lxvi Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian.
Pertama, psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Kedua, studi proses kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan
pada karya sastra. Keempat, mempelajari dampak sastra pada pembaca psikologi pembaca Wellek Werren, 1995:90.
Berdasarkan pendapat Wellek dan Warren di atas, penelitian pada novel DPSK ini mengarah pada pengertian yang ketiga, yaitu pendekatan psikologi
sebagai studi tipe dan hukum-hukum yang diterapkan pada karya sastra. Secara spesifik analisis yang akan dilakukan diarahkan pada perilaku psikis para tokoh
yang mendukung cerita dan perilaku trauma psikis tokoh utamanya sehingga akan terungkap faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku trauma psikis tokoh utama
secara menyeluruh.
1. Perilaku Prof. Bandri
Dalam menghadapi pasien yang tengah mengalami gejolak, ego Prof. Bandri sedikit dikesampingkan. Namun bukannya ia harus kalah. Ia mampu
menguasai emosinya, membelokkannya dalam tindakan dan perilaku yang menghibur, sehingga dapat memberikan kesan yang sejuk.
”Dokter Bandri takut menangani aku dan takut ketularan virus jahanam ini kan?” Tuduh Deana dengan suara tajam. Emosi Deana memang tidak
stabil. Ia bisa galak dan dalam sekejap cepat pula berubah amat murung. “Tidak. Tidak. Saya kan dokter jadi saya mengerti tentang AIDS.
Kewajiban dokter untuk menolong pasien. Saya tidak khawatir, tidak takut. Tetapi saya ingin Jeng ditangani oleh dokter yang lebih ahli Titie Said,
2004:46. Perilaku Prof. Bandri juga tahu akan posisinya, ia bisa menentukan kapan
melakukan sesuatu yang baik dan tidak baik menurut norma, apakah menyinggung atau tidak menyinggung terhadap kepribadian seseorang dan kaidah
masyarakat.
lxvii “Mata Dokter Utama yang teduh itu memancarkan pengertiannya.
Ia mengerti derita Deana. Ia tidak berusaha menghibur, karena dalam puncak kekecewaan, kata-kata penghibur justru akan terasa bagai tombak yang menunjam
telinga pasien” Titie Said, 2004:47.
2. Perilaku Don
Meskipun Don memiliki kepribadian yang baik, namun terkadang tanggapan Deana yang selalu curiga dan memojokkannya, justru memaksa ego-
nya untuk menegasikan kedua unsur id dan superego-nya. Kini Don memandang istrinya. Ia seperti memandang orang lain,
seseorang yang tak pernah dikenalnya.Tak ada kata yang meloncat dari mulutnya. Pukulan istrinya tidak terasa sakit. Don seperti kerbau yang
memamah makanan, meresapkan apa kata dokter. Dokter mengatakan istrinya terinfeksi virus HIV, virus penyebab AIDS. Mana mungkin? Don
menerawangkan matanya. Dari mana istrinya yang biasa dipanggil bidadari, punya wajah cantik, bahkan dijuluki perempuan tanpa dosa
karena ia cerdas, amat baik dan polos. Mengapa bisa kena HIV? Mana bisa? Titie Said, 2004:5.
Pemikiran yang berlarut-larut pada akhirnya berpengaruh juga dalam diri
Don yang menyebabkan timbulnya perasaan takut dan khawatir. Tetapi sekarang dunia seperti terbalik. Matahari tidak terbit sehinggga
malam jadi amat panjang. Ia mengalami masa paling kelam. Badannya gemetar. Ah. Dirinya lelaki yang muda, gagah, berani dan suka olah raga.
Tidak pernah takut apa lagi gemetar. Tetapi sekarang badannya bergoyang. Rahangnya dikencangkan untuk menjaga supaya giginya tidak berceratuk,
tetapi ia tidak kuasa untuk menahannya. Mata Don terbuka tetapi ia tidak melihat apa-apa. Semua yang dilihatnya bernuansa kelabu hitam. Walau
hanya dalam hitungan detik tetapi ia merasakan seperti terjebak dalam warna hitam selama bertahun-tahun. Istrinya yang baik, cantik, setia, cinta,
mengapa bisa kena virus HIV? Titie Said, 2004:6.
3. Perilaku Dokter Buntaran