Perkembangan Motif Batik Surakarta

G. Batik dan Upacara Adat Karaton Kasunanan Surakarta

1. Perkembangan Motif Batik Surakarta

Batik klasik yang dibuat untuk mewujudkan nilai-nilai budaya Jawa merupakan batik yang dipengaruhi oleh nilai tradisi Jawa dan didukung oleh kalanga bangsawan karaton Yogyakarta dan Surakarta Hasanudin, 2001: 21. Dalam budya Jawa, khususnya di lingkungan Karaton, terdapat ketentuan yang menyangkut keluarga raja dan pejabat karaton dalam bertindak, berbicara, dan berpakaian agar sesuai dengan aturan karaton. Karaton memandang perlu untik membuat aturan supaya kedudukan raja tetap kuat dan mutlak. Kehalusan bukan saja dalam bahasa tetapi juga diwujudkan dalambahasa rupa. Memilih kain, menetapkan corak, menggambarkan ragam hias, dan memilih warna terkait dengam tujuan pencapaian tingkatan yang lebih halus, khususnya bagi lingkungan karaton. Ketetapan raja yang menyangkut busana karaton dapat diartikan sebagai perintah untuk meningkatka ketrampilan, kerajinan, dan kehalusandalam tata busana karaton, khususnya kain batik. Salah satu aturan yang melarang pemakaian corak batik tertentu dikeluarkan pada tahun 1769 di Surakarta oleh Paku Buwana III 1749-1788: Ada beberapa jenis kain batik yang menjadi larangan saya: batik sawat, batik parang, batik cemukiran yang berupa motif modang, bangun tulak lenga teleng serta berwujud tumpal dan juga batik batik cemukiran berbentuk ujung lung daun tumbuhan yangmenjalar di tanah, yang saya ijinka memakai adalah patih dan para kerabat saya. Sedang para kawula tidak diperkenankan Sukmawati, 2004: 43. Pada tahun 1785 Sultan Yogyakarta mencanangkan bahwa pola parang rusak diperuntukan untuk keperluannya pribadi. Pada tahun 1792 dan tahun 1798, karaton mengeluarkan pembatasan selanjutnya atas coraksawat, parang rusak, cemukiran dan udan riris Hasanudin, 2000: 23. Secara tradisional batik klasik terikat pada berbagai aturan yang meliputi strata sosial pemakai, tatakrama, tata cara penggunaan, serta ragam hias dan nilai simbolik yang dikandungnya. Batik dalam kehidupan dapat digunakan sebagai sarana adat. Menurut Pangageng Sasana Pustaka Karaton Kasunanan Surakarta Gusti Pangeran Haryo Puger antara batik dan upacara adat keduanya salingmelengkapi, karena masyarakat menganganggap batik sudah menjadi satu kesatuan yang yang tidak dapat dipisahkan.turun-temurun dan sudah menjadi kebiasaan yang dianut leh masyarakat, diadopsi dari adat karaton.

2. Batik Sebagai Sarana Adat Karaton Kasunanan Surakarta