjadi roh dari Komisi Yudisial itu sendiri ,” keluh Denny pencideraan terhadap independensi peradilan, sebagaimana yang
Indrayana, dikutip dari website hukumonline.com. 56 diamanatkan konstitusi.
Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi memang tak Namun di pihak lain beranggapan bahwa independensi
jarang justru menimbulkan kontroversi di tengah masyrakat. peradilan tidak tepat dijadikan sebagai alasan untuk menghindari
Sehubungan hal ini, menurut Malik, sifat dari keadilan dapat pengawasan terhadap seorang Hakim. Mengutip teori Shimon
dilihat dalam 2 (dua) arti pokok, yaitu: Pertama, dalam arti formal Shetreet yang menyatakan bahwa independensi hakim yang tidak
yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum. Kedua, dapat disentuh adalah independensi dalam memutus perkara
dalam arti materil, menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai (substantive independence). Sehinga seorang hakim sebagai sebuah
dengan cita‑cita keadilan masyarakat. 57 lembaga dan pemegang kekuasaan kehakiman semestinya
Jadi, keadilan dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak memahami filosofi pengawasan bahwa tidak ada satupun
siapa yang menentukan isi keadilan itu, dan bagaimana kultur kekuasaan tanpa pengawasan. 55 hukum yang terbangun di dalam masyarakat itu sendiri.
Senada dengan pendapat di atas, Denny Indrayana, staf khusus Namun secara umum, ada unsur-unsur formal dari suatu nilai kepresidenan di bidang hukum, justru mengeluarkan pernyataan
keadilan. Sebagaimana dengan pembagian aliran keadilan menurut yang lebih sinis atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Hans Kelsen dan Jhon Rawls yang pada dasarnya terdiri atas: Denny menganggap, Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 terkait uji
materil terhadap UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
Saldi Isra, Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 (Isi, Implikasi, dan Masa Depan Komisi Yudisial), Dikutip dari situs http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_
content&view=article&id=98:putusan-mahkamah-konstitusi-no-005puu-iv2006-isi-implikasi-dan- Dikutip website HukumOnline.com. diakses pada hari Rabu, 14 September 2011. Alamat situs: masa-depan-komisi-yudisial&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5 , Diakses pada hari Rabu, 14
57 September 2011. Pukul 14:00 wita. http://202.153.129.35/berita/baca/hol15404/putusan-mk-kontroversial-tapi-ada-positifnya Malik. Op.cit. hlm. 94.
i. Keadilan merupakan nilai yang mengarahkan, setiap pihak segera merevisi ketentuan dalam undang-undang yang telah untuk memberikan perlindungan atas hak‑hak yang dijamin
dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi. oleh hukum (unsur hak)
Berkaca pada realitas yang mengiringi penerapan beberapa
ii. perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat putusan Mahkamah Konstitusi, tak jarang justru berakhir tidak kepada setiap individu (unsur manfaat).
implementatif. Dalam memutus pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, misalnya. Seringkali putusan Mahkamah Konstitusi
Dengan adanya ukuran manfaat ini, nilai keadilan pada tidak segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah dan DPR dengan
akhirnya dapat juga dipandang dalam konteks yang empiris merevisi undang-undang yang telah dibatalkan. Bahkan lamban
(realitas). Misalnya pihak‑pihak yang mengajukan permohonan ke dan cenderung tidak mendapat merespon secara positif. Dalam hal
Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sebuah sengketa atau ini, penulis kembali mengangkat impilkasi dari Putusan Mahkamah untuk judicial review undang-undang terhadap UUD 1945, tatkala Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 terkait uji materil terhadap merasa nilai‑nilai keadilan terabaikan, maka secara hukum tertutup UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
segala kemungkinan bagi para pihak untuk menempuh upaya
Konstitusi memutuskan untuk hukum lain. Hal inilah yang merupakan akibat hukum dari putusan
Setelah
Mahkamah
membatalkan ketentuan yang menjadi dasar Komisi Yudisial Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat (binding) tersebut.
dalam melakukan fungsi pengawasan hakim, saat itu pula terjadi
e. Menimbulkan Kekosongan Hukum
kekosongan hukum (di tingkat undang-undang) mengenai Kekosongan hukum dapat terjadi apabila putusan Mahkamah
pelaksanaan fungsi pengawasan Komisi Yudisial, selama pihak Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) tidak
terkait tidak segera menindaklanjutinya dengan merevisi undang- dilaksanakan, sehingga putusan tersebut hanyalah putusan di atas
undang a quo.
kertas (law in book). Hal tersebut disebabkan putusan Mahkamah Maka dengan kejadian ini, secara tidak langsung, pengawasan Konstitusi yang dalam beberapa hal, seperti dalam perkara
Hakim akan kembali mengandalkan pengawasan internal yang pengujian undang-undang, sangat bergantung (interdependensi)
sebelumnya telah pernah diterapkan. Meskipun selama ini, pada pihak terkait, dalam hal ini, DPR dan pemerintah untuk sebelumnya telah pernah diterapkan. Meskipun selama ini, pada pihak terkait, dalam hal ini, DPR dan pemerintah untuk
tidak dapat diterapkan.
Hal tersebut disebabkan, tidak adanya regulasi yang mengatur Begitu juga dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
mengenai kekuatan eksekutorial atas putusan Mahkamah memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum. Masih segar
Konstitusi. Maka dari itu, perlu kiranya pemerintah maupun DPR diingatan kita betapa putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara
mengatur regulasi khusus mengenai pelaksanaan putusan perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada)
Mahkamah Konstitusi sebagai langkah preventif terjadinya Kotawaringin Barat yang mengundang konstroversi. Putusan
kekosongan hukum. Agar ke depannya, putusan Mahkamah Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010 tentang
Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) tidaknya Perselisihan Hasil Pemilukada Kotawaringin Barat, memutuskan
hanya sebatas putusan di atas kertas, namun juga dapat diterapkan untuk mendiskualifikasi salah satu Pasangan Calon dan
oleh pihak terkait (implementatif).
menetapkan salah satu Pasangan Calon lainnya sebagai pasangan yang terpilih. Alhasil, putusan Mahkamah Konstitusi ini pun mendapat penolakan dari masyarakat setempat dan juga ketidakberdayaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat dalam menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Berdasarkan kedua contoh kasus di atas, dapat dilihat bagaimana akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang berpotensi menimbulkan kekosongan hukum. Pada kenyataan lain juga menunjukkan bahwa, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding), justru dapat menurunkan kewibawaan hukum serta membuat masyarakat menjadi resah,
BAB IV
Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding)
PENUTUP
dalam makna negatif, yaitu: Tertutupnya akses upaya hukum dan terjadinya kekosongan hukum.