Real Exchange Rate ER merupakan nilai tukar riil negara pengekspor dan

Rendahnya produksi sektor elektronika merupakan masalah yang sudah dihadapi Indonesia sejak tahun 1980-an. Meskipun Indonesia sudah menerapkan industri berorientasi ekspor, namun industri elektronika masih didominasi oleh perusahaan asal Jepang dan Korea Santiago 2007. Samadikun 1985 mengemukakan bahwa produksi yang rendah tersebut disebabkan dua hal. Pertama, kurangnya signifikannya program pemerintah yang mendukung ekspor dan kedua, adalah rendahnya daya beli konsumen. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat pada sepuluh tahun terakhir, permasalahan daya beli konsumen mulai dapat diatasi. Konsumsi masyarakat Indonesia terhadap produk elektronika semakin meningkat. Namun permasalahan penting yang pertama yaitu kurang signifikannya program yang berorientasi ekspor masih terjadi. Rendahnya produksi menyebabkan kurangnya insentif bagi perusahaan untuk melakukan pengembangan teknologi dan produk sehingga pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan industri yang stagnan. Produksi Komoditi Potensial Sektor elektronika dapat dibagi menjadi delapan kelompok komoditi sesuai dengan klasifikasi yang diterbitkan oleh Reed Elektronics Research. Delapan kelompok komoditi tersebut meliputi Electronic Data Processing EDP, Office Equipment , Control and Instrumentation, Medical and Industrial Equipment , Radar Communications and Radar, Telecommunications, Consumer Products , dan Components. Produksi elektronika Indonesia paling besar pada komoditi consumer product, component, dan elektronic data processing. Consumer Product Indonesia dapat memberikan share yang cukup tinggi di ASEAN yaitu sebesar 23.88 persen dan share terhadap produksi dunia sebesar 8,07 persen. Produksi consumer product didorong oleh peningkatan permintaan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri seiring dengan meningkatnya pendapatan nasional. Namun industri elektronika yang memproduksi barang konsumen ini masih banyak menggunakan bahan baku yang berasal dari impor KADIN 2010. Produksi komoditi consumer product tahun 2011 menunjukkan peningkatan yang signifikan mencapai 56 persen sejak tahun 2007. Jumlah produksi elektronika pada komoditi ini mampu melampaui produksi komoditi component yang sebelumnya menjadi unggulan elektronika Indonesia seperti terlihat pada Tabel 5. Peningkatan produksi produk elektronika Indonesia didorong oleh peningkatan permintaan domestik terhadap produk produk elektronika seperti televisi layar datar, AC, mesin cuci, dan lemari pendingin. Pada tahun 2010 terjadi kenaikan signifikan pada penjualan TV 5 persen, AC 33 persen, Lemari pendingin 22 persen, cuci 21 persen dari tahun sebelumnya Keet 2011. Peningkatan pendapatan nasional menyebabkan peningkatan peningkatan daya beli masyarakat pada produk non makanan termasuk elektronika. Adanya pembatalan Peraturan Menteri Perdagangan Permendag Nomor 39 Tahun 2010 tentang Ketentuan Impor Barang Jadi oleh Produsen oleh Mahkamah Agung yang menyebabkan dilarangnya impor produk elektronik oleh produsen juga mempengaruhi kinerja industri consumenr product. Selama ini produsen barang elektronik multinasional banyak mengimpor barang jadi dari pabriknya di negara lain untuk di pasarkan di Indonesia ICN 2011. Kondisi ini seharusnya dijadikan momentum untuk berkembangnya perusahaan lokal. Tabel 5. Nilai produksi, persentase produksi, kontribusi produksi terhadap produksi ASEAN, dan kontribusi produksi Indonesia terhadap produksi dunia berdasarkan jenis komoditi tahun 2011 juta US Jenis Komoditi IDN Share of total ASEAN share of ASEAN WORLD share of World Consumer Product 4143 38.14 17347 23.88 51347 8.07 Components 3693 34 92006 4.01 352036 1.05 Electronic Data Processing 1650 15.19 47895 3.45 166397 0.99 Radar Comunications and Radar 630 5.8 7969 7.91 163515 0.39 Telecommunication 290 2.67 3900 7.44 25025 1.16 Medical and Industrial Equipment 240 2.21 1615 14.86 50245 0.48 Control and Instrumentation 150 1.38 6753 2.22 68778 0.22 Office Equipment 66 0.61 560 11.79 5139 1.28 Total 10862 100 178045 6.1 882483 1.23 Sumber: Electronic yearbook 2013 Perkembangan yang baik pada industri consumer product perlu menjadi perhatian. Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan pasar potensial untuk consumer product. Hal ini harus dimanfaatkan oleh Indonesia untuk terus meningkatkan produksi barang elektronika yang memiliki daya saing tinggi. Penyediaan input bahan baku yang murah menjadi hal yang penting untuk meningkatkan daya saing. Masih banyaknya input yang diperoleh dari impor harus diwaspadai karena sangat tergantung oleh kestabilan nilai tukar mata uang Indonesia. Sumber: Reed Electronics Research 2009, 2012, 2013 Gambar 9. Nilai produksi berdasarkan jenis produk tahun 2007, 2009, dan 2011 juta US 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 N il ai p ro d u k si ju ta US Jenis komoditi 2007 2009 2011 Pasar Komoditi Potensial Perdagangan komoditi elektronika paling besar di Indonesia adalah component yang ditunjukkan dengan nilai pasar sebesar 3900 juta US. Tingginya perdagangan pada komoditi ini karena component merupakan input untuk produksi barang elektronika lainnya. Peningkatan pasar domestik pada komoditi consumer product menyebabkan peningkatan investasi di perusahaan-perusahaan penghasil komoditi ini. Pada beberapa tahun terakhir beberapa perusahaan multinasional yang berasal dari Korea dan Jepang meningkatkan investasi di perusahaannya. Di Indonesia, pasar component mencapai 29.63 persen dari total pasar elektronika namun hanya mampu berkontribusi sebesar 7.67 persen pasar ASEAN lebih kecil dibandingkan komoditi lainnya seperti yang terlihat pada Tabel 6. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan component untuk produksi dalam negeri masih lebih kecil dibandingkan dengan negara lain di ASEAN. Terbukti bahwa produksi elektronika Indonesia merupakan yang paling kecil dibandingkan empat negara ASEAN lainnya yaitu Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Tabel 6. Nilai pasar, persentase pasar, kontribusi pasar terhadap pasar ASEAN, dan kontribusi pasar Indonesia terhadap pasar dunia berdasarkan jenis komoditi tahun 2011 juta US Jenis Komoditi Nilai Share of total ASEAN share of ASEAN world share of world Components 3900 29.63 50834 7.67 261221 1.49 Radar Comunications and Radar 3724 28.29 12742 29.23 194337 1.92 Electronic Data Processing 2469 18.76 22513 10.97 252282 0.98 Consumer Product 1391 10.57 5590 24.88 83194 1.67 Control and Instrumentation 766 5.82 6739 11.37 68122 1.12 Medical and Industrial Equipment 425 3.23 1968 21.6 45094 0.94 Telecommunication 394 2.99 2679 14.71 46761 0.84 Office Equipment 95 0.72 574 16.55 6792 1.4 Total 13164 100 103602 12.71 957803 1.37 Sumber : Electronic yearbook 2012 Perkembangan pasar elektronika tahun 2007 sampai dengan 2011 berdasarkan jenis komoditi dapat dilihat pada Gambar 10 Seluruh komoditi menunjukkan tren yang meningkat. Peningkatan pasar elektronik tertinggi pada tiga komoditi yaitu EDP, Radar Comunication, dan Component. Peningkatan pasar elektronika yang cukup signifikan ini tidak hanya memberikan potensi yang besar namun juga membawa kekhawatiran terhadap penguasaan pasar dalam negeri. Keet 2011 melihat bahwa pangsa pasar produk lokal masih lebih kecil dibandingkan produk impor, terutama produk selundupan dan non-standar. Pada 2010 pangsa pasar produk lokal hanya berkisar 40 dengan nilai Rp 12,7 triliun dari total omset domestik yang menembus Rp 31,8 triliun. Sisanya dikuasai produk impor dan selundupan serta produk non-standar dari Cina dengan harga lebih murah. Sumber: Reed Electronics Research 2013 Gambar 10. Nilai pasar elektronika berdasarkan jenis produk tahun 2007, 2009, dan 2011 juta US Peta Perdagangan Elektronika Indonesia di ASEAN Pada perdagangan regional di ASEAN, sektor elektronika juga merupakan sektor prioritas perdagangan dan dibentuk untuk menjadi singgle market and production diantara negara-negara anggota ASEAN Parson et al. 2007. Perdagangan komoditi elektronika di ASEAN terutama pada lima negara anggota ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2007 pasar elektronika ASEAN sebesar 83.884 juta US dan meningkat menjadi 103.602 juta US pada tahun 2011. Indonesia mampu menciptakan pasar 13 persen dari total pasar elektronika di lima negara tersebut pada tahun 2011, namun kontribusinya masih rendah dibandingkan negara Malaysia 29 persen, Singapura 30 persen, dan Thailand 20 persen. Produksi elektronika Indonesia pada tahun 2011 paling kecil diantara negara ASEAN lainnya. Bandingkan dengan Malaysia yang memiliki pasar sebesar 29 persen namun negara tersebut dapat memproduksi dengan kontribusi yang lebih tinggi. Sumber : Reed Electronics Research 2013 Gambar 11. Persentase produksi dan pasar elektronika negara-negara ASEAN tahun 2011 Indonesia perlu menyadari bahwa jika produksi elektronikanya tidak ditingkatkan maka Indonesia hanya akan menjadi pasar komoditi perdagangan 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 N il ai Pas ar ju ta US Jenis Komoditi 2007 2009 2011 IDN 6 MAL 35 PHI 8 SIN 34 THA 17 Produksi IDN 13 MAL 29 PHI 7 SIN 30 THA 21 Market elektronika tanpa dapat mengambil keuntungan dari perdagangan tersebut. Meskipun berbagai strategi untuk memperluas pangsa pasar elektronika sudah dilakukan oleh pemerintah namun masih banyak kendala yang dihadapi terutama dalam hal daya saing yang rendah dan kualitas yang masih kalah dari negara lain seperti Singapura dan Malaysia. Rendahnya daya saing produk elektronika Indonesia disebabkan oleh ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku impor. Kurangnya supplier input dalam negeri menyebabkan biaya input impor tinggi KADIN 2010. Produksi elektronika Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di ASEAN pada hampir semua komoditi. Singapura dan Malaysia menduduki peringkat paling atas diantara negara-negara ASEAN, sedangkan Indonesia berada di urutan terakhir. Indonesia mampu melebihi produksi Singapura pada komoditi consumer product namun masih kalah dibandingkan produksi Malaysia pada komoditi yang sama. Berdasarkan data pada Tabel 7, single market and product yang akan dibentuk di kawasan ASEAN akan memberikan keuntungan yang besar kepada Singapura dan Malaysia. Indonesia memiliki potensi pada produksi consumer product untuk memenuhi pasar dalam negeri. Pengembangan industri yang terarah dan pemanfaatan kawasan-kawasan industri secara optimal dapat mendorong produktifitas industri elektronika. Tabel 7. Produksi elektronika negara-negara ASEAN tahun 2011 Kelompok Komoditi IDN MAL PHI SIN THAI Total Electronic Data Processing 1650 13954 5800 12778 13713 47895 Office Equipment 66 203 25 198 68 560 Control and Instrumentation 150 2778 180 3254 391 6753 Medical and Industrial Equipment 240 495 65 587 228 1615 Radar Comunications and Radar 630 1699 630 3968 1042 7969 Telecommunication 290 1675 65 583 1287 3900 Consumer Product 4143 8088 283 430 4403 17347 Components 3693 32792 6671 39190 9660 92006 Total 10862 61684 13719 60987 30793 178045 Sumber: Reed Electronics Research 2013 Perdagangan sektor elektronika Indonesia pada tahun 2011 hanya mampu berada pada peringkat keempat lihat Tabel 8. Singapura, Malaysia dan Thailand memiliki skala perdagangan yang jauh lebih besar terutama pada komoditi component . Pasar consumer product di Indonesia cukup besar setelah Singapura dan Thailand. Hal ini disebabkan permintaan produk elektronika dalam bentuk televisi dan komputer meningkat. Jumlah penduduk Indonesia yang paling besar dibandingkan negara lainnya di ASEAN merupakan sasaran pasar komoditi consumer product . Malaysia mampu berproduksi sebesar 8088 juta US untuk memenuhi pasar negara lain termasuk Indonesia. Permintaan component di Indonesia relatif sedikit dibandingkan dengan negara lainnya. Hal ini mengindikasikan penggunaan component product untuk industri elektronika masih sedikit akibat kurang berkembangnya indutri elektronika di Indonesia. Perusahaan elektronika multinasional lebih banyak mengimpor barang jadi dari perusahaan mereka di negara lain untuk dipasarkan di Indonesia dibandingkan dengan memproduksi barang di dalam negeri. Tabel 8. Pasar elektronika negara-negara ASEAN tahun 2011 Kelompok Komoditi IDN MAL PHI SIN THAI Total Electronic Data Processing 2469 3230 1389 10629 4795 22513 Office Equipment 95 80 38 258 101 574 Control and Instrumentation 766 1547 357 1777 2289 6739 Medical and Industrial Equipment 425 425 117 406 591 1968 Radar Comunications and Radar 3724 1997 843 3075 3098 12742 Telecommunication 394 389 470 582 838 2679 Consumer Product 1391 895 444 1407 1446 5590 Components 3900 21544 3678 13173 8531 50834 Total 13164 30106 7336 31306 21690 103602 Sumber: Reed Electronics Research 2013 Kinerja Perdagangan Indonesia terhadap ASEAN Kinerja perdagangan Indonesia pada sektor komoditi elektronika menunjukkan perkembangan yang cukup baik berdasarkan data ekspor impor tahun 2009 dan 2011. Pada tahun 2009 neraca perdagangan Indonesia ke ASEAN tercatat negatif pada sebagian besar kelompok komoditi meskipun secara keseluruhan perdagangan elektronika menunjukkan surplus sebesar 216 juta US. Neraca perdagangan Indonesia terhadap negara-negara di ASEAN pada tahun 2011 menunjukkan surplus perdagangan sebesar 505 juta US. Terjadi peningkatan yang cukup besar antara tahun 2009 dan 2011. Kondisi neraca perdagangan membaik pada komoditi EDP, office equipment, radar comunication, telecomunication , dan consumers product. Neraca perdagangan Indonesia memburuk pada komoditi control and instrumentation serta medical and industrial equipment . Ekspor dan impor produk elektronika Indonesia terbesar adalah component sebesar 2.226 juta US dan 2.218 juta US . Namun jika dilihat dari kinerja ekspor dan impornya. Ekspor component meningkat sebesar 33 persen, sedangkan impornya meningkat sebesar 80 persen dari tahun 2009 sampai dengan 2011. Meskipun neraca perdagangan component masih menunjukkan nilai yang positif namun hal ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Component merupakan input bahan baku bagi industri elektronika tidak terkecuali industri consumer product . Penggunaan input bahan baku ini memberikan porsi terbesar dibandingkan input yang lainnya. Produksi consumer product di Indonesia masih banyak menggunakan bahan baku component yang diimpor dari negara lain. Pemerintah perlu mendorong perusahaan dalam negeri untuk meningkatkan kapasitas produksi component yang berdaya saing sehingga perusahaan industri pengguna bahan baku component tidak perlu mengimpor dari negara lain. Namun demikian, kinerja perdagangan Indonesia yang masih positif pada komoditi ini dapat menjadi peluang bagi Indonesia agar dapat berkontribusi besar dalam integrasi ASEAN dan memperoleh keuntungan dalam perdagangan. Ekspor komoditi radar comunication, telecomunication, dan consumer product menunjukkan peningkatan yang cukup tajam melebihi 50 persen antara tahun 2009 sampai dengan 2011. Kinerja ekspor yang baik pada komoditi ini menunjukkan peluang Indonesia untuk melakukan penetrasi pasar internasional. Selama ini produksi elektronika terutama telekomunication dan consumer product masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar domestik. Jika supply input bahan baku salah satunya component berasal dari perusahaan lokal dan berdaya saing tinggi, maka Indonesia memiliki peluang yang besar untuk memperoleh keuntungan dengan adanya ASEAN Economic Comunity pada tahun 2015. Indonesia bisa berperan serta dalam interasi perdagangan elektronika. Tabel 9. Kinerja perdagangan Indonesia terhadap ASEAN juta US Jenis Komoditi 2009 2011 Ekspor Impor Neraca Perda- gangan Ekspor Impor Neraca Perda- gangan Electronic Data Processing 655 801 -146 655 578 78 Office Equipment 114 172 -58 124 85 39 Control and Instrumentation 143 84 59 100 182 -82 Medical and Industrial Equipment 219 202 17 212 370 -159 Radar Comunications and Radar 354 361 -8 635 378 257 Telecommunication 336 380 -44 526 349 177 Consumer Product 215 293 -78 472 283 189 Components 1667 1193 474 2226 2219 8 Total 3703 3486 217 4950 4444 506 Sumber : UN COMTRADE, diolah Indonesia perlu menekankan pengembangan industri pada komoditi component karena komoditi ini adalah komoditi yang penting dalam rantai supply supply chain industri elektronika. Arus perdagangan component di kawasan ASEAN termasuk Indonesia memang cukup besar dan mampu berkontribusi terhadap perdagangan elektronik dunia. Produksi component di ASEAN dapat diintegrasikan menjadi single market dibandingkan dengan jenis produk lainnya Parson et al. 2007. Tabel 10. Nilai ekspor tertinggi Indonesia terhadap ASEAN tahun 2011 Peringkat SITC Kelompok komoditi Komoditi Nilai 1 7649 Components Telecomms partsaccess. 450524 2 7764 Components Electron integ circuits 428133 3 7599 Electronic Data Processing Office equip parts nes 263973 4 7611 Components Colour tv receivers 249750 5 7725 Components Elec swithing etc 1000v 217969 6 7786 Components Electrical capacitors 200266 7 7526 Electronic Data Processing Adp peripheral units 180650 8 7722 Components Printed circuits 167013 9 7712 Components Elect power eq nesparts 157201 10 7529 Electronic Data Processing Adp equipment nes 130613 Sumber: WITS Ekpor elektronika Indonesia sebagian besar berupa component product dengan ekspor tertinggi untuk komponen alat telekomunikasi dan electronic integrity circuits dengan nilai perdagangan sebesar 450524 juta US dan 428133 US pada tahun 2011. Ekspor lainnya berasal dari komponen elektronika untuk alat-alat listrik, televisi, dan komputer seperti terlihat pada Tabel 11 Tabel 11. Nilai impor terbesar Indonesia terhadap ASEAN tahun 2011 Peringkat SITC Kelompok komoditi Komoditi Nilai 1 7764 Components Electron integ circuits 656725 2 7649 Components Telecomms partsaccess. 309625 3 7725 Components Elec swithing etc 1000v 276518 4 7788 Medical and Industrial Equipment Electrical equipment nes 265460 5 7722 Components Printed circuits 217667 6 7523 Electronic Data Processing Digital processing units 212782 7 7786 Components Electrical capacitors 168539 9 7611 Components Colour tv receivers 143643 10 7763 Components Diodestransistorsetc 134144 Sumber: WITS Impor elektronika Indonesia terbesar adalah electronic integrity circuit sebesar 656725 juta US yang merupakan komponen untuk pembuatan produk elektronika seperti telekomunikasi, komputer, dan lain lain. Komponen lainnya berupa komponen untuk telekomunikasi sebesar 309625 juta US . Alat-alat medis, komponen printer, listrik, dan televisi juga banyak diimpor dari negara ASEAN. Berdasarkan negara tujuan ekspor, perdagangan sektor elektronika Indonesia paling banyak ke negara Singapura. Ekspor Indonesia ke Singapura paling besar pada kelompok komoditi component dan elektronic data processsing. Indonesia juga banyak mengekspor komoditi radar communication, telecomunications , dan component ke Malaysia dan Filipina meskipun nilainya masih lebih kecil dibandingkan Singapura. Komoditi component merupakan produk elektronika yang penting untuk menunjang produksi elektronika lainnya. Kapasitas produksi Indonesia pada komoditi ini masih dapat ditingkatkan mengingat besarnya potensi ekspor yang dimiliki Indonesia. Ekspor terbesar produk elektronika disumbang oleh perusahaan-perusahaan multinasional dari Jepang dan Korea seperti Panasonic, Sanyo, LG, Samsung, Toshiba, Sharp, dan JVC Kemenperin 2011. Perdagangan elektronika Indonesia sangat tergantung pada Singapura. Adanya kerjasama antara Singapura dan wilayah perbatasan Indonesia dalam bentuk kawasan Free Trade Zone Batam Bintan Karimun FTZ BBK berdampak pada peningkatan arus ekspor komoditi elektronik ke Singapura. Tercatat ada sebanyak 1817 perusahaan yang bergerak di sektor elektronika di kawasan FTZ BBK pada tahun 2009 dan merupakan sektor paling banyak di kawasan FTZ BBK dibandingkan sektor lainnya Kam et al. 2009 Sumber: UN COMTRADE, diolah Gambar 12. Ekspor delapan komoditi elektronika Indonesia tahun 2011 Kerjasama FTZ dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Pulau Batam, sebagian Pulau Bintan, dan sebagian Pulau Karimun Zulkifli 2012. Kerjasama FTZ memberikan fasilitas khusus dengan dilonggarkannya pemeriksaan bea cukai, pajak, dan imigrasi terhadap produk yang keluar dan masuk dari pelabuhan tertentu di kawasan tersebut diantaranya pelabuhan Batu Ampar, Kijang, dan Tanjung pinang. Pada tahun 2009, status Batam dialihkan dari FTZ menjadi Special Economic Zone SEZ sebagai strategi untuk menarik investasi dan meningkatkan daya saing seperti yang telah berhasil dilakukan oleh Cina-Singapura. Berdasarkan kesepakatan diplomasi antara Indonesia dan Singapura maka perubahan status tersebut ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang No 39 tahun 2009 mengenai pembentukan SEZ Arafat 2010. Daya saing Batam dapat diperoleh melalui beberapa insentif yang ditawarkan, yaitu tidak ada pajak eksporimpor untuk mesin, peralatan, suku cadang, dan bahan baku; tidak ada PPN untuk semua industri pengolahan untuk tujuan ekspor; fasilitas GSP generalized system of preferences dengan 33 negara donor, dan juga tarif preperensial yang efektif berlaku untuk negara-negara ASEAN; dan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda dengan 56 negara Diplomasi 2012. Tanggal 9 Jenuari 2012, pemerintah mengeluarkan PP No 10 tahun 2012 tentang FTZ BBK yang mengatur tentang perizinan. Peraturan ini mencakup penghapusan masterlist, tidak ada lagi pengajuan izin impor ke Badan Pengusahaan BP Batam untuk barang-barang industri, dan tidak ada pemeriksaan fisik Bea dan Cukai BC. Sehingga pembangunan wilayah Bintan dan Karimun dapat dioptimalkan. Tahun 2013, BP Batam sudah membuat terobosan baru di bidang perizinan dengan akan membuat Batam Single Window Permit atau yang disingkat dengan BSWP. BSWP merupakan suatu portal perizinan yang akan mengintegrasikan semua perizinan yang ada di Batam, baik perizinan dari BP 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 1800000 Ni lai E kspo r US Jenis Komoditi Malaysia Filipina Singapura Thailand Batam, Pemko Batam, Instansi pusat seperti Bea Cukai, Kantor Pajak dan Emigrasi serta perizinan yang dikeluarkan oleh Provinsi KEPRI. Wilayah provinsi Kepulauan Riau juga mendorong peningkatan investasi industri elektronika. Pabrik elektronika sudah beroperasi di kawasan industri Batam dan kawasan industri Lobam di Bintan khususnya pada komoditi component. Letak Batam yang dekat dengan Singapura dan Iskandar Development Region IDR di Malaysia memungkinkan bagi investor untuk menjadi bagian dari Growth Triangle Diplomasi 2012. Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle IMS-GT terbentuk untuk meningkatkan pertumbuhan di tiga kawasan yaitu Singapura, Johor, dan Riau SIJORI. Kerjasama ini didasari oleh semakin terbatasnya tenaga kerja dan lahan yang tersedia di Singapura sementara kapasitas ekonomi negara tersebut semakin besar. Investor dari Singapura diharapkan dapat menanamkan modalnya untuk membangun industri di kawasan Johor maupun Riau khususnya Batam. Sumber: BPS, diolah Gambar 13. Jumlah perusahaan industri besar sedang IBS component di Provinsi Kep. Riau tahun 2004 – 2010 Kerjasama dalam bentuk FTZ BBK akan mendukung terciptanya integrasi produksi dan perdagangan sektor elektronika. Namun pada pelaksanaannya, FTZ BBK belum mampu mengembangkan kawasan ini menjadi kawasan andalan industri. Lobam yang merupakan kawasan industri di Pulau Bintan pernah mengalami posisi puncak pada tahun 2003 dengan 34 inverstor dan 15.000 tenaga kerja. Namun, pada tahun 2008 hanya ada 22 perusahaan yang mampu bertahan BPS Kab. Bintan 2008. Perkembangan jumlah perusahaan industri besar sedang IBS yang bergerak pada komoditi component di Provinsi Kep. Riau menunjukkan penurunan sejak diberlakukannya FTZ sampai dengan saat ini seperti terlihat pada Gambar 13 Jumlah perusahaan pada tahun 2007 mencapai 67 perusahaan namun pada tahun 2010 jumlah perusahaan berkurang menjadi 53 perusahaan. Kam et al. 2009 menggambarkan bahwa sebagian besar perusahaan yang beroperasi di wilayah BBK dimiliki oleh pengusaha dari Singapura. Hubungan perusahaaan di BBK dengan perusahaan Singapura lebih kuat terjadi pada perusahaan yang mayoritas pemiliknya adalah asing foreign-majority owned 20 40 60 80 100 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Ju m lah Per u sah aan Unit Tahun Industri tabung dan katup elektronik serta komponen elektronik lainnya Industri alat transmisi komunikasi Industri radio, televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar, dan sejenisnya companies dibandingkan perusahaan yang mayoritas pemiliknya adalah lokal local-majority owned companies. Hal ini menyebabkan hubungan yang lemah weak linkage antara perusahaan di BBK dengan perusahaan di wilayah Indonesia lainnya. Pembentukan FTZ BBK belum memberikan dampak terhadap sektor elektronika Indonesia secara keseluruhan. Produktifitas industri di kawasan BBK lebih rendah dibandingkan negara lain seperti China dan India. Hal ini mempengaruhi daya saing industri di kawasan tersebut. Kurang tersedianya tenaga kerja yang high skill, dan permasalahan kelembagaan seperti support pemerintah dan legislatif serta inkonsistensi peraturan membuat produktifitas rendah Wahyuni et al. 2009. Hal ini membuat FTZ BBK tidak bisa berkembang secara optimal. Hal-hal yang perlu ditingkatkan untuk mengembangkan FTZ adalah mempromosikan kawasan tersebut dengan disertai penyediaan infrastruktur yang menunjang perdagangan serta mengkaji ulang perjanjian terutama mengenai development of bussiness relationship seperti arus barang dan tenaga kerja. Perlu adanya kerjasama untuk lebih mengetahui training dan RND di kedua negara yaitu Singapura dan Indonesia agar dapat terjalin hubungan yang kuat strong linkage Kam et al. 2009. Gambar 14. Proporsi penggunaan input bahan baku lokal dan bahan baku impor pada industri komponen elektronika di Provinsi Kepulauan Riau Penggunaan bahan baku impor pada industri komponen di Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan persentase yang lebih besar dibandingkan bahan baku lokal. Hal ini mengindikasikan bahwa memang terjadi rantai supply supply chain antara industri elektronika Indonesia di kawasan FTZ BBK dan industri elektronika di Singapura. Namun pada dua tahun terakhir impor dari luar negeri berkurang. Hal ini menunjukkan semakin berkurangnya konektifitas industri di BBK terhadap perusahaan di Singapura akibat tutupnya beberapa perusahaan asal Singapura di kawasan BBK. Produk impor elektronika didominasi oleh produk yang berasal dari Singapura dibandingkan negara ASEAN lainnya. Pembentukan kawasan FTZ BBK dengan kebijakan pembebasan bea masuk membuka peluang keluar masuknya produk bahan baku maupun barang jadi. Produk impor Singapura unggul pada semua jenis komoditi elektronik kecuali consumer product. Consumer product paling banyak diimpor dari Malaysia. Produk impor asal Malaysia yang juga banyak diminati oleh masyarakat Indonesia adalah pada produk EDP dan component. 50 100 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 P rop or si Tahun Bahan Baku Impor Bahan Baku Lokal Sumber: UN COMTRADE, diolah Gambar 15. Nilai impor delapan komoditi elektronika Indonesia tahun 2011 Industri elektronik Indonesia hingga saat masih tergantung pada impor komponen dan bahan baku utama. Seperti terlihat pada Gambar 16, penggunaan bahan baku impor sebesar lebih dari 40 persen setiap tahunnya sampai dengan 2009. Tahun 2010 proporsi biaya impor sebesar 39 persen, namun nilai tersebut dinilai masih cukup tinggi. Sumber: BPS, diolah Gambar 16. Proporsi bahan baku lokal dan bahan baku impor industri komponen elektronika Indonesia tahun 2001-2010 Kebijakan yang berlaku di Indonesia masih kurang mendukung untuk industri yang berorientasi ekspor. Bea masuk BMM impor bahan baku dan komponen ke Indonesia selama ini berkisar 5 hingga 20, sedangkan impor produk jadi elektronik dikenai BMM 0 karena adanya AFTA. Selain itu, industri elektronik nasional juga dihadapi oleh pemberlakuan pajak penjualan atas barang mewah PPn-BM untuk sejumlah klasifikasi pendingin udara AC, televisi, lemari es, dan mesin cuci. Padahal untuk klasifikasi produk yang sama, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand tidak memberlakukan PPnBM Pasaribu 2010. Jika bahan baku yang diimpor dari negara lain mahal maka akan mempengaruhi harga barang jadi. Produk yang dihasilkan oleh Indonesia akan lebih mahal dibandingkan negara ASEAN lainnya sehingga daya saing produk 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 N il ai Im p o r US Jenis Komoditi Malaysia Filipina Singapura Thailand 20 40 60 80 100 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Pr o p o rsi Tahun Bahan Baku Lokal Bahan Baku Impor menjadi lebih rendah. Produk negara ASEAN lainnya akan lebih murah karena tidak dibebani oleh pajak yang tinggi pada bahan baku yang digunakan dan pada barang jadi yang di ekspor ke Indonesia. Tabel 12. Neraca perdagangan Indonesia terhadap Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand Tahun 2011 juta US Komoditi Malaysia Filipina Singapura Thailand ASEAN Electronic Data Processing -206 -12 284 12 78 Office Equipment -3 34 8 39 Control and Instrumentation -55 -5 -22 -1 -82 Medical and Industrial Equipment -21 -2 -112 -23 -159 Radar Comunications and Radar -32 114 214 -39 257 Telecommunication 4 129 78 -34 177 Consumer Product -41 56 97 76 189 Components -146 82 144 -72 8 Total Elektronika -499 362 716 -73 506 Sumber: WITS Indonesian Reporter, diolah Neraca perdagangan Indonesia negatif terhadap Malaysia dan Thailand tetapi positif terhadap Filipina dan Singapura. Neraca perdagangan terhadap Malaysia buruk pada hampir semua komoditi. Indonesia merupakan pasar bagi elektronika dari Malaysia. Neraca perdagangan Indonesia surplus cukup tinggi terhadap Singapura. Hal ini terkait dengan supply component yang tinggi untuk perusahaan elektronika di negara tersebut. Non Tarif Measures Sektor Elektronika ASEAN Kesepakatan pembentukan ASEAN Economic Community AEC mendorong negara-negara di kawasan ASEAN mengurangi hambatan perdagangan baik tarif dan non tarif. AEC dapat tercapai dengan mengintegrasikan pasar dan produksi komoditi elektronika. Tantangan terbesar yang dihadapi negara-negara di kawasan ASEAN adalah efisiensi agar produk elektronika ASEAN bisa bersaing dengan produk negara lain seperti Cina dan India. Namun efisiensi saja tidak cukup tanpa ada tindakan-tindakan yang berpengaruh terhadap efisiensi tersebut. Isu non tariff measure merupakan salah satu hal yang penting dalam mengurangi biaya transaksi. Pada bagian ini akan dianalisis pemberlakuan NTM di ASEAN dengan beberapa pendekatan yaitu dengan menghitung jumlah pemberlakuan NTM Incidence of NTM, Frequency Index, dan Coverage Ratio. Incidence of NTM menyajikan sebaran penggunaan NTM baik berdasarkan negara, komoditas, maupun jenis NTM. Frequency index menyajikan informasi besaran indek yang dapat dijadikan ukuran tingkat hambatan suatu negara. Sedangkan coverage ratio memberikan informasi berapa besar cakupan komoditi impor yang terkena kebijakan non tarif NTM tersebut. Incidence of NTM Fokus ASEAN terhadap NTM dilakukan pada pengurangan time processing dan informal payment. Namun pada kenyataannya, beberapa negara di ASEAN masih menggunakan kebijakan-kebijakan terkait licencing dan technical regulation pada bebarapa kelompok komoditi elektronika. Pada Tabel 13 akan disajikan sebaran penggunaan NTM di lima negara utama anggota ASEAN. Jenis komoditi yang terkena NTM dapat dilihat lebih rinci pada Lampiran 3. Tabel 13. NTM pada sektor elektronik di negara ASEAN Non Tariff Measures Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand 3 Price Control Measures 4 Finance Measures 5 Automatic Licensing Measures 5100 Automatic Licencing o o 6 Quantity Control Measures 6100 Non-Automatic Licensing o o o 6300 Prohibitions o o o 7 Monopolistic Measures 8 Technical Measures 8100 Technical Regulations o o 8200 Pre-Shipment Inspection o Ket : o ada NTM Sumber : ASEAN, diolah. Kebijakan non tarif paling banyak dilakukan oleh Indonesia dengan menerapkan Automatic Licensing Measures, Non Automatic Licensing, Prohibition, Pre shipment Inspection pada hampir seluruh komoditi elektronika. Terdapat 12 kebijakan import licensing yang diterapkan sejak 2002 pada komoditi EDP, office equipment, comunications military, communication, consumer video , consumer audio, consumer personal, dan komponen lainnya seperti audio material . Kebijakan ini digunakan untuk memastikan bahwa materi dari produk tersebut tidak merugikan kepentingan nasional. Kebijakan non automatic licensing dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian pada komoditi seperti magnetic readers , calculating mechines, electrical signaliing, electrical apparatus yang bertujuan untuk melindungi industri kecil. Prohibition diterapkan juga pada produk-produk tersebut dengan alasan untuk menjaga keamanan nasional. Pre shipment Inspection merupakan kebijakan yang dikeluarkan sejak tahun 1992 yang merupakan prosedur ekspor impor barang yang didahului dengan pemeriksaan pra-pengapalan di pelabuhan muat. Departemen Perindustrian Malaysia menerapkan non automatic licensing untuk mengontrol komoditas elektronikanya. Non automatic licensing biasanya digunakan sebagai sarana untuk pemberian kuota atau larangan bersyarat. Kuota tidak ditentukan terlebih dahulu, dengan Non automatic licensing, pemerintah akan menentukan apakah akan melakukan impor atau tidak. Produk yang dicakup kebijakan tersebut antara lain automatic cassette, high speed duplicator, all single colouring copying mechines , dan radio communication apparatus terutama untuk kategori produk-produk sensitif. Larangan total pada produk broadcast receivers yang mampu menangkap frekuensi pada rentang tertentu. Filipina hanya menggunakan technical regulation pada produk-produk elektronikanya kecuali EDP sebagai persyaratan standar untuk kesehatan dan keselamatan. Kebijakan yang dikeluarkan berupa technical measure yang meliputi testing , inspection, sampling, testing and certification requirements.. Tabel 14. Jumlah pemberlakuan NTM berdasarkan negara, jenis NTM, jenis produk tahun 2009 Jenis NTM Kode Jenis Produk IND MAL PHI SIN THA Total Automatic Licencing 5100 All Product 12 1 13 1 Electronic Data Processing 2 2 Office Equipment 1 3 Control and Instrumentation 4 Medical and Industrial Equipment 5 Radar Comunications and Radar 1 6 Telecommunication 1 7 Consumer Product 5 8 Components 2 1 Non- Automatic Licensing 6100 All Product 66 100 1 167 1 Electronic Data Processing 2 2 Office Equipment 6 8 3 Control and Instrumentation 2 4 Medical and Industrial Equipment 6 2 1 5 Radar Comunications and Radar 8 21 6 Telecommunication 4 11 7 Consumer Product 12 20 8 Components 26 38 Prohibitions 6300 All Product 41 2 28 71 1 Electronic Data Processing 4 2 Office Equipment 6 1 3 Control and Instrumentation 1 1 4 Medical and Industrial Equipment 3 3 5 Radar Comunications and Radar 4 1 4 6 Telecommunication 2 1 7 Consumer Product 6 1 5 8 Components 15 13 Technical Regulations 8100 All Product 30 62 92 1 Electronic Data Processing 2 Office Equipment 2 4 3 Control and Instrumentation 1 2 4 Medical and Industrial Equipment 3 6 5 Radar Comunications and Radar 3 8 6 Telecommunication 2 4 7 Consumer Product 5 12 8 Components 14 26 Pre- Shipment Inspection 8200 All Product 29 29 1 Electronic Data Processing 2 Office Equipment 1 3 Control and Instrumentation 1 4 Medical and Industrial Equipment 3 5 Radar Comunications and Radar 4 6 Telecommunication 2 7 Consumer Product 5 8 Components 13 Jumlah pemberlakuan NTM Incident of NTM 148 102 30 92 372 Sumber : ASEAN, diolah Singapura menggunakan automatic licensing pada audio material yang dapat mengganggu kepentingan nasional, non automatic licensing pada produk electric sos shrill alarms dengan alasan keamanan pubilk dan kepentingan nasional and industrial equipment, prohibition dan technical regulation digunakan pada hampir seluruh kelompok komoditi. Sedangkan Thailand, merupakan satu- satunya negara diantara lima negara ASEAN yang tidak menggunakan kebijakan non tarif untuk membatasi perdagangan di sektor Elektronika. Berdasarkan frekuensi penerapan kebijakan non tarif, pada lima negara utama ASEAN terdapat 372 kebijakan yang digunakan. Indonesia tercatat menggunakan NTM terbanyak dibandingkan negara lainnya yaitu sebanyak 148 kebijakan kemudian diikuti oleh Malaysia 102 kebijakan, dan Singapura 92 kebijakan. Thailand merupakan satu satunya negara yang tidak tercatat menggunakan NTM pada elektronika berdasarkan database ASEAN. Jenis kebijakan yang paling banyak digunakan oleh negara-negara di ASEAN adalah Non Automatic Licensing yaitu sebannyak 167 kebijakan. Kebijakan ini digunakan untuk menghadang arus impor produk dari negara lain dalam rangka melindungi produsen lokal. Perjanjian yang sudah disepakati di ASEAN untuk menghilangkan hambatan dalam bentuk tarif pada tahun 2010 membuat negara-negara di ASEAN menggunakan NTM sebagai pilihan. Kebijakan berikutnya yang juga banyak digunakan adalah technical regulations sebanyak 92 kebijakan. Sebagian besar kebijakan ini merupakan kebijakan terkait dengan standar keamanan produk. Tabel 15. Jumlah NTM berdasarkan jenis komoditi dan jenis kebijakan tahun 2009. Deskripsi Non-Auto matic Licensing Pro- hibi- tions Auto- matic Licen- cing Tech- nical Regu- lations Pre- Ship ment Inspec tion Jumlah NTM Electronic Data Processing 2 4 2 8 Office Equipment 14 7 1 6 1 29 Control and Instrumentation 2 2 3 1 8 Medical and Industrial Equipment 9 6 9 3 27 Radar Comunications and Radar 29 9 1 11 4 54 Telecommunication 15 3 1 6 2 27 Consumer Product 32 12 5 17 5 71 Components 64 28 3 40 13 148 Total 167 71 13 92 29 372 Total berdasarkan jenis Core Measures : 236 Non Core Measures : 105 Sumber: ASEAN, diolah Jenis komoditi yang paling banyak dikenakan kebijakan adalah component seperti yang terlihat pada Tabel 15. Hal ini perlu digarisbawahi terkait dengan komoditas elektronika prioritas pada perdagangan elektronika Indonesia. Banyaknya NTM di komoditi ini mengindikasikan bahwa arus perdagangan Indonesia banyak terhambat oleh kebijakan terutama kebijakan non automatic licensing dan technical regulation. Component merupakan barang input sehingga hambatan pada komoditi ini akan berdampak pada mahalnya produk akhir terutama consumer product. Frequency Index Pengukuran besaran NTM sulit dilakukan dibandingkan dengan tarif. Jika hambatan berupa tarif, maka besarnya hambatan tersebut dapat dihitung berdasarkan besarnya tarif yang dikenakan. Sedangkan hambatan yang berupa non tarif, memiliki kompleksitas dalam penghitungannya karena berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan baik itu legal maupun tidak legal. NTM akan meningkatkan biaya yang harus ditanggung oleh produsen dan akhirnya akan dibebankan ke konsumen. Beberapa penelitian sudah pernah melakukan penghitungan NTM antara lain dilakukan oleh Andriamananjara et al. 2004. Dalam penelitiannya Andriamananjara menghitung NTM dengan beberapa metode yang berbeda yaitu inventory approach dan ad valorem equivalent. Metode yang umumnya digunakan adalah inventory approach yang terdiri dari dua pendekatan yaitu Frequency Index dan Coverage Ratio. Pada penelitian ini Frequency Index dihitung dengan merujuk pada penghitungan yang dilakukan Bora et al. 2002 namun dengan beberapa modifikasi. Modifikasi dilakukan karena ketersediaan data yang tidak sesuai. Metode penghitungan dalat dilihat kembali pada bab sebelumnya. Berdasarkan hasil penghitungan diketahui bahwa Frekuency Index negara-negara ASEAN kecuali Thailand memiliki nilai yang cukup tinggi. Indonesia menempati peringkat pertama dalam menerapkan NTM dengan Frequency Index sebesar 62.71 persen lihat Gambar 17. Negara berikutnya yang banyak menerapkan NTM adalah Singapura 54.24 persen dan Philipina 50,85 persen. Tingginya frekuensi pemberlakuan NTM di negara-negara ASEAN akan menyulitkan terbentuknya integrasi perdagangan pada sektor elektronika. Penggunaan NTM akan mengurangi daya saing produk elektronika ASEAN. Sehingga upaya untuk menghapuskan hambatan non tarif perlu dilakukan agar produk elektronika ASEAN dapat bersaing dengan produk yang dihasilkan negara maju lainnya seperti Cina dan Amerika Serikat. Sumber: ASEAN, diolah. Gambar 17. Frequency index elektronika negara-negara ASEAN tahun 2009 persen Frequency Index pada delapan kelompok utama sektor elektronika dapat dilihat pada Tabel 16 Pada komoditi EDP, hanya Indonesia yang menggunakan NTM untuk mengatur masuknya produk impor. Semua negara kecuali Thailand menggunakan NTM pada seluruh komoditi telecomunications yang ditunjukkan dengan angka frequency index sebesar 100 persen. NTM paling sedikit digunakan 62,71 42,37 50,85 54,24 0,00 20 40 60 80 100 IDN MAL PHI SIN THAI pada komoditi control and instrumentations sebesar 9,09 persen di negara Indonesia, Filipina, dan Singapura. Tabel 16. Frequency Index berdasarkan negara dan delapan komoditi elektronika tahun 2009 persen Kelompok Indo- nesia Malay- sia Fili-pina Singa- pura Thai- land Electronic Data Processing 100.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Office Equipment 80.00 60.00 40.00 40.00 0.00 Control and Instrumentation 9.09 0.00 9.09 9.09 0.00 Medical and Industrial Equipment 42.86 28.57 42.86 42.86 0.00 Radar Comunications and Radar 66.67 66.67 50.00 66.67 0.00 Telecommunication 100.00 100.00 100.00 100.00 0.00 Consumer Product 58.33 50.00 41.67 50.00 0.00 Components 100.00 57.14 100.00 100.00 0.00 Sumber : ASEAN, diolah Berdasarkan tujuan penggunaan NTM, klasifikasi NTM terbagi menjadi dua yaitu Core Measures dan Non Core Measures. Penggunaan core measures yang bertujuan melindungi produsen lokal paling banyak dilakukan di Indonesia sebesar 61,02 persen. Penggunaan non core measures yang bertujuan melindungi konsumen lokal juga paling banyak dilakukan di Indonesia dibandingkan negara lainnya. Indonesia lebih banyak menggunakan core measure untuk membatasi produk elektronikanya, sedangkan Malaysia dan Singapura lebih banyak menggunakan non core measures untuk membatasi produk elektronikanya. Filipina hanya menggunakan non core measure dengan nilai frequency index sebesar 50.85 persen lihat Gambar 18. Penggunaan non core measure umumnya berupa technical regulation yang merupakan kesepakatan bersama antara negara-negara ASEAN tentang regulasi dan sertifikasi produk. Salah satu perjanjian yang disepakati adalah implementasi ASEAN Harmonization Electric and Electrical Equipment Regulatory Regime- Mutual Recognition Agreement AHEEERR-MRA. Kesepakatan tersebut ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan menetapkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 02 Tahun 2011 pada 1 Januari tahun 2011 tentang Tatacara Pengakuan terhadap Sertifikat Produk Peralatan Listrik dan Elektronika dari Lembaga Penilaian Kesesuaian di Negara- Negara ASEAN serta dilakukan penguatan terhadap infrastrukturlab uji komponen elektronika di Batam, peningkatan kapasitas Lab Uji Milik Pemerintah B4T Bandung dan Baristand Surabaya. Dalam rangka peningkatan daya saing industri elektronika pemerintah juga telah menetapkan dan memberlakukan 3 tiga SNI produk elektronika menjadi SNI wajib sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian No. 84M- INDPER2010 tanggal 3 Agustus 2010 meliputi: audio video TV-CRT SNI 04- 6253-2003, setrika listrik SNI 04-6292.2.2-2003, dan pompa air SNI 04.6292.2 41-2003 Kementrian Perindustrian 2011. Dengan penetapan SNI dan pengembangan fasilitas uji laboratoriun diharapkan produk Indonesia dapat bersaing sehingga memperoleh keuntungan dari kerjasama yang telah dijalin. Sumber: ASEAN, diolah Gambar 18. Frekuensi Index core measures dan non core measures pada sektor slektronika negara-negara ASEAN tahun 2009 persen. Coverage Ratio Alternatif pengukuran NTM selain Frequency Index adalah Coverage Ratio . Coverage Ratio merupakan pengukuran NTM dengan mempertimbangkan cakupan impor yang terkena dampak kebijakan di negara yang bersangkutan. Semakin besar nilai coverage ratio maka cakupan NTM semakin besar. Coverage ratio produk ekspor Indonesia ke negara-negara di ASEAN menunjukan nilai yang bervariasi seperti pada Gambar 19. Komoditi EDP Indonesia tidak terhambat oleh kebijakan non tarif ke semua negara yang ditunjukkan dengan coverage ratio sebesar 0 persen. Seluruh komoditi ekspor produk telecomunications Indonesia dikenakan NTM di negara Malaysia, Filipina, dan Singapura yang ditunjukkan oleh besaran coverage ratio 100 persen. Ekspor consumer product Indonesia tercakup NTM ke negara Malaysia sebesar 99,72 persen, Filipina sebesar 15,93 persen dan Singapura sebesar 95,31 persen. Ekspor produk component Indonesia ke Malaysia, Filipina, dan Singapura yang terkena kebijakan NTM berturut turut sebesar 61,10 person, 100 persen, dan 100 persen. Sumber: ASEAN, diolah Gambar 19. Coverage Ratio produk ekspor elektronika Indonesia ke negara-negara ASEAN tahun 2009 persen NTM yang diberlakukan di Indonesia mencakup hampir keseluruhan produk impor yang berasal dari negara-negara ASEAN. Penggunaan NTM di 61,02 22,03 0,00 47,46 0,00 57,63 28,81 50,85 54,24 0,00 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 IDN MAL PHI SIN THAI Core Measures Non Core Measures 0,00 0,00 0,00 0,00 99,72 15,98 95,31 0,00 61,10 0,00 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 Electronic Data Processing Telecommunication Consumer Product Components Indonesia paling banyak dilakukan dibandingkan negara lainnya, sehingga cakupan produk impor dari negara-negara partner dagang Indonesia menunjukkan nilai yang cukup besar. Coverage Ratio pada impor komoditi EDP, telecomunications, dan component menunjukkan nilai yang menunjukkan nilai 100 persen. NTM pada komoditi ekspor consumer product Indonesia ke Malaysia, Filipina dan Singapura berturut turut adalah 72,6 persen, 97,7 persen, dan 96 persen. Gambar 20. Coverage Ratio produk impor elektronika Indonesia dari negara-negara ASEAN tahun 2009 persen 72,6 97,7 96,0 96,7 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 Electronic Data Processing Telecommunication Consumer Product Components 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan dibahas dampak NTM terhadap arus perdagangan sektor elektronika Indonesia untuk menjawab permasalahan yang ketiga. Analisis dampak NTM akan diawali dengan pembahasan mengenai pengujian model Cross Sectional Gravity yang digunakan untuk menghasilkan model yang layak dan estimasi yang bersifat BLUE Best Linier Unbiased Estimator. Tahap berikutnya akan dianalisis terlebih dahulu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi arus perdagangan sektor elektronika Indonesia. Pada akhir bagian akan dianalisis secara mendalam dampak NTM berdasarkan tujuan pemberlakuannya yaitu core measures kebijakan melindungi produsen lokal dan non core measures kebijakan melindungi konsumen lokal. Pengujian Model Cross Sectional Gravity Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis cross sectional gravity model . Model ini akan diestimasi menggunakan pendekatan ordinary least square OLS. Untuk memperoleh model yang cocok maka dilakukan uji kelayakan dan kecocokan model goodness of fit. Untuk memperoleh estimasi yang bersifat BLUE maka dilakukan pengujian asumsi dasar. Uji Kelayakan dan Kecocokan Model Goodness of fit Uji kelayakan model menunjukkan bahwa nilai probability F-Statistic pada kedua model yang digunakan adalah 0,0000 seperti yang terlihat pada Lampiran 5. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa minimal ada satu variabel bebas yang mempengaruhi bariabel tidak bebas. Uji kecocokan model goodness of fit ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi R 2 . Nilai R 2 pada model pertama sebesar 0,80 yang berarti variasi variabel bebas mampu menjelaskan 80 persen variasi variabel tidak bebas, sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya. Nilai R 2 pada model kedua sebesar 0,83 yang berarti variasi variabel bebas mampu menjelaskan 83 persen variasi variabel tidak bebas, sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya. Uji Asumsi Dasar Untuk memperoleh estimasi yang bersifat BLUE best linier unbiased estimator maka dilakukan uji asumsi dasar meliputi uji normalitas, non multikolinieritas, non heteroskedastisitas, dan non autokorelasi. Hasil Jarque- Bera test diperoleh nilai Probability P-Value sebesar 0,067 pada Lampiran 6. Nilai Probability P-Value 0,05 maka H0 diterima sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data residual yang diteliti berdistribusi normal. Sehingga asumsi normalitas terpenuhi. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinieritas antar variabel bebas salah satu caranya adalah dengan melihat nilai Correlation Matrix antar variabel bebas. Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Lampiran 7, diperoleh nilai Correlation Matrix antar masing- masing variabel bebas sebesar kurang dari 0,8. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antar variabel bebas yang diteliti tidak terjadi multikolinearitas. Hasil Uji Durbin Watson dilakukan melalui program Eviews 6.0 dan menghasilkan nilai statistik Durbin Watson sebesar 1,879. Karena nilai berada antara 1,77 dan 2,23 maka data tersebut dinyatakan tidak ada korelasi antar error yang dihasilkan. Dengan demikian secara statistik, secara statistik dapat dinyatakan bahwa tidak ada pelanggaran asumsi autokorelasi. Sedangkan pada pengujian heteroskedastisitas menggunakan uji breusce pagan, dinyatakan bahwa model melanggar asumsi heteroskedastisitas. Sehingga, untuk memperbaiki pelanggaran asumsi tersebut maka dilakukan estimasi model dengan white heteroskedasticity consistent coefficient covariance . Faktor-faktor yang Mempengaruhi Arus Perdagangan Sektor Elektronika Berdasarkan hasil pengujian Model 1 dan Model 2 diperoleh informasi bahwa arus perdagangan elektronika dipengaruhi oleh pendapatan perkapita negara pengekspor, pendapatan perkapita negara pengimpor, produksi, nilai tukar riil, biaya ekspor, dan kebijakan non tarif. Model 1 memberikan informasi bahwa NTM tidak mempengaruhi arus perdagangan sektor elektronika Indonesia. Namun jika NTM didisagregasi menjadi dua berdasarkan tujuan pemberlakuannya maka informasi yang diperoleh adalah kebijakan yang bertujuan melindungi produsen core measures berdampak negatif, sedangkan kebijakan yang bertujuan melindungi kondumen lokal non core measures berdampak positif terhadap arus perdagangan sektor elektronika Indonesia seperti terlihat pada Tabel 17 Analisis lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi arus perdagangan sektor elektronika Indonesia akan dijelaskan ke dalam beberapa sub bagian. Tabel 17. Hasil estimasi dampak NTM Variabel tidak bebas : LOG Arus Perdagangan Variabel bebas Model 1 Model 2 Koefisien Prob. Koefisien Prob. C -18.99814 0.0038 -22.69167 0.0006 LOGPDB perkapita negara pengekspor 1.810788 0.0000 1.738617 0.0000 LOGPDB perkapita negara pengimpor 0.417656 0.0403 0.675368 0.0020 LOGProduksi 0.489764 0.0000 0.557125 0.0000 LOGBiaya Perdagangan 1.318758 0.1197 1.626687 0.0474 LOGNilai Tukar Riil 0.150716 0.0002 0.091296 0.0257 Coverage Ratio 0.004242 0.2526 - - Coverage Ratio core measures - - -0.011968 0.0147 Coverage Ratio non core measures - - 0.011038 0.0135 Tarif -0.004285 0.9917 0.148711 0.7282 R-squared 0.803364 0.828067 Adjusted R-squared 0.778785 0.803059 F-statistic 32.68435 33.11153 ProbF-statistic 0.000000 0.000000 Pendapatan Perkapita Negara Pengekspor Peningkatan pendapatan perkapita dalam negeri sebesar 1 persen akan meningkatkan ekspor sebesar 1,73 persen ceteris paribus. Pendapatan perkapita dalam negeri memiliki elastisitas yang paling tinggi diantara indikator lainnya. Faktor ini merupakan faktor penunjang perdagangan yang paling penting. Pendapatan perkapita dalam negeri menunjukkan kemampuan negara tersebut untuk berinvestasi pada sektor elektronika. Semakin besar kemampuan dan kapasitas suatu negara maka semakin besar investasi yang dapat ditanamkan dan berdampak pada peningkatan output produk elektronika. Dari sisi ekspor, peningkatan pendapatan perkapita Indonesia akan meningkatkan ekspor Indonesia ke negara ASEAN. Dari sisi impor, peningkatan produksi dan pendapatan perkapita negara partner dagang Indonesia akan meningkatkan jumlah impor produk elektronika ke Indonesia. Pengaruh positif pendapatan perkapita terhadap arus perdagangan sesuai dengan hipotesis awal penelitian. Adanya peningkatan pendapatan perkapita dalam negeri akan meningkatkan arus perdagangan elektronika Indonesia akan meningkat. Produksi Peningkatan produksi sebesar 1 persen akan meningkatkan ekspor sebesar 0,55 persen ceteris paribus. Nilai koefisien produksi lebih rendah dibandingkan pendapatan perkapita negara pengekspor, namun faktor ini merupakan faktor yang sama pentingnya dengan pendapatan nasional. Pendapatan perkapita dan produksi dalam negeri menunjukkan kemampuan dan kapasitas negara tersebut untuk menghasilkan produk-produk elektronika. Semakin besar produksi maka output yang dihasilkan semakin banyak dan akan meningkatkan stok produksi dalam negeri. Kelebihan stok produksi ini dapat meningkatkan ekspor ke negara lain dengan asumsi kebutuhan dalam negeri tidak meningkat. Peningkatan ekspor dari satu negara ke negara lainnya akan meningkatkan arus perdagangan. Dari sisi ekspor Indonesia, peningkatan produksi Indonesia akan meningkatkan ekspor Indonesia ke negara ASEAN. Dari sisi impor Indonesia, peningkatan produksi negara partner dagang Indonesia akan meningkatkan jumlah impor produk elektronika ke Indonesia. Pengaruh positif produksi terhadap arus perdagangan sesuai dengan hipotesis awal penelitian. Adanya peningkatan kapasitas produksi maka arus perdagangan elektronika Indonesia akan meningkat. Pendapatan Perkapita Negara Pengimpor Peningkatan pendapatan perkapita negara pengimpor sebesar 1 persen akan meningkatkan ekspor sebesar 0,67 persen ceteris paribus. Pendapatan perkapita negara pengimpor menunjukkan daya beli konsumen, semakin tinggi daya beli masyarakat di negara mitra dagang Indonesia maka ekspor elektronika Indonesia akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin tinggi daya beli masyarakat Indonesia maka impor elektronika Indonesia juga semakin besar. Nilai Tukar Riil Peningkatan nilai tukar riil sebesar 1 persen akan meningkatkan arus perdaganan sebesar 0,09 persen ceteris paribus. Nilai tukar riil meningkat atau mata uang negara pengekspor terdepresiasi maka akan mengakibatkan harga produk di negara pengekspor akan menjadi lebih murah sehingga mendorong permintaan produk dari negara lain. Arus perdagangan akan meningkat karena permintaan produk elektronika meningkat. Stabilitas nilai tukar riil mata uang Indonesia terhadap mata uang negara lain merupakan syarat penting bagi perdaganan elektronika. Pentingnya stabilitas nilai tukar ini juga terkait dengan struktur industri elektronika Indonesia. Pada bahasan di BAB IV diperoleh informasi bahwa perdagangan terbesar adalah pada komoditi component yang merupakan bahan baku dari komoditi elektronika akhir seperti consumer product dan telecomunication . Dua produk akhir ini mulai berkembang di Indonesia dengan potensi pasar yang sangat besar. Bahan baku industri ini sebagian besar masih di impor dari negara lain. Ketika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, bukan hanya berpengaruh terhadap peningkatan ekspor namun juga berpengaruh terhadap peningkatan biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku. Oleh karena itu, nilai tukar rupiah perlu di jaga pada level dimana dapat meningkatkan ekspor tetapi disisi lain tidak membebani biaya input. Biaya Perdagangan Biaya perdagangan dalam penelitian ini didekati dengan biaya ekspor. Pada Model 1 biaya perdagangan tidak berpengaruh terhadap arus perdagangan Indonesia. Namun pada Model 2, biaya perdagangan positif mempengaruhi arus perdagangan elektronika Indonesia. Hasil penelitian ini menarik karena berbeda dengan hipotesis yang dikemukakan sebelumnya. Dari hasil model kedua diketahui bahwa kebijakan yang lebih dominan mempengaruhi arus perdagangan adalah core measures. Banyaknya kebijakan core measures yang ada di kawasan ASEAN menghambat arus perdagangan Indonesia. Core measures merupakan kebijakan yang tidak bisa di prediksi non automatic licensing dan bersifat menghambat prohibition, sehingga memaksa produsen untuk melakukan hal-hal yang bisa meloloskan produknya dari hambatan tersebut. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah menggunakan jasa perantara perdagangan. Biaya negoisasi perdagangan ini menjadi faktor pembentuk biaya perdagangan. Semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk perantara maka semakin besar biaya perdagangan. Peningkatan biaya perdagangan seharusnya akan mengurangi arus perdagangan. Namun karena biaya perdagangan tidak hanya mencakup biaya transportasi, tetapi juga termasuk biaya-biaya lainnya seperti biaya negoisasi atau komisi, maka transaksi perdagangan akan meningkat. Karena semakin besar biaya komisi akan semakin besar transaksi perdagangan di sektor ini. Wuryan 2010 menyatakan bahwa penggunaan jasa seseorang sebagai perantara broker dalam perjanjian jual beli mempengaruhi besarnya transaksi barang. Semakin besar komisi yang diterima, maka akan mendorong broker untuk berusaha meningkatkan transaksi perdagangan meskipun itu membawa kerugian bagi pihak lain. Kebijakan non tarif Hasil estimasi Model 1 menunjukkan bahwa hipotesis awal yang menyatakan adanya pengaruh negarif NTM terhadap arus perdagangan tidak terbukti. Penggunaan NTM untuk melakukan proteksi perdagangan suatu negara tidak mempengaruhi arus perdagangan Indonesia. Hasil estimasi Model 2 menunjukkan bahwa NTM mempengaruhi arus perdagangan dengan memisahkan variabel ukuran NTM menjadi dua yaitu core measure dan non core measures. Pengaruh NTM akan dijelaskan secara lebih rinci di bagian selanjutnya. Dampak NTM ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia Pemberlakuan NTM di suatu negara dilakukan dengan berbagai alasan baik dari ekonomi, lingkungan, maupun kesehatan. Secara ekonomi kebijakan dilakukan karena mempertimbangkan kondisi ekonomi suatu negara. Misalnya jika pasar komoditi tertentu suatu negara dibanjiri oleh produk-produk impor, dan besarnya produk impor tersebut mengganggu produksi dalam negeri maka negara memiliki hak untuk membatasi masuknya produk impor dengan alasan pengamanan. Kebijakan ini akan melindungi produsen dalam negeri agar produknya dapat bersaing dengan produk-produk impor. Kebijakan yang bertujuan untuk melindungi produsen lokal disebut core mesures. Selain melindungi produsen lokal, NTM juga dapat digunakan untuk melindungi konsumen lokal. Alasan yang sering digunakan oleh setiap negara mencakup aspek lingkungan dan kesehatan. NTM diberlakukan dengan pertimbangan akan bahaya yang diakibatkan oleh produk-produk yang mengganggu kesehatan. Beberapa kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan umumnya dilakukan dalam bentuk standardisasi dan sertifikasi. Kebijakan yang bertujuan untuk melindungi konsumen diklasifikasikan ke dalam non core measures . Pengaruh NTM nyata pada level signifikansi 5 persen namun nilai koefisiennya sangat kecil yaitu sebesar 0,01. Meskipun elastisitasnya kecil namun NTM tetap akan mempengaruhi arus perdagangan sektor elektronika. Pada sektor elektronika kebijakan yang lebih dominan mempengaruhi arus perdagangan sektor elektronika adalah core measures. Nilai elastisitas variabel core measures lebih besar dibandingkan variabel non core measures. Core Measures Kebijakan yang termasuk core measures antara lain price control measures , finance measures, quantity control measures, dan monopolistik measures . Berdasarkan data yang diperoleh dari database ASEAN, pada komoditi elektonika hanya terdapat dua jenis core measures yaitu bentuk non automatic licensing dan prohibition. Indikator yang digunakan untuk mengukur penggunaan core measures adalah coverage ratio dari penggunaan dua jenis NTM tersebut. Penggunaan kebijakan non automatic licensing dan prohibition pada beberapa produk elektronika di masing-masing negara ASEAN mengurangi arus perdagangan Indonesia. Peningkatan cakupan core measure sebesar 1 persen akan mengurangi arus perdagangan sebesar 0,01 persen ceteris paribus. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Nakakeeto 2011 yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif dari penggunaan non technical measures kebijakan selain SPS dan TBT terhadap arus perdagangan di negara Mali, Senegal, dan Uganda. Pada ketiga negara tersebut, peningkatan kebijakan non technical mengurangi arus perdagangan pada sektor pertanian. Kebijakan yang menghambat masuknya produk impor seperti prohibition dan non automatic licensing menyebabkan berkurangnya ekspor antara negara satu dan negara lainnya. Core measures bersifat secara langsung menghambat perdagangan prohibition dan tidak dapat diprediksi waktunya non automatic licensing sehingga menyebabkan berkurangnya volume perdagangan secara keseluruhan. Volume perdagangan akan mempengaruhi harga produk. Konsumen akan dirugikan karena menanggung harga yang lebih mahal dan produsen diuntungkan dengan peningkatan produksi dengan harga tinggi. Namun pada akhirnya secara keseluruhan akan merugikan perekonomian. Pembatasan impor dengan menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan akan mempengaruhi welfare Wall 1999. Terkait dengan hasil sebelumnya yang menunjukkan bahwa adanya komisi atau biaya negoisasi dalam perdagangan ekspor dan impor, maka kebijakan ini semakin memberikan peluang bagi pihak-pihak yang menginginkan keuntungan yang lebih tinggi untuk menciptakan perdagangan yang tidak sehat. Konsumen akan semakin terbebani dengan biaya produk yang mahal. Analisis kesejahteraan yang ditunjukkan Wall mengungkapkan pemberlakuan trade policy akan mengakibatkan net welfare lost yang lebih besar dibandingkan penerapan tarif yaitu sebesar quota rent yang tidak menjadi penerimaan pemerintah. Quota rent dapat dihasilkan dari penjualan lisensi kuota impor. Pada akhirnya proteksi terhadap perdagangan tersebut akan merugikan perekonomian secara keseluruhan Salvatore 1997. Non Core Measures Non core measures yang diberlakukan di ASEAN meliputi automatic licensing dan technical measures. Peningkatan cakupan NTM dengan tipe non core measures sebesar 1 persen akan meningkatkan arus perdagangan sebesar 0,01 persen ceteris paribus. Penggunaan non core measures ternyata dapat meningkatkan arus perdagangan. Berbeda dengan core measures yang sifatnya secara langsung menghambat perdagangan, non core measures merupakan kebijakan yang terkait prosedur dan standar kualitas. Sehingga persyaratan yang menjadi hambatan tersebut masih bisa terpenuhi oleh eksportir atau produsen sehingga tidak mengurangi perdagangan melainkan meningkatkan perdagangan. Dari sisi ekspor Indonesia, ketika negara mitra dagang Indonesia menerapkan kebijakan dalam bentuk technical regulation yang meliputi standarisasi, labeling, packaging, sertifikasi dan lain-lain maka eksportir Indonesia terdorong untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan standar. Semakin besarnya cakupan produk yang sudah sesuai dengan standar negara pengimpor maka produk ekspor asal Indonesia semakin diterima di pasar negara lain. Meskipun kebijakan seperti ini dapat meningkatkan harga, namun konsumen akan lebih percaya dengan kualitas produk ekspor Indonesia. Sehingga kebijakan non core measures yang diterapkan di negara-negara ASEAN akan meningkatkan ekspor Indonesia. Dari sisi impor Indonesia, peningkatan pemberlakuan kebijakan di Indonesia akan meningkatkan arus perdagangan yang masuk ke Indonesia. Fasilitas pengujian, labeling, packaging di negara mitra dagang Indonesia terutama Singapura, membuat standarisasi yang ditentukan oleh Indonesia mudah dipenuhi oleh negara asal. Impor masih tetap dapat terjadi meskipun negara Indonesia sudah menerapkan NTM. Semakin besar cakupan komoditi yang dikenakan NTM maka negara mitra dagang Indonesia akan berusaha memenuhi standarisasi yang sudah ditentukan, dan jika sudah terpenuhi berarti tidak ada alasan bagi Indonesia untuk menolak produk impor dari negara lain. Pengaruh positif non core measure terhadap arus perdagangan berlawanan dengan hipotesis yang ditentukan pada awal penelitian. Namun, hasil pengujian ini sejalan dengan penelitian Nakakeeto 2011 yang menyatakan bahwa technical measure meningkatkan perdagangan di sektor pertanian. Fenomena ini juga terjadi pada perdagangan sektor elektronika Indonesia. Peningkatan non core measure yang didalamnya merupakan kebijakan yang terkait dengan technical measure meningkatkan arus perdagangan. Karakteristik konsumen elektronika di kawasan ASEAN sudah modern dimana lebih mementingkan kualitas. Perdagangan komoditi elektronika lebih dikendalikan oleh permintaan demand driven. Tujuan penerapan non core measures adalah melindungi konsumen sehingga konsumen memperoleh produk- produk yang berkualitas. Penerapan non core measures terutama pada standarisasi, sertifikasi, labeling, packaging hendaknya tidak dianggap sebagai hambatan perdagangan namun perlu dijadikan motivasi oleh setiap negara terutama Indonesia untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Tantangan Sektor Elektronika Indonesia Permasalahan industri elektronika adalah semakin berkurangnya penguasaan pasar yang yang ditunjukkan dengan lambatnya peningkatan produksi domestik dibandingkan dengan peningkatan pasar domestik pada sektor tersebut. Salah satu hal yang menyebabkan tidak optimalnya penguasaan pasar adalah daya saing produk yang rendah sehingga produk elektronika Indonesia kurang bersaing di pasar domestik maupun internasional. Daya saing produk dipengaruhi oleh harga dan kualitas produk itu sendiri. Produk yang berkualitas dengan harga yang murah akan lebih dipilih oleh konsumen baik dalam negeri maupun luar negeri. Pada era perdagangan bebas seperti saat ini, peningkatan daya saing produk harus dilakukan secara progresif. Pemerintah perlu beberapa isu yang sedang berkembang saat ini terutama isu terkait perdagangan dan integrasi ekonomi. Pemerintah juga perlu memperjelas arah kebijakan terkait dengan pengembangan industri elektronika. Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa isu dan tantangan sektor elektronika yang meliputi standarisasi produk, singgle market and production AEC 2015, dan pengembangan industri elektronika nasional. Standardisasi Produk Technical measures yang meliputi standarisasi, sertifikasi, labeling, packaging oleh masing-masing negara ASEAN akan meningkat dari waktu ke waktu untuk melindungi konsumen dan menjaga kualitas. Hal ini perlu menjadi perhatian karena terkait dengan neraca perdagangan elektronika Indonesia. Indonesia harus menjaga kinerja ekspornya agar dapat memperoleh manfaat dari perdagangan ASEAN. Hambatan utama yang dihadapi pengusaha Indonesia dalam menjalin hubungan perdagangan adalah masalah standar kualitas. Hingga Agustus 2007, pemerintah Indonesia telah menetapkan 3.200 standar nasional industri SNI, tetapi baru 215 SNI produk yang diwajibkan. SNI yang diwajibkan itu pun sebagian besar masih berlaku sukarela karena baru 34 SNI produk yang dinotifikasi ke WTO Hidayati 2008. Data Badan Standardisasi Nasional BSN Juli 2013 menunjukkan bahwa total SNI untuk produk elektronika baru mencapai 222 unit. Jumlah ini dinilai masih sedikit jika dibandingkan komoditi lainnya seperti pertanian dan tanaman pangan yang mencapai 1 856 unit. Meskipun pasar ASEAN semakin terbuka, banyak produk Indonesia yang tidak akan bisa masuk pasar ASEAN karena belum punya standar produknya. Renstra BSN 2010-2014 menyatakan masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh lembaga ini diantaranya : 1. BSN belum memiliki kewenangan penuh sebagai standard setter yang dijamin oleh peraturan perundangan. 2. BSN belum memiliki kewenangan dalam pengawasan barang bertanda SNI yang bersifat voluntary. 3. SNI yang telah ditetapkan sebagian besar belum sesuai kebutuhan pasar. 4. Sebagian besar SNI yang digunakan dalam perdagangan internasional belum harmonis dengan standar internasional. 5. Pada umumnya UMKM yang berorientasi ekspor belum mampu memenuhi SNI yang harmonis dengan standar internasional. 6. Kurang terakomodirnya kepentingan Indonesia dalam pengembangan standar internasional. 7. Kurang terakomodirnya kepentingan Indonesia dalam forum kerjasama regionalbilateral di bidang standar dan penilaian kesesuaian. 8. Ketersediaan LPK belum optimal dalam mendukung regulasi teknis. 9. Belum optimal dukungan metrologi teknis terhadap pengembangan standar dan penilaian kesesuaian. 10. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap standardisasi, termasuk pendidikan standardisasi. 11. Koordinasi, komunikasi dan interaksi BSN dengan pemangku kepentingan belum optimal. 12. Belum optimalnya komitmen regulator dalam mentaati Good Regulatory Practices. 13. Belum optimalnya integritas tanda SNI. 14. Jumlah sumber daya BSN belum cukup untuk mendukung pelaksanaan program BSN. Diperkirakan jumlah ideal SDM BSN sekitar 630 orang. 15. BSN belum memiliki gedung sendiri sehingga luas ruang kerja secara keseluruhan menjadi sangat terbatas karena tergantung anggaran yang tersedia dan hal ini juga mengakibatkan keterbatasan dalam pengembangan jumlah SDM. Masih banyaknya permasalahan yang dihadapi BSN terkait standardisasi menunjukkan masih lemahnya lembaga pengembangan standar di Indonesia. Meskipun Indonesia sudah memiliki PP No 1022000 yang mengatur penyediaan fasilitas uji laboratorium sampai dengan pengawasan produk SNI, tetapi belum menunjukkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Padahal penguatan standar, lembaga akreditasi, dan kelengkapan fasilitas laboratorium penguji tidak bisa diabaikan. Dalam persaingan di pasar global, hambatan nontarif, baik yang bersifat teknis, seperti standar keamanan produk, maupun nonteknis, seperti ketentuan label, menjadi perkara serius Hidayati 2008. Kebijakan pemerintah dalam mewujudkan produk yang ramah lingkungan juga sudah dilakukan yaitu dengan penggunaan ecolabel. Namun kebijakan ini masih memiliki banyak kendala antara lain mahalnya biaya sertifikasi ecolabel Adi 2007. Pengawasan pemerintah terhadap masuknya produk impor yang belum memenuhi standar juga masih lemah. Akibatnya, banyaknya produk standar palsu bisa masuk ke pasar Indonesia. Pengawasan yang ketat dari Badan Standarisasi Nasional Indonesia adalah kunci untuk meredam derasnya arus impor dari negara lain. Sehingga kondisi neraca perdagangan yang positif dapat terjaga. Namun upaya pemerintah terus dilakukan antara lain menyusun road map peningkatan daya saing produk Indonesia dengan target pada tahun 2010 akan tercipta 200 merk yang mempunyai daya saing di pasar domestik dan internasional. Ke-200 merk tersebut akan menjadi produk-produk dengan disain yang bagus buatan Indonesia dengan dukungan 3 kekuatan branding, packaging, product design. Melalui upaya ini diharapkan Indonesia dapat meningkatkan kualitas sesuai standar internasional dan mengembangkan disain yang mengarah pada Indonesian brand image, serta mewujudkan Indonesia Incorporated. Singgle Market and Production AEC 2015 Peranan Indonesia di perdagangan internasional terutama ASEAN menjadi sangat penting karena Indonesia memiliki potensi pasar yang besar. Upaya untuk mengejar pertumbuhan agar sejajar dengan negara maju seperti Cina tidak dapat dicapai tanpa melakukan kerjasama ekonomi terutama di kawasan regional. Dua hal penting yang perlu dilakukan adalah kerjasama penghapusan NTM terutama yang bersifat core measure dan optimalisasi kawasan FTZ. Dengan pengurangan hambatan perdagangan pada non automatic licensing dan prohibition maka arus perdagangan akan meningkat dan integrasi sektor elektronika ASEAN dapat menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi. Kebijakan core measure yang diterapkan di Indonesia perlu dikaji ulang mengingat Indonesia merupakan negara yang paling protektif terhadap perdagangan terutama core measure. Negosiasi penghapusan core measures di negara mitra dagang Indonesia terutama Singapura dan Malaysia harus dilakukan terutama untuk komoditi component yang merupakan komoditi ekspor terbesar Indonesia . Tingginya perdagangan di kawasan perbatasan Indonesia dan Singapura masih dapat ditingkatkan lagi dengan lebih memanfaatkan secara optimal Freee Trade Zone Batam Bintan Karimun. Letak Indonesia yang berbatasan dengan Singapura memiliki potensi untuk menampung kelebihan kapasitas yang ada di Singapura. Pembentukan SEZ BBK merupakan penunjang tercapainya singgle market and production . Neraca perdagangan Indonesia yang positif terhadap Singapura pada komoditi component merupakan prestasi yang masih perlu ditingkatkan. FTZ BBK yang selama ini baru terkoneksi dengan perusahaan di Singapura perlu diatur agar terjadi linkages dengan perusahaan elektronika yang bergerak pada consumer product di wilayah Jawa. Sehingga FTZ tidak hanya menguntungkan bagi supply industri di Singapura tetapi lebih luas untuk supply industri di kawasan Indonesia lainnya. Strategi Pengambangan Industri Elektronika Nasional Industri elektronika Indonesia merupakan industri potensial yang dapat dikembangkan. Pemilihan indutri elektronika prioritas di Indonesia sangat penting agar arah dan tujuan pembangunan dapat tercapai. Potensi populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi merupakan pasar potensial untuk komoditi consumer product dan telecomunication dimana sasaran nya adalah penduduk dengan kelas pendapatan menengah middle income. Component yang merupakan bahan baku industri consumer product menjadi penting karena saat ini sebagian besar bahan baku masih banyak diimpor. Pengembangan industri component sangat penting dilakukan dan perlu di prioritaskan. Jika industri component berkembang maka Indonesia dapat merebut pasar domestik yang sebelumnya masih banyak menggunakan bahan baku impor, dan merebut pasar internasional dengan memanfaatkan kawasan FTZ sebagai gerbang perdagangan terhadap Singapura. Konektifitas kawasan FTZ dengan kawasan industri di Pulau Jawa menjadi sangat penting. Konektifitas dapat dioptimalkan dengan membangun infrastruktur yang mendukung seperti pelabuhan, jalan, dan jembatan. Kawasan FTZ BBK yang berupa kepulauan merupakan tantangan bagi Indonesia untuk membangun skema jalur lalu lintas perdagangan. Pengembangan industri component di Indonesia juga sudah tertuang dalam Road map Kementerian Perindustrian tahun 2009. Beberapa strategi yang dijalankan pemerintah antara lain: 1. Penguatan dan pengembangan Klaster Elektronika 2. Penumbuhan dan Pengembangan industri komponenpendukung berbasis ICTdigital. 3. Pengamanan pasar dalam negeri. 4. Meningkatkan kemampuan untuk transfer teknologi melalui bantuan MNCs dan peningkatan basis R D di dalam negeri 5. Meningkatkan penerapan standardisasi SNI dan Safety standard. 6. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi 7. Perbaikan dan peningkatan iklim usaha dan insentif yang lebih menarik dari negara lain. 8. Menarik investor asing ke dalam negeri. Pemerintah merencanakan pada tahun 2015 sudah berkembang industri component dan consumer product dalam negeri, sehingga tahun 2020 ketergantungan impor component Indonesia dapat turun haingga mencapai 10-20 persen. Strategi pengembangan industry component dan consumer product di Indonesia harus dilakukan lebih cepat agar tidak tertinggal jauh dengan negara ASEAN lainnya seperti Singapura dan Malaysia. Peningkatan teknologi dan sumber daya manusia terkait industri ini harus dilakukan dengan dorongan kebijakan pemerintah yang tepat. Pengembangan industri elektronika dapat berkaca pada keberhasilan negara lain seperti Korea Selatan. Menurut Kyo-kim 2008, ada sejumlah pelajaran penting dari pengalaman industrialisasi di Korea Selatan bagi negara berkembang termasuk Indonesia. Pertama , adaptasi kebijakan untuk menyesuaikan dengan iklim ekonomi global yang ada. Kedua, harmonisasi kebijakan, terutama antara kebijakan industri dan kebijakan perdagangan¸ kebijakan pengembangan teknologi, dan kebijakan pengembangan SDM. Tiga, kebijakan proteksi terhadap industri-industri domestik yang masih baru infant industry hanya sementara. Empat, sektor swasta harus sebagai pemain utama yang kuat, efisien, dan berdaya saing tinggi. Lima, strategi pembangunan industri yang berorientasi ekspor. Enam, semua langkah-langkah tersebut harus selalu didukung oleh ekonomi makro yang stabil. 6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Perdagangan sektor elektronika di Indonesia mengalami peningkatan selama tahun 2007 sampai dengan 2011. Produksi sektor elektronika berfluktuasi, namun meningkat pada tahun 2011. Kinerja perdagangan tahun 2011 menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan tahun 2009. Ekspor produk elektrobika Indonesia paling besar pada kelompok komoditi component . Arus perdagangan elektronik Indonesia paling besar ke Singapura. 2. Jenis non tarif measures yang digunakan oleh negara-negara di ASEAN antara lain automatic licensing, non automatic licencing, prohibition, technical measure, dan pre shipment inspection. Diantara negara-negara di ASEAN, Indonesia merupakan negara yang paling banyak menggunakan non tarif measure baik tipe core maupun non core measures untuk membatasi perdagangan. Negara yang paling banyak menggunakan NTM dengan tipe core measures berikutnya adalah Singapura. 3. Pendapatan perkapita negara pengekspor, pendapatan perkapita negara pengimpor, produksi negara pengekspor, biaya ekspor dan nilai tukar riil merupakan faktor yang dapat meningkatkan perdagangan elektronika Indonesia. 4. Secara keseluruhan NTM ASEAN tidak mempengaruhi arus perdagangan sektor elektronika Indonesia. Namun jika NTM didisagregasi menjadi core dan non core measure, penelitian menemukan bahwa core measure yang merupakan kebijakan untuk melindungi produse memberikan pengaruh yang negatif terhadap arus perdagangan, sedangkan non core measure yang merupakan kebijakan non tarif yang bertujuan melindungi konsumen lokal ternyata memberikan dampak yang positif terhadap arus perdagangan sektor elektronika Indonesia. Implikasi Kebijakan Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka ada beberapa hal yang dapat disarankan bagi pemerintah yaitu: 1. Kerjasama Indonesia dengan negara-negara ASEAN dalam mengurangi penggunaan non tariff measures yang bertujuan untuk melindungi produsen lokal perlu dilanjutkan agar volume perdagangan Indonesia meningkat. Dengan berkurangnya kebijakan ini akan meningkatkan daya saing produk elektronika negara-negara di ASEAN sehingga tujuan singgle market and productions dapat tercapai. 2. Pemerintah harus meningkatkan kapasitas produksi elektronika dengan memperhatikan kebijakan non core measure yang diterapkan oleh negara mitra dagang Indonesia seperti testing, labeling, packaging, inspection, sampling , and certification requirements. Masing-masing negara akan terus meningkatkan standar keamanan produk yang akan dikonsumsi masyarakatnya. Sehingga, pemerintah harus menggunakan strategi investasi dalam pembangunan industri elektronika dengan mengutamakan kualitas, desain dan inovasi produk yang mengarah pada Indonesian brand image. Pemerintah perlu menyediakan fasilitas uji laboratorium untuk pengujian standarisasi dengan biaya administrasi yang murah untuk meningkatkan daya saing produk ekspor elektronik Indonesia. 3. Terkait dengan kebijakan technical regulation yang diterapkan di Indonesia, pemerintah harus mengharmonisasikan kebijakan lainnya seperti peningkatan pengawasan sertifikasi SNI untuk mencegah masuknya barang impor yang tidak sesuai standar atau barang yang berstandar palsu. 4. Pemerintah harus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah karena bahan baku elektronika Indonesia berupa component product masih banyak diimpor dari negara lain. 5. Kesulitan yang dihadapi dalam penelitian ini adalah ketersediaan dan kelengkapan data terutama terkait kebijakan non tarif yang dilakukan di Indonesia. Pemerintah perlu membuat basis data terkait kebijakan non tarif yang dapat diakses oleh masyarakat luas. Saran Penelitian Lanjutan 1. Penelitian ini menggunakan analisis cross sectional yang hanya dapat melihat fenomena pada satu periode waktu. Untuk penelitian selanjutnya dapat dikembangkan model analisis yang mempertimbangkan serial waktu atau model Computable General Equilibrium untuk melihat dampak ekonomi secara makro maupun mikro. 2. Model pada penelitian ini membagi indikator kebijakan non tarif menjadi dua jenis yatu core dan non core measures. Untuk melihat dampak kebijakan yang lebih khusus lagi, indikator kebijakan dapat didisagregasi lagi menjadi jenis yang lebih spesifik seperti automatic licensing, non automatic licensing , prohibition, technical measures, dan sebagainya. 3. Penelitian ini dapat dikaji lebih luas lagi dengan melakukan analisis dampak non tariff measures terhadap negara selain Indonesia di kawasan ASEAN. 4. Penelitian ini masih memberikan ruang untuk meneliti lebih rinci pada level komoditi elektronika tertentu karena jenis elektronika yang beragam dan masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda. DAFTAR PUSTAKA Adi W. 2007. Kebijakan Pemerintah Dalam Penerapan Ekolabel Bagi Peningkatan Daya Saing Komoditas Ekspor Indonesia . Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Andriamananjara S, Dean JM, Feinberg R, Ferrantino MJ, Ludema R ,Tsigas M. 2004. The Effects of Non-tariff Measures on Prices, Trade and Welfare: CGE Implementation of Policy-based Price Comparisons. U.S International Trade Commission, Office of Economics Working Paper. No.2004-04.A. Arafat A. 2010. Pengalihan status Free Trade Zone FTZ menjadi Special Economic Zone SEZ dalam hubungan ekonomi Indonesia dan Singapura Contoh Kasus Batam [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. [ASEAN] Assosation of South East Asian Nation. Asean Database [terhubung berkala]. www.asean.org Basu SR, Kuwahara H, Dumesnil F. 2012. Evolution of Non-Tariff Measures: Emerging Cases From Selected Developing Countries. Policy Issues In International Trade And Commodities Study Series . No. 18 UNCTAD: Geneva. Blanchard O. 2005. Macroeconomics. New York: Prentice Hall Business Publishing. Bora, Kuwahara A, Laird S. 2002. Quantification of Non-Tariff Measures. Policy Issues In International Trade And Commodities . UNCTAD: Geneva. BPS Kab. Bintan. 2008. Bintan Dalam Angka 20072008. Diplomasi. 2012. Batam Menjadi Daya Tarik Bagi Perusahaan Multi Nasional. No. 59 tahun V. Fugazza M. 2008. Non-Tariff Barriers in Computable General Equilibrium Modelling. Policy Issues In International Trade And Commodities. No. 38. UNCTAD:Geneva Hidayati N. 2008 Januari 23. EPA Jepang-Indonesia Bakal Percuma jika Tanpa Kejelasan Strategi. Kompas. Internasional. Hal 10. [ICN] Indonesian Commercial Newsletter. Desember 2011. Prospek Industri Manufaktur Tahun 2012. [KADIN] Kamar Dagang dan Industri Indonesia. 2010. Kebutuhan Teknologi dan Potensi Kerjasama Riset dengan Industri [makalah]. Jakarta Kam WP, Wahyuni S, Kwan AN. 2009. Survey Report Benchmarking Survey Of Establishments In Batam, Bintan And Karimun Special Economic Zone BBK SEZ . Jakarta: Manajemen research center dan Asia Competitiveness Institute Kee HL, Neagu C, Nicita A. 2010. Is Protectionism on the Rise?Assessing National Trade Policies during the Crisis of 2008. Policy Research Working Paper . WPS5274. World Bank: Development Research Group Trade and Integration Team Keet Y. 2011 Apr 27. Meningkatkan Daya Saing Industri Elektronik Nasional. Investor Daily Indonesia. Jakarta. [Kemendag] Kementrian Perdagangan. 2011. Menuju ASEAN Economic Comunity 2015 . Jakarta. [Kemenperin] Kementrian Perindustrian. 2011. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Jakarta. _________________________________. 2009. Peta Panduan Road Map - Pengembangan Klaster Industri Prioritas Industri Elektronika Dan Telematika Tahun 2010 – 2014. Krugman PR, Obstfeld M. 2005. Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan, Ed ke-5 Basri FH, penerjemah; Jakarta: Penerbit PT. INDEKS Terjemahan dari: International Economics. Kyo- kim C. β008. Korea’s Development Policy Experience and Implications for Developing Countries [makalah]. Seoul: Institute for International Economic Policy KIEP. Lord M, Oktaviani R, Ruehe E. 2010. Indonesia’s Trade Access To The European Union: Opportunities And Challenges. Transtec Equinoccio Nakakeeto G. 2011. The Impact of Technical Measures on Agricultural Trade: A Case of Uganda, Senegal, and Mali. ―Improving Food Security through Agricultural Trade [Tesis]. Blacksburg. Parsons D, Maghfuri M, Ariyanto B, Oktaviani R. 2007. An Investigation into the Measures Affecting the Integration of ASEAN’s Priority Sectors Phase 2: The Case of Electronics . REPSF Project No. 06001b Poyhonen P. 1963. A Tentative Model for the Volume of Trade Between Countries. Weltwirtschaftliches Archive. Vol 90 : 93-100. Reed Electronics Research. 2009. The Yearbook of World, Electronics Data, Volume 2 2009, Amerika, Jepang, Asia Pasific . UK _____________________. 2012. The Yearbook of World Electronics Data Volume Two, America, Japan, Asia Pasific. UK _____________________. 2013. The Yearbook of World Electronics Data Volume Three, Emerging Country and word Summary . UK Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga. Samadikun S. 1985. The Development of The Electronics Industry in Indonesia and The Role of The Physics Department. Proceedings of The International Conference on Physics And Industry . Jakarta: Universitas Indonesia Santiago EB. 2007. Development of Asean Framework for Trade Negotiations Electronics Industry. Semiconductor and Electronics Industries in the Philippines SEIPI Pasaribu RBF. 2010. Arah Kebijakan Ekonomi Indonesia Dalam Perdagangan dan Investasi Riil [artikel]. Jakarta Tinbergen J. 1962. Shaping the World Economy –Suggestions for an International Economic Policy, The Twentieth Century Fund. UNCTAD. 2013. Classification of Non-Tariff Measures. UNCTAD: Geneva Wahyuni S, Jamil I, Astuti ES, Mudita T. 2009. The study of regional competitiveness in Batam, Bintan, and Karimun. Project report UI team. Jakarta Wall H. 1999. Using the Gravity Model to Estimate the Costs of Protection. Federal Reserve Bank of St. Louis Review. Jan:33-40 [WEF] World Economic Forum. 2012. Global Enabling Trade Report 2012. Reducing Supply Chain Barriers . Geneva Winchester N. Is there a dirty little secret? Non-tariff barriers and the gains from trade. University of Otago Economics Discussion Papers. No. 0801. New Zaeland: University of Otago. World Bank. 2013. World Development Indicators 2011. Washington DC, USA. [terhubung berkala]. http:data.worldbank.orgindicator [WTO] World Trade Organization. 2012. World Trade Report 2012. Trade and public policies: A closer look at non-tariff measures in the 21st century . WTO Publication. [WITS] World Integrated Trade Solution. Tariff and Trade Analysis Data 2001- 2011. [terhubung berkala]. http:wits.worldbank.orgwits Wuryan MP. 2010. Analisis Aliran Ekspor Hasil Olahan Dua Klaster industri Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Indonesia [Skripsi]. Bogor: IPB Yamin S, Rachmach LA , dan Kurniawan H. 2010. Regresi dan Korelasi Dalam Genggaman Anda . Salemba Empat: Jakarta. Zahidi A. 2012. Dampak Trade Facilitation Terhadap Arus Perdagangan di Kawasan ASEAN+3 [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zulkifli. 2012. Kerjasama Internasional sebagai Solusi pengelolaan kawasan perbatasan negara studi kasus Indonesia [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. DAMPAK NON TARIFF MEASURES NTM ASEAN TERHADAP ARUS PERDAGANGAN SEKTOR ELEKTRONIKA INDONESIA NILA FRIDHOWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Non Tariff Measures NTM ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Nila Fridhowati NIM. H151114184 RINGKASAN NILA FRIDHOWATI. Dampak Non Tariff Measures NTM ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesaia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI dan ALLA ASMARA. Sejak terbentuk General Agreement on Tariffs and Trade GATT pada tahun 1948, terjadi penurunan tarif yang cukup signifikan. Fokus perdagangan bergeser ke arah non-tariff measures NTMs. Semakin meluasnya penggunaan NTM di kawasan ASEAN akan berdampak pada perdagangan regional dan akan menyulitkan terbentuknya ASEAN Economic Community pada tahun 2015. Sektor elektronika, yang merupakan sektor potensial di Indonesia menjadi salah satu sektor yang terkena dampak implementasi NTM. Penelitian ini menyajikan gambaran mengenai perdagangan elektronika Indonesia dan implementasi NTM di ASEAN. Tujuan utama penelitian ini untuk menganalisis dampak NTM ASEAN terhadap perdagangan sektor elektronika Indonesia. Dua pendekatan yaitu inventory approach dan econometric approach digunakan untuk estimasi model cross sectional gravity. Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu BPS, WITS, WDI, Doing Bussiness, UNCTAD, dan publikasi internasional. Perdagangan elektronika terbesar di Indonesia adalah perdagangan pada komoditi component dengan Singapura sebagai mitra dagang yang paling dominan. Letak Indonesia dan Singapura memungkinkan terjadinya integrasi produksi pada industri elektronika. Kerjasama Indonesia dan Singapura yang dituangkan dalam kerangka pembentukan Free Trade Zone Batam Bintan Karimun memiliki potensi yang cukup besar namun belum dikembangkan secara optimal. Negosiasi kembali kerjasama, perbaikan infrastruktur, kelembagaan penunjang perdagangan dikawasan tersebut perlu dilakukan. Indonesia merupakan negara yang paling protektif dalam perdagangan sektor elektronika. Indonesia lebih banyak menggunakan kebijakan yang melindungi produsen lokal, sedangkan negara ASEAN lainnya lebih banyak menggunakan kebijakan yang melindungi konsumen lokal yang terkait standar kualitas, prosedur, labeling, packaging, dan sertifikasi. Jenis NTM yang paling banyak digunakan di ASEAN adalah non automatic licensing dan technical regulation yang banyak digunakan pada component dan consumer product. Hasil empiris menunjukkan bahwa secara keseluruhan NTM ASEAN tidak mempengaruhi arus perdagangan elektronika Indonesia. Namun, jika NTM didisagregasi menjadi core dan non core measures, hasil penelitian menunjukkan peningkatan core measures akan mengurangi perdagangan dan peningkatan non core measures akan meningkatkan perdagangan sektor elektronika. Kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah pengembangan industri elektronika dengan mengutamakan kualitas, desain dan inovasi produk, serta memperluas penyediaan fasilitas uji laboratorium untuk pengujian standarisasi dengan biaya administrasi yang murah untuk meningkatkan daya saing produk ekspor elektronik Indonesia. Kata Kunci : kebijakan non tarif, elektronika, core dan non core measure, gravity, inventory approach, frequency index dan coverage ratio SUMMARY NILA FRIDHOWATI. Impact of Non Tariff Measures NTM ASEAN on Indonesian Electronics Trade. Supervised by RINA OKTAVIANI and ALLA ASMARA. As tariffs have fallen in the years since the General Agreement on Tariffs and Trade GATT was established in 1948, attention has progressively shifted towards non-tariff measures NTMs. Pervasiveness non-tariff measures in ASEAN region will impact on regional trade and difficult for the establishment of ASEAN Economic Community by 2015. Electronics sector, which is a potential sector in Indonesia will be one of the sectors affected by the implementation of non-tariff measures. This research provides a brief of Indonesian electronics trade and implementation of NTM in ASEAN. The main purpose of this study is to analyze the impact of ASEAN’s NTM on Indonesian electronics trade flows. Two approaches are used; the inventory approach and the econometric approach which makes use of the cross sectional gravity model. This research use secondary data which is collected from BPS, WITS, WDI, Doing Bussiness, UNCTAD, dan international publication. The bigest electronics trade in Indonesia comes from component product with Singapura as a dominant trade partner. Indonesia and Singapure can join integration in production electronics because of their location. Indonesia- Singapura agreement on Free Trade Zone Bintan Batam Karimun haven’t optimal yet so need review in negotiation, infrastructure and institution development. Indonesia is the most protective country in electronics trade. Indonesia use more NTM for pretecting local producer while other ASEAN country use more NTM for protecting local consumers such as labelling, packaging, standardize, and sertification requirement. Non automatic licensing dan technical regulation is used by almost all country in ASEAN to protect component dan consumer product . The empirical results show that the overall ASEAN’s NTM does not affect Indonesian electronics trade flows. However, if NTM is disagregated into core and non core measure, the results showed that increase in core measure would reduce trade flows and increase in non core measure would increase Indonesian electronics trade flows. Government should develop electronics industry by focusing in quality, design and, inovation product. Government should provide testing laboratorium with cheaper administration cost to increase Indonesian export competitiveness. Keywords: non tariff measures, electronics trade, core and non core measure, gravity models, inventory approach, frequency index and coverage ratio © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi DAMPAK NON TARIFF MEASURES NTM ASEAN TERHADAP ARUS PERDAGANGAN SEKTOR ELEKTRONIKA INDONESIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 NILA FRIDHOWATI Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS Judul Tesis : Dampak Non Tariff Measures NTM ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia Nama : Nila Fridhowati NIM : H151114184 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS Ketua Dr Alla Asmara, SPt MSi Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 31 Juli 2013 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa t a’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah kebijakan perdagangan, dengan judul Dampak Non Tariff Measures NTM ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Ibu Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS dan Bapak Dr Alla Asmara, SPt MSi yang telah memberikan bimbingan dari awal hingga akhir dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada suamiku tercinta, Argo Dwipa, SE.As dan putraku M. Farhan Raditya Argo yang telah memberikan dukungan, doa, dan kasih sayangnya kepada penulis serta rekan-rekan kuliah kelas khusus BPS S2 IPB Batch 4 yang telah terus memberikan semangat hingga selesainya tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2013 Nila Fridhowati Lampiran 1. Klasifikasi NTM UNCTAD CODING SYSTEM OF TRADE CONTROL MEASURES 1000 TARIFF MEASURES 1100 STATUTORY CUSTOMS DUTIES 1200 MFN DUTIES 1210 Mfn Duties Statutory 1220 Mfn Duties Applied 1230 Mfn Duties Bound 1300 GATT CEILING DUTIES 1400 TARIFF QUOTA DUTIES 1410 Low Duties 1420 High Duties 1500 SEASONAL DUTIES 1510 Low Duties 1520 High Duties 1600 TEMPORARY REDUCED DUTIES 1700 TEMPORARY INCREASED DUTIES 1710 Retaliatory Duties 1720 Urgency And Safeguard Duties 1800 PREFERENTIAL DUTIES UNDER TRADE AGREEMENTS 1810 Customs Union 1820 Free Trade Agreement 1830 GSP 1840 Other Specific Preferential Agreements 1841 From Developed To Developed Countries 1842 From Developed To Developing Countries 1843 From Developed To LDCS 1844 From Developing To Developing Countries 1845 From Developing To LDCS 1846 From Developing To Developed Countries 1890 Preferential Agreements N.E.S. 2000 PARA-TARIFF MEASURES 2100 CUSTOMS SURCHARGES 2200 ADDITIONAL TAXES AND CHARGES 2210 Tax On Foreign Exchange Transactions 2220 Stamp Tax 2230 Import Licence Fee 2240 Consular Invoice Fee 2250 Statistical Tax 2260 Tax On Transport Facilities 2270 Taxes And Charges For Sensitive Product Categories 2290 Additional Charges N.E.S. 2300 INTERNAL TAXES AND CHARGES LEVIED ON IMPORTS 2310 General Sales Taxes 2320 Excise Taxes 2370 Taxes And Charges For Sensitive Product Categories 2390 Internal Taxes And Charges Levied On Imports N.E.S. 2400 DECREED CUSTOMS VALUATION 2900 PARA-TARIFF MEASURES N.E.S. 3000 PRICE CONTROL MEASURES 3100 ADMINISTRATIVE PRICING 3110 Minimum Import Prices 3190 Administrative Pricing N.E.S. 3200 VOLUNTARY EXPORT PRICE RESTRAINT 3300 VARIABLE CHARGES 3310 Variable Levies 3320 Variable Components 3330 Compensatory Elements 3340 Flexible Import Fees 3390 Variable Charges N.E.S 3400 ANTIDUMPING MEASURES 3410 Antidumping Investigations 3420 Antidumping Duties 3430 Price Undertakings 3500 COUNTERVAILING MEASURES 3510 Countervailing Investigations 3520 Countervailing Duties 3530 Price Undertakings 3900 PRICE CONTROL MEASURES N.E.S. 4000 FINANCE MEASURES 4100 ADVANCE PAYMENT REQUIREMENTS 4110 Advance Import Deposit 4120 Cash Margin Requirement 4130 Advance Payment Of Customs Duties 4170 Refundable Deposits For Sensitive Product Categories 4190 Advance Payment Requirements N.E.S. 4200 MULTIPLE EXCHANGE RATES 4300 RESTRICTIVE OFFICIAL FOREIGN EXCHANGE ALLOCATION 4310 Prohibition Of Foreign Exchange Allocation 4320 Bank Authorization 4390 Restrictive Official Foreign Exchange Allocation N.E.S. 4500 REGULATIONS CONCERNING TERMS OF PAYMENT FOR MPORTS 4600 TRANSFER DELAYS, QUEUING 4900 FINANCE MEASURES N.E.S. 5000 AUTOMATIC LICENSING MEASURES 5100 AUTOMATIC LICENCE 5200 IMPORT MONITORING 5210 Retrospective Surveillance 5220 Prior Surveillance 5270 Prior Surveillance For Sensitive Product Categories 5700 SURRENDER REQUIREMENT 5900 AUTOMATIC LICENSING MEASURES N.E.S. 6000 QUANTITY CONTROL MEASURES 6100 NON-AUTOMATIC LICENSING 6110 Licence With No Specific Ex-Ante Criteria 6120 Licence For Selected Purchasers 6130 Licence For Specified Use 6131 Linked With Export Trade 6132 For Purposes Other Than Exports 6140 Licence Linked With Local Production 6141 Purchase of local goods 6142 Local content requirement 6143 Barter or counter trade 6150 Licence linked with non-official foreign exchange 6151 External foreign exchange 6152 Importers own foreign exchange 6160 Licence combined with or replaced by special import authorization 6170 Prior authorization for sensitive product categories 6180 Licence for political reasons 6190 Non-automatic licensing n.e.s. 6200 QUOTAS 6210 Global quotas 6211 Unallocated 6212 Allocated to exporting countries 6220 Bilateral quotas 6230 Seasonal quotas 6240 Quotas linked with export performance 6250 Quotas linked with purchase of local goods 6270 Quotas for sensitive product categories 6280 Quotas for political reasons 6290 Quotas n.e.s. 6300 PROHIBITIONS 6310 Total prohibition 6320 Suspension of issuance of licences 6330 Seasonal prohibition 6340 Temporary prohibition 6350 Import diversification 6370 Prohibition for sensitive product categories 6380 Prohibition for political reasons embargo 6390 Prohibitions n.e.s. 6600 EXPORT RESTRAINT ARRANGEMENTS 6610 Voluntary export restraint arrangements 6620 Orderly marketing arrangements 6630 Multifibre arrangement MFA 6631 Quota agreement 6632 Consultation agreement 6633 Administrative co-operation agreement 6640 Export restraint arrangements on textiles outside MFA 6641 Quota agreement 6642 Consultation agreement 6643 Administrative co-operation agreement 6690 Export restraint arrangements n.e.s. 6700 ENTERPRISE-SPECIFIC RESTRICTIONS 6710 Selective approval of importers 6720 Enterprise-specific quota 6790 Enterprise-specific restrictions n.e.s. 6900 QUANTITY CONTROL MEASURES N.E.S. 7000 MONOPOLISTIC MEASURES 7100 SINGLE CHANNEL FOR IMPORTS 7110 State trading administration 7120 Sole importing agency 7170 Single channel for sensitive product categories 7200 COMPULSORY NATIONAL SERVICES 7210 Compulsory national insurance 7220 Compulsory national transport 7900 MONOPOLISTIC MEASURES N.E.S. 8000 TECHNICAL MEASURES 8100 TECHNICAL REGULATIONS 8110 Product characteristics requirements 8120 Marking requirements 8130 Labelling requirements 8140 Packaging requirements 8150 Testing, inspection and quarantine requirements 8160 Information requirements 8170 Requirement relative to transit 8180 Requirement to pass through specified customs 8190 Technical regulations n.e.s. 8200 PRE-SHIPMENT INSPECTION 8300 SPECIAL CUSTOMS FORMALITIES 8400 RETURN OBLIGATION 8900 TECHNICAL MEASURES N.E.S. Lampiran 2. Definisi NTM Prohibition dapat diterapkan secara umum atau dalam keadaan khusus, misalnya larangan bersyarat. Biasanya, prohibition berlaku untuk senjata dan amunisi serta peralatan militer lainnya kecuali diimpor oleh angkatan bersenjata, obat-obatan kecuali diimpor oleh otoritas kesehatan atau untuk tujuan ilmiah, materi pornografi, dan tumbuhan atau hewan termasuk spesies langka tertentu, bawah konvensi internasional. Quota merupakan pembatasan pada kuantitas atau nilai impor produk tertentu. Quota ditentukan untuk jangka waktu tertentu, dan dimodifikasi secara berkala. Quota dapat dikenakan untuk jangka waktu terbatas sebagai tindakan pengamanan terhadap lonjakan impor. Non automatic licensing biasanya sarana untuk pemberian kuota atau larangan bersyarat. Namun, terkadang kuota tidak ditentukan terlebih dahulu, dalam kasus ini, lisensi non-otomatis mungkin menjadi sarana penjatahan valuta asing, atau untuk menentukan apakah kondisi tertentu untuk impor telah dipenuhi, misalnya persyaratan kinerja ekspor. Non automatic licensing relatif restriktif atau diskresioner atau relatif liberal, sering tergantung pada keadaan ekonomi di negara pengimpor. Otorisasi impor biasanya merupakan wewenang instansi pemerintah. Voluntary export restraints VER biasanya pengaturan penahanan ekspor informal antara eksportir dan importir dimana mantan setuju untuk membatasi, untuk jangka waktu tertentu, ekspor barang-barang tertentu ke pasar impor untuk menghindari pengenaan kuota impor. Dalam bentuk yang sekarang, instrumen utama adalah Arrangement Multi-Fibre MFA, yang dijadwalkan akan bertahap selama 10 tahun sebagai bagian dari perjanjian Putaran Uruguay. Pada dasarnya, itu adalah serangkaian VERs bilateral yang berlaku untuk sekitar 100 atau lebih sektor tekstil dan pakaian, sektor tidak perlu lengkap, yang ditentukan untuk setiap mitra dagang terkena. Tekstil dan pakaian eksportir yang bukan anggota MFA, misalnya negara-negara Eropa Timur dan China, ditutupi oleh pembatasan serupa. perjanjian menahan diri tekstil. Perdagangan Negara dan monopoli impor prosedur dimana lembaga pemerintah memiliki hak eksklusif untuk perdagangan atau telah memberikan hak ini kepada monopoli swasta. Hanya bahwa badan atau perusahaan dapat menentukan tingkat impor, meskipun mungkin dalam prakteknya beroperasi secara ketat sebagai operator independen. Tariff quotas operate adalah batas atau kuota pada jumlah atau nilai impor produk tertentu diperbolehkan, untuk jangka waktu tertentu, di bawah tarif normal, sedangkan tingkat yang lebih tinggi adalah biaya impor yang melebihi kuota. Kebijakan ini diterapkan secara luas di sektor pertanian. Local content plans seperti kuota tarif. Sebagai imbalan untuk mencapai tingkat tertentu kandungan lokal, produsen, seperti perakit mobil, diperbolehkan untuk mengimpor sejumlah kuota atau barang jadi setara dengan harga bebas bea rendah. Kebijakan ini dilakukan untuk perlindungan industri komponen dalam negeri. Variable levies adalah biaya khusus yang dikenakan pada impor barang tertentu untuk menaikkan harga mereka untuk target harga dalam negeri. Anti-dumping dikenakan pada barang-barang tertentu yang berasal dari mitra dagang tertentu atau mitra dagang khusus untuk mengimbangi efek dumping. Countervailing Duties adalah biaya khusus pada barang-barang tertentu untuk mengimbangi efek subsidi diberikan langsung atau tidak langsung pada pembuatan, produksi atau ekspor barang-barang. Minimum prices merupakan kebijakan penentuan harga produkk di suatu negara biasanya pada produk pertanian. Harga impor yang sebenarnya di bawah harga minimum dapat memicu tindakan dalam bentuk tugas kompensasi atau investigasi harga. Kebijakan ini ditetapkan dalam rangka untuk menyamakan harga impor. Government procurement procedures biasanya melibatkan preferensi harga untuk barang-barang domestik. Preferensi harga dihitung untuk menentukan hasil tender publik untuk penyediaan barang atau jasa untuk instansi pemerintah. Special entry procedures , semua perdagangan dilakukan oleh perusahaan nasional atau impor dilakukan melalui pelabuhan khusus, beroperasi untuk meningkatkan biaya. Automatic licensing and import surveillance biasanya digunakan bersama-sama untuk melacak tingkat impor. Salah satu alasan untuk tindakan kebijakan tersebut karena kekhawatiran tentang kemungkinan lonjakan impor, yang dapat memicu tindakan-tindakan pengamanan. Technical measures merupakan peraturan teknis dan standar yang harus dipenuhi oleh produk untuk dijual di pasar domestik, pada prinsipnya, penerapannya sama antara barang domestik dan impor. Kebijakan tersebut meliputi kesehatan, kebersihan, peraturan phytosanitary dan keamanan, serta labeling dan packaging requirement. Lampiran 3. NTM pada Sektor Elektronik di Negara ASEAN Non Tariff Measures Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand 3 Price Control Measures 4 Finance Measures 5 Automatic Licensing Measures 5100 Automatic Licencing Components, Consumer Product, Electronic Data Processing, Office Equipment, Radar Comunications And Radar, Telecommunicati on Components 6 Quantity Control Measures 6100 Non- Automatic Licensing All Product Components, Consumer Product, Medical And Industrial Equipment, Office Equipment, Radar Comunications And Radar, Telecommunica tion Medical And Industrial Equipment 6300 Prohibitions All Product Consumer Product, Radar Comunications And Radar Components, Consumer Product, , Control And Instrumentatio n, Medical And Industrial Equipment, Office Equipment, Radar Comunication s And Radar, Telecommunic ation 7 Monopolistic Measures 8 Technical Measures 8100 Technical Regulations Componen ts, Consumer Product, Components, Consumer Product, Control And Control And Instrument ation, Medical And Industrial Equipment , Office Equipment , Radar Comunicat ions And Radar, Telecomm unication Instrumentatio n, Medical And Industrial Equipment, Office Equipment, Radar Comunication s And Radar, Telecommunic ation 8200 Pre- Shipment Inspection Components, Consumer Product, Control And Instrumentation, Medical And Industrial Equipment, Office Equipment, Radar Comunications And Radar, Telecommunicati on Lampiran 4. Penelitian Terdahulu No Penulis Thn Judul Metode Data Analisis Hasil 1 Almeida, Gomes, Silva. 2012 Non- tariff measures in internatio nal coffee trade Panel Gravity Model Var dependen : ekspor Var independen : GDP importer, GDP eksporter, Distance, Tariff, Dummy TBT dan SPS agreement Trade data Distance SPS and TBT agreement Mengkaji pengaruh perjanjian TBT dan SPS pada ekspor komoditi kopi dunia Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian TBT negatif akan mempengaruhi ekspor kopi selama periode mulai dari 1996 hingga 2010, namun SPS tidak. 2 Carrère, De Melo 2011 Non- Tariff Measures : What Do We Know, What Might Be Done? Model Gravity Trade data AVEs of NTM = TRAINS WITS Mengkaji dampak NTM terhadap trade flow Regulatory Protection menyebabkan peningkatan biaya pada produsen domestik Suplly shift effect : peningkatan biaya dari luar negeri dan kadang kadang domestik Demand shift effect : regulasi menyebabkan enhance demand 3 Nakakeet o 2011 The Impact of Technica l Measures on Agricultu ral Trade: A Case of Uganda, Senegal, and Mali. ―Impro ving Food Security through Agricultu ral Trade Inventory approach coverage ratio, frequency ratio Model Gravity Data Primer : survey Data Sekunder : Trade data NTM data cross section 2004 = UNCTAD AVEs of NTM 2004 = WB Mengkaji dampak NTM terhadap perdagangan komoditi pertanian Dengan metode Dummy NTM : NTM memiliki dapak yang negatif terhadap ekspor dan impor Coverage ratio : NTM memiliki dampak positif AVEs of NTM : NTM memiliki dampak positif 4 Mellado, Hélaine, Rau dan Tothova 2010 Non- tariff measures affecting Frequency approach CGE NTM incidence : TRAINS UNCTAD, Menganalisis penerapan Non Tariff Measures di sektor Penerapan NTM terjadi di hampir di semua agroo- food product. agro- food trade between the EU and Africa MAST agriculture Menganalisis welfare effect penerapan NTM 5 Berden, Francois, Thelle, Wymenga, Tamminen 2009 Non- Tariff Measures in EU- US Trade and Investme nt – An Economi c Analysis CGE - GTAP Trade Data NTM Index = estimate by gravity model Mengkaji dampak dari NTM pada Produk Domestik Bruto PDB, pendapatan rumah tangga, upah, dan perdagangan antara Uni Eropa dan Ameruka Serikat dengan skenario pemberlakuan NTM sebesar 50 persen pada tahun 2018 NTM menyebabkan peningkatan biaya sebesar dan membatasi market acccess untuk perusahaan. Dengan mengeliminasi NTM pada semua sektor akan mendorong EU GDP sebesar 0,7 persen pada jangka panjang dan GDP US sebesar 0,3 persen dibandingkan dengan skenario dasar. Penghapusan NTM akan memberikan keuntungan untuk US dan EU. Pendapatan rumah tangga akan meningkat sebesar 0,8 persen di EU dan 0,3 persen di US setiap tahunnya jika NTM di eliminasi. Eliminasi NTM juga akan meningkatkan trade balance kedua region dan membuat upah menjadi lebih baik. 6 Melchior, Zheng dan Johnsen 2009 Trade barriers and export potential: Gravity estimates for Norway’ s exports Gravity Model Trade data 150 negara tahun 2007 Mengkaji dampak tarif terhadap ekspor dan melakukan studi dengan non tariff barrier Penurunan tariff pada non oil export tahun 2007 akan meningkatkan potensial trade. Sektor yang terbesar adalah minerals, fish, mechinery dan chemical. Beberapa negara memiliki NTB yang tinggi meskipun tariffnya rendah 7 Winches- ter 2008 Is there a dirty little secret? Non- tariff barriers and the gains from trade CGE – GTAP Trade data Tariff Equivalent of NTB = estimate using gravity model IO data simulasi penurunan tarif dan non tarif barrier pada perdagangan bilateral Australia dan New Zealand Penurunan NTB akan menghasilkan gain of trade yang lebih besar dibandingkan penurunan tarif 8 Ban, Kawasaki , dan Tsutsumi 1997 Diagnost ic Analysis of CGE Modelin g: The Property of APEC Trade Liberaliz ation Model CGE – GTAP Trade Data = GTAP Database, COMTRAD E Protection Data = AVE, Tariff, Nontariff AD in agr and textill Canada, EU, US IO Data Menganalisis dampak ekonomi akibat liberalisasi perdagangan melalui tarif dan non tariff measures Sektor atau region dengan hambatan perdagangan awal yang tinggi akan cenderung mengalami ekspansi perdagangan paling besar. 9 Andria- mananja ra, Ferranti no, dan Tsigas 2003 Alternat ive Approac hes in Estimati ng the Economi c Effects of Non- Tariff Measure s: Results from Newly Quantifi ed Measure s CGE – GTAP Trade Data Tariff Equivalent NTM = handycraft approach Export Tax Equivalent Sand in Wheels = kebijakan yang memberika n dampak terhadap efisiensi IO data - Memperk enalkan metode estimasi NTM price gaps menggun akan tiga metode yang berbeda tariff equivalen t, export tax equivalen t and sand-in- the- wheels. - Menganal isis dampak ekonomi Liberalisasi NTM mendorong peningkatan yang besar terhadap perdagangan dunia dan meningkatkan global welfare. trade, welfare dan productio n dari penghapu san NTM pada produk alas kaki, pakaian, dan makanan olahan 10 Fugazza 2008 Non- tariff barriers in Comput able General Equilibr ium modellin g CGE – GTAP Trade data AVEs of NTB WB- 2004 IO data Menganalisis dampak penghapusan NTB terhadap trade dan welfare Negara dengan tingkat NTB yang tinggi seperti sub- Saharan Africa, South East Asia, dan North Africa tidak mendapatkan keuntungan yang berarti dari penurunan NTB secara global. 11 Hadi, Nuryanti 2005 Dampak kebijaka n Proteksi terhadap Ekonomi Gula Indoneis a CGE IO Tariff Mengkaji dampak makro maupun mikro kebijakan tarif impor dan kebijakan non tarif Kebijakan non tarif memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan penerapan kebijakan tarif. Kombinasi kedua kebijakan masih perlu di berlakukan untuk menghindari ketergantungan Indonesia terhadap pasar dunia. 12 Andriama nanjara, Dean, Feinberg, Ferran- tino, Ludema, Tsigas. 2004 The Effects of Non- Tariff Measures on Prices, Trade, and Welfare: CGE - GTAP Trade Data Tariff Equivalent of NTM = estimate by price gap approach IO data Menganalisis dampak penghapusan NTM terhadap trade dan welfare Penghapusan NTM menyebabkan keuntungan global sebesar 90 milyar dolar. Peningkatan keuntungan terjadi dari liberalisasi di CGE Impleme ntation of Policy- Based Price Compari sons Jepang dan Uni Eropa dan liberalisasi pada komoditi pakaian dan mesin. 13 Wall 1999 Using the Gravity Model to Estimate the Costs of Protecti on Model Panel Gravity Trade Data = X, M, GDP Trade Policy Index = Herritage Foundation Menganalisis dampak import protection terhadap volume perdagangan Amerika Serikat dan dampaknya terhadap welfare Adanya import protection di negara-negara selain U.S. menyebabkan ekspor AS 26.2 percent lebih rendah pada tahun 1996. Hambatan yang diberlakukan oleh Amerika Serikat menurunkan impor AS dari negara-negara non-NAFTA sebesar 15.4 persen per tahun yang menyebabkan welfare cost sebesar 1.45 persen. Sumber utama dari hilangnya kesejahteraan adalah pengalihan kuota sewa luar negeri daripada deadweight efficiency losses. Lampiran 5. Hasil estimasi Model 1 Dependent Variable: LOGEKSPOR Method: Least Squares Date: 071613 Time: 00:36 Sample: 1 64 Included observations: 64 White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors Covariance Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -18.99814 6.290466 -3.020149 0.0038 LOGGDP_KAP1 1.810788 0.108532 16.68443 0.0000 LOGGDP_KAP2 0.417656 0.198930 2.099509 0.0403 LOGPROD 0.489764 0.077320 6.334231 0.0000 LOGCOST_EXPORT 1.318758 0.834592 1.580123 0.1197 LOGREER 0.150716 0.037421 4.027581 0.0002 CR 0.004242 0.003670 1.155877 0.2526 TARIF -0.004285 0.408690 -0.010485 0.9917 R-squared 0.803364 Mean dependent var 10.61362 Adjusted R-squared 0.778785 S.D. dependent var 1.847660 S.E. of regression 0.869020 Akaike info criterion 2.673566 Sum squared resid 42.29092 Schwarz criterion 2.943427 Log likelihood -77.55412 Hannan-Quinn criter. 2.779878 F-statistic 32.68435 Durbin-Watson stat 1.879115 ProbF-statistic 0.000000 Model 2 Dependent Variable: LOGEKSPOR Method: Least Squares Date: 071413 Time: 12:03 Sample: 1 64 Included observations: 64 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -22.69167 9.807210 -2.313774 0.0244 LOGGDP_KAP1 1.738617 0.250416 6.942928 0.0000 LOGGDP_KAP2 0.675368 0.191274 3.530885 0.0008 LOGPROD 0.557125 0.077990 7.143562 0.0000 LOGCOST_EXPORT 1.626687 1.244523 1.307077 0.1966 LOGREER 0.091296 0.043040 2.121187 0.0384 CR_CORE -0.011968 0.005264 -2.273575 0.0269 CR_NCORE 0.011038 0.003583 3.080356 0.0032 TARIF 0.148711 0.428188 0.347303 0.7297 R-squared 0.828067 Mean dependent var 10.61362 Adjusted R-squared 0.803059 S.D. dependent var 1.847660 S.E. of regression 0.819956 Akaike info criterion 2.570567 Sum squared resid 36.97800 Schwarz criterion 2.874160 Log likelihood -73.25815 Hannan-Quinn criter. 2.690168 F-statistic 33.11153 Durbin-Watson stat 1.879987 ProbF-statistic 0.000000 Lampiran 6. Uji Normalitas Model 1 Model 2 2 4 6 8 10 12 -2 -1 1 2 Series: Residuals Sample 1 64 Observations 64 Mean -6.99e-15 Median 0.048869 Maximum 1.802594 Minimum -1.776050 Std. Dev. 0.819320 Skewness -0.366648 Kurtosis 2.673522 Jarque-Bera 1.718160 Probability 0.423552 2 4 6 8 10 12 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 Series: Residuals Sample 1 64 Observations 64 Mean -4.83e-15 Median 0.082677 Maximum 1.449174 Minimum -2.070520 Std. Dev. 0.766128 Skewness -0.428730 Kurtosis 2.581860 Jarque-Bera 2.426878 Probability 0.297174 Lampiran 7. Uji Multikolinieritas LOG COST_ EXPORT CR CR_CORE CR_ NCORE LOG GDP_ KAP1 LOG GDP_KAP2 LOG PROD LOG REER TARIF LOGCOST_ EXPORT 1.000000 -0.154048 -0.251713 -0.173301 -0.868620 0.234153 -0.322687 0.515316 -0.016795 CR -0.154048 1.000000 0.753407 0.953493 0.228197 -0.192714 0.264718 -0.440947 -0.111496 CR_CORE -0.251713 0.753407 1.000000 0.699278 0.370592 -0.157866 0.339958 -0.662457 -0.016346 CR_NCORE -0.173301 0.953493 0.699278 1.000000 0.253655 -0.225559 0.220454 -0.488570 -0.071692 LOGGDP_ KAP1 -0.868620 0.228197 0.370592 0.253655 1.000000 -0.347242 0.287995 -0.686383 0.024906 LOGGDP_ KAP2 0.234153 -0.192714 -0.157866 -0.225559 -0.347242 1.000000 -0.106528 0.688213 -0.144291 LOGPROD -0.322687 0.264718 0.339958 0.220454 0.287995 -0.106528 1.000000 -0.212195 -0.246304 LOGREER 0.515316 -0.440947 -0.662457 -0.488570 -0.686383 0.688213 -0.212195 1.000000 -0.076729 TARIF -0.016795 -0.111496 -0.016346 -0.071692 0.024906 -0.144291 -0.246304 -0.076729 1.000000 Lampiran 8. Klasifikasi Data Elektronika Klas kel Deskripsi Detail HS4_elek SITC3 1 EDP Electronic Data Processing EDP 8471 7521 1 EDP Electronic Data Processing EDP 8471 7522 1 EDP Electronic Data Processing EDP 8471 7523 1 EDP Electronic Data Processing EDP 8471 7526 1 EDP Electronic Data Processing EDP 8471 7527 1 EDP Electronic Data Processing EDP 8471 7529 1 EDP Electronic Data Processing EDP 8473 7599 2 OE Office Equipment Office Equipment 8469 7511 2 OE Office Equipment Office Equipment 8470 7512 2 OE Office Equipment Office Equipment 8519 7633 2 OE Office Equipment Office Equipment 8519 7638 2 OE Office Equipment Office Equipment 8520 7638 2 OE Office Equipment Office Equipment 9009 7513 2 OE Office Equipment Office Equipment 9009 7591 3 CI Control and Instrumentation Control Instrumentation 8543 7787 3 CI Control and Instrumentation Control Instrumentation 9014 8741 3 CI Control and Instrumentation Control Instrumentation 9015 8741 3 CI Control and Instrumentation Control Instrumentation 9023 8745 3 CI Control and Instrumentation Control Instrumentation 9024 8745 3 CI Control and Instrumentation Control Instrumentation 9025 8745 3 CI Control and Instrumentation Control Instrumentation 9026 8743 3 CI Control and Instrumentation Control Instrumentation 9027 8744 3 CI Control and Instrumentation Control Instrumentation 9030 8747 3 CI Control and Instrumentation Control Instrumentation 9031 8742 3 CI Control and Instrumentation Control Instrumentation 9032 8746 4 MI Medical and Industrial Equipment X-Ray Medical Equipment 9018 7741 4 MI Medical and Industrial Equipment X-Ray Medical Equipment 9021 8996 4 MI Medical and Industrial Equipment X-Ray Medical Equipment 9022 7742 4 MI Medical and Industrial Equipment Industrial Equipment 8514 7413 4 MI Medical and Industrial Equipment Industrial Equipment 8530 7788 4 MI Medical and Industrial Equipment Industrial Equipment 8531 7788 4 MI Medical and Industrial Equipment Industrial Equipment 9013 8719 5 RC Radar Comunications and Radar Communications Military 8525 7643 5 RC Radar Comunications and Radar Communications Military 8526 7648 5 RC Radar Comunications and Radar Communications Military 8527 7648 5 RC Radar Comunications and Radar Communications Military 8529 7649 5 RC Radar Comunications and Radar Communications Military 9014 8741 5 RC Radar Comunications and Radar Communications Military 9015 8741 6 T Telecommunication Telecommunication 8517 7641 6 T Telecommunication Telecommunication 8517 7649 6 T Telecommunication Telecommunication 8520 7638 7 CP Consumer Product Consumer Video 8521 7638 7 CP Consumer Product Consumer Video 8525 7648 7 CP Consumer Product Consumer Video 8528 7611 7 CP Consumer Product Consumer Video 8528 7612 7 CP Consumer Product Consumer Audio 8519 7633 7 CP Consumer Product Consumer Audio 8519 7638 7 CP Consumer Product Consumer Audio 8520 7638 7 CP Consumer Product Consumer Audio 8527 7621 7 CP Consumer Product Consumer Audio 8527 7622 7 CP Consumer Product Consumer Audio 8527 7628 7 CP Consumer Product Consumer Personal 9006 8811 7 CP Consumer Product Consumer Personal 9101 8853 7 CP Consumer Product Consumer Personal 9102 8854 7 CP Consumer Product Consumer Personal 9103 8857 7 CP Consumer Product Consumer Personal 9105 8857 7 CP Consumer Product Consumer Personal 9207 8982 8 C Components Active Components 8540 7762 8 C Components Active Components 8541 7763 8 C Components Active Components 8541 7768 8 C Components Active Components 8542 7764 8 C Components Passive Components 8504 7711 8 C Components Passive Components 8504 7712 8 C Components Passive Components 8532 7786 8 C Components Passive Components 8533 7723 8 C Components Passive Components 8534 7722 8 C Components Passive Components 8535 7724 8 C Components Passive Components 8536 7725 8 C Components Other Components 8518 7642 8 C Components Other Components 8518 7649 8 C Components Other Components 8522 7649 8 C Components Other Components 8523 8984 8 C Components Other Components 8528 7611 8 C Components Other Components 8529 7649 Lampiran 9. Cakupan Data Elektronika ELECTRONIC DATA PROCESSING Computers Complete Systems Analogue and hybriddigital data processing machines. Digital data processing machines with any capacity of random access memory, combined or not combined with an input and output unit including a modem. Includes main-frame, mini, micro and home computers including those computers used as word processors. Peripherals Storage Storage units including central storage units, disc storage units, magnetic tape storage units. InputOutput Input or Output units including printers, preparation equipment, readers, punches, visual display units, multiplexers and modems used for computer links, other terminals and consoles. Accessories and Parts Parts, accessories and sub-assemblies for use solely or principally with machines as above. This includes all remaining EDP equipment not fully covered by the above definitions. Complete computers assembled by retailers are included. Software Not included. OFFICE EQUIPMENT Electronic Typewriters Electric and electronic typewriters, inc. portables. Including automatic typewriters, typewriters with a built-in memory and dedicated word processors except those that can also be used as a personal computer. Electronic Calculators Electronic calculating machines inc. desk and hand-held types, with or without a printing device. Electonic Cash Registers Electronic cash registers incorporating a calculating device inc. POS terminals that are not connected to a computer. Electronic Accounting Machines Electronic accounting machines all types inc. book-keeping and invoicing machines. Dictation Equipment Desk and hand-held dictating machines of audio office type inc. transcription machines. Photocopiers CONTROL INSTRUMENTATION Industrial Process Control Systems Automatic regulators or controlling apparatus. Complete systems for data logging, monitoring, displaying, recording and control of processes including telemetry but excluding components or peripherals where separable. Process Control Instruments Process measuring and control instruments for temperature, pressure, flow and level. Potentiometric recorders and controllers, panel mounting. Oscilloscopes Ray oscilloscopes and oscillographs of the light beam and liquid jet types. Analytical Instruments Apparatus for the analysis of gas, liquids and solids inc. spectrophotometers, spectrographs, spectrofluorimeters, spectropolarimeters and X-ray diffractionfluorescence apparatus. Nucleonic Instruments Instruments and apparatus for measuring or detecting ionising radiations inc. reactor instruments, radiation measuring and detecting instruments, nucleonic industrial process measuring and control instruments. Signal Generators Signal and waveform generators. Telecommunications Instruments Cross talk meters, gain measuring instruments, distortion factor meters, psophometers etc. Machine Materials Test Instruments Echo sounding and ultrasonic sounding or detection instruments and apparatus. Inspection and measuring instruments for engineering metrology surface, texture etc. Instruments and apparatus for balancing mechanical parts. Electrical Quantity Measuring Instruments Ammeters, voltmeters, ohmmeters inc. multi-meters analogue digital. Other Test Measuring Instruments Other measuring, checking, analysing and controlling instruments and apparatus including apparatus for measuring optical and acoustical quantities Exposure meters, thermocalorimeters and other measuring instruments used in photography and cinematography. Potentiometers and bridges. Graph recorders and other recorders not elsewhere specified. Instrumentation tape recorders. Accessories and Parts for Control Instrumentation Accessories, parts and spare parts for control and instrumentation. MEDICAL INDUSTRIAL Medical Equipment X-ray Medical Equipment Apparatus based on the use of X-Rays for diagnostic and therapeutic medical and dental purposes, inc. scanners. Industrial X-Ray Equipment Apparatus based on the use of X-Rays for other then medical or dental purposes. Medical Radiation Equipment Medical apparatus based on the use of radiations from radioactive substances. Industrial Radiation Apparatus based on the use of radiations from radioactive Equipment substances for other than medical use. Electrocardiographs Other Electromedical Equipment Patient monitoring equipment. Electromedical therapeutic apparatus. Electromedical diagnostic apparatus. Diathermic apparatus. Infra-red and ultraviolet ray apparatus. Electroencephalographs. Pacemakers, for stimulating heart muscles and other similar apparatus. Other electromedical apparatus other than radiological. Hearing Aids Hearing aids with transistor amplifications. Industrial Equipment Railway Signalling Electronic and electrical traffic control and signalling equipment. Equipment for railways. Other Traffic Signalling Electronic and electrical traffic control equipment for roads, Equipment inland waterways and port installations. Security Fire Alarms Electronic and electrical, burglar, fire and similar security alarms and related equipment. Other Signalling Equipment Other electronic and electrical sound or visual signalling apparatus such as bells, sirens, buzzers, indicator panels inc. motor vehicle and civil aircraft signalling equipment. Induction and Dielectric Induction and dielectric heating equipment inc. furnaces Equipment and microwave catering ovens. RADIO COMMUNICATIONS incl mobiles RADAR Radar Radar apparatus for military, civil and meteorology. Navigational Aids Ground radio navigational aids. Electronic meteorological, hydrological and geophysical instruments and apparatus. Shipborne radio navigational aids. Electronic marine or river navigational instruments and apparatus. Airborne radio navigational aids, inc. radio navigational receivers, radio altimeters, inertia navigation systems and ground proximity warning systems. Electronic aeronautical or space navigational instruments and apparatus. Radio Communications For radio-telephony and radio telegraphy for ground, Transmission apparatus shipborne, airborne inc. those for use in civil aircraft. Radio Communications Reception Apparatus For radio-telephony and radio telegraphy for ground, shipborne, airborne inc. those for use in civil aircraft. Transceivers combined Transmitter-Receivers Ground strategic and tactical communications units, two-way mobile radios, handheld and citizen band types, shipborne, airborne inc. those for use in civil aircraft. Mobile Radio Telephones Cellular and other mobile radio telephones. Pocket Pagers Receivers for paging or calling. Public Broadcasting Transmitters Radio and television transmitters for public broadcasting. Public Broadcast Other Radio and television relay links. Television cameras for professional use domestic video cameras and camera recorders are listed under consumer sector. Closed circuit television. Other Communications Military Equipment Other transmitters, transceivers and receivers not elsewhere specified, inc. radio remote control apparatus and other airborne electronic equipment. Accessories and Parts Accessories, parts and spare parts for communications apparatus and equipment including other equipment not elsewhere specified. TELECOMMUNICATIONS Switching Equipment Telephonic and telegraphic switching apparatus including telephone exchange equipment. Facsimile Equipment Facsimile machines. Transmission Equipment Apparatus for carrier-current line systems or digital line systems, for line telephony or line telegraphy incl modems except those used for computer links only. Telephone Sets Telephone sets for line telephony incl. cordless handsets, videophones mobile radio telephones are included in Radio Communications section. Telephone Answering Telephone answering machines incorporating a sound Machines reproducing device. Other Telecommunications Equipment Teleprinters and other electrical apparatus for line telephony or line telegraphy incl entry phone systems not elsewhere specified. Accessories Parts Accessories, parts and assemblies for line telephony and line telegraphy apparatus and equipment. CONSUMER Consumer Video Colour Television All sizes inc. colour receivers incorporating VCR or radio broadcast receivers and colour receivers incorporating teletext andor viewdata or similar information systems, video monitors, television projection equipment. Monochrome Television All sizes inc. monochrome receivers incorporating radio broadcast receivers. Video RecordersDVD players Television image and sound recorders and reproducers and video disc players incl DVD players. Video Cameras and Camera Combinations Cameras for use with domestic video recorders, recorder camera combinations in one case camcorders, security cameras. Tuners Satellite Receivers Video tuners including satellite receivers. Consumer Audio Portable Audio Battery operated radios and portable radio recorders with or without a clock, AM and FM, stereo and mono types incl those with a CD player. Includes new portable audio players. Mains Audio Equipment Clock Radios, mains table radios, radiorecord players, radiotape players, music centres inc. tuners and tuner amplifiers and all kit forms for subsequent assembly incl those with a CD. Car Audio Car radios and car radiotape player combinations, AM and FM stereo and mono types incl those with a CD player. Compact Disc Players Players with laser optical reading system, portable CD players. Other Audio Equipment Tape recorders inc. portable cassette, and open reel recordersreproducers, cassette and open reel decks. Telephone answering machines are not included see Telecommunications section. Record players withwithout automatic changing mechanisms inc. record decks. Consumer Personal ElectricElectronic Watches Pocket watches, wrist watches and other electricelectronic watches. ElectricElectronic Clocks Clocks with watch movements inc. those with a piezo quartz crystal regulation device. Electric clock systems. Battery operated alarm, wall clocks, other mains operated. Electronic Flashlights Discharge lamp electronic flashlight apparatus. COMPONENTS Active Components Colour Television Tubes All sized colour television picture cathode ray tubes. Monochrome Television Tubes All sized monochrome television picture cathode ray tubes. X-Ray Tubes Electronic tubes for use in X-Ray equipment. Other Valves Tubes Television camera tubes, image converters or intensifiers, other photocathode tubes, magnetrons, klystrons, travelling wave tubes, other microwave tubes, receiving amplifier valves tubes, vacuum fluorescent display tubes, datagraphic display tubes, other display tubes. All other valves tubes. Diodes Signal diodes, power rectifiers voltage reference and regulation diodes, microwave and photosensitive, light emitting diodes. Transistors Germanium and silicon inc. small signal, power and FETs field effect transistors. Thyristors Thyristors, diacs and triacs. Photoelectric Cells Photocells . Piezoelectric Crystals Mounted piezoelectric crystals. Other Discrete Other discrete semiconductors incl. Semiconductors, photocells and piezoelectric crystals not elsewhere specified. Integrated Circuits Cards, smart cards Integrated Circuits, Linear Amplifiers, regulators, interfaces, other analogue; incl chips but not wafers. Integrated Circuits,Digital Memories, microprocessors, logic circuits, other digital, incl. chips but not wafers. Integrated Circuits, Hybrids Hybrid integrated circuits. Integrated Circuits, Other Other integrated circuit and microcircuits. Passive Components Electrolytic capacitors Aluminium and tantalum fixed capacitors. Other Fixed capacitors Ceramic single layer, ceramic multilayer, paper, plastic, other fixed capacitors; power capacitors. Variable Capacitors Variable and pre-set capacitors. Fixed Resistors Fixed carbon, composition, film and other excl. heating resistors. Variable Resistors Variable resistors, rheostats and potentiometers. Multi-Pin and RF Connectors PCB Connectors, coaxial connectors, rack panel connectors, other multipin connectors. Other Connection Devices Plugs and sockets. Other electrical apparatus for making connections to or in electrical circuits for a voltage not exceeding 1000 V. Small Transformers, Coils Other inductors Transformers not exceeding 1kVA. Inductors excl. ballasts discharge tubes. Relays Relays. Switches Isolating and make and break switches, Other Switches. Printed Circuits Boards Printed circuits boards consisting only of conductor elements and contacts. Printed circuits boards with other passive elements PCBs with components, i.e. stuffed boards, are excluded. Other Components Microphones Microphones and stands for use with domestic hi-fi systems and professional applications. Loudspeakers Loudspeaker for use with domestic and motor vehicles, and for professional applications. Amplifiers Audio frequency amplifiers, sound amplifier sets for use with domestic hi-fi and professional applications. Aerials Telescopic and whip aerials for portable apparatus and for apparatus fitted in motor vehicles. Outside and inside aerials for radio or television broadcast receivers Inc. built-in types and reception via satellite. Other aerials. Unrecorded Media Magnetic tapes audio, video, cassette and other computerinstrumentation tape, not recorded. Magnetic film, not recorded. Magnetic discs, rigid and other,not recorded. Other unprepared media. Cabinets for Radios, TV Professional Comms Equipment Cabinets of wood or other materials. Accessories Parts for Consumer Equipment Accessories, parts and spare parts inc. parts for: Microphones, loudspeakers and amplifiers. Domestic television receivers and terminal units. Domestic and portable radio receivers tuners etc. Record players, tape recorders and video recorders inc. sound. heads and parts, needles all types whether or not mounted and parts of base metal. Sumber : Parson et al. 2007 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Nila Fridhowati lahir pada tanggal 7 April 1984 di Tanjung Karang, sebuah kota yang pernah menjadi ibukota Provinsi Bandar Lampung. Penulis anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Suparman, S.Sos dan Tutik Wijayati. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Xaverius No 2 Tanjung Karang, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Bandar Lampung dan lulus tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 2 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik dan lulus pada tahun 2006. Penulis kemudian ditugaskan sebagai CPNS di BPS Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Tahun 2009 penulis pindah tugas ke Direktorat Pengembangan Metodologi Desain dan Survei Badan Pusat Statistik di Jakarta. Tahun 2011, penulis memperoleh beasiswa S2 kerjasama antara BPS dan IBP. Saat ini penulis sudah menyelesaikan program Pascasarjana Ilmu Ekonomi FEM IPB. DAMPAK NON TARIFF MEASURES NTM ASEAN TERHADAP ARUS PERDAGANGAN SEKTOR ELEKTRONIKA INDONESIA NILA FRIDHOWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Non Tariff Measures NTM ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Nila Fridhowati NIM. H151114184 RINGKASAN NILA FRIDHOWATI. Dampak Non Tariff Measures NTM ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesaia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI dan ALLA ASMARA. Sejak terbentuk General Agreement on Tariffs and Trade GATT pada tahun 1948, terjadi penurunan tarif yang cukup signifikan. Fokus perdagangan bergeser ke arah non-tariff measures NTMs. Semakin meluasnya penggunaan NTM di kawasan ASEAN akan berdampak pada perdagangan regional dan akan menyulitkan terbentuknya ASEAN Economic Community pada tahun 2015. Sektor elektronika, yang merupakan sektor potensial di Indonesia menjadi salah satu sektor yang terkena dampak implementasi NTM. Penelitian ini menyajikan gambaran mengenai perdagangan elektronika Indonesia dan implementasi NTM di ASEAN. Tujuan utama penelitian ini untuk menganalisis dampak NTM ASEAN terhadap perdagangan sektor elektronika Indonesia. Dua pendekatan yaitu inventory approach dan econometric approach digunakan untuk estimasi model cross sectional gravity. Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber yaitu BPS, WITS, WDI, Doing Bussiness, UNCTAD, dan publikasi internasional. Perdagangan elektronika terbesar di Indonesia adalah perdagangan pada komoditi component dengan Singapura sebagai mitra dagang yang paling dominan. Letak Indonesia dan Singapura memungkinkan terjadinya integrasi produksi pada industri elektronika. Kerjasama Indonesia dan Singapura yang dituangkan dalam kerangka pembentukan Free Trade Zone Batam Bintan Karimun memiliki potensi yang cukup besar namun belum dikembangkan secara optimal. Negosiasi kembali kerjasama, perbaikan infrastruktur, kelembagaan penunjang perdagangan dikawasan tersebut perlu dilakukan. Indonesia merupakan negara yang paling protektif dalam perdagangan sektor elektronika. Indonesia lebih banyak menggunakan kebijakan yang melindungi produsen lokal, sedangkan negara ASEAN lainnya lebih banyak menggunakan kebijakan yang melindungi konsumen lokal yang terkait standar kualitas, prosedur, labeling, packaging, dan sertifikasi. Jenis NTM yang paling banyak digunakan di ASEAN adalah non automatic licensing dan technical regulation yang banyak digunakan pada component dan consumer product. Hasil empiris menunjukkan bahwa secara keseluruhan NTM ASEAN tidak mempengaruhi arus perdagangan elektronika Indonesia. Namun, jika NTM didisagregasi menjadi core dan non core measures, hasil penelitian menunjukkan peningkatan core measures akan mengurangi perdagangan dan peningkatan non core measures akan meningkatkan perdagangan sektor elektronika. Kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah pengembangan industri elektronika dengan mengutamakan kualitas, desain dan inovasi produk, serta memperluas penyediaan fasilitas uji laboratorium untuk pengujian standarisasi dengan biaya administrasi yang murah untuk meningkatkan daya saing produk ekspor elektronik Indonesia. Kata Kunci : kebijakan non tarif, elektronika, core dan non core measure, gravity, inventory approach, frequency index dan coverage ratio SUMMARY NILA FRIDHOWATI. Impact of Non Tariff Measures NTM ASEAN on Indonesian Electronics Trade. Supervised by RINA OKTAVIANI and ALLA ASMARA. As tariffs have fallen in the years since the General Agreement on Tariffs and Trade GATT was established in 1948, attention has progressively shifted towards non-tariff measures NTMs. Pervasiveness non-tariff measures in ASEAN region will impact on regional trade and difficult for the establishment of ASEAN Economic Community by 2015. Electronics sector, which is a potential sector in Indonesia will be one of the sectors affected by the implementation of non-tariff measures. This research provides a brief of Indonesian electronics trade and implementation of NTM in ASEAN. The main purpose of this study is to analyze the impact of ASEAN’s NTM on Indonesian electronics trade flows. Two approaches are used; the inventory approach and the econometric approach which makes use of the cross sectional gravity model. This research use secondary data which is collected from BPS, WITS, WDI, Doing Bussiness, UNCTAD, dan international publication. The bigest electronics trade in Indonesia comes from component product with Singapura as a dominant trade partner. Indonesia and Singapure can join integration in production electronics because of their location. Indonesia- Singapura agreement on Free Trade Zone Bintan Batam Karimun haven’t optimal yet so need review in negotiation, infrastructure and institution development. Indonesia is the most protective country in electronics trade. Indonesia use more NTM for pretecting local producer while other ASEAN country use more NTM for protecting local consumers such as labelling, packaging, standardize, and sertification requirement. Non automatic licensing dan technical regulation is used by almost all country in ASEAN to protect component dan consumer product . The empirical results show that the overall ASEAN’s NTM does not affect Indonesian electronics trade flows. However, if NTM is disagregated into core and non core measure, the results showed that increase in core measure would reduce trade flows and increase in non core measure would increase Indonesian electronics trade flows. Government should develop electronics industry by focusing in quality, design and, inovation product. Government should provide testing laboratorium with cheaper administration cost to increase Indonesian export competitiveness. Keywords: non tariff measures, electronics trade, core and non core measure, gravity models, inventory approach, frequency index and coverage ratio © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi DAMPAK NON TARIFF MEASURES NTM ASEAN TERHADAP ARUS PERDAGANGAN SEKTOR ELEKTRONIKA INDONESIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 NILA FRIDHOWATI Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS Judul Tesis : Dampak Non Tariff Measures NTM ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia Nama : Nila Fridhowati NIM : H151114184 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS Ketua Dr Alla Asmara, SPt MSi Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 31 Juli 2013 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa t a’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah kebijakan perdagangan, dengan judul Dampak Non Tariff Measures NTM ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Ibu Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS dan Bapak Dr Alla Asmara, SPt MSi yang telah memberikan bimbingan dari awal hingga akhir dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada suamiku tercinta, Argo Dwipa, SE.As dan putraku M. Farhan Raditya Argo yang telah memberikan dukungan, doa, dan kasih sayangnya kepada penulis serta rekan-rekan kuliah kelas khusus BPS S2 IPB Batch 4 yang telah terus memberikan semangat hingga selesainya tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2013 Nila Fridhowati DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN viii 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Permasalahan 5 Tujuan Penelitian 6 Manfaat Penelitian 6 Ruang Lingkup 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 8 Hambatan Perdagangan 8 Hambatan Tarif 8 Hambatan Non Tarif 8 Non Tariff Measures 8 Faktor-faktor Penunjang Perdagangan 13 Gross Domestic Product Produk Domestik Bruto 13 GDP Negara Lain dan Exchange Rate 14 Jarak Ekonomi 14 Dampak Kebijakan Hambatan Non Tarif 14 Model Gravity 15 Analisis Regresi Linier Berganda 16 Penyimpangan terhadap Asumsi Regresi 17 Pengujian Parameter Model 18 Uji Koefisien Determinasi 18 Uji Elastisitas 19 Kajian Penelitian Terdahulu 19 Kerangka Penelitian 20 Hipotesis 20 3 METODOLOGI PENELITIAN 21 Jenis dan Sumber Data 21 Metode Analisis 22 Analisis Deskriptif 22 Analisis Model Cross Sectional Gravity 23 Definisi Variabel Operasional 24 4 GAMBARAN UMUM 25 Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia 25 Produksi dan Pasar 25 Produksi Komoditi Potensial 26 Pasar Komoditi Potensial 28 Peta Perdagangan Elektronika Indonesia di ASEAN 29 Kinerja Perdagangan Indonesia terhadap ASEAN 31 Non Tarif Measures Sektor Elektronika ASEAN 38 Incidence of NTM 38 Frequency Index 42 Coverage Ratio 44 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 46 Pengujian Model Cross Sectional Gravity 46 Uji Kelayakan dan Kecocokan Model Goodness of fit 46 Uji Asumsi Dasar 46 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Arus Perdagangan Sektor Elektronika 47 Pendapatan Perkapita Negara Pengekspor 47 Produksi 48 Pendapatan Perkapita Negara Pengimpor 48 Nilai Tukar Riil 48 Biaya Perdagangan 49 Kebijakan non tarif 49 Dampak NTM ASEAN terhadap Arus Perdagangan Sektor Elektronika Indonesia 50 Core Measures 50 Non Core Measure 51 Tantangan Sektor Elektronika Indonesia 52 Standardisasi Produk 52 Single Market and Production AEC 2015 54 Strategi Pengembangan Industri Elektronika Nasional 55 6 SIMPULAN DAN SARAN 57 Simpulan 57 Implikasi Kebijakan 57 Saran 58 DAFTAR PUSTAKA 59 LAMPIRAN 62 RIWAYAT HIDUP 88 DAFTAR TABEL 1 Kinerja impor dan ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN pada lima komoditi utama tahun 2007 dan 2011 5 2 Klasifikasi NTM UNCTAD 9 3 Jenis dan sumber data yang digunakan 21 4 Produksi, pasar, share terhadap perdagangan ASEAN dan dunia tahun 2007, 2009, dan 2011 25 5 Nilai produksi, persentase produksi, kontribusi produksi terhadap produksi ASEAN, dan kontribusi produksi Indonesia terhadap produksi dunia berdasarkan jenis komoditi tahun 2011 27 6 Nilai pasar, persentase pasar, kontribusi pasar terhadap pasar ASEAN, dan kontribusi pasar Indonesia terhadap pasar dunia berdasarkan jenis komoditi tahun 2011 28 7 Produksi elektronika negara-negara ASEAN tahun 2011 30 8 Pasar elektronika negara-negara ASEAN tahun 2011 31 9 Kinerja perdagangan Indonesia terhadap ASEAN 32 10 Nilai ekspor tertinggi Indonesia terhadap ASEAN tahun 2011 32 11 Nilai impor terbesar Indonesia terhadap ASEAN tahun 2011 33 12 Neraca perdagangan Indonesia terhadap Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand Tahun 2011 38 13 NTM pada sektor elektronik di negara ASEAN 39 14 Jumlah pemberlakuan NTM berdasarkan negara, jenis NTM, dan jenis produk tahun 2009 40 15 Jumlah NTM berdasarkan jenis komoditi dan jenis kebijakan tahun 2009 41 16 Frequency Index berdasarkan negara dan delapan komoditi elektronika tahun 2009 43 17 Hasil estimasi dampak NTM 47 DAFTAR GAMBAR 1 Skor tarif dan skor NTM di kawasan ASEAN skala 0-100 tahun 2011 3 2 Persentase jumlah NTM berdasarkan komoditi di kawasan ASEAN tahun 2009 4 3 Perkembangan produksi dan perdagangan elektronika tahun 2007, 2009, dan 2011 5 4 Klasifikasi core dan non core NTM UNCTAD 11 5 Klasifikasi baru NTM UNCTAD 12 6 Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap welfare 15 7 Kriteria pengujian autokorelasi dengan Uji Durbin Watson 17 8 Kerangka Pemikiran 20 9 Nilai produksi berdasarkan jenis produk tahun 2007, 2009, dan 2011 27 10 Nilai pasar elektronika berdasarkan jenis produk tahun 2007, 2009, dan 2011 29 11 Persentase produksi dan pasar elektronika negara-negara ASEAN tahun 2011 29 12 Ekspor delapan komoditi elektronika Indonesia tahun 2011 34 13 Jumlah perusahaan industri component di Provinsi Kep. Riau tahun 2004 – 2010 35 14 Proporsi penggunaan input bahan baku lokal dan bahan baku impor pada industri komponen elektronika di Provinsi Kepulauan Riau 36 15 Impor delapan komoditi elektronika Indonesia tahun 2011 37 16 Proporsi bahan baku lokal dan bahan baku impor industri komponen elektronika Indonesia tahun 2001-2010 37 17 Frequency index elektronika negara-negara ASEAN tahun 2009 42 18 Frekuensi Index core measures dan non core measures pada sektor slektronika negara-negara ASEAN tahun 2009 44 19 Coverage Ratio produk ekspor elektronika Indonesia ke negara- negara ASEAN tahun 2009 44 20 Coverage Ratio produk impor elektronika Indonesia dari negara- negara ASEAN tahun 2009 45 DAFTAR LAMPIRAN 1 Klasifikasi NTM 62 2 Definisi NTM 66 3 NTM pada Sektor Elektronik di Negara ASEAN 68 4 Penelitian Terdahulu 70 5 Hasil Estimasi 75 6 Uji Mormalitas 76 7 Uji Multikolinieritas 77 8 Klasifikasi Data Elektronika 78 9 Cakupan Data Elektronika 81 DAFTAR SINGKATAN ACFTA : ASEAN-China Free Trade Area AD : Antidumping AEC : ASEAN Economic Community AFTA : ASEAN Free Trade Area ASEAN : Assosiation of South-East Asian Nations BLUE : Best Unbiased Linear Estimation BPS : Badan Pusat Statistik BSN : Badan Standardisasi Nasional CEPT : Common Effective Preferential Tariff DW : Durbin-Watson FTA : Free Trade Agreement FTZ : Free Trade Zone GATT : General Agreement on Tariff and Trade GDP : Gross Domestic Bruto HS : Harmonize Systems IDN : Indonesia IHK : Indeks Harga Konsumen MAL : Malaysia NTB : Non Tariff Barrier NTM Non Tariff measures PDB : Produk Domestik Bruto PHI : Filipina ROW : Rest of The World SIN : Singapura SITC : Standard International Trade Clasification SNI : Standar Nasional Indonesia SPS : Sanitary and Phitosanitary TBT : Technical Barrier to Trade TCMCS : Coding System of Trade Control Measures THA : Thailand TRAINS : Trade Analysis and Information System UNCTAD : United Nations Conference on Trade and Development WDI : World Development Indicators WEF : World Economic Forum WITS : World Integrated Trade Solution WTO : World Trade Organization 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan bebas free trade bertujuan untuk memaksimalkan output dunia dan keuntungan bagi setiap negara yang terlibat didalamnya. Perdagangan dapat memberikan keuntungan bagi negara-negara yang yang terlibat didalamnya karena negara tersebut akan berspesialisasi untuk menghasilkan komoditi secara efisien Salvatore 1997. Perdagangan bebas tanpa hambatan akan memberikan dampak kesejahteraan yang lebih baik. Perdagangan internasional juga menciptakan peluang bagi industri dalam negeri untuk memperluas wilayah pemasaran sehingga dapat mengembangkan usahanya. Sejak terbentuk General Agreement on Tariffs and Trade GATT pada tahun 1948 dan World Trade Organization WTO sebagai organisasi dunia yang mengatur perdagangan internasional pada tahun 1995 memberikan dampak yang berarti terhadap pertumbuhan perdagangan. Berbagai putaran perundingan dilaksanakan dengan kesepakatan menciptakan perdagangan bebas di masa depan. Putaran perundingan yang terakhir yaitu Doha Round menyepakati penurunan hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif. Selama hampir dua dekade, negosiasi perdagangan antar negara sudah berhasil membantu menurunkan tarif. Berdasarkan database United Nations Conference on Trade and Development UNCTAD, Trade Analysis and Information System TRAINS, rata-rata tarif komoditi agricultural and non-agricultural menurun dari 19.9 persen dan 6.7 persen pada tahun 1995 menjadi 7.4 persen dan 2.4 persen pada tahun 2008 Basu et al . 2012. Namun krisis ekonomi yang terjadi pada akhir tahun 2008 yang ditandai oleh perlambatan ekonomi global membuat beberapa negara cenderung mengamankan perekonomian domestik dengan menerapkan berbagai proteksi WTO 2012. Kee et al. 2010 mengkaji pemberlakuan kebijakan perdagangan selama terjadi krisis global. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa selama periode krisis 2008-2009 hanya sedikit negara yang menggunakan kebijakan tarif dan kebijakan antidumping AD untuk menghadapi krisis tersebut. Penghitungan dampak tarif dan AD menunjukkan bahwa keduannya hanya menurunkan impor tidak lebih dari 2 persen padahal hasil estimasi WTO pada periode tersebut terjadi kontraksi impor sebesar 24 persen. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada indikasi terjadinya perubahan dalam kebijakan perdagangan. Salah satu alasan negara tidak memilih tarif sebagai instrumen kebijakan yaitu adanya kerjasama bilateral dan regional yang membatasi penggunaan kebijakan perdagangan tradisional seperti tarif sehingga akhirnya negara lebih meningkatan pemberlakuan kebijakan non tariff Non Tariff Measures. Hal ini dapat menjelaskan bahwa sejak tahun 2009, baik negara maju maupun negara berkembang mulai menggunakan instrumen kebijakan perdagangan untuk menghadapi krisis ekonomi global dan krisis finansial. Negara-negara tersebut menggunakan alasan tertentu seperti perlindungan kesehatan dan lingkungan untuk melegitimasi proteksi. Sehingga isu perdagangan yang semula menurunkan hambatan tarif bergeser ke arah Non Tarif Mesures NTM. Definisi NTM menurut UNCTAD adalah langkah-langkah kebijakan selain tarif yang secara potensial memiliki dampak ekonomi pada perdagangan barang internasional, mengubah kuantitas perdagangan, atau harga, atau keduanya UNCTAD 2013. Berbeda dengan Non Tariff Barrier yang merupakan kebijakan yang melanggar hukum perdagangan internasional, NTMs merupakan langkah- langkah kebijakan yang memiliki efek membatasi perdagangan tanpa melanggar hukum perdagangan internasional. NTM mencakup berbagai macam kebijakan yang terkait sanitary and phytosanitary measures SPS, technical barrier to trade TBT , quotas, import and export licences, export restrictions, customs surcharges, and anti-dumping and safeguard measure. Hasil laporan WTO pada tahun 2012 memperlihatkan pergeseran penerapan NTM sejak tahun 1968 sampai dengan 2005 yang semula lebih banyak menerapkan specific limitations dan charge on import menjadi lebih luas lagi pada technical barrier to trade serta custom and administrative procedures to entry. Penerapan NTM akan berdampak pada penurunan ekspor negara-negara yang melakukan perdagangan. Penurunan ekspor tersebut akan mengurangi volume perdagangan sehingga akan ada potensial ekspor yang hilang. Andriamananjara et al. 2004 mengukur NTM dan menganalisis dampak penerapan NTM terhadap world trade dan welfare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa liberalisasi NTM akan meningkatkan perdagangan dunia dan global welfare . Wall 1999 melakukan estimasi cost of protection dari diberlakukannya kebijakan perdagangan di Amerika Serikat AS dan menyimpulkan bahwa proteksi impor yang dilakukan Rest of The World ROW akan mengurangi ekspor AS dan begitu pula sebaliknya. Proteksi yang dilakukan oleh AS menurunkan impor AS dan menyebabkan berkurangnya kesejahteraan. Pemberlakuan proteksi di banyak negara dalam bentuk NTM akan memberikan kerugian bagi produsen baik dalam negeri maupun luar negeri. Proteksi impor akan membuat negara pengimpor dirugikan dalam hal kompetisi di pasar domestik sehingga volume perdagangan akan berkurang. Negara pengekspor dan negara pengimpor akan kehilangan keuntungan dari perdagangan internasional. Isu NTM tidak hanya ada di negara-negara maju seperti Amerika Serikat tetapi juga terjadi di negara-negara kawasan timur ASIA serta negara-negara di kawasan Asia Tenggara ASEAN. ASEAN menunjukkan perhatian yang lebih terhadap NTM dengan diwajibkannya seluruh anggota ASEAN untuk melaporkan semua kebijakan perdagangan terkait NTM. Transparansi kebijakan perdagangan ini merupakan komitmen negara anggota ASEAN yang terikat pada perjanjian kerjasama bilateral dan regional. Kerjasama di kawasan ASEAN sudah menyepakati pembentukan ekonomi yang terintegrasi agar dapat bersaing dalam menghadapi keterbukaan perdagangan. Integrasi ekonomi ASEAN yang dikenal dengan Asean Free Trade Area AFTA. AFTA terbentuk pada tahun 1992 dengan Common Effective Preferential Tariff CEPT sebagai mekanisme utama dan akan berakhir dengan terbentuknya ASEAN Economic Comunity AEC pada tahun 2015. Komitmen pengurangan tarif sudah ditunjukkan oleh negara-negara di kawasan ASEAN dengan penurunan tarif impor sampai dengan 0-5 persen pada tahun 2002 untuk komoditi tertentu dan menurunkan tarif sampai 0-5 persen untuk seluruh komoditi kategori Inclusion List IL pada 1 Januari 2010 bagi ASEAN-6, dan 2015-2018 bagi ASEAN-4 Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam - CLMV. Komitmen menghilangkan hambatan perdagangan dalam bentuk non tarif dituangkan pada pertemuan ke-21 AFTA Council tanggal 23 Agustus 2007 yang tujuannya adalah tercapainya kemajuan yang cukup signifikan mengenai implementasi Work Programme on Elimination of Non-Tariff Barries NTBs , revisi mengenai CEPT AFTA Rules of Origin, dan memfasilitasi perdagangan di kawasan. Penghapusan terhadap hambatan non tarif juga tercantum dalam Cetak Biru AEC, yaitu negara anggota ASEAN sepakat memberikan fokus utama pada implementasi penuh penghapusan NTBs menuju ASEAN 2015. Namun, pelaksanaan program kerja penghapusan hambatan non tarif dipandang tidak maksimal. Beberapa negara ASEAN hanya menghapuskan hambatan non tarif yang tidak bersifat high impact terhadap perdagangan intra ASEAN dan negara- negara anggota ASEAN lainnya Kemendag 2011. Sehingga sampai saat ini ASEAN masih menekankan pentingnya penghapusan hambatan nontarif dan mengedepankan kebijakan non tarif yang lebih fasilitatif terhadap perdagangan yang pada akhirnya mendukung terwujudnya single market and production based yang diterapkan di ASEAN. Sumber : World Economic Forum 2012 Gambar 1. Skor tarif dan skor NTM di kawasan ASEAN skala 0-100 tahun 2011. Data WEF dalam publikasi Global Enabling Trade Report GETR 2012 menunjukkan bahwa negara-negara di ASEAN cenderung meningkatkan penggunaan kebijakan non tarif. Rata-rata skor NTM negara-negara di kawasan ASEAN meningkat dari tahun 2009 sebesar 35.5 skala 0-100 menjadi 47.5 pada tahun 2010. Pada tahun 2011 rata-rata skor NTM turun menjadi 43 namun masih lebih tinggi dibandingkan tahun 2009. Dibandingkan dengan tarif, penggunaan non tariff measures di ASEAN menunjukkan nilai yang lebih tinggi. Pada Gambar 1 terlihat bahwa data tahun 2011 rata-rata skor tarif negara-negara di ASEAN sebesar 4.2 sedangkan rata-rata skor NTM di kawasan tersebut mencapai 43. NTM terbanyak diterapkan di Filipina mencapai 75.3 dan paling sedikit di Malaysia sebesar 4.7. NTM di ASEAN paling banyak digunakan pada komoditi produk kimia 21 persen, mesin dan elektronika 18 persen, dan bahan makanan 14 persen seperti terlihat pada Gambar 2. Kebijakan non tarif yang diterapkan pada komoditi produk kimia sebagian besar bertujuan untuk menghindari masuknya bahan-bahan kimia berbahaya termasuk obat-obatan terlarang yang tidak baik untuk kesehatan manusia dan lingkungan. Pada komoditi mesin dan elektronika non tariff measures yang digunakan dapat berupa aturan standar keselamatan. Sedangkan pada komoditi bahan makanan, beberapa negara melakukan persyaratan yang berkaitan dengan kualitas produk seperti packaging dan product certification. 6,0 4,6 4,2 0,0 6,4 16,6 40,9 75,3 29,1 53,9 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 p e rsen tase Negara Tarif NTM Penggunaan kebijakan non tarif dalam bentuk NTM di ASEAN menyebabkan kekhawatiran terhadap penurunan ekspor negara-negara di kawasan tersebut termasuk Indonesia. Sumber: ASEAN, diolah Gambar 2. Persentase jumlah NTM berdasarkan komoditi di kawasan ASEAN tahun 2009 Kinerja perdagangan Indonesia selama lima tahun terakhir pada lima komoditas utama menunjukkan bahwa terjadi peningkatan impor yang lebih besar dibandingkan peningkatan ekspor. Peningkatan ekspor Indonesia cukup tinggi yaitu sebesar 44 persen selama tahun 2007-2011 pada kelompok komoditi mineral. Kelompok komoditi ini merupakan komoditi yang sebagian besar dihasilkan oleh kegiatan pertambangan sehingga dalam jangka panjang komoditi ini dikhawatirkan akan mengalami penurunan seiring dengan semakin menipisnya cadangan sumber daya alam Indonesia. Nilai ekspor tertinggi kedua yaitu Mesin dan Elektronika. Namun ekspor kelompok komoditi ini hanya meningkat sebesar 7.12 persen selama tahun 2007-2011. Kondisi ekspor komoditi ini sangat berbeda dengan kondisi impornya. Impor Mesin dan Elektronika Indonesia meningkat sangat tajam yaitu sebesar 90.81 persen. Hal ini menunjukkan derasnya arus perdagangan mesin dan elektronika dari ASEAN ke Indonesia. Kinerja perdagangan Indonesia dapat ditingkatkan dengan mendorong peningkatan ekspor pada komoditi industri yang potensial. Lord et al. 2010 menyatakan bahwa sektor elektronika merupakan sektor penyumbang terbesar pada ekspor industri di Indonesia. Jumlah ekspor elektronika mendekati satu per lima dari total ekspor industri Indonesia. Sektor elektronika merupakan sektor yang sangat penting bagi Indonesia. Pentingnya sektor elektronika sebagai suatu komoditi yang dinilai potensial untuk dikembangkan di Indonesia dan banyaknya penerapan non tariff measures pada komoditi ini di kawasan ASEAN merupakan dasar pemikiran untuk mengangkat penelitian mengenai dampak non tariff measures ASEAN terhadap arus perdagangan Indonesia pada sektor elektronika. Produk Kimia 21 Mesin dan Elektronika 18 Makanan olahan 14 Produk sayuran 8 Hewan dan produk hewan 7 Alat transportasi 7 Logam Dasar 6 Tekstil 2 Plastik dan Karet 2 Kertas 2 lainnya 13 Tabel 1. Kinerja impor dan ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN pada lima komoditi utama tahun 2007 dan 2011 Rupiah Ekspor Impor No Kelompok Komoditi 2007 2011 Trend 2007- 2011 dalam No Kelompok Komoditi 2007 2011 Trend 2007- 2011 dalam 1 Mineral 3316.3 13840.4 44.41 1 Mineral 7248.9 20630.4 44.93 2 Mesin dan Elektronika 4922.1 6238.7 7.12 2 Mesin dan Elektronika 1965.5 9193.2 90.81 3 Logam Dasar 3489.0 4824.1 12.03 3 Alat transportasi 1307.1 3942.6 42.65 4 Lemak Hewani dan Nabati 1188.5 3701.8 36.85 4 Produk Kimia 2188.1 3563.4 19.55 5 Alat transportasi 1113.0 2377.2 26.00 5 Plastik dan Karet 914.5 3389.0 49.34 Sumber : ASEAN, diolah Rumusan Permasalahan Misi pemerintah dalam bidang industri elektronika tahun 2014 adalah terwujudnya industri elektronika sebagai industri andalan masa depan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu target yang ditetapkan pemerintah yaitu meningkatkan penguasaan pasar domestik maupun internasional Kemenperin 2011. Data tahun 2011 menunjukkan bahwa produksi elektronika sebesar 10862 juta US yang tercatat masih lebih rendah dibandingkan dengan besarnya pasar elektronika di Indonesia yang mencapai 13164 juta US . Peningkatan pasar domestik antara tahun 2009 sampai dengan 2011 mencapai 42 persen sedangkan produksi hanya mampu tumbuh sebesar 14 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa pasar domestik semakin berkurang. Rendahnya produksi juga menyebabkan rendahnya penguasaan pasar internasional khususnya di kawasan ASEAN. Sumber: Reed Electronics Research Gambar 3. Perkembangan produksi dan perdagangan elektronika tahun 2007, 2009,dan 2011 9775 9510 10862 6670 9269 13164 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 2007 2009 2011 N il ai ju ta US Tahun Produksi Pasar Data Reed Elektronics Research menunjukkan bahwa pada tahun 2011, produksi elektronika Indonesia hanya sebesar 6 persen terhadap total produksi ASEAN. Produksi Indonesia memiliki kontribusi yang paling kecil diantara negara-negara ASEAN seperti Singapura 34 persen, Malaysia 35 persen, Thailand 17 persen, dan Filipina 8 persen. Rendahnya produksi komoditi elektronika merupakan indikasi bahwa produk Indonesia kalah bersaing dengan produk impor dari negara lain. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya saing produk elektronika adalah kebijakan non tarif. Penggunaan kebijakan non tariff measures oleh negara-negara seperti Singapura, Filipina, dan Malaysia mempengaruhi ekspor Indonesia ke negara- negara tersebut. Kebijakan non tarif yang diimplementasikan di negara-negara kawasan ASEAN termasuk Indonesia menyebabkan terbentuknya hambatan perdagangan dalam bentuk yang baru, sehingga semakin menjauhkan tujuan perdagangan bebas yang sudah disepakati bersama untuk membentuk AEC 2015. Sektor elektronika yang merupakan sektor potensial di kawasan ASEAN akan menjadi salah satu sektor yang terkena dampak dari pemberlakuan non tariff measures. Penggunaan non tariff measures pada sektor elektronika di negara-negara kawasan ASEAN dikhawatirkan akan menurunkan arus perdagangan sektor tersebut di kawasan ASEAN. Pentingnya kajian mengenai dampak non tarif measures terhadap arus perdagangan pada sektor elektronika di kawasan ASEAN memberikan ruang peneliti untuk mengkaji lebih jauh mengenai permasalahan-permasalahan berikut ini: 1. Bagaimana perdagangan sektor elektronika Indonesia? 2. Bagaimana pemberlakuan NTM sektor elektronika di ASEAN? 3. Bagaimana dampak NTM ASEAN terhadap arus perdagangan sektor elektronika Indonesia? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Menganalisis perdagangan sektor elektronika Indonesia 2. Menganalisis pemberlakuan NTM sektor elektronika di ASEAN 3. Menganalisis dampak NTM ASEAN terhadap arus perdagangan sektor elektronika Indonesia. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini antara lain : 1. Memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai kebijakan perdagangan dalam bentuk Non Tariff Measures dan dampaknya terhadap arus perdagangan pada sektor elektronika 2. Memberikan masukan bagi pemerintah terkait dengan kebijakan perdagangan Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian dibatasi pada arus perdagangan Indonesia dengan ASEAN Malaysia, Philipina, Singapura, dan Thailand. Sektor elektronika yang dibahas pada penelitian ini dibagi menjadi delapan kelompok utama yaitu Electronic Data Processing, Office Equipment, Control and Instrumentation, Medical and Industrial Equipment, Radar Comunications and Radar, Telecommunication, Consumer Product , dan Components. Klasifikasi data elektronika berdasarkan kode HS dan SITC dapat dilihat pada Lampiran 8. Daftar produk yang tercakup dalam masing-masing kelompok dapat dilihat pada Lampiran 9. Data yang akan digunakan untuk analisis adalah data tahun 2009. 2 TINJAUAN PUSTAKA Hambatan Perdagangan Perdagangan bebas free trade bertujuan untuk memaksimalkan output dunia dan keuntungan bagi setiap negara yang terlibat didalamnya. Namun dalam kenyataannya hampir setiap negara menerapkan berbagai bentuk hambatan terhadap berlangsungnya perdagangan internasional secara bebas. Bentuk hambatan perdagangan antara lain hambatan tarif dan hambatan non tarif. Salvatore 1997 Hambatan tarif Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Ditinjau dari asal komoditi ada dua jenis tarif yaitu tarif impor dan tarif ekspor. Tarif impor adalah pajak yang dikenakan untuk setiap komoditi yang diimpor dari negara lain. Tarif ekspor adalah pajak untuk komoditi yang dieskpor. Sedangkan ditinjau dari cara penghitungan, tarif dibedakan menjadi tarif ad valorem, tarif spesifik, dan tarif campuran. Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. Tarif spesifik dikenakan sebagai beban dari setiap unit barang yang diimpor. Tarif campuran adalah gabungan dari keduanya. Hambatan non tarif Hambatan non tarif merupakan hambatan perdagangan yang terjadi di era modern dan merupakan bentuk proteksi perdagangan yang lebih kompleks dibandingkan dengan hambatan tarif. Bentuk hambatan non tarif yang sering digunakan adalah kuota impor, pembatasan ekspor secara sukarela dan tindakan anti dumping. Praktek perdagangan yang terjadi pada saat ini, pemerintak melakukan intervensi dalam perdagangan internasional dengan menggunakan instrumen kebijakan lainnya yang lebih kompleks yaitu kebijakan yang menyembunyikan motif proteksi. Instrumen kebijakan yang menonjol antara lain pemberian subsidi ekspor, pembatasan impor, konsep pengekangan ekspor secara sukarela voluntary export restrain, dan persyaratan kandungan lokal local contain requirement . Berbagai proteksi perdagangan non tarif ini dapat diturunkan menjadi serangkaian negosiasi perdagangan multilateral. Perkembangan hambatan non tarif ini kemudian memberikan ruang bagi WTO untuk mendisiplinkan penggunaaanya. WTO kemudian mendefinisikan kebijakan- kebijakan perdagangan non tarif dengan istilah non tariff measures NTM. Non Tariff Measures Sejak tahun 1994, UNCTAD mulai mengumpulkan dan mengklasifikasikan non tariff barriers NTBs berdasarkan Coding System of Trade Control Measures TCMCS. Coding system ini kemudian mengklasifikasikan tariffs, para-tariffs, dan non tariff measures NTMs ke dalam 100 sub kategori. Coding system ini kemudian digunakan untuk membangun database NTM yang disebut database Trade Analysis and Information System TRAINS. Kemudian kerja sama yang dibangun oleh UNTAD dan World Bank mengembangkan TRAINS menjadi system yang dapat diakses oleh peneliti-peneliti di dunia melalui aplikasi software yang disebut World Integrated Trade Solution WITS. UNCTAD mengklasifikasikan NTM berdasarkan 6 kategori utama core categories yaitu price control measures; finance measures; automatic licensing measures ; quantity control measures; monopolistic measure; and technical measures . Rincian klasifikasi NTM dapat dilihat pada Tabel 2 dan lebih rinci pada Lampiran 1. Tabel 2. Klasifikasi NTM UNCTAD Kode Deskripsi 3000 Price Control Measures 3100 Administrative Pricing 3200 Voluntary Export Price Restraint 3300 Variable Charges 3400 Antidumping Measures 3500 Countervailing Measures 3900 Price Control Measures N.E.S. 4000 Finance Measures 4100 Advance Payment Requirements 4200 Multiple Exchange Rates 4300 Restrictive Official Foreign Exchange Allocation 4500 Regulations Concerning Terms Of Payment For Mports 4600 Transfer Delays, Queuing 4900 Finance Measures N.E.S. 5000 Automatic Licensing Measures 5100 Automatic Licence 5200 Import Monitoring 5700 Surrender Requirement 5900 Automatic Licensing Measures N.E.S. 6000 Quantity Control Measures 6100 Non-Automatic Licensing 6200 Quotas 6300 Prohibitions 6600 Export Restraint Arrangements 6700 Enterprise-Specific Restrictions 6900 Quantity Control Measures N.E.S. 7000 Monopolistic Measures 7100 Single Channel For Imports 7200 Compulsory National Services 7900 Monopolistic Measures N.E.S. 8000 Technical Measures 8100 Technical Regulations 8200 Pre-Shipment Inspection 8300 Special Customs Formalities 8400 Return Obligation 8900 Technical Measures N.E.S. Sumber : UNCTAD 2009 Price control measures merupakan kebijakan yang dilakukan untuk mengendalikan harga barang yang diimpor dengan alasan i untuk mempertahankan harga domestik produk tertentu ketika harga impor lebih rendah daripada harga yang berkelanjutan, ii untuk menetapkan harga domestik produk tertentu karena fluktuasi harga di pasar domestik atau ketidakstabilan harga di pasar luar negeri, dan iii untuk melawan dampak buruk yang disebabkan oleh penerapan praktek yang tidak adil dalam perdagangan luar negeri. Administrative pricing adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dari negara pengimpor dengan memperhitungkan harga domestik dari produsen atau konsumen dengan penerapan harga atap celiling price atau harga dasar floor price , atau kembali ke nilai pasar internasional ditentukan. Berbagai istilah digunakan, tergantung pada negara atau sektor, untuk menamakan metode penetapan harga yang berbeda, seperti harga resmi, harga impor minimum atau harga impor dasar. Voluntary Export Price Restrain merupakan kebijakan dimana negara pengimpor negara pengekspor setuju untuk menjaga harga barangnya berada di atas kisaran harga tertentu. Variable charges adalah biaya yang menyebabkan harga barang impor mendekati harga barang produksi domestik sehingga berada pada suatu referensi harga tertentu. Biaya yang dikenakan pada komoditi primer dapat dihitung dari total berat komoditi sedangkan makanan hasil olahan dapat dilakukan sesuai dengan proporsi ketika barang akhir dihasilkan. Antidumping Measure adalah langkah-langkah yang dilakukan suatu negara sebagai tanggapan terhadap adanya keluhan atau pengaduan tindakan dumping negara lainnya. Dumping merupakan penjualan komoditi ke negara lain dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan harga penjualan domestiknya. Countervailing Measures adalah pengenaan pajak impor atau tarif tambahan terhadap produk-produk impor tertentu yang dicurigai memiliki daya saing harga yang lebih rendah karena didukung oleh subsidi ekpor dari negara asalnya. Finance measures merupakan kebijakan yang mengatur akses dan biaya dari foreign exchange untuk impor dan menetapkan terms of payment. Advance Payment Requirements adalah biaya tambahan yang dikenakan terhadap transaksi impor sebagai persyaratan pada saat mengajukan ijin impor. Transfer Delays, Queuing merupakan delay minimum yang diperbolehkan antara waktu pengiriman barang sampai dengan transaksi terakhir, biasanya 90, 180, 360 hari untuk barang konsumsi dan barang input industri serta 2-5 tahun untuk barang modal. Monopolistic measures merupakan kebijakan yang menciptakan situasi monopoli dengan memberikan hak eksklusif kepada kelompok pelaku ekonomi tertentu karena alasan sosial, fiskal, dan ekonomi. Single channel for imports adalah kebijakan dimana seluruh impor atau impor komoditas tertentu harus disalurkan melalui perusahaan pemerintah state own agencies atau state controlled enterprises . Compulsory national services adalah hak eksklusif yang dimiliki pemerintah terkait asuransi nasional dan perusahaan perkapalan pada seluruh atau bagian impor tertentu. Technical measures merupakan kebijakan yang terkait dengan karakteristik produk seperti kualitas, keamanan, termasuk persyaratan administrasi seperti terminologi simbol, testing, packaging, marking dan labeling. Technical regulation merupakan pengaturan terhadap persyaratan teknis terhadap produk yang terkait dengan standar yang bertujuan untuk melindungi human life and helth , animal life and health sanitary, lingkungan dan lain lain. Definisi kebijakan lainnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Klasifikasi NTM yang disusun oleh UNCTAD terbagi menjadi dua bagian yaitu core measures dan non core measures. Core measures berkaitan dengan tujuan untuk melindungi produsen lokal sedangkan non core measures bertujuan untuk melindungi konsumen lokal. Klasifikasi core dan non core measures dapat dilihat pada Gambar 4. Klasifikasi ini kemudian digunakan oleh negara-negara di kawasan ASEAN sebagai dasar untuk pengumpulan data NTM di kawasan ASEAN. Sumber: Basu et al. 2009 Gambar 4. Klasifikasi core dan non core NTM UNCTAD Perkembangan kebijakan non tarif dalam perdagangan internasional di era globalisasi membuat metodologi klasifikasi, penghitungan, dan pengumpulan data NTM yang baru sesuai dengan kondisi yang terjadi di beberapa tahun terakhir. Sehingga pada tahun 2006, sekretariat General established the Group of Eminent Persons on Non-tariff Barriers GNTB membentuk tim yang dinamakan Multi-Agency Support Team MAST untuk menyusun dan memperbarui klasifikasi, metode penghitungan dan pengumpulan data NTM. Definisi NTM yang ditetapkan adalah sebagai berikut: Non-tariff measures NTMs are policy measures, other than ordinary customs tariffs, that can potentially have an economic effect on international trade in goods, changing quantities traded, or prices or both UNCTAD 2013. Non-tariff measures NTM didefinisikan sebagai kebijakan-kebijakan selain tarif yang secara potensial dapat memiliki pengaruh ekonomi pada perdagangan komoditi internasional, mengubah kuantitas perdagangan atau harga atau keduanya. Klasifikasi NTM yang terbaru merupakan perluasan dari klasifikasi NTM yang lama dengan menambahkan beberapa cabang klasifikasi baru seperti kebijakan terkait ekspor seperti subsidi. Kalsifikasi ini membagi NTM menjadi dua bagian yaitu import measures dan export measures. Import measure meliputi Imp o rt mea sure s Core measures Non core measures 3 Price control measures 4 Finance measures kecuali 417 6 Quantity control measures kecuali 617, 627, dan 637 7 Monopolistik measures 5 Automatic licensing measures 8 Technical measures 417 Refundable deposit for sensitive product 617 Non automatic license for sensitive produscts 627 Quota for sensitive products 637 Import prohibition for sensitive produscts technical measures dan non technical measures. Skema klasifikasi baru NTM dapat dilihat pada Gambar 6. Sumber : Basu et al. 2009 Gambar 5. Klasifikasi baru NTM UNCTAD Bagian A merupakan kebijakan yang terkait dengan sanitary and phytosanitary measures SPS yang merupakan kebijakan pembatasan substansi untuk food safety. Bagian ini juga termasuk aturan sertifikasi, testing, dan karantina terkait food safety. Bagian B merupakan technical barrier to trade measures TBT yang terkait labelling, standar spesifikasi dan kualitas, dan kebijakan lainnya yang melindungi lingkungan. Bagian C terkait preshipment inspection . Bagian D merupakan kebijakan untuk melindungi pasar domestik dari tindakan perdagangan negara lain yang tidak adil unfair foreign trade meliputi antidumping , countervailing, safeguard measures. Bagian E dan F merupakan kebijakan perdagangan tradisional meliputi licencing, quotas, dan kebijakan quantity control lainnya termasuk tariff rate quotas. Bagian F merupakan Imp o rt mea sure s Technical measures Non technical measures A Sanitary and phytosanitary measures SPS B Technical barrier to trade TBT C Pre-shipent inspection and other formalities D Price control measures E License, quotas, prohibition dan quantity control F Charges, taxes dan para-tariff measures lainnya G Finance measures H Anti competitive measures I trade-related investment measures J Distribution restrictions K Restrictions on post-sales services M Government procurement restrictions L Sudsidies excluding export subsidies N Intelectual property O Rules of origin P Export-related measures including export subsidies Export measures kebijakan terkait price control measures yang diterapkan untuk mengendalikan harga barang impor. Pada kategori ini juga termasuk kebijakan yang meningkatkan biaya impor para-tariff measures. Bagian G merupakan Finance measures . Bagian H merupakan kebijakan yang mempengaruhi persaingan, terkait dengan kebijakan monopolistik. Bagian I merupakan kebijakan terkait investasi. Kebijakan yang membatasi investasi dengan persyaratan local content atau permintaan investasi yang terkait dengan ekspor untuk menyeimbangkan impor. Bagian J dan K terkait dengan perjalanan produk dan pelayanan yang berhubungan dengan produk setelah diimpor. Hal ini termasuk kebijakan non tarif karena akan mempengaruhi keputusan untuk impor. Bagian K merupakan pembatasan pada post sale service misal adanya pembatasan pada aksesoris. Bagian L, M, dan O terkait dengan behind the border policies. Bagian L meliputi kebijakan terkait subsidi yang mempengaruhi perdagangan. Bagian M adalah government procurement restriction measures . Chapter N merupakan kebijakan pembatasan terkait intellectual property measures and intellectual property rights. Chapter O, kebijakan yang membatasi karena asal produk atau inputnya. Bagian terakhir yaitu Bagian P merupakan kebijakan terkait ekspor meliputi ekspor taxes, export quotas and export prohibitions. Menurut WTO, beberapa alasan pemberlakuan NTM di banyak negara tidak terlepas dari politik ekonomi suatu negara, antara lain : 1. Memperbaiki Market Failure Kegagalan pasar market failure sering menjadi alasan bagi pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap perekonomian. Isu-isu yang berkaitan dengan perlindungan kesehatan dan keamanan bagi konsumen, perlindungan lingkungan dan polusi merupakan alasan yang paling banyak digunakan untuk melegitimasi proteksi. Keinginan suatu negara melindungi infant industry untuk mendukung berkembangnya industri domestik dan berbagai kekuatan monopoli yang dilakukan oleh perusahaan milik negara merupakan alasan berikutnya yang dijadikan dasar untuk melakukan berbagai pembatasan impor. 2. Beggar-thy-neighbour policies Kebijakan perdagangan yang dilakukan oleh sebuah negara juga dilakukan dalam rangka memanipulasi terms of trade melalui NTM. Suatu negara berharap akan memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dari perdagangan dengan adanya perubahan nilai tukar perdagangan. Pemerintah juga dapat menggeser keuntungan yang semula didapat oleh suatu pelaku ekonomi menjadi milik pelaku ekonomi lainnya. Profit-shifting non tariff measures . 3. Equity 4. Political Economy Alasan yang lebih jauh lagi dapat terkait dengan permasalahan strategi politik ekonomi suatu negara. Faktor-faktor Penunjang Perdagangan Gross Domestic Product Produk Domestik Bruto Gross Domestic Product GDP suatu negara adalah ukuran kapasitas untuk memproduksi komoditi ekspor negara tersebut. Kapasitas perekonomian suatu negara terbuka dapat diketahui berdasarkan kurva batas kemungkinan produksinya. Batas kemungkinan produksi adalah sebuah kurva yang memperlihatkan berbagai alternatif kombinasi dua komoditi yang dapat diproduksi oleh sebuah negara dengan menggunakan semua sumberdayanya dengan teknologi terbaik yang dimilikinya. Jika diasumsikan negara memproduksi komoditi ekspor X, apabila terjadi kenaikan GDP, maka suatu negara akan menambah kapasitas negara untuk memproduksi komoditi X untuk kebutuhan domestik dan ekspor. Besar perubahan GDP yang terjadi menggambarkan pertambahan produksi domestik suatu negara. Adanya peningkatan GDP dan asumsi konsumsi masyarakat sama, maka negara akan mengekspor komoditi X menjadi lebih banyak dari sebelumnya. GDP Negara Lain dan Exchange rate ER Ekspor merupakan permintaan luar negeri terhadap barang domestik. Ekspor dipengaruhi oleh foreign income dan real excahange rate. Secara matematis, fungsi ekspor dapat ditulis sebagai berikut: + , - 2.1 2.2 Peningkatan pada foreign income, Y , akan menyebabkan peningkatan ekspor. Semakin tinggi foreign income berarti semaikin tinggi permintaan luar negeri terhadap semua komoditi baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri sehingga menyebabkan peningkatan ekspor. Peningkatan real exchange rate , ϵ, akan menyebabkan penurunan ekspor. Jika nilai tukar riil mengalami apresiasi maka harga komoditi dalam negeri akan lebih mahal dibandingkan harga di luar negeri sehingga menyebabkan penurunan ekspor Blanchard 2005. Jarak Ekonomi Jarak ekonomi adalah indikasi dari biaya transportasi yang dihadapi oleh suatu negara dalam melakukan ekspor. Biaya transportasi adalah salah satu faktor penghambat perdagangan internasional. Jarak meningkatkan biaya transaksi pertukaran barang dan jasa internasional. Semakin jauh terpisah suatu negara dengan yang lain semakin besar pula biaya transportasi pada perdagangan diantara keduanya. Keuntungan yang diterima oleh suatu negara dari perdagangan internasional semakin kecil karena adanya biaya transportasi. Krugman dan Obstfeld 2003 mempertimbangkan jarak kedua negara sebagai determinan penting untuk pola perdagangan geografis. Dampak Kebijakan Hambatan Non Tarif Kebijakan hambatan non tarif yang diberlakukan di hampir semua negara digunakan untuk melindungi sektor tertentu. Di negara maju, umumnya melindungi produk-produk pertanian dan negara berkembang melindungi produk- produk hasil manufaktur. Hambatan seperti quota sering dimanfaatkan untuk memperbaiki neraca pembayaran pembayaran yang defisit. Pemberlakuan hambatan non tarif akan meningkatkan harga produk. Sehingga pada dasarnya proteksi terhadap perdagangan tersebut akan menguntungkan bagi produsen namun merugikan bagi konsumen dan pada akhirnya akan merugikan perekonomian secara keseluruhan Salvatore 1997. Pembatasan impor dengan menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan akan mempengaruhi welfare. Wall 1999 mendeskripsikan dampak pembatasan impor dalam analisis keseimbangan parsial dengan mengilustrasikan supply dan demand suatu negara seperti terlihat dalam Gambar 6. Sumber: Wall 1999 Gambar 6. Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap welfare Jika terjadi perdagangan bebas, barang yang diimpor akan berada pada harga dunia yaitu Pw. Negara akan mengkonsumsi sebesar Q D0 dan produksi sebesar Q S0 . Jumlah yang akan diimpor dari negara lain sebesar Q D0 -Q S0 . Ketika ada proteksi impor maka harga akan meningkat menjadi P M . Sehingga negara tersebut akan produksi sebesar Q S1 dan jumlah impor akan berkurang menjadi Q D1 -Q S1 . Konsumen akan dirugikan karena menanggung harga yang lebih mahal dan produsen diuntungkan dengan peningkatan produksi dengan harga tinggi. Surplus kondumen akan berkurang sebesar area A+B+C+D. Area A merupakan surplus konsumen yang ditranfer ke produsen. Area B dan D adalah Dead Weight Loss DWL yang merupakan kerugian perekonomian. Area C tidak merepresentasikan penerimaan pemerintah dari tarif karena pembatasan impor bukan berasal dari kebijakan tarif melainkan kebijakan non tarif. Area ini diukur sebagai quota rent. Jika tidak ada peningkatan pemerintah yang berasal dari quota rent ini maka quota rent akan didapat oleh produsen negara lain. Sehingga C direpresentasikan sebagai net welfare loss to economy. Penerimaan dapat meningkat melalui penjualan lisensi quota . Sehingga dengan menggunakan θ yang mencerminkan share dari quota rent maka total net welfare loss dari pembatasan impor sebesar B+D+1- θC. Model Gravity Gravity model pertama kali dikembangkan oleh Tinbergen 1962 dan Poyhonen 1963 dan diaplikasikan pada perdagangan internasional untuk P M Quantity P W Q S0 A B C D S D Q S1 Q D1 Q D0 Price menjelaskan aliran perdagangan bilateral oleh mitra dagang pada GNP dan jarak geografi antar negara. Model gravitasi adalah salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk mengestimasi berapa besarnya nilai barang yang keluar dan masuk di suatu wilayah. Model gravity merepresentasikan bahwa volume ekspor antara kedua negara mitra dagang merupakan increasing function dari GDP kedua negara tersebut dan decreasing function dari jarak diantara kedua negara tersebut. Model gravity yang sederhana dapat dituliskan sebagai berikut: 2.3 Dimana α, , , δ merupakan konstanta positif. X adalah ekspor, Y adalah pendapatan nasional, D adalah jarak. i menunjukkan negara pengimpor dan j menunjukkan negara pengimpor. Model ini kemudian diestimasi menggunakan data cross-section dari negara mitra gadang pada tahun singgle year tertentu atau pada periode beberapa tahun several years. Model gravity kemudian dikembangkan lagi oleh Wall 1999 dengan mengestimasi menggunakan data panel. Wall menunjukkan bahwa model fixed effect yang dihasilkan menunjukkan R 2 yang tinggi dan menjelaskan bahwa estimasi dapat dilakukan dengan intersept yang berbeda-beda karena data yang digunakan memiliki unsur heterogeneity. Model fixed effect tersebut digunakan untuk mengestimasi dampak pembatasan impor terhadap ekspor dengan menambahkan indikator trade policy. Model gravity yang diperluas tersebut dituliskan sebagai berikut : 2.4 Dimana: X = Ekspor Y = Pendapatan Nasional GDP D = Jarak Ekonomi T = Trade Policy Index i = negara pengekspor j = negara pengimpor t = tahun Model ini yang akan menjadi model rujukan untuk penelitian. Pengembangan model ini akan dilakukan dengan memodifikasi indikator trade policy menjadi indokator NTM dan menambahkan beberapa indikator terkait dengan perdagangan seperti tarif dan nilai tukar. Zahidi 2012 meneliti dampak trade facilitation terhadap arus perdagangan di kawasan ASEAN+3 menggunakan model panel gravity menggunakan indikator perdagangan seperti GDP riil per kapita negara ekportir, GDP riil per kapita negara importir, tarif, nilai tukar dan indikator terkait trade facilitation. Regresi Linier Berganda Analisis regresi berganda dapat digunakan untuk menangkap pengaruh beberapa variabel X bebas terhadap variabel terikat Y. Secara matematis hubungan variabel bebas k-1 dengan Y, variabel terikat dapat dituliskan sebagai berikut: 2.5 dengan 1 = intersep, 2 sampai k = koefisien kemiringan parsial, u = unsur gangguan stokastik disturbance, dan i = observasi ke-i, N merupakan banyaknya populasi. Untuk variabel bebas kategorik yang berskala nominal atau ordinal maka variabel bebas tersebut berbentuk variabel dummy yang bernilai 1 dan 0. Variabel dummy akan bernilai 1 jika sesuai kategori referensi dan 0 untuk kategori lainnya. Penyimpangan terhadap Asumsi Model Regresi Tiga masalah yang seringkali muncul sehingga mengakibatkan asumsi dasar model regresi tidak terpenuhi yaitu multikolinearity, heteroskedastisity, dan autocorrelation .

a. Multikolinearity

Salah satu asumsi dasar model regresi adalah tidak ada hubungan linear antara variabel-variabel bebas dalam model. Cara untuk mendeteksi multicolinearity adalah dengan menghitung korelasi antara dua variabel bebas. Jika korelasi lebih besar dari 0,8 maka multicolinearity merupakan masalah.

b. Heteroskedastisity

Asumsi dasar lainnya adalah varians dari error yang dihasilkan adalah konstan. Dampak heteroskedastisity adalah hasil uji t dan F dapat menjadi tidak berarti tidak ada gunanya. Mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat dilakukan melalui paket program Eviews 6.0 dengan membandingkan sum square resid pada hasil estimasi weighted dan unweighted. Masalah heteroskedastisitas dapat diatasi dengan menggunakan metode white- heteroskedastisity .

c. Autocorrelation

Asumsi yang terakhir adalah tidak adanya korelasi antar error yang dihasilkan. Autocorrelation dapat memengaruhi efisiensi model. Cara mendeteksi Autocorelation adalah dengan uji Durbin Watson. Hipotesis dalam pengujian autokorekasi adalah: H : tidak ada Otokorelasi positif atau negatif H 1 : terdapat masalah Otokorelasi positif atau negatif. Sumber: Yamin et al. 2010 Gambar 7. Kriteria pengujian autokorelasi dengan Uji Durbin Watson d dL dU 4 - 4 - 4 2 Tolak H Ada masalah Otokorelasi positif Tolak H Ada masalah Otokorelasi negatif Tidak Tolak H tidak ada masalah Otokorelasi Tidak ada kesimpulan Tidak ada kesimpulan Kriteria pengujian: Tolak H bila Nilai d hitung atau nilai Durbin Watson Model lebih besar daripada nilai Durbin Watson table batas bawah dL yang berarti terdapat masalah otokorelasi positif dw dL Atau, nilai d hitung ataunilai Durbin Watson Model terletak antara nilai 4 –dL dw 4 yang berarti terdapat masalah otokorelasi negatif Tidak tolak H bila Nilai d hitung atau nilai Durbin Watson Model terletak antara nilai dU dw 4-dU Pengujian parameter Model Pengujian parameter model bertujuan untuk mengetahui kelayakan model dan apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis. Pengujian parameter meliputi koefisien determinasi R 2 , uji koefisien regresi secara menyeluruh F-testuji F dan uji koefisien regresi secara parsial uji t.

a. Uji-F

Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien slope regresi atau parameter model secara menyeluruhbersamaan. Kriteria pengujiannya adalah jika nilai nilai F observasi F tabel atau nilai probabilitas F-statistic taraf nyata α, maka keputusan menolak H signifikan. Dengan menolak H berarti minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas.

b. Uji-t

Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji-t adalah : H : β i = 0 Vs H 1 : β i ≠ 0. Keputusan dalam pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel atau dengan melihat nilai probabilitas dari t-hitung. Jika nilai t-hitung t-tabel at au jika nilai probabilitas t α=0,05 maka keputusan menolak H adalah signifikan. Kesimpulannya adalah peubah bebas secara parsial signifikan memengaruhi peubah tak bebas. Uji Koe fisien Determinasi R² Nilai Uji R² mengukur kecocokan goodnes of fit dari persamaan regresi yaitu memberikan proporsi atau presentasi variasi total dalam variabel tidak bebas yang dijelaskan oleh variabel bebas atau merupakan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa baik garis regresi sampel menggambarkan populasi. Atau dengan kata lain bahwa Uji R² digunakan untuk menghitung seberapa besar variasi dari variabel bebas yang dapat menjelaskan variasi dari variabel tidak bebas. Nilainya berkisar antara 0-1. Jika nilai R² sama dengan 1, maka variasi variabel bebas mampu menjelaskan 100 persen variasi variabel tidak bebas. Sebaliknya jika nilai R² sama dengan 0, maka variasi variabel bebas tidak mampu menjelaskan sedikitpun variasi variabel tidak bebas. Kecocokan model dikatakan ”lebih baik” jika nilai R² semakin dekat dengan 1. Uji Elastisitas Untuk mengetahui variabel mana yang paling berpengaruh dari variabel bebas terhadap variabel tidak bebas maka digunakan uji elastisitas, yaitu dengan membandingkan besarnya nilai koefisien beta dari variabel bebas yang terbesar. Kajian Penelitian Terdahulu Wall 1999 menganalisis dampak import protection terhadap arus perdagangan Amerika Serikat dan dampaknya terhadap welfare. Penelitian ini menggunakan analisis panel gravity untuk melihat dampak variabel GDP negara pengekspor, GDP negara pengimpor, dan Trade Policy Index terhadap arus perdagangan. Hasil penelitian menunjukkan adanya import protection di negara- negara selain U.S. menyebabkan ekspor AS 26.2 percen lebih rendah pada tahun 1996. Hambatan yang diberlakukan oleh Amerika Serikat menurunkan impor AS dari negara-negara non-NAFTA sebesar 15.4 persen per tahun yang menyebabkan welfare cost sebesar 1.45 persen. Sumber utama dari hilangnya kesejahteraan adalah pengalihan quota rent ke luar negeri daripada deadweight efficiency losses . Fugazza 2008 menganalisis dampak penghapusan non tariff barrier terhadap trade dan welfare menggunakan computable general equilibrium CGE dalam kerangka GTAP. Data non tariff barrier yang digunakan adalah data advalorem equivalent of NTB.Hasil penelitian menunjukkan bahwa negara dengan tingkat NTB yang tinggi seperti sub-Saharan Africa, South East Asia, dan North Africa tidak mendapatkan keuntungan yang berarti dari penurunan NTB secara global. Sejalan dengan Fugazza, Winchester 2008 melakukan simulasi penurunan tarif dan non tarif barrier pada perdagangan bilateral Australia dan New Zealand menggunakan CGE. Penurunan NTB akan menghasilkan gain of trade yang lebih besar dibandingkan penurunan tarif Andriamananjara et al. 2003 memperkenalkan metode estimasi NTM price gaps menggunakan tiga metode yang berbeda tariff equivalent, export tax equivalent and sand-in-the-wheels dan menganalisis dampak ekonomi trade, welfare dan production dari penghapusan NTM pada produk alas kaki, pakaian, dan makanan olahan menggunakan CGE. Nakakeeto 2011 mengkaji dampak NTM terhadap perdagangan komoditi pertanian di Uganda, Mali, dan Senegal. Penelitian ini menggunakan pendekatan inventory untuk mengukur NTM dan model gravity untuk melihat dampak NTM terhadap ekspor komoditi pertanian. Dengan menggunakan tiga indikator yang berbeda untuk mengukur NTM yaitu dummy variable, coverage ratio, dan advelorem equivalent of NTM , penelitian ini menghasilkan kesimpulan yang berbeda untuk ketiga model. Model dengan menggunakan variabel dummy NTM menunjukkan bahwa NTM memiliki dampak yang negatif terhadap ekspor. Model dengan menggunakan indikator coverage ratio dan AVE’s of NTM menunjukkan bahwa NTM memiliki dampak positif terhadap ekpor. Penelitian lain yang juga mengkaji dampak kebijakan non tarif dapat dilihat pada Lampiran 4. Kerangka Penelitian Krisis global tahun 2008 berdampak pada terjadinya perlambatan ekonomi dunia termasuk perekonomian di kawasan ASEAN.Untuk menghadapi krisis tersebut negara-negara di kawasan tersebut menggunakan instrumen kebijakan perdagangan. Karena ikatan perjanjian dalam kerjasama perdagangan regional dan bilateral, negara lebih memilih menggunakan kebijakan non tarif dibandingkan tarif. Semakin tinggi pembatasan dalam bentuk NTM yang dilakukan oleh suatu negara dikhawatirkan akan menurunkan ekspor negara lain ke negara tersebut sehingga volume perdagangan kedua negara akan berkurang. Untuk melihat gambaran pemberlakuan NTM di kawasan ASEAN akan dilakukan analisis deskriptif implementasi NTM. Kemudian akan dianalisis dampak NTM terhadap arus perdagangan Indonesia pada sektor elektronika. Hasil penelitian ini akan menghasilkan implikasi kebijakan terkait perdagangan yang dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah. Gambar 8. Kerangka pemikiran Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. GDP riil suatu negara berhubungan positif dengan arus perdagangan. Peningkatan GDP riil suatu negara mitra dagangnya menyebabkan perdagangan bilateral diantara keduanya akan meningkat. 2. Biaya perdagangan antar negara yang melakukan perdagangan berhubungan negatif terhadap arus perdagangan. Semakin besar biaya perdagangan akan mengurangi arus perdagangan kedua negara. 3. Tarif dan non tariff measures yang diberlakukan pada elektronika di suatu negara berhubungan negatif terhadap arus perdagangan. 4. Nilai tukar riil berpengaruh positif terhadap arus perdagangan antara negara pengekspor terhadap negara mitra dagangnya. Non Core Measure Untuk melindungi konsumen lokal Penggunaan instrumen kebijakan dalam menghadapi krisis global di ASEAN Kebijakan Tariff Implikasi Kebijakan Implementasi Non Tariff Measures pada sektor elektronika Non Tariff Measures Kebijakan Perdagangan Dampak NTM terhadap arus perdagangan pada komoditi elektronika Model Cross Sectional Gravity Core Measure untuk melindungi produsen lokal Faktor penunjang Perdagangan pendapatan nasional, produksi, biaya ekspor, nilai tukar riil, tarif 3 METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari berbagai sumber antara lain World Bank, ASEAN, UNCTAD, UNCOMTRADE,WDI dan publikasi internasional. Rincian data yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis dan sumber data yang digunakan No Jenis Data Tahun Sumber Keterangan 1 Non Tariff Measures NTM 2009 ASEAN 2 GDP 2009 World Development Indicator Juta US 3 Ekspor Impor 2009,2011 WITS Juta US 4 Tarif 2009 WITS Persen 5 Biaya Ekspor 2009 Doing Bussiness Juta US 6 Produksi dan pasar 2007, 2009, 2011 Reed Ekektronics Research Juta US 7 Nilai Tukar 2009 UNCTAD Pengumpulan data terkait non tariff measures tidak mudah dilakukan. Kebijakan non tarif dapat dikeluarkan oleh lembaga yang berbeda dengan tujuan yang berbeda di masing-masing negara seperti Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, dan Departemen Perindustrian. Negara anggota ASEAN diwajibkan untuk menginventarisasi kebijakan-kebijakan tersebut dan melaporkan kepada sekretariat ASEAN. Namun, data yang tersedia belum terupdate secara berkala. Data terakhir yang tercantum pada database ASEAN menunjukkan kondisi tahun 2009 berdasarkan klasifikasi HS 4 digit. Ketidaklengkapan data yang menunjukkan waktu pemberlakuan kebijakan juga menjadi kendala untuk menganalisis dengan metode time series, sehingga penelitian ini hanya menggunakan analisis cross section untuk melihat pengaruh NTM terhadap arus perdagangan elektronika. Data perdagangan berupa data ekspor dan impor diperoleh dari WITS dengan klasifikasi berdasarkan SITC 4 digit, sehingga diperlukan konversi klasifikasi ke dalam bentuk HS 4 digit agar dapat sejajar dengan data NTM. Data lainnya terkait perdagangan seperti tarif, biaya ekspor, produksi, pasar, dan nilai tukar berasal dari sumber yang berbeda-beda seperti terlihat pada Tabel 3. Data NTM, ekspor, impor, dan tarif dikelompokkan menjadi delapan kelompok komoditi elektronika meliputi Electronic Data Processing, Office Equipment, Control and Instrumentation, Medical and Industrial Equipment, Radar Comunications and Radar, Telecommunication, Consumer Product , dan Components. Klasifikasi data elektronika berdasarkan kode HS dan SITC dapat dilihat pada Lampiran 8. Jumlah observasi data cross section untuk menganalisis pengaruh NTM terhadap arus perdagangan sektor elektronika Indonesia berjumlah 64 observasi. Data dibedakan berdasarkan mitra dagang dan jenis komoditi elektronika. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan analisis model cross section gravity. Analisis deskriptif digunakan untuk menjawab permasalahan yang pertama dan kedua yaitu menganalisis kinerja perdagangan sektor elektronika Indonesia dan pemberlakuan NTM sektor elektronika di kawasan ASEAN. Pendekatan yang dilakukan untuk analisis pemberlakuan NTM adalah pendekatan inventory inventory approach. Untuk menjawab permasalahan yang ketiga akan dilakukan analisis dampak NTM terhadap arus perdagangan Indonesia pada sektor elektronika menggunakan model cross sectional gravity. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan analisis sederhana yang digunakan untuk memaparkan gambaran umum mengenai kinerja perdagangan sektor elektronika Indonesia dan kebijakan perdagangan berupa NTM yang diberlakukan di negara ASEAN. Pada bagian ini terdapat dua sub bagian dengan pokok bahasan yang berbeda. Sub bagian pertama akan membahas kinerja perdagangan sektor elektronika Indonesia terhadap negara-negara di ASEAN. Sub bagian kedua akan membahas kebijakan terkait NTM di negara-negara ASEAN pada sektor elektronika. Pada bagian ini akan akan dilakukan analisis pemberlakuan NTM menggunakan pendekatan inventory inventory approach yaitu melakukan inventarisasi kebijakan-kebijakan non tarif yang dilakukan oleh setiap negara dengan menghitung frequency index dan coverage ratio pada periode waktu yang disesuaikan dengan ketersediaan data. Frequency index dihitung dengan proporsi komoditi 4 digit HS Harmonize System yang diterapkan NTM terhadap jumlah total komoditi pada agregasi delapan kelompok utama sektor elektronika. Coverage Ratio merupakan metode pendekatan inventory dengan mempertimbangkan volume impor komoditi. Dengan menghitung Frequency Index dan Coverage Ratio dapat dibandingkan pemberlakuan NTM di masing- masing negara pada delapan kelompok utama sektor elektronika. Merujuk pada metodologi yang digunakan Bora et al. 2002, frequency index dan coverage ratio dapat dirumuskan dalam persamaan berikut ini: Dimana: Fj = Frequency index negara pengimpor pada level agregasi produk yang diinginkan Di = Dummy NTM 1=ada NTM, 0=tidak ada NTM Ni = Jumlah item produk yang terindikasi NTM Nt = Jumlah total item produk Frequency Index dan Coverage Ratio merupakan metode pengukuran non tariff measures . Nilai Frequency Index dan Coverage Ratio akan berada pada rentang nilai 0-100. Sehingga, semakin kecil nilai Frequency Index yaitu mendekati 0 menunjukkan semakin sedikit penggunaan NTM oleh suatu negara. Sebaliknya, semakin besar nilai Frequency Index mendekati 100 menunjukkan semakin banyak penggunaan NTM oleh suatu negara. Semakin tinggi nilai Frequency Index menunjukkan negara tersebut semakin protektif terhadap perdagangan. Nilai Coverage Ratio yang semakin kecil menunjukkan cakupan produk yang terkena kebijakan semakin kecil, sedangkan Coverage Ratio yang semakin besar menunjukkan cakupan produk yang terkena kebijakan semakin luas. Analisis Model Cross Sectional Gravity Analisis model cross sectional gravity digunakan untuk memperoleh model terbaik yang dapat menggambarkan dampak NTM terhadap arus perdagangan di ASEAN. Rancangan model yang akan diajukan akan menggunakan enam variabel bebas yaitu GDP negara pengekspor, GDP negara pengimpor, produksi, tarif, NTM, dan biaya ekspor. Variabel independennya adalah nilai ekspor suatu negara ke negara tertentu. Data yang diperoleh pada variabel-variabel tersebut memiliki satuan yang berbeda. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam mengolah data dan interpretasi hasil akhirnya, beberapa variabel ini akan diubah bentuknya sehingga menjadi bentuk satuan yang sama, yaitu dalam persentase. Beberapa variabel akan diubah menjadi bentuk log natural sehingga koefisien hasil regresi diinterpretasikan sebagai elastisitas. Dengan model tersebut, diharapkan bahwa hasil regresi yang diperoleh akan lebih efisien dan mudah untuk diinterprestasikan. Dampak NTM yang akan dilihat adalah dampak NTM secara keseluruhan dan dampak NTM yang dibedakan menjadi dua tipe NTM berdasarkan tujuannya yaitu core measure dan non core measures. Core measures merupakan NTM yang bertujuan untuk melindungi produsen lokal, sedangkan non core measures adalah NTM yang bertujuan untuk melindungi konsumen lokal. Penelitian ini akan menggunakan dua model. Model yang akan digunakan dalam penelitian ini merujuk pada model gravity yang dibangun oleh Nakakeeto 2011 sehingga secara ekonometrika model tersebut dituliskan menjadi: Dimana: CR ijk = Coverage ratio negara j pada komoditi k dari negara i D jk = Dummy NTM pada komoditi k di negara j 1=ada NTM, 0=tidak ada NTM V ijk = Volume impor komoditi k dari negara i ke negara j i= negara pengekspor j= negara pengimpor k= komoditi Model 1 Model 2 Dimana: X ijk = ekspor komoditi k negara i ke negara j juta US Y ik = GDP riil negara pengekspor i juta US Y jk = GDP riil negara pengimpor j juta US D ij = Jarak antara negara ekportir i dan importir j juta US Tarif jk = Besaran tarif komoditi k yang diterapkan oleh negara pengimpor j persen CR ijk = Coverage Ratio negara pengimpor j persen pada komoditi k dari negara pengekspor i CRcore ijk = Coverage Ratio core measures negara pengimpor j persen pada komoditi k dari negara pengekspor i CRncore ijk = Coverage Ratio non core measures negara pengimpor j persen pada komoditi k dari negara pengekspor i ER ij = nilai tukar riil negara pengekspor i terhadap negara pengimpor j Cost_export = biaya ekspor dari negara i ke negara j US Definisi Variabel Operasional Definisi operasional variabel yang digunakan dalam model penelitian ini antara lain:

1. Ekspor X merupakan nilai perdagangan suatu negara ke negara mitra

dagangnya

2. GDP riil atau PDRB suatu negaraY, diukur dari nilai PDRB atas dasar

harga konstan. 3. Tarif Tarif merupakan pajak atau cukai yang dikenakan untuk komoditi yang diperdagangkan lintas batas teritorial, tarif yang digunakan adalah tarif yang terapkan untuk kawasan ASEAN.

4. Biaya Perdagangan adalah indikasi dari biaya transportasi yang dihadapi

oleh suatu negara dalam melakukan perdagangan. Dalam hal ini biaya perdagangan didekati oleh variabel biaya ekspor.

5. Coverage Ratio CR merupakan ukuran NTM yang nilainya diukur dalam

persentase.

6. Coverage Ratio core measures CRcore merupakan ukuran NTM tipe core

measures yang nilainya diukur dalam persentase.

7. Coverage Ratio non core measures CRncore merupakan ukuran NTM tipe

non core measures yang nilainya diukur dalam persentase.

8. Real Exchange Rate ER merupakan nilai tukar riil negara pengekspor dan

negara pengimpor yang diperoleh dari :