Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan

10 permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada Pengadilan Negeri untuk mendapat penetapan. Permohonan restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum. Kemudian penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan restitusi beserta keputusan dan pertimbangannya untuk mendapat putusan pengadilan.

2. Hak Restitusi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan

Masalah korban bukanlah masalah yang baru, hanya karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan, bahkan diabaikan. Apabila mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, mau tidak mau harus memperhitungkan pernanan korban dalam timbulnya suatu kejahatan. Peran yang dimaksud adalah sebagai sikap dan keadaan diri seseorang yang akan menjadi calon korban ataupun sikap dan keadaan yang dapat memicu seseorang untuk berbuat kejahatan. Permasalahan kemudian, muncul pertanyaan mengapa korban yang telah nyata-nyata menderita kerugian baik secara fisik, mental maupun sosial, justru harus pula dianggap sebagai pihak yang mempunyai peran dan dapat memicu terjadinya kejahatan, bahkan korban pun dituntut untuk memikul tanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. 13 Korban mempunyai peran yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan jika tidak ada korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dari penjahat dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si penjahat yang berakibat penderitaan korban. 14 Apabila ditinjau dari perspektif tanggungjawab korban itu sendiri maka Stephen Schafer mengemukakan tipologi korban itu menjadi tujuh bentuk, yaitu : 15 1. Unrealated victims , adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggungjawab sepenuhnya berada dipihak korban. 2. Provocative victims , merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggungjawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama. 13 Rena Yulia. Op.Cit..halaman 75 14 Ibid. 15 Ibid. halaman 53-54 Universitas Sumatera Utara 11 3. Participating victims , hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastic sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku. 4. Biologically weak victim , adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia manula merupakan potensian korban kejahatan. Ditinjau dari aspek pertanggungjawaban terletak pada masayarakat atau pemerintahan setempat karena tidak dapat member perlindungan kepada kroban yang tidak berdaya. 5. Socially weak victims , adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawaban secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat. 6. Self victimizing victim, adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri korban semu atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawaban sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan. 7. Political victims , adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik. Keterlibatan korban dalam hal terjadinya kejahatan, menurut Benjamin Mendelsohn dapat dibedakan menjadi 6 enam kategori berdasarkan derajat kesalahannya, yaitu : 16 1. Korban sama sekali tidak bersalah ; 2. Seseorang menjadi korban karena kelalaiannya sendiri ; 3. Korban sama salahnya dengan pelaku ; 4. Korban lebih bersalah dari pada pelaku ; 16 Adhi Wibowo. Perlindungan Hukum Korban Amuk Massa : Sebuah Tinjauan Viktimologi. Yogyakarta : Thafa Media, 2013. halaman 39. Universitas Sumatera Utara 12 5. Korban adalah satu-satunya yang bersalah ; 6. Korban pura-pura dan korban imajinasi. Melalui kategori diatas, akan dapat diketahui atau berpengaruh pada tingkat pertanggungjawaban pelaku tindak pidana, sehingga disamping menentukan derajat pelaku juga. Sekaligus dapat dipakai untuk menentukan bentuk perlindungan kepada korban, yaitu dalam pengertian besarnya jumlah restitusi ataupun kompensasi yang akan diberikan kepada korban. Dengan demikian, hukum pidana tidak lagi hanya berorientasi semata-mata pada pelaku tindak pidana, melainkan juga memperhatikan kepentingan korban. 17

3. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENERAPAN HAK RESTITUSI