Persentase tutupan karang Kajian Potensi Sumberdaya Pesisir Untuk Pengembangan Ekowisata Berbasis Pulau-Pulau Kecil Di Pulau Sayafi Dan Liwo Provinsi Maluku Utara.
Tabel 2 Matriks kesesuain ekowisata bahari kategori wisata snorkeling
No Parameter
Bobot Kategori dan Skor
3 2
1 S1
S2 S3
N 1.
2. 3.
4. 5.
6. 7.
Kecerahan perairan Tutupan komunitas
karang Jenis Life form
Jenis ikan karang Kecepatan arus
mdet Kedalaman terumbu
karang m Lebar hamparan datar
karang m 5
5 3
3 1
1 1
100 75
12 50
0-15 1-3
500 80-100
50-75 7-12
30-50 15-30
3-6 100-500
20-80 25-50
4-7 10-30
30-50 6-10
20-100 20
25 4
10 50
10 1 20
Keterangan: Skor x Bobot = Nilai Maksimum 57; Sumber: Yulianda 2007
Tabel 3 Matriks kesesuain ekowisata pantai kategori rekreasi
No Parameter
Bobot Kategori dan Skor
3 2
1 S1
S2 S3
N 1.
2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9. 10.
Kedalaman perairan m Tipe pantai
Lebar pantai m Material dasar perairan
Kecepatan arus mdt Kemiringan pantai
Kecerahan perairan m Penutupan lahan pantai
Biota berbahaya Ketersedian air tawar
jarakkm 5
5
5 3
3 3
1 1
1 1
0-3 Pasir putih
15 Pasir
0-0.17 10
75 Kelapa,
lahan terbuka
Tidak ada 0.5 km
3-6 Pasir putih, sdkt
karang 10-15
Karang berpasir 0.17-0.34
10-25 50-57
Semak, belukar, rendah, savanna
Bulu babi 0.5-1 km
6-10 Pasir
hitam,karang, sdkt terjal
3-10 Pasir berlumpur
0.34-0.51 25-45
20-50 Belukar tinggi
Bulu babi, ikan pari
1-2 10
Lumpur, berbatu, terjal
3 Lumpur
0.51 45
20 Hutan bakau,
pemukiman, Pelabuhn
Bulu babi, ikan pari, lepu, hiu
2 Keterangan: Skor x Bobot = Nilai Maksimum 84;
Sumber: Yulianda 2007
Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai kesesuaian wisata pantai
dan wisata bahari adalah Yulianda et al. 2010:
IKW = ∑ [Nᵢ Nmaks]x ................................................................ 7
Keterangan:
IKW = Indeks kesesuaian wisata N
i
= Nilai parameter ke-i Bobot x Skor N
maks
= Nilai maksimum dari suatu kategotri wisata
Dalam penelitian ini untuk pembagian kelas kesesuaian dibagi menjadi tiga kelas kesesuaian yaitu: sangat sesuai S1, sesuai S2 dan tidak sesuai TS. Ketiga
kelas kesesuaian tersebut dapat didefenisikan sebagai berikut: Kelas S1: Sangat sesuai, dengan IKW 83-100
Pada kelas ini lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang
tidak secara nyata berpengaruh terhadap kegiatan atau hasil produksi.
Kelas S2: Sesuai, dengan IKW 50 - 83
Pada kelas ini lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan.
Pembatas akan mengurangi aktivitas atau produksi dan keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.
Kelas TS: Tidak sesuai, dengan IKW 50
Pada kelas ini lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka
panjang.
Analisis Sistem Informasi Geografis SIG
Untuk menentukan kelas kesesuaian lahan untuk kategori tertentu, maka dapat dilakukan dengan menghitung nilai interval kelas dari masing-masing nilai
kesesuaian lahan ekowisata. Dengan cara ini, kelas kesesuaian lahan ekowisata untuk kategori tertentu diperoleh. Setelah membandingkan nilai interval kelas,
selanjutnya pemetaan kelas kesesuaian menggunakan analisis keruangan spatial analysis. Dengan analisis ini akan dihasilkan peta
–peta kesesuain untuk berbagai kegiatan wisata pesisir dan laut di Pulau Sayafi dan Liwo. Dalam penelitian ini,
penggunaan analisis keruangan untuk mengidentifikasi pemanfaatan ruang dilakukan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis SIG dengan
menggunakan software arcgis.
Analisis Daya Dukung Kawasan
Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung ekowisata bahari dengan menggunakan konsep daya dukung kawasan DDK. DDK adalah jumlah
maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan
manusia. Perhitungan DDK dengan menggunakan rumus Yulianda et al. 2010.
DDK = K x Lp Lt x Wt Wp ................................................................... 8
Keterangan: DDK
= daya dukung kawasan K
= potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp
= luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt
= unit area untuk kategori tertentu Wt
= waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari Wp
= waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu.
Untuk melakukan kegiatan ekowisata di pulau kecil, setiap pengunjung akan memerlukan ruang gerak yang cukup luas untuk melakukan aktivitas wisata,
sehingga perlu adanya prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata. Nilai maksimum K per satuan unit area dan Lt untuk setiap kategori wisata
bahari serta waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Tabel 4 dan 5.
Tabel 4 Potensi ekologis pengunjung K dan luas area kegiatan Lt Jenis Kegiatan K orang Unit Area Lt
Keterangan Selam
Snorkling Rekreasi Pantai
2 1
1 2000 m
2
500 m
2
50 m Setiap 2 orang dalam 200m x 10m
Setiap 1 orang dalam 100m x 5m 1 orang setiap 50m panjang pantai
Sumber: Yulianda et al. 2010
Tabel 5 Waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Kegiatan
Waktu yang dibutuhkan Wp-jam
Total waktu 1 hari Wt-jam Selam
Snorkling Rekreasi pantai
2 3
3 8
6 6
Sumber: Yulianda et al. 2010
Analisis Daya Dukung Adaptif
Daya dukung adaptif DDA bertujuan untuk menilai kemampuan suatu ekosistem dalam mentolerir aktifitas pengunjung dalam pemanfaatan jenis kegiatan
tertentu. Untuk menghasilkan nilai DDA, terlebih dahulu harus memperoleh nilai DDK dan indeks dimensi setiap ekosistem. Perhitungan yang digunakan untuk
mengetahui nilai DDA dengan modifikasi persamaan Subur 2012:
DDAᵢ = DDKᵢ x IDEᵢ ................................................................................... 9
Keterangan: DDA ᵢ : Daya Dukung Adaptif ke-i; DDKᵢ : Daya Dukung Kawasan ke-i; IDEᵢ : Indeks
Dimensi Ekosistem ke-i.
Analisis Strategi Pengelolaan
Analisis strategi yang digunakan dalam pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo berbasis pada aspek lingkungan. Analisis strategi yang
berbasis pada aspek lingkungan di harapkan mampu menjaga keberlangsungan ekologi dan makhluk hidup di lingkungan sekitarnya. Pada aspek ini, basis
sumberdaya pesisir dan laut memegang peranan penting dalam pengembangan ekowisata bahari. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pengelolaan ekowisata bahari, maka analisis strategi didasarkan pada data-data yang diproses melalui pengelompokkan data, dan klasifikasi urutan permasalahan
dan klasifikasi faktor internal dan eksternal. Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT adalah sebagai berikut:
a. Analisis matriks internal factor evaluation IFE dan external factor evaluation EFE
Penilaian internal factor evaluation IFE untuk mengetahui sejauh mana pengaruh internal yang dimiliki oleh suatu kawasan ekowisata dengan cara
mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan. Penilaian external factor evaluation EFE untuk mengetahui sejauh mana pengaruh eksternal yang
dimiliki oleh suatu kawasan ekowisata dengan cara mendaftarkan semua ancaman dan peluang. Hasil identifikasi dari kedua faktor tersebut menjadi
faktor penentu dalam pemberian bobot dan peringkat atau rangking.
b. Pembobotan lingkungan internal dan eksternal Pembobotan pada lingkungan internal dan eksternal diberikan bobot dan nilai
rating berdasarkan variable dengan skala 1, 2, 3, dan 4 David 2002 yaitu: - Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal : 1
- Jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal : 2
- Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal : 3 - Jika indikator horizontal sangat penting dibandingkan indikator vertikal : 4
Bentuk pembobotan faktor strategis internal dan eksternal dapat dilihat pada lampiran 3. Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap
variabel terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus:
ai =
xi ∑
xi
n i=1
................................................................................................. 10
Keterangan: Ai = bobot variabel ke-i;
xi = nilai variabel ke-i; i
= 1, 2, 3,….n faktor internal;
i = 1, 2,
3,….n faktor eksternal; n
= jumlah variable.
Untuk nilai rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh respon faktor-faktor tersebut terhadap pengelolaan ekosistem pesisir di Pulau Sayafi dan
Liwo dengan ketentuan skala mulai dari nilai: 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = cukup penting, 1 = kurang penting. Variabel yang bersifat positif variabel
kekuatan atau peluang diberi nilai dari 1 sampai dengan 4 dengan membandingkan dengan rata-rata pesaing utama. Sedangkan variabel yang bersifat negatife
kebalikannya, jika kelemahan atau ancaman besar dibanding dengan rata-rata pesaing sejenis nilainya 1, sedangkan jika nilai ancaman kecil dibawah rata-rata
pesaing-pesaingnya nilainya 4. Kemudian kalikan antara bobot dengan nilai ratingnya dari masing-masing faktor untuk menentukan nilai skornya. lampiran 4.
Setelah selesai menyusun matriks IFE dan EFE, langkah selanjutnya adalah membuat matriks SWOT, dimana setiap unsur SWOT yang ada dihubungkan untuk
memperoleh alternatif strategi Rangkuti 2013 lampiran 5.
3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis dan Wilayah Administratif
Pulau Sayafi dan Pulau Liwo merupakan pulau-pulau kecil yang berada di bibir Samudera Pasifik sebelah timur Pulau Halmahera. Letak geografis Pulau
Sayafi berada pada posisi 128º49’41.9 BT - 0º31’41.9 LU dengan luas pulau
sebesar 19.689 km
2
, sedangkan Pulau Liwo terletak pada 128º52’12.0 BT -
0º28’12.0 LU dengan luas 2.199 km
2
. Keberadaan Pulau Sayafi dan Pulau Liwo sangat dekat dengan daratan Pulau
Halmahera. Perjalanan menuju Pulau Sayafi dan Pulau Liwo dengan jarak tempuh ±18 km dari ibukota Kecamatan Patani Utara yang dicapai melalui perjalanan laut
selama 1 satu jam dengan menggunakan perahu bermesin tempel. Pulau Sayafi
dan Pulau Liwo memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: -
Sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasifik -
Sebelah timur berbatasan dengan Kepulauan Raja Ampat -
Sebelah selatan berbatasan dengan Tanjung Ngolopopo -
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Timur Secara yuridis Pulau Sayafi dan Liwo termasuk dalam administratif wilayah
Kecamatan Patani Utara Kabupaten Halmahera Tengah, berdasarkan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1990 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II
Halmahera Tengah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3420; dan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2003 Tanggal 25 Februari 2003, dengan memekarkan wilayah Kabupaten Halmahera Tengah menjadi 2 dua kabupaten dan 1 satu kota yaitu:
Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan BPS 2013.
Kondisi Kependudukan
Secara administratif Pulau Sayafi dan Liwo merupakan pulau-pulau yang tidak berpenduduk. Pulau Sayafi dan Liwo dimanfaatkan oleh masyarakat lokal
yang berada di daratan Pulau Halmahera untuk melakukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya sebagai pemenuhan kebutuhan. Jumlah penduduk Kecamatan Patani
Utara sebanyak 8.765 jiwa yang tersebar di 12 Desa BPS 2013. Pada penelitian ini, hanya beberapa desa yang menjadi fokus penelitian untuk pengambilan data
tentang persepsi dan sejarah kawasan, karena masyarakat di desa-desa tersebut yang melakukan aktifitasnya di Pulau Sayafi dan Liwo. Adapun desa-desa tersebut
memiliki jumlah penduduk antara lain Desa Tepeleo Batu Dua dengan jumlah penduduk sebanyak 1.488 jiwa, Desa Tepeleo sebanyak 1.503 jiwa, Desa Gemia
sebanyak 1.579 jiwa, Desa Maliforo sebanyak 465 jiwa, dan Desa Pantura Jaya sebanyak 532 jiwa Tabel 6.
Tabel 6 Luas Desa dan Kondisi Penduduk
Desa Luas Desa
Km² Jumlah Rumah
Tangga Jumlah
Penduduk
Pantura Jaya 5.20
108 532
Tepeleo Batu Dua 8.10
345 1.488
Tepeleo 7.05
349 1.503
Maliforo 2.05
97 465
Gemia 4.05
312 1.579
Sumber: BPS 2013
Etnis yang mendiami wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di semenanjung Patani Utara adalah dari suku Patani, Maba, Tidore, Ambon, Tobelo, Makian,
Makassar dan Jawa. Interaksi antar suku dalam kehidupan keseharian sangat harmonis. Hal ini tercermin dalam setiap kegiatan desa yang dilakukan selalu
bersama-sama. Bahasa komunikasi sehari-hari yang berkembang di masyarakat adalah bahasa Patani dan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dalam
komunikasi dalam acara-acara formal, proses belajar mengajar di sekolah, serta komunikasi dengan suku-suku lain dari luar Patani. Mayoritas penduduk di
kecamatan Patani Utara adalah beragama Islam. Meskipun mayoritas masyarakat adalah muslim, namun masyarakat di Kecamatan Patani Utara sangat menjunjung
tinggi perbedaan agama lain.
Kondisi Sosial
Dalam penelitian ini, kondisi sosial yang diamati adalah karakteristik masyarakat dan persepsi mengenai ekowisata untuk pengembangan ekowisata
bahari. Responden dalam penelitian ini berjumlah 50 orang yang tersebar pada 5 lima Desa. Penyebaran kuesioner dilapangan, berdasarkan jenis kelamin
didominasi oleh laki-laki. Hal ini karena dalam kultur masyarakat Patani Utara masih sangat kental dengan adat, dan menganggap bahwa kaum laki-laki yang lebih
bertanggung jawab untuk menerima tamu dalam suatu keluarga gambar 6.
Gambar 6 Persentase responden berdasarkan jenis kelamin
39
11 5
10 15
20 25
30 35
40 45
L P
P er
sen tase
Hasil pengamatan responden menunjukkan persentase tingkat pendidikan SD memiliki persentase paling tinggi dan yang paling rendah adalah tingkat pendidikan
SLTA Gambar 7.
Gambar 7 Tingkat pendidikan responden Gambar 7 diatas memperlihatkan angka persentase tertinggi terdapat pada
tingkat pendidikan SD, dengan rata-rata umur responden berkisar antara 30 – 57
tahun. Tingkat pendidikan yang rendah sangat berpengaruh pada pemahaman masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat pendidikan yang rendah juga memperlihatkan dominasi pada jenis pekerjaan responden sebagai petani Gambar
8.
Gambar 8 Persentase jenis pekerjaan Hasil pengamatan berdasarkan kuesioner yang di dapat dari responden,
memperlihatkan bahwa jenis pekerjaan dengan persentase tertinggi terdapat pada jenis pekerjaan sebagai tani dengan angka persentase 28, dan yang terendah
berada pada jenis pekerjaan sebagai honorer. Dominasi jenis pekerjaan sebagai tani karena sebagian besar mata pencaharian masyarakat di Patani Utara adalah petani.
Tingkat pendidikan yang rendah serta ketersedian lapangan kerja yang minim, menjadi faktor pembatas bagi masyarakat untuk beralih pekerjaan. Sebagian besar
24
9 5
12 5
10 15
20 25
30
SD SLTP
SLTA S1
Pendidikan P
er sen
tase
28
8 4
7 3
5 10
15 20
25 30
P er
sen tase
jenis pekerjaan utama masyarakat adalah petani yang bergantung pada musim, maka masyarakat juga memiliki jenis pekerjaan sampingan yang berfariasi antara
lain sebagai nelayan, peternak, ojeg dan buruh bangunan.
Meskipun persentase jenis pekerjaan sebagai tani, akan tetapi tingkat pendapatan masyarakat masih berada pada kisaran antara Rp.500.000-1 Juta bulan.
Namun demikian tingkat pendapatan masyarakat juga masih kurang dari Rp.500.000 bulan, sedangkan pendapatan di atas Rp.2 Juta bulan sebagian besar
terdapat pada kalangan PNS dan wiraswasta. Hal ini karena selain memiliki jenis pekerjaan utama juga terdapat jenis pekerjaan sampingan Gambar 9.
Gambar 9 Tingkat pendapatan responden
Sistem Kebudayaan
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki pulau-pulau yang tersebar dari Sabang sampai Meraoke, Indonesia pun dikenal dengan memiliki banyak suku adat
dan istiadat yang berkembang di masyarakatnya. Perbedaan suku, adat-istiadat menjadi satu kesatuan kekuatan dalam bingkai Negara Republik Indonesia.
Menjadi bagian terkecil dari sekian banyak suku, adat istiadat yang ada, masyarakat di kecamatan Patani Utara juga merupakan miniatur kekuatan yang membudaya
sejak zaman nenek moyang mereka.
Desain ekowisata yang berorientasi kultural menjadi komponen penting dalam pembangunan ekowisata. Dalam kajian budaya di wilayah pemerintahan
Halmahera Tengah terlihat bahwa masyarakatnya sangat beragam. Beberapa hal yang mempengaruhi keberagaman atau pluralitas dari masyarakat Halmahera
tengah adalah: a Berdasarkan sejarah, wilayah Halmahera Tengah termasuk dalam pemerintahan
Kesultanan Tidore, kondisi ini membuat masyarakatnya dominan dan taat menjalankan ajaran Agama Islam.
b Dengan perkembangan Kesultanan Tidore sejak awal di wilayah Halmahera Tengah telah berdiam kelompok masyarakat di wilayah Patani, Weda dan Maba.
Masyarakat atau daerah ini dikenal dengan sebutan Gamrange.
15 31
4 5
10 15
20 25
30 35
500 Ribu 500.000
–1 Juta 2 Juta
P er
se n
ta se
c Dalam perkembangannnya masyarakat di wilayah Halmahera Tengah dalam sistem kehidupan sehari-hari diwarnai dengan sistem kekerabatan dan ikatan
yang kuat yang disebut dengan Fagogoru. Fagogoru sendiri artinya adalah baku sayang atau saling menyayangi.
Beberapa budaya yang sarat dengan keagamaan seperti budaya Cokaiba Fanten dan tarian Lalayon adalah dua budaya yang umumnya dipraktekkan dalam
kehidupan masyarakat lokalasli Halmahera Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun terjadi akuluturasi antar budaya dari semua suku yang ada, namun budaya
lokal masih tetap dipertahankan dan dipraktekkan hingga saat ini DKP Provinsi Maluku Utara 2008 Gambar 10.
Cokaiba
Tarian Lalayon
Sumber : Dok. Pribadi 2014 Sumber : DISBUDPAR Halteng 2009
Gambar 10 Jenis Budaya, Cokaiba dan Tarian Lalayon a. Cokaiba Fanten
Cokaiba merupakan sebuah rangkaian atraksi budaya yang kerap diadakan oleh masyarakat Weda, Patani dan Maba pada saat bulan Rabiul Awal.
Di zaman kesultanan, Cokaiba merupakan pasukan perang elit Gam range yang ditugaskan menyamar dengan menggunakan topeng. Kini, Cokaiba kemudian
menjadi sebuah atraksi budaya yang dilakukan pada saat perayaan fanten. Dalam menjalankan atraksinya para pelakon Cokaiba menggunakan topeng
menyerupai setan dan menari-nari diiringi tabuhan rebana dan alunan suara zikir yang dilantunkan oleh peserta fanten.
Cokaiba adalah perlambangan atas kegembiraan alam termasuk setan dan iblis yang turut bersuka cita atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Fanten
merupakan sebuah perayaan yang bermakna saling memberi tanpa pamrih dengan tujuan untuk memupuk rasa persaudaraan antar sesama masyarakat
Gam range tiga negeri. Konon kata fanten ini di awal perayaannya kemudian melahirkan sumpah leluhur Gam range yang terkenal dengan slogan Fagogoru.
Dalam perayaan fanten masyarakat secara bergantian menyajikan makanan untuk disantap oleh saudaranya yang kemudian akan di balas saudaranya ini
dengan menyediakan hidangan yang sama pada keesokan harinya.
Puncak perayaan fanten pada tanggal 12 Rabiulawal dimana pada hari itu, diadakan zikir semalam suntuk dimulai setelah shalat Isya hingga fajar
merekah di ufuk timur DISBUDPAR Halmahera Tengah 2009. b. Tarian Lalayon
Lalayon berasal dari asal kata “Laila” diambil dari ucapan zikir seorang
mubaligh Islam dari kalimat “Lailahaillallah” yang artinya; tiada tuhan selain
Allah. Pada saat itu terjadi suatu peristiwa dalam satu keluarga yang mengakibatkan meninggalnya sang isteri dan anaknya, sehingga sang suami
menghibur hatinya dengan zikir.
Secara etimologi dalam bahasa Patani mengandung makna sebagai sebuah meja hidangan yang sering dilakukan pada upacara adat lainnya. Dari
kisah itulah muncullah tarian lala dalam catatan sejarah masyarakat Gam range, dengan demikian lala menjadi tarian tradisional yang dimainkan atau
dipentaskan dalam bentuk kelompok dengan jumlah besar, bahkan sering dimainkan sampai delapan orang diantarannya empat orang pria dan empat
orang wanita, baik orang dewasa maupun remaja dan anak-anak. Dalam konteks tertentu lala juga bisa dipentaskan hanya dengan jumlah empat orang, yang
terdiri dari dua pria dan dua wanita. Tarian lala muncul bersamaan dengan berdirinya negeri Gam range tiga negeri bersaudara Weda, Patani dan Maba.
Maba adalah putera tertua dari ketiga bersaudara, Patani dan Weda. Tarian lalayon merupakan tarian khas masyarakat Gam range yang mengandung
unsur-unsur religius atau nilai-nilai islami yang berkembang hingga sekarang. Tarian lalayon dijadikan sebagai sarana budaya mempertemukan dan
menyatukan masyarakat Maba, Patani dan Weda.
Tarian lalayon merupakan sebuah tarian tradisional yang dipergunakan pada saat-saat tertentu, misalnya acara perkawinan, perayaan-perayaan adat dan
pada saat menyambut tamu yang dihormati. Biasanya tarian ini dilakukan berpasang-pasangan dan umumnya dilakoni oleh beberapa pasang pria dan
wanita sebagai sebuah tarian pergaulan masyarakat Gam range. Kini, tarian lala sering ditampilkan pada saat menjemput tamu-tamu daerah DISBUDPAR
Halmahera Tengah 2009.
Sejarah Kepemilikan dan Penamaan Pulau Sayafi dan Liwo Sejarah Kepemilikan.
Bermula dari sejarah asal-usul kepemilikan Pulau Sayafi dan Liwo secara sah menurut hukum adat masyarakat Patani. Sebelum
pengesahan kepemilikan Pulau Sayafi dan Liwo, awal mulanya telah terjadi sengketa kepemilikan Pulau Sayafi dan Liwo, antara masyarakat Desa Bicoli,
Gemia dan masyarakat Tepeleo. Karena telah terjadi sengketa dan klaim kepemilikian pulau, maka lahirlah musyawarah atau rekonsiliasi dengan satu
kesepakatan untuk menentukan moment penting yang di namakan
“Falipes” dalam bahasa lokal masyarakat Patani yang artinya perebutan. Isi kesepakatan dalam
moment “Falipes” yaitu siapa yang duluan tiba dan mengetahui nama tumbuh-
tumbuhan SDA di kedua pulau tersebut dan langsung mengetuk Gong, maka mereka akan berhak memiliki kedua pulau tersebut. Setelah ditetapkan kesepakatan
tersebut, ivent perebutan “Falipes” pun dilakukan.
Berlangsungnya ivent “Falipes”, untuk menentukan hak kepemilikan pulau,
dalam perjalanan menuju Pulau Sayafi dan Liwo, ternyata yang datang lebih awal di kedua pulau tersebut adalah masyarakat dari Desa Bicoli dan langsung menuju
ke dusun Botolo dan Biawsowo, menyusul masyarakat dari Desa Gemia, mereka langsung menuju ke dusun Nyinyen Wolot, sementara masyarakat dari Desa
Tepeleo yang datang paling terakhir langsung menuju ke dusun Piyasili.
Masyarakat dari Desa Bicoli datang lebih awal, karena secara geografis Desa Bicoli memiliki jarak lebih dekat menuju ke pulau Sayafi dan Liwo. Sedangkan
masyarakat dari Desa Gemia dan Desa Tepeleo memiliki jarak tempuh sama, namun yang datang kedua setelah Bicoli adalah masyarakat dari Desa Gemia.
Setibanya mereka di Pulau Sayafi dan Liwo, nampaknya potensi sumberdaya alam yang melimpah, membuat masyarakat dari Desa Bicoli dan Desa Gemia terjebak
dengan potensi alam yang ada di kedua pulau tersebut, sehinnga mereka kemudian mengabaikan kesepakatan dalam
ivent “Falipes” dan tetap berada di pesisir pantai Pulau Sayafi dan Liwo. Sementara masyarakat dari Desa Tepeleo yang datang
paling terakhir langsung menuju ke hutan Pulau Sayafi dan langsung mengidentifikasi jenis-jenis pohon SDA. Setelah sesudah mengidentifikasi nama-
nama pohon di hutan, mereka langsung mengetuk Gong, sebagai tanda mereka telah berada di Pulau Sayafi dan Liwo. Berdasarkan kesepakatan tersebut diatas, maka
hak asal-usul kepemilikan secara sah menurut hukum adat, Pulau Sayafi dan Liwo menjadi hak milik masyarakat Desa Tepeleo.
Penamaan. Secara etimologi kata Sayafi berasal dari dua suku kata yaitu
“Sa” dan
“Ip”. Kata “Sa” dalam bahasa lokal masyarakat Patani artinya karang dan “Ip” artinya tumpukan sampah yang berserakan dan terbawa oleh arus air laut. Jadi
tumpukan-tumpukan sampah yang terbawa oleh arus air laut ke permukaan karang yang lama-kelamaan kemudian terbentuklah pulau-pulau kecil. Sedangkan kata
Liwo ditinjau dari aspek penamaan, juga berasal dari bahasa lokal masyarakat Patani yang terdapat dalam dua suku kata yaitu
“Li” artinya bunyi dan “Wo” artinya akar. Bengen et al. 2012 mengatakan bahwa tipe pulau yang dimaksud
seperti pada pengertian secara etimologi di atas adalah termasuk dalam tipe pulau karang timbul Raised Coral Island pulau yang terbentuk oleh terumbu karang
yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas uplift dan gerakan ke bawah subsidence dari dasar laut akibat proses geologi. Pada saat dasar
laut berada dekat permukaan kurang dari 40 m, terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah
berada di atas permukaan air laut, karang akan mati dan menyisakan terumbu. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pada
umumnya karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah dipegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun
non-vulkanik.
Penggabungan dua suku kata “Sa” dan “Ip”, menjadi sebutan nama pulau
dalam bahasa lokal masyarakat Patani yaitu “Sayif”. Nama “Sayif” bahkan lebih dikenal oleh masyarakat Bicoli dan Buli di Halmahera Timur dan di Papua
khususnya suku Has dan Maga Kecamatan Penginabuan. Sedangkan nama Liwo
“Li” dan “Wo” lebih ditinjau pada aspek penamaan yaitu “Li” artinya bunyi dan
“Wo” artinya akar, sehingga sebutan nama pulau lebih dikenal dengan nama Liwo. Secara nasional nama kedua pulau tersebut adalah “Sayafi dan Liwo”.
Hasil wawancara; Bapak. Basir Hi.Salasa Aparat Pemerintah Desa Tepeleo Batu Dua, dan Bapak. Julfian Hi.Usman Toko Masyarakat Peduli Pulau Sayafi dan
Liwo.
Sarana dan Prasarana
Pulau Sayafi dan Liwo merupakan “dapur” bagi masyarakat yang berada di
Kecamatan Patani Utara mainland daratan Pulau Halmahera, karena memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber kebutuhannya.
Sarana dan prasarana yang ada di Pulau Sayafi dan Pulau Liwo masih sangat terbatas. Namun demikian, beberapa sarana telah di bangun di Pulau Sayafi seperti
pelabuhan yang terbuat dari kayu, fasilitas WC umum MCK dengan kondisi tidak layak pakai, dan pada tahun 2014, melalui Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Halmahera Tengah telah membangun Pos Jaga 02 di Pulau Sayafi. Sarana prasarana lain yang menjadi bagian penting dalam pengembangan kawasan
Pulau Sayafi dan Liwo sebagai ekowisata bahari belum tersedia seperti air bersih, listrik, komunikasi dan lain-lain Gambar 11.
Gambar 11 Sarana dan Prasarana di Pulau Sayafi
Sumber: Dok. Pribadi, 2014 By. Khis, 2014
By. Khis, 2014
By. Khis, 2014 By. Khis, 2014
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Fisik Perairan
Parameter fisik lingkungan perairan Pulau Sayafi dan Pulau Liwo yang diamati adalah parameter perairan yang mempengaruhi berkembangnya terumbu
karang di perairan seperti suhu, salinitas, kecerahan dan arus. Menurut Suharsono 2008 pertumbuhan, penutupan dan kecepatan tumbuh karang sangat di pengaruhi
oleh faktor fisik lingkungan perairan. Faktor utama yang mempengaruhi sebaran vertikal terumbu karang adalah intensitas cahaya, oksigen, suhu dan kecerahan air.
Pengukuran parameter fisik perairan di Pulau Sayafi dan Liwo menunjukkan kondisi perairan termasuk dalam kategori baik Tabel 7.
Tabel 7 Parameter Fisik Perairan
Pulau Lokasi
Pengamatan Parameter
Suhu C
Salinitas ‰
Kecerahan Arus
mdt Kedalaman
m Liwo
Mandawalai Liwobumdi
28 28
34.8 34.5
87 89
0.05 0.11
8 4
Sayafi Bucili
Sowlolol Kesusah
Piyasili 29
27 28
28 34.9
34.9 34.9
34.7 89
86 89
90 0.43
0.06 0.24
0.07 10
4 6
8
Hasil pengukuran suhu perairan selama pengambilan data dilakukan, diperoleh nilai berkisar antara 27
C hingga 29 C. Nilai parameter suhu perairan
secara umum menunjukkan fenomena alami, dimana makin tinggi pergerakan matahari memberikan nilai yang lebih besar. Secara umum Nybakken 1988
menjelaskan kisaran suhu untuk pertumbuhan terumbu karang yang dapat tumbuh subur dan mendekati ekstrim dan masih dapat di tolerir berada pada suhu antara
23
C – 25
C dan pada suhu ekstrim yang masih dapat ditolerir berkisar antara 36 C
– 40 C. Selanjutnya Romimohtarto 2009 menjelaskan bahwa bagian terbesar
karang pembangun terumbu memerlukan suhu air terendah 20ºC untuk hidup. Hasil penelitian Pemerintah Daerah Halmahera Tengah Pemda Halteng dan Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor LPPM-IPB pada tahun 2013, memperlihatkan gambaran sebaran suhu permukaan laut rata-rata tiga
bulanan yang mewakili musim yang ada diperairan Halmahera Tengah dan sekitarnya, masih berada pada suhu yang dapat mentolerir pertumbuhan karang
Gambar 12.
Gambar 12 Sebaran suhu permukaan laut rata-rata 3 bulanan
Sumber: Pemda Halteng dan LPPM-IPB 2013
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai. Hasil pengukuran salinitas
di enam lokasi pengamatan berada pada kisaran 34 ‰. Nilai parameter suhu
perairan dari hasil pengukuran, secara umum menujukkan fenomena alami, dimana makin tinggi pergerakan matahari memberikan nilai yang lebih besar. Hewan
karang mempunyai toleransi terhadap salinitas sekitar 27-40 ‰. Perairan estuari
atau daerah sekitar kuala dapat mempunyai struktur salinitas yang kompleks, karena selain merupakan pertemuan antara air tawar yang relatif ringan dan air laut yang
lebih berat, juga pengadukan air sangat menentukan Nontji 2009. Suatu perairan dengan dominasi komunitas mangrove umumnya massa air yang masuk ke perairan
laut outflow memiliki kadar garam yang relatif lebih rendah rata-rata 32
‰ dibandingkan kadar pada perairan dengan substrat berbatu berkisar 32
–35‰ DKP Provinsi Malut 2012. Hal ini juga dipengaruhi karena tidak adanya muara sungai
yang mengalir langsung ke perairan laut Pulau Sayafi dan Liwo. Kecerahan perairan di Pulau Sayafi dan Pulau Liwo dari hasil pengukuran
berkisar antara 86 –90 dengan kedalaman 9 meter – 10 meter. pengukuran
parameter kecerahan perairan dilakukan pada waktu siang hari dengan kondisi cuaca cerah dan tidak berombak. Pengukuran tingkat kecerahan pada kolom air
untuk melihat kemampuan suatu perairan dalam meloloskan cahaya matahari. Menurut Romimohtarto 2009 menjelaskan bahwa bagi hewan laut, cahaya
mempunyai pengaruh terbesar secara tidak langsung sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi tumpuan hidup karena menjadi
sumber makanan. Nybakken 1998 juga menambahkan bahwa tingkat kecerahan dengan kondisi perairan yang jernih dan cahaya yang cukup, tentu menjadi faktor
paling penting untuk proses fotosintesis.
Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut atau pasang surut Nontji 2009.
Pola arus yang terjadi di sekitar wilayah perairan Halmahera Tengah menunjukkan pola yang berfluktuasi. Pola fluktuasi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh
pergerakan masa air di laut Samudera Pasifik untuk wilayah sekitar khatulistiwa DKP Provinsi Maluku Utara 2008. Hasil pengukurun kecepatan arus di Pulau
Sayafi dan Pulau Liwo berada pada kisaran 0.05 –0.43 mdetik. Faktor arus dapat
bersifat positif dan negatif bagi pertumbuhan karang. Bersifat positif apabila membawa nutrien dan bahan organik yang diperlukan oleh karang, sedangkan
berdampak negatif apabila menyebabkan sedimentasi dan menutupi permukaan karang. Sedimentasi dapat menyebabkan kematian karang Nybakken, 1998.
Kondisi Fisik Pantai
Secara morfologi karakter pantai yang ada di Pulau Sayafi adalah pantai bertebing dan pasir putih. Sedangkan di Pulau Liwo memiliki karakter pantai pasir
putih dengan lebar paparan datar pantai yang bervariasi antara 10 m hingga 30 meter dengan kedalaman 2
–10 meter. Vegetasi yang dominan di kedua pulau ini adalah kelapa dan cengkeh. Selain itu juga terdapat beberapa pohon pantai antara
lain cemara laut. Di sebelah timur kedua pulau tersebut terdapat karang yang cukup panjang yang berfungsi sebagai pengahalang ombak. Di pesisir pulau ini terlihat
hamparan pasir putih yang cukup potensial untuk dapat dikembangkan sebagai lokasi ekowisata bahari DKP Provinsi Maluku Utara 2008. Salah satu kriteria
dalam penentuan kawasan untuk jenis kegiatan wisata pantai untuk kesesuaian ekowisata pantai dapat dilihat pada tipe pantai dan penutupan lahan pantai yang
dapat mendukung penetapan suatu kawasan sebagai ekowisata pantai.
Kondisi Ekologis Terumbu Karang dan Ikan Karang
Pulau Sayafi dan Pulau Liwo memiliki ekosistem terumbu karang dengan ikan karang yang cukup melimpah. Komunitas perairan laut yang dangkal menutupi
kawasan Pulau Sayafi dan Pulau Liwo sebagai objek ekowisata bahari yang berpotensi untuk dimanfaatkan.
- Terumbu Karang
Formasi terumbu karang di Pulau Sayafi dan Pulau Liwo tergolong dalam tipe karang tepi fringing, dengan dataran karang yang bervariasi. Friging reef adalah
terumbu karang yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai Nurjanah et al. 2011. Terumbu karang tepi berada dekat dengan daratan dan berkembang di
sekeliling pulau-pulau kecil yang terdapat di daerah yang menerima pukulan ombak, sehingga menopang pertumbuhan karang dengan baik. English et al. 1997,
mengklasifikasi pertumbuhan karang kedalam enam kategori yaitu acropora, non- acropora, dead coral, abiotic, soft coral dan other. Untuk kepentingan analisis
ekowisata bahari, maka bentuk pertumbuhan karang seperti klasifikasi tersebut diatas, kemudian dikelompokkan menjadi 5 lima kategori berdasarkan data yang
ditemukan pada lokasi pengamatan, diantaranya hard coral, soft coral, dead coral, abiotic dan other. Kategori karang hidup terdiri dari acropora, non-acropora dan
soft coral, karang rusak teridiri dari dead coral, dead coral with algae, untuk abiotic terdiri dari san dan rubble sedangkan kategori other terdiri dari turf algae, bottle
brush dan assemblage.
Dalam pemanfaatan ekowisata bahari, tutupan karang tidak hanya menilai hard coral, tapi juga soft coral yang dikategorikan sebagai karang hidup. Tujuan
pengunjung dalam melakukan penyelaman tidak hanya sebatas untuk menikmati hard coral tetapi soft coral juga menjadi objek dalam wisata diving dan snorkeling.
Nontji 2009 menyatakan bahwa dari segi estetika terumbu karang yang masih utuh menampilkan pemandangan yang sangat indah, jarang dapat ditandingi oleh
ekosistem lain. Selanjutnya Irwan 2010, menambahkan bahwa soft coral dapat meningkatkan nilai estetika suatu kawasan dalam konteks pengembangan
ekowisata bahari Gambar 13.
Gambar 13 Persentase tutupan terumbu karang di Pulau Sayafi dan Pulau Liwo Gambar 13 memperlihatkan komposisi tutupan ekosistem terumbu karang di
Pulau Sayafi dan Liwo berada pada kategori bagus dan memuaskan. Namun demikian, pada beberapa titik pengamatan ditemukan karang dalam kondisi kurang
baik. Hasil penyelaman pada enam lokasi pengamatan ditemukan karang dalam kondisi rusak dead coral, seperti di Mandawalai dan Bucili. Persentase data
kerusakan dapat dilihat pada lampiran 5. Kerusakan karang tersebut diindikasikan karena terjadinya aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap
ikan yang tidak ramah lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya patahan-patahan karang dengan jumlah yang cukup besar. Pada tahun 2008 sebuah
penelitian yang dilakukan oleh DKP Provinsi Maluku Utara juga menemukan karang dengan kondisi rusak. Namun dalam laporan penelitiannya tidak
mencantumkan angka persentase tutupan karang hidup dan karang yang rusak. Selanjutnya DKP Provinsi Maluku Utara 2008, juga mengatakan bahwa
hancurnya karang di Pulau Sayafi dan Liwo lebih banyak diakibatkan oleh penggunaan bahan peledak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Gladstone et al.
2013 menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur pendukung ekowisata yang dibangun di daerah pesisir, secara tidak langsung dapat memberikan pengaruh
lingkungan dan ekosistem perairan laut.
Salah satu parameter penting dalam penentuan kelas kesesuaian ekowisata bahari untuk jenis kegiatan wisata diving dan snorkeling, adalah jenis lifeform. Jenis
lifeform yang digunakan dalam penentuan kegiatan ekowisata bahari diacu dalam
72 5
14 1
8 Hard coral
Soft Coral Abiotic
Dead Coral Other
Pulau Sayafi
70 1
13 13
3 Hard coral
Soft Coral Abiotic
Dead Coral Other
Pulau Liwo
English et al. 1997. Keseluruhan jenis lifeform yang ditemukan di enam lokasi pengamatan berjumlah 16 jenis lifeform. Jenis lifeform terbanyak di temukan di
Liwobumdi dan Bucili dengan jumlah lifeform masing-masing sebanyak 14. Lifeform terendah ditemukan di Mandawalai dan Kesusah dengan jumlah lifeform
sebanyak 12. Kehadiran jenis lifeform yang sama, sebagian besar ditemukan di semua lokasi pengamatan. Faktor fisik lingkungan perairan seperti suhu, salinitas,
kecerahan dan kecepatan arus pada lokasi pengamatan, menjadi parameter penting bagi pertumbuhan karang Nybakken 1988. Parameter fisik lingkungan perairan
pada lokasi pengamatan memiliki nilai perbedaan yang tidak terlalu signifikan.
Kehadiran acropora pada enam lokasi pengamatan terdiri dari branching, tabular, digitate dan submassive. Untuk non-acropora memiliki pertumbuhan yang
terdiri dari submassive, branching, massive, millepora dan foliose. Sedangkan kehadiran soft coral pada lokasi pengamatan hanya memiliki tutupan yang sedikit,
hal ini di pengaruhi oleh keberadaan pulau yang berhadapan langsung dengan samudera Pasifik, sehingga lebih dipengaruhi oleh tekanan arus dan pasang surut
air laut. Di sisi lain kondisi topografi terumbu karang yang berbentuk slope pada bagian dasar perairan yang terlindung dari kecepatan arus yang kuat, memberikan
peluang pada soft coral sehingga dapat tumbuh dengan baik.
Persentase dead coral yang diamati pada enam lokasi pengamatan hanya terdapat di Liwobumdi dan Bucili. Dead coral tertinggi terdapat di Liwobumdi
sebesar 25.61 dan di Bucili sebesar 4.70. Penutupan abiotic berdasarkan hasil pengamatan yang terdiri dari sand dan rubble, ditemukan persentase tertinggi
berada di Mandawalai, sebesar 15.67 dan yang terendah terdapat di Liwobumdi, 10.47. Jenis lifeform lain yang terdiri dari turf algae, bottle brush dan
assemblage termasuk dalam kategori other. Persentase penutupan tertinggi berada di Bucili, sebesar 15.66 dan terendah terdapat di Liwobumdi, dengan persentase
sebesar 2.39.
Persentase potensi ekosistem terumbu karang untuk pemanfaatan ekowisata bahari merupakan parameter penting kegiatan snorkeling dan diving. Yulianda et
al. 2010 menyebutkan bahwa untuk melihat kesesuaian ekowisata bahari dengan jenis kegiatan snorkeling dan diving, maka parameter tutupan komunitas karang
hidup hard coral dan soft coral harus memiliki angka persentase 50-75 yang termasuk dalam kategori sesuai dan persentase 75 sangat sesuai. Hal ini karena
salah satu tujuan pengunjung untuk wisata diving dan snorkeling adalah menikmati keindahan terumbu karang dan biota karang. Hasil analisis tutupan karang di Pulau
Sayafi memiliki persentase tutupan sebesar 76.9 sedangkan di Pulau Liwo memiliki angka persentase sebesar 71.6. Dengan demikian, persentase tutupan
karang di kedua pulau tersebut termasuk dalam kategori sesuai dan sangat sesuai.
- Ikan Karang
Ikan karang dan biota pengisi lainnya merupakan jantung dan hatinya terumbu karang. Ikan-ikan karang pada umumnya terdapat pada terumbu karang di
pulau-pulau yang memiliki perairan pantai yang jernih, kadar oksigen tinggi, bebas dari sedimen dan polusi serta limpasan air tawar yang berlebihan Nurjanah et al.
2011. Kehidupan di laut tidak akan berwarna-warni tanpa kehadiran biota-biota
pengisinya yang beranekaragam serta umumnya memiliki warna-warni cerah Setiawan 2011. Kehadiran biota laut yang hidup di ekosistem terumbu karang,
merupakan bagian dari objek pemandangan dalam melakukan wisata diving dan snorkeling.
Identifikasi ikan karang di enam lokasi pengamatan ditemukan sekitar 127 jenis ikan karang yang terdiri dari 21 famili lampiran 6. Jumlah individu terbanyak
ditemukan di Sowlolol dengan tingkat kelimpahan tertinggi sebesar 4.25 m
2
, yang di dominasi oleh famili Pomacentridae. Sedangkan jumlah individu terendah
dengan tingkat kepadatan terendah ditemukan di Liwobumdi, yaitu sebanyak 0.48 m
2
. Nurjanah et al. 2011 mengatakan bahwa kelimpahan ikan tertinggi dari famili Pomacentridae diindikasikan karena pola aktifitas ikan dari famili tersebut
cenderung aktif pada siang hari diurnal, untuk mencari makan dan tinggal di habitat terumbu karang dan memakan plankton yang terdapat di lingkungan
Gambar 14.
Gambar 14 Perbandingan kelimpahan ikan dan jumlah jenis ikan Kehadiran spesies ikan karang pada masing-masing stasiun beragam.
Keberagaman spesies ikan karang yang ditemukan di setiap lokasi pengamatan, menunjukkan di Kesusah memiliki jumlah spesies terbanyak dengan jumlah 59
spesies dengan total individu 211 ekorm
2
dari 14 famili. Piyasili berjumlah 58 spesies dengan jumlah individu sebanyak 268 ekorm
2
dari 14 famili, Mandawalai berjumlah 55 spesies dengan total individu 734 ekorm
2
dari 13 famili, Bucili berjumlah 54 spesies dengan total individu 364 ekorm
2
dari 15 famili, Sowlolol ditemukan sebanyak 50 spesies ikan dengan total individu 1063m
2
ekor dari 14 famili, dan jumlah spesies terendah ditemukan di Liwobumdi sebanyak 34 spesies,
dengan total individu 121 ekorm
2
dari 8 famili. Interaksi ikan karang dengan terumbu karang memiliki hubungan langsung sebagai tempat untuk mencari makan
dan tempat asuhan untuk berlindung dari predator yang dianggap akan membahayakan perkembangbiakan ikan-ikan yang masih kecil. Di Liwobumdi
memiliki total individu terendah, karena di lokasi ini, sebagian terumbu karangnya dalam kondisi rusak. Nybakken 1998 mengatakan bahwa salah satu penyebab
2,94 0,48
1,46 4,25
0,84 1,07
55 34
54 50
59 58
0,00 10,00
20,00 30,00
40,00 50,00
60,00 70,00
Mandawalai Liwobumdi Bucili
Sowlolol Kesusah
Piyasili Liwo
Sayafi
P er
b an
d in
g an
K el
imp ah
an I
k an
dan
∑ J eni
s i kan
Pulau Lokasi Pengamatan
Kelimpahan Ikan ∑ Jenis Ikan
tingginya keragaman spesies ikan di terumbu adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu.
Pengelompokan komunitas ikan karang juga di bagi ke dalam 3 tiga kategori jenis yaitu ikan indikator, target dan mayor. Ikan indikator merupakan jenis-jenis
ikan karang yang digunakan sebagai indikator kesehatan karang, ikan target adalah jenis-jenis ikan karang yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan sering ditangkap
oleh nelayan, dan ikan mayor merupakan ikan dengan jumlah yang sangat banyak, namun belum belum diketahui nilai ekonominya Nurjanah et al. 2011. Hasil
identifikasi memperlihatkan kategori jenis ikan mayor mendominasi semua lokasi pengamatan. Jumlah individu terbanyak terdapat di Sowlolol dengan jumlah 1003
ekorm
2
dari 92 spesies yang termasuk dalam kategori ikan mayor. Kehadiran ikan mayor yang mendominasi semua lokasi, di sebabkan karena sifat umum jenis ikan
ini hidup bergerombol dan berada dalam komunitas yang besar. Kategori jenis ikan karang target berada pada posisi kedua terbanyak dengan jumlah individu tertinggi
sebanyak 68 ekorm
2
yang terdapat di Mandawalai, dan jumlah terendah ditemukan sebanyak 2 dua ekorm
2
yang berada di Liwobumdi. Kategori jenis ikan indikator di temukan hanya dalam jumlah sedikit, akan tetapi kehadirannya hampir di semua
lokasi pengamatan. Hanya di Liwobumdi yang tidak ditemukan jenis ikan indikator. English et al. 1997 menjelaskan bahwa kehadiran jenis ikan indikator pada daerah
terumbu karang menunjukkan bahwa terumbu karang dalam kondisi subur. Dari hasil pengamatan, di Liwobumdi tidak ditemukan kategori jenis ikan indikator
karena pada stasiun tersebut kondisi karang dalam keadaan rusak dead coral Gambar 15.
Gambar 15 Kategori Jenis Ikan Karang Romimohtarto dan Juwana 2009 menjelaskan bahwa kehadiran beberapa
jenis ikan karang di daerah terumbu karang juga akan dapat terlihat hanya pada malam hari dan tidak terlihat pada siang hari. Selanjutanya Nybakken 1998 juga
menambahkan bahwa satu dari penemuan-penemuan yang menarik tentang ikan- ikan pada terumbu karang adalah perbedaan-perbedaan dalam ikan-ikan antara
siang dan malam. Perbedaan tersebut antara lain diurnal; ikan karang yang aktif di siang hari dan tidak terlihat pada malam hari, dan kedua yaitu nokturnal; beberapa
spesies ikan karang yang dapat terlihat aktif pada malam hari.
5 1
1 9
8 68
2 43
59 37
20 661
119 320
1003
165 240
200 400
600 800
1000 1200
Mandawalai Liwobumdi Bucili
Sowlolol Kesusah
Piyasili Liwo
Sayafi
Ju ml
ah ek
o r
m²
INDIKATOR TARGET
MAYOR
Kehadiran beberapa jenis ikan di lokasi pengamatan termasuk di kenal sebagai ikan pemangsa. Spesies-spesies ikan tersebut termasuk dalam famili
Balistidae, Chaetodonitidae, Scaridae dan Tetraodonitidae. Ikan predator yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan terlihat hanya dalam jumlah yang sedikit.
Pada hasil analisis memperlihatkan kehadiran famili Balistidae berjumlah 26 ekor, famili Chaetodontidae berjumlah 24 ekor, famili Scaridae berjumlah 1 satu ekor,
dan kehadiran famili Tetraodontidae berjumlah 6 enam ekor. Kehadiran ikan predator di setiap lokasi pengamatan memiliki variasi, namun hanya famili
Scaridae yang ditemukan di Kesusah. Romimohtarto dan Juwana 2009 mengatakan bahwa semua jenis ikan karang masuk ke dalam jaringan makanan
dalam beberapa cara sehingga terdapat keseimbangan yang rumit dari hubungan- hubungan mangsa-dimangsa. Proses pemangsaan yang terjadi lebih dipengaruhi
oleh ketersedian makanan dan kebutuhan ruang untuk perkembang biakan.
Potensi ekosistem terumbu karang dengan keanekaragaman jenis ikan karang pada suatu perairan merupakan satu kesatuan ekosistem yang mempunyai nilai
estetika yang tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai obyek ekowisata bahari. Nontji 2009 mengatakan bahwa pentingnya terumbu karang sebagai ekosistem maupun
sebagai sumberdaya ekonomi adalah alasan untuk menjaga kelestariannya. Dalam kajian pemanfaatan ekowisata bahari, untuk menentukan kelas kesesuaian kegiatan
diving dan snorkeling, maka parameter penutupan karang dan jumlah jenis ikan karang menjadi sangat penting untuk di analisa.
Kapasitas Adaptif Ekosistem Terumbu Karang
Perhitungan kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang dilakukan dengan menggunakan tujuh parameter yaitu indeks dimensi terumbu karang, tutupan
karang , dominasi lifeform, jumlah jenis lifeform, jumlah spesies ikan karang, kedalaman terumbu karang m dan jarak dari pemukiman km Tabel 8.
Tabel 8 Kapasitas ekosistem terumbu karang
Pulau Lokasi
Pengamatan Komponen
IDTK PTTK
DL JJL
JJIK KDTK
JEPP KPTK
Liwo Mandawalai
0.5 81.71
ACB 12
55 1-8
± 20 0.69
Liwobumdi 0.4
61.53 ACB
14 34
1-4 ± 21
0.59 Sayafi
Bucili 0.3
65.60 CM
14 54
1-10 ± 20
0.70 Sowlolol
0.3 80.27
ACB 13
50 1-4
± 21 0.59
Kesusah 0.3
80.34 CS
12 59
1-6 ± 21
0.69 Piyasili
0.2 81.39
ACB 13
58 1-8
± 18 0.80
Keterangan: IDTK = Indeks dimensi terumbu karang; PTTK = Persentase tutupan terumbu karang; DL = Dominasi lifeform; JJL = Jumlah jenis lifeform; JJIK = Jumlah jenis
ikan karang; KDTK = Kedalaman terumbu karang; JEPP = Jarak ekosistem dengan pemukiman penduduk; KAETK = Kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang; T =
Tinggi; S = Sedang.
Persentase nilai kapasitas adaptif berada pada kisaran antara 0.59
– 0.80. Semakin tinggi nilai yang dimiliki parameter tersebut, maka semakin tinggi pula
kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kapasitas adaptif terumbu karang di Pulau Sayafi dan Liwo termasuk dalam
kategori sedang 0.4KPTK≤0.6 dan tinggi 0.6KPTK≤0.8.
Analisis indeks dimensi ekosistem terumbu karang bertujuan untuk melihat penyebaran terumbu karang pada suatu kawasan tertentu. Asumsi penyebaran
dengan nilai yang tinggi menunjukkan bahwa pada areal tersebut memiliki hamparan terumbu karang yang cukup luas dan menyebar secara merata, dan
apabila penyebaran dengan nilai yang rendah dapat menginformasikan bahwa areal tersebut terdapat hamparan terumbu karang yang kecil. Indeks dimensi ekosistem
terumbu karang juga dapat digunakan untuk menghitung daya dukung adaptif. Penyebaran ekosistem terumbu karang dengan luasan yang besar maupun, akan
sangat berpengaruh terhadap daya dukung kawasan ketika dikoreksi Subur 2012. Persentase tutupan karang yang semakin tinggi menunjukkan tingkat kesehatan dan
kesuburan karang dalam kondisi baik, sehingga menjamin keberlangsungan proses ekologi bagi ekosistem terumbu karang dan biota pengisi lainya. Dominasi dan
jumlah jenis lifeform mengindikasikan bahwa keanekaragaman terumbu karang pada areal tersebut. Indikator spesies ikan karang dengan jumlah yang besar dapat
ketahui bahwa kondisi terumbu karang masih dalam kondisi yang bagus. Kedalaman terumbu karang dengan kondisi perairan yang cukup baik, akan
memberikan pangaruh pada pertumbuhan ekosistem terumbu karang, sedangkan jarak pemukiman dengan ekosistem terumbu karang yang cukup jauh, akan sangat
baik bagi keberlangsungan hidup terumbu karang, karena kurang mendapatkan tekanan eksternal dari aktifitas manusia. Tahir et al. 2009 menjelaskan bahwa
salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas adaptif dari pulau-pulau kecil adalah melakukan pengelolaan ekosistem pesisir, seperti terumbu karang,
mangrove dan padang lamun.
Analisis Kesesuaian Ekowisata Bahari
Secara teknis, penentuan kelas kesesuaian kawasan untuk pemanfaatan ekowisata bahari dengan jenis kegiatan wisata diving, snorkeling dan wisata pantai
dengan merujuk pada analisis kesesuaian ekowisata bahari dalam Yulianda et al. 2010. Kesesuaian kawasan untuk jenis kegiatan diving, snorkeling, dan pantai pada
enam lokasi pengamatan menunjukkan bahwa nilai kesesuaian berada pada kategori kelas sangat sesuai S1 dan kelas sesuai S2. Hasil analisis kesesuaian
ekowisata bahari berdasarkan masing-masing parameter untuk semua lokasi pengamatan lampiran 7.
Wisata Diving. Menentukan kelas kesesuaian untuk pemanfaatan ekowisata
bahari dilakukan dengan mempertimbangkan faktor pembatas dalam matriks kesesuaian. Parameter yang digunakan untuk menentukan kelas kesesuaian
ekowisata bahari kategori wisata diving, terdiri dari 6 enam parameter antara lain, kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis lifeform, jenis ikan karang,
kecepatan arus dan kedalaman terumbu karang. Analisis kesesuaian berdasarkan parameter tersebut, diperoleh nilai kesesuaian ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan
Liwo untuk kategori diving. Perhitungan kelas kesesuian ekowisata bahari untuk jenis kegiatan wisata diving, di Pulau Sayafi dan Liwo terdapat dua kategori
kesesuaian yaitu S1 dan S2. Indeks kesesuaian wisata IKW diving kategori S1 memiliki persentase berkisar antara 85.19
–94.44, yang terdapat di Mandawalai, Bucili, Sowlolol, Kesusah dan Piyasili. Sedangkan kategori S2 dengan persentase
IKW sebesar 77.78 terdapat di Liwobumdi. Kelemahan yang terdapat di lokasi tersebut karena pada parameter tutupan komunitas karang, jenis ikan karang dan
kedalaman terumbu karang memiliki nilai tergolong rendah.
Pengukuran parameter kesesuaian ekowisata untuk kegiatan diving memperlihatkan tingkat kecerahan perairan di enam lokasi pengamatan, masih
dalam kondisi baik, dengan nilai berkisar antara 86 –90. Parameter tutupan
komunitas karang dengan skor 3 tiga, terdapat di Mandawalai, Sowlolol, Kesusah dan Piyasili. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai tutupan komunitas karang di
Mandawalai memiliki persentase tertinggi yaitu 81.71 dan yang terendah terdapat di Liwobumdi dengan nilai persentase 61.53. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa, terumbu karang di Liwobumdi dan Bucili termasuk dalam kondisi rusak. Persentase kerusakan terumbu karang di lokasi tersebut sebesar 4.70 Bucili dan
25.61 Liwobumdi. Indikasi kerusakan terumbu karang di lokasi ini, diakibatkan karena aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak.
Jenis lifeform yang ditemukan di 6 enam lokasi pengamatan berkisar antara 12
–14 jenis lifeform. Jenis lifeform tertinggi ditemukan di Liwobumdi dan Bucili, sedangkan jenis lifeform terendah terdapat di Mandawalai dan Kesusah. Jenis ikan
karang yang ditemukan pada masing-masing stasiun pengamatan hanya mencapai angka tertinggi sebanyak 59 jenis ikan karang. Kesusah dan Piyasili merupakan
stasiun pengamatan yang memiliki angka tertinggi untuk jenis ikan karang, sedangkan Liwobumdi termasuk sebagai stasiun yang memiliki jenis ikan karang
paling rendah. Hasil pengukuran di enam lokasi pengamatan menunjukkan kecepatan arus berkisar antara 0.05
–0.43 mdetik. Kecepatan arus tertinggi berada di Bucili, dan yang terendah berada di Mandawalai Gambar 16.
Dalam peruntukan kawasan untuk kegiatan diving harus memperhatikan faktor pembatas. Menurut Yulianda 2010 kegiatan diving dapat dilakukan pada
kedalaman lebih dari 6 enam meter. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa lokasi yang memiliki kedalaman lebih dari 6 enam meter terdapat di Mandawalai,
Bucili dan Piyasili, dengan kedalaman mulai dari 8 –10 meter. Analisis parameter
kesesuaian, untuk kegiatan wisata diving dengan kedalaman 8-10 meter, memperlihatkan ketiga lokasi tersebut berada pada kelas S1 dan S2. Kelas
kesesuaian dari ketiga lokasi ini memiliki luas daerah terumbu karang yang dapat di manfaatkan sebagai wisata diving sebesar 7.84 ha.
Wisata Snorkeling. Kelas kesesuaian untuk jenis kegiatan wisata snorkeling
pada enam lokasi pengamatan, memiliki kategori kelas S1 dan S2. Kategori kelas S1 hanya terdapat di Kesusah, sedangkan kelas S2 terdapat di Mandawalai,
Liwobumdi, Bucili, Sowlolol dan Piyasili. Analisis kesesuaian dilakukan dengan mempertimbangkan 7 tujuh parameter. Parameter yang digunakan dalam
menghitung indeks kesesuaian wisata snorkeling adalah kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis lifeform, jenis ikan karang, kecepatan arus,
kedalaman terumbu karang dan lebar hamparan datar karang. Matriks kesesuaian wisata snorkeling dan wisata diving hampir memiliki kesamaan parameter, hanya
pada wisata snorkeling ditambahkan parameter lebar hamparan datar pantai.
Meskipun parameter yang digunakan sama, akan tetapi nilai IKW setiap parameter tidak sama. Hal ini di sesuaikan berdasarkan jenis kegiatan yang akan dimanfaatkan
Yulianda et al. 2010.
Kesesuaian ekowisata bahari kategori wisata snorkeling menunjukkan nilai indeks kesesuaian wisata IKW tertinggi berada di Piyasili dengan IKW 88.89
dan yang terendah berada di Liwobumdi dengan IKW 77.78. Meskipun hasil analisis menunjukkan kelas kesesuaian pada enam lokasi pengamatan berada dalam
kategori S1 dan S2, akan tetapi dalam pemanfaatan ekowisata bahari untuk kegiatan snorkeling hanya dapat di lakukan pada kedalaman tertentu. Dengan
mempertimbangkan parameter kedalaman terumbu karang untuk jenis kegiatan snorkeling, dimaksudkan agar aktifitas pengunjung yang melakukan snorkeling
tidak menyentuh dan menginjak terumbu karang Gambar 17.
Perhitungan kesesuaian wisata snorkeling di Liwobumdi, Bucili dan Sowlolol menunjukkan indeks kesesuaian kawasan dengan kategori S2, sedangkan kategori
S1 terdapat di Mandawalai, Kesusah, dan Piyasili. Kualitas parameter yang terdapat di tiga lokasi tersebut, memiliki skor yang sangat mendukung kesesuaian wisata
snorkeling. Parameter pendukung tutupan komunitas karang dengan skor 3 tiga terdapat di Mandawalai 81.71, Sowlolol 80.27, Kesusah 80.34, dan
Piyasili 81.39. sedangkan yang memiliki skor 2 dua terdapat di Liwobumdi dan Bucili dengan persentase komunitas karang sebesar 61.53-65.60.
Meskipun di Liwobumdi dan Bucili memiliki tutupan komunitas karang paling rendah, akan tetapi parameter penting lain seperti kecerahan perairan dan jenis
lifeform serta parameter lainnya dapat mendukung IKW untuk snorkeling. Parameter lain juga yang dapat mendukung kesesuaian wisata snorkeling di
Liwobumdi dan Bucili antara lain jenis ikan karang sebanyak 34 jenis, kecepatan arus 0.28 cmdetik, kedalaman terumbu karang 4 empat meter dan lebar hamparan
datar karang sebesar 126 meter.
Dengan menggunakan analisis spasial GIS, memperlihatkan luas kawasan wisata snorkeling yang dapat dimanfaatkan memiliki luasan sebesar 16.01 ha. Dari
hasil analisis di atas, maka pengelolaan potensi sumberdaya alam Pulau Sayafi dan Liwo memerlukan perencanaan yang matang untuk pemanfaatan ekowisata bahari
yang berkelanjutan. Hal ini didukung dengan parameter yang dikaji menunjukkan bahwa potensi ekosistem terumbu karang, ikan karang dan parameter fisik
lingkungan perairan di Pulau Sayafi dan Liwo sesuai untuk dimanfaatkan sebagai kawasan ekowisata bahari.
Wisata Pantai. Salah satu objek wisata yang sangat diminati oleh
pengunjung adalah wisata pantai. Pantai Pulau Sayafi dan Pulau Liwo memiliki tipe pantai pasir putih dengan dataran pantai yang mengelilingi pulau, sehingga kedua
pulau tersebut menjadi primadona bagi masyarakat yang ada di sekitar pulau. Sama halnya dengan wisata diving dan snorkeling, wisata pantai juga dapat diukur
berdasarkan parameter kesesuaian dengan melihat kedalaman perairan, tipe pantai, lebar pantai, material dasar perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai, kecerahan
perairan, penutupan lahan pantai, biota berbahaya dan ketersedian air tawar Yulianda 2007. Berdasarkan parameter kesesuaian tersebut, maka kelas
kesesuaian untuk wisata pantai dapat ditentukan. Kesesuaian wisata pantai Pulau Sayafi dan Liwo juga tergolong dalam kategori S1 dan S2. Hasil perhitungan
kesesuaian wisata memperlihatkan angka persentase berkisar antara 71.43- 85.71. Tingginya indeks kesesuaian wisata pantai di kedua pulau ini, disebabkan
karena memiliki kekuatan nilai bobot yang tinggi. Kekuatan parameter kesesuaian tersebut terbilang sebagai parameter penting antara lain kedalaman perairan, tipe
pantai dan kemiringan pantai. Gambar 18.
Pulau Sayafi dan Liwo merupakan pulau yang tergolong memiliki hamparan pantai berpasir. Tekstur pasir yang berwarna putih dengan lebar pantai yang
bervariasi memberikan daya tarik tersendiri bagi pengunjung untuk beraktifitas. Salah satu alasan memilih pasir berwarna putih karena dapat menyerap sinar
matahari sehingga pengunjung tidak merasa panas. Selain itu pengunjung dapat melakukan aktifitas lain di pantai berpasir seperti olahraga, berkemah dan lain-lain.
Djamhur 2014 mengatakan bahwa ekowisata pantai akan memberikan wisatawan berbagai pilihan atraksi wisata, serta akan menambah wawasan wisatawan karena
pembelajaran terhadap alam. Parameter tipe pantai yang ideal untuk wisata pantai adalah pasir putih, dengan lebar pantai berukuran 15 meter Yulianda 2010. Hasil
pengukuran dilapangan, memperlihatkan lebar pantai Pulau Sayafi dan Liwo berkisar 6.34
–11.20 meter. Pasang surut air laut akan mempengaruhi lebar pantai serta memberikan
perubahan terhadap kemiringan pantai. Hasil pengamatan memperlihatkan di beberapa titik pantai di sisi selatan Pulau Sayafi terlihat telah terjadi pengikisan
pantai oleh air laut yang berpotensi abrasi, hal ini dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan pola pergerakan massa air laut di Samudera Pasifik. Kemiringan pantai
Pulau Sayafi dan Liwo berkisar 4
- 10 . Dari hasil pengukuran pada enam lokasi
pengamatan, menunjukkan bahwa kemiringan pantai masih tergolong ideal untuk kegiatan wisata pantai. Sedangkan kedalaman perairan untuk kegiatan wisata pantai
adalah 0-3 meter. Hasil pengukuran di stasiun pengamatan menunjukkan kedalaman berkisar 1.14
–1.84 meter. Wisata pantai dengan kedalaman 0-3 meter bertujuan memberikan kenyamanan kepada wisatawan dalam berwisata.
Selain parameter-parameter diatas, kesesuaian wisata pantai juga di dukung dengan parameter lain seperti, material dasar perairan, kecepatan arus, kecerahan
perairan, penutupan lahan pantai, biota berbahaya dan ketersedian air tawar. Material dasar perairan di Pulau sayafi dan Liwo umumnya adalah karang berpasir.
Hal ini karena tipologi substrat perairan di sisi utara dan timur Pulau Sayafi dan Liwo merupakan tipe karang fringing. Sedangkan di Bucili sisi selatan dan
Piyasili sisi barat kedua pulau ini, memiliki tipologi substrat perairan yang terjal, sehingga material dasar perairan di lokasi ini umumnya adalah pasir.
Kecepatan arus di lokasi pengamatan tergolong masih memenuhi syarat untuk kesesuaian wisata pantai, meskipun di beberapa lokasi pangamatan terdapat
kecepatan arus yang melebihi standar ideal 0-0.17 mdetik. Pengukuran kecepatan arus memperlihatkan di Mandawalai 0.09 mdetik, Liwobumdi 0.21 mdetik, Bucili
0.33 mdetik, Sowlolol 0.05 mdetik, Kesusah 0.18 mdetik dan di Piyasili 0.04 mdetik. Variasi kecepatan arus di pengaruhi oleh keberadaan lokasi pengamatan,
seperti di Bucili dan Liwobumdi. Letak kedua lokasi ini berada pada posisi antara Pulau Sayafi dan Liwo, sehingga massa air laut akan dipengaruhi pasang surut.
Kecerahan perairan pada lokasi pengamatan menunjukkan 100 kondisi perairan masih sangat jernih. Hal ini karena keberadaan Pulau Sayafi dan Liwo yang jauh
dari pemukiman warga, sehingga kurang mendapat tekanan dari wilayah darat Pulau Sayafi dan Liwo.
Masyarakat di Kecamatan Patani Utara umumnya memanfaatkan daratan Pulau Sayafi dan Liwo untuk berkebun. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
tanaman kelapa yang terdapat di pesisir Pulau Sayafi dan Liwo. Selain pohon kelapa, juga terdapat pohon cemara laut dan pohon nyamplung. Pada bagian lahan
perkebunan masyarakat juga tersedia air tanah yang dapat di manfaatkan untuk kebutuhan air minum dan untuk mandi. Jarak air pada lokasi pengamatan tidak
terlalu jauh, hanya berkisar 126
– 823 meter. Beberapa kelemahan yang terdapat pada lokasi pengamatan adalah kehadiran biota berbahaya seperti Bulu babi dan
ikan Pari. Kehadiran biota berbahaya mengikuti pola penyebaran karang tertentu serta kondisi perairan pantai dengan tipe pantai pasir putih. Meskipun terdapat biota
berbahaya, akan tetapi kehadirannya masih tergolong dalam jumlah sedikit.
Sebelum merencanakan sebuah kawasan ekowisata, maka perlu untuk mempertimbangkan daerah yang tidak hanya mencakup margin dari zona
pengembangan, tetapi juga perimeter yang lebih luas dari bagian lanskap fisik dan budaya yang terkait Gulinck et al. 2001. Selanjutnnya Pourebrahim et al. 2011
menambahkan bahwa pendekatan perencanaan tata ruang dapat digunakan untuk penilaian kesesuaian penggunaan lahan berdasarkan kriteria masing-masing jenis
kegiatan yang akan dikembangkan. Setelah melakukan perhitungan kesesuaian ekowisata bahari per masing-masing kegiatan, hasil analisis akan disajikan dalam
bentuk peta tematik dengan menggunakan GIS. Keseluruhan jenis kegiatan diving, snorkeling dan pantai yang telah di analisis dengan menggunakan GIS, kemudian
di overlay dan di buat dalam bentuk peta kesesuaian ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo, dengan mengikuti acuan Hossain and Das 2010 Gambar 19.
Gambar 16 Peta kesesuaian ekowisata diving di Pulau Sayafi dan Liwo
Gambar 17 Peta kesesuaian wisata snorkeling di Pulau Sayafi dan Liwo
Gambar 18 Peta kesesuaian wisata Pantai di Pulau Sayafi dan Liwo
Gambar 19 Peta kesesuaian ekowisata bahari Pulau Sayafi dan Liwo
Daya Dukung Ekowisata Bahari
UNEP 2001 mengatakan bahwa sebagian besar populasi masyarakat dunia mendiami wilayah pesisir, dan kebanyakan dari populasi tersebut memperoleh
manfaat dari penggunaan sumberdaya pesisir dan laut. Aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam untuk pemenuhan sistem sosial dan ekonomi akan berpengaruh
pada proses lingkungan dan sistem ekologi. Selanjutnya Blangy dan Mehta 2006, menambahkan bahwa langkah cepat dalam pengembangan pariwisata diseluruh
dunia menyebabkan kerusakan tak terhitung untuk beberapa sistem ekologi yang terancam mengalami kepunahan. Oleh karena itu, kaitanya dengan pemanfaatan
sumberdaya alam di Pulau Sayafi dan Liwo untuk ekowisata bahari, diperlukan suatu pendekatan kritis untuk meminimalisir jumlah pungunjung.
Sebagai pulau-pulau kecil yang rentan terhadap aktifitas eksternal, maka untuk menyeimbangkan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai objek ekowisata
bahari, perlu memperhitungkan daya dukung kawasan DDK dan daya dukung adaptif DDA untuk ekowisata bahari. DDK ekowisata bahari, dilakukan untuk
melihat kemampuan suatu kawasan dalam menampung pengunjung. Sedangkan DDA dilakukan untuk menghindari tekanan oleh pengunjung terhadap suatu
ekosistem di pulau-pulau kecil. Analisis DDK dan DDA di peruntukan untuk kegiatan ekowisata bahari. Tratalos and Austin 2001, menjelaskan bahwa aktifitas
ekowisata diving dan snorkeling memiliki dampak yang cukup berpengaruh terhadap ekosistem karang, apabila jumlah penyelaman telah melebihi kapasitas,
namun dilain sisi menurut Ong and Musa 2012 mengatakan bahwa perilaku penyelam ketika berada di bawah air masih sangat bertanggung jawab.
Daya dukung sebagai suatu konsep yang didasarkan pada pendekatan lingkungan dan merupakan bagian penting dalam kajian pengelolaan sumberdaya
alam. Daya dukung di defenisikan sebagai kemampuan alam dalam mentolerir aktifitas manusia. Perhitungan daya dukung kawasan ekowisata bahari berdasarkan
karakteristik sumberdaya dan peruntukannya. Yulianda et al. 2010 menyatakan bahwa daya dukung diving dan snorkeling di tentukan berdasarkan pada luas
terumbu karang yang dapat dimanfaatkan, potensi ekologis pengunjung per satuan unit area yang digunakan untuk beraktifitas dan alam masih mampu untuk
mentolerir kehadiran pengunjung dan prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap jenis kegiatan.
Perhitungan DDK untuk ekowisata bahari, didasarkan pada hasil analisis kesesuaian lahan tiap jenis kegiatan tertentu yang memiliki nilai kesesuaian berada
pada kategori kelas S1 dan S2. Secara keseluruhan kelas kesesuian untuk jenis kegiatan diving, snorkeling dan wisata pantai di Pulau Sayafi dan Liwo termasuk
dalam kategori S1 dan S2. Dengan menggunakan perhitungan DDK untuk ekowisata bahari, menunjukkan bahwa jenis kegiatan diving memiliki daya
tampung sebanyak 723 orang hari dengan luasan sebesar 18.07 ha. Luas kawasan untuk snorkeling sebesar 16.01 ha dengan kemampuan menerima kunjungan
sebanyak 639 orang hari, sedangkan untuk jenis kegiatan wisata pantai memiliki panjang pantai 1165 meter, dengan daya tampung pengunjung sebanyak 46 orang
hari Tabel 9.
Tabel 9 Nilai daya dukung kawasan ekowisata bahari Pulau Sayafi dan Liwo
No Jenis Kegiatan
Luas Area Daya Dukung Kawasan
1 Wisata Diving
18.07 ha 723
2 Wisata Snorkeling
16.01 ha 639
3 Wisata Pantai
1165 m 46
Total 1408 Orang hari
Tabel 9 diatas memperlihatkan daya dukung kawasan untuk ekowisata bahari dengan jenis kegiatan wisata diving, snorkeling dan wisata pantai yang dapat
dimanfaatkan di Pulau Sayafi dan Liwo. Tutupan karang dengan kelas kesesuaian yang termasuk dalam kelas S1 dan S2 untuk masing-masing jenis kegiatan di
asumsikan sebagai luas area untuk kegiatan diving dan snorkeling.
Kealamian pantai dengan hamparan pasir putih merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan kawasan ekowisata untuk kegiatan wisata
pantai. Ekowisata pantai merupakan salah satu wisata yang sangat diminati pengunjung. Hal ini karena pantai dengan pasir putih memiliki daya tarik tersendiri
bagi wisatawan untuk melakukan aktifitas lain, seperti berjemur, olahraga pantai, camping, menikmati sunrise-sunset. Hasil analisis daya dukung untuk kegiatan
wisata pantai memiliki daya tampung sebanyak 46 orang hari, dengan panjang pantai 1165 meter.
Hasil analisa daya dukung ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo, memperlihatkan jumlah daya tampung orang hari mencapai 1408, untuk 3 tiga
jenis kegiatan. Oleh karena itu, dalam pemanfaatannya harus tetap memperhatikan faktor fisik lingkungan sebagai objek dari perjalanan untuk ekowisata. Analisis
daya dukung ditujukan pada pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara lestari Yulianda et
al. 2010. Selanjutnya Bengen 2012, menyatakan bahwa daya dukung sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan
tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya.
Secara keseluruhan nilai DDK dan DDA dengan jenis kegiatan diving, snorkeling, dan wisata pantai masing-masing memiliki nilai yang berbeda.
Perhitungan DDK dan DDA untuk ekowisata bahari menggunakan pendekatan kawasan dan ekosistem. Pendekatan kawasan untuk melihat kemampuan suatu
kawasan pulau-pulau kecil dalam menampung pengunjung, sedangkan pendekatan ekosistem untuk melihat kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang dalam
mentolerir pengaruh eksternal. Hal ini dilakukan, karena Pulau Sayafi dan Liwo tergolong dalam pulau-pulau sangat kecil. Secara biogeofisik ciri-ciri pulau kecil
yang sangat rentan terhadap aktifitas manusia dan faktor gejala alam, akan dapat merubah kondisi fisik lingkungan. Maka dengan pendekatan tersebut, diharapkan
dapat menjaga keberlangsungan ekologi dan keberlanjutan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo.
Setelah melakukan analisa DDK, langkah selanjutnya adalah menghitung DDA ekosistem. Daya dukung adpatif ekosistem terumbu karang dilakukan untuk
mengoreksi jumlah kunjungan berdasarkan DDK. Hal bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem pada suatu pulau kecil yang akan di manfaatkan sebagai
ekowisata bahari. Daya dukung adaptif dapat dihitung setelah mendapatkan nilai indeks dimensi terumbu karang IDTK dan nilai DDK. Dari hasil tersebut,
kemudian digunakan nilainya untuk menentukan DDA bagi suatu peruntukan berdasarkan daya dukung kawasan.
Daya dukung adaptif dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kamampuan suatu ekosistem di pulau kecil dapat mentolelir setiap kegiatan yang
berlangsung di atas dan sekitarnya sehingga fungsi-fungsi sistem suatu pulau tetap berjalan Subur 2012. Dengan demikian, pemanfaatan ekosistem terumbu karang
sebagai objek ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo, harus mempertimbangkan kemampuan daya dukung ekosistem di kawasan tersebut.
Perbandingan daya dukung kawasan dan daya dukung adaptif berdasarkan tingkat kesesuaian ekowisata bahari untuk wisata diving, snorkeling dan wisata pantai,
ditampilkan pada Gambar 20, 21 dan 22.
Gambar 20 Perbandingan DDK dan DDA untuk ekowisata Diving
Gambar 21 Perbandingan DDK dan DDA untuk ekowisata Snorkeling
100 200
M an
da wal
ai Li
wo bu
m di
B uc
il i
S o
w lo
lo l
Ke su
sa h
P iy
as il
i
Liwo Sayafi
181 145
115 124
140 18
87 62
39 31
37 4
Perb a
n d
in g
a n
D D
K d
a n
D D
A
E k
o w
is a
ta S
n o
rk el
in g
Lokasi Pengamatan DDK
DDA
100 200
M an
da wal
ai Li
wo bu
m di
B uc
il i
S o
w lo
lo l
Ke su
sa h
P iy
as il
i
Liwo Sayafi
144 139
173 145
28 10
69 59
58 36
7 2
Perb a
n d
in g
a n
D D
K d
a n
D D
A
E k
o w
is a
ta S
n o
rk el
in g
Lokasi Pengamatan DDK
DDA
Gambar 22 Perbandingan DDK dan DDA untuk wisata Pantai Gambar 20, 21 dan 22 menginformasikan tentang distribusi pengunjung
berdasarkan daya dukung kawasan dan daya dukung adaptif untuk ekowisata bahari dengan jenis kegiatan wisata diving, snorkeling dan pantai yang dapat dimanfaatkan
di Pulau Sayafi dan Liwo. Ketiga gambar tersebut diatas memberikan informasi bahwa, telah terjadi perubahan kapasitas pengunjung antara DDK dan DDA setelah
dikoreksi. Hal ini dimaksudkan agar meminimalisir tekanan eksternal dari aktifitas pengunjung dalam memanfaatkan ekosistem terumbu karang dan ekosistem pesisir
lainnya sebagai objek untuk berwisata. Pendekatan pengelolaan ekowisata bahari yang berkelanjutan, perlu memperhatikan faktor pembatas untuk masing-masing
jenis kegiatan yang akan di manfaatkan. Daya dukung ekowisata bahari juga di harapkan dapat menyeimbangkan tingkat aktiftas pengunjung untuk setiap kegiatan.
Strategi Pengelolaan
Strategi pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Sayafi dan Liwo dengan menggunakan analisis SWOT. Pengelolaan ekowisata bahari dilakukan untuk
meminimalisir dampak terhadap ekosistem pesisir dan laut, yang didasarkan pada isu permasalahan, potensi dan peluang. Rangkuti 2013 menjelaskan bahwa
tahapan untuk analisis SWOT dimulai dengan identifikasi komponen-komponen strategi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Komponen strategi tersebut
kemudian dibedakan dalam dua faktor diantaranya faktor internal dan faktor eksternal.
Setelah identifikasi faktor internal dan eksternal dilakukan, selanjutnya perhitungan bobot nilai, rating dan score terhadap tiap komponen strategi
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman berdasarkan tingkat kepentingan, sebagaimana yang dikembangkan oleh Pearce and Robinson 1997. Selanjutnya
hasil bobot, rating dan score di dapat, kemudian dilakukan tabulasi untuk mendapatkan nilai faktor internal dan nilai eksternal. Hasil perhitungan bobot,
rating dan score tiap komponen strategi faktor internal dan faktor eksternal di perlihatkan pada tabel 10 dan 11.
10 20
M an
da wal
ai Li
wo bu
m di
B uc
il i
S o
w lo
lo l
Ke su
sa h
P iy
as il
i
Liwo Sayafi
5 6
10 12
6 7
3 3
8 8
3 2
Perb a
n d
in g
a n
D D
K d
a n
D D
A
E k
o w
is a
ta Pa
n ta
i
Lokasi Pengamatan DDK
DDA
Tabel 10 Analisis strategi faktor internal IFAS
No Komponen Strategis
Bobot Rating Score I. Kekuatan
Strenght
S1 Tutupan terumbu karang masih bagus
0.3 4
1,2 S2
Kelimpahan ikan karang 0.3
4 1,2
S3 Kualitas perairan masih stabil
0.2 4
0,8 S4
Tipe pantai berpasir putih 0.1
3 0,3
S5 Ketersediaan air tawar
0.1 3
0,3
Total bobot 1.00