Ketua Kelompok : Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama

Dibuat di : S U M E N E P Pada Tanggal : ....... Juli 2013 Pihak Kedua KETUA KELOMPOK Pihak Kesatu Ketua Koperasi Astagina SAMSUNI HIDAYAT Lampiran 6 Surat Kontrak Kerjasama Sewa Lahan SURAT PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH PT. GARAM Persero DIAREAL PEGARAMAN I SUMENEP A N T A R A PT. GARAM Persero DENGAN AGUS RIYANANDA N0M0R: 067UPEG.IVI2012 Pada hari ini Sabtu tanggal Dua bulan Juni tahun dua ribu dua belas 02- 06-2012, bertempat di Kantor Pegaraman I - Sumenep Jalan Raya Karanganyar - Pinggir Papas Sumenep - Madura, kami yang bertandatangan dibawah ini masing – masing : I. MOH. FARID ZAHID : Kepala Biro Umum dan SDM PT. GARAM P ers ero Berdas arkan Surat Kuasa Nomor : 16AGV2012, tanggal 14 Mei 2012, bertindak untuk dan atas nama PT. GARAM Persero berkedudukan di Jalan Raya Nomor 9 Kalianget - Madura, selanjutnya dalam perjanjian ini disebut PIHAK PERTAMA. II. AGUS RIYANANDA: Bertindak untuk dan atas nama diri sendiri, berkedudukan di Desa Pinggir papas, Kecamatan Kalianget, K a b u p a t e n S u m e n e p , s e l a n j u t n y a d a l a m perjanjian ini disebut PIHAK KEDUA  PIHAK PERTAMA sebagai Pemilik Lahan di areal Pegaraman I Sumenep dalam rangka pembinaan lingkungan dengan masyarakat sekitar dan sebagaimana permohonan PIHAK KEDUA untuk mendapatkan lahan garapan untuk tambak garam rakyat.  PIHAK KEDUA bersedia melakukan kontrak kerja sama secara sistem dengan PIHAK PERTAMA dan bersedia mentaati ketentuan dan persyaratan yang akan disepakati bersama.  Selanjutnya PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA sepakat untuk membuat perjanjian sewa-menyewa tanah PT. GARAM Persero di Pegaraman I Sumenep yang akan dipergunakan untuk produksi garam rakyat, dengan persyaratan dan ketentuan sebagai berikut : P A S A L : 1 MAKSUD DAN TUJUAN PIHAK PERTAMA menyewakan kepada. PIHAK KEDUA dan sebaliknya PIHAK KEDUA menerima penyewaan dari PIHAK PERTAMA, tanah PT. GARAM Persero di Pegaraman I - Sumenep yang akan dipergunakan untuk pengelolaan lahan garam rakyat. PASAL : 2 LOKASI DAN LUAS TANAH Lokasi lahan milik PIHAK PERTAMA yang disewakan kepada PIHAK KEDUA yang berada di Karanganyar dengan Luas + 0,5616 Ha sebagaimana gambar situasi terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Surat Perjanjian ini. PASAL 3 JANGKA WAKTU SEWA 1. Jangka waktu sewa menyewa lahan milik PIHAK PERTAMA sebagaimana dalam pasal 2 dua diatas, disepakati oleh kedua belah pihak selama 1 satu tahun mulai berlaku terhitung sejak tanggal 01 januari 2012 sampai dengan tanggal 31 desember 2012. 2. Apabila jangka waktu sewa akan berakhir PIHAK KEDUA harus mengajukan permohonan perpanjangan sewa selambat - lambatnya 15 lima belas hari sebelum berakhirnya surat perjanjian ini dan mendapat persetujuan dari PIHAK PERTAMA untuk dilakukan perpanjangan sewa pembaharuan sewa. 3. Apabila jangka waktu sewa sebagaimana dalam pasal 2 ayat 1 di atas, belum berakhir dan PIHAK PERTAMA sewaktu - waktu membutuhkan tanah dimaksud karena Kebijakan Pemerintah danatau PT. GARAM Persero untuk pengembangan Pegaraman, maka PIHAK PERTAMA akan segera memberitahukan kepada PIHAK KEDUA selambat - lambatnya 3 tiga bulan sebelumnya dan PIHAK KEDUA bersedia menyerahkan mengosongkan tanah tersebut tanpa syarat apapun kepada PIHAK PERTAMA. 4. Apabila PIHAK PERTAMA akan memutuskan perjanjian sebagaimana Pasal 4 ayat 3 diatas, maka PIHAK PERTAMA akan memberikan kompensasi biaya yang sudah dibayarkan dari sisa masa sewa yang belum dimanfaatkan. PASAL : 4 BESARNYA UANG SEWA 1. Kedua belah pihak sepakat bahwa besamya uang sewa tanah per tahun sebesar Rp 421 200,- dengan rincian sebagai berikut :  Sewa selama 1 satu tahun:Rp.750 000x 0,5616 Ha = Rp.421 200 2. Pelaksanaan pembayaran uang sewa lahan oleh PIHAK KEDUA telah dilaksanakan pembayarannya kepada PIHAK PERTAMA dilaksanakan dengan cara menyetor ke Kas Pegaraman I – Sumenep PT. GARAM Persero. 3. Besarnya uang sewa yang dibayar PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA,sebagian akan dipergunakan PIHAK PERTAMA untuk kegiatan pembinaan lingkungan masyarakat baik untuk sekitar pegaraman maupun dan untuk masyarakat Sumenep dengan pengaturan pendistribusian secara mutlak oleh PIHAK PERTAMA. PASAL : 5 HAK DAN KEWAJIBAN I PIHAK PERTAMA berkewajiban : 1. Menyerahkan tanah lahan yang disewakan. 2. Menjamin bahwa tanah lahan yang disewakan kepada PIHAK KEDUA tidak dalam sengketa, tidak dalam agunan dan tidak dalam ikatan dengan pihak lain. 3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan panggunaan tanah lahan yang disewakan kepada PIHAK KEDUA. 4. Memberikan peringatan secara tertulis maksimum 3 tiga kali kepada PIHAK KEDUA, apabila tanah lahan yang disewakan dimanfaatkan tidak sesuai dengan surat perjanjian ini. 5. Memutuskan secara sepihak surat perjanjian ini jika PIHAK KEDUA melakukan penyimpangan atas ketentuan yang tercantum dalam surat perjanjian ini. II PIHAK KEDUA berkewajiben : 1. PIHAK KEDUA wajib menjamin, memelihara tanah lahan yang menjadi obyek sewa dengan baik dan mengikuti segala ketentuan peraturan dari PIHAK PERTAMA. 2. PIHAK KEDUA menjamin salama berlangsungnya sewa menyewa, PIHAK PERTAMA tidak akan dilibatkan dalam segala tuntutan dan dakwaan dari pihak lain ataupun kerugian lainnya yang terjadi karena disebabkan kelalaian kesalahan PIHAK KEDUA yang mungkin timbul sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian ini. 3. PIHAK KEDUA tidak diperkenankan memindah tangankan atau menyewakan kepada PIHAK KETIGA lain sebagian atau seluruhnya atas lahan dimaksud. 4. Menyerahkan tanahlahan yang menjadi obyek perjanjian pada saat berakhirnya perjanjian sewa dan atau jika diperlukan untuk kepentingan pemerintah PT. GARAM Persero untuk pengembangan lahan pegaraman PASAL : 6 LARANGAN PIHAK KEDUA Selama surat perjanjian ini berlangsung, PIHAK KEDUA dilarang untuk : 1. Memindahkan batas - batas tanah atau merubah menggeser galengan batas yang telah ada, kecuali mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari PIHAK PERTAMA. 2. Melakukan hal yang menimbulkan bahaya atau kerugian bagi pihak lain. 3. Menggunakan tanah lahan tersebut untuk memproduksi berjualan barang - barang terlarang. 4. Menggadaikan, mengalihkan, mempertanggungkan baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain. 5. Merubah peruntukan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 di atas, kecuali setelah mendapat persetujuan tertulis dari PIHAK PERTAMA. PASAL : 7 SANKSI DENDA 1. Apabila PIHAK KEDUA terlambat menyerahkan lahan yang menjadi obyek sewa sebagaimana pasal 3 ayat 1 2 di atas, maka PIHAK KEDUA dikenakan denda sebesar Rp.10.000,- Sepuluh ribu Rupiah untuk setiap hari keterlambatan. 2. Apabila tanah yang disewakan sebagaimana yang dimasud dalam Pasal 1 di atas, oleh PIHAK KEDUA tidak dimanfaatkan sebagaimana yang diperjanjikan, maka tanah tersebut segera dikembalikan kepada PIHAK PERTAMA dan uang sewa yang di bayarkan tidak dapat ditarik kembali. PASAL : 8 PEMBATALAN SURAT PERJANJIAN 1. Secara sepihak PIHAK PERTAMA dapat membatalkan surat perjanjian dengan mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata apabila. a. PIHAK KEDUA menyimpang dari isi surat perjanjian ini dan tidak mengindahkan peringatan - peringatan yang telah diberikan secara tertulis oleh PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA maksimal 3 tiga kali berturut - turut. b. 15 Lima belas hari setelah penandatanganan surat perjanjian ini, PIHAK KEDUA tidak memulai melaksanakan pekerjaan tersebut sesuai dengan surat perjanjian ini. 2. Dengan batalnya surat perjanjian ini sebagaimana Pasal 8 ayat 1 di atas, maka tanah yang telah disewakan kembali kepada PIHAK PERTAMA. 3. Hal - hal mengenai pelaksanaan, pengosongan dan penyerahan tanah karena pembatalan Surat Perjanjian , PIHAK KEDUA tidak diperbolehkan menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun kepada PIHAK PERTAMA. PASAL : 9 A D D E N D U M 1. Apabila dalam perjanjian ini terdapat perubahan - perubahan atau penambahan - penambahan dalam pasal - pasal yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka perubahan tersebut akan diatur lebih lanjut dalam surat perjanjian tambahan Addendum yeng merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan surat perjanjian ini. 2. Surat perjanjian tambahan addendum ini berlaku sah dan mengikat sejak ditandatangani oleh kedua belah pihak. PASAL : 10 P E R S E L I S I H A N baik langsung maupun tidak langsung berkenaan dengan surat perjanjian ini, maka kedua belah pihak akan berusaha untuk menyelesaikan dengan menempuh jalan musyawarah untuk mufakat. 2. Apabila perselisihan, perbedaan pendapat, pertentangan, persengketaan tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah, maka untuk mendapatkan penyelesaian permasalahan tersebut diserahkan kepada Badan yang berwenang menurut prosedur hukum yang berlaku dan kedua belah pihak memilih domisili hukum di Pengadilan Negeri Sumenep. PASAL : 11 P E N U T U P 1. Surat perjanjian ini dibuat dalam rangkap 2 dua masing - masing dibubuhi materai Rp.6.000,- enam ribu rupiah mempunyai kekuatan hukum yang sama sedangkan salinannya dibuat sesuai kebutuhan. 2. Setelah membaca dan memahami serta mengerti, maka masing - masing pihak membubuhkan tandatangan sebagai tanda sanggup mentaati sepenuhnya isi surat perjanjian ini. DIBUAT DI : KALIANGET PADA TANGGAL : 02 JUNI 2012 PIHAK PERTAMA PT. GARAM Persero Kepala Biro Umum Sekper MOH. FARID ZAHID PIHAK KEDUA AGUS RIYANANDA RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 Juni 1980, Jawa Barat sebagai anak bungsu dari pasangan Bapak Machfud Djauhari dan Ibu Aji Puspitasari. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Agribisnis yang merupakan program Alih Jenjang, lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Agribisnis pada Program Pascasarjana IPB pada tahun 2011. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Unggulan Badan Perencanaan Kerjasama Luar Negeri BPKLN Kementerian Pendidikan Nasional. Penulis telah menikah dengan Risa Arisman, SE dan telah dikarunia satu orang putra bernama M. Attar Putrasyahrisa. Saat ini, Penulis bekerja sebagai tenaga kontrak di Direktorat Pengembangan Produk Nonkonsumsi Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2013 dan ditempatkan di Jakarta. Bogor, Agustus 2013 Penulis POLA KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT Studi Kasus Kabupaten Sumenep, Madura – Jawa Timur NIDA NURDIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pola Kemitraan Usaha Garam Rakyat Studi Kasus Kabupaten Sumenep, Madura – Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Nida Nurdiani NIM H451110461 RINGKASAN NIDA NURDIANI. Pola Kemitraan Usaha Garam Rakyat Studi Kasus Kabupaten Sumenep, Madura-Jawa Timur . Dibawah bimbingan SUHARNO sebagai ketua dan AMZUL RIFIN sebagai anggota. Garam merupakan salah satu komoditi strategis dan penting, karena digunakan sebagai bahan baku industri dan bahan pangan yang dibutuhkan oleh hampir semua masyarakat. Secara geografis, Indonesia memiliki potensi alam yang mendukung dalam pemenuhan kebutuhan garam nasional. Indonesia termasuk negara maritim dengan luas lautan sebesar 70 persen 5.8 juta km 2 dari total luas wilayahnya. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia sepanjang 95 181 km dan memiliki lahan potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan tambak garam seluas 34 000 hektar Balitbang KKP, 2012 yang saat ini baru sebesar 20 000 hektar yang dimanfaatkan. Masalah mendasar bagi sebagian besar petani garam di Kabupaten Sumenep adalah produksi dan kualitas garam yang masih rendah. Tentu saja hal ini mempengaruhi posisi petani dalam penetapan kualitas dan harga garam itu sendiri Suherman et al, 2011. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain adalah keterbatasan tehnologi yang digunakan, metode yang diterapkan, akses permodalan dan informasi pasar yang masih sangat minim. Posisi petani yang hanya sebagai produsen, menjadikan pedagang pengumpul sangat mendominasi dalam saluran pemasaran garam. Hubungan antara petani dan pedagang pengumpul tidak hanya sebatas dalam pemasaran saja, melainkan dalam permodalan juga. Untuk itu, petani sangat bergantung pada pedagang pengepul, ketergantungan ini mengakibatkan petani garam tidak memiliki posisi tawar yang baik. Ketidaksetaraan yang terjadi memberikan dampak satu pihak diuntungkan dan ada pihak lain yang dirugikan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tawar petani adalah dengan membangun kelembagaan kemitraan Vermulen dan Cotula, 2011. Penelitian ini bertujuan untuk 1 Menganalisis pola kerjasama yang telah dilakukan oleh petani garam dengan beberapa pihak terkait, 2 Merumuskan dan memberikan rekomendasi pola kemitraan yang sesuai guna meningkatkan posisi tawar dan kesejahteraan petani garam di Kabupaten Sumenep. Metode pengambilan contoh yang dilakukan secara sengaja purposive sampling. Analisis data yang digunakan, yaitu Analisis deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan bagaimana karakteristik dari para pelaku, menggambarkan mekanisme dari pola kerjasama yang ada, dan biaya-biaya yang dikeluarkan agar terciptanya pola kemitraan. Untuk statistik deskripsi akan menggambarkan jumlah rata-rata produksi garam dan data rata-rata harga jual garam dengan menggunakan tabulasi. Analisis pendapatan dilakukan untuk mengukur keberhasilan dalam usahatani. Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan total dengan pengeluaran biaya total.Untuk mengetahui apakah model Kemitraan yang dibangun layak atau tidak layak dilakukan analisis Benefit-Cost Ratio BC. Untuk mengukur tingkat efisiensi digunakan analisis biaya transaksi. Biaya transaksi adalah biaya yang ditimbulkan dalam melakukan transaksi ekonomi. Secara umum, menurut North Thomas dalam Anggraini 2005, komponen umum biaya transaksi yang akan diperhitungkan dalam usaha garam mencakup: 1 biaya untuk mencari informasi, seperti informasi mengenai harga, kualitas garam dan variasi dari garam berdasarkan kualitas; 2 biaya pembuatan kontrak, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk melegalkan kontak; 3 biaya pelaksanaan, biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan suatu kontraktransaksi. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa bentuk kerjasama yang telah dilakukan adalah 1 Kerjasama antara PT Garam Persero dengan petani garam dalam penyewaan lahan tambak garam, 2 Kerjasama antara penyewa lahan dengan petani penggarap, pola yang diterapkan sistem bagi hasil sebesar 4 : 6, 3 Kerjasama antara petani garam dengan pemilik lahan perorangan dengan sistem bagi hasil 4 : 6 dan 4 Kerjasama antara petani dengan pedagang pengumpul. Berdasarkan kriteria pemilihan, yaitu pendapatan usahatani, analisis BC ratio serta biaya transaksi menunjukkan bahwa pola kemitraan yang sesuai adalah kemitraan antara Petani dan Koperasi dengan model yang diajukan adalah Model Intermediary. Kata kunci : Usaha garam, Posisi tawar, Kemitraan SUMMARY NIDA NURDIANI. Contract Farming Pattern In Salt Farming Case Study Sumenep, Madura-East Java. Supervised by SUHARNO and AMZUL RIFIN. Salt is one of the strategically important commodity, because it is used as an industrial raw materials and foodstuffs needed by almost all people. Geographically, Indonesia has natural resources that support the needs of national salt. Indonesia is a maritime country with a vast ocean of 70 percent 5.8 million km2 of the total area. In addition, Indonesia is also a country with the second longest coastline in the world along 95 181 km and has the potential land that could be used as a salt pond area of 34 000 hectares Balitbang KKP, 2012, is currently only 20 000 hetares are being used. The fundamental problem for most salt farmers in Sumenep is salt production and the quality is still low. Of course this affects the position of farmers in determining the quality and price of the salt it self Suherman et al, 2011. This was caused by several factors there are limitations of technology used, methods applied, access to capital and market information is still very minimal. Position of farmers that only as a producer, it caused the midlle men dominate in the salt marketing. Relationship between farmers and middle men are not only in marketing, but also in the capital. Therefore, farmers rely on merchants collectors, this reliance made salt farmers do not have a good bargaining position. The impacts of inequality occurs no one benefit and the other one gets lose. One of way that can be done to increase the bargaining power of farmers is through building institutional contract farming Vermulen and Cotula, 2011. This study aims to 1 To analyze the pattern of cooperation has been carried out by salt farmers with some related sides, 2 Formulate and recommend an appropriate model of contract farming institutions in order to increase the bargaining position dan the welfare of salt farmers. Sampling methods are done intentionally purposive sampling. The analysis of the data used, is descriptive analysis that aims to describe how the characteristics of the doers, described the mechanism of the existing pattern of cooperation, and the costs incurred for the creation of contract farming pattern. For describe statistical describe of the average amount of salt production and data of average price of sales price of salt by using tabulation. Revenue analysis is done to measure the success of farm. Total farm income is the difference between the total revenue expenditure total. To know whether the models contract farming are built worth or not worth doing analysis Benefit-Cost Ratio BC. To measure efficiency levels used transaction cost analysis. Transaction costs are the costs incurred in conducting economic transactions. Generally, according to the North Thomas in Anggraini 2005, the general components of transaction costs that will be taken into account in the salt business includes: 1 the cost to get information, such as information about the price, salt quality and variance of salt that based on quality, 2 contracting costs, how much it cost to legalize the contract, 3 the cost of implementation, cost incurred to do a contracttransaction. The result showed that the forms of cooperation that has been done is 1 Cooperation between PT Garam Persero with the salt farmers in salt ponds land, 2 Cooperation between tenants with tenant farmers, the pattern is applied the system of 4 : 6, 3 Cooperation between salt farmers and private land owners by the sharing system 4 : 6, and 4 Cooperation between farmers and midlle men. Based on the selection criteria, is farm income, analysis of BC ratio and transaction costs or economic aspect show that the model is a suitable contract farming between Farmers and Cooperation proposed model is Model Intermediary. Key words: Salt farming, Bargaining position, Contract farming © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB POLA KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT Studi Kasus Kabupaten Sumenep, Madura – Jawa Timur NIDA NURDIANI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS Penguji Program Studi : Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM Judul : Pola Kemitraan Usaha Garam Rakyat Studi Kasus Kabupaten Sumenep, Madura-Jawa Timur Nama : Nida Nurdiani NIM : H451110461 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr. Ir. Suharno, M.Adev Dr. Amzul Rifin, SP. MA Ketua Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Agribisnis Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 26 Juli 2013 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan karuni-Nya, sehingga Tesis yang berjudul “Pola Kemitraan Usaha Garam Rakyat Studi Kasus Kabupaten Sumenep, Madura-Jawa Timur” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agibisnis, Sekolah Pascasarjana SPs, Institut Pertanian Bogor IPB dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak akan tersusun tanpa bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Suharno, M.Adev selaku ketua Komisi Pembimbing atas waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, perhatian dan pengertiannya dalam penyusunan tesis. 2. Dr. Amzul Rifin, SP, MA selaku anggota Komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan dalam penyusunan dan penyelesaian tesis. 3. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukkan dan saran dalam penyusunan tesis. 4. Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku penguji dari program studi Agribisnis 5. Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina MS beserta staf yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran akademik selama pendidikan penulis. 6. BU BPKLN yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan beasiswa selama pendidikan berlangsung. 7. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dan Kepala Dinas Perindustrian Kabupaten Sumenep beserta staf yang telah membantu penulis. 8. Kepala Biro Umum PT Garam Persero, M Farid Zahid beserta seluruh staf yang telah memberikan waktu dan informasinya kepada penulis. 9. Para petani garam dan tokoh masyarakat Kabupaten Sumenep yang telah menyediakan waktunya untuk bekerjasama dengan penulis dalam memberikan informasi. 10. Suami Risa Arisman dan anak M. Attar Putrasyahrisa tercinta, serta kedua orangtua dan seluruh keluarga yang selalu memberikan doa restu, dukungan dan semangat yang tak henti-hentinya. 11. Sahabat satu bimbingan Dara, Dini, dan Nita dan sahabat MSA angkatan 2 yang telah membantu dan memberi semangat yang besar untuk penulis. 12. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan laporan ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis juga berharap laporan ini akan memberikan kontribusi bagi semua pihak yang berkepentingan. Bogor, Agustus 2013 Penulis DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xii 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5 Ruang Lingkup Penelitian 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 6 Usaha Garam Rakyat 6 Kelembagaan Kemitraan 8 Manfaat Kemitraan 9 3 KERANGKA PEMIKIRAN 11 Landasan Teori Terkait Kemitraan Garam Rakyat 11 Kerangka Pemikiran Operasional 19 4 METODOLOGI PENELITIAN 21 Lokasi dan Waktu Penelitian 21 Jenis dan Sumber Data 21 Metode Pengambilan Contoh 22 Metode Analisis Data 22 Perumusan Model Kemitraan 24 5 GAMBARAN UMUM INDUSTRI GARAM 25 Kondisi dan Potensi Wilayah 25 Pelaku Industri Garam 26 Analisis Kondisi Usaha Garam 29 Pola dan Aturan Kerjasama Yang Ada Dalam Usaha Garam 36 6 POLA KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT 42 Pola Kemitraan Petani Garam dan Pedagang Pengumpul 43 Pola Kemitraan Petani Garam dan Koperasi 45 Pola Kemitraan Petani dan PT Garam Persero 47 Analisis Biaya Transaksi 50 Komparasi Pola Kemitraan Usaha Garam 51 7 SIMPULAN DAN SARAN 54 Simpulan 54 Saran 54 DAFTAR PUSTAKA 55 LAMPIRAN 58 RIWAYAT HIDUP 85 DAFTAR TABEL 1 Jumlah Produksi Garam di Wilayah Pulau Madura 3 2 Harga Garam Berdasarkan Kualitas 4 3 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan 22 4 Luas Lahan Tambak Berdasarkan Kepemilikkan 25 5 Profil Responden Petani Garam Kabupaten Sumenep 27 6 Produksi Garam yang Dihasilkan 33 7 Analisis Investasi Usaha Garam Rakyat 35 8 Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Garam Rakyat Kondisi Existing 40 9 Perbandingan Antara Kerjasama yang Ada dengan Kerjasama Ideal 42 10 Estimasi Struktur Biaya dan Pendapatan Petani dengan Pedagang Pengumpul 44 11 Aturan Kerjasama Antara Petani dan Koperasi 46 12 Estimasi Struktur Biaya dan Pendapatan Petani dengan Koperasi 47 13 Aturan Kerjasama Antara Petani dan PT Garam Persero 48 14 Estimasi Struktur Biaya dan Pendapatan Petani dengan PT Garam Persero 49 15 Pola kemitraan petani garam dengan pihak mitra berdasarkan kriteria 51 DAFTAR GAMBAR 1 Grafik Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Garam Nasional Tahun 2001- 2011 1 2 Kebutuhan Impor Garam Berdasarkan Jenisnya tahun 2008-2012 2 3 Kerangka Pemikiran Operasional 21 4 Struktur Kepengurusan Koperasi Astagina 29 5 Petakan Lahan Garam Rakyat 31 6 Proses Produksi Garam Rakyat 31 7 Proses Pembuatan Garam PT. Garam Persero 33 8 Pemasangan Geo Membran Pada Lahan PT. Garam Persero 34 9 Saluran Pemasaran Garam Rakyat 37 DAFTAR LAMPIRAN 1 Data Responden Petani Garam 58 2 Data Hasil Panen Petani Responden 61 3 Analisis Biaya Tetap Responden 63 4 Analisis Biaya Variabel Responden 72 5 Surat Kontrak Kemitraan Antara Petani dan Koperasi 75 6 Surat Kontrak Kerjasama Sewa Lahan 80 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Garam merupakan salah satu komoditi strategis dan penting, karena digunakan sebagai bahan baku industri dan bahan pangan yang dibutuhkan oleh hampir semua masyarakat. Pada sektor industri, garam digunakan diberbagai keperluan seperti industri tekstil, minyak, keramik, farmasi dan kertas, industri klor alkali, industri pengolahan logam, industri sabun, industri karet. Garam sebagai bahan pangan merupakan bahan pelengkap dan salah satu sumber gizi yang tidak dapat digantikan oleh produk lainnya. Secara geografis, Indonesia memiliki potensi alam yang mendukung dalam pemenuhan kebutuhan garam nasional. Indonesia termasuk negara maritim dengan luas lautan sebesar 70 persen 5.8 juta km 2 dari total luas wilayahnya. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia sepanjang 95 181 km dan memiliki lahan potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan tambak garam seluas 34 000 hektar Balitbang KP, 2011 dan saat ini baru sebesar 20 000 hektar yang dimanfaatkan. Gambar 1 Grafik perkembangan produksi dan kebutuhan garam nasional tahun 2001- 2011 Sumber : Kementerian Perindustrian 2012 Gambar 1 menunjukkan bahwa produksi garam yang dihasilkan oleh Indonesia masih sangat rendah dalam memenuhi kebutuhan garam nasional. Kebutuhan garam dari tahun ke tahun semakin meningkat sebesar 6 persen pertahun seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan industri di Indonesia Kurniawan dan Azizi, 2012. Kebutuhan garam nasional selama ini dipenuhi melalui produksi dalam negeri dan impor. Saat ini, kebutuhan Indonesia akan garam mencapai 3.2 juta ton, sementara produksi garam yang dihasilkan baru mencapai 1.4 juta ton pada tahun 2011. Produksi garam berasal dari garam rakyat dan PT Garam Persero, namun sebagian besar produksi berasal dari garam rakyat. Jumlah produksi garam pada rentang tahun 2001-2009 berkisar di 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 3,500,000 4,000,000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 d a la m t o n tahun produksi kebutuhan angka 1 juta, kecuali untuk tahun 2010 produksi garam Indonesia menurun drastis hanya 30 000 ton, hal ini diakibatkan oleh cuaca yang sangat ekstrim. Industri garam merupakan industri yang strategis dan terus berkembang, sehingga permintaan baik jenis dan penggunaan garam terus meningkat. Pada perkembangannya, terdapat permasalahan mendasar dalam kegiatan usaha garam antara lain adalah 1 sumberdaya manusia dan kelembagaan, 2 infrastruktur dan fasilitas produksi yang digunakan, 3 masalah permodalan, 4 regulasi perdagangan, 5 sistem tataniaga yang didominasi oleh pedagang pengumpul, dengan pasar yang mengarah kepada pasar monopsoni dan 6 produksi garam dengan tehnologi yang masih sederhana sehingga mempengaruhi kualitas garam yang dihasilkan KKP, 2012. Faktor lain yang mempengaruhi garam, baik dari segi kualitas maupun kuantitas adalah lahan garam yang dikelola oleh petani secara umum tidak lebih dari 1 ha, lahan garam yang dikelola tidak berada dalam satu hamparan, produksi yang dilakukan masih secara sederhana dan konvensional yaitu menggunakan metode kristalisasi total, singkatnya waktu pungutan garam yang rata-rata 5-7 hari, dan infrastruktur yang belum memadai. Saat ini, produksi garam Indonesia baru memenuhi kebutuhan garam konsumsi. Sedangkan garam industri, Indonesia masih bergantung kepada impor. Sebagian besar kandungan NaCl garam Indonesia masih dibawah 94 persen, untuk garam industri dibutuhkan kandungan NaCl minimal sebesar 98 persen. Oleh karena itu, mengapa Indonesia masih melakukan impor garam dan kurang berkembangnya industri garam rakyat. Berikut jumlah kebutuhan impor garam tersaji dalam Gambar 2. Gambar 2 Kebutuhan Impor Garam Berdasarkan Jenisnya Tahun 2008-2012 Sumber : Kementerian Perindustrian 2013 Salah satu sentra penghasil garam di Indonesia adalah Kabupaten Sumenep. Kabupaten Sumenep merupakan tempat awal dimulainya industri garam rakyat di Indonesia. PT Garam Persero menjadi simbol kejayaan dan pabrik garam briket pertama di Indonesia yang dibangun pada masa pemerintahan Belanda. Lahan pegaraman yang dimiliki terbagi atas dua kepemilikan, yaitu lahan yang dimiliki oleh PT Garam Persero seluas ± 3 400 ha dan lahan petani garam rakyat dengan luas areal ± 2 068 ha. Daerah penghasil garam terbesar di Kabupaten Sumenep berada di Kecamatan Kalianget, Gapura, Pragaan dan Saronggi, serta sebagian - 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2008 2009 2010 2011 2012 Im po r to n tahun garam konsumsi garam industri kecil di Kecamatan Bluto. Jumlah produksi garam Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Jumlah produksi garam di wilayah Pulau Madura Sumber : KKP, 2012 Dalam mata rantai usaha garam di Kabupaten Sumenep, penggarap merupakan pihak yang paling kecil memperoleh keuntungan sedangkan pedagang pengumpul memiliki peran penting dalam pemasaran. Penetapan harga ditentukan secara sepihak oleh pedagang pengumpul, kesepakatan yang terjalin antara petani garam dengan pedagang pengumpul dapat dikatakan belum ideal karena masih terdapat pihak yang merasa dirugikan dan adanya pihak yang mendapatkan keuntungan dimana mereka tidak berkontribusi dalam biaya free rider. Hal ini mengindikasikan adanya ketidaksetaraan dalam hubungan kerjasama. Menurut Yustika 2010, ketidaksetaraan antar pelaku dalam wujud posisi tawar memerlukan mekanisme dan desain aturan main kelembagaan yang bertujuan untuk membangun kesetaraan antar pelakunya, baik daya tawar maupun kelengkapan infomasi. Kelembagaan aturan main yang dimaksud dalam hal ini adalah kelembagaan dalam wujud pola kemitraan. Vermulen dan Cotula 2011 mengemukan kemitraan yang ideal adalah kemitraan yang dapat menciptakan kesetaraan dalam pengambilan keputusan, pembagian risiko dan distribusi keuntungan yang proposional. Untuk itu, perlu dirumuskan pola kemitraan yang keberlanjutan dalam usaha garam rakyat. Pola kemitraan dibangun agar dapat menciptakan manfaat ekonomi bagi pelaku usaha garam rakyat sehingga dapat terwujudnya bentuk kerjasama baru yang lebih efisien dan berkeadilan. Sebagai strategi bisnis maka kemitraan dapat dijadikan sebagai suatu inovasi salah satu mekanisme yang mungkin dapat meningkatkan penghidupankesejahteraan petani garam kecil di daerah pesisir. Perumusan Masalah Masalah mendasar bagi sebagian besar petani garam di Kabupaten Sumenep adalah produksi dan kualitas garam yang masih rendah. Tentu saja hal ini mempengaruhi posisi petani dalam penetapan kualitas dan harga garam itu sendiri Suherman et al, 2011. Lemahnya posisi petani garam dalam hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain adalah keterbatasan tehnologi yang digunakan, metode yang diterapkan, akses permodalan dan informasi pasar yang masih sangat minim. Berdasarkan Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Kabupaten Luas lahan ha Produksi ton 2007 2008 2009 2011 PT.Garam 5 190 200 000 216 000 300 000 - Bangkalan 115.89 4 000 - - 3 515 Sampang 4 200 189 000 180 000 230 000 321 441.20 Pamekasan 891.96 64 000 88 000 99 000 65 238.78 Sumenep 2 086 99 000 94 000 105 750 154 275 Negeri Tentang Penetapan Harga Penjualan Garam bahwa telah ditetapkan harga dasar garam disesuaikan dengan kualitasnya. Berikut daftar harga garam berdasarkan kualitas tersaji dalam Tabel 2. Tabel 2 Harga garam berdasarkan kualitas No Kualitas Kriteria Harga Rpkg 1 KP 1 Kadar NaCl minimal 94.7 , putih bening dan bersih serta ukuran minimal 4 mm ≥ 750 2 KP 2 Kadar NaCl antara 85 dan 94.7 , warna putih dan butiran mininal 3 mm ≥ 550 Sumber : Kementrian Perdagangan, 2011 Harga garam ditingkat petani tidak sesuai dengan harga garam yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk kualitas 1 KP 1 dengan harga berkisar Rp450kg-Rp550kg, Kualitas 2 KP 2 dengan harga Rp300kg-Rp400kg dan untuk kualitas 3 KP 3 dibawah Rp300kg. Tekanan harga yang lebih kuat terjadi pada saat panen raya telah tiba dan pada umumnya harga ditentukan oleh pedagang pengumpul yang mengikuti mekanisme pasar. Posisi petani yang hanya sebagai produsen menjadikan pedagang pengumpul sangat mendominasi dalam saluran pemasaran garam. Hubungan antara petani dan pedagang pengumpul tidak hanya sebatas dalam pemasaran saja, melainkan dalam permodalan juga. Pedagang pengumpul menyediakan modal awal usaha dan kebutuhan sehari-hari petani garam, oleh karenanya petani memiliki keterikatan dengan pedagang pengumpul. Konsekuensi dari peminjaman tersebut mengharuskan petani menjual hasil produksinya kepada para pedagang pengumpul tengkulak dengan harga yang ditentukan secara sepihak oleh pengumpul Suherman et al, 2011. Usaha garam merupakan usaha turun temurun, namun selama ini petani garam tidak memiliki akses pemasaran secara langsung kepada perusahaan pengolah, padahal garam yang diproduksi merupakan garam curah yang tidak dapat digunakan secara langsung melainkan harus adanya pengolahan terlebih dahulu. Tentu saja hal ini sebenarnya menjadi peluang bagi petani garam untuk bekerjasama secara langsung dengan perusahaan pengolah. Bekerjasama dengan pedagang pengumpul, memberikan keuntungan bagi perusahaan yaitu perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi pengangkutan dan pedagang pengumpul mampu menyediakan garam dalam jumlah besar dengan berbagai kualitas. Untuk itu, petani sangat bergantung pada pedagang pengumpul, ketergantungan ini mengakibatkan petani garam tidak memiliki posisi tawar yang baik. Ketidaksetaraan yang terjadi antar pelaku ekonomi dalam bentuk posisi daya tawar maupun informasi memberikan dampak satu pihak diuntungkan dan ada pihak lain yang dirugikan. Dengan sistem yang berlaku selama ini, pedagang pengumpul adalah pihak yang banyak menikmati keuntunganmanfaat lebih. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tawar petani adalah dengan membangun kelembagaan kemitraan Vermulen dan Cotula, 2011, kelembagaan kemitraan dapat menunjukkan harga yang relatif stabil, pengumpulan dan pengangkutan hasil yang efisien, mendorong petani untuk menghasilkan produk yang berkualitas, memberikan kemudahan kepada petani untuk mendapat fasilitas kredit, serta menjamin kontinuitas pasokan bagi pihak mitra. Konsep kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan, membesarkan dan saling memberikan keuntungan untuk kedua belah pihak. Sistem ini dapat dilihat juga sebagai suatu terobosan untuk mengurangi biaya transaksi yang tinggi akibat adanya kegagalan pasar danatau kegagalan pemerintah dalam menyediakan sarana input yang diperlukan misalnya kredit, asuransi, informasi, prasarana dan faktor-faktor produksi lainnya dan lembaga-lembaga pemasaran. Sehingga dapat memberikan insentif yang lebih baik dan adil untuk kedua belah pihak. Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas maka permasalahan yang akan dianalisis adalah : 1. Sejauhmana pola kerjasama yang telah dilakukan oleh petani garam. 2. Pola kemitraan yang sesuai dengan kondisi yang ada, sehingga dapat membentuk sebuah lembaga kemitraan yang meningkatkan posisi tawar dan kesejahteraan petani garam rakyat. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis pola kerjasama yang telah dilakukan oleh petani garam dengan beberapa pihak terkait. 2. Merumuskan dan memberikan rekomendasi pola kemitraan yang sesuai guna meningkatkan posisi tawar dan kesejahteraan petani garam di Kabupaten Sumenep. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil kajian ini adalah : 1. Sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan dan instansi terkait baik Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Sumenep maupun pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk penyempurnaan pelaksanaan fasilitasi kemitraan usaha garam rakyat 2. Sebagai bahan masukan bagi pelaku usaha garam dalam mencari alternatif pola kemitraan yang sesuai dan berkelanjutan 3. Bagi Penulis, untuk melatih kemampuan menganalisis permasalahan usaha garam rakyat khususnya kemitraan. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi adalah : 1. Petani garam yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah petani garam yang merupakan petani pemilik sekaligus penggarap, petani penggarap, petani penyewa lahan. 2. Pola kemitraan yang akan dibangun adalah antara petani garam dengan beberapa pihak, yaitu PT Garam Persero, Koperasi dan pedagang pengumpul. 3. Pemilihan Pola kemitraan didasarkan pada analisis pendapatan usahatani, analisis biaya transaksi dan analisis BC ratio. Analisis pendapatan usahatani dalam hal ini hanya menghitung pendapatan yang akan diterima oleh petani. Analisis biaya transaksi untuk menghitung berapa biaya yang dikeluarkan agar sebuah kerjasama dapat dijalankan dan bersifat efisien, sedangkan analisis BC ratio untuk mengetahui bentuk usaha tersebut memberikan manfaattidak dan layaktidak layak. 2 TINJAUAN PUSTAKA Usaha Garam Rakyat Usaha garam rakyat adalah suatu usaha dalam memproduksi garam yang pengelolaannya dilakukan oleh rakyatmasyarakat. Pelaku usaha garam rakyat terdiri dari petani garam rakyat yang memproduksi garam krosok, dalam pengolahannya dilakukan oleh industriperusahaan untuk mengolah garam krosok menjadi garam halus dan briket, para pelaku pemasaran pada umumnya berlokasi di sekitar pusat tambak garam rakyat. Dalam mata rantai usaha garam rakyat, petani merupakan pihak yang memperoleh insentif paling rendah dibandingkan pihak lainnya yang terlibat. Beberapa tahun kebelakang, isu garam mulai mencuat ke permukaan publik seiring hadirnya garam impor. Kemunculan garam impor memberikan dampak yang sangat besar, baik bagi pemerintahan maupun para pelaku industri garam terutama para petani. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan komoditas garam pun mulai banyak dilakukan, terutama yang mengacu pada garam rakyat. Hal ini dilakukan dalam rangka peningkatan industri garam nasional, sehingga angka impor garam dapat ditekan semaksimal mungkin, guna meningkatkan industri garam konsumsi dan dapat menciptakan garam industri. Kajian Sukesi 2011, menyebutkan bahwa bila dilihat secara kacamata sosial ekonomi bahwa masyarakat pesisir dapat dikatakan sangat tertinggal bila dibandingkan dengan masyarakat lainnya, dengan demikian dapat dipahami bahwa daerah pesisir merupakan pusat kemiskinan. Petani garam merupakan salah satu dari masyarakat pesisir yang selama ini dinilai kurang mendapat perhatian melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat penanggulangan kemiskinan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan qualitative research, yaitu memberikan deskripsigambaran secara jelas mengenai kondisi perilaku sosial, dan ekonomi masyarakat petani garam terhadap hasil usahanya dengan menggunakan analisis SWOT. Berdasarkan temuan di lapangan, bahwa permasalahan yang dihadapi oleh petani garam di Pasuruan adalah permasalahan di bidang pemasaran dan permodalan. Selain masalah pemasaran dan permodalan, para petani garam pun menghadapi masalah mengenai kualitas produksi garam yang dihasilkan. Kualitas garam yang dihasilkan belum mencapai kualitas baik, masih dinilai termasuk kualitas 2 atau KP 2, hal ini disebabkan masih rendahnya tehnologi yang digunakan oleh petani garam. Selain faktor produksi, yang diharapkan oleh petani garam adalah hadirnya penyuluh sebagai pendamping para petani garam. Permodalan yang masih mereka butuhkan tidak dapat dipenuhi, hal ini dikarenakan lemahnya peranan lembaga koperasi yang merupakan salah satu lembaga yang diharapkan oleh petani garam agar dapat menyediakan fasilitas peminjaman modal usaha. Terbatasnya akses permodalan menjadikan usaha garam rakyat sulit berkembang. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Suherman 2011 dan Rochwulaningsih 2008, Lembaga Pembiayaan melihat usaha garam memiliki risiko yang tinggi karena keberhasilan produksi sangat tergantung oleh faktor cuaca. Hal ini menyebabkan sebagian besar petani garam menggunakan jasa tengkulak dalam membantu permasalahan modal yang dipergunakan dalam kegiatan produksi. Belum optimalnya kelembagaan koperasi sebagai kelembagaan permodalan yang mampu menunjang peningkatan usaha garam di Kota Pasuruan, permodalan diperoleh oleh petani dengan meminjam ke petani yang lebih sukses, hal ini tidak terlepas dari pola budaya yang terbentuk. Selain itu, kelemahan lainnya adalah terletak pada aspek pemasaran. Petani garam tidak memiliki saluran pemasaran yang baik untuk mendistribusikan hasil produksinya. Kondisi pemasaran tersebut dirasa kurang menguntungkan bagi petani garam, peranan tengkulak cukup dominan dalam proses pemasaran hasil garam. Sebanyak 100 persen petani menyatakan harus menggunakan jasa tengkulak dalam memasarkan hasil garam di Kota Pasuruan. Masalah saluran pemasaran ini diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Suherman et al 2011 mengenai Analisis Pemasaran Garam Rakyat di desa Kertasada, Kecamatan Kalianget-Sumenep. Kajian ini melakukan analisis kualitatif dan analisis marjin pemasaran. Dalam penelitiannya dinyatakan bahwa dalam saluran pemasarannya, petani garam dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu 1 kelompok petani garam dengan tengkulak, dalam kelompok ini petani garam menjual semua hasilnya kepada satu tengkulak karena adanya keterikatan dalam peminjaman modal usaha; 2 petani garam dengan asosiasiorganisasi APGAT Asosiasi Petani Garam Rakyat, fungsi APGAT ini hanya sebagai memberi informasi harga dari para tengkulak, memberikan arahan dan saran dalam transaksi dengan tengkulak. Hal ini menunjukkan lemahnya peranan lembaga koperasi, yang seharusnya dapat memberikan banyak manfaat akan keberadaan untuk petani garam, seperti penyediaan fasilitas kredit modal, kemudahan dalam pemasaran dan sebagainya; 3 kelompok petani garam yang tidak terikat kepada siapapun, mereka bebas menjual namun tetap saja tidak memberikan nilai yang lebih dalam menjual hasil garamnya. Terdapat beberapa perusahaan pengolah yang bersedia untuk menampung hasil garam rakyat, yaitu PT Budiono dan PT Garindo. Sayangnya, kedua pabrik ini hanya akan menampung hasil garam melalui tengkulak, terutama tengkulak yang sudah memiliki Usaha Dagang UD. Hal ini sangat merugikan petani garam karena yang menikmati keuntungan dari jalur ini adalah tengkulak. Sedangkan PT Garam Persero tidak menerima hasil garam rakyat, dikarenakan kualitas yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Kesimpulan yang diperoleh dari kajian ini adalah bahwa saluran distribusi garam di desa Kertasada hanya satu yaitu Petani-Tengkulak-Pabrik-Agen-Pengecer-Konsumen. Saluaran pemasaran ini merupakan saluran pemasaran yang mayoritas ada dalam pemasaran garam rakyat, saluran pemasaran yang cukup panjang akan sangat berpengaruh terhadap insentif yang diterima oleh petani garam dan dinilai tidak efesien. Dari analisis marjin pemasaran yang dilakukan, bagian yang terima oleh petani garam hanya sebesar 11 persen dalam arti harga yang diterima oleh petani garam sebesar Rp220 000ton, sedangkan harga di tingkat konsumen sebesar Rp2 000 000ton, sementara marjin terbesar diperoleh tengkulak dan pabrik. Hal ini sangat tidak menguntungkan bagi petani garam. Kelembagaan Kemitraan Menurut Hermanto 2007, terdapat beberapa bentuk kelembagaan yang dibutuhkan oleh petani antara lain: 1 kelembagaan keuangan mikro micro- finance untuk mengatasi kelangkaan modal usaha dan kebutuhan konsumsi, 2 kelembagaan Gabungan Kelompok Tani Gapoktan, 3 kelembagaan Klinik Agribisnis, dan 4 kelembagaan Kemitraan Bermediasi. Saptana et al 2009 menyatakan bahwa kelembagaan kemitraaan yang memiliki keunggulan adalah contract farming, dimana diketahui bahwa kelembagaan ini memiliki dampak positif terhadap produktivitas dan pendapatan petani. Contract farming memiliki keunggulan seperti mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas, memudahkan petani untuk memperoleh fasilitas kredit, serta adanya jaminan kontinuitas pasokan bagi perusahaan mitra, efisiensi pengumpulan dan pengangkutan hasil, serta penetapan harga yang relatif stabil. Berbagai bentuk contract farming kemitraan telah dilakukan oleh pemerintah Thailand dalam rangka memproduksi dan mempromosikan produk pertanian yang dihasilkan oleh petani. Selama tiga dekade terakhir, Thailand mengalami kemajuan luar biasa dalam menjalankan kemitraan dengan petani. Dalam pelaksanaannya, tidak semua bentuk contract farming melibatkan pemerintah, justru sektor swasta yang lebih banyak berperan. Namun bukan berarti, tidak ada peran pemeritah. Pemerintah tetap berperan dalam pemberian penyuluhan dan bimbingan untuk para petani. Pengalaman Thailand mengungkapkan bahwa pertanian kontrak telah menjadi sarana yang sukses untuk pemasaran oleh petani miskin. Hal tersebut memiliki potensi guna pengembangan kapasitas petani dalam produksi dan pemasaran, dari kontrak untuk membuka pasar. Contract farming melalui kepastian harga sangat membantu dalam risiko pendapatan. Pertanian kontrak tampaknya menjadi sebuah kendaraan yang menjanjikan untuk pengembangan agroindustri. Desain pengaturan dalam kontrak perlu memperhitungkan lingkungan sosial dan ekonomi lokal. Untuk mendapatkan kendaraan bergerak cepat dan lancar, memerlukan upaya lembaga lokal dalam memfasilitasi, membimbing dan memantau pengaturan untuk keadilan semua pihak yang terlibat Songsak dan Aree, 2005. Dalam usaha garam rakyat, kelembagaan yang ada selama ini sebagian besar berdasarkan hubungan principle-agent yaitu suatu hubungan kontrak kerja yang disepakati oleh dua belah pihak, dimana pemilik lahan sebagai principle yang sepakat memberikan insentif kepada agent dalam hal ini adalah penggarap. Agent sepakat melakukan tindakan atas nama kepentingan principle. Insentif berupa bagi hasil berdasarkan kesepatakan antara pemilik lahan dan penggarap. Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Manadiyanto dan Pranowo 2007, yang mengidentifikasi kerjasama sistem bagi hasil yang dilakukan petani garam di Kabupaten Sumenep, dimana lahan tambak yang lama diusahakan menggunakan sistem bagi hasil 3 bagian yaitu pemilik memperoleh 2 bagian dan penggarap 1 bagian dari hasil bersih, sedangkan untuk lahan yang masih baru diusahakan, pemilik mendapatkan 1 bagian dan penggarap 1 bagian dari hasil bersih. Pelaksanaan sistem bagi hasil seperti ini dilakukan tanpa tertulis dan hanya didasarkan kepada kesepakatan bersama sehingga tidak adanya aturan yang jelas. Manfaat Kemitraan Munculnya kemitraan disebabkan oleh adanya ketidaksempurnaan pasar. Kesulitan dalam akses kredit, mendapatkan informasi pasar, informasi tehnologi baru, kemudahan akan kebutuhan input dan aspek pasar untuk produk yang akan dipasarkan. Sehingga ketidaksempurnaan pasar ini mengakibatkan petani khususnya petani kecil harus mengeluarkan banyak biaya dalam mengatasinya dan dapat menimbulkan permasalahan di sektor lainnya. Oleh karenanya, salah satu cara yang dimungkinkan dapat mengatasi hal tersebut, yang dapat meminimumkan biaya-biaya transaksi yang tinggi dan menjadi satu kemungkinan yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani adalah contract farming pertanian kontrak yang lebih sering dikenal dengan kemitraan. Isu-isu dalam kemitraan telah sering dikemukan dalam berbagai bidang, khususnya bidang pertanian. Permasalahan di bidang pertanian, seperti aspek harga, aspek pemasaran dan berbagai risiko di bidang pertani menyebabkan insentif yang diperoleh oleh petani masih rendah. Kemitraan dinilai menjadi salah satu solusi dalam permasalahan yang dihadapi oleh petani dan dapat memberikan beberapa manfaat lebih. Contract Farming atau yang lebih dikenal dengan kemitraan menurut Kartasasmita dalam Indrayani 2008 adalah hubungan kerjasama antara badan usaha yang sinergis bersifat sukarela dan dilandasi oleh prinsip saling membutuhkan, memperkuat, menghidupi dan saling menguntungkan yang memberikan hasil yang bukanlah zero sum game akan tetapi positive sum game dengan kata lain win-win solution. Manfaat pertama yang dapat diperoleh dari kemitraan contract farming adalah peningkatan dalam pendapatan usahatani yang dapat dijadikan sebagai salah satu indikator keberhasilan suatu hubungan kemitraan. Pernyataan tersebut dipaparkan pada penelitian yang dilakukan oleh Indrayani 2008, Analisis Pola Kemitraan Dalam Pengadaan Beras Pandanwangi Bersertifikat Kasus Gapoktan Citra Sawargi dan CV Quasindo. Kajian ini dilakukan atas dasar adanya pencampuran beras pandanwangi dengan beras lain, seperti diketahui bahwa beras pandanwangi merupakan salah satu beras kualitas baik. Berdasarkan hal tersebut, untuk menjamin kepuasan konsumen beras, maka dilakukan kerjasama antara Departemen Pertanian Deptan bekerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat LPPM IPB yang telah menyiapkan perangkat sistem sertifikasi beras berlabel berdasarkan kesesuaian varietas, khususnya ‘Pandanwangi-Cianjur’. Sertifikasi yang dilakukan melalui suatu sistem manajemen mutu terpadu yang berkelanjutan dengan melibatkan seluruh pelaku agribisnis perberasan yang tergabung dalam wadah Gabungan Kelompok Tani Gapoktan Citra Sawargi. Dalam hal pemasaran, produk beras Pandanwangi dilakukan melalui kemitraan dalam bentuk kontrak dagang antara Gapoktan Citra Sawargi dengan CV Quasindo . Berdasarkan metode analisis kualitatif deskriptif yang digunakan, dihasilkan bahwa bentuk kemitraan yang terjalin selama ini adalah Pola Dagang Umum. Melalui pola kemitraan tersebut, ternyata memberikan peningkatan dalam pendapatan usahatani dengan adanya pelaksanaan kemitraan dibandingkan dengan tidak bermitra. Rataan pendapatan usahatani petani mitra lebih tinggi 22.54 persen dibandingkan petani non mitra. Dari hasil analisis marjin tataniaga, kedua pihak yang bermitra memperoleh marjin keuntungan yang relatif proporsionalsebanding, yaitu masing-masing 7 persen Gapoktan dan 6 persen CV Quasindo. Untuk mengevaluasi dan mencari pola kemitraan yang ideal yang diharapakan oleh kedua belah pihak, maka dilakukan dengan menggunakan metode analytical hierarchi process AHP dan hasil yang diperoleh adalah pola kemitraan yang lebih ideal adalah Pola Inti Plasma, pola kemitraan ini dibentuk mengingat lemahnya modal yang dimiliki oleh Gapoktan. Sedangkan analisis strengths, weaknesses, opportunities and threats SWOT digunakan untuk mengidentifikasi faktor–faktor yang mempengaruhi kinerja kemitraan dan penyusunan strategi pengembangan usaha. Berdasarkan hasil analisis kualitatif dan kuantitatif tersebut, maka dapat disusun model konseptual pengadaan beras unggul lokal tersertifikat berbasis model pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat. Dalam penelitian mengenai “ Contract Farming: Problems, Prospects and its Effect on Income and Employment” yang dilakukan oleh Jagdish dan Prakash 2008, bahwa contract farming mempengaruhi tingkat pendapatan. Pendapatan yang diperoleh melalui contract farming telah meningkatkan hampir 2 kalinya dari pendapatan sebelumnya. Namun terdapat juga masalah mengenai ketidakleluasaan petani dalam menentukan kualitas dan terlibat pada pelanggaran, sedangkan ketidakleluasaan yang dihadapi oleh petani non contract farming adalah kurangnya air irigasi dan harga panen yang rendah. Penelitian ini menunjukkan sebesar 57 persen petani memilih untuk mempertahankan keberadaan contract farming dan banyak petani non sewa yang ingin bergabung dalam contract farming. Manfaat kedua yang dapat diperoleh dalam kemitraan adalah pengurangan dalam biaya transaksi. Perhitungan biaya transaksi dilakukan untuk mengetahui efisien atau tidaknya suatu lembaga, dalam hal ini adalah lembaga kemitraan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sirajuddin 2010, mengenai Analisis Biaya Transaksi Usaha Sapi Perah Sistem Kemitraan dan Sistem Mandiri Serta Strategi Pengembangannya Di Propinsi Sulawesi Selatan. Analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah Logit model dan analisis deskriptif. Logit model digunakan untuk menganalisis biaya transaksi dalam pengembangan usaha sapi perah, sedangkan analisis deskriptif digunakan untuk perbandingan antara sistem bermitra dengan sistem mandiri. Variabel yang digunakan dalam analisis terdiri dari variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen adalah sistem kemitraan dan non kemitraan usaha sapi perah, sedangkan variabel indepeden yaitu biaya transportasi, biaya penyuluhan dan biaya adminstrasi, biaya distribusi susu dan biaya kontrol kualitas. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan biaya transaksi yang dikeluarkan oleh sistem kemitraan terdiri dari biaya transportasi per bulan Rp380 147.8, biaya administrasi Rp82 353.3, biaya uji alkohol Rp14 116.7, biaya distribusi susu Rp98 816.7 dan biaya tanda pengenal ternak Rp1 527.8. Sedangkan biaya transaksi yang dikeluarkan sistem mandiri yaitu biaya transportasi Rp3 036 933.3, biaya administrasi Rp416 667.7, biaya penyuluhan Rp3 600 dan biaya cicilan kredit Rp1 166 667.7. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa biaya transaksi yang dikeluarkan oleh sistem bermitra lebih rendah dibandingkan dengan sistem mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa dengan bermitra biaya transaksi dapat diminimalkandikurangi. Dengan bermitra, petani mitra dapat mengurangi biaya penyuluhan karena biasanya dalam konteks kemitraan, pendamping atau penyuluhan disediakan oleh perusahaan mitra. Manfaat lainnya adalah kemitraan sebagai risk management, dalam arti dengan kemitraan risiko dapat dibagi oleh kedua belah pihak. Manfaat kemitraan sebagai strategi manajemen risiko telah dibuktikan oleh berbagai hasil penelitian dan survey. Penelitian yang dilakukan oleh Knoeber dan Thurman 1995 1 , menguraikan komposisi dan pergeseran risiko pada kemitraan ayam pedaging di Amerika Serikat. Komponen risiko yang utama adalah risiko harga sebesar 84 persen sedangkan risiko produksi sebesar 3 persen dan sisanya kombinasi risiko. Perusahaan mitra menanggung sebesar 97 persen dari risiko harga dan produksi, sementara petani mitra hanya sebesar 3 persen. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan mencerminkan bahwa kemitraan telah memberikan manfaat dan kontribusi yang lebih baik untuk petani maupun pihak sponsorperusahaan. Penelitian-penelitian tersebut telah menjelaskan bahwa dengan kemitraan, petani dapat meningkatkan pendapatan usahataninya, petani dapat mengurangi biaya transaksi dan adanya pembagian risiko, sehingga diharapkan petani dapat meningkatkan kesejahteraannya. Garam merupakan salah satu komoditas yang tidak dapat digantikan oleh barang lain dan tidak memiliki saluran pemasaran yang beragam, sehingga mayoritas petani garam belum memperoleh kesejahteraan. Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, penulis akan mencoba untuk mengidentifikasi pola kemitraan yang bagaimana yang sesuai untuk petani garam dengan studi kasus di Kabupaten Sumenep dengan melihat dari aspek analisis pendapatan usahatani, biaya transaksi dan BC ratio. 3 KERANGKA PEMIKIRAN Landasan Teori Terkait Kemitraan Garam Rakyat Usaha Garam Berdasarkan fisiknya garam adalah benda padatan putih yang berbentuk kristal yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Clorida lebih dari 80 persen serta senyawa lainnya seperti magnesium Clorida, Magnesium Sulfat, Calsium Clorida dan lain-lain. Garam memiliki karakteristik higrokopis yang berarti mudah nyerap dalam air, bulk tingkat kepadatan density 1 http:eprints.umm.ac.id1085kemitraan_sebagai_manajemen_risiko.pdf {Diunduh Tanggal 10 Oktaber 2012]. sebesar 0.8-0.9 dan titik lebur pada tingkat suhu 801 C Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2011. Tiga unsur yang terkandung dalam industrialisasi usaha garam rakyat adalah a mekanisasi, b inovasi teknologi, dan c efisiensi. Dalam mekanisasi ada upaya transformasi produksi garam rakyat yang menggunakan teknologi tradisional kearah rekayasa teknis social engineering yang memanfaatkan teknologi yang lebih modern lebih ditonjolkan, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih efisien untuk meningkatkan produksi per satuan unit lahan. Industrialisasi usaha garam rakyat merupakan proses perubahan kebijakan pengelolaan usaha garam rakyat yang meliputi peningkatan kapasitas pengelola, pengembangan infrastruktur, inovasi teknologi, peningkatan produksi, mekanisasi pengolahan, pengaturan tata niaga, dan fasilitasi kemitraan bagi petani garam rakyat yang dilakukan secara terintegrasi berbasis industri modern untuk meningkatkan produksi ke skala ekonomis, efisien dan mempunyai nilai tambah tinggi KKP, 2012. Ekonomi Kelembagaan Menurut North 1990, Kelembagaan adalah aturan-aturan formal dan konvensi informal serta tata perilaku, mengatur juga larangan-larangan dan persyaratan-persyaratan. Pada dasarnya ekonomi kelembagaan terdiri dua arus hubungan, yaitu ekonomi dan kelembagaan. Pendekatan ini mengupas efek dari kelembagaan terhadap ekonomi Kasper dalam Yustika, 2010. Secara praktikal, kelembagaan aturan main yang ada dalam aktivitas ekonomi yang akan menentukan seberapa efisien hasil ekonomi yang didapatkan, sekaligus akan menentukan seberapa besar penyebaran ekonomi yang didapat oleh masing- masing partisipan Yustika, 2010. Pada kondisi ini, dapat dikatakan bahwa kelembagaan memiliki pengaruh terhadap pencapaian ekonomi. Sementara itu, jangka waktu tertentu, pencapaian yang diperoleh partisipan akan menentukan pandangan terhadap aturan main yang digunakan saat ini. Bila dinilai kelembagaan yang sekarang tidak efisien, maka keinginan untuk mengubah kelembagaan tersebut dipastikan akan terjadi. Ekonomi kelembagaan selalu bertujuan untuk menciptakan representasi yang menyeluruh dari proses ekonomi, baik di dalamnya maupun bagian dari sistem sosial yang komplek dan interaksi yang terjadi di dalamnya Kapp dalam Yustika, 2010. Ekonomi kelembagaan pertanian adalah organisasi-organisasi yang berhubungan dengan segala kegiatan ekonomi pertanian atau petani. Kelembagaan pertanian pada dasarnya dikembangkan guna mendukung segala kegiatan atau aktivitas petani dalam proses produksi, peningkatan pendapatan pertanian dan saluran kebijakan fiskal. Kelembagaan pertanian ini sangat diharapkan dapat mendorong ekonomi pertanian atau memberikan peningkatan kesejahteraan bagi petani. Namun, seringkali kelembagaan ini tidak berperan sebagaimana mestinya. Sebuah kelembagaan pertanian akan abadi dan bersinambungan, apabila dalam perjalanannya dijaga sebaik mungkin oleh stakeholdersnya dalam hal ini adalah petani. Disisi lain, stakeholders akan memelihara kelembagaan ini jika kelembagaan ini dirasakan dapat memberikan manfaat. Kelembagaan petani juga memiliki titik strategis entry point dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu diarahkandiprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi tawar petani Suradisastra dalam Nasrul, 2012. Teori Kontrak Secara umum kontrak digambarkan sebagai kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain tentunya ada konsekuensi tindakan balasan dalam bentuk pembayaran Dixit dalam Yustika, 2010. Adanya perbedaan terhadap kesinambungan dalam hubungan kontrak merupakan alasan yang membuat para pelaku dalam kontrak memiliki derajat insentif kesukarelaan alami yang berbeda dalam menyetujui isi atas kontrak yang dibuat. Menurut Furubotn dan Ritcher 2000 dalam Yustika 2010, pada kegiatan ekonomi modern terdapat 3 tipe teori kontrak yang dapat dijadikan sebagai pilihan, yaitu : 1 teori kontrak agen agency-contract theory, teori kontrak agen diasumsikan terdapat dua pelaku yang berhubungan yakni prinsipal dan agen. Prinsipal adalah pihak yang memperkerjakan agen untuk melaksanakan pekerjaan atau layanan yang diinginkan oleh prinsipal, diluar itu prinsipal juga memfasilitasi keberhasilan sebuah aktivitas yang didelegasikan kepada agen. Dalam teori agency diasumsikan kesepakatan dapat ditegakkan secara hukum, 2 Teori kesepakatan otomatis self-enforcing agreements theory, dalam teori kesepakatan otomatis tidak seluruh transaksi dapat ditegakkan secara hukum. Teori ini didesain untuk memastikan keuntungan untuk berbuat curang lebih rendah dari keuntungan yang diperoleh apabila mematuhi kontrak yang telah disepakati. Dalam hal ini tidak ada pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada kontrak kesepakatan otomatis lebih banyak mencakup norma-norma perilaku ketimbang pembagian risiko, dan 3 teori kontrak relasional relational-contract theory, teori ini memainkan peranan penting dalam ekonomi modern dimana permasalahan yang terjadi dalam hubungan kontrak dapat diselesaikan melalui keseimbangan kerjasama dan pemaksaan. Kontrak relasional biasanya diaplikasikan dalam situasi dimana terdapat ketergantungan dua pihak pelaku transaksi karena eksistensi dari transaksi investasi yang spesifik. Pada contract farming merujuk kepada sistem untuk memproduksi dan menyuplai komoditas pertanian dibawah perjanjian yang disiapkan. Inti dari kontrak ini adalah komitmen untuk menyediakan produk pertanian yang mencakup 4 empat hal, yaitu harga, kualitas, kuantitas dan waktu yang harus disepakati Sukhpal Singh, 2002. Kontrak atau transaksi tunggal antara dua pihak yang melakukan hubungan ekonomi merupakan basis unit analisis dalam pendekatan ekonomi biaya transaksi Yustika, 2010. Teori Ekonomi Biaya Transaksi Pokok dari New Institutional Economics adalah seluruh transaksi yang terjadi antara aktor ekonomi membutuhkan biaya. Dalam konsep kelembagaan selalu berhubungan dengan konsep biaya transaksi, tiga pelopor teori ekonomi biaya transaksi ini adalah Oliver Williamson, Ronald Coase dan North. Ekonomi biaya transaksi adalah salah satu alat analisis yang populer dalam ilmu ekonomi kelembagaan. Transaction cost economics merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengukur keefisienan kelembagaan. Suatu kelembagaan dikatakan tidak efisien, jika biaya transaksi yang terjadi dalam suatu kegiatan ekonomi semakin tinggi Yustika, 2010. North memberikan pandangan suatu kelembagaan yang dapat menurunkan biaya transaksinya adalah kunci keberhasilan dari indikator ekonomi. Menurut Williamson dalam Yustika 2010, biaya transaksi adalah biaya untuk menjalan sistem ekonomi dan biaya untuk menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan. Secara sederhana, biaya transaksi adalah biaya-biaya yang timbul akibat adanya kontrak eksplisitimplisit dalam dunia bisnis. Sementara itu, North mendefinisikan bahwa biaya transaksi sebagai biaya untuk menspesifikasikan dan memaksakan enforcing kontrak yang mendasari pertukaran, sehingga dengan sendirinya mencakup semua biaya organisasi politik dan ekonomi yang memungkinkan kegiatan ekonomi mengambil keuntungan dari perdagangan pertukaran, singkatnya adalah biaya untuk melakukan negosiasi, mengukur dan memaksakan pertukaran. Sedangkan menurut Coase biaya transaksi adalah biaya untuk menentukan dan memberlakukan hak-hak kepemilikkan atas barang dan jasa. Komponen umum biaya transaksi terdiri dari: 1 biaya untuk mencari informasi; 2 biaya pembuatan kontrak; 3 biaya monitoring pengecekan kuantitas, kualitas, dan lain-lain; dan 4 biaya adaptasi. Komponen tersebut berubah-ubah tergantung dari aktor-aktor yang terlibat Kirchner dan Picot, 1987 2 . Biaya mencari informasi adalah biaya yang ditimbulkan untuk memperoleh informasi mengenai barang yang diinginkan dari dari pasar, Misalnya biaya untuk memperoleh harga termurah, kualitas terbaik, variasi jenis barang dll.Biaya membuat kontraknegosiasi bargaining cost adalah biaya yang diperlukan untuk menerima suatu persetujuankontrak dengan pihak lain atas suatu transaksi, Misalnya biaya notaris. Biaya monitoring adalah biaya yang ditimbulkan adanya kegiatan untuk mengawasi pihak lain dalam melaksanakan kontrak, Misalnya, biaya cek kualitas, cek kuantitas, cek harga, ketepatan waktu kirim, keamanan dll. Biaya adaptasi selama pelaksanaan kesepakatan adalah biaya yang ditimbulkan karena dilakukannya penyesuaian- penyesuaian pada saat suatu kesepakatan transaksi dilakukan, Misalnya penyesuaian biaya produksi karena kenaikan sebagian besar harga bahan baku, dll . Menurut Yustika 2010, biaya transaksi dipisahkan menjadi biaya transaksi sebelum kontrak ex-ante dan setelah kontrak ex-post. Ex-ante terjadi ketika salah satu pihak memiliki informasi yang terbatas tentang pembelianpenjualan potensial, namun kerugiannya bisa dihilangkan setelah transaksi tersebut lengkap ex biaya membuat draft, negosiasi dan mengamankan kesepakatan. Ex-post terjadi ketika salah satu pihak memiliki informasi terbatas bahkan setelah transaksi tersebut terjadi ex. Biaya kegagalan adaptasi, biaya negosiasitawar menawar untuk menghadapi kegagalan, biaya untuk merancang dan menjalankan kegiatan, serta biaya pengikatan agar komitmen yang telah dilakukan. Biaya transaksi juga dapat terjadi karena adanya penyimpangan dalam wujud : 1 lemahnya jaminan hak kepemilikan, 2 penyimpangan pengukuran atas tugas yang kompleks dan prinsip yang beragam, 3 penyimpangan intertemporal yang dapat berbentuk kontrak yang timpang dan ketersembunyian informasi yang panjang, 4 penyimpangan yang muncul karena kelemahan kebijakan kelembagaan dan 5 kelemahan integritas James Wilson dalam Yustika, 2010. Kegiatan pertukaran atau perdagangan dapat terjadi dengan biaya transaksi yang rendah dan murah, ketika masing-masing pelaku ekonomi harus 2 Usepmulyana.files.wordpress.com [Diunduh Tanggal 10 Oktober 2012]. mengeluarkan sumberdaya dalam tiga wilayah yang tergolong kegiatan kontrak yaitu 1 mengukur atribut yang bisa dinilai sehingga proses transaksi terjadi, 2 melindungi hak-hak terhadap barang dan jasa yang telah dipertukarkan dan 3 meregulasi dan menegakkan kesepakatan. Teori Kemitraan Ketidaksempurnaan pasar dan ketidaksetaraan diantara pelaku ekonomi merupakan permasalahan utama dalam suatu kegiatan ekonomi. Pasar tidak sempurna sering terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Jika satu sektor mengalami ketidaksempurnaan, maka akan menimbulkan permasalahan di sektor lainnya. Hal ini berdampak pada pelaku pertanian, terutama para petani kecil yang mengalami kesulitan dalam akses informasi pasar, akses kredit, pembelian input dan hal-hal lainnya yang berkaitan dalam sistem agribisnis. Ketidaksetaraan antara pelaku diwujudkan dalam posisi tawar dan informasi yang tidak lengkap asimetris. sehingga menimbulkan ketimpangan diantara pelakunya. Hal ini menunjukkan kegiatan ekonomi yang ada belum ideal karena masih terdapat adanya pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan. Sehingga diperlukan bentuk aturan main kelembagaan lain yang dapat mengatasi ketidaksempurnaan pasar dan ketidaksetaraan ini dalam bentuk kelembagaan kemitraan. Kelembagaan Kemitraan yang memiliki keunggulan adalah Contract Farming Saptana et al, 2009. Contract Farming merupakan suatu sistem yang selain dapat memberikan manfaat kebebasan keterbukaan ekonomi dan memberikan peluang dalam meningkatkan penghidupan petani kecil di daerah pedesaan. Menurut Charles Eaton 2001, kemitraan contract farming diartikan sebagai suatu perjanjian dua belah pihak antara petani dan perusahaan untuk menghasilkan dan memasarkan produk-produk pertanian yang diatur di dalam kesepakatan awal, biasanya yang sering dilakukan kesepakatan dalam bentuk penentuan harga. Kesepakatan yang biasa dilakukan adalah pihak pembeli akan menyediakan sejumlah dukungan produksi, antara lain yaitu pasokan input dan penyediaan konsultasi teknis. Sedangkan, pihak petani dipersyaratkan untuk menyediakan komoditas spesifik berdasarkan standar mutu dan jumlah yang ditentukan oleh pihak pembeli, selanjutnya pihak perusahaan juga diharuskan untuk memberikan komitmen di dalam mendukung produksi petani dan membeli produksi yang dihasilkan. Contract Farming adalah sebuah sistem dimana terjadi pembagian beban risiko produksi dan pemasaran diantara pelaku agrobisnis dan petani kecil. Sistem ini dapat dilihat sebagai suatu inovasi dalam mengurangi biaya transaksi yang tinggi akibat adanya kegagalan pasar danatau kegagalan pemerintah dalam menyediakan sarana input yang dibutuhkan seperti ; kredit, asuransi, informasi, prasarana dan faktor-faktor produksi lainnya dan lembaga-lembaga pemasaran Patrick, 2004. Manfaat lain yang dapat diambil dari kontrak adalah perkembangan agro-industri petani kecil yang beralih dari pertanian secara tradisional menjadi produksi hasil-hasil pertanian secara modern yang bernilai tinggi dan berorientasi ekspor. Hal ini, tidak saja berpeluang dalam meningkatkan penghasilan petani kecil yang bergabung dalam kontrak tetapi juga memiliki dampak bagi perekonomian masyarakat pedesaan tersebut maupun dalam skala yang lebih besar. Kemitraan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menyatakan bahwa “Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil,dan Menengah dengan Usaha Besar”. 3

a. Bentuk Kemitraan

Eaton dan Shepherd 2001 mengemukakan bentuk kemitraan kedalam 5 lima model contract farming, yaitu : 1. Model Terpusat centralized model adalah suatu model kemitraan yang klasik, dimana pembeli membeli hasil panen dari banyak petani yang kemudian diolah dan hasilnya dipasarkan. Banyaknya hasil panen telah ditentukan dari awal musim panen dengan mutu yang baik. Biasanya untuk komoditas kakao, tebu, tembakau, dan lain-lain. 2. Model Inti-Plasma merupakan model variasi dari model terpusat. Perusahaan sponsor memiliki dan mengelola suatu perkebunan yang biasanya disebut dengan “kebun inti’. Selain itu, sponsor juga memperkenalkan tehnologi dan tehnik budidaya kepada petani plasma untuk menjamin kualitas panen yang dihasilkan. Model ini biasanya jika di Indonesia diterapkan pada wilayah transmigrasi atau perkebunan kelapa sawit dan peternakan sapi. 3. Model Multipartite atau Multipihak , pada model ini umumnya melibatkan badan regulasi atau pemerintah dengan perusahaan yang menjalin kerjasama dengan petani. Model multipihak ini bertanggungjawab dalam penyediaan kredit privat, manajemen, produksi, penyuluhan, pengolahan dan pemasarannya. Karena melibatkan badan pemerintah, maka terkadang hubungan antara perusahaan dan petani dapat dipengaruhi oleh kepentingan politisi dari badan tersebut. 4. Model informal , yaitu suatu model yang dicirikan oleh pengusaha kecil atau wirausahawan perseorangan yang membuat kontrak kerjasama secara sederhana dan informal dengan para petani secara musiman, khususnya untuk komoditas buah tropis dan sayuran. 5. Model Intermediary Perantara , dalam model ini minimal terdapat tiga pihak yang terlibat yaitu pengolahpedagang besar, pengumpul perantara dan petani. Model ini yang biasanya lazim digunakan di negara Asia Tenggara dan terkadang menimbulkan kelemahan karena seringkan adanya ketidakadilan insentif.

b. Bentuk Kemitraan di Indonesia

Di Indonesia, model kemitraan contract farming dipersempit menjadi 4 empat jenis model. Direktorat pengembangan usaha, Departemen Pertanian 2002 memberikan panduan mengenai beberapa jenis pola kemitraan yang telah banyak dilaksanakan di Indonesia, yaitu :

1. Pola Inti Plasma

Merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra 3 http:www.bi.go.id UU No. 20Tahun 2008UMKM.pdf [Diunduh Tanggal 28 Mei 2012]. bertindak sebagai plasma. Dalam pola kemitraan inti plasma, kewajiban bagi kelompok mitra adalah : a Berperan sebagai plasma, b Pengelola seluruh usaha bisnisnya sampai panen, c Menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra. d Memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Sedangkan perusahaan mitra wajib : a Berperan sebagai perusahaan inti, b Menampung hasil produksi, c Membeli hasil produksi, d Memberikan bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada kelompok mitra e Memberikan pelayanan kepada kelompok mitra berupa permodalan atau kredit, sarana produksi dan teknologi, f Mempunyai usaha budidaya pertanian atau memproduksi kebutuhan perusahaan, dan g Menyediakan lahan.

2. Pola Subkontrak

Merupakan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana di dalamnya kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Pola kemitraan subkontrak mensyaratkan bahwa kelompok mitra harus a Memproduksi kebutuhan yang dibutuhkan oleh perusahaan mitra sebagai komponen produksinya, b Menyediakan tenaga kerja, dan c membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga, dan waktu. Sedangkan tugas perusahaan mitra adalah : a Menampung dan membeli komponen produksi yang dihasilkan oleh kelompok mitra, b Menyediakan bahan baku atau modal kerja, dan c Melakukan kontrol kualitas produksi.

3. Dagang Umum

Pola dagang umum merupakan hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang didalamnya usaha menengah atau usaha besar memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha besar mitranya.

4. Kerjasama Operasional

Pola kerjasama operasional merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra yang didalamnya petani menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal serta sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi perternakan.

5. Pola Kemitraan Penyertaan Saham Waralaba

Berdasarkan PP No. 16 Tahun 1997 dan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdaganggan No.259MPPKep71997 tentang ketentuan dan tatacara pelaksanaan pendaftaran usaha waralaba ditetapkan bahwa pengertian waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaaan intelaktual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pihak lain, dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang atau jasa.

c. Manfaat Kemitraan

Manfaat yang dapat dicapai dari usaha kemitraan antara lain Hafsah, 1999:

1. Produktivitas

Bagi perusahaan yang lebih besar dengan model kemitraan akan dapat mengoperasionalkan kapasitas pabriknya secara full capacity tanpa perlu memiliki lahan dan pekerja lapang sendiri karena biaya untuk keperluan tersebut ditanggung oleh petani. Melalui model kemitraan petani dapat memperoleh tambahan input, kredit, dan penyuluhan yang tersedia oleh perusahaan inti.

2. Efisiensi

Perusahaan dapat menghemat efisiensi dengan menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan tenaga kerja yang dimiliki petani. Sebaliknya bagi petani yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi dan sarana produksi, dengan bermitra akan dapat menghemat waktu produksi melalui teknologi produksi yang disediakan oleh perusahaan.

3. Jaminan Kualitas, Kuantitas, dan Kontinuitas

Kualitas, kuantitas dan kontinuitas sangat erat kaitannya dengan efisiensi dan produktifitas di pihak petani yang menentukan terjaminnya pasokan pasar dan pada gilirannya menjamin keuntungan perusahaan.

4. Risiko

Kemitraan dilakukan untuk mengurangi risiko yang dihadapi oleh kedua belah pihak. Kontrak akan mengurangi risiko yang dihadapi oleh pihak inti jika harus mengandalkan pengadaan bahan baku sepenuhnya dari pasar terbuka. Perusahaan inti juga akan memperoleh keuntungan lain karena mereka tidak harus menanamkan investasi atas tanah dan mengelola pertanian yang sangat luas. Analisis Pendapatan Usahatani Salah satu indikator keberhasilan kemitraan di tingkat petani adalah meningkatnya pendapatan usahatani. Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok, yaitu keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran selama usahatani dijalankan selama jangka waktu yang ditetapkan. Secara umum pendapatan usahatani dapat didefinisikan sebagai sisa beda dari pengurangan nilai-nilai penerimaan usahatani dengan biaya-biaya yang dikeluarkannya. Dari jumlah pendapatan ini kemudian dapat dinyatakan besarnya balas jasa atas penggunaan tenaga kerja petani dan keluarganya, modal sendiri dan keahlian pengelolaan petani Tjakrawiralaksana dan Soeriaatmadja, 1983. Biaya didefinisikan sebagai pengorbanan yang dilakukan oleh produsen dalam mengelola usahanya untuk memperoleh hasil yang maksimal. Biaya usahatani dibedakan atas biaya tetap FC dan biaya variabel VC. Kedua biaya ini dijumlahkan untuk mengetahui jumlah biaya total Soekartawi, 2002. Biaya total adalah seluruh biaya yang dikeluarkandigunakan pada saat produksi. Biaya total terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel, untul biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan yang besar tidak terpengaruh oleh unsur lain. Biaya tetap terbagi atas 2 dua bagian yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan tenaga kerja dalam keluarga dan penyusutan. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan dalam usaha garam dan besarnya dapat berubah tergantung pada kebutuhan. Dalam analisis pendapatan usahatani terdapat dua tujuan utama, yaitu yang pertama untuk menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan usahatani dan kedua menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan yang telahakan dilakukan Soeharjo dan Patong, 1973. Suatu usaha garam akan dikatakan menguntungkan jika selisih antara penerimaan dengan pengeluaran bernilai positif. Semakin besar selisih antara penerimaan dan pengeluaran, maka semakin menguntungkan suatu usaha garam. Untuk mengetahui besar manfaat yang diperoleh petani maka dilakukan analisis BC Ratio. BC ratio merupakan salah satu alat penilaian kelayakan usaha atas besarnya investasi atau modal yang ditanam untuk melakukan suatu kegiatan usaha baik untuk investasi atas usaha baru maupun yang sifatnya penggantian atau perluasan usaha. Menurut Soekartawi 2002, Benefit-Cost Ratio BC digunakan untuk menghitung besarnya manfaat yang akan diperoleh. Suatu usahatani akan memberikan manfaat ketika BC lebih dari 1 BC 1. BC ratio adalah perbandingan antara biayapengeluaran dengan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha yang dilakukan selama jangka waktu perencanaan investasi atau pembiayaan. BC ratio dapat dihitung berdasarkan aliran dana atau pendapatan yang diterima dan biaya yang dikeluarkan cash flow atau atas dasar laporan pendapatan dan biaya usaha yang telah disusun. Kriteria yang digunakan berdasarkan BC adalah : a jika nilai BC 1 berarti memberikan manfaatlayak untuk dijalankan b jika nilai BC 1 berarti tidak memberikan manfaattidak layak untuk dijalankan dan c jika nilai BC = 1, maka keputusan tergantung pada investor proyek tidak rugi dan untung. Kerangka Pemikiran Operasional Lahan tambak yang luas, tenaga kerja yang mendukung dan iklim yang sesuai menjadikan Kabupaten Sumenep sebagai salah satu sentra penghasil garam di Indonesia. Potensi yang dimiliki ini, tentu saja harus diikuti dengan peningkatkan produksi, kualitas dan pemasaran sehingga produksi garam yang dihasilkan memiliki daya saing. Usaha garam merupakan sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Sumenep. Petani garam, pedagang pengumpulperantara dan industri pengolah garam merupakan pihak-pihak yang memiliki andil besar dalam industri usaha garam. Namun di sisi lain, produksi garam nasional saat ini menghadapi beberapa kendala diantaranya adalah kegagalan bersaing dengan produk impor dan informasi yang asimetris. Hal ini menjadi indikasi adanya kegagalan pasar, kegagalan pasar adalah ketika pasar bebas gagal dalam menjalankan perannya sebagai pengatur alokasi sumberdaya. Untuk itu, diperlukan sebuah koordinator lain yang didasarkan pada mekanisme perjanjian dalam bentuk kontrak untuk menggantikan mekanisme penawaran dan permintaan yang ditawarkan dalam proposisi pasar bebas. Contract farming merupakan pelaksanaan ideal yang dipakai untuk mewujudkan konsep kontraktual tersebut. Pihak-pihak yang bertransaksi dalam contract farming menggantikan mekanisme penawaran dan permintaan dalam bentuk perundingan di awal, bahkan jauh sebelum produk garam dihasilkan. Kesepakatan yang utama disepakati adalah penetapan harga. Kesepakatan lain diantaranya adalah kualitas, ukuran dan jadwal penyerahan baik barang maupun uang. Namun, tidak menutup kemungkinan yang disepakati lebih banyak dan detail disesuaikan dengan keinginan atau tuntutan para pihak yang terlibat. Kontrak kesepakatan yang ingin dicapai didasarkan pada tingkat kompromi pihak yang berkontrak. Pertimbangan yang dapat digunakan adalah bahwa harga yang disepakati telah menutupi semua jenis biaya yang oleh setiap pihak telah diperhitungkan sebagai korbanan yang telah dikeluarkan dalam posisinya masing masing, apakah sebagai produsenpengolah maupun sebagai perantara. Hal yang pasti dari contract farming adalah dengan kesepakatan di awal maka setiap pihak bisa terhindar dari risiko kerugian. Ini menjadi ciri penting contract farming yang membedakannya dari mekanisme pembentukan harga melalui mekanisme penawaran dan permintaan on the spot. Dengan adanya kesepakatan penjualan sebelum produksi dipastikan bahwa harga yang disepakati akan memberikan tingkat keuntungan yang telah diperhitungkan. Mengikuti kaidah ekonomi kelembagaan yang diusung oleh Williamson, North, dan Coase dalam Yustika 2010 mengeksplorasi gagasan kelembagaan non pasar hak kepemilikan, kontrak sebagai jalan untuk mengompensasi kegagalan pasar. Dalam mekanisme kontrak ekonomi kelembagaan keputusan kontraktual berimplikasi pada biaya kelembagaan, yang disebut biaya transaksi sebagaimana dirumuskan sebelum ini. Secara singkat biaya transaksi merupakan semua korbanan yang perlu ditanggung oleh para pihak yang berkontrak yang diperlukan untuk menjamin bahwa kesepakatan berjalan. Berdasarkan pandangan North dalam Sirajuddin 2010 menyatakan bahwa kelembagaan yang dapat menurunkan biaya transaksi adalah kunci keberhasilan indikator ekonomi. Pada kontrak yang terjadi pada industri garam di daerah Kabupaten Sumenep, biaya transaksi yang mungkin adalah biaya pencarian, biaya negosiasi dan biaya pelaksanaan. Biaya transaksi besarnya sangat bervariasi, ditentukan oleh tingkat kepercayaan antar pihak yang bertransaksi. Dalam satu ekstrem biaya bisa sedemikian tinggi sehingga menjadi disinsentif bagi para pihak untuk berkontrak. Pada ekstrim yang lain, biaya ini bisa menjadi 0 nol karena adanya trust yang sempurna antar pihak yang berkontrak. Hadirnya trust secara teoretik bisa meniadakan biaya transaksi. Mengingat posisinya yang penting, maka pemahaman dan akurasi dalam menghitung biaya transaksi bisa memprediksi tingkat keberhasilan contract farming, maka analisis biaya transaksi menjadi penting dan diperlukan dalam membangun atau menginisiasi contract farming Sama halnya dengan prinsip ekonomi sebelum ekonomi kelembagaan kriteria kelayakan dalam hal ini kelayakan kelembagaan contract farming ditentukan oleh rasio manfaat dan biaya. Dengan demikian perhitungan BC rasio diperlukan sebagai kriteria kelayakan pola contract farming yang diusulkan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan perhitungan BC. Karena fokus kajian ini adalah petani garam, untuk melihat tingkat biaya dan manfaat yang melibatkan petani garam digunakan analisis usahatani. Karena analisis ini juga akan memberi informasi mengenai nilai BC. Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional 4 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sumenep, Madura Provinsi Jawa Timur dengan 4 Kecamatan, yaitu Gapura, Dungkek, Kalianget dan Pragaan. Pemilihan lokasi didasarkan pada fakta bahwa Kabupaten Sumenep merupakan daerah awal dimulainya industri garam di Indonesia dan juga merupakan daerah sentra produksi garam terbesar di Indonesia. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari-Februari 2013. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner secara langsung kepada sumber atau objek yang sedang diteliti. Informasifakta yang dikategorikan sebagai data primer adalah harga jual garam, jumlah pendapatan usahatani, biaya produksi, persepsi para pelaku usaha garam mengenai kerjasama yang ada, faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan usaha garam rakyat. Data sekunder pada penelitian ini diperoleh antara lain melalui studi pustaka, data publikasi Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan dan sumber-sumber lainnya yang relevan. Informasifakta yang dikategorikan sebagai data sekunder adalah jumlah produksi Potensi Usaha Garam di Kabupaten Sumenep Persaingan dengan Produk Impor dan Informasi yang Asimetris Para Pelaku Industri Garam Pola Kemitraan Usaha Garam Rakyat Indikasi Adanya Kegagalan Pasar Pola Interaksi Kerjasama Antar Pelaku Rekomendasi Pola Kemitraan Usaha Garam Rakyat Yang dapat meningkatkan Posisi Tawar dan Kesejahteraan Petani Garam garam, jumlah lahan garam, jumlah petani, jumlah kebutuhan garam, karakteristik petani garam. Data primer dikumpulkan untuk mengetahui pola kerjasama yang ada yang terdiri dari : siapa saja peserta yang terlibat dalam pola kerjasama dan jenis pola kerjasama apa yang dilakukan. Data primer juga diperlukan untuk menggambarkan struktur biaya yang ada. Sedangkan penggunaan data sekunder, untuk mengetahui kinerja industri garam yang telah ada dan bagaimana kontribusi akan keberadaannya. Uraian ringkas tentang jenis dan sumber data yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis dan sumber data yang digunakan No. Jenis data Bentuk data Sumber Instrumen pengumpulan data yang dipakai 1. Data primer Struktur penerimaan Wawancara langsung Kuesioner Biaya produksi Wawancara langsung Kuesioner Harga garam Wawancara langsung Kuesioner Persepsi para pelaku usaha Wawancara langsung Kuesioner 2. Data sekunder Jumlah produksi Kemenperin Literatur Jumlah petani garam Kemenperin Literatur Luas lahan tambak DKP Kabupaten Sumenep Literatur Bentuk kerjasama yang ada DKP Kabupaten Sumenep Literatur Lembaga terkait usaha garam DKP Kabupaten Sumenep Literatur Metode Pengambilan Contoh Metode pengambilan contoh yang diterapkan pada penelitian ini adalah teknik pengambilan contoh secara sengaja purposive sampling dengan memilih sendiri pihak-pihak yang menjadi responden, responden yang digunakan adalah para pelaku usaha garam di Kabupaten Sumenep. Adapun pihak-pihak yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah petani garam sebanyak 30 orang dengan 3 kriteria yaitu pemilik sekaligus penggarap, pemilik dengan penggarap, dan penyewa lahan dengan penggarap, pengurus Koperasi Astagina sebanyak 4 orang, pedagang pengumpul sebanyak 3 orang dan 2 orang perwakilan dari PT Garam Persero. Metode Analisis Data Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan beberapa alat analisis data sesuai dengan data dan informasi yang diperoleh. Analisis data yang digunakan sebagai kriteria dalam penentuan pola kemitraan adalah sebagai berikut : Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah suatu metode yang meneliti suatu objek pada masa sekarang. Tujuan dari analisis deskriptif ini adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Analisis deskriptif disini adalah menggambarkan bagaimana karakteristik dari para pelaku, menggambarkan mekanisme dari pola kerjasama yang ada, dan biaya-biaya yang dikeluarkan agar terciptanya pola kemitraan. Untuk statistik deskripsi akan menggambarkan jumlah rata-rata produksi garam dan data rata-rata harga jual garam dengan menggunakan tabulasi. Analisis Pendapatan Usahatani Garam Analisis pendapatan dilakukan untuk mengukur keberhasilan usahatani yang dilakukan oleh petani garam dalam mengelola usaha garamnya. Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan total dengan pengeluaran biaya total Secara matematis pendapatan total usaha garam dapat dirumuskan sebagai berikut : π = TR - TC Keterangan : π = Pendapatan usahatani garam Rppanen TR = Total penerimaan usahatani Rppanen TC = Total biaya biaya tetap + biaya variabel Untuk mengetahui apakah pola Contract Farming Kemitraan yang dibangun layak atau tidak layak, maka dilakukan analisis Benefit-Cost Ratio BC. BC ratio digunakan sebagai ukuran kinerja atau kriteria investasi yang diturunkan dari filosofi “Utilitarianism” yang mengatakan bahwa tindakan perubahan yang baru adalah baik bila manfaat ekonominya lebih besar dari biaya ekonominya. Perhitungan BC ratio dapat dihitung dengan rumus Soekartawi, 2002 berikut : B C = � � Bt 1 + �� � �=1 � �� Ct 1 + �� � �=� � Kriteria yang dapat digunakan berdasarkan BC adalah a jika nilai BC 1 berarti memberikan manfaatlayak untuk dijalankan b jika nilai BC 1 berarti tidak memberikan manfaattidak layak untuk dijalankan dan c jika nilai BC = 1, maka keputusan tergantung pada investor proyek tidak rugi dan untung. Dikarenakan rumus BC ratio yang digunakan hanya untuk melihat kinerja perubahan dari sebuah kelembagaan, maka tidak diperlukan kajian pengaruh waktu time value of money, maka rumus analisis BC ratio Samadi, 2007 4 yang digunakan adalah B C = Pendapatan TR − TC Biaya TC 4 www.books.google.co.id Biaya Transaksi TrC Biaya transaksi adalah biaya yang ditimbulkan dalam melakukan transaksi ekonomi. Secara umum, menurut North Thomas dalam Anggraini 2005, komponen umum biaya transaksi yang akan diperhitungkan dalam usaha garam mencakup: 1 biaya untuk mencari informasi, dalam hal ini biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh informasi mengenai harga, kualitas garam dan variasi dari garam berdasarkan kualitas; 2 biaya pembuatan kontrak, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk melegalkan kontak biaya notaris oleh petani garam maupun pihak mitra sehingga terjadinya kemitraan ; 3 biaya pelaksanaan, biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan suatu kontraktransaksi. TrCj= ∑ Zij Keterangan : TrCj = Total biaya transaski Rptahun Zij = Komponen biaya transasksi Rptahun Biaya Penyusutan Biaya penyusutan peralatan usaha garam dihitung dengan menggunakan metode garis lurus straight line method dengan asumsi peralatan setelah umur teknis habis tidak dapat digunakan lagi dan tidak dapat dijual kembali. Biaya penyusutan digunakan untuk melihat berapa biaya tetap yang dikeluarkan oleh petani garam. Perumusan Model Kemitraan Kemitraan yang ideal menurut Vermulen dan Cotula 2011 adalah terciptanya kesetaraan dalam pengambilan keputusan, pembagian risiko dan distribusi keuntungan yang proporsional. Konsep kemitraan yang dilandasi rasa tanggung jawab dalam hubungan saling menguntungkan, sudah barang tentu akan membuahkan keberhasilan yang dirasakan bersama. Pola kemitraan yang baik ideal tentu saja adalah hubungan kerja yang menunjukkan persamaan hak kedudukan yang sama. Saling menguntungkan dan saling bahu-membahu. Sehingga dengan demikian tidak ada yang merasa paling superior, paling dominan, dan lain-lain. Untuk merumuskan model kemitraan yang ideal pada penelitian, maka didasarkan pada kriteria yang ada dalam konsep kemitraan ideal menurut Eaton dan Sheperd 2001 yang antara lain adalah : 1. Penetapan harga di awal kontrak 2. Transfer keterampilan dan tehnologi 3. Penentuan kualitas produksi 4. Adanya penyuluhan secara teknis 5. Kemudahan untuk akses kredit 6. Tersedianya pasar 7. Ketersediaan input 8. Penyelesaian sengketa 9. Petani tergabung dalam organisasi atau asosiasi