yang tidak termakan oleh ikan serta feses yang larut ke dalam perairan. Dalam budidaya perikanan secara komersial 30 dari total pakan yang diberikan tidak
dikonsumsi oleh ikan dan sekitar 25-30 dari pakan yang dikonsumsi akan dibuang dalam bentuk feses. Kartamiharja dan Krismono 1996 mengemukakan
bahwa pada budidaya KJA yang dilakukan petani ikan di Jawa Barat
menunjukkan jumlah pakan yang terbuang ke perairan berkisar antara 30-40. Bahan organik yang dihasilkan dari aktivitas budidaya ikan akan terakumulasi di
bawah KJA yang berasal dari pakan yang tidak dikonsumsi dan kotoran ikan.
2.2. Karamba Jaring Apung KJA
Karamba jaring apung merupakan salah satu bentuk usaha bidang perikanan yang banyak diusahakan di Waduk Cirata Gambar 2. KJA merupakan
tempat upaya pembesaran ikan dengan menggunakan wadah budidaya berupa jaring yang diapungkan di permukaan air. Semua bagian sisinya diselubungi
material jaring sehingga memungkinkan terjadinya sirkulasi air dan mempermudah pembuangan sisa pakan Budiman et al 1991 dalam Prawita 2004.
Sistem KJA di Waduk Cirata merupakan sistem usaha budidaya yang menerapkan pola intensif, yaitu menggunakan pakan buatan berupa pellet dengan kandungan
protein tinggi Krismono dan Poernomo, 1992. Dalam pemanfaatannya, KJA memiliki fungsi sebagai sumber pendapatan,
pemasok ikan, dan sarana yang menunjang perkembangan lokasi di sekitar waduk Prawita 2004. Pemanfaatan tersebut sesuai dengan tujuan awal pengembangan
jaring apung di Waduk Cirata yaitu memberikan lapangan kerja baru bagi penduduk di sekitar Waduk Cirata yang terkena proyek pembangunan PLTA.
Berdasarkan data yang tercatat, jumlah KJA di Waduk Cirata pada tahun 2006 telah mencapai 50.000 kolam atau 12.500 unit dan dari seluruh jumlah KJA
tersebut, 60 KJA-nya atau 30 ribu kolam berada di wilayah Cianjur Dadang dan Selamet 2008. Padahal berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 41 tahun
2002, jumlah KJA yang diperbolehkan di perairan Waduk Cirata sebanyak 12.000 kolam 1 dari luas perairan Waduk.
Gambar 2. Karamba Jaring Apung KJA yang digunakan dalam penelitian
2.3. Ikan Nilem Osteochillus hasselti
2.3.1.Klasifikasi Ikan Nilem
Menurut Saanin 1968, ikan nilem di klasifikasikan sebagai berikut: • Kingdom : Animalia
• Phylum : Chordata • Subphylum : Craniata
• Class : Pisces • Subclass : Actinopterygi
• Ordo : Ostariophysi • Subordo : Cyprinoidae
• Famili : Cyprinidae • Genus : Osteochillus
• Species : Osteochillus hasselti
J arin g dalam J arin g luar
Gambar 3. Ikan Nilem Osteochillus hasselti
2.3.2. Struktur Morfologis Ikan Nilem
Ikan nilem Osteochillus hasselti merupakan ikan endemik asli Indonesia yang hidup di sungai – sungai dan rawa – rawa. Ciri ikan nilem hampir
serupa dengan ikan mas. Ciri – cirinya yaitu pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut peraba. Sirip punggung disokong oleh 3 jari – jari lemah mengeras
dan 12 – 18 jari – jari lemah. Sirip ekor bercagak dua bentuknya simetris, sirip dubur disokong oleh 3 jari – jari lemah mengeras dan 5 jari – jari lunak. Sirip
perut disokong oleh 1 jari – jari lemah mengeras dan 13 – 15 jari – jari lemah. Jumlah sisik gurat sisi ada 33 – 36 keping, bentuk tubuh ikan nilem agak
memanjang dan pipih, ujung mulut runcing dengan moncong rostral terlipat, serta bintik hitam pada ekornya merupakan ciri utama ikan nilem. Ikan ini
termasuk kelompok omnivora, makanannya berupa ganggang penempel yang disebut epifiton dan perifiton Djuhanda dan Tatang, 1985.
2.3.3.Budidaya Ikan Nilem
Ikan Nilem Osteochilus hasselti C.V, adalah salah satu komoditas budidaya ikan air tawar yang terkonsentrasi di Pulau Jawa khususnya di Wilayah
Priangan, sementara sekarang pembudidayaan ikan tersebut hampir dilupakanditinggalkan. Data Statistik Perikanan Budidaya 2002 menunjukkan
bahwa produksi ikan nilem terhadap produksi ikan budidaya lainnya dari tahun 1996 sampai 2000 persentasinya cenderung menurun berturut-turut 11,96; 7,28;
7,28; 6,78 dan 6,96. Padahal ikan tersebut mempunyai potensi cukup besar dalam pengembangannya dimasa yang akan datang karena memiliki keunggulan
komparatif. Budidaya ikan nilem pada umumnya saat ini masih bersifat tradisional,
bahkan hanya berupa produk sampingan dari hasil budidaya ikan secara polikultur
dengan ikan mas, mujaer atau nila dan gurame. Dari kelompok Ciprinidae ikan
nilem termasuk ikan yang tahan terhadap serangan penyakit, diduga karena ikan nilem termasuk dalam kelompok omnivora yang mengkonsumsi pakan alami dari
kelompok ganggang yang disinyalir banyak mengandung anti bodi. Dengan mayoritas makanannya berupa perifiton dan tumbuhan penempel dengan
demikian ikan nilem dapat berfungsi sebagai pembersih jarring Jangkaru, 1980.
2.4. Ikan Mas Cyprinus carpio
2.4.1.Klasifikasi Ikan Mas
Menurut Saanin 1968 ikan mas diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum
: Chordata Class
: Pisces Sub Class
: Teleostei Ordo
: Ostariophysi Sub Ordo
: Cyprynoidea Family
: Cyprinidae Sub Family
: Cyprininae Genus
: Cyprinus Species
: Cyprinus carpio Linn
2.4.2. Struktur Morfologis Ikan Mas
Berdasarkan Djuhanda 1981, ikan mas memiliki ciri-ciri antara lain ukuran panjang tubuh lebih panjang dari tinggi tubuhnya perbandingan panjang
total dan tinggi badan 3,5 : 1, mulut di ujung kepala dan pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut peraba, badan ditutupi oleh sisik sikloid, ekor
bercagak dua dan simetris. Ikan mas merupakan ikan yang hampir memakan
berbagai jenis pakan termasuk plankton Lagler, 1972. Sumantadinata 1983 menyatakan bahwa ikan mas termasuk kelompok ikan omnivora yang lebih
mudah memakan makanan yang berasal dari hewani.
2.4.3. Budidaya Ikan Mas
Ikan mas Cyprinus carpio, Linn merupakan ikan air tawar yang sudah dikenal di dunia, dibudidayakan mulai dari negara-negara tropis sampai dengan
negara sub tropis. Ikan mas memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sehingga merupakan salah satu ikan yang relatif banyak dibudidayakan oleh
pembudidaya. Sifat-sifat itu antara lain dapat mentolerir kisaran temperatur yang luas 20-30
o
C dan mudah memijah serta memiliki adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan Webb, 1981. Budidaya ikan mas di Indonesia sudah tersebar
diseluruh propinsi yang ada. Tingkat kesuksesan budidaya ikan mas berkaitan dengan teknologi budidaya ikan mas yang sudah lama dikenal oleh masyarakat
serta ikan mas dikenal sebagai ikan yang mudah untuk memijah Bardach et al., 1972. Data Statistik Perikanan Budidaya 2002 menunjukkan bahwa produksi
ikan mas menunjukkan tren yang semakin meningkat. Di Wilayah Jawa Barat ikan mas banyak dibudidayakan di keramba jaring apung, kolam air deras, dan
kolam tanah. Sebagian besar usaha budidaya ikan mas menggunakan sistem budidaya
semiintensif dan intensif. Budidaya ikan mas secara intensif dilakukan di kolam air deras dan keramba jaring apung KJA. Usaha budidaya intensif ikan mas
umumnya berupa monokultur atau terkadang polikultur dengan beberapa jenis ikan seperti ikan nila, tembakang, dan nilem Sumantadinata, 1983. Usaha
pembesaran ikan mas di KJA yang menggunakan jaring ganda biasanya menggunakan sistem polikultur dimana ikan mas berada di jaring dalam
sedangkan ikan nila berada di jaring luar.
2.5. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Kandungan Bahan Organik di Perairan
Limbah yang berasal dari budidaya intensif mengandung bahan organik yang tinggi. Limbah organik ini berasal dari sisa pakan yang terlarut dan
tersuspensi dalam air , sisa metabolit, eksresi hewan budidaya berupa feses dan urin, pupuk, obat-obatan dan bahan perlakuan lainnya. Penguraian bahan organik
melalui proses oksidasi aerobik, berlangsung sebagai bagian rantai makanan di
alam, sebagai bahan makanan yang berasal dari bahan organik akan digunakan untuk membangun substansi vital dari jenis-jenis mikroba Mara, 1976 dalam
Bachrianto, 1994 Bahan organik total atau total organik matter TOM menggambarkan
kandungan bahan organik total di suatu perairan yang terdiri atas bahan organik terlarut, tersuspensi particulate dan koloid Hariyadi et al, 1992. Bahan
organik dalam suatu perairan budidaya dapat berasal dari sisa pakan, sisa metabolisme, pupuk, plankton yang mati dan beberapa sumber lainnya. Dalam
perairan bahan organik secara tidak langsung berpengaruh pada organisme budidaya karena keberadaannya dapat mempengaruhi parameter kimia air lainnya
sebagai bahan yang akan terdekomposisi baik secara aerob dan anaerob. Selain itu bahan organik juga merupakan faktor pendukung akan timbulnya jamur dan
bakteri yang bersifat patogen.
Berdasarkan fungsinya, bahan organik menurut Goldman dan Horne 1983 dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu : 1 bahan organik yang dapat
mengalami proses dekomposisi, contohnya N-organik, P-organik dan humus; 2 bahan organik yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme, contohnya
asetat, glukosa dan glikolat; 3 bahan organik yang dihasilkan oleh alga dan beberapa hewan yang berperan penting dalam pigmentasi darah dan klorofil,
antara lain asam humik dan sitrat; 4 bahan organik yang dihasilkan oleh hewan dan tumbuhan yang dapat mempercepat atau menghambat pertumbuhan dirinya
atau pesaingnya; 5 bahan organik yang dihasilkan oleh hewan atau tumbuhan untuk mempertahankan dirinya, sering kali bahan organik ini merupakan racun
bagi organisme lain, contohnya lendir yang dihasilkan oleh alga biru-hijau blue green algae.
Berdasarkan sumbernya, Metcalf dan Eddy 1991 membedakan bahan organik menjadi tiga macam, yaitu 1 bahan organik yang berasal dari limbah
domestik, yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak dan surfaktan; 2 bahan organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein,
karbohidrat, lemak, minyak, fenol dan surfaktan lainnya; 3 bahan organik yang berasal dari limbah pertanian, selain nutrien juga ada yang toksik seperti pestisida.
Lebih lanjut dikatakan bahwa , nilai kandungan bahan organik diperairan dapat
diukur sebagai karbon organik total TOC, Total Organic Carbon, kebutuhan
oksigen untuk proses kimia COD, Chemichal Oxygen Demand, kebutuhan oksigen untuk proses biokimia BOD, Biologychal Oxygen Demand.
Bahan organik dalam perairan berbentuk senyawa organik terlarut sampai bahan organik partikulat dalam agregar besar atau organisme mati yang
bersumber baik dari dalam autochtonous maupun dari luar allocthonous perairan. Secara umum bahan organik mengandung 40 – 60 protein, 25 – 50
karbohidrat dan 10 lemak dan minyak, serta urea APHA, 1985. Menurut Sladeck, 1979 dalam Taurusman, 1999, bahan organik dalam ekosistem perairan
akan terbentuk karena adanya proses anabolisme unsur hara oleh organisme primer dengan bantuan sinar matahari, lalu diikuti proses kehidupan organisme
sekunder dan adanya masukan bahan organik dari ekosistem lainnya. Kandungan bahan organik dalam perairan dapat diukur secara langsung dengan cara
mengukur kandungan bahan organik total Total Organic Matter, TOM, Wetzel
dan Likens, 1991.
Seiring dengan penambahan jumlah pakan dalam kegiatan budidaya, beban bahan organik buangan yang harus dipikul oleh kolam budidaya semakin
meningkat sehingga berimplikasi pada semakin tingginya tingkat penurunan kualitas media budidaya Rosenbery, 2006. .Peningkatan bahan organik dan
unsur hara pada batas-batas tertentu akan meningkatkan produktivitas organisme akuatik, namun apabila masukan tersebut melebihi kemampuan organisme akuatik
utuk memanfaatkannya akan timbul permasalahan serius. Permasalahan yang
timbul antara lain : tingkat kekeruhan menjadi tinggi sehingga menurunkan tingkat penetrasi sinar matahari dan proses fotosintesis di kolom air akan
terhambat; makin meningkatnya jumlah tanaman berakar pada bagian litoral dan menghilangkan jenis plankton dan benthos tertentu serta jenis organisme akuatik
lainnya; serta munculnya jenis organisme baru yang biasanya merugikan kepentingan perikanan Jorgensen, 1980. Soeriatmaja 1981 menambahkan
bahwa peningkatan bahan organik berlebihan akan membawa akibat-akibat seperti meningkatnya unsur kimia yang berlebihan, menurunkan pH dan oksigen terlarut,
serta peningkatan aktivitas biologi yaitu proses dekomposisi.
Menurut Huisman 1987 dalam Harris 1996 menyatakan bahwa bila konversi pakan 1 : 1,5 ; maka setiap 1 kg pakan akan menghasilkan 514 gram
padatan tersuspensi. Jika produksi udang tambak intensif sebesar 5 ton, maka pakan yang digunakan sebesar 7.500 kg, sehingga akan menghasilkan limbah
organik dalam bentuk padatan tersuspensi sebesar 3.855 kg, yang selanjutnya akan terbuang ke perairan sekitarnya.
2.6. Perifiton