Pengelolaan Sumberdaya Pulau Kecil Untuk Ekowisata Bahari Berbasis Kesesuaian Dan Daya Dukung. (Studi Kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku)

(1)

DAYA DUKUNG

(Studi Kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat,

Provinsi Maluku)

SALVINUS SOLARBESAIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Pengelolaan Sumberdaya Pulau Kecil untuk Ekowisata Bahari berbasis Kesesuaian dan Daya Dukung (Studi Kasus Pulau Matakus Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku)” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Salvinus Solarbesain NRP. C252070101


(3)

SALVINUS SOLARBESAIN. Management of Small Island Resources for Marine Ecotourism based on Suitability and Carrying Capacity (Case Study of Matakus Island, West South East Mollucas Regency, Maluku Province). Under direction of SANTOSO RAHARDJO and LUKY ADRIANTO.

Matakus Island are part of almost either 57 small islands in West South East Mollucas which legitimated of local goverment as tourism site. As small island, it is very vulnerable of many pressure from both local people with every explorative activites of resource to fullfil their life and from tourists who visited Matakus Island. The aim of this research are to make zonation, analysis of tourism suitable, account carrying capacity and to know perception of stakeholder. To achieve these objectives, Geography Information System (GIS), ecological footprint analysis (EFA) and Principal Component Analysis (PCA) were used. From Geography Information System (GIS) analysis, result that coastal area of Matakus Island has three zone, first No Take Zona are with 97.76 ha, Supporting Zona are with 249.84 and Used Zona are with 542.64 ha. Suitable tourism consists of coastal tourism 5 738 m, diving 33.58 ha, snorkling 82.49 ha and sea sport 760.76 ha. Acording to EFA, averrage of carrying capacity of Matakus Island about 7 168 touris per year. Local people, tourist and local government as stakeholder have a good perception about development of Matakus Islands as ocean and coastal ecotourism site. Acording to PCA, individual characteristic of people which influence a quality of perception are formal education degree and occupation, while a individual characteristic of tourist which influence of perception quality are age and formal education degree.

Key Words: Matakus Island, Marine Ecotourism, Carrying Capacity, Ecological Footprint


(4)

SALVINUS SOLARBESAIN. Pengelolaan Sumberdaya Pulau Kecil Untuk Ekowisata Bahari Berbasis Kesesuaian dan Daya Dukung (Studi Kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku). Dibimbing oleh SANTOSO RAHARDJO dan LUKY ADRIANTO.

Pengembangan pulau–pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional di bidang kelautan. Berdasarkan berbagai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil, pendekatan yang tepat dalam upaya pengembangan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan adalah menjadikannya sebagai basis kegiatan perikanan dan pariwisata pesisir dan bahari (coastal and marine tourism)

Pulau Matakus yang terletak di depan outlet teluk Saumlaki merupakan bagian pulau kecil dari sekitar 57 pulau kecil di kabupaten Maluku Tenggara Barat yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat sebagai lokasi wisata. Sebagai pulau kecil Pulau Matakus sangat rentan terhadap berbagai tekanan baik dari masyarakat lokal dengan segala aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, juga dari wisatawan yang mengunjungi tempat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan zonasi kawasan konservasi Pulau Matakus, menganalisis kesesuaian wisata, menganalisis daya dukung dan persepsi stakeholder terhadap pengembangan kawasan tersebut.

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer (kondisi biofisik, sosial ekonomi, aksesibilitas) diperoleh secara langsung melalui survey, observasi dan wawancara dengan masyarakat, wisatawan dan stakeholder terkait. Pengambilan data primer terumbu karang dilakukan dengan metode Manta Tow, sedangkan data primer ikan karang di peroleh dengan metode Sensus Visual. Data sekunder (kondisi umum lokasi, peta-peta pendukung) diperoleh dari studi kepustakaan di dinas atau instansai terkait dalam bentuk laporan dan publikasi daerah.

Ssstem Informasi Geografi (SIG), Ecological Footprint Analisis (EFA) dan Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan hasil analisis SIG, Pulau Matakus terdiri dari zona inti seluas 97.76 ha, zona pemanfaatan langsung 542.64 ha. zona penyangga 249.84 ha. Panjang pantai yang sangat sesuai untuk wisata pantai adalah 5738 m, sedangkan luas areal yang sangat sesuai untuk kegiatan wisata selam 33.58 ha, wisata snorkeling 82.49 ha dan olahraga perairan 760.76 ha. Berdasarkan EFA, daya dukung Pulau Matakus rata-rata per tahun 7 168 orang. Seluruh stakeholder memiliki persepsi yang baik dan 100% setuju untuk pengembangan P. Matakus menjadi kawasan ekowisata pesisir dan laut. Karakteristik individu masyarakat yang mempengaruhi kualitas persepsi adalah tingkat pendidikan formal dan pekerjaan, sedangkan karakterisitik individu wisatawan yang mempengaruhi kualitas persepsi adalah umur dan tingkat pendidikan formal.


(5)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Udang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan dari suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.


(6)

DAYA DUKUNG

(Studi Kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat,

Provinsi Maluku)

SALVINUS SOLARBESAIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(7)

(8)

Kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku)

Nama : Salvinus Solarbesain NRP : C252070101

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(9)

Segala perkara dapat kutanggung di dalam DI A yang memberi

kekuatan kepadaku… ( Filipi 4:13)

Kar ya Ilmiah i ni kuper sembahkan kepada Papi Vincent dan M ami Oni ter cinta ser ta kedua Adik ter sayang Fer r y dan Getty, atas segal a dukungan melalui doa, semangat dan kasih sayang yang selal u diber ikan Teri ma Kasih yang tulus untuk Semuanya


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala cinta dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Pengelolaan Sumberdaya Pulau Kecil Untuk Ekowisata Bahari Berbasis Kesesuaian dan Daya Dukung (Studi Kasus Pulau Matakus, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku)” ini berhasil di selesaikan.

Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini ijinkan penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada :

1. Bapak Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas kesedian waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan selama penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi atas saran dan masukan yang sangat berharga demi perbaikan tesis ini.

3. Prof. Dr. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi SPL, para staf dosen dan staf sekretariat SPL atas segala bantuan, sumbangsih IPTEK dan kerjasama yang telah terjalin dengan baik selama studi.

4. PEMDA Maluku Tenggara Barat yang telah memberikan ijin belajar di IPB serta bantuan studi selama 1 tahun dan dana penelitian.

5. Bapak Drs. Abas Orno, Bapak John Arbol SH dan Kak Pit Kait Taborat, SH atas dukungan moril, bantuan dan perhatian yang diberikan.

6. Tanoto Foundation yang telah memberikan bantuan dana pendidikan selama 1 tahun.

7. COREMAP II atas bantuan biaya penelitian dan penulisan tesis yang diberikan. 8. Keluarga Bapak Ulis Matruti dan seluruh masyarakat Desa Matakus atas

dukungan selama penelitian berlangsung.

9. Kepada teman-teman SPL IPB angkatan 14 (Kak Doel, Kak Elsye, Bung Mokhtar, Romy, Syahrir, Tyo, Agie, Ayu, Subhan, Ita dan Ervien atas segala kebersamaan, kekompakan dan keceriaan selama proses studi di IPB.


(11)

Berty dan Keluarga, James, Syarif, Usi Min, Usi Yona, Ola, Isye, Litha dan Gita Paduan Suara (GSP) IPB atas segala dukungan dan kebersaman selama studi di IPB.

11. Ade Titi Kora, Kak Elsye Rumbekwan, Ibu Gladys Peuru, Bung Tomi Lamere dan Fransisca Dian serta semua handaitaulan yang tidak tersebutkan namanya yang atas salah satu cara telah berkontribusi dalam penelitian dan penyelesaian studi di IPB. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan berkat dan rahmat – Nya untuk kalian semua.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi upaya pengelolaan PPK di Indonesia.

Bogor, Agustus 2009


(12)

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 02 Juni 1981 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Vinsentius Solarbesain dan Apolonia Sainyakit. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Inpres Waturu MTB pada tahun 1993, kemudian melanjutkan studi ke SMP Negeri Waturu dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis menempuh sekolah menengah atas pada SMA Negeri 3 Ambon dan lulus pada tahun 1999. Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Pattimura Ambon dari tahun 1999 – 2004. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Pemda Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku dan ditempatkan sebagai staf pengajar pada SMK Kelautan dan Perikanan Negeri Seira, Kecamatan Wermaktian.

Pada tahun 2007 penulis mendapatkan ijin dari Pemda MTB untuk melanjutkan jenjang magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti program magister, penulis juga berkesempatan mengikuti berbagai seminar nasional dan menjadi anggota tim studi untuk kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup.


(13)

Halaman

DAFTAR TABEL --- xvi

DAFTAR GAMBAR --- xviii

DAFTAR LAMPIRAN --- xx

1 PENDAHULUAN --- 1

1.1 Latar Belakang --- 1

1.2 Perumusan Masalah --- 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian --- 5

1.4 Kerangka Pemikiran --- 5

2 TINJAUAN PUSTAKA --- 9

2.1 Batasan dan Defenisi Pulau Kecil --- 9

2.2 Prinsip Pengelolaan SDA dan lingkungan Pulau Kecil --- 10

2.3 Potensi dan Kerentanan Pulau-Pulau Kecil --- 11

2.4 Ekowisata Sebagai Pariwisata Berkelanjutan --- 12

2.5 Prinsip Ekowisata --- 15

2.6 Ekowisata Bahari --- 17

2.7 Zonasi Kawasan Ekowisata --- 18

2.8 Kesesuaian Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil --- 19

2.9 Daya Dukung --- 21

2.10 Ecology Footprint Analysis (EFA) --- 22

2.11 Persepsi Masyarakat --- 24

2.12 Sistem Informasi Geografis --- 25

3 METODOLOGI PENELITIAN --- 27

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian --- 27

3.2 Metode Penelitian --- 27

3.3 Metode Pengumpulan Data --- 27

3.3.1 Jenis Data --- 27

3.3.2 Metode Pengambilan Contoh --- 30

3.4 Metode Analisis Data --- 32

3.4.1 Analisis Kondisi Terumbu Karang --- 32

3.4.2 Analisis Zonasi Kawasan Konservasi Pulau Matakus --- 33

3.4.3 Analisis Kesesuaian Kawasan untuk Ekowisata Bahari --- 34

3.4.4 Analisis Daya Dukung untuk Pariwisata --- 40

3.4.5 Analisis Persepsi Masyarakat, Wisatawan dan Pemda --- 46

4 PROFIL KAWASAN PULAU MATAKUS --- 47


(14)

4.2.2 Geomorfologi dan Geologi Lingkungan Pesisir --- 48

4.2.3 Kondisi Oseanografi Pesisir dan Laut --- 50

4.2.4 Kondisi Flora dan Fauna --- 54

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat --- 57

4.4 Kondisi Sarana Sosial --- 60

4.5 Kondisi Sarana Pariwisata Dan Transportasi --- 61

4.6 Kondisi Prasarana Listrik, Air Besih Dan Komunikasi --- 62

4.7 Potensi dan Peluang Pengembangan Ekowisata --- 63

5 HASIL DAN PEMBAHASAN --- 65

5.1 Kondisi dan Potensi Sumberdaya Alam di Pulau Matakus --- 65

5.1.1 Terumbu Karang --- 65

5.1.2 Ikan Karang --- 67

5.1.3 Penyu, Lumba-lumba dan Burung Laut --- 67

5.1.4 Kondisi Fsiki Pantai --- 68

5.2 Zonasi Kawasan Konservasi Pulau Matakus --- 68

5.2.1 Pembagian Zona Kawasan Konservasi --- 69

5.2.2 Desain Aktifitas di Tiap Zonasi Peruntukan --- 72

5.3 Kesesuaian Kawasan Untuk Ekowisata Pesisir dan Laut --- 74

5.3.1 Wisata Pantai --- 75

5.3.2 Wisata Bahari --- 78

5.4 Daya Dukung Pulau Matakus Untuk Pengembangan Ekowisata. ---- 85

5.4.1 Daya Dukung Kawasan (DDK) --- 86

5.4.2 Analisis Tapak Ekologi (Ecological Footprint Analisys) --- 88

5.4.3 Perbandingan DDK dan EFA --- 96

5.5 Persepsi Stakeholder tentang Pengembangan Ekowisata --- 97

5.5.1 Persepsi Masyarakat Desa Matakus --- 98

5.5.2 Hubungan Karakteristik Masyarakat dengan Tingkat Persepsi --- 99

5.5.3 Persepsi Wisatawan --- 101

5.5.4 Hubungan Karakteristik Wisatawan dengan Tingkat Persepsi --- 102

5.5.5 Persepsi Pemerintah Daerah --- 103

5.5.6 Peran Setiap Instansi dalam Pengembangan Ekowisata --- 104

5.6 Pengelolaan Ekowisata Bahari di Pulau Matakus --- 108

5.6.1 Aspek Ekologi --- 109

5.6.2 Aspek Ekonomi --- 111

5.6.3 Aspek Sosial --- 112

5.6.4 Aspek Manajemen --- 114


(15)

6.2 Saran --- 117

DAFTAR PUSTAKA --- 118 LAMPIRAN --- 123


(16)

Halaman

1 Kerangka pikir penelitian --- 8

2 Peta lokasi penelitian Pulau Matakus kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku --- 28

3 Peta lokasi sampling --- 28

4 Kategori dan persentase tutupan karang untuk menilai persentase karang hidup --- 33

5 Peta batimetri perairan Pulau Matakus --- 50

6 Kondisi pasang surut pada tahun 2008 --- 51

7 Pola arus pada musim timur --- 52

8 Pola arus pada musim barat --- 52

9 Jumlah spesies dan kepadatan (ind./m2) ikan karang di perairan karang kecamatan Tanimbar Selatan --- 56

10 Batu berbentuk kepala belut --- 58

11 Model gazebo di Pulau Matakus --- 61

12 Sumur utama dan fasilitas sarana penyulingan air laut di Desa Matakus -- 63

13 Kondisi ekosistem terumbu karang dengan di Pulau Matakus --- 65

14 Kondisi ikan karang di setiap stasiun pengamatan --- 67

15 Peta zonasi kawasan Pulau Matakus --- 71

16 Peta kesesuaian wisata pantai jenis kegiatan rekreasi pantai di Pulau Matakus --- 77

17 Peta kesesuaian wisata bahari jenis kegiatan selam di Pulau Matakus --- 79

18 Peta kesesuaian wisata bahari jenis kegiatan snorkling di Pulau Matakus --- 81

19 Peta kesesuaian wisata bahari jenis kegiatan olahraga perairan di Pulau Matakus --- 83

20 Peta arahan ekowisata pesisir dan laut di kawasan Pulau Matakus --- 84

21 Causal loop dari analisis tapak ekologi (ecological footprint analysis) --- 93

22 Model dinamik untuk analisis tapak ekologi (ecological footprint analysis) --- 93


(17)

25 Korelasi variabel karakteristik dan distribusi individu masyarakat pada komponen utama pertama (PC1) dan sumbu utama kedua (PC2) --- 100 26 Korelasi variabel karakteristik dan distribusi individu wisatawan pada


(18)

Halaman 1 Jenis data yang dibutuhkan, metode pengumpulan sumber data dan

alat/bahan yang digunakan dalam penelitian --- 29

2 Matriks kesesuaian untuk wisata bahari kategori selam --- 36

3 Matriks kesesuaian untuk wisata bahari kategori snorkling --- 36

4 Matriks kesesuaian untuk wisata bahari kegiatan berperahu, jet ski, dan banana boat --- 37

5 Matriks kesesuaian untuk wisata pantai kategori rekreasi --- 37

6 Matriks kesesuaian untuk wisata pantai jenis kegiatan olahraga pantai, dan berjemur (sun bathing) --- 38

7 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) --- 41

8 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata --- 42

9 Equivalence factor berdasarkan hasil biomasa relatif --- 45

10 Yield factor untuk setiap tipe land use --- 45

11 Rangkuman data klimatologi tahunan kabupaten MTB --- 48

12 Kekayaan spesies (jenis), persen tutupan karang batu dan komponen penyusun terumbu karang perairan pesisir kecamatan Tanimbar Selatan, kabupaten MTB. --- 55

13 Komposisi taksa lamun yang ditemukan pada perairan pesisir Pulau Matakus --- 56

14 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan --- 58

15 Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa jenis alat tangkap yang beroperasi di kecamatan Tanimbar Selatan --- 59

16 Hasil penilaian kriteria zonasi kawasan Pulau Matakus --- 69

17 Rencana zonasi peruntukan kawasan Pulau Matakus --- 70

18 Panjang pantai berdasarkan kelas kesesuaian di tiap stasiun pengamatan untuk wisata pantai jenis kegiatan rekreasi pantai dan olahraga pantai --- 76

19 Luas kawasan berdasarkan kelas kesesuaian untuk kegiatan selam --- 78


(19)

22 Luas areal dan daya dukung kawasan di tiap sub zona wisata --- 88

23 Build-up land footprint --- 89

24 Fosil energy land footprint --- 89

25 Footprint konsumsi sandang dan pangan --- 90

26 Total Ecological Footprint --- 90

27 Total Biocapacity Pulau Matakus --- 91

28 Proyeksi jumlah wisatawan, BC dan EF selama 10 tahun --- 94

29 Akar ciri dan persentase ragam pada tiga komponen utama hasil PCA untuk responden masyarakat --- 99

30 Akar ciri dan persentase ragam pada tiga komponen utama hasil PCA untuk responden wisatawan --- 103


(20)

Halaman 1 Komponen penyusun dasar perairan di Pulau Matakus kabupaten

Maluku Tenggara Barat --- 124

2 Kondisi terumbu karang di Pulau Matakus --- 125

3 Jumlah dan jenis lifeform karang di setiap stasiun pengamatan --- 125

4 Jenis – jenis terumbu karang di Pulau Matakus --- 126

5 Jenis – jenis ikan karang yang terdapat di perairan Matakus --- 127

6 Identifikasi paramater kesesuaian wisata pantai di Pulau Matakus --- 130

7 Identifikasi paramater kesesuaian olahraga pantai di Pulau Matakus --- 131

8 Identifikasi paramater kesesuaian wisata bahari di Pulau Matakus --- 132

9 Format penilaiain kriteria zonasi kawasan Pulau Matakus --- 133

10 Equation model EFA dengan Stela 9.0.2 --- 135

11 Karakteristik responen dari unsur masyarakat --- 136

12 Karakteristik responen dari unsur wisatawan --- 138

13 Identitas instansi pemerintah yang menjadi responden --- 138

14 Rekapitulasi kunjungan wisatawan mancanegara dan wisnus di Kabupaten MTB dari tahun 2003 – 2007 --- 139

15 Jumlah wisatawan yang mengunjungi kabupaten Maluku Tenggara Barat Berdasarkan negara asal tahun 2007 --- 139


(21)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengembangan pulau–pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar hingga lahirnya UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menunjukan betapa pentingnya wilayah pesisir dan keberadaan pulau-pulau kecil yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk kemakmuran seluruh masyarakat baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang, sehingga dibutuhkan aturan khusus dalam pengelolaannya.

Kebijakan tersebut tentu saja didasarkan pada pertimbangan bahwa pulau-pulau kecil selain memiliki potensi sumberdaya alam yang produktif (seperti ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang beserta biota yang hidup didalamnya, media komunikasi, dan jasa lingkungan yang ditawarkan seperti kawasan pariwisata dan rekreasi, kawasan konservasi), juga sangat rentan karena sifatnya yang khas akibat kecilnya ukuran daratan (insular) serta terisolasi dari pulau besar (mainland). Dengan demikian pengelolaan pulau-pulau kecil harus menggunakan pendekatan yang khas pula yakni mengikuti kaidah-kaidah ekonomi dan ekologis dengan memprioritaskan kegiatan-kegiatan pembangunan yang berbasis pada kekuatan sumberdaya lokal serta tetap memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat (Dahuri, 2003; Bengen 2003)

Berdasarkan berbagai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil sebagaimana diuaraikan diatas maka salah satu pendekatan yang tepat dalam upaya pengembangan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan adalah menjadikannya sebagai basis kegiatan perikanan dan pariwisata pesisir dan bahari (coastal and marine tourism).

Pembangunan dibidang pariwisata khususnya di wilayah pesisir merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik dan merata, dengan mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi budaya serta kondisi lingkungan sumberdaya alam yang ada.


(22)

Ekowisata adalah sebuah aktifitas ekonomi berbasis pada pelestarian fungsi dan jasa ekologis sebagai obyek keindahan (amenity services). Pengembangan suatu kawasan pulau kecil sebagai lokasi ekowisata bahari memerlukan kehati-hatian karena sifatnya yang khas. Perencanaan dan pengelolaannya memerlukan koordinasi dan integrasi dari beberapa unsur dengan mengacu pada kondisi internal lokasi yang menyangkut aspek ekologi, kesuaian, daya dukung dan sosial budaya masyarakatnya.

Dengan penetapan kawasan pulau-pulau kecil yang berpenghuni sebagai kawasan ekowisata tentu saja masyarakat lokal yang mendiami kawasan tersebut memiliki tanggung jawab yang besar untuk memelihara dan menjaga keletarian sumberdaya alam yang ada di kawasan pulau, namun disisi lain masyarakat mempunyai ketergantungan yang sangat besar terhadap sumberdaya yang ada didalamnya. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat lokal dapat berperan sebagai perusak maupun sebagai pelindung sumberdaya. Untuk itu diperlukan upaya-upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan peran serta masyarakat sehingga fungsi ganda sumberdaya pulau-pulau kecil dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan

Kabupaten Maluku Tenggara Barat (selanjutnya disebut Kabupaten MTB) yang beribukota di Saumlaki merupakan salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Maluku hasil pemekaran dari kabupaten induk yaitu Kabupaten Maluku Tenggara yang berikota di Tual pada tahun 1999 berdasarkan Undang-undang No. 46 tahun 1999. Secara geografis, kabupaten ini mencakup Kepulauan Tanimbar dengan Pulau Yamdena sebagai pulau utamanya (main land). Keindahan panorama pulau-pulau beserta wilayah laut di kabupaten MTB yang saat ini belum berkembang dengan baik menyebabkan de Jonge (1995) menyebutnya sebagai The Forgotten Islands of Indonesia.

Pulau Matakus yang terletak di depan Teluk Saumlaki dan termasuk dalam kawasan Selat Egron merupakan bagian pulau kecil dari 57 pulau kecil di kabupaten MTB yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat sebagai lokasi wisata. Pulau Matakus sangat unik karena di pulau ini hanya terdapat sebuah desa dengan karakteristik masyarakat yang khas dan secara fisik kawasan ini hampir seluruhnya dikelilingi oleh pasir putih dan rataan terumbu karang (flat


(23)

reef) yang membuat pengunjungnya dapat melakukan aktifitas kebaharian seperti menyelam, memancing, berolahraga dan bersantai/berekreasi di pantai. Untuk mendukung berbagai aktifitas wisata serta dalam upaya pengembangannya, Pemerintah Daerah MTB telah membangun beberapa rumah tinggal (home stay) dan gazebo di Pulau Matakus.

Saat ini kegiatan wisata yang telah berlangsung di Pulau Matakus adalah wisata pantai (rekreasi pantai) yang dilakukan oleh masyarakat yang berada di kota Saumlaki dan sekitarnya. Berbagai kelompok masyarakat baik dalam rombongan keluarga, kelompok mahasiswa dan instansi pemerintah biasanya memanfaatkan hari libur untuk berwisata di kawasan Pulau Matakus. Kegiatan lain yang dilakukan selain rekreasi pantai adalah memancing dan menikmati ikan bakar hasil tangkapan nelayan setempat atau hasil pancing wisatawan sendiri. Untuk sampai ke kawasan Pulau Matakus, pengunjung dapat menggunakan sarana transportasi berupa motor laut milik masyarakat, sarana transportasi pribadi berupa speed boat atau yang disewa selama kurang lebih 20 menit dari pelabuhan kota Saumlaki.

Selain itu, dalam upaya pengembangan wisata di MTB, Pemerintah Daerah telah melakukan kerjasama berupa penandatanganan letter of intent (LOI) dengan Manta Sailling Club di Darwin – Australia sejak bulan Juli 2003 untuk kegiatan lomba layar Darwin-Saumlaki (Sail Darwin – Saumlaki) yang dilaksanakan setiap tahun. Para wisatawan yang mengikuti kegiatan lomba layar Darwin-Saumlaki selalu mengunjungi Pulau Matakus dengan perahu-perahu layarnya setiap kali datang ke Saumlaki.

Mencermati berbagai aktifitas wisata yang ada di Pulau Matakus yang kecil ini serta mengingat kegiatan ekowisata pesisir dan bahari biasanya mempunyai kekhususan sifat seperti lokasinya yang tidak begitu luas serta berbagai jenis kegiatan wisatanya yang khas, maka dalam upaya pengembangan kegiatan wisata pesisir dan bahari di Pulau Matakus dengan konsep ekowisata, informasi yang ilmiah tentang tentang zonasi, kesesuaian (suitability) kawasan, daya dukung dan persepsi stakeholder menjadi menarik untuk dikaji bagi pemanfaatan sumberdaya Pulau Matakus secara berkelanjutan.


(24)

1.2 Perumusan Masalah

Dalam rencana pembangunan bidang pariwisata, Pemerintah Daerah MTB telah menetapkan pulau Matakus sebagai daerah tujuan wisata yang diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dan memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitarnya secara khusus dan masyarakat MTB secara umum tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang merugikan kelangsungan dan kepentingan generasi yang akan datang.

Dengan sifat insularnya, disatu sisi kawasan Pulau Matakus baik wilayah darat maupun lautnya sangat penting peranannya bagi masyakat dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya, namum disisi lain berbagai aktivitas masyarakat tersebut akan terus berlanjut ditambah lagi dengan keberadaan wisatawan dengan segala aktifitasnya sehingga berpengaruh terhadap penurunan kualitas ekosistem. Tekanan terhadap kawasan dan sumberdaya yang ada akan terus terjadi jika persepsi masyarakat lokal dan wisatawan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada di kawasan tersebut cenderung bersifat ekploitatif dibandingkan dengan kepentingan melestarikan sumberdaya tersebut untuk kegiatan ekowisata pesisir dan bahari.

Untuk mengembangkan kawasan tersebut, teristimewa dalam kaitannya dengan upaya Pemerintah Daerah saat ini dalam menarik minat pasar untuk terlibat di sektor pariwisata, maka kebutuhan akan data dan informasi tentang kondisi (potensi) dan keberadaan sumberdaya alam termasuk kesesuaian, zonasi dan daya dukung Pulau Matakus saat ini sangat penting.

Selama ini belum ada kajian yang komprehensif mengenai kesesuaian, sistem zonasi dan daya dukung Pulau Matakus serta persepsi stakeholder berkaitan dengan kegiatan wisata di kawasan tersebut, padahal pengembangan ekowisata bahari di pulau-pulau kecil mutlak memerlukan dukungan data dan informasi yang benar dan ilmiah yang meliputi, kondisi kawasan, kesesuain lahan, daya dukung kawasan, sumberdaya hayati dan nonhayati serta kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.

Informasi tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat yang menyatu dengan kawasan tersebut juga sangat diperlukan karena merekalah yang turut menentukan


(25)

dan mempengaruhi pengembangan kawasan beserta sumberdaya alam yang ada didalamnya.

Berdasarkan gambaran singkat diatas, maka beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi terkait dengan pengelolaan sumberdaya Pulau Matakus untuk ekowisata pesisir dan laut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sistem zonasi Pulau Matakus sebagai kawasan konservasi.

2. Bagaimana kesesuaian kawasan Pulau Matakus untuk kegiatan wisata pesisir dan laut dengan konsep ekowisata.

3. Bagaimana daya dukung kawasan Pulau Matakus untuk pengembangan ekowisata.

4. Bagaimana persepsi masyarakat Desa Matakus, wisatawan dan pemerintah daerah untuk pengembangan ekowisata pesisir dan laut di Pulau Matakus.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan :

1. Menentukan zonasi kawasan konservasi dan aktifitas yang sesuai di Pulau Matakus dan perairan sekitarnya.

2. Menentukan kelas kesesuaian kawasan Pulau Matakus untuk beberapa jenis kegiatan wisata (bahari dan pantai) dengan konsep ekowisata.

3. Memperkirakan daya dukung kawasan Pulau Matakus untuk kegiatan ekowisata pesisir dan laut.

4. Mengkaji persepsi masyarakat Desa Matakus, wisatawan dan pemerintah daerah untuk pengembangan ekowisata pesisir dan laut.

Manfaat Penelitian:

1. Sebagai bahan acuan bagi Pemerintah Daerah Maluku Tenggara Barat dalam merencakan dan menentukan kebijakan pengembangan ekowisata di Pulau Matakus.

2. Sebagai bahan informasi bagi pihak swasta yang ingin terlibat dalam kegiatan wisata di kawasan Pulau Matakus.

3. Sebagai informasi dasar yang ilmiah bagi upaya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara lestari dan berkelanjutan.


(26)

1.4 Kerangka Pemikiran

Pulau Matakus merupakan bagian dari sumberdaya pulau kecil di Kepulauan Tanimbar yang memiliki lebih dari satu sistem ekologi (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem alamiah yang terdapat di pesisir Pulau Matakus antara lain terumbu karang, mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pes-caprea dan formasi baringtonia, sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata dan kawasan pemukiman. Kondisi ini menggambarkan bahwa kawasan Pulau Matakus memiliki komponen biofisik yang mendukung untuk pengembangan ekowisata.

Sebagai pulau kecil, Pulau Matakus rentan terhadap berbagai tekanan baik dari masyarakat lokal dengan segala aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, juga dari wisatawan yang mengunjungi dan memanfaatkan sumberdaya dan jasa lingkungan di kawasan tersebut untuk kebutuhan wisata. Dalam pengembangan kawasan ini, keseimbangan dalam menempatkan dimensi-dimensi lingkungan, sosial dan ekonomi perlu mendapat perhatian serius. Disatu sisi pengembangan wisata ditujukan untuk menghasilkan keuntungan secara ekonomi, namum disisi lain pengembangannya juga harus memperhatikan terjaganya kualitas ekologis, baik secara fisik maupun sosial.

Pengembangan Pulau Matakus untuk kegiatan ekowisata pesisir dan laut membutuhkan berbagai informasi mengenai kondisi dan dinamika sumberdaya alam maupun masyarakat yang berada di sekitar kawasan karena pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil dimaksud harus disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya alam yang terkandung di lahan kawasan tersebut agar pemanfaatannnya secara spasial berlangsung dengan optimal. Pembagian zonasi, penentuan kesesuaian kawasan untuk berbagai kegiatan ekowisata, serta daya dukung kawasan dalam menampung berbagai aktifitas karena sifatnya yang insular maupun persepi stakeholder terkait pengembangan kawasan Pulau Matakus sangat penting untuk dipertimbangkan.

Dalam penelitian ini penentuan zona pemanfaatan di kawasan konservasi Pulau Matakus dilakukan dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan didasarkan pada kondisi biofisik kawasan. Pembagian zona terdiri atas tiga


(27)

bagian yakni zona inti, zona pemanfaatan langsung dan zona penyangga. Penenuan zonasi ini dimaksudkan untuk mempermudah pengendalian, pemanfatan dan pemeliharaan keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan Pulau Matakus dalam jangka panjang serta mengeliminir berbagai faktor tekanan terhadap ekosistem akibat kegiatan yang tidak sesuai. Selain itu pula untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan pesisir karena mengingat tidak semua kawasan pulau sesuai untuk kegiatan wisata.

Berdasarkan hasil zonasi kemudian dilakukan kajian kesesuaian kawasan Pulau Matakus untuk berbagai kegiatan ekowisata dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan didasarkan pada kriteria kesesuaian untuk setiap aktifitas wisata dan konsumsi wisata yang ada saat ini. Analisis kesesuaian wisata hanya dilakukan pada kawasan yang termasuk dalam kategori zona pemanfaatan langsung dan zona penyangga. Melalui pendekatan ini, akan diketahui kawasan mana saja yang sesuai dan tidak sesuai untuk berbagai jenis kegiatan ekowisata.

Selanjutnya dilakukan penentuan daya dukung kawasan untuk menampung wisatawan yang masuk sehingga tidak menimbulkan kerusakan/tekanan terhadap kawasan secara ekologis. Penghitungan daya dukung dilakukan dengan dua pendekatan yakni pendekatan daya dukung kawasan untuk mengetahui jumlah wisatawan yang dapat ditampung ditiap sub zona kegiatan wisata berdasarkan luas kawasan yang sangat sesuai dan menghitung total populasi wisatawan yang dapat ditampung di kawasan Pulau Matakus berdasarkan konsumsi ruang untuk kegiatan wisata saat ini dan ketersediaan lahan produktif secara biologi (biocapacity) dengan menggunakan Analisis Tapak Ekologi atau Ecological Footprint Analysis (EFA).

Persepsi stakeholder (masyarakat Desa Matakus, wisatawan dan pemerintah daerah) sehubungan dengan pengelolaan Pulau Matakus sebagai kawasan ekowisata pesisir dan laut akan dinilai berdasarkan persentase jawaban responden terhadap pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner, kemudian dilanjutkan dengan analisis multivariate menggunakan Principal Component Analysis (PCA) untuk mengetahui hubungan antara karakteristik responden dengan kondisi sosial ekonomi yang dapat berpengaruh terhadap persepsi.


(28)

Informasi – informasi tersebut diatas sangat diperlukan dalam upaya pengelolaan dan pengembangan kawasan Pulau Matakus sebagai kawasan ekowisata bahari untuk kepentingan keberlanjutan sistem sumberdaya yang terdapat di kawasan Pulau Matakus dan aktifitas ekowisata itu sendiri. Kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian

U M P A N B A L I K K E B E R L A N J U T A N Sistem SD Pulau Matakus Konsumsi Ekowisata Bahari Zonasi Pulau Matakus Biofisik Pengembangan Ekowisata Pulau Matakus Daya Dukung Ekowisata Analisis Kesesuaian Ekowisata Ecological Footprint Analisis GIS Analisis Analisis Daya Dukung Kawasan Analisis Persepsi


(29)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan dan Definisi Pulau Kecil

Secara sederhana pulau dapat didefenisikan sebagai masa daratan yang seluruhnya dikelilingi air. Berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention of the Law on The Sea) 1982 pasal 121, pulau adalah daerah yang terbentuk secara alami yang dikelilingi oleh air, muncul kepermukaan pada saat pasang tertinggi, mampu menjadi habitat dan memberikan kehidupan ekonomi dari dirinya sendiri bagi kehidupan manusia secara berkelanjutan dan dimensinya lebih kecil dari daerah daratan.

Pulau berdasarkan defenisi UNCLOS tersebut, kemudian diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 17 tahun 1985 yaitu daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu muncul/berada di atas air pasang (Ello dan Subandi, 1998; Bengen 2003 dalam Susilo 2007). Dari segi ukuran luas pulau sangat bervariasi, mulai dari pulau-pulau karang hingga yang luasnya mencapai jutaan kilometer persegi. Walaupun tidak dibatasi secara pasti, para ahli kebumian telah sepakat bahwa yang disebut pulau adalah daratan yang lebih kecil dari benua terkecil yaitu Australia yang membentang seluas 7.682.300 km2 (Husni, 1998

dalam Soselisa, 2006).

Khusus untuk pulau kecil batasannya telah berubah dari waktu ke waktu. Pulau kecil mula-mula dibatasi dengan pulau yang luasnya kurang dari 10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang dari 500.000 jiwa (Towle, 1979; Debance, 1999 dalam Adrianto, 2004), kemudian Nunn (1994) dalam Adrianto (2004) mendefenisikan pulau kecil dengan ukuran maksimal 1.000 km2, kemudian ada pula yang membatasi berdasarkan lebarnya saja yaitu kurang dari 3 km (Falkland, 1995 dalam Hehanusa et al. 1998). Saat ini batasan pulau kecil di Indonesia mengacu pada UU No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Selain pulau kecil, terdapat pula istilah pulau sangat kecil atau pulau mikro (mikro island). Menurut UNESCO (1991) dalam

Bengen (2006), pulau dengan ukuran tidak lebih besar dari 100 km2 atau lebarnya kurang atau sama dengan 3 km dikategorikan sebagai pulau sangat kecil.


(30)

2.2 Prinsip Pengelolaan SDA dan Lingkungan Pulau – Pulau Kecil

Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menurut UU No. 27 tahun 2007 adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pulau-pulau kecil (selanjutnya ditulis PPK) mempunyai sifat yang khas. Karena sifat khas dari PPK tersebut maka pengelolaannya harus menggunakan pendekatan yang khas pula. DKP (2001) menjelaskan bahwa pengelolaan PPK dengan luas kurang atau sama dengan 2.000 km2 hanya dapat digunakan untuk kepentingan: konservasi, budidaya laut (mariculture), kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi nonekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengelolaan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan. Walaupun demikian secara umum pengelolaan atau pembangunan PPK harus mengacu pada kaidah pembangunan yang berkelanjutan.

Beller et al. (1990) dalam Susilo (2007) mengemukakan bahwa pembangunan di pulau kecil bergantung kepada seberapa besar penduduknya dapat mempertahankan kondisi sumberdaya alam, termasuk energi dan air dan lingkungan ekosistem baik biofisik maupun tata nilai budaya.

Strategi pengelolaan lingkungan di PPK sudah sejak lama dilakukan secara parsial dan individualistik. Strategi pengelolaan seperti ini gagal memahami bahwa seluruh komponen kegiatan di PPK terkait satu sama lain dan bahwa interaksi dan hasil dari seluruh kegiatan di PPK dapat menciptakan reaksi berganda sekaligus berantai (multiple chain reaction) dari persoalan tekanan terhadap ekosistem dan komunitas di PPK (Cicin Sain, 1993 dalam Adrianto, 2004).

Dalam konteks ini, Chambers (1992) dalam Adrianto (2004) menganjurkan bahwa strategi pengelolaan PPK harus dapat mengkaitkan seluruh kegiatan dan stakeholders yang ada di PPK dengan menggunakan pendekatan yang terkoordinasi.


(31)

2.3 Potensi dan Kerentanan Pulau – Pulau Kecil

Dalam suatu wilayah pesisir khususnya di PPK terdapat satu atau lebih sistem ekologi (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosisitem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan (man-made). Ekosistem alamiah yang terdapat di pesisir pulau-pulau kecil antara lain terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (marine culture) dan kawasan pemukiman (Dahuri, 2000).

Sumberdaya ikan di kawasan PPK sangat tinggi, hal ini kerena didukung oleh ekosistem yang kompleks, sangat beragam dan produktif. Perairan karang merupakan ekosistem yang subur yang banyak dihuni oleh beranekaragam sumberdaya hayati. Selain itu, ekosistem terumbu karang dengan keunikan dan keindahannya juga dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata bahari yaitu: wisata selam, layar maupun snorkling.

Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan PPK, seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut, juga kegiatan budidaya (ikan udang, rumput laut) merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Dengan kaanekaragaman dan keindahan yang dimiliki PPK tersebut merupakan daya tarik tersendiri dalam pengembangan jasa pariwisata.

Selain segenap potensi pembanguan tersebut di atas, ekosisitem PPK juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di PPK sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan biogeokimia, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.

Pulau-pulau kecil sudah dikenal sebagai wilayah yang memiliki karakteristik khas seperti luas daratannya yang kecil, relatif jauh dari dari daratan


(32)

induk, relative peka dalam konteks ekonomi maupun lingkungan (Srinivas, 1998

dalam Adrianto, 2004).

Susilo (2007) menjelaskan bahwa pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat akan sangat bergantung pada kondisi lingkungan, sistem sosial dan ekonomi yang sehat, produktif dan aman. Oleh karena itu perlu selalu dipertimbangkan sifat khas pulau kecil yang rentan terhadap dampak kegiatan manusia. Potensi gangguan manusia terhadap ekosistem PPK antara lain: (1) merubah jenis dan komposisi ekosistem; (2) merubah kekayaan jenis biota; (3) membawa hewan/tumbuhan introduksi yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem; (4) menimbulkan polusi dan kerusakan lingkungan yang dapat menurunkan daya dukung lingkungan, termasuk SDA dan jasa lingkungan; (5) merubah atau merusak habitat alamiah.

Selanjutnya Debance (1999) dalam Adrianto (2004) berpendapat bahwa pembangunan fisik oleh manusia maupun perbuahan-perubahan alam seperti bencana alam menjadi salah satu penyebab utama dari turunnya kualitas lingkungan PPK.

Dalam konteks faktor lingkungan Hall (1999) dalam Adrianto (2004) membagi persoalan lingkungan menjadi dua kategori yaitu (1) persoalan lingkungan secara umum yang meliputi: limbah lokal, persoalan perikanan, kehutanan, penggunaan lahan dan persoalan hak ulayat pulau: (2) persoalan lingkungan lokal yang meliputi: hilangnya tanah (soil loss) baik secara fisik maupun kualitas, kekurangan air (water shortage), limbah padat dan bahan kimia bercun dan problem spesies langka. Karakteristik lain adalah bahwa PPK sangat rentan terhadap bencana alam seperti angin topan, gempa bumi dan banjir (Briguglio, 1995; Adrianto and Matsuda, 2002 dalam Adrianto, 2004).

2.4 Ekowisata Sebagai Pariwisata Berkelanjutan

Berbicara mengenai pariwisata terutama selalu identik dengan adanya hotel-hotel berbintang di pesisir pantai yang memiliki fasilitas serba lengkap, yang dapat memanjakan pengunjungnya ketika sedang berwisata serta jumlah wisatawan yang banyak. Artinya yang berkembang selama ini adalah pariwisata dengan label industri yang memanfaatkan keberadaaan sumberdaya alam untuk


(33)

mendapat keuntungan sebesar – besarnya. Dampak yang muncul dari pariwisata berbasis industri tersebut adalah terjadi perubahan bentang alam, serta tekanan terhadap keberadaan ekosistem setempat.

Mencermati berbagai dampak negatif terhadap lingkungan tersebut, sebagai konsekuensinya dewasa ini telah dibangun konsep pariwisata yang lembut (soft tourism) sebagai perlawanan terhadap pariwisata masal (mass tourism). Istilah yang lain seperti suara lingkungan, perjalanan yang bertanggung jawab dan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) termasuk didalamnya. Pariwisata berkelanjutan merupakan jenis pariwisata yang menyenangkan orang dan alam dalam suatu arah yang bertanggung jawab (Fennel, 1999).

Menurut Moscardo dan Kim (1990) dalam Yudasmara (2004), pariwisata yang berkelanjutan harus memperhatikan: (1) peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, (2) menjamin keadilan antar generasi dan intragenerasi, (3) melindungi keanekaragaman biologi dan mempertahankan sistem ekologi yang ada serta (4) menjamin integritas budaya.

Pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan memiliki kesamaan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), sehingga pariwisata yang berkelanjutan harus memenuhi kriteria – kriteria sebagai berikut ini (Hadiyati et al., 2003):

(1) Secara ekologis berkelanjutan, yaitu pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif bagi ekosistem setempat. Konservasi pada daerah wisata harus diupayakan secara maksimal untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek negatif kegiatan wisata.

(2) Secara sosial dan kebudayan dapat diterima, yaitu mengacu pada kemampuan penduduk lokal menyerap usaha pariwisata tanpa menimbulkan konflik sosial dan masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan budaya turis yang berbeda sehingga tidak merubah budaya masyarakat lokal.

(3) Secara ekonomis menguntungkan, yaitu keuntungan yang diperoleh dari kegiatan wisata yang ada dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat setempat.

Saat ini ekowisata merupakan istilah yang telah dipergunakan secara internasional untuk mempertegas konsep pariwisata yang berkelanjutan. Perlu


(34)

diingat bahwa ekowisata merupakan suatu konsep wisata yang menjunjung tinggi keaslian alam dan berorientasi ekologi. Ekowisata merupakan bagian integral dari pariwisata berkelanjutan artinya bahwa ekowisata tidak menggambarkan bagian lain dalam pasar wisata komersial sebagaimana yang dilakukan oleh industri pariwisata, tetapi menggambarkan suatu filosifi perjalanan yang meliputi kriteria pariwisata berkelanjutan dengan mempromosikan/memajukan perjalanan secara harmonis dan bertanggung jawab khususnya di alam.

Ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada tahun 1991. TIES (1991) mendefenisikan ekowisata sebagai perjalanan bertanggungjawab ke daerah-daerah yang masih alami yang dapat mengkonservasi lingkungan dan memelihara kesejahteraan masyarakat setempat.

Fennel (1999) mendefenisikan ekowisata sebagai wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem tertentu dan memberikan dampak negatif paling rendah pada lingkungan, tidak bersifat konsumtif serta berorientasi lokal (dalam hal kontrol, manfaat/keuntungan yang didapat dan skala usaha), berada dilokasi wisata alam dan berkotribusi pada konservasi dan preservasi lokasi tersebut.

Menurut Bruce et al. (2002) ekowisata merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Ekowisata adalah wisata yang berbasis pada memperbolehkan orang untuk menikmati lingkungan alam dalam arah yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Konsep pengelolaan ekowisata tidak hanya beriorientasi pada keberlanjutan tetapi lebih dari pada itu yaitu mempertahankan nilai sumberdaya dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumberdaya alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan dan psikologis pengunjung. Dengan demikian ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan filosofi. Hal inilah yang membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak akan mengenal kejenuhan pasar (Yulianda, 2007).


(35)

2.5 Prinsip Ekowisata

Ekowisata dan konservasi bagaikan dua sisi uang logam yang tak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Yulianda (2007) menjelaskan bahwa konsep pengembangan ekowisata sejalan dengan misi konservasi yang mempunyai tujuan (1) menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan, (2) melindungi keanekaragaman hayati, (3) menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, dan (4) memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat.

Lebih lanjut menurut Yulianda (2007), konsep pengembangan ekowisata hendaknya dilandasi pada prinsip dasar ekowisata yang meliputi :

(1) Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat

(2) Pendidikan konservasi lingkungan; mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi

(3) Pendapatan langsung untuk kawasan; retribusi atau pajak konservasi (conversation tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan

(4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan

(5) Penghasilan bagi masyarakat; masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan

(6) Menjaga keharmonisan dengan alam; kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam

(7) Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

(8) Kontribusi pendapatan bagi Negara (pemerintah daerah dan pusat).

Ada 7 butir prinsip – prinsip ekowisata menurut Ecotourism and Sustainable Development dalam Bahar (2004) antara lain :

(1) Menyangkut perjalanan ke suatu tempat yang alami (involves travel to natural destinations).

Sering tempat tersebut jauh, ada penduduk atau tidak ada penduduk, dan biasanya lingkungan tersebut dilindungi.


(36)

(2) Meminimalkan dampak negatif (minimized negative impact)

Pariwisata menyebakan kerusakan tetapi ekowisata berusaha untuk meminimalkan dampak negatif yang bersumber dari hotel, jalan atau infrastruktur lainnya. Meminimalkan dampak negatif dapat dilakukan melalui pemanfaatan material/sumberdaya stempat yang dapat didaur ulang, sumber energi yang terbaharui, pembuangan dan pengelolaan limbah dan sampah yang aman, dan menggunakan arsitektur yang sesuai dengan lingkungan (landscape) dan budaya setempat, serta memberikan batas/jumlah wisatawan sesuai daya dukung objek dan pengaturan perilakunya.

(3) Membangun kepedulian terhadap lingkungan (build environmental awareness)

Unsur paling penting dalam ekowisata adalah pendidikan, baik kepada wisatawan maupun masyarakat penyangga objek. Sebelumnya semua pihak yang terintegrasi dalam perjalanan wisata alam harus dibekali informasi tentang karakteristik objek dan kode etik sehingga dampak negatif dapat diminimalkan.

(4) Memberikan beberapa manfaat finansial secara langsung kepada kegiatan konservasi (provides direct financial benefits for conservation)

Ekowisata dapat membantu meningkatkan perlindungan lingkungan, penelitian dan pendidikan melalui mekanisme penarikan biaya masuk dan sebagainya.

(5) Memberikan manfaat/keuntungan financial dan pemberdayaan pada masyarakat lokal (provides financial benefits and empowerment for local people)

Masyarakat akan merasa memiliki dan peduli kepada kawasan konservasi apabila mereka mendapatkan manfaat yang menguntungkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Keberadaan ekowisata disuatu kawasan harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (local community walfare). Manfaat finansial dapat dimaksimalkan melalui pemberdayaan atau peningkatan kapasitas masyarakat lokal, baik dalam pendidikan, wirausaha, permodalan dan manajemen.


(37)

(6) Menghormati budaya setempat (respect local culture)

Ekowisata disamping lebih ramah lingkungan, juga tidak bersifat destruktif, intrusif, polutan dan eksploitatif terhadap budaya setempat yang justru merupakan salah satu “core” bagi pengembangan kawasan ekowisata.

(7) Mendukung gerakan hak azasi manusia dan demokrasi (support human right and democratic movements).

Ekowisata harus mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat lokal yang secara umum memiliki posisi tawar yang lebih rendah, menempatkan masyarakat sebagai elemen pelaku dalam pengembangan suatu kawasan, sehingga terlibat langsung dalam pengambilan keputusan serta menentukan hak – hak kepemilikan. Pengambilan keputusan secara komprehensif, adaptif dan demokratis melalui pendekatan co-management (integrated bottom up and top down approach).

2.6 Ekowisata Bahari

Terminologi ekowisata bahari akhir-akhir ini semakim popular di seluruh dunia. Kebanyakan Negara – Negara yang memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk Indonesia mulai mendengungkan ekowisata bahari sebagai suatu bentuk baru dari pariwisata yang berlawanan dengan bentuk pariwisata masal yang tradisional dan berbasis industri. Hal ini tentu saja selain didasarkan atas tuntutan dari para pecinta lingkungan bahwa kegiatan wisata seharusnya memperkecil dampak negarif terhadap lingkungan melalui kegiatan konservasi, tetapi lebih dari itu adalah bentuk kesadaran dan tanggung jawab manusia dalam memelihara keberlanjutan sumberdaya alam.

Terminologi ekowisata bahari (marine ecotourism) merupakan pengembangan dari wisata bahari (marine tourism). Orams, (1999) mendefenisikan wisata bahari sebagai aktivitas rekreasi yang meliputi perjalanan jauh dari suatu tempat tinggal menuju lingkungan laut (dimana yang dimaksud dengan lingkungan laut sendiri adalah perairan yang bergaram dan dipengaruhi oleh pasang surut).

Secara lebih spesifik, Yulianda (2007) mendefenisikan ekowisata bahari sebagai ekowisata yang memanfaatkan karakter sumberdaya pesisir dan laut.


(38)

Sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata. Ekowisata bahari merupakan kegiatan pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut.

Menurut Bruce et al. (2002), ekowisata bahari adalah ekowisata yang terdapat di wilayah pesisir dan lingkungan laut. Aktifitas ekowisata bahari dapat berbasis perairan (water-based), berbasis daratan (land-based) atau gabungan keduanya yang meliputi pengamatan ikan paus, dolphin, hiu, anjing laut dan hewan laut lainnya, burung laut, selam (diving) dan snorkling, perjalanan mengamati dasar laut dengan perahu di permukaan, berjalan kaki di pesisir dan pantai serta mengunjungi laut lepas dan pusat kehidupan di laut.

2.7 Zonasi Kawasan Ekowisata

Untuk melindungi suatu kawasan wisata dari pengunjung wisata maka perlu dilakukan zonasi. Hal ini untuk untuk melindungi sumberdaya maupun memberikan keragaman pengalaman bagi pengunjung.

Zonasi merupakan pembagian kawasan berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Zonasi merupakan alat yang paling umum bagi pengelolaan kawasan yang dilindungi untuk memisahkan kawasan yang pemanfaatannya bertentangan, serta untuk pengelolaan kawasan dengan manfaat ganda (Mac Kinnon et al. 1986

dalam Purnama, 2005), sedangkan Bengen (2002) menyatakan bahwa penetapan zonasi kawasan adalah pengelompokan areal suatu kawasan ke dalam zona-zona sesuai dengan kondisi fisik dan fungsinya. Zonasi bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi ekologi dan ekonomi ekosistem suatu kawasan sehingga dapat dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan secara berkelanjutan.

Menurut MCRMP-DKP (2004) dalam Helmi (2007) zona merupakan suatu kawasan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama untuk suatu peruntukan yang sesuai di daratan dan laut. Zonasi bertujuan untuk membagi wilayah darat dan laut dalam kawasan yang sesuai dengan peruntukan dan


(39)

kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang bersifat bertentangan (incompatible).

Prinsip penetapan zonasi adalah : 1) Sumberdaya alam maupun budaya memiliki karakteristik dan toleransi tertentu untuk dapat dintervensi, dan 2) Pengelola harus dapat melakukan sesuatu untuk memelihara dan mempertahankan karakteristik dan kemampuan tersebut untuk menjamin tercapainya tujuan pengelolaan dari penggunaan sekarang maupun yang akan datang (Basuni 1987

dalam Purnama, 2005).

Menurut Yulianda (2007), zonasi di kawasan ekowisata bahari terbagi atas empat bagian. Pertama, zona inti yang bertujuan melindungi satwa dan ekosistem yang sangat rentan sehingga pengunjung dilarang untuk masuk ke dalam. Kedua, zona khusus atau pemanfaatan terbatas dengan tujuan khusus bagi peneliti, pencinta alam, petualang, penyelam. Jumlah pengunjung terbatas dengan ijin dan aturan – aturan khusus agar tidak menimbulkan gangguan terhadap ekosistem.

Ketiga, zona penyangga. Merupakan kawasan penyangga yang dibuat untuk perlindungan terhadap zona-zona inti dan khusus. Dapat dimanfaatkan terbatas untuk ekowisata dengan batasan minimal gangguan terhadap zona inti dan khusus.

Keempat, zona pemanfaatan. Ditujukan untuk pengembangan kepariwisataan alam, termasuk pengembangan fasilitas-fasilitas wisata alam dengan syarat kestabilan bentang alam dan ekosistem, resisten terhadap berbagai kegiatan manusia yang berlangsung di dalamnya.

2.8 Kesesuaian Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil

Pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dan kesejahteran masyarakat akan sangat bergantung pada kondisi lingkungan, sistem sosial dan ekonomi yang sehat, produktif dan aman (protective). Oleh karena itu perlu selalu dipertimbangkan sifat khas pulau kecil yang rentan terhadap dampak kegiatan manusia.

Pembangunan berkelanjutan suatu wilayah kepulauan secara ekologis memerlukan empat persyaratan (Dahuri et al., 2004). Pertama, setiap kegiatan pembangunan (seperti tambak, pertanian, perkebunan dan pariwisata) harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik “sesuai”. Persyaratan ini dapat


(40)

dipenuhi dengan cara membuat peta kesesuaian lahan, termasuk perairan (land suitability). Kedua, jika kita memanfaatkan sumberdaya dapat pulih, seperti penangkapan ikan di laut, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potrnsi lestari dari stok ikan tersebut. Demikian juga jika kita menggunakan air tawar (biasanya merupakan factor pembatas terpenting dalam suatu ekosistem pulau kecil), maka laju penggunaannya tidak boleh melebihi kemampuan pulau termaksud untuk menghasilkan air tawar dalam kurun waktu tertentu. Ketiga, jika kita membuang limbah ke lingkungan pulau, maka jumlah limbah (bukan limbah B3, tetapi limbah yang biodegradable) tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pulau tersebut. Keempat, jika kita memodifikasi bentang alam (landscape) suatu pulau (seperti penambangan pasir reklamasi) atau melakukan kegiatan konstruksi di lingkungan pulau, khususnya di tepi pantai, seperti membangun dermaga (jetty) dan hotel, maka harus sesuai dengan pola hidrodinamika daerah setempat dan proses-proses alami lainnya (design with nature).

Menurut Bengen (2002), pemanfaatan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari terwujud apabila memenuhi tiga persyaratan ekologis, yaitu (a) keharmonisan spasial; (b) kapasitas asimilasi dan daya dukung lingkungan, dan (c) pemanfaatan potensi sesuai daya dukungnya. Keharmonisan spasial berhubungan dengan bagaimana menata suatu kawasan pulau-pulau kecil bagi peruntukan pembangunan (pemanfaatan sumberdaya) berdasarkan kesesuaian (suitability) lahan (pesisir dan laut) dan keharmonisan antara pemanfaatan.

Keharmonisan spasial mensyaratkan suatu kawasan pulau-pulau kecil tidak sepenuhnya diperuntukan bagi zona pemanfaatan tetapi juga harus dialokasikan untuk zona preservasi dan konservasi. Keharmonisan spasial, juga menuntut pengelolaan pembangunan dalam zona pemanfaatan dilakukan secara bijaksana. Artinya kegiatan pembangunan ditempatkan pada kawasan yang secara biofisik sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang dimaksud (Bengen 2002).


(41)

2.9 Daya Dukung

2.9.1 Daya Dukung Lingkungan Pulau-Pulau Kecil

Daya dukung (carrying capacity) merupakan salah satu variabel penting yang perlu mendapat perhatian khusus dalam upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan sesuai ukuran kemampuannya agar tetap lestari dan berkelanjutan. Daya dukung bagaikan faktor pembatas (limiting factor) yang dapat membatasi berbagai aktifitas manusia dalam memanfaatan sumberdaya sesuai kemampuannya agar tidak terjadi kemerosotan.

Susilo (2006) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia atau benda hidup lainnya. Penulis lain mendefenisikan daya dukung suatu area sebagai kemampuan area tersebut untuk menopang berbagai penggunaan sumberdaya/kegiatan pembangunan (Clark, 1992; Sullivan, et.al., 1995 dalam Susilo, 2006).

Menurut DKP (2005), daya dukung pulau kecil adalah kemampuan pulau tersebut menyerap bahan, energi maupun komponen lainnya yang dibangun dan dibuang di pulau dan perairan sekitar pulau tersebut. Daya dukung wilayah pulau kecil dapat didefenisikan dengan menentukan jumlah penduduk dan kegiatan di wilayah pesisir yang dapat didukung oleh satuan sumberdaya alam yang tersedia di suatu pulau. Pengertian daya dukung pulau kecil dapat juga dipahami sebagai kemampuan kawasan tersebut dalam menyediakan ruang untuk berbagai kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung.

Daya dukung lingkungan PPK ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu (1) potensi lestari pulau dalam menyediakan sumber daya alam khususnya sumber daya perikanan laut, (2) ketersediaan ruang untuk kegiatan pembangunan dan kesesuaian lahan serta perairan pantai untuk kegiatan pertambakan, budidaya laut, pertanian, perkebunan dan pariwisata, (3) kemampuan ekosistem pulau untuk menyerap limbah, sebagai hasil samping kegiatan pembangunan, secara aman. Dalam batas-batas tertentu, daya dukung lingkungan dapat ditingkatkan melalui intervensi teknologi, seperti pemupukan tanah dan desalinasi air laut (Dahuri, 1998 dalam Soselisa, 2006).


(42)

2.9.2 Daya Dukung Kawasan Ekowisata

Sesuai konsep pembangunan berkelanjutan, maka pengembangan PPK sebagai kawasan ekowisata harus memperhitungkan daya dukung kawasan tersebut. Daya dukung wisata merupakan tipe spesifik dari daya dukung lingkungan dan mengarah kepada daya dukung dari lingkungan biofisik dan sosial sehubungan dengan aktifitas wisatawan.

McNeely et al. (1992) menyatakan bahwa daya dukung wisata merupakan tingkat pengunjung yang memanfaatkan suatu kawsan wisata dengan perolehan tingkat kepuasan yang optimal dengan dampak terhadap sumberdaya yang minimal. Konsep ini meliputi dua faktor yang utama yang membatasi perilaku pengunjung berkaitan dengan daya dukung, yaitu : (1) kondisi lingkungan dan (2) kondisi sosial budaya masyarakat.

Daya dukung wisata menunjukan tingkat maksimum pengunjung yang menggunakan dan berhubungan dengan infrastruktur yang dapat ditampung suatu wilayah. Jika daya dukung melampaui, akan mengakibatkan kemerosotan sumberdaya di wilayah, mengurangi kepuasan pengunjung dan atau berdampak merugikan pada aspek sosial, ekonomi. Pengertian daya dukung wisata saat ini meliputi empat komponen dasar yaitu biofisik, sosial budaya, psikologi dan manajerial (Angamanna, 2005).

Menurut Yulianda (2007) konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal, yaitu (1) kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia dan (2) standar keaslian sumberdaya alam.

2.10 Ecological Footprint Analisis (EFA)

Ecological Footprint adalah suatu indikator yang digunakan untuk melukiskan jumlah daratan dan kawasan perairan untuk suatu populasi manusia atau suatu indikator lingkungan yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar ruang yang diperlukan untuk menampung aktivitas manusia. Ini berarti bahwa yang menjadi fokus dalam pendekatan Ecological Footprint adalah daya dukung agar pemanfaatan sumberdaya alam menjadi optimal terhadap kondisi populasi dan kegiatan terkini (actual) di suatu kawasan.


(43)

Konsep Ecological Footprint (ekologi footprint/tapak ekologis) pertama kali dikembangkan oleh Willian Rees dan Mathias Wackernagel tahun 1995. Konsep asli Ecological Footprint didefenisikan sebagaiarea lahan yang dibutuhkan untuk mencukupi konsumsi dari suatu populasi dan untuk menyerap seluruh limbah yang dihasilkan (Wackernagel and Rees 1995 dalam Lensen and Murray, 2003)

Wilson dan Anielski (2005) memodifikasi konsep asli tersebut dan mendefenisikan Ecological Footprint sebagai ukuran permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa alam – jumlah area dan badan air (laut, danau dan sungai) yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan – relatif terhadap produksi area lahan dan laut secara biologi yang menyediakan barang dan jasa alam. Hal ini dilakukan dengan menghitung dan membandingkan konsumsi manusia secara langsung terhadap produktivitas yang terbatas dari alam.

Ecological footprint bertujuan menggambarkan penyediaan lahan produktif secara biologi oleh individu atau negara dengan menggunakan kesamaan ruang (space equivalents). Ide konsep ini adalah untuk membandingkan area yang dibutuhkan untuk mendukung gaya hidup tertentu dengan area yang ada, sehingga menghasilkan suatu instrument untuk mengkaji konsumsi yang secara ekologi berkelanjutan (Wackernagel and Rees, 1996; Chambers et al., 2000 dalam

Gossling et al., 2002).

Adrianto (2004) dalam kajiannya tentang pendekatan ecological footprint untuk menilai keberlanjutan sumberdaya perikanan berpendapat bahwa analisis ecological footprint dapat membantu kita mengetahui total area yang dibutuhkan untuk mendukukung populasi dalam mengonsumsi ikan sesuai standard hidup saat ini. Jika total area yang tempati oleh populasi lebih kecil dari total area ecological footprint maka area aktul yang tersedia tidak cukup untuk mendukung populasi.

Gossling et al. (2002) telah menggunakan EFA untuk mengkaji keberlanjutan ekowisata di Seychelles dan berpendapat bahwa ekowisata dapat berkelanjutan pada tingkat lokal (dalam pengertian menurunkan ancaman minimum terhadap ekosistem lokal melalui konversi lahan), tetapi dalam bayak kasus tidak berkelanjutan dari sudut pandang global. Untuk menerangkan hal ini, maka EFA merupakan suatu konsep untuk mengkaji keberlanjutan dalam


(44)

pariwisata sekaligus menguji hipotesis bahwa ekowisata merupakan suatu bentuk pariwisata yang berkelanjutan.

2.11 Persepsi Masyarakat

Beragam pengertian tentang peresepsi menurut beberapa ahli telah dikumpulkan oleh Suhartini (1996) dalam Haryanto (2003) yang menjelaskan antara lain:

a. Persepsi adalah kemampuan mengorganisasikan pengamatan dan interpretasi pribadi atas obyek sesuai dengan pengetahuan minat dan pengalaman (Theodorson and Achilles, 1969).

b. Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Jalaludin, 1986)

c. Persepsi adalah pengalaman langsung dari seorang individu (Morgan, 1984.) d. Persepsi seorang ditentukan oleh faktor fungsional dan faktor struktural.

Faktor fungsional yang menetukan persepsi seseorang adalah faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu serta hal – hal lain yang termasuk faktor internal pada seseorang. Sedangkan faktor struktural merupakan faktor – faktor yang berasal dari sifat stimulus fisik dan efek – efek syaraf yang ditimbulkannya.

Menurut Sarwono (1999) dalam Haryanto (2003) dalam persepsi sosial ada dua hal yang ingin diketahui yaitu keadaan dan perasaan orang lain saat ini, ditempat ini melalui lisan atau non lisan dan kondisi yang lebih parmanen yang ada dibalik segala yang tampak saat ini (niat, sifat, motivasi dan sebagainya) yang diperkirakan menjadi penyebab dari kondisi saat ini.

Persepsi terhadap kebijakan sumberdaya alam yang berkelanjutan memiliki 4 komponen yaitu komponen kognitif (pengetahuan, pengertian dan pemikiran); afektif (perasaan: senang – tidak senang); interpretasi (makna, dampak, akibat, ide, pengertian dan mengingatkan kepada masa lalu); dan komponen evaluasi (Fisher, et al., 1984 dalam Siagian, 1998).


(45)

2.12 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis adalah suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan data spasial (Prahasta, 2005).

Lyon (2003) menyatakan bahwa penerapan SIG mempunyai kemampuan luas dalam proses pemetaan dan analisis sehingga teknologi tersebut sering dipakai dalam proses perencanaan landscape. Selain itu pemanfaatan SIG dapat digunakan untuk evalusi kualitas dan karakteristik lahan dan lebih penting lagi adalah kemampuan untuk mensimulasikan model-model.

SIG bukanlah suatu sistem yang semata-mata berfungsi untuk membuat peta tetapi merupakan alat analitik (analytical tool) yang mampu memecahkan masalah spasial secara otomatis, cepat dan teliti. Hampir semua bidang ilmu yang bekerja dengan informasi keruangan memerlukan SIG, diantaranya bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pariwisata, lingkungan, perkotaan dan transportasi (Jaya, 2002).

Gunawan (1998) menjelaskan bahwa SIG umumnya dipahami memiliki kontribusi besar dalam pengelolaan wilayah pesisir, yakni (1) membantu memfasilitasi berbagai pihak sektoral, swasta dan Pemda yang merencanakan sesuatu, dapat dipetakan dan diintegrasikan untuk mengetahui pilihan-pilihan manajemen dan alternatif perencanaan yang paling optimal. Kombinasi sektor atau kegiatan yang sinergis dan mempunyai keunggulan komparatif secara ekonomis tetapi dampak lingkungannya minimal dapat ditampilkan, sehingga pihak perencana dapat menyeleksi sektor atau kegiatan yang layak dan tidak layak dilakukan, (2) merupakan alat yang digunakan untuk menunjang pengelolaan sumberdaya pesisir yang berwawasan lingkungan. Dengan menggunakan SIG, kita dengan mudah dan cepat dapat melakukan analisis keruangan (spatial analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir. Kemampuan SIG dalam analisis keruangan dan pemantauan dapat digunakan untuk mempercepat dan mempermudah penataan ruang (pemataan potensi) wilayah pesisir yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya.


(46)

Sehubungan dengan pemanfaatan SIG dalam bidang pariwisata, Aronnof (1993) dalam Sigabariang (2008) menyatakan bahwa pemetaan zona kegiatan wisata pesisir dengan SIG ini tentu akan sangat membantu pemerintah daerah dalam menyusun rencana pengembangan wisata pesisir di wilayahnya. Penerapan teknologi SIG biasa menjadi salah satu alternatif untuk pengembangan potensi daerah yang terkait dengan wilayah pesisir, yakni ekowisata pesisir.


(47)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kawasan Pulau Matakus yang terletak di depan outlet teluk Saumlaki, Kepulauan Tanimbar Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Propinsi Maluku. Kegiatan penelitian berlangsung selama 5 bulan, dimulai pada bulan Oktober 2008 – Maret 2009. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. 3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei yaitu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual tentang suatu daerah (Natzir, 1993). Metode survei juga bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu kelompok masyarakat melalui wawancara langsung dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dirancang dan dipersiapkan sebelumnya (Singarimbun, 1995). Gay (1976) dalam Sevilla et al. (1993) mendefenisikan metode survei sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian.

3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui survey, observasi dan wawancara langsung dengan masyarakat desa, wisatawan dan stakeholder terkait di lapangan.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan di dinas atau instansai terkait di Kabupaten Maluku Tenggara Barat dalam bentuk laporan dan publikasi daerah seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata, Bappeda, BPS, BMG, Kantor Camat, Kantor Desa Matakus, sedangkan peta-peta pendukung diperoleh dari instansi seperti Biotrop, Dishidros TNI AL dan Bakosurtanal. Jenis data yang dibutuhkan, metode pengumpulan, sumber data dan alat/bahan yang digunakan dalam penelitian seperti terlihat pada Tabel 1.


(48)

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian Pulau Matakus Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku.

Gambar 3 Peta Lokasi Sampling

KEP. TANIMBAR Provinsi Maluku Timor Leste Irian Jaya P. Seram P. Buru P. Wetar NTT

Kab. Maluku Tenggara Barat

Lokasi Penelitian 7 °2 9 '0 0 " 7 °2 9'0 0 " 4 °5 8 '0 0 " 4 °5 8 '0 0 " 126 °31'00" 126 °31'00" 129°2'0 0" 129°2'0 0" 131°33 '00" 131°33 '00"

Peta Lokasi Penelitian

0 100 200 Km

N

Dibuat oleh , Salvinus Solarbesain

C252070101/ SPL

Kab. M aluku Tenggar a Bar at


(1)

Lanjutan

Kriteria Nilai Kriteria

Tinggi (3) Sedang (2) Rendah (1)

3. Bentuk Ancaman:

-Penggunaan bom/ sianida -Penggunaan jangkar perahu

-Penggunaan belo (tongkat pendorong perahu) -Penggunaan tuba

Bila memenuhi semua criteria Bila memenuhi 2 – 3 kriteria

Bila memenuhi hanya 1 kriteria 4. Pariwisata:

-Terdapat wisata bahari -Terdapat wisata pantai -Terdapat wisata budaya

Bila terdapat semua komponen Bila terdapat 2 komponen Bila terdapat 1 komponen Total Nilai II

III. Sosial

1. Tingkat dukungan Masyarakat (pemerintah desa,

tokoh adat, tokoh agama, LSM, masyarakt) Bila ada dukungan semua komponen

Bila ada 3 – 4 dukungan Bila ada 1-2 dukungan 2. Temapat Rekreasi :

-Terdapat daratan pantai luas -Terdapat perairan pantai tenang -Terdapat lautan yang tenang

Bila terdapat semua komponen Bila ada 2 komponen Bila ada 1 komponen 3. Konflik kepentingan; (Perorangan, Marga,

Masyarakt adat)

Bila loksi memenuhi semua komponen

Bila lokasi memenuhi dua komponen

Bila lokasi memenuhi 1 komponen 4. Keamanan :

-Aman sepanjang musim

-Aman pada musim barat atau timur

Spanjang musim Salah satu musim Tidak aman spanjang musim 5. Akesibilitas (keterkaitna dengan alat transportasi) Tersedia alat transport umum

regular

Tersedia alat transport masyarakat

Menyewa alat transport masyarakt Total Niali III

Total Nilai I + II + III Persentase dari Nilai Total

Sumber: Modifikasi dari Soselisa (2006); Baksir (2009)


(2)

Lampiran 10 Equation Model EFA dengan Stela 9.0.2

Jmlh_Turis(t) = Jmlh_Turis(t - dt) + (Total_BC\ha - EF\ha\cap\thn) * dt

INIT Jmlh_Turis = 150

INFLOWS:

Total_BC\ha =

BC_Built_up+BC_Croplnd+BC_energy\ha_+BC_Forest+BC_Pasture+BC_Sea_space

OUTFLOWS:

EF\ha\cap\thn =

(Foot_Buildup\ha\cap\thn+Foot_Food_&_Fibre+Foot_Energy\ha\cap\thn)*Jmlh_Turis

lama_wisata(t) = lama_wisata(t - dt)

INIT lama_wisata = 6

arable_land\ha\cap\thn = 0.0694

BC_Built_up = Exist_buildt_area*YF_built_up

BC_Croplnd = Exist_Crop_Area*YF_Crop

BC_energy\ha_ = Exist_Area\ha*YF_energy

BC_Forest = Exist_Forest\ha*YF_Forest

BC_Pasture = Exist_past_area*YF_Pasture

BC_Sea_space = Exist_fish_area\ha*YF_fishery

Exist_Area\ha = 30.39

Exist_buildt_area = 735.39

Exist_Crop_Area = 126.13

Exist_fish_area\ha = 5787

Exist_Forest\ha = 110.63

Exist_past_area = 49.86

foot_aktifitas =

(luas_area_diving\ha/Jmlh_Turis/lama_wisata)+(luas_area_snorkli/Jmlh_Turis/lama_wisata)+(l

uas_wisata_pantai/Jmlh_Turis/lama_wisata)

Foot_Buildup\ha\cap\thn = foot_aktifitas+foot_Jalan+foot_pelabuhan+foot_penginapan

Foot_Energy\ha\cap\thn = kons_enegry\GJ\cap/jmlh_energy\GJ\ha\thn

Foot_Food_&_Fibre =

arable_land\ha\cap\thn+Forest_space\ha\cap\thn+pasture\ha\cap\thn+Sea_Space\ha\cap\thn

foot_Jalan = luas_jln\ha/Jmlh_Turis/lama_wisata


(3)

Lanjutan

foot_pelabuhan = luas_pelbhn\ha/Jmlh_Turis/lama_wisata

foot_penginapan = luas_pnginpn\ha/Jmlh_Turis/lama_wisata

Forest_space\ha\cap\thn = 0.0639

jmlh_energy\GJ\ha\thn = 30.39

kons_enegry\GJ\cap = 145.86/Jmlh_Turis/lama_wisata

luas_area_diving\ha = 33.58

luas_area_snorkli = 82.49

luas_jln\ha = 0.1981

luas_pelbhn\ha = 4.78

luas_pnginpn\ha = 2.1783

luas_wisata_pantai = 5.7

pasture\ha\cap\thn = 0.3367

Sea_Space\ha\cap\thn = 0.0443

YF_built_up = 1.0

YF_Crop = 1.7

YF_energy = 1.3

YF_fishery = 0.6

YF_Forest = 1.3

YF_Pasture = 2.2


(4)

Lampiran 11 Karakteristik Responen dari unsur Masyarakat

NO NAMA RESPONDEN UMUR PEKERJAAN PENDIDIKAN PENDPATAN (Rp)

1 Niko Lololuan 49 Guru D3 > 1.500.000

2 Adri Mailuhu 35 Pendeta S1 750.000 – 1.000.000 3 Nelson Matruti 38 Guru PGAKP 1.000.000 – 1.500.000 4 Ulis Matruti 60 Kepala Desa SMEA 750.000 – 1.000.000 5 Nelson Damaryanan 34 Guru S1 500.000 – 750.000 6 Marselina Inuhan 40 Guru PGSD >1.500.000 7 Otis Slarmanant 31 Wiraswasta STM 500.000 – 750.000 8 Penina Putnarubun 32 Guru PGSD 1.000.000 – 1.500.000

9 Tias Albertus 52 Petani SD <250.000

10 Heronia 19 Petani SMP <250.000

11 Beni 21 Petani SMP <250.000

12 Sara Turaleli 27 Petani SD <250.000

13 Vecky Turalel 28 Petani SMP <250.000

14 Ony Minanlarat 42 Petani SMEA 250.000 – 500.000 15 Grace Sriwahtuni 37 Petani SPG <250.000

16 Mika Turalely 41 Nelayan SD 250.000 – 500.000 17 Amus Kelmaskosu 40 Nelayan SD 500.000 – 750.000 18 Philipus Moriolkosu 40 Petani SMEA <250.000

19 Melkior Boinsera 42 Nelayan SD 250.000 – 500.000 20 Thomson Matruti 39 Nelayan SD 500.000 – 750.000 21 Adam Amarduan 32 Nelayan SD 750.000 – 1.000.000 22 Lexi Moriolkosu 27 Nelayan SD 750.000 – 1.000.000 23 Arnesus Slarmanat 42 Petani SMEA 250.000 – 500.000

24 Ragu Moriolkosu 39 PNS SMA 250.000 – 500.000

25 Katerina Amarduan 26 Petani SMK 250.000 – 500.000 26 Origenes Amarduan 28 Nelayan STM 250.000 – 500.000 27 Imanuel S. Turalely 39 Nelayan SMK <250.000

28 Veni Moriolkosu 28 Petani SMK <250.000

29 Benni Moriolkosu 26 Nelayan STM 250.000 – 500.000 30 Jerar Manufuri 42 Nelayan SD 500.000 – 750.000 31 Efer Boinsera 28 Nelayan SD 500.000 – 750.000 32 Levinus Amarduan 29 Nelayan SD 250.000 – 500.000 33 Ridolof Amarduan 30 Nelayan SD 750.000 – 1.000.000 34 Andi Slarmanat 29 Nelayan SD 250.000 – 500.000 35 Brampi Fenjalan 28 Nelayan SD 500.000 – 750.000 36 Nahum Slarwamin 40 Nelayan SD 750.000 – 1.000.000 37 Enos Lololuan 30 Nelayan SD 500.000 – 750.000 38 Semuel Boinsera 39 Nelayan SD 250.000 – 500.000 39 Agustinus Amarduan 53 Nelayan SD 750.000 – 1.000.000 40 Simon Amarduan 29 Nelayan SD 500.000 – 750.000 41 Markus Fenjalan 35 Nelayan SD 500.000 – 750.000 42 Nikodemus Boinsera 50 Nelayan SD <250.000

43 Rudi Boinsera 29 Nelayan SD 250.000 – 500.000

44 Leonard Batfeny 37 PNS SMA 250.000 – 500.000

45 Ny. N. Kunu 39 Guru PGSMTP 1.000.000 – 1.500.000 46 Gotlif Slarmanat 34 Wiraswasta STM 250.000 – 500.000 47 Anselmus Ruban 37 Wiraswasta SMA 250.000 – 500.000 48 Ny. H. Nanariain 36 Guru PGSD >1.500.000 49 Simon Slarmanat 45 Petani SMEA <250.000


(5)

Lampiran 12 Karakteristik Responen dari unsur Wisatawan

No Nama Umur JK Daerah

Asal

Tingkat

Pendidikan Pekerjaan Pendapatan 1 Antonius Batmomolin 34 L Olilit Baru SMA PNS < 2 jt 2 Yanuaris Fabumase 32 L Lorulun PT PNS < 2 jt 3 Jefri Latritmas 35 L Saumlaki SMA PNS < 2 jt 4 Jimi R Batbual 26 L Adaut SMA PNS < 2 jt 5 John A. Rananmase 36 L Saumlaki PT PNS < 2 jt

6 Rego 34 L Saumlaki PT PNS < 2 jt

7 Betty Pattian 30 P Saumlaki PT PNS < 2 jt

8 Johanis 28 L Saumlaki SMA PNS < 2 jt

9 Hendri 35 L Saumlaki PT PNS < 2 jt

10 Nurhasna Maswara 34 P Saumlaki PT PNS < 2 jt 11 Abraham Jaolath 31 L Saumlaki PT PNS < 2 jt 12 Reni Moriolkosu 32 P Saumlaki SMA PNS < 2 jt

13 S Rupilu 33 L Saumlaki PT PNS < 2 jt

14 Elizabeth Wermbinan 37 P Saumlaki PT PNS 2-5 jt 15 Mina Kobarubun 22 P Saumlaki SMA PNS < 2 jt 16 Yongki Kelmaskosu 28 L Saumlaki PT PNS 2-5 jt 17 Norbertus Renwarin 24 L Saumlaki SMA PNS < 2 jt 18 Thomas Lamere 32 L Saumlaki PT PNS < 2 jt

Lampiran 13 Identitas Instansi Pemerintah yang menjadi Responden

No

Instansi/Dinas

Bidang Kegiatan

Nama Pimpinan

1

BAPPEDA

Perencanaan

Ir. E. Lamerkabel, M.Si

2

Kebudayaan dan

PAriwisata

Pariwisata

Drs. H. Lerebulan, M.Si

3

Kelautan dan Perikanan

Perikanan

Ir. V. Batlajeri, M.Si

4

Kehutanan dan Perkebunan Kehutanan/Pertanian

R.S. Matatula, SP, M.Si

5

Perhubungan

Perhubungan Darat dan Laut

Ir. H. Batlolona


(6)

Lampiran 14 Rekapitulasi Kunjungan Wisatawan Mancanegara Dan Wisnus Di

Kabupaten MTB dari Tahun 2003 – 2007.

Tahun

Jumlah Wisatawan

Jumlah

Mancanegara

Nusantara

2003

80

500

580

2004

86

900

986

2005

90

100

190

2006

90

1.200

1.290

2007

154

1.500

1.654

2008

Total

500

4.200

4.700

Lampiran 15 Jumlah Wisatawan Yang Mengunjungi Kabupatem Maluku Tenggara

Barat Berdasarkan Negara Asal (Tahun 2007).

No

Negara Asal

Jumlah

Keterangan

1

USA

91

Dengan Kapal Pesiar

2

NEW SELAND

1

Dengan Kapal Pesiar

3

UK

9

Dengan Kapal Pesiar (Mengunjungi

P.Matakus)

4

AUTRALIA

43

Kegiatan Sail Darwin – Saumlaki

(Mengunjungi P.Matakus)

5

SWISS

1

Sda

6

RUSIA

1

Sda

7

NETHERLAND

1

Sda

8

SOUTH AFRICA

1

Sda

9

SRILANGKA

1

Sda

10 KANADA

2

Datang Sendiri

11 KOREA

1

Datang Sendiri

12 CINA

2

Datang Sendiri