Pengembangan Wisata Bahari Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi: Studi Kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung

(1)

PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA

PULAU – PULAU KECIL BERBASIS EKOLOGI:

STUDI KASUS PULAU SEBESI PROVINSI LAMPUNG

YAR JOHAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Wisata Bahari Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi: Studi Kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011

Yar Johan


(3)

ABSTRACT

YAR JOHAN. Developing of Coastal Tourism in Management of Small Islands Based on Ecology: Case Study of Sebesi Island Lampung Province. Under

direction of FREDINAN YULIANDA,and VINCENTIUS P SIREGAR.

Sebesi Island is the one and only island in the vicinity of Mount Krakatau which can be inhabited. Sebesi Island has the potenticy to be developed as a tourist destination object, based on ecology. Research on the Development of Marine Tourism-Based Small Islands Ecology: Case Studies Sebesi Island in Lampung Province aim to assess the suitability of Sebesi Island area for marine tourism activities based on the ecology of diving and snorkeling, to analyze the carryng capacity Sebesi Island for marine tourism activities with ecology based, and to formulate strategies and policy direction in the development of marine tourism on the Sebesi island. The primary data were collected through sampling, direct observation of field conditions, distributing questionnaires, interviews, open/direct and in-depth interviews at the sites. The secondary data were collected by tracking the various libraries, and related agencies. The result showed that the kind of ecology-based marine tourism activities categories of diving and snorkeling were included in the appropriate category (S2) to the Sebesi Island. Carrying capacity for diving activity was 2,394 person and snorkeling was 2,489 person. According to A’WOT Analysis which is Integrated tourism management, Strengthening regulatory and institutional, Increasing human resources, Community empowerment, Efforts to prevent damage to coral reefs and Utilization and management of coral reefs.


(4)

YAR JOHAN, Pengembangan Wisata Bahari Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi: Studi Kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan VINCENTIUS P SIREGAR.

Pulau Sebesi merupakan satu-satunya pulau di sekitar Gunung Krakatau yang berpenghuni. Pulau Sebesi berpotensi untuk dikembangkan menjadi salah satu Objek Daerah Tujuan Wisata (ODTW) yang berbasis pada ekologi. Hampir seluruh Pulau Sebesi dikelilingi oleh terumbu karang yang dapat ditemukan sampai kedalaman 10 meter dari permukaan laut. Ikan karang yang ditemukan di daerah terumbu karang Pulau Sebesi sebanyak 168 spesies dalam 28 famili. Luas wilayah Pulau Sebesi adalah 2.620 ha dengan panjang pantai 19.55 km. Sebagian besar daratan Pulau Sebesi tersusun dari endapan gunung api muda dan merupakan daratan perbukitan. Bukit tertinggi di Pulau Sebesi mencapai 884 meter dari permukaan laut dengan bentuk kerucut yang mempunyai tiga puncak (Wiryawanet al.2002).

Dinas Pariwisata Lampung Selatan (2008) menyatakan bahwa berbagai objek wisata yang telah ada di Pulau Sebesi adalah snorkling, diving, fishing,

swimming, berperahu motor, menikmati panorama alam, trekking dan hunting. Salah satu pantai yang mempunyai pemandangan yang indah dan langsung berhadapan langsung dengan Gunung Krakatau adalah pantai Gubuk Seng serta Segenom Ujung juga ada pantai yang langsung berhadapan dengan Pulau Sebuku. Selain melihat pemandangan, berfoto-foto dan juga memancing. Pulau Sebesi memiliki potensi wisata yang lengkap dan beragam. Jika dikelompokkan ada 2 bentuk wisata yang dapat ditawarkan kepada wisatawan yaitu wisata bahari dan wisata alam petualangan (trikkingdan berburu hewan liar).

Tahun 2008 Pulau Sebesi telah ditetapkan menjadi salah satu Objek Daerah Tujuan Wisata (ODTW) di Kabupaten Lampung Selatan. Namun, potensi sumberdaya wisata bahari belum dimanfaatkan secara optimal. Belum optimalnya kegiatan wisata disebabkan kurangnya dukungan pemerintah dalam mengembangkan Pulau Sebesi menjadi suatu kawasan wisata bahari. Dukungan pemerintah dalam hal ketersediaan fasilitas yang mendukung perjalanan wisata bahari dan yang telah ada kondisinya tidak memadai. Kegiatan wisata dijalankan hanya dengan fasilitas yang seadanya, ditambah lagi dengan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia di Pulau Sebesi sehingga belum berkembang menjadi suatu kawasan wisata khususnya wisata bahari untukdiving

dan snorkling. Maka saat ini kebutuhan akan data dan informasi tentang kondisi dan keberadaan sumberdaya pulau-pulau kecil termasuk kesesuaian kawasan dan daya dukung Pulau Sebesi penting untuk dimiliki dalam pengembangan wisata bahari nantinya.

Penelitian tentang Pengembangan Wisata Bahari Dalama Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi; Studi Kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung bertujuan untuk: 1). Mengkaji kesesuaian kawasan Pulau Sebesi untuk kegiatan wisata bahari berbasis ekologi kategori diving dan snorkling, 2). Menganalisis daya dukung (carryng capacity) kawasan Pulau Sebesi untuk kegiatan wisata


(5)

bahari berbasis ekologi, dan 3). Menentukan arahan strategi dan kebijakan dalam pengembangan wisata bahari berbasis ekologi di Pulau Sebesi.

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Pengumpulan data primer dan data sekunder dilakukan selama 6 bulan pada bulan Februari 2010 sampai bulan Juli 2010. Metode yang digunakan untuk penentuan kondisi tutupan komunitas karang adalah metodeLine Intercept Transect (LIT). Data ikan karang dalam penelitian ini diperoleh dengan metode Underwater Visual Census (UVC) pada transek terumbu karang yang sama yaitu metode untuk mengidentifikasi ikan karang melalui pengamatan terhadap ikan-ikan karang yang ditemukan pada jarak 2.5 meter ke kiri dan kanan di garis transek.

Hasil pengamatan kondisi tutupan komunitas karang pada lokasi penelitian dengan menggunakan Line Intersept Transect (LIT) berkisar antara 35.20%-77.58%, dengan persentase tutupan komunitas karang terendah di kawasan Segenom pada kedalaman 3 meter sebesar 35.20% sedangkan yang tertinggi di kawasan Gosong Sawo sebesar 77.58% pada kedalaman 3 meter. Tutupan karang keras di semua lokasi penelitian berkisar 4.86%-70.20% dengan persentase terendah di kawasan Regan Lada kedalaman 10 meter sebesar 4.86% sedangkan yang tertinggi di kawasan Regan Lada pada kedalaman 3 meter dengan nilai 70.20%. Karang keras terbagi kedalam dua kategori karang Acropora dan

Non-Acropora.

Berdasakan hasil penelitiaan diperoleh bahwa kesesuaian kawasan wisata bahari dalam kondisi S2 (sesuai) untuk kategori diving terdapat Pulau Umang-Umang dan Segenom dengan luasan 59.530 m2 (59.530 ha) sedangkan kategori

snorkling dapat ditemukan di Bangunan, Regan Lada dan Sianas dengan luasan 622.320 m2 (62.23 ha). Daya dukung (carryng capacity) kawasan wisata bahari kategoridiving 2.394 orang/hari dan kategorisnorkling 2.489 orang/hari. Arahan strategi dan kebijakan dalam pengembangan wisata bahari Pulau Sebesi, antara lain: Pengelolaan wisata terpadu, Penguatan peraturan dan kelembagaan, Peningkatan SDM, Pemberdayaan Masyarakat, Upaya pencegahan kerusakan terumbu karang dan Pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang secara optimal. Kata kunci: Pulau Sebesi, terumbu karang, daya dukung, A’WOT


(6)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

(8)

STUDI KASUS PULAU SEBESI PROVINSI LAMPUNG

YAR JOHAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

(10)

Nama Mahasiswa : Yar Johan

Nomor Pokok : C252080111

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(11)

(12)

Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis ucapkan, karena tesis dengan judul Pengembangan Wisata Bahari Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi: Studi Kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung, penulis dapat selesaikan tepat waktu. Penelitian ini di tulis sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Andil yang sangat besar diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis sejak proses masa perkuliahan hingga sampai pada penyelesaian tesis, maka pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis mengaturkan terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya pada:

1. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc, dan Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA sebagai komisi pembimbing yang penuh kesabaran meluangkan waktu untuk senantiasa memberikan motivasi, bimbingan, arahan dan masukan pada penulis, sejak proses penyusunan dari awal hingga akhir penyusunan tesis. 2. Bapak Ir. Santoso Raharjo, M.Sc (Alm), Terimakasih atas segala arahan,

bimbingan serta pengertian yang berlimpah pada penulis. Semoga amal ibadah beliau diterima disisi Allah SWT. Amin.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB. 4. Bapak Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc yang telah bersedia menjadi penguji luar

komisi pembimbing pada saat ujian tesis.

5. Seluruh Dosen pengajar dan staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB.

6. Keluarga tercinta atas doa dan restunya yang begitu besar sehingga menghantarkan penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Terkhusus buat kedua orang tuaku Ayahanda Hayat dan Ibunda Marisah, Ayahanda Helmi (Alm) dan Ibunda Zainab, Kakanda Mukhsin Alatas sekeluarga, Kakanda Umi Hartati sekeluarga, Kakanda Herwan Supansi sekeluarga, Kakanda Wo Sena Sekeluarga, Kakanda Do Lela Sekeluarga, Kakanda Ngah Arma sekeluarga, Kakanda Asyanto sekeluarga, Kakanda Sirajuddin, Dinda Ahmad Abdul Salam, Dinda Defri Marseli, Dinda Reto Okta Fajarman (Alm). Keponakan-keponakanku yaitu Wahyu Hidayat, Wandi, Eric Saputra, Barqah Aji Hidayat, Vivi Dyah Ambarsari, Hafiz Helmi Hidayat dan Akmal Bayu Pradana. Jangan pernah menyerah dan teruslah belajar, belajar dan belajar.

7. TANOTO FOUNDATION, terutama kepada Bapak Sukanto Tanoto

sekeluarga dan staf Tanoto Foundation yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di SPs IPB. 8. Keluarga besar Pulau Sebesi yaitu Abah Ahyar sekeluarga dan Kepala Desa

Tejang Pulau Sebesi dan Bang Ebeng Sekeluarga yang telah memberikan fasilitas bantuan selama penulis penelitian sampai penyelesaian tesis.

9. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Selatan beserta staf, yang telah memberikan bantuan data dan informasi dalam penyelesaian tesis ini. 10. Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Lampung Selatan

beserta staf, yang telah memberikan bantuan data dan informasi dalam penyelesaian tesis ini


(13)

11. Kepala Dishidros TNI AL beserta staf, yang telah memberikan bantuan dan data serta kesempatan magang dalam penyelesaian tesis ini.

12. BTIC Biotrop yang telah memberikan data dan informasi dalam penyusunan tesis ini.

13. Seluruh rekan-rekan seangkatan SPL XV 2008 yaitu, Kakanda Hartoni, S.Pi, Kakanda Luky Sembel, S.Ik, Om Dafiuddin Salim, S.Kel, Harmoko, S.Kel, Kakanda Yunus P Paulangan, Syahnul Sardi Titaheluw, S.Kel, S.Kel, Asep Pranajaya, S.Pi, Mbak Maulinna K Wardhani, S.Kel, Kakanda Nidya Naufita, S.Pi, Mbak Margaretha Ika Pratiwi, S.Pi, Hasyim Hasani, S.Pi, Heri Hermawan, S.Pi, dan M. Saba Yunizar, S.Pi.

14. Rekan-rekan SPL angkatan 2009 yaitu Ita Karlina, S.Pi terimakasih atas motivasi, bantuan dan kerjasamanya serta pengorbanannya selama ini. Semoga segera menyusul menyelesaikan tugas akhirnya. Semangat.

15. Rekan-rekan jurusan TEK 2008 yaitu Kakanda Yuliyanto, S.T atas dorongan dan kerjasamanya selama masa penyusunan tesis ini dan rekan-rekan jurusan SDP 2008 yaitu Desrita, S.Pi, Mawardi, S.Pi, dan Pelita Oktorena, S.Pi serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas kebersamaan selama ini.

16. Dian Dinarwati, S.Pt, Dinda Andrias Koko, S.Pi dan Wiweka Nanda Ardhani yang telah memberikan motivasi, semangat dan doa sehingga sampai tesis ini selesai.

17. Perjalanan dalam penyelesaian tesis ini, sejak awal penulis duduk di bangku Sekolah Pascasarjana IPB sampai pendidikan selesai menyisakan perjuangan yang tidak begitu mudah. Tidak bisa penulis lukiskan dalam kata-kata. Spesial Tesis ini penulis persembahkan buat Ayahanda Helmi (Alm) dan Dinda Reto Okta Fajarman (Alm). Semoga Allah SWT mempertemukan kita kelak nanntinya. Segala Amal dan kebajikan diterima oleh Allah SWT. Amin

Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan dari semua pihak yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tesis ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.

Bogor, Mei 2011


(14)

YAR JOHAN dilahirkan pada tanggal 23 Agustus 1985 di Tanjung Betuah Kecamatan Nasal Kabupaten Kaur Propinsi Bengkulu. Merupakan anak ke empat dari empat bersaudara dari pasangan yang sakinah dan mawaddah ayahanda Hayat Japar dan Ibunda Rusni. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar di SD Negeri Tanjung Betuah pada tahun 1998. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 2 Manna pada tahun 2001, dan Sekolah Menengah Umum pada SMU Negeri 1 Kota Manna Jurusan IPA pada tahun 2004. Penulis diterima pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Riau melalui jalur Penerimaan Bibit Unggul Daerah (PBUD) pada tahun 2004. Kesempatan melanjutkan ke jenjang Magister pada Mayor Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana IPB pada Tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Tanoto Foundation. Selama perkuliahan penulis pernah aktif di pengurus WACANA IPB Periode 2008/2009.


(15)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN... xxvii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 4

1.4. Kerangka Pemikiran ... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1. Pulau-Pulau Kecil... 7

2.2. Terumbu Karang... 11

2.3. Wisata Bahari Berbasis Ekologi (Ekowisata Bahari)... 17

2.4. Konsep Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management, ICM) ... 21

2.5. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)... 23

2.6. Kekesuaian Kawasan... 26

2.7. Daya Dukung... 27

2.8. Permintaan dan Penawaran Wisata Bahari... 30

2.9. Pengembangan Wisata Bahari Berbasis Ekologi ... 32

2.10. Analisis A’WOT... 34

3. METODE PENELITIAN... 39

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 39

3.2. Alat dan Bahan Penelitian ... 39

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 39

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 43

3.4.1. Data Parameter Lingkungan... 43

3.4.2. Data Komunitas Karang... 43

3.4.3. Data Ikan Karang ... 44

3.4.4. Data Sosial ... 45

3.5. Analisis Data ... 46

3.5.1. Analisis Komunitas Karang ... 46

3.5.2. Analisis Kesesuain Kawasan... 46

3.5.2.1.Matriks Kesesuaian Wisata Bahari KategoriDiving... 47

3.5.2.2.Matriks Kesesuaian Wisata Bahari Kategori Snorkling... 48

3.5.2.3.Indeks Keseuaian Wisata ... 49

3.6. Analisis Nilai Visual Objek Wisata Bahari ... 49

3.7. Analisis Daya Dukung Kawasan ... 50

3.8. Analisis Arahan Strategi Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari 51 3.8.1. Penyusunan hierarki... 52


(16)

xx

3.8.3. Menentukan prioritas... 53

3.8.4. Konsistensi logis... 54

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 57

4.1. Letak Geografis dan Administrasi Pulau Sebesi... 57

4.2. Kondisi Iklim dan Musim ... 59

4.3. Kondisi Oseanografi ... 61

4.4. Sarana dan Prasarana Penunjang Wisata Bahari... 63

4.4.1. Fasilitas Perhubungan... 63

4.4.2. Fasilitas Penerangan ... 64

4.4.3. Fasilitas Wisata... 64

4.4.4. Fasilitas Pendidikan... 64

4.4.5. Fasilitas Kesehatan ... 66

4.4.6. Sumber Air Bersih... 66

4.4.7. Fasilitas Keagamaan... 66

4.4.8. Organisasi masyarakat... 66

4.4.9. Aksesibilitas ... 67

4.4.10. Rencana Jalur Wisata Pulau Sebesi... 69

5. HASIL DAN PEMBAHASAN... 81

5.1. Potensi Sumberdaya Pulau Sebesi ... 81

5.1.1. Kondisi Lingkungan Perairan ... 81

5.1.2. Kondisi Komunitas Karang ... 81

5.1.3. Kondisi Ikan Karang ... 93

5.2. Kesesuaian Kawasan Pengembangan Wisata Bahari ... 95

5.2.1. Kesesuaian Kawasan Wisata Bahari KategoriDiving... 96

5.2.2. Kesesuaian Kawasan Wisata Bahari KategoriSnorkling... 98

5.3. Nilai Visual Objek Wisata Bahari/SBE Pulau Sebesi ... 99

5.4. Daya Dukung Kawasan Pulau Sebesi... 103

5.5. Prioritas Arahan Strategi dan Kebijakan Pengembangan ... 104

5.5.1. Pendapat Gabungan Masyarakat... 105

5.5.2. Pendapat Gabungan Pemerintah ... 108

5.5.3. Pendapat Gabungan Swasta ... 112

5.5.4. Pendapat Gabungan SeluruhStakeholder... 116

5.5.4.1. Komponen Kekuatan (Strength)... 118

5.5.4.2. Komponen Kelemahan(Weaknesses) ... 119

5.5.4.3. Komponen Peluang (Opportunities) ... 120

5.5.4.4. Komponen Ancaman (Threats) ... 121

5.6. Alternatif Arahan Strategi dan Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari ... 121

5.6.1. Pengelolaan Wisata Bahari Terpadu ... 123

5.6.2. Penguatan Peraturan dan Kelembagaan ... 125

5.6.3. Peningkatan Sumberdaya Manusia (SDM) ... 127

5.6.4. Pemberdayaan Masyarakat... 128

5.6.5. Upaya Pencegahan Kerusakan Komunitas Karang ... 128

6. KESIMPULAN DAN SARAN... 131

6.1. Kesimpulan ... 131


(17)

xxi

DAFTAR PUSTAKA... 133 LAMPIRAN... 145


(18)

(19)

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Koordinat lokasi stasiun penelitian ... 39

2. Data parameter penelitian ... 43

3. Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkanlifeformkarang dan kodenya... 44

4. Kategori kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang keras ... 46

5. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisatadiving... 47

6. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisatasnorkling... 48

7. Potensi ekologi pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt)... 51

8. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata bahari…... 51

9. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala berpasangan Saaty … 53 10. Komposisi jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Pulau Sebesi Tahun 2010… ... 58

11. Komposisi jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Pulau Sebesi Tahun 2010 ... 58

12. Jumlah hari dan curah hujan di Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2006, 2007 dan 2008… ... 60

13. Nilai konstanta harmonik pasang surut … ... 62

14. Kecepatan rerata bulanan arus di perairan mulut Teluk Lampung … . 62 15. Famili dan spesies ikan yang ditemukan dengan Metode Visual Sensus (UTV) di Pulau Sebesi … ... 94

16. Luas dan lokasi kawasan untuk wisata bahari kategoridiving… ... 96

17. Luas dan lokasi kawasan untuk wisata bahari kategorisnorkling... 99

18. Rata-rata nilai visual objek wisata bahari/SBE dalam kategori tinggi, dan rendah di Pulau Sebesi ... 102


(20)

xxiv

20. Daya dukung kawasan di Pulau Sebesi kategoridivingdansnorkling 104 21. Nilai bobot prioritas alternatif kebijakan pengembangan wisata

bahari menurut pendapat gabungan masyarakat... 108 22. Nilai bobot prioritas alternatif kebijakan pengembangan wisata

bahari menurut pendapat gabungan pemerintah ... 112 23. Nilai bobot prioritas alternatif kebijakan pengembangan wisata

bahari menurut pendapat gabungan swasta ... 115 24. Nilai bobot kriteria penentuan prioritas kebijakan pengembangan

wisata bahari Pulau Sebesi ... 115 25. Nilai bobot komponen kekuatan dalam penentuan prioritas kebijakan

pengembangan wisata bahari Pulau Sebesi ... 118 26. Nilai bobot komponen kelemahan dalam penentuan prioritas

kebijakan pengembangan wisata bahari Pulau Sebesi... 119 27. Nilai bobot komponen peluang dalam penentuan prioritas kebijakan

pengembangan wisata bahari Pulau Sebesi ... 120 28. Nilai bobot komponen ancaman dalam penentuan prioritas kebijakan

pengembangan wisata bahari Pulau Sebesi ... 121 29. Nilai bobot prioritas alternatif kebijakan pengembangan wisata


(21)

xxv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 6

2. Peta lokasi penelitian Pulau Sebesi Provinsi Lampung ... 40

3. Peta stasiun penelitian Pulau Sebesi Provinsi Lampung... 41

4. Peta stasiun penelitian Sosek Pulau Sebesi Provinsi Lampung ... 42

5. Diagram Hierarki dari Analisis A’WOT arahan strategi dan kebijakan dalam pengembangan wisata bahari Pulau Sebesi ... 55

6. Fasilitas perhubungan (a) Pelabuhan Canti, (b) Dermaga Desa Tejang, (c) Dermaga Dusun Regan Lada) dan (d) Dermaga Dusun Segenom ... 63

7. Fasilitas penerangan dan wisata (a) PLN Pulau Sebesi dan (b) Penginapan (cottage) di Pulau Sebesi ... 64

8. Fasilitas pendidikan dan kesehatan (a) TK Pulau Sebesi, (b) Sekolah Dasar (SD), (c) SLTP dan SMK Kelautan, (d) TPK II Paud di Regan Lada, (e) Posyandu Pulau Sebesi dan (f) Kondisi MCK di Dusun Segenom ... 65

9. Beberapa atraksi wisata yang dapat dijumpai pada jalur I. Pasir putih dan berbatu Pulau Umang-Umang, pembuatan gula aren, pembuatan kapal tradisional, pabrik minyak kelapa dan rumah pohon... 70

10. Jalur wisata kategoridivingdi Provinsi Lampung... 71

11. Jalur diving yang ada di Pulau-Pulau kecil sekitar Pulau Sebesi (sumber: peta situs selam Indonesia. ... 72

12. Beberapa atraksi wisata yang dapat dijumpai pada jalur II. Kembang api letusan Gunung Kraktau, pantai pasir hitam Gunung Krakatau dan panorama sunset di krakatau. ... 77

13. Jalur wisata Pulau Sebesi Provinsi Lampung. ... 80

14. Nilai persentase tutupan komunitas pada kedalaman 3 meter dan 10 meter karang di Pulau Sebesi ... 81

15. Nilai persentase tutupan benthik yang terdiri karang keras, biota lain, karang mati, algae dan abiotik pada kawasan penelitian. ... 85


(22)

xxvi

16. Contoh gambar karang keras (hard coral) kategori Acropora di

Pulau Sebesi. ... 89 17. Karang keras (hard coral) kategoriAcroporadi Pulau Sebesi. ... 90 18. Contoh gambar karang keras (hard coral) kategori Non-Acroporadi

Pulau Sebesi. ... 91 19. Karang keras (hard coral) kategori Non-Acroporadi Pulau Sebesi. ... 92 20. Beberapa jenis ikan karang yang teramati di Pulau Sebesi ... 95 21. Peta kesesuaian kawasan wisata bahari kategoridivingPulau Sebesi

Provinsi Lampung.. ... 97 22. Peta kesesuaian kawasan wisata bahari kategori snorkling Pulau

Sebesi... 100 23. Peta rekomendasi kesesuaian kawasan wisata bahari kategori diving

dansnorklingPulau Sebesi ... 101 24. Nilai daya tarik masing-masing objek wisata bahari di Pulau Sebesi. . 103 25. Nilai keseluruhan pembobotan struktur hierarki penentuan kebijakan

pengembangan dari gabungan pendapat masyarakat. ... 106 26. Hasil akhir prioritas pendapat gabungan masyarakat. ... 108 27. Nilai keseluruhan pembobotan struktur hierarki penentuan kebijakan

pengembangan dari gabungan pendapat pemerintah... 110 28. Hasil akhir prioritas pendapat gabungan pemerintah. ... 111 29. Nilai keseluruhan pembobotan struktur hierarki penentuan kebijakan

pengembangan dari gabungan pendapat swasta. ... 113 30. Hasil akhir prioritas pendapat gabungan swasta... 115 31. Nilai keseluruhan pembobotan struktur hierarki penentuan kebijakan

pengembangan dari gabungan seluruhstakeholder... 117 32. Grafik persentase penduduk di Pulau Sebesi berdasarkan status

tingkat pendidikan Tahun 2010 (sumber: Kantor Kepala Desa

Tejang 2010)... 120 33. Hasil akhir prioritas pendapat gabungan seluruhstakeholder... 122


(23)

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Nilai persentase penutupan kategori lifeforms dan benthik terumbu

karang di setiap lokasi penelitian Pulau Sebesi... 147 2. Jumlah dan jenislifeformsterumbu karang di lokasi penelitian Pulau

Sebes ... 148 3. Jumlah famili dan jenis ikan karang di lokasi penelitian Pulau Sebesi 149 4. Peta IKW kawasan wisata bahari kategoridivingPulau Sebesi ... 158 5. Peta IKW kawasan wisata bahari kategorisnorkling Pulau Sebesi .... 159 6. Peta parameter tutupan karang Pulau Sebesi ... 160 7. Daftar rekapitulasi kuisioner Nilai Visual Objek Wisata Bahari/SBE. 161 8. Kuisioner nilai visual objek wisata bahari/SBE Pulau Sebesi … ... 164 8a. Kuisioner nilai visual objek wisata bahari Pulau Sebesi pada stasiun

1 (Segenom)… ... 165 8b. Kuisioner nilai visual objek wisata bahari Pulau Sebesi pada stasiun

2 (Pulau Umang-umang)…... 168 8c. Kuisioner nilai visual objek wisata bahari Pulau Sebesi pada stasiun

3 (Gosong Sawo)…... 173 8d. Kuisioner nilai visual objek wisata bahari Pulau Sebesi pada stasiun

4(Regan Lada)…... 176 8e. Kuisioner nilai visual objek wisata bahari Pulau Sebesi pada stasiun

5 (Sianas)… ... 177 8f. Kuisioner nilai visual objek wisata bahari Pulau Sebesi pada stasiun

6 (Sianas Ujung)… ... 181

9. Analisis nilai visual objek wisata bahari/SBE…………..… ……. 183

10. Skala prioritas berdasarkan alternatif kegiatan pengembangan wisata

bahari menurut pendapat gabungan masyarakat ... 192 11. Skala prioritas berdasarkan alternatif kegiatan pengembangan wisata

bahari menurut pendapat gabungan pemerintah … ... 193 12. Skala prioritas berdasarkan alternatif kegiatan pengembangan wisata


(24)

xxviii

13. Skala prioritas berdasarkan alternatif kegiatan pengembangan wisata

bahari menurut pendapat gabungan seluruhstakeholder… ... 195 14. Kuisioner penelitian untuk masyarakat … ... 197 15. Kuisioner penelitian untuk wisatawan ... 206 16. Kuisioner penelitian untukstakeholder... 210 17. Photo lokasi stasiun penelitian ... 229 18. Photo peralalatan penelitian... 230 19. Photo sarana dan prasarana di lokasi penelitian ... 231 20. Photo wawancara denganstakeholder... 232 21. Perhitungan Daya Dukung Kawasan (DDK) Pulau Sebesi ... 235


(25)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dirajut oleh untaian ribuan pulau-pulau yang berjumlah sekitar 17.504 pulau yang menyebar dari Aceh di ujung Barat hingga Papua di ujung Timur seluas 5.8 juta km2 (75% dari total wilayah Indonesia). Dari sekian ribu konfigurasi pulau-pulau tersebut, sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 10.000 pulau.

Sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di pulau-pulau kecil terdiri atas sumberdaya dapat pulih (renewable resources) atau sering juga disebut sumberdaya alam hayati, sumberdaya tidak dapat pulih (nonrenewable resources) atau disebut sumberdaya alam non-hayati, dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut (environmental services). Sumberdaya dapat pulih/hayati terdiri dari, terumbu karang (coral reef), rumput laut (seaweed), lamun (seagrass), mangrove, berbagai jenis flora dan fauna daratan, ikan, mamalia laut, krustasea, dan moluska. Sumberdaya tidak dapat pulih/non-hayati meliputi minyak bumi dan gas, mineral, bahan tambang/galian seperti bijih besi, pasir, timah,bauksit, serta bahan tambang lainnya, sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan pulau kecil salah satunya adalah wisata bahari.

Terumbu karang (coral reef) yang terbentang di pulau-pulau kecil memiliki empat fungsi utama bagi kehidupan manusia yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, penyedia jasa-jasa kenyamanan dan pelindung dari berbagai kemungkinan bencana alam. Sebagai penyedia sumberdaya alam ekosistem pulau-pulau kecil mengandung berbagai sumberdaya alam yang menjadi sumber penghidupan manusia, sebagai penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, ekosistem pulau-pulau kecil menyediakan ruang yang bersih untuk mendukung kehidupan manusia, sebagai penyedia jasa-jasa kehidupan artinya ekosistem pulau-pulau kecil menyediakan objek wisata dan rekreasi yang sangat indah dan mempesona dan sebagai pelindung dari bencana artinya bahwa ekosistem pulau-pulau kecil mampu melindungi manusia dari berbagai bahaya alam yang terjadi wilayah pulau-pulau kecil. Dari ke empat


(26)

fungsi utama ekosistem tersebut di atas maka pulau-pulau kecil menjadi wilayah yang sangat menarik dan menjanjikan bagi kiprah pembangunan manusia. Pulau-pulau kecil tidak hanya menjadi wilayah yang diekploitasi (diambil) sumberdaya alamnya, tetapi juga menjadi wilayah pengembangan berbagai kegiatan pemanfaatan (Bengen 2009).

Wisata bahari berbasis ekologi (ekowisata) kegiataannya dilakukan secara sederhana, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat istiadat, kebiasaan hidup (the way of life), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna, serta terpeliharanya lingkungan sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya.

Pengembangan wisata bahari berbasis ekologi ada empat unsur yang dianggap amat penting, yaitu unsur proaktif, kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, keterlibatan penduduk lokal dan unsur pendidikan. Wisatawan yang datang, tidak semata-mata untuk menikmati alam sekitarnya tetapi juga

mempelajarinya sebagai peningkatan pengetahuan atau pengalaman.

Pengembangan suatu kawasan pulau kecil sebagai lokasi wisata bahari berbasis ekologi memerlukan koordinasi dan integrasi dari beberapa unsur dengan mengacu pada kondisi internal lokasi yang menyangkut aspek ekologi, kesesuaian, daya dukung dan sosial budaya masyarakat.

Pulau Sebesi merupakan satu-satunya pulau di sekitar Gunung Krakatau yang dapat dihuni. Pulau Sebesi berpotensi untuk dikembangkan menjadi salah satu Objek Daerah Tujuan Wisata (ODTW) yang berbasis pada ekologi. Ekosistem yang ada di Pulau sebesi dimana sebagian besar merupakan ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, dan ekosistem lamun. Hampir seluruh Pulau Sebesi dikelilingi oleh terumbu karang yang dapat ditemukan sampai kedalaman 10 meter dari permukaan laut. Tutupan karang hidup di Pulau Sebesi dapat ditemukan sampai 90%. Bentuk hidup (lifeform) terumbu karang yang ditemukan di Pulau Sebesi adalah bramching, digitata, massive, submassive, mushroom, encrusting, foliouse, tabulate dan soft coral. Jenis yang ditemukan adalahAcropora sp, Porites, Serialtopora, Fungia, Montipora, Euphyllia, Favia, Pachyseris, Catalaphyllia, Millepora, Pocillopora, Favites, dan Heliopora dan


(27)

3

jenis soft coral adalah Sarcophyton, Sinularia, Dendronephythya, Lobophyton,

dan Nepthea. Penyusun terumbu karang lainnya yang ditemukan adalah Lili laut, Bulu Babi, Kima, Bintang laut, Kepiting, Timun laut, anemone, ascidian,

gastropoda, zoantid, gorgonian, hydrozoan, spongedan algae. Ikan karang yang ditemukan di dareah terumbu karang Pulau Sebesi sebanyak 168 spesies dalam 28 famili (Wiryawanet al.2002).

Pulau Sebesi yang terletak di Teluk Lampung dan dekat dengan Gunung Krakatau (Pulau Rakata), termasuk dalam wilayah Desa Tejang Pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, tepatnya posisi 050 55037.43”-050580 44.48” LS dan 105027’ 30.50”-1050 30’ 47.54” BT (Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Lampung Selatan 2008). Sampai sekarang Pulau Sebesi belum dikembangkan secara optimal sebagai sebuah objek wisata. Pulau Sebesi terbagi menjadi 4 dusun yaitu Dusun I Bangunan, Dusun II Inpres, Dusun II Regahan Lada dan Dusun IV Segenom, dengan luasan wilayah 2325.25 Ha dan panjang garis pantai 19.55 Km2. Keberadaan Pulau Sebesi yang belum banyak di kenal oleh masyarakat juga menjadi satu penyebab kecilnya kunjungan wisatawan ke Pulau Sebesi ini.

1.2. Perumusan Masalah

Pulau Sebesi memiliki berbagai macam tempat wisata, baik itu wisata bahari, alam maupun budaya dan sejarah. Alamnya yang indah serta keanekaragaman budaya masyarakat Kabupaten Lampung Selatan menjadikannya sebagai tujuan wisata yang berpotensi dikembangkan lebih lanjut.

Jenis wisata yang telah ada di Pulau Sebesi adalah snorkling, diving,

fishing, swimming, berperahu motor, menikmati panorama alam, trekking dan

hunting. Salah satu pantai yang mempunyai pemandangan yang indah dan langsung berhadapan langsung dengan Gunung Krakatau adalah Pantai di Gubuk Seng serta diujung Dusun Segenom juga ada pantai yang langsung berhadapan dengan Pulau Sebuku. Selain melihat pemandangan, berfoto-foto dan juga memancing. Pulau Sebesi memiliki potensi wisata yang lengkap dan beragam. Jika dikelompokan ada 2 bentuk wisata yang dapat ditawarkan kepada wisatawan yaitu wisata bahari dan wisata alam petualangan (trikking dan berburu hewan liar).


(28)

Pulau Sebesi memiliki potensi sumberdaya wisata bahari yang besar. Kondisi sumberdaya di Pulau Sebesi masih cukup baik. Namun, potensi sumberdaya wisata bahari pulau ini belum dimanfaatkan secara optimal. Belum optimalnya kegiatan wisata ini disebabkan karena kurangnya dukungan pemerintah dalam mengembangkan Pulau Sebesi menjadi suatu kawasan wisata bahari. Kurangnya dukungan pemerintah ini yaitu dalam hal ketersediaan fasilitas yang mendukung perjalanan wisata bahari relatif kurang tersedia dan kondisinyapun tidak memadai. Kegiatan wisata dijalankan hanya dengan fasilitas yang seadanya, ditambah lagi dengan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia di Pulau Sebesi, sehingga pulau ini belum berkembang menjadi suatu kawasan wisata khususnya wisata bahari untuk kategoridivingdan

snorkling.

Dalam pengembangan kawasan tersebut, teristimewa dalam kaitannya dengan upaya pemerintah daerah saat ini dalam menarik minat investor untuk berinvestasi di sektor pariwisata, maka kebutuhan akan data dan informasi tentang kondisi dan keberadaan sumberdaya pulau-pulau kecil termasuk kesesuaian kawasan, daya dukung dan arah kebijakan pengembangan wisata bahari di Pulau Sebesi saat ini sangat penting.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah: 1). Mengkaji kesesuaian kawasan Pulau Sebesi untuk kegiatan wisata bahari berbasis ekologi kategori diving dan

snorkling, 2). Menganalisis daya dukung (carryng capacity) kawasan Pulau Sebesi untuk kegiatan wisata bahari berbasis ekologi, dan 3). Menentukan arahan strategi dan kebijakan dalam pengembangan wisata bahari berbasis ekologi di Pulau Sebesi.

Manfaat penelitian ini yaitu 1). Tersedianya data dan informasi tentang pengembangan wisata bahari berbasis ekologi di Pulau Sebesi, 2). Memberikan masukan bagi pengelola maupun Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan untuk dapat dijadikan pedoman dalam pengembangan wisata bahari di Pulau Sebesi, dan 3). Memberikan informasi dasar ilmiah bagi upaya pengembangan pulau-pulau kecil secara lestari dan berkelanjutan dalam pengembangan wisata bahari.


(29)

5

1.4. Kerangka Pemikiran

Pengembangan Pulau Sebesi untuk kegiatan wisata bahari berbasis ekologi membutuhkan berbagai informasi mengenai kondisi dan dinamika sumberdaya alam maupun masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut dan informasi dari stakeholder yang masih berhubungan dengan pengembangan Pulau Sebesi untuk wisata bahari karena pengembangan Pulau Sebesi dimaksud harus disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya alam yang terkandung di kawasan tersebut agar pemanfaatnya secara spasial berlangsung dengan optimal. Penentuan kesesuaian kawasan untuk kegiatan wisata bahari berbasis ekologi serta daya dukung kawasan dalam menampung berbagai aktifitas strategi dan kebijakan

stakeholder terkait pengembangan kawasan Pulau Sebesi penting untuk dipertimbangkan.

Penentuan kesesuaian kawasan Pulau Sebesi yang digunakan untuk pengembangan wisata bahari dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan didasarkan pada kriteria kesesuaian setiap aktifitas wisata bahari yang ada. Melalui pendekatan ini, akan diketahui kawasan mana saja yang sesuai dan tidak sesuai untuk berbagai jenis kegiatan wisata bahari terutama untuk kategoridivingdansnorkling.

Penelitian ini selanjutnya melakukan penentuan daya dukung kawasan untuk menampung wisatawan yang masuk sehingga tidak menimbulkan kerusakan/tekanan terhadap kawasan secara ekologis. Perhitungan daya dukung dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekan daya dukung kawasan untuk mengetahui jumlah wisatawan yang dapat ditampung disetiap kawasan kegiatan wisata bahari berbasis ekologi berdasarkan luas kawasan yang sangat sesuai. Dalam menentukan arah kebijakan dalam pengembangan wisata bahari, digunakan analisis A’WOT yang merupakan gabungan antara analisis AHP dan SWOT. Dari beberapa analisis tersebut maka pengembangan wisata bahari berbasis ekologi di Pulau Sebesi dapat dilihat berbagai aspek yang diperlukan. Kerangka pikir penelitian pengembangan wisata bahari dalam pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil; studi kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung ini dapat dilihat pada Gambar 1.


(30)

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.

Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG)

Scenic Beauty Estimation

(SBE) Pendekatan Sosial

Daya Dukung Wisata Bahari

Analisis DDK

ARAHAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN DALAM PENGEMBANGAN WISATA

BAHARI BERBASIS EKOLOGI

Pendekatan Ekologi Wisata Bahari Berbasis Ekologi

Analisis Kesesuaian Wisata Bahari

Analisis Strategi

Pengembangan A’WOT


(31)

7

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pulau-Pulau Kecil

Suatu kenyataan bahwa Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2, yang merupakan terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dengan wilayah teritorial seluas 5.1 juta km2(63% dari total wilayah teritorial Indonesia) ditambah dengan Zona Ekonomi Ekskulsif seluas 2.7 juta km2(Dahuriet al. 1995; Dahuri 1998). Sejumlah besar (lebih dari 10.000 buah) dari pulau-pulau tersebut adalah merupakan pulau-pulau berukuran kecil yang tersebar dari Sabang hingga ke Merauke. Walaupun hanya sebagian kecil saja yang memiliki penduduk, akan tetapi sulit untuk dikatakan bahwa terhadap pulau-pulau kecil yang tidak berpenduduk dan terpencil itu bebas dari pengeksploitasian atau bebas dari dampak kegiatan manusia (Dutton 1998). Pulau-pulau ini memiliki nilai penting dari sisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan Indonesia.

Pulau-pulau kecil sangat penting baik dari perspektif ekosistem maupun ekonomi bagi Negara Kepulauan Indonesia. Sebagai ekosistem, Pulau-pulau kecil merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati dan non hayati yang mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan non hayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya. Kelangsungan fungsi pulau-pulau kecil sangat menentukan kelestarian sumberdaya hayati sebagai komponen utama dalam sistem pulau-pulau kecil (Bengen 2002).

Arenas dan Huertas (1986) in Bengen (2003) menyatakan bahwa dengan

berlandaskan pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar),

ditetapkan oleh para ilmuwan batasan pulau kecil adalah pulau dengan ukuran kurang dari 1.000 km2 atau lebamya kurang dari 10 km. Namun demikian, temyata banyak pulau yang berukuran antara 1.000-2.000 km2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau dimana ukurannya


(32)

kurang dari 1.000 km2, sehingga diputuskan oleh (UNESCO 1991 in Bengen 2003) bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari 2.000 km2. Sedangkan menurut Hess (1990) menyatakan bahwa batasan untuk pulau-pulau kecil memiliki jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 500.000 orang.

Pulau adalah massa daratan yang seluruhnya dikelilingi air. Ukuran luas pulau sangat bervariasi, mulai dari pulau-pulau karang yang bisa tenggelam bila air pasang hingga yang luasnya mencapai jutaan kilometer persegi (Husni 1998in

Kusumastanto 2000).

Terdapat berbagai pendapat mengemuka tentang defenisi pulau, namun saat ini telah disepakati bahwa defenisi pulau yang digunakan adalah sebagaimana yang dituangkan dalam UNCLOS 1982 Bab VIII Pasal 121 Ayat 1; Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang tinggi (IHO 1993 in Bengen dan Retraubun 2006).

Sampai saat ini masih belum ada batasan yang tetap tentang pengertian pulau kecil baik di tingkat nasional maupun internasional, akan tetapi terdapat suatu kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular (Dahuri 1998; Bengen 2001).

Salm et al. 2000 in Bengen (2003) menyatakan bahwa pulau kecil dapat dikelompokkan atas dua kelompok yaitu: pulau oseanik dan pulau kontinental. Selanjutnya pulau oseanik dapat dibagi atas dua kategori, yaitu pulau vulkanik dan pulau koralikarang. Sebagian besar pulau kecil adalah pulau oseanik, yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan pulau kontinental baik dilihat dari ukurannya maupun stabilitas dan penggunaannya. Secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisk yang menonjol sebagai berikut (Bengen 2002) yaitu 1). Terpisah dari habitat pulau induk (mainland), sehingga bersifat insular, 2). Memiliki sumberdaya air tawar yang terbatas baik air permukaaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan aimya relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut, 3). Peka dan rentan terhadap pengaruh


(33)

9

eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta pencemaran, 4). Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi, 5). Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya (benua atau pulau besar), dan 6). Tidak mempunyaihinterlandyang jauh dari pantai.

Pulau Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain sehingga keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman oraganisme yang hidup di pulau tersebut serta dapat juga membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu pulau pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air (catchment) pada pulau ini yang relatif kecil sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang kedalam air. Jika dilihat dari segi budaya maka masyarakat pulau pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri 1998).

Tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan suatu pulau kecil yaitu: (1) Batasan fisik/luas pulau, (2) Batasan ekologis/proporsi spesies endemik dan terisolasi, dan (3) Keunikan budaya. Karena secara ekologi memiliki kondisi yang sangat rentan, maka pengembangan atau pembangunan pada kawasan tersebut apabila tidak terencana dengan balk dapat mengakibatkan dampak eksternal yang cukup nyata. Oleh karena itu kajian mendasar yang intensif menduduki posisi penting dalam pengelolaan dan pengembangan sumberdaya pulau-pulau kecil (Kusumastanto 2000).

Pulau-pulau kecil sering memiliki keunikan dan keunggulan dari segi keaslian, keragaman dan kekhasan sumberdaya alam dan ekosistem, tetapi juga memiliki banyak permasalahan dari segi keterbatasan sumberdaya alam khususnya air bersih, kondisi sosial ekonomi penduduk, isolasi daerah, ancaman bencana alam, keterbatasan infrastruktur dan kelembagaan. Potensi pulau-pulau kecil sering kurang mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah dan swasta dalam usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat karena pertimbangan-pertimbangan prespektif ekonomi yang kurang menguntungkan (Sriwidjoko 1998).


(34)

Retraubun (2001) menyatakan bahwa kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi seperti terumbu karang (coral reef), padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds) dan hutan bakau (mangrove). Sumber daya hayati laut pada kawasan ini memiliki potensi keragaman dan nilai ekonomis yang tinggi seperti kerapu, napoleon, ikan hias, kuda laut, kerang mutiara, kima raksasa (Tridacna gigas) dan teripang. Selain itu, pulau-pulau kecil ini juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan.

Dahuri (1998); Sriwidjoko (1998); Sugandhy (1998); Yudhohusodo (1998); Solomon dan Forbes (1999) menyatakan bahwa masalah-masalah yang ada pada pulau-pulau kecil sebagai akibat kondisi biogeofisik pulau-pulau tersebut adalah keberadaan penduduk maupun ekosistem alam pulau tersebut dan beberapa yang utama yaitu 1). Secara ekologis pulau-pulau kecil amat rentan terhadap pemanasan global, angin topan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan kombinasi faktor-faktor tersebut terbukti sangat progresif dalam mengurangi garis pantai kepulauan kecil. Akibatnya adalah penurunan jumlah mahluk hidup, hewan-hewan maupun penduduk yang mendiami pulau tersebut, 2). Pulau-pulau kecil diketahui memiliki sejumlah besar spesies-spesies endemik dan keanekaragaman hayati yang tipikal yang bernilai tinggi. Apabila terjadi perubahan lingkungan pada daerah tersebut, maka akan sangat mengancam keberadaan spesies-spesies tadi, 3) Pulau kecil yang letaknya jauh dari pusat pertumbuhan, pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi dan SDM. Pulau ini tetap bisa dikembangkan akan tetapi diperlukan biaya yang lebih besar untuk pengembangannya, 4). Pulau-pulau kecil memiliki daerah tangkapan air yang sangat terbatas sehingga ketersediaan air tawar merupakan hal yang memprihatinkan. Untuk kegiatan pengembangan seperti pariwisata, industri dan listrik tenaga air, sebagai contoh, akan sangat terbatas, 5). Pengelolaan pulau kecil belum terintegrasi dengan pengelolaan daerah pesisir kecuali pulau-pulau terpencil di gugusan kepulau-pulauan di Propinsi Maluku. Hal lain yang sering menjadi masalaha adalah keterbatasan pemerintah daerah dan kurangnya dana untuk mengembangangkan pulau-pulau sekitar, dan 6). Sampai dengan saat ini


(35)

11

belum ada klasifikasi menyangkut keadaan biofisik, sosial ekonomi terhadap pulau-pulau kecil yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan atas alokasi sumberdaya alam agar lebih efektif.

Berdasarkan defenisi atau pengertian mengenai pulau-pulau kecil maka dapat dikatakan bahwa pulau kecil sering dapat dikategorikan sebagai suatu wilayah pesisir dimana dalam suatu wilayah pesisir pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem lingkungan atau ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang biasanya dijumpai di pulau-pulau kecil pesisir antara lain adalah terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi

pescaprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan pemukiman (Dahuri 1998).

Menurut Adrianto (2005) menyatakan bahwa dalam pengembangan

pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu

dipertimbangkan berbagai faktor berdasarkan karakteristik yang dimiliki sebuah pulau atau gugusan pulau dan diperlukan pendekatan yang lebih sistemik serta lebih spesifik berdasarkan lokasi.

2.2. Terumbu Karang

Komunitas karang adalah kumpulan karang yang membentuk terumbu dan pertumbuhannya diawali dengan pertambahan struktural sebelum terjadi seleksi alam secara terus menerus (NOAA 2001).

Terumbu karang (coral reef) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993).

Terumbu karang mempunyai berbagai fungsi yang antara lain sebagai gudang keanekaragaman hayati biota-biota laut, tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan, berpijah, daerah asuhan dan tempat berlindung bagi


(36)

hewan laut lainnya. Terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya siklus biologi, kimiawi dan fisik secara global yang mempunyai tidak produktivitas yang sangat tinggi. Terumbu karang merupakan sumber bahan makanan langsung maupun tidak langsung dan sumber obat-obatan. Terumbu karang sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan sumber utama bahan-bahan kontruksi. Terumbu karang juga berfungsi sebagai daerah rekreasi baik rekreasi pantai maupun rekreasi bawah laut lainya (Suharsono 2008).

Terdapat tiga jenis tipe struktur terumbu karang di Indonesia yaitu karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef) dan karang cincin (atoll). Terumbu karang khususnya terumbu karang tepi tumbuh subur di daerah dengan ombak yang cukup dan kedalaman tidak lebih dari 40 m sehingga berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus kuat yang berasal dari laut. Selain itu terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground) serta tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang (Bengen 2001).

Terumbu karang merupakan struktur berupa deposit kalsium karbonat di laut yang dihasilkan terutama oleh hewan karang. Karang adalah hewan tak bertulang belakang termasuk dalam filum Coelenterata (hewan berongga) atau

Cnidaria, yang sangat sederhana berbentuk tabung, memiliki mulut yang di kelilingi oleh tentakel. Karang mencakup dari Ordo scleractinia dan Sub Kelas

Octocorallia(kelasAnthozoa) maupun kelasHydrozoa(Veron 2000).

Karang lunak (soft coral) lebih dikenal denganAlcyonaria salah satu jenis

Coelenteratayang mempunyai peranan penting dalam pembentukan fisik terumbu karang dengan tubuh yang lunak, tertanam dalam masa gelatin dan kokoh. Tubuh

Alcyonaria lembek tapi disokong oleh sejumlah besar duri-duri yang kokoh, berukuran kecil dan tersusun sedemikian rupa sehingga lentur dan tidak mudah putus. Duri-duri yang kokoh tersebut mengandung kalsium karbonat yang dikenal denganspikula(Manuputy 1986).

Terumbu karang berdasarkan pertumbuhannya (lifeform) Wood (1977) dan Englishet al(1994) mengelompokan karang batu menjadi beberapa tipe yaitu: 1). Bercabang (branching) merupakan tipe karang yang memiliki ukuran cabang


(37)

13

lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimiliki. Karang bercabang banyak terdapat disepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama pada bagian yang terlindung atau tengah terbuka. Tipe karang ini dijadikan sebagai tempat berlindung ikan-ikang karang, 2). Padat (massive) merupakan tipe yang berbentuk seperti bola dengan ukuran bervariasi mulai dari sebesar sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah. Karang ini biasanya ditemukan disepanjang karang tepi terumbu dan bagian atas lereng terumbu yang lebih dewasa serta belum terganggu atau rusak. Tipe karang ini dijadikan sebagai perlindungan dan sebagai tempat mencari makan bagi ikan-ikan karang dan hewan lainnya, 3). Kerak (encrusting) merupakan tipe karang yang tumbuh menutupi permukaan terumbu dan sering ditemukan merambat diatas permukaan biota karangmassive yang sudah mati. Pertumbuhan karang ini menyerupai kerak dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil. Tipe ini banyak terdapat di daerah terbuka dan berbatu terutama disepanjang tepi lereng terumbu. Karang tipe ini juga bersifat melindungi ikan-ikan karang dan hewan-hewan kecil, 4). Meta (tabulate) merupakan tipe karang yang menyerupai meja dengan permukaan yang lebar dan datar. Karang meja ini ditopang oleh sebuah batang yang terpusat dan bertumpu pada satu sisi membentuk sudut, 5). Daun (foliose) merupakan tipe karang yang tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu dengan ukuran besar dan kecil serta membentuk lipatan yang melingkar. Tipe karang ini biasanya ditemukan pada daerah lereng terumbu dan pada daerah yang terlindungi sehingga menjadi tempat berlindung bagi ikan-ikan karang dan biota lainnya, 6). Jamur (mushroom) merupakan tipe karang yang berbentuk oval, pipih dan liat dengan sekat-sekat yang beralur serentak dari sisinya dan bertemu pada bagian tengahnya. Tipe karang ini menyerupai jamur.

Ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang unik dan spesifik karena pada umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan perairan terutama suhu, salinitas, sedimentasi,

eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami. Cahaya sangat diperlukan olehzooxanthellayang fotosintetik (Veron 1995).


(38)

Tiga tipe zona terumbu karang menurut Ladd (1997) yaitu: 1). Karang tepi (fringing reef), atau terumbu karang pantai, merupakan terumbu karang yang letaknya dekat dengan pantai, umumnya pada daerah pasang surut hingga kedalaman kurang dari 40 m. Karang tepi berkembang di perairan pesisir di semua taut yang mendapatkan cukup cahaya matahari dimana suhu dan kadar oksigennya sesuai dan dasar yang cukup kuat. Lokasi ideal tipe ini di daerah tropis adalah di pesisir berbatu dari suatu pulau yang terbentuk dari gunung berapi dan pesisir dari pulau yang tersusun dari batu-batu keras, 2). Terumbu penghalang (barrier reef), merupakan bagian dari terumbu karang yang terletak agak jauh dari pantai, dalam jarak dari beberapa puluh meter hingga kilometer, dipisahkan oleh laguna yang memiliki kedalaman hingga 75 m dan lebar mencapai puluhan kilometer. Daerah ini memiliki tingkat pertumbuhan karang yang sangat cepat tapi juga sangat cepat rusak. Selain berfungsi sebagai penjaga ekosistem lingkungan pesisir, barrier reef juga berfungsi penting sebagai penahan ombak. Terumbu karang penghalang banyak ditemukan di bagian timur Indonesia, di sekitar pulau-pulau kecil, dimana terdapat pulau gunung api, karena dari sisi geografis dan geologi, jenis terumbu karang tersebut merupakan bagian dari rangkaian pulau gunung api yang melingkari cekung Samudra Pasifik, 3). Atoll, atau terumbu karang cincin, dengan penampang berbentuk lingkaran yang melingkari laguna dengan kedalarnan bervariasi antara dari beberapa meter hingga puluhan meter. Beberapa atoll malah ada yang terendam atau ditutupi oleh sedimen. Material atau substrat yang membentuk atoll dan laguna yang ada didalamnya, terdiri dari pasir bioklastik (hancuran karang dan biota laut lainnya) hingga pecahan karang dalam ukuran besar. Pergantian air yang terdapat di dalam laguna dan di luamya terjadi oleh celah-celah sempit yang terdapat diantara pulau-pulau tersebut. Perairan Nusantara, tipe terumbu karang cincin dapat ditemukan di bagian timur Indonesia, yaitu di Kepulauan Taka Bone Rate (atol terbesar di Indonesia atau yang ketiga di dunia), di Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku.

Sebagaimana organisme yang termasuk kelompok yang bersifat sessil di dasar perairan, terumbu karang rentan dengan terjadinya perubahan lingkungan karena tidak memiliki kemampuan utuk menghindar dari perubahan kondisi


(39)

15

lingkungan sebagaimana kelompok hewan yang bisa bergerak bebas. Beberapa factor pembatas utama dalam menentukan kehadiran dan kelangsungan hidup pada suatu perairan meliputi faktor kedalaman, fluktuasi temperature, salinitas, cahaya, arus, substrat yang cocok dan kecerahan perairan (Thamrin 2006).

Terumbu karang memberikan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Cesar (2000) menyebutkan bahwa ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean

bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir. Sementara Supriharyono (2000) menyatakan bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan dan pencarian makan bagi banyak biota laut.

Ekosistem terumbu karang kaya akan keragaman spesies penghuninya. Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu dan ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak yang dapat ditemui (Dahuriet al. 1996).

Menurut Veron (1995) menyatakan bahwa terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat kalsium (CaCo3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme -organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCo3). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu (Scleractina ) merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef -building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi

Moberg dan Folke (1999) in Cesar (2000) menyebutkan bahwa fungsi ekosistem terumbu karang yang mengacu kepad habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai penyumbangbarang maupun jasa. Fungsi terumbu karang untuk jasa dibedakan yaitu: 1). Sebagai pelindung pantai (jasa struktur fisik), 2). Sebagai habitat dan support rantai makanan (jasa biologi), 3). Sebagai fiksasi nitrogen (jasa biokimia), 4). Sebagai pencatat iklim (jasa informasi) dan sebagai keindahan (jasa sosial dan budaya). Sementara Supriharyono (2000) menyatakan beberapa


(40)

aktivitas yang berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang yaitu perikanan terumbu karang, aktivitas pariwisata bahari, aktivitas pembangunan darat dan aktivitas pembangunan di laut.

Terumbu karang merupakan potensi utama dalam pengembangan wisata bahari. Nilai estitika keindahan laut banyak ditentukan oleh kehadiran dan keindahan terumbu karang termasuk didalamnya keragaman jenis, tutupan karang dan keanekaragaman biota yang hidup di dalamnya (Apriliani 2009).

Terumbu karang dapat menjadi sumber devisa yang diperoleh dari penyelam dan kegiatan wisata baharinya. Bahkan dewasa ini berbagai jenis biota yang hidup pada ekosistem terumbu karang ternyata banyak mengandung senyawa senyawa bioaktif sebagai bahan obat-obatan, makanan dan kosmetika. Selain itu terumbu karang juga menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi perhatian bagi para ahli, mahasiswa, perusahaan farmasi sebagai objek penelitian (Dahuri 2003).

Terumbu karang mempunyai nilai arti yang sangat penting dari segi sosial ekonomi dan budidaya karena hampir sepertiga penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dangkal. Pada umumnya masih menggunakan cara-cara tradisional dan terbatas di daerah relative dangkal yang umumnya berupa terumbu karang (Suharsono 2008).

Bengen (2001) menyatakan bahwa terumbu karang khususnya terumbu karang tepi dan penghalang, berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut Selain itu, terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makanan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya. Terumbu karang dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai berikut: 1). Sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi, dan berbagai jenis ikan hias, 2). Bahan konstruksi bangunan dan pembuatan kapur, 3). Bahan perhiasan dan 4). Bahan baku farmasi.

Supriharyono (2007) menyatakan bahwa mengingat binatang karang (hermatypic atau reff building corals) hidupnya bersimbiosis dengan ganggang (zooxanthellae) yang melakukan proses fotesintesa, maka pengaruh cahaya


(41)

17

(illumination) adalah penting sekali. Terkait dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap karang maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Menurut Kinsman (1964) secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m. akan tetapi menurut Supriharyono (2007) tidak sedikit spesies karang yang tidak mampu bertahan pada kedalaman hanya satu meter disebabkan oleh kekeruhan air dan tingkat sedimen tinggi.

Suharsono (2009) menyatakan bahwa peran dan fungsi ekologis terumbu karang sangat besar yaitu sebagai tempat bertelur, memijah, pengasuhan dan tempat mencari makan bagi hewan laut lainnya. Peran terumbu karang secara fisik adalah sebagai tempat tinggal yang kokoh bagi biota laut dan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan erosi pantai. Keindahan terumbu karang tidak diragukan lagi sebagai daya tarik wisata. Bentuk koloni karang yang sangat bervariasi dan indah juga mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi sebagai hiasan untuk akuarium. Bongkah-bongkah batu karang sering dimanfaatkan untuk bahan bangunan dan pondasi jalan. Nilai ekonomis terumbu karang sangat tergantung dari lokasinya, namun secara umum nilai terumbu karang di Indonesia berkisar antara US$ 1.542-6.076 ha/th (UNEP 2007 in Suharsono 2009). Coba bandingkan nilai terumbu karang di Great Barrier reef, Australia, yaitu US $ 100.000-600.000 per km2/th. Divisa yang dihasilkan dari sektor pariwisata terumbu karang US$ 6.1 milyar/th (Access economic 2007inSuharsono 2009).

2.3. Wisata Bahari Berbasis Ekologi (Ekowisata Bahari)

Terminologi ekowisata bahari (marine ecotourism) merupakan

pengembangan dari wisata bahari. Menurut Orams (1999) menyatakan bahwa wisata bahari merupakan aktivitas rekreasi yang meliputi perjalanan jauh dari suatu tempat tinggal menuju lingkungan laut. Dimana lingkungan laut adalah perairan yang bergaram dan dipengaruhi oleh pasang surut.

Yulianda (2007) menyatakan beberapa prinsip dasar ekowisata yaitu 1). Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam serta budaya setempat, 2). Pendidikan konservasi lingkungan, mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi, 3). Pendapatan langsung untuk kawasan yaitu retribusi atau pajak konservasi dapat digunakan


(42)

untuk pengelolaan kawasan, 4). Partisipasi masyarakat dalam perencanaan yaitu merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan, 5). Penghasilan bagi masyarakat yaitu masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan, 6). Menjaga keharmonisan dengan alam yaitu kegiatan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam, 7). Daya dukung sebagai batas pemanfaatan yaitu daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangan daya dukung lingkungan, 8). Kontribusi pendapatan bagi negara baik pemerintah daerah maupun pusat.

Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Konsep pengembangan ekowisata bahari sejalan dengan misi pengelolaan konservasi yang mempunyai tujuan yaitu: 1). Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung system kehidupan, 2). Melindungi keanekaragaman hayati, 3). Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya dan 4). Memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat (Ndruru 2009).

Yoeti (1987) menyatakan bahwa ekowisata (ecotourism) adalah aktivitas yang berkaitan dengan alam, wisatawan diajak melihat alam dari dekat, menikmati keaslian alam dan lingkungannya sehingga membuatnya tergugah untuk mencintai alam.

Ekowisata berarti berkunjung ke daerah yang alami yang belum tereksploitasi dengan tujuan untuk melihat, mengagumi dan mempelajari suatu wilayah, flora dan fauna, dan juga untuk mempelajari tentang aspek-aspek budaya yang dijumpai di wilayah tersebut (Ecological Tourism in Europe (ETE) 2003).

Objek ekowisata bahari dapat dikelompokkan yaitu 1). Objek komoditi terdiri dari potensi spesies biota dan material non hayati yang mempunyai daya tarik wisata, ekosistem dan kegiatan, 2). Objek ekosistem terdiri dari ekosistem pesisir yang mempunyai daya tarik habitat dan lingkungan, 3). Objek kegiatan merupakan kegiatan yang terintegrasi di dalam kawasan yang mempunyai daya tarik wisata (Yulianda 2007).

Konsep wisata bahari didasarkan pada pemandangan, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya, dan karakteristik masyarakat


(43)

19

sebagai kekuatan dasar yang dimiliki pesisir dan lautan secara langsung dan tidak langsung (Nurisyah 2001).

Secara konseptual ekowisata dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Setiawati 2000).

Ekowisata yang didefenisikan oleh The Ecotourism Society (2002) in

Dirawan (2003) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke kawasan alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. memperlihatkan kesatuan konsep yang terintegratif secara konseptual tentang keseimbangan antara menikmati keindahan alam dan upaya mempertahankannya. Sehingga pengertian ekowisata dapat dilihat sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolannya.

Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokan yaitu 1). Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutama sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai sebagai rekreasi, olahraga dan menikmati pemandangan, dan 2). Wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air laut seperti diving, snorkling, selancar, jet ski, perahu kaca, wisata lamun dan wisata satwa (Yulianda 2007).

Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistern di areal yang masih alami. Dalam pengelolaan ekowisata dipergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan, dan harus menjadi suatu sinergi dengan keberpihakan kepada masyarakat. Keterlibatan masyarakat lokal akan membantu menjaga keutuhan kawasan ekowisata dan mempertahankan budaya lokal


(44)

masyarakat serta membuka peluang untuk memposisikan masyarakat sebagai bagian dari pengelola bersama dengan stakeholder yang lain (Nurfatriani dan Evida 2003).

Konsep dan definisi tentang wisata bahari menurut Hall (2001) menyatakan bahwa wisata terbagi menjadi dua yaitu wisata pesisir dan wisata bahari. Wisata pesisir adalah wisata yang berhubungan dengan kegiatan leisure

dan aktivitas rekreasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan perairan lepas pantai meliputi rekreasi menonton ikan paus dari pinggiran pantai, berperahu, memancing, snorkling dan diving. Sedangkan wisata bahari adalah wisata yang berhubungan dengan wisata pantai tetapi lebih mengarah pada perairan laut dalam. Misalnya memancing di laut dalam dan berlayar dengan kapal pesiar.

Ekowisata merupakan jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan. Dengan maksud bahwa melalui aktivitas yang berkaitan dengan alam dan lingkungan sehingga membaut orang tergugah untuk lebih mencintai alam (Valintine 1993 dan Young 1992inBaksir 2010)

Hasil Forum Konsolidasi Pengembangan Ekowisata Indonesia yang terbentuk pada tahun 1999 oleh Direktorat Jenderal Pariwisata bahwa ekowisata merupakan salah satu corak kegiatan pariwisata khusus dimana suatu konsep pariwisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian, sehingga tujuan akhir dari pengembangan ekowisata diharapkan dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan (Setiawati 2000).

Ekowisata merupakan bagian dari gejala pariwisata total yang

menggunakan sumberdaya tertentu untuk menarik pengunjung yang mencari pengalaman khusus (Wall 1995). Beberapa definisi dari ekowisata sebagai berikut yaitu 1). Perjalanan ke kawasan alam yang secara relatif belum terganggu dengan tujuan mengagumi dan menikmati pemandangan indah yang ditemukan di daerah tujuan dan 2). Perjalanan yang dapat dipertanggungjawabkan ke kawasan alam dengan memelihara lingkungan.

Ekowisata harus mengangkat harkat dan martabat masyarakat lokal secara umum memiliki posisi tawar yang relative lebih rendah. Dalam perkembangannya


(45)

21

Aoyama (2000) menyatakan beberapa kriteria standar tentang bagaimana seharusnya ekowisata yang telah diterima secara umum yaitu: melestarikan lingkungan, secara ekonomis menguntungkan dan member manfaat bagi masyarakat.

2.4. Konsep Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management, ICM)

Pada dasarnya bahwa konsep pembangunan pulau-pulau kecil mengacu kepada konsep pembangunan wilayah pesisir meskipun ekosistem yang ada di pulau-pulau kecil mungkin lebih beragam dari pada di wilayah pesisir daratan. Selain itu mengingat pulau-pulau kecil terpisah dari daratan utama (daratan induk) maka faktor aksesibilitas dapat menjadi kendala pembangunan pulau-pulau kecil berkelanjutan yang cukup berarti (Susilo 2003). Selanjutnya menurut (Adriantoet al. 2005) bahwa prinsip keterpaduan sangat penting dan memegang peranan yang fundamental sebagai salah satu kunci sukses dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Dalam Convention Biological Diversity (CBD) yang diacu Thiang-Eng (2006) menyatakan bahwa pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem terfokus pada memelihara integritas ekosistem tersebut yang menyediakan sumberdaya esensial dan jasa untuk kesejahteraan dan aktivitas manusia.

Cicin-Sain dan Knecht (1998) menyatakan bahwa pembangunan

berkelanjutan mencakup 3 penekanan, yaitu terdiri dari 1). Pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, 2). Pembangunan yang sesuai dengan lingkungan dan 3). Pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejateraan, yaitu keadilan penyebaran keuntungan dari pembangunan yang mencakup; a) ntersociental equity misalnya antar kelompok dalam masyarakat menghargai hak khusus masyarakat lokal, b).intergenerational equity yaitu tidak membatasi peluang atau pilihan bagi generasi mendatang dan c). international equity adalah memenuhi kewajiban (obligasi) terhadap bangsa lain dan terhadap masyarakat international mengingat adanya kenyataan saling ketergantungan secara global.


(46)

Casagrandi dan Rinaldi 2002 in Baksir 2010 menyatakan secara teoritis bahwa konsep wisata berkelanjutan pulau-pulau kecil mengikuti model minimalis. Tergantung tiga komponen utama yaitu kondisi lingkungan (environmental), investasi (capital) dan wisata (tourism). Ketiga komponen ini saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Wisatawan akan berkunjung apabila lingkungan baik,

namun dengan bertambahnya wisatawan melebihi daya dukung akan

memperburuk kondisi lingkungan dan akan berakibat pada capital. Sebaliknya wisatwan yang banyak akan menambahcapital dancapital ini bisa dikembalikan untuk perbaikan lingkungan. Sehingga daya dukung kawasan lingkungan merupakan salah satu alat yang dapat dipakai untuk mengukur sejauh mana bisa berkelanjutan (McMinn 1997).

Young 1992 in Kay and Alder 1999 menyatakan bahwa ada 3 tema yang terkandung pada definisi pembangunan berkelanjutan yaitu 1). Integritas lingkungan, 2). Efisiensi ekonomi dan 3) keadilan kesejateraan (equity) yang dimaksudkan sebagai memperhatikan generasi saat ini dan mendatang serta mempertimbangkan aspek budaya selain aspek ekonomi.

Menurut Daly (1990) menyatakan bahwa ada tiga kriteria dasar bagi keberlanjutan modal alam (natural capital) dan keberlanjutan ekologi (ecological sustainability) yaitu 1) untuk sumberdaya alam terbarukan (renewable resources) laju pemanfaatanya tidak boleh melebihi laju regenerasinya (sustainable yield), 2). Laju produksi limbah dari kegiatan pembangunan tidak boleh melebihi kemampuan asimilasi dari lingkungan (sustainable waste disposal) dan 3) untuk sumberdaya tidak terbarukan (non renewable resource) laju deplesi sumberdaya harus mempertimbangkan pengembangan sumberdaya substitusi bagi sumberdaya tersebut. Selanjutanya menurut (Adrianto 2004a) bahwa kriteria ini ideal dan lebih bersifat normative, namun dalam kontek pembangunan berkelanjutan di Indonesia ketiga kriteria ini menjadi faktor penting yang diharapkan dapat menjadi norma bagi setiap pengambil kebijakan pembangunan ekonomi nasional.

Setiap pulau memiliki format pengelolaan yang berbeda, disesuaikan dengan latar geografis, karakteristik ekosistem, dan sosial budaya masyarakat

setempat. Dalam arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil yang


(47)

23

2) Ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugus pulau dan 3). Sesuai kondisi sosial budaya setempat (Dahuri 2003).

Menurut Adrianto dan Kusumantanto (2005) menyatakan bahwa dalam kontek Indonesia, pengelolaan pesisir pada dasarnya diarahkan untuk mencapai dua tujuan yaitu 1). Pendayagunaan potensi pesisir dan lautan untuk

meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan

kesejateraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, dan 2). Tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan.

2.5. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)

Penginderaan jauh adalah suatu ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Purbowaseso 1996).

Soenarmo (2003) menyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh melalui alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Kegiatan observasi informasi objek tersebut dalam arti khusus adalah mendeteksi gelombang elektromagnetik yang dipantulkan, ditransmisikan dan dihamburkan oleh objek

tersebut. Melalui persamaan-persamaan sifat, interaksi gelombang

elekromagnetik dengan objek dapat dikembangkan teknologi akuisi dan pengolahan data sehingga informasi objek dapat diektraksi sekaligus dapat diturun dari data penginderaan jauh. Data inderaja satelit dapat dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi yaitu aplikasi untuk atmosfer, hidrosfer, litosfer-geosfer,biosfer, lingkungan,kriosfer dan sistem pengumpulan data.

Secara umum penginderaan jauh saat ini dimanfaatkan tidak saja pada alat pengumpulan data mentah, tapi penginderaan jauh dapat juga digunakan untuk memproses data mentah secara manual dan otomatis serta dapat menganalisis citra dan menampilkan hasil informasi yang diperoleh (Howard 1996).


(48)

Sutanto (1986) menyatakan bahwa dalam penginderaan jauh digunakan

tenaga elektromagnetik. Matahari merupakan sumber utama tenaga

elektromagnetik ini. Dalam perjalanannya radiasi matahari menembus atmosfer mengalami proses atenuasi yaitu penyerapan, pantulan, pancaran, dan hampuran oleh partikel-partikel dalam atmosfer baru kemudian diteruskan.

Sistem informasi geografis (SIG) adalah sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. SIG adalah sistem komputer yang terdiri dart perangkat keras, perangkat lunak, dan personal (manusia) yang dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI 1990).

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk menunjang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir pulau-pulau kecil. Perencanaan spasial atau keruangan di wilayah pesisir lebih kompleks dibandingkan dengan perencanaan spasial di daratan (Dahuri 1997), karena (1) Perencanaan di daerah pesisir harus mengikutsertakan semua aspek yang berkaitan baik dengan wilayah daratan maupun lautan; (2) Aspek daratan dan lautan tidak dapat dipisahkan secara fisik oleh garis pantai karena saling berinteraksi dan bersifat dinamis sesuai dengan proses-proses fisik dan biogeokimia yang terjadi; (3) Bentang alam wilayah pesisir secara cepat berubah dibanding dengan daratan karena hasil interaksi tadi.

Rofiko (2005) menyatakan bahwa kriteria utama yang harus

dipertimbangkan pada saat evaluasi kesesuaian SIG yaitu 1). Model dan struktur data yang digunakan dapat di pakai pada wilayah yang luas dengan ketelitian dan resolusi yang tinggi, 2). Data spasial maupun non spasial yang telah tersusun dapat diperbaiki, disimpan, dapat diambil pada saat tertentu dan dapat ditampilkan secara efisien dan efektif.

Supriatna et al.(2005) menyatakan bahwa SIG adalah teknologi di garis depan dan merupakan interdisiplin yang membutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas untuk tiap-tiap tingkatan dalam pekerjaannya. Secara umum sumberdaya manusia yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: 1). Staf operasional


(49)

25

yang terdiri dari end user (orang yang bertugas untuk membuat sistem menghasilkan keuntungan, termasuk mengantisipasi segala kemungkinan selama berlangsungnya pekerjaan), kartografer (bertugas melayout peta sehingga jelas dan mudah dimengerti), data capturer (bertugas mengkonversi peta menjadi bentuk digital), potential users (orang yang mampu mengoperasikan teknologi SIG), 2). Staf analis profesional terdiri dari : analist (orang yang menganalis berdasarkan pengetahuan dan pengalaman di bidang SIG), system administrator (bertugas menjaga, merawat perangkat keras dan perangkat lunak dari komputer yang digunakan untuk pekerjaan), progrmmer (bertugas menterjemahan aplikasi khusus untuk keperluan SIG menjadi program yang bisa dijalankan), data base administrator (orang yang mengatur fenomena-fenomena geografi ke dalam bentuk layer-layer, mengidentifikasi sumber data, mendokumenkan informasi yang terkandung dalam data base sehingga dapat dibaca sistem dan dapat terintegrasikan), super operator (orang yang ahli dalam semua perangkat keras dan perangkat lunak dalam SIG), dan 3). Manajer perorangan yang bertanggungjawab atas perkembangan harian dari pekerjaan yang sedang dikerjakan yang mengatur kerja tim, mengatur hasil output/produksi yang dibutuhkan seperti layaknya sebuah organisasi.

Sistem Informasi Geografis (GIS) merupakan alat yang dapat digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, mendapatkan kembali, tranformasi dan menampilkan suatu data dengan tujuan tertentu. Data tersebut dapat berupa data spasial maupun data atribut. Data spasial merupakan data yang mencerminkan aspek keruangan, sedangkan data atribut merupakan data yang menggambarkan suatu atribut tertentu (Aronof 1989).

Data yang digunakan untuk analisis SIG harus dilengkapi dengan informasi posisi geografis (lintang dan bujur). Database yang telah dibuat akan memudahkan dalam melakukan analisis dalam SIG. Data yang dihasilkan dari pengukuran parameter lingkungan nantinya akan dibentuk suatu layer yang akan dimasukan dalam dalam peta dasar yang telah tersedia. Data parameter lingkungan yang dikumpulkan tersebut berbentuk titik, sehingga untuk dapat melakukan analisis antar layer, data-data tersebut terlebih dahulu dilakukan


(50)

interpolasi sehingga nantinya data akan berbentuk area/poligon (Charter dan Agtrisari 2003).

Sistem Informasi Geografis (SIG), data dirujukkan dengan kejadian yang akan memberikan perbaikan, analisis dan tayangan pada kriteria spasial. SIG paling tidak terdiri dari subsistem pemrosesan, subsistem analisis data dan subsistem yang menggunakan informasi (Masrul 2002).

Raharo (1996) in Haris (2003) menyatakan keunikan SIG jika

dibandingkan dengan sistem pengolahan basis data lainya adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi spasial maupun non spasial secara bersama-sama. SIG merupakan penyederhanaan (miniatur) dari fenomena alam/geografis yang nyata, maka SIG harus betul-betul mewakili kondisi, sifat-sifat (atribut yang penting) bagi suatu aplikasi/pemanfaatan tertentu.

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah terjemahan dari Geogrphical Information Systemyang merupakan teknologi berbasis computer yang digunakan untuk memperoses, menyusun, menyimpan, memanipulasi dan menyajikan data spasial yang disimpan dalam basis data untuk berbagai macam aplikasi (Azis 1998).

Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) sudah banyak digunakan untuk pengelolaan sumberdaya alam, seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Hanya dalam beberapa tahun, penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah tersebar luas pada berbagai bidang, seperti dalam bidang ilmu lingkungan, perairan, dan sosial ekonomi (Anwar 2002).

2.6. Kekesuaian Kawasan

Pengembangan wisata bahari memerlukan kesesuaian sumberdaya dan lingkungan pesisir sesuai dengan kriteria yang disyaratkan. Kesesuaian sumberdaya pesisir dan lautan ditujukan untuk mendapatkan kesesuaian karakteristik sumberdaya wisata. Kesesuaian karakteristik sumberdaya dan lingkungan untuk pengembangan wisata dilihat dari aspek keindahan alam, keamanan dan keterlindungan kawasan, keanekaragaman biota, keunikan sumberdaya/lingkungan dan aksesibilitas (Hutabaratet al. 2009).


(1)

234

Wawancara dengan swasta Wawancara dengan pemerintah

Wawancara dengan Sekdes Wawancara dengan Tokoh Masyarakat

Wawancara dengan Wisatawan Wawancara dengan Wisatawan


(2)

(3)

(4)

RINGKASAN

YAR JOHAN, Pengembangan Wisata Bahari Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi: Studi Kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan VINCENTIUS P SIREGAR.

Pulau Sebesi merupakan satu-satunya pulau di sekitar Gunung Krakatau yang berpenghuni. Pulau Sebesi berpotensi untuk dikembangkan menjadi salah satu Objek Daerah Tujuan Wisata (ODTW) yang berbasis pada ekologi. Hampir seluruh Pulau Sebesi dikelilingi oleh terumbu karang yang dapat ditemukan sampai kedalaman 10 meter dari permukaan laut. Ikan karang yang ditemukan di daerah terumbu karang Pulau Sebesi sebanyak 168 spesies dalam 28 famili. Luas wilayah Pulau Sebesi adalah 2.620 ha dengan panjang pantai 19.55 km. Sebagian besar daratan Pulau Sebesi tersusun dari endapan gunung api muda dan merupakan daratan perbukitan. Bukit tertinggi di Pulau Sebesi mencapai 884 meter dari permukaan laut dengan bentuk kerucut yang mempunyai tiga puncak (Wiryawanet al.2002).

Dinas Pariwisata Lampung Selatan (2008) menyatakan bahwa berbagai objek wisata yang telah ada di Pulau Sebesi adalah snorkling, diving, fishing, swimming, berperahu motor, menikmati panorama alam, trekking dan hunting. Salah satu pantai yang mempunyai pemandangan yang indah dan langsung berhadapan langsung dengan Gunung Krakatau adalah pantai Gubuk Seng serta Segenom Ujung juga ada pantai yang langsung berhadapan dengan Pulau Sebuku. Selain melihat pemandangan, berfoto-foto dan juga memancing. Pulau Sebesi memiliki potensi wisata yang lengkap dan beragam. Jika dikelompokkan ada 2 bentuk wisata yang dapat ditawarkan kepada wisatawan yaitu wisata bahari dan wisata alam petualangan (trikkingdan berburu hewan liar).

Tahun 2008 Pulau Sebesi telah ditetapkan menjadi salah satu Objek Daerah Tujuan Wisata (ODTW) di Kabupaten Lampung Selatan. Namun, potensi sumberdaya wisata bahari belum dimanfaatkan secara optimal. Belum optimalnya kegiatan wisata disebabkan kurangnya dukungan pemerintah dalam mengembangkan Pulau Sebesi menjadi suatu kawasan wisata bahari. Dukungan pemerintah dalam hal ketersediaan fasilitas yang mendukung perjalanan wisata bahari dan yang telah ada kondisinya tidak memadai. Kegiatan wisata dijalankan hanya dengan fasilitas yang seadanya, ditambah lagi dengan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia di Pulau Sebesi sehingga belum berkembang menjadi suatu kawasan wisata khususnya wisata bahari untukdiving dan snorkling. Maka saat ini kebutuhan akan data dan informasi tentang kondisi dan keberadaan sumberdaya pulau-pulau kecil termasuk kesesuaian kawasan dan daya dukung Pulau Sebesi penting untuk dimiliki dalam pengembangan wisata bahari nantinya.

Penelitian tentang Pengembangan Wisata Bahari Dalama Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi; Studi Kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung bertujuan untuk: 1). Mengkaji kesesuaian kawasan Pulau Sebesi untuk kegiatan wisata bahari berbasis ekologi kategori diving dan snorkling, 2). Menganalisis daya dukung (carryng capacity) kawasan Pulau Sebesi untuk kegiatan wisata


(5)

bahari berbasis ekologi, dan 3). Menentukan arahan strategi dan kebijakan dalam pengembangan wisata bahari berbasis ekologi di Pulau Sebesi.

Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Pengumpulan data primer dan data sekunder dilakukan selama 6 bulan pada bulan Februari 2010 sampai bulan Juli 2010. Metode yang digunakan untuk penentuan kondisi tutupan komunitas karang adalah metodeLine Intercept Transect (LIT). Data ikan karang dalam penelitian ini diperoleh dengan metode Underwater Visual Census (UVC) pada transek terumbu karang yang sama yaitu metode untuk mengidentifikasi ikan karang melalui pengamatan terhadap ikan-ikan karang yang ditemukan pada jarak 2.5 meter ke kiri dan kanan di garis transek.

Hasil pengamatan kondisi tutupan komunitas karang pada lokasi penelitian dengan menggunakan Line Intersept Transect (LIT) berkisar antara 35.20%-77.58%, dengan persentase tutupan komunitas karang terendah di kawasan Segenom pada kedalaman 3 meter sebesar 35.20% sedangkan yang tertinggi di kawasan Gosong Sawo sebesar 77.58% pada kedalaman 3 meter. Tutupan karang keras di semua lokasi penelitian berkisar 4.86%-70.20% dengan persentase terendah di kawasan Regan Lada kedalaman 10 meter sebesar 4.86% sedangkan yang tertinggi di kawasan Regan Lada pada kedalaman 3 meter dengan nilai 70.20%. Karang keras terbagi kedalam dua kategori karang Acropora dan Non-Acropora.

Berdasakan hasil penelitiaan diperoleh bahwa kesesuaian kawasan wisata bahari dalam kondisi S2 (sesuai) untuk kategori diving terdapat Pulau Umang-Umang dan Segenom dengan luasan 59.530 m2 (59.530 ha) sedangkan kategori snorkling dapat ditemukan di Bangunan, Regan Lada dan Sianas dengan luasan 622.320 m2 (62.23 ha). Daya dukung (carryng capacity) kawasan wisata bahari kategoridiving 2.394 orang/hari dan kategorisnorkling 2.489 orang/hari. Arahan strategi dan kebijakan dalam pengembangan wisata bahari Pulau Sebesi, antara lain: Pengelolaan wisata terpadu, Penguatan peraturan dan kelembagaan, Peningkatan SDM, Pemberdayaan Masyarakat, Upaya pencegahan kerusakan terumbu karang dan Pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang secara optimal. Kata kunci: Pulau Sebesi, terumbu karang, daya dukung, A’WOT


(6)

RIWAYAT HIDUP

YAR JOHAN dilahirkan pada tanggal 23 Agustus 1985 di Tanjung Betuah Kecamatan Nasal Kabupaten Kaur Propinsi Bengkulu. Merupakan anak ke empat dari empat bersaudara dari pasangan yang sakinah dan mawaddah ayahanda Hayat Japar dan Ibunda Rusni. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar di SD Negeri Tanjung Betuah pada tahun 1998. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 2 Manna pada tahun 2001, dan Sekolah Menengah Umum pada SMU Negeri 1 Kota Manna Jurusan IPA pada tahun 2004. Penulis diterima pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Riau melalui jalur Penerimaan Bibit Unggul Daerah (PBUD) pada tahun 2004. Kesempatan melanjutkan ke jenjang Magister pada Mayor Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana IPB pada Tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Tanoto Foundation. Selama perkuliahan penulis pernah aktif di pengurus WACANA IPB Periode 2008/2009.