Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

(1)

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

HAJI ADAM MALIK MEDAN

OLEH:

JAMUDA J. W. TARIGAN, S. Farm NIM 063202112

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

OLEH:

JAMUDA J. W. TARIGAN, S.Farm NIM: 063202112

Medan, Juli 2008 Diketahui oleh:

Pembimbing

Dr. Karsono, Apt. Dra. Helena Gultom, Apt.

Staf Pengajar Fakultas Farmasi USU Staf Instalasi Farmasi RSUP H. Adam Malik Medan

Disetujui oleh:

Ka. Pokja Farmasi Klinis RSUP H. Adam Malik

Dra. Musniarti Muis, Apt. NIP: 140 106 637

Disahkan oleh:

Dekan Fakultas Farmasi USU Medan

Prof. Dr. H. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP: 131 283 716


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat, rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan pengetahuan, kekuatan, dan kebijaksanaan dalam penyelesaian Praktik Kerja Profesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik..

Penulis menyadari bahwa laporan ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada:

1. Ibu Dra. Helena Gultom, Apt., sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan waktu untuk membimbing dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama pelaksanaan Praktik Kerja Profesi ini.

2. Bapak Dr. Karsono, Apt., sebagai pembimbing yang telah banyak

memberikan waktu dan pengetahuan kepada penulis dalam penyelesaian laporan Praktik Kerja Profesi ini.

3. Ibu Kepala Instalasi Farmasi RSUP H. Adam Malik Medan atas bimbingan yang diberikan selama Praktik Kerja Profesi ini.

4. Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan atas kesempatan yang

diberikan kepada penulis untuk melaksanakan Praktik Kerja Profesi ini di RSUP H. Adam Malik medan.

5. Bapak Dekan Fakultas Farmasi USU atas segala bimbingan yang diberikan kepada Penulis untuk melaksankan Praktik Kerja Profesi ini.

6. Seluruh Pegawai dan Staf Instalasi Farmasi RSUP H. Adam Malik Medan atas segala bantuan yang diberikan kepada Penulis selama pelaksanaan Praktik Kerja Profesi ini.


(4)

7. Rekan-rekan mahasiswa Apoteker Fakultas Farmasi USU yang telah banyak memberikan bantuan dan semangat kepada Penulis dalam menyelesaikan Praktik Kerja Profesi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga laporan Praktik Kerja Profesi di RSUP H. Adam Malik Medan ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan, khususnya di bidang Farmasi.

Medan, Nopember 2007 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Hal.

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR LAMPIRAN... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Kanker Rektum ... 3

2.1.1 Etiologi... 3

2.1.2 Patofisiologi ... 5

2.1.3 Diagnosis... 6

2.1.4 Pemeriksaan ... 8

2.2 Diare Kronik ... 8

2.2.1 Etiologi... 9

2.2.2 Patofisiologi ... 11

2.2.3 Diagnosa... 12

2.2.4 Pemeriksaan ... 13


(6)

BAB III PROSEDUR DAN PELAKSANAAN DIAGNOSTIK ... 18

3.1 Studi Kasus ... 18

3.1.1 Identitas Pasien ... 18

3.1.2 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUP H. Adam Malik Medan ... 18

3.2 Pemeriksaan yang dilakukan... 19

3.3 Diagnosa Penyakit... 20

3.4 Terapi ... 21

BAB IV PEMBAHASAN... 22

BAB V KESIMPULAN ... 26

5.1 Lembar PPOSR ... 26

5.2 Rekomendasi Untuk DokterSaran... 26

5.3 Informasi obat dan konseling untuk pasien/ keluarga... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Diagnosa Dan Terapi ... 28 Lampiran 2. Tinjauan umum tentang obat ... 30 Lampiran 3. Lembar PPOSR ... 31


(8)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan kebutuhan tanpa memandang kemampuan membayar. Pelayanan kesehatan merupakan salah satu unsur penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Rumah sakit merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau bagi masyarakat.

Salah satu kegiatan pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah pelayanan farmasi yang berada di bawah naungan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi, mengharuskan adanya perubahan pelayanan dari paradigma lama (drug oriented)

ke paradigma baru (patient oriented) dengan filosofi “Pharmaceutical care” (pelayanan kefarmasian). Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan.

Upaya peningkatan sumber daya manusia untuk ditempatkan sebagai tenaga kerja kesehatan yang handal ditempuh melalui pendidikan dan pelatihan


(9)

tenaga kesehatan, salah satunya adalah praktek kerja profesi bagi calon apoteker. Praktek kerja profesi (PKP) ini dilaksanakan di beberapa instansi diantaranya adalah di rumah sakit, yaitu di RSUP H. Adam Malik Medan. Berdasarkan klasifikasi rumah sakit umum RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A, yaitu rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialistik luas dan sub spesialistik luas. Selain sebagai tempat pelayanan juga berfungsi sebagai rumah sakit pendidikan mahasiswa di bidang kesehatan.

Praktek kerja profesi ini meliputi:

1. Penerimaan materi mengenai RSUP H. Adam Malik Medan secara umum, Instalasi Farmasi, Instalasi Gas Medis dan Instalasi Sterilisasi Pusat (ISP).

2. Peninjauan beberapa kelompok kerja (Pokja) dan depo farmasi yang

merupakan bagian dari Instalasi Farmasi dengan memperhatikan peranan apoteker pada bagian tersebut.

3. Pelaksanaan studi kasus di Rawat Inap Terpadu (Rindu) A dan mengikuti kegiatan visite tenaga medis sebagai pendekatan peranan farmasi klinis.

1.2Tujuan

Setelah pelaksanaan PKP ini diharapkan para calon apoteker dapat memiliki wawasan dan pengetahuan yang lebih luas mengenai tugas dan fungsi apoteker di rumah sakit dalam memantau pemberian obat kepada pasien.


(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Kanker Rektum

2.1.1Etiologi

Usus besar adalah bagian dari sistem pencernaan. Sistem pencernaan dimulai dari mulut, lalu kerongkongan (esophagus), lambung, usus halus, usus besar (kolon), rektum dan berakhir di dubur. Usus besar terdiri dari kolon dan rektum. Rektum merupakan saluran di atas dubur. Bagian rektum yang berhubungan dengan kolon disebut dengan kolon sigmoid (http://id.wilkipedia.org, 2007).

Usus besar berbentuk saluran seperti tabung, dimana pada bagian dalamnya berupa suatu rongga. Dindingnya terdiri dari beberapa lapisan berupa lapisan bagian dalam yang disebut mukosa, dan bagian yang mengarah keluar berupa lapisan otot, dan bagian paling luar adalah lapisan pembungkus usus yang disebut serosa. Fungsi usus besar adalah menyerap air, vitamin dan elektrolit, eskresi mucus, serta menyimpan feces (tinja) dan kemudian mendorongnya keluar melalui rektum dan dubur (Heriady, 2002)

Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan kerusakan oleh DNA, sehingga menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa mutasi mungkin dibutuhkan untuk mengubah sel normal menjadi sel kanker.


(11)

Mutasi-mutasi tersebut sering diakibatkan agen kimia maupun fisik yang disebut karsinogen.

Mutasi dapat terjadi secara spontan ataupun diwariskan (mutasi germline). Kanker dapat menyebabkan banyak gejala yang berbeda, bergantung pada lokasinya dan karakter dari keganasan dan metastasis. Sebuah diagnosis yang menentukan biasanya membutuhkan pemeriksaan mikroskopik jaringan yang diperoleh dengan biopsi (http://id.wilkipedia.org, 2007).

Kanker pada rektum disebut dengan kanker rektum, kanker padan kolon disebut dengan kanker kolon, dan bila mengenai keduanya disebut dengan kanker kolorektal. Kanker kolorektal umumnya mulai tumbuh pada permukaan bagian dalam (mukosa) yang mengarah ke dalam rongga. Pada stadium awal dimana kanker masih berukuran kecil, maka tidak akan pernah ada gejala yang dirasakan oleh penderita, dan juga tidak akan teraba adanya benjolan karena letaknya yang berada di dalam usus (Heriady, 2002).

Kanker kolorektal biasanya terjadi pada umur 40 tahun dan puncaknya pada umur 60-75 tahun. Kanker ini jarang dijumpai pada usia dibawah 40 tahun, kecuali pada orang dengan riwayat kolitis ulseratif atau poliposis familial. Kanker kolon lebih sering terjadi pada wanita, sedangkan kanker rektum lebih sering terjadi pada pria. Kira-kira 60% dari semua kanker usus terjadi pada bagian rektosigmoid, sehingga dapat teraba pada pemeriksaan rektum atau terlihat pada sigmoidoskopi (Price, 1995).

Secara histologis, hampir semua kanker usus besar adalah adrenokarsinoma (terdiri atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi mukus yang jumlahnya berbeda-beda. Kanker dapat menyebar melalui 3 cara, yaitu:


(12)

1. Secara infiltratif langsung ke struktur yang berdekatan.

2. Melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe perikolon dan mesokolon,

3. Melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirkan darah ke sistem portal.

Adapun tingkat bahaya dari kanker kolorektal dapat dibagi atas: 1. Stadium 1 : kanker hanya terjadi pada bagian dinding usus saja

2. Stadium 2 : kanker menjalar ke bagian mukosa dan lapisan muskularis mukosa

3. Stadium 3 : kanker menyebar ke kelenjar getah bening 4. Stadium 4 : kanker sudah menyebar jauh.

2.1.2Patofisiologi

Walaupun penyebab kanker usus besar secara umum belum diketahui, beberapa faktor predisposisi telah dicurigai sebagai penyebab kanker usus besar. Hubungan antara kolitis ulseratif, yaitu jenis polip kolon terntentu, dengan kanker usus besar telah diteliti. Faktor predisposisi penting lainnya mungkin berhubungan dengan kebiasaan makan, karena kanker usus besar terjadi 10 kali lebih banyak pada penduduk di dunia barat, yang mengkonsumsi lebih banyak makanan yang mengandung karbohidrat dan rendah serat kasar (Price, 1995).

Terdapat beberapa faktor resiko yang menyebabkan seseorang akan rentan terkena kanker kolorektal, yaitu:

- Usia, umumnya kanker kolorektal menyerang lebih sering pada usia tua. Lebih dari 90% penyakit ini menimpa penderita di atas usia 50 tahun dan sekitar 3% menyerang penderita pada usia di bawah 40 tahun.


(13)

- Polip kolorektal, adalah pertumbuhan tumor pada dinding sebelah dalam usus besar dan rektum. Kebanyakan polip ini adalah tumor jinak, tetapi sebagian dapat berubah menjadi kanker.

- Riwayat kanker kolorektal pada keluarga, bila keluarga dekat yang terkena, maka resiko untuk terkena kanker ini menjadi lebih besar, terutama bila keluarga yang terkena tersebut terserang kanker pada usia muda.

- Kelainan genetik, perubahan gen tertentu akan meningkatkan resiko terkena kanker kolorektal. Bentuk yang paling sering dari kelainan gen yang dapat menyebabkan kanker ini adalah hereditary nonpolyposis colon cancer

(HNPCC).

- Radang usus besar, berupa kolitis ulseratuf yang menyebabkan peradangan pada usus untuk jangka waktu yang lama, akan meningkatkan resiko terserang kanker kolorektal.

- Diet, makanan tinggi lemak (khususnya lemak hewan) dan rendan kalsium, folat dan rendah serat, jarang makan sayuran dan buah-buahan, sering minum alkohol, akan meningkatkan resiko terkena kanker kolorektal.

- Merokok, dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker ini ("http://id.wikipedia.org, 2007).

2.1.3Diagnosis

Seperti kanker lainnya, pemeriksaan penyaring rutin, membantu penemuan dini dari kanker kolorektal. Tinja diperiksa secara mikroskopik untuk menghitung jumlah darah. Untuk membantu meyakinkan hasil pemeriksaan yang tepat, penderita memakan daging merah tinggi serat selama 3 hari sebelem pengambilan


(14)

sampel tinja. Bila pemeriksaan penyaring ini menunjukkan kemungkinan kanker, dibutuhkan pemeriksaan lanjutan. Sebelum dilakukan endoskopi, usus dikosongkan, seringkali dengan menggunakan pencahar dan beberapa enema. Sekitar 65% kanker kolorektal dapa dilihat dengan sigmoidoskop. Bila terliaht polip yang mungkin ganas, seluruh usus besar diperiksa dengan kolonoskopi, yang daya jangkaunya lebih panjang. Pemeriksaan darah dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. Pada 70% orang yang menderita kanker kolorektal, kadar antigen karsinoembriogenik dalam darahnya tinggi. Bila sebelum kanker diangkat kadar antigen ini tinggi, maka sesudah pembedahan kadarnya bisa turun. Pada pemeriksaan berikutnya, kadar antigen ini diukur kembali, jika kadarnya meningkat berarti kanker telah kambuh kembali (http://www. mediacastore, 2004).

Penderita kanker kolorektal dapat mengalami beberapa gejala dan simptom seperti dibawah ini:

- Perubahan frekwensi buang air besar, seperti halnya pada penderita diare dan konstipasi.

- Adanya darah pada feces atau pendarahan pada rektum. - Perasaan tidak nyaman pada bagian perut.

- Pembengkakan.

- Penurunan berat badan yang tidak direncanakan atau tidak diketahui penyebabnya.

- Kelelahan yang kronis.


(15)

2.1.4Pemeriksaan

Tes khusus untuk mengevaluasi kanker kolorektal dapat digunakan untuk mendeteksi dan mendiagnosis kanker kolorektal seperti:

- Tes fisik untuk menilai kesehatan secara menyeluruh, termasuk tes digital rektum untuk mengevaluasi massa yang tidak normal.

- Tes darah

- Sigmoidodoskopi untuk melihat polip atau sel kanker pada bagian dalam rektum dan sigmoid kolon.

- Barium enema kontras ganda, dimana kolon dan rektum dites dengan

menggunakan sinar-X untuk melihat bagian dalam. - Kolonoskopi

(www.astro.org, 2007).

2.2Diare Kronik

Diare adalah suatu keadaan bertambahnya kekerapan dan keenceran buang air besar. Kekerapan yang masih dianggap normal adalah sekitar 1-3 kali dan banyaknya 200-500 gram sehari. Beberapa penderita mengalami peningkatan kekerapan dan keenceran buang air besar walaupun jumlahnya kurang dari 250 gram dalam kurun waktu sehari.

Diare kronik atau diare berulang adalah suatu keadaan bertambahnya kekerapan dan keenceran tinja yang dapat berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan baik secara terus-menerus atau berulang, dapat berupa gejala fungsional atau akibat suatu penyakit berat. Oleh sebab itu penting untuk memperhatikan tanda-tanda adanya penyakit organik seperti demam, berat badan


(16)

menurun, malnutrisi, anemia dan meningginya laju endap darah. Demam disertai defense otot perut menunjukkan adanya proses radang pada perut.

Diare kronik seperti yang dialami seseorang penderita penyakit Crohn mula-mula dapat berjalan seperti serangan akut dan sembuh sendiri. Sebaliknya suatu serangan akut seperti diare karena penyakit infeksi dapat menjadi berkepanjangan. Keluhan penderita sendiri dapat diarahkan untuk membedakan antara diare akut dengan diare kronik yaitu tiba-tiba mencret pada diare akut dan sering mencret pada diare kronik.

Secara konsepsional keduanya dapat dibedakan, dimana diare akut berupa serangan diare secara tiba-tiba yang segera berangsur sembuh pada seseorang yang sebelumnya sehat, diare kronik berupa diare yang timbul perlahan-lahan, berlanjut berminggu-minggu sampai berbulan-bulan baik menetap atau bertambah hebat (Soeparman, 1990).

2.2.1Etiologi

Etiologi diare kronik sangat beragam dan tidak selalu hanya disebabkan adanya kelainan pada usus. Kelainan yang dapat menimbulkan diare kronik antara lain kelainan endokrin, kelainan hati, kelainan pancreas, infeksi, keganasan, dan lain-lain. Etiologi terbanyak diare kronik di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah infeksi. Hal ini berbeda dengan etiologi terbanyak di negara-negara maju yaitu penyakit usus inflamatorik. Walaupun telah diusahakan secara maksimal, diperkirakan sekitar 10-15% pasien diare kronik tidak diketahui etiologinya, mungkin disebabkan kelainan sekresi atau mekanisme neuroendokrin yang belum diketahui.


(17)

Etiologi diare kronik dapat diklasifikasikan atas: 1. Etiologi diare kronik berdasarkan patofisiologi:

a. Diare Osmotik b. Diare sekretorik

c. Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak d. Trasnsport elektrolit aktif di enterosit

e. Motilitas dan waktu transit usus abnormal f. Gangguan permeabilitas usus

g. Eksudasi cairan, elektrolit dan mukus berlebihan

2. Etiologi diare kronik berdasarkan lokasi atau kelainan organ:

a. Kelainan pancreas: Fibrosis kistik, PEM, pankreatitis kronik, defisiensi enzim.

b. Kelainan hati: atresia bilier, ikterus obstruktif, hepatitis kronik, sirosis hepatic

c. Kelainan usus

3. Etiologi diare kronik berdasarkan karakteristik tinja: a. Tinja berlemak/streatorea

b. Tinja berdarah

c. Tinja tidak berdarah dan tidak berlemak: - Tinja cair atau seperti air

- Tinja encer/lembek (Suyono, 2001)


(18)

2.2.2Patofisiologi

Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih faktor di bawah ini: 1. a. Pengurangan atau penghambatan ion-ion.

b. Perangasangan dan sekresi aktif ion-ion pada usus (secretory diarrhea). Penghambatan penyerapan ion serta perangsangan sekresi ion dibicarakan bersamaan dengan alasan kebanyakan hormone dan toksin akan merangsang sekresi aktif serta menghambat penyerapan ion-ion.

Penderita ini kadang-kadang terbangun waktu pagi berhubung dengan meningkatnya pergerakan usus halus dan usus besar akibat meningkatnya sekresi aktif cairan ke dalam usus oleh faktor infeksi, peradangan dan pasca reseksi ileum. Pasca reseksi ileum dinamakan juga diare post prandial yang biasanya diare pada pagi hari, sehubungan dengan mengalirnya garam empedu ke usus pada pagi hari sesudah makan dan juga penumpukan garam empedu terbanyak pada pagi hari.

2. Terdapatnya zat yang sukar diabsorpsi atau cairan dengan tekanan osmotic yang tinggi pada usus.

Terdapatnya zat-zat yang sulit diserap atau cairan dengan tekanan osmotic yang tinggi dalam jumlah yang berlebihan pada usus akan menyebabkan diare yang disebut diare osmotik yaitu:

a. Larutan yang sulit diserap seperti obat pencahar/laksansia. b. Penyimpangan pencernaan makanan (maldisgesti).

c. Kegagalan pengangkutan makanan non elektrolit yang mempunyai

tekanan osmotic yang tinggi, misalnya glukosa yang biasanya diserap dengan mekanisme tertentu.


(19)

Karena tekanan osmotic yang tinggi, larutan yang sulit diserap ini menahan/menarik air dan garam ke dalam usus sehingga terjadi diare. Secara klinis diare osmotic dapat dibedakan dengan kenyataan bahwa diare ini akan berhenti bila penderita berhenti makan makanan yang menjadi penyebabnya (puasa). Pada sindrom malabsorbsi, bukan hanya diare tapi juga malnutrisi terjadi pada penderita.

3. Perubahan pergerakan dinding usus.

Perubahan pergertakan dinding usus dikenal dengan 3 proses:

a. Penurunan pergerakan usus/peristaltic yang menyebabkan bertambahnya perkembangbiakan bakteri dalam rongga usus.

b. Meningkatnya pergerakan usus yang menyebabkan berkurangnya waktu kontak antara makanan dengan permukaan usus halus sehingga makanan cepat masuk ke dalam lumen kolon.

c. Pengosongan kolon secara prematur disebabkan isi kolon atau proses peradangan kolom atau sindrom irritable colon yang akan mempersingkat waktu kontak, sehingga volume dan keenceran tinja akan bertambah. Penyakit yang termasuk dalam perubahan pergerakan usus ini antara lain sindrom irritable colon, sindrom keganasan karsinoid, diare post vagotomi, diare akibat penyakit endokrin seperti neuropati diabetic, dan tirotoksikosis.

2.2.3Diagnosis

Penderita diare kronik mempunyai gejala umum disamping gejala khusus yang sesuai dengan penyakit penyebabnya. Gejala umum berupa diare yang dapat berlangsung lama (berminggu-minggu atau berbulan-bulan) baik secara menetap


(20)

maupun berulang, kadang-kadang bercampur darah, lendir, lemak dan berbuih. Rasa sakit di perut, rasa kembung dan kadang-kadang disertai demam.

Volume tinja yang tetap banyak menunjukkan diare berasal dari kelainan usus halus dan permulaan usus besar. Tinja yang sedikit, berlendir dengan peningkatan kekerapan dan kemendadakan buang air besar menunjukkan kemungkinan berasal dari kolon desenden, sigmoid dan rektum. Tinja yang bercampur lendir dan darah kemungkinan berasal dari peradangan usus besar. Tinja yang tidak berdarah dan diselingi masa konstipasi menunjukkan penyebab diare kemungkinan adalah sindrom irritable colon. Tinja yang berbuih dengan buang angina (kentut) banyak, menunjukkan proses fermentasi karbohidrat yang tidak dapat diserap. Tinja yang bau busuk menunjukkan adanya pembusukan asam amino yang tidak dapat diserap. Tinja yang banyak, pucat berlemak dan mengapung menunjukkan streatorea (Soeparman, 1990).

2.2.4Pemeriksaan

Pemeriksaan Laboratorium yang dapat dilakukan pada diare kronik adalah sebagai berikut :

1. Lekosit Feses (Stool Leukocytes): Merupakan pemeriksaan awal terhadap diare kronik. Lekosit dalan feses menunjukkan adanya inflamasi intestinal. Kultur Bacteri dan pemeriksaan parasit diindikasikan untuk menentukan adanya infeksi. Jika pasien dalam keadaan immunocompromised, penting sekali kultur organisma yang tidak biasa seperti Kriptokokus, Isospora dan M. Avium Intracellulare. Pada pasien yang sudah mendapat antibiotik, toksin C difficle harus diperiksa.


(21)

2. Volume Feses : Jika cairan diare tidak terdapat lekosit atau eritrosit, infeksi enteric atau imfalasi sedikit kemungkinannya sebagai penyebab diare. Feses 24 jam harus dikumpulkan untuk mengukur output harian. Sekali diare harus dicatat (>250 ml/day), kemudian perlu juga ditentukan apakah terjadi steatore atau diare tanpa malabsorbsi lemak.

3. Mengukur Berat dan Kuantitatif fecal fat pada feses 24 jam : Jika berat feses > 300 g /24 jam mengkonfirmasikan adanya diare. Berat lebih dari 1000 - 1500 gr mengesankan proses sektori. Jika fecal fat lebih dari 10g/24h menunjukkan proses malabsorbstif.

4. Lemak Feses : Sekresi lemak feses harian < 6g/hari. Test standard untuk mengumpulkan feses selama 72 jam biasanya dilakukan pada tahap akhir. Eksresi yang banyak dari lemak dapat disebabkan malabsorbsi mukosa intestinal sekunder atau insufisiensi pancreas.

5. Osmolalitas Feses : Diperlukan dalam evaluasi untuk menentukan diare osmotic atau diare sekretori. Elekrolit feses Na, K dan osmolalitas harus diperiksa. Osmolalitas feses normal adalah –290 mosm. Osmotic gap feses adalah 290 mosm dikurangi 2 kali konsentrasi elektrolit faeces (Na & K) dimana nilai normalnya <50 mosm.

6. Pemeriksaan parasit atau telur pada feses : Untuk menunjukkan adanya Giardia E Histolitika pada pemeriksaan rutin. Cristosporidium dan cyclospora yang dideteksi dengan modifikasi noda asam.

7. Pemeriksaan darah : Pada diare inflamasi ditemukan lekositosis, LED yang meningkat dan hipoproteinemia. Albumin dan globulin rendah akan mengesankan suatu protein losing enteropathy akibat inflamasi intestinal.


(22)

8. Tes Laboratorium lainnya : Pada pasien yang diduga sekretori maka dapat diperiksa seperti serum VIP, gastrin, calcitonin, cortisol.

9. Diare Factitia : Phenolptalein laxatives dapat dideteksi dengan alkalinisasi feses dengan NaOH yang kan berubah warna menjadi merah. Skrining laksatif feses terhadap penyebab lain dapat dilakukan pemeriksaan analisa feses lainnya. Diantaranya Mg,SO4 dan PO4 dapat mendeteksi katartik osmotic

seperti MgSO4, mgcitrat Na2 SO4 dan Na2 PO4 (Maryani, 2003).

2.3. Tinjauan Umum Mengenai Obat a. Loperamid

Loperamid merupakan dari derivat petidin, bekerja dengan memperlambat motilitas saluran cerna dengan meghambat rilis asetilkolin melalui reseptor-reseptor opioid prasinaptik di sistem saraf usus. Obat ini berikatan dengan reseptor opioid sehingga diduga efek konstipasinya diakibatkan olehikatan loperamid dengan reseptor tersebut. Zat ini juga mampu menormalkan keseimbangan resorpsi dan sekresi sel-sel mukosa, yaitu memulihkan sel-sel yang berada dalam keadaan hipersekresi ke keadaan resorpsi normal kembali. Obat ini tidak boleh diberiklan kepada penderita colitis ulseratif karena dapat menyebabkan toksik megakolon. Mulai kerjanya lebih cepat dan bertahan lebih lama. Pada diare akut dan kronis, dosis permulaan adalah 2 tablet dari 2 mg, lalu setiap 2 jam 1 tablet dan maksimum pemberian dalam 1 hari adalah 8 tablet. Efek samping yang sering dijumpai adalah kolik abdomen, sedangkan toleransi


(23)

terhadap efek konstipasi jarang terjadi. Kadar puncak loperamid dalam plasma adalah 4 jam. Waktu paruhnya adalah 7-14 jam. Lopreamid tidak diserap dengan baik oleh pemberian oral dan penetrasinya kedalam otak tidak baik sehingga tidak menimbulkan euphoria dan ketergantungan. Sebagian besar obat disekresi memalui feses. Obat ini sama efektifnya dengan difenoksilat untuk pengobatan diare kronik.

b. Cefotaxim

Cefotaxim merupakan sefalosporin generasi ketiga berspektrum luas. Cara kerjanya adalah dengan menghambat sintesa dinding sel mikroba pada proses transpeptidase tahap keetiga dlam reaksi pembentuka dinding sel. Obat ini sangat efektif terhadap bakteri gram negatif dan kurang untuk bakteri gram positif. Obat ini dapat melintasi daerah sawar darah otak. Obat ini dapat dihidrolisa oleh enzim

β-laktamase yang diproduksi oleh enterobakter sehingga obat ini tidak efektif tehadap infeksi yang disebabkan oleh enterobakter.. Kadar serum yang dicapai setelah pemberian infus 1 gram adalah 60-140 g/mL.obat ini mengalami penetrasi ke dalam jaringan dan cairan tubuh dengan baik. Waktu paruh plasma sekitar 1 jam dan diberikan tiap 4-6 jam. Metabolitnya ialah desasetilsefotaksim yang kurang aktif. Obat ini sangat efektif untuk pengobatan meningitis oleh baktri gram negatif. Dosis untuk orang dewasa adalah 2-12 g/hari dibagi dalam 3-6 dosis. Dalam keadaan gagal ginjal diperlukan penyesuaian dosis.

c. Parasetamol

Parasetamol merupakan golongan obat analgetik non narkotik. Tidak seperti obat AINS, obat ini mempunyai sedikit atau tidak mempunyai aktivitas antiinflamasi. Dibandingkan analgetik narkotik, maka keuntungan terapi


(24)

analgetik non narkotik tidak menimbulkan ketergantungan fisik atau toleransi. Parasetamol bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin di hipotalamus/SSP. Ini menerangkan efek antipiretik dan analgetiknya. Efeknya kurang terhadap siklooksigenase jaringan perifer yang mengakibatkan aktivitas anti inflamasinya lemah. Parasetamol tidak mempengaruhi fungsi trombosit dalam meningkatkan pembekuan darah, efek sampingnya lebih sedikit daripada aspirin. Pemakaian parasetamol dosis besar dan dalam jangka waktu yang lama me nyebabkan persediaan glutation di hati berkurang, dan N-asetil-benzokuinon bereaksi dengan grup sulfhidril protein hati membentuk ikatan kovalen, sehingga terjadi nekrosis hati, nekrosis pada tubuler ginjal dapat juga terjadi (Ganiswara, S.G, 1995)

d. IVFD NaCl 0,9%

Infus IVFD 0,9% merupakan larutan elektrolit yang diberikan melalui intravena untuk memenuhi kebutuhan normal akan cairan dan elektrolit atau kehilangan yang berkelanjutan, untuk penderita yang mual, muntah, diare dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya melalui mulut. Bila tidak mungkin diberikan intravena, volume cairan yang besar dapat pula diberikan secara subkutan. Bagi pasien yang mengalami gangguan keseimbangan cairan disarankan pemberian 31 mmol Natrium dan Clorida dan 20 mmol KCl per liternya selama sehari (Baltrop dan Brueton 1991).


(25)

BAB III

PROSEDUR DIAGNOSTIK DAN PENATALAKSANAAN

3.1Studi Kasus

Kanker Rektum + Diare Kronis

3.1.1 Identitas Pasien

Nama : PHP

Nomor Rekam Medik : 33.67.46

Umur/Jenis Kelamin : 49 tahun/ Laki-laki

Agama/Suku : Kristen/Batak

Alamat : Pematang Siantar

Pembayaran : Askes

Tanggal Masuk RS : 7 September 2007 Tanggal keluar RS : 5 Oktober 2007

Ruangan : Rindu AII

3.1.2 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUP H. Adam Malik Medan

Pasien masuk ke Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan melalui unit IGD pada tanggal 7 September 2007 pukul 1815 WIB, kemudian pasien dirawat inap di unit Rindu AII (Interna Pria). Pasien mengalami gangguan

buang air besar (mencret) dan mual yang telah dialami ± 1 bulan dan memberat dalam waktu 1 minggu terakhir. Pasien juga mengalami demam yang turun bila diberi obat penurun demam. Riwayat penurunan berat badan pasien ± 3 kg dalam


(26)

1 bulan. Terdapat benjolan pada bokong kanan pasien sejak 3 bulan lalu, mula-mula benjolan sebesar biji jagung dan semakin lama semakin membesar, kemudian benjolan pecah dan mengeluarkan nanah dan bau yang disertai denga rasa nyeri. Tidak diketahui adanya riwayat trauma pada pasien.

3.2 Pemeriksaan yang dilakakukan Pemeriksaan Fisik Pasien

Sensorium : Compos Mentis Tekanan darah : 90/60 mmHg Denyut nadi : 78 x/i

Pernafasan : 24 x/i Suhu tubuh : 37 0C

Pemeriksaan laboratorium

Pasien melakukan pemeriksaan hematologi di laboratorium Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik

Tanggal Normal Pemeriksaan Unit

7/9 10/9 Faal Ginjal

- uric acid - ureum - Creatinin mg/dL mg/dl mg/dL 16 0,7 4,7 20 0,6 2,6-7,0 10-40 0,7-1,4 Faal Hati - SGOT - SGPT

- Bilirubin Total - Bilirubin Direct - Alkalin fosfatase

/L /L mg/dL mg/dL /L 28 15 18,9 9,3 0,29 0,04 77,5 1,0-38,0 1,0-41,0 0,15-1,00 0,05-0,20 40-129,0 Met. Karbohidrat

- KGD adrandome - CEA - Feritinin - TIBC - AFP mg/dL ng/mL ng/mL g/dL ng/mL 137 6,77 32,18 234 2,96 <200 0-3 32-284 250-425 0-15


(27)

- Serum iron g/dL 38 50-160 Elektrolit Darah - Natrium - Kalium - Klorida mEg/dL mEq/dL mEq/dL 135 4,5 106 134 3,9 104 135-155 3,6-5,5 96-106

Pasien juga melakukan pemeriksaan kolonoskopi pada tanggal 10 September 2007 di laboratorium Divisi Gastroentero-Hepatologi RSUP H. Adam Malik dengan hasil: pada 10 cm pada bagian rektum dijumpai massa berbenjol-benjol, mudah berdarah, nekrotik, dan tampak pus. Kesimpulan: Ca Rektum.

Pasien juga melakukan pemeriksaan USG Abdomen di laboratorium Instalasi Diagnostik Terpadu RSUP H. Adam Malik pada tanggal 17 September 2007 dengan hasil:

- Tidak tampak metastase ke liver dan visceral membran - Tidak tampak lymphadenopathy

- Pancreas, spleen, liver dan GB/biliary normal normal scan.

Pasien juga melakukan pemeriksaan CT Lower Abdomen di laboratorium Bagian CT Scan RSU DR. Pirngadi Medan pada tanggal 19 September 2007, dengan hasil: Tampak massa mengisi circular rektum sehingga tampak trapping udara dan kontras di dalamnya. Dinding rektum sebagian sudah vesica-urinaria terdorong ke anterior oleh mass, tetapi dindingnya masih licin dan tidak tampak batu/massa di dalamnya, tidak tampak pembesaran kelenjar lympe di para-aorta.

3.3 Diagnosa Penyakit

Dari semua kondisi yang telah dipaparkan diatas maka dokter mendiagnosa pasien menderita kanker rektum dan diare kronis.


(28)

3.4 Terapi

Hasil diagnosa dan terapi yang diberikan untuk pasien secara lengkap ditunjukkan pada tabel lampiran 1.


(29)

BAB IV PEMBAHASAN

Pasien masuk ke RSUP H.Adam Malik pada tanggal 7 September 2007 pukul 1815 WIB melalui IGD dan dirawat diruangan inap terpadu (RINDU) AII

Interna Pria dengan keluhan mencret dan mual yang telah dialami ± 1 bulan dan memberat dalam waktu 1 minggu terakhir. Pasien juga mengalami demam yang turun bila diberi obat penurun demam. Riwayat penurunan berat badan pasien ± 3 kg dalam 1 bulan. Terdapat benjolan pada bokong kanan pasien sejak 3 bulan lalu, mula-mula benjolan sebesar biji jagung dan semakin lama semakin membesar, kemudian benjolan pecah dan mengeluarkan nanah dan bau yang disertai dengan rasa nyeri. Tidak diketahui adanya riwayat trauma pada pasien.

Berdasarkan riwayat penyakit pasien yang telah mengalami mencret dan penurunan berat badan ± 3 kg dalam 1 bulan , maka dilakukan penatalaksanaan pemerikasaan kolonoskopi pada tanggal 10 September 2007, yaitu prosedur endoskopi yang digunakan untuk insfeksi terhadap usus besar (kolorektum) dengan menggunakan fiberskop panjang yang fleksibel (Kee, 1997). Dari hasil pemeriksaan pasien didiagnosa menderita penyakit kanker rektum. Kemudian pada tanggal 17 September 2007 dilakukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu pemeriksaan USG abdomen untuk melihat adanya kelainan jaringan pada abdomen, dan hasilnya tidak terdapat metastase dari sel kanker yang menuju ke liver dan viscera membrane. Kemudian pada tanggal 19 September 2007 dilakukan pemeriksaan CT Scan, hasilnya terdapat suatu massa yang mengisi mengisi circular rektum sehingga tampak trapping udara dan kontras di dalamnya. Dinding rektum sebagian sudah vesica-urinaria terdorong ke anterior oleh mass,


(30)

tetapi dindingnya masih licin dan tidak tampak batu/massa di dalamnya, tidak tampak pembesaran kelenjar lympe di para-aorta.

Tanggal 07-22 september 2007 pasien diberikan IVFD NaCl 0,9% untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan cairan dan elektrolit. NaCl 0,9% merupakan garam normal yang dapat memulihkan kehilangan cairan dan natrium klorida. Infus IVFD 0,9% merupakan larutan elektrolit yang diberikan melalui intravena untuk memenuhi kebutuhan normal akan cairan dan elektrolit atau kehilangan yang berkelanjutan, untuk penderita yang mual, muntah, diare dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya melalui mulut. Pemberian IVFD NaCl 0,9% ini diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kembali kondisi cairan tubuh pasien menjadi normal, dimana pasien mengalami mencret sehingga pasien mengalami banyak kehilangan cairan (Baltrop dan Brueton 1991).

Pasien juga diberikan injeksi cefotaxime dengan dosis 1gr/12 jam. Cefotaxime merupakan antibiotik generasi ketiga dari sefalosporin. Cefotaxime bekerja dengan menghambat sintesa dinding sel bakteri. Cefotaxime memiliki aktivitas spektrum yang lebih luas terhadap bakteri gram negatif bila dibandingkan dengan turunan pertama dan kedua dari sefalosporin, serta lebih stabil terhadap bakteri penghasil -laktamase, penisillinase dan sefaloporinase. Secara umum cefotaxime memiliki aktivitas yang lebih kecil terhadap bakteri garam positif dibandingkan dengan turunan pertama dan kedua sefalosporin. Pemberian cefotaxime digunakan untuk mengobati adanya infeksi pada bagian usus besar pasien. Pemberian Cefotaxime pada penderita gangguan gastrointestinal harus diperhatikan dengan hati-hati, karena cefotaxime dapat menyebabkan diare, muntah dan mual. Cefotaxime diperkirakan dapat


(31)

meningkatkan resiko terinfeksi bakteri Clostridium difficile yang dapat menyebabkan diare, walaupun resiko yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan dengan turunan ketiga sefalosporin yang lain (Martidale, 2007). Melihat kondisi pasien yang menderita diare kronik, pemberian Cefotaxime harus dipantau dosis dan lama penggunaannya. Selain itu juga harus dilakukan kultur jaringan untuk mengetahui jenis bakteri yang menyebabkan pasien menderita diare kronis, sehingga dapat diketahui apakah penggunaan Cefotaxime dapat berbahaya atau tidak.

Pasien juga diberikan Loperamide HCl pada tanggal 7 – 12 September 2007. Loperamide HCl merupakan sintetik dari derivate petidin yang digunakan untuk mengontrol dan mengobati simptom diare akut non spesifik dan diare kronik. Loperamide HCl juga digunakan untuk menurunkan buangan dari ileustomis. Loperamid HCl dapat menghambat motilitas usus dan menurunkan sekresi gastrointestinal. Pemberian secara oral ditujukan untuk terapi diare akut dan diare kronik, juga untuk menurunkan volume buangan cairan pada pemeriksaan kolostomi dan ileustomi (Martidale, 2007).

Pada diare akut, dosis umum loperamide HCl untuk pasien dewasa adalah 4 mg yang dilanjutkan dengan penggunaan 2 mg setiap mencret, dengan batas maksimal 16 mg/hari. Pada diarekronik, dosis umum loperamide HCl untuk pasien dewasa adalah 4 – 8 mg per hari, dan dapat dilebihkan sesuai dengan kebutuhan, namun tidak tidak boleh lebih dari 16 mg per harinya. Jika tidak ada kemajuan pada pasien yang menggunakan Loperamide HCl dengan dosis 16 mg per hari setidaknya selama 10 hari, penggunaan Loperamide HCl lebih lanjut tidak akan bermanfaat (Martidale, 2007).


(32)

Pasien juga mendapat Paracetamol pada tanggal 7 – 16 September 2007. Paracetamol (derivate para amino fenol) mempunyai efek analgetik dan antipiretik. Paracetamol dapat diberikan secara oral maupun secara supositoria melalui rektum. Pemberian paracetamol ditujukan untuk meringankan nyeri sedang dan demam. Paracetamol diabsorbsi melalui saluran gastrointestinal dan akan mencapai puncak konsentrasi plasma setelah 10 – 60 menit pada pemberian oral. Waktu paruh eliminasi antara 1 – 3 jam. Paracetamol dimetabolisme di hati dan dieskresi melalui urine (Martidale, 2007).

Pemeberian paracetamol ini diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kembali suhu tubuh pasien. Pasien mengalami demam yang naik turun, sehingga pasien membutuhkan paracetamol setiap saat, dengan catatan pasien hanya menggunakan paracetamol hanya pada saat keadaan demam.


(33)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan

- Pemberian IVFD NaCl 0,9% adalah rasional untuk memenuhi kebutuhan tubuh pasien akan cairan dan elektrolit.

- Pemberian cefotaxime adalah rasional untuk mengobati infeksi yang terjadi pada bagian usus besar pasien.

- Pemberian Loperamide adalah rasional untuk mengobati penyakit diare kronis yang dialami pasien.

- Pemberian Parasetamol adalah rasional untuk mengobati penyakit demam yang dialami oleh pasien.

5.2 Saran

5.2.1 Rekomendasi untuk dokter

Hendaknya dilakukan kultur jaringan untuk mengetahui bakteri penyebab infeksi dan diare dari pasien, sehingga dapat dilakukan pengobatan yang lebih lanjut.

5.2.2Informasi obat dan konseling untuk pasien/ keluarga

a. Hendaknya keluarga memberikan nutrisi tambahan bagi pasien untuk menambah tenaga dan fitalitas pasien.


(34)

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, G.S. (1995). Farmakologi Dan Terap., Edisi keempat. Gaya Baru. Jakarta

Heriady, Yusuf, Dr., SpB., SpBOnk., 2002, “Kanker Usus Besar Kolon dan Rektum”, Kalimantan Barat: Pontianak Post.

Kee, LeFever, Joyce, 1997, “Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik”, Edisi ke-2, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, Hal: 300 – 301.

Martindale, 2007, ”The Complete Drug Reference”, Great Britain: Pharmaceutical Press.

Maryani, 2003, ”Diare Kronis”, Medan: USU Press, Hal: 1; 6.

Price, S. A., & Wilson, L. J., (1995), Patofisiologi, Edisi ke-4, Cetakan pertama, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC, Hal 419 – 420.

Soeparman, 1990, ”Ilmu Penyakit Dalam”, Jilid II, Jakarta: Balai Penerbit FK UI, Hal: 145 – 146; 163 – 164.

Suyono, Slamet, 2001, ”Ilmu Penyakit Dalam”, Jilid II, Edisi Ke-3, Jakarta: Balai Penerbit FK UI, Hal: 180-182.

www.wikipedia.org, 2007, “Kanker Kolon dan Rektum”.

www.medicastore.com, 2004, “Kanker Kolorektal”.


(35)

Lampiran 1. Hasil Diagnosa Dan Terapi (7 September 2007-22 September 2007) Tanggal Keluhan

7/09 8/09 9/09 10/09 11/09 12/09 13/09 14/09 15/09

Keterangan

KU Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret KU = Keadaan Umum

Sensorik CM ( Compose Mentis) CM =Kesadaran cukup

Pemeriksaan

TD (mmHg) 90/60 100/70 120/90 110/90 110/70 120/80 110/60 TD=Tekanan darah

Normal: 120/80mmHg

HR(Kali/menit) 78 88 80 80 80 80 68 HR=Heart Rate,

N: 70-90 x/menit

RR(kali/menit) 24 28 20 24 22 22 22 RR=Respiratory Rate,

N:10-20 x/menit

Suhu tubuh 37 37,2 37,5 36,8 36,1 37 37 N : 37 ± 0,50C

Diagnosa CC+DK CC+DK CC+DK CC+DK CC+DK CC+DK CC+DK CR+DK CR+DK

Terapi

Tirah baring √ √ √ √ √ √ √ √ √

Diet

IVFD NaCl 0,9% √ √ √ √ √ √ √ √ √ 20 tetes/menit

Inj. Cefotaxim √ √ √ √ √ √ √ √ √ 1 gr/12 jam

Paracetamol 500 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ 3 x sehari

Loperamid 2 mg √ √ √ √ √ √ 1 x 2 tablet, selanjutnya

1 tablet setiap mencret. Maksimal 8 tablet.

Keterangan :

CC : Ca. Colon


(36)

Tanggal Keluhan

16/09 17/09 18/09 19/09 20/09 21/09 22/09

Keterangan

KU Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret KU = Keadaan Umum

Sensorik CM ( Compose Mentis) CM =Kesadaran cukup

Pemeriksaan

TD (mmHg) 120/80 100/80 90/60 100/50 100/70 TD=Tekanan darah

Normal: 120/80mmHg

HR(Kali/menit) 80 80 64 76 76 HR=Heart Rate,

N: 70-90 x/menit

RR(kali/menit) 22 20 22 24 24 RR=Respiratory Rate,

N:10-20 x/menit

Suhu tubuh 37 36,8 36,7 37,7 36,9 N : 37 ± 0,50C

Diagnosa CR+DK CR+DK CR+DK CR+DK CR+DK CR+DK CR+DK

Terapi

Tirah baring √ √ √ √ √ √ √

Diet - - - - - -

IVFD NaCl 0,9% √ √ √ √ √ √ √

Inj. Cefotaxim √ √ √ √ √ √ √

Paracetamol 500 mg √ √

Loperamid 2 mg

Keterangan :

CC : Ca. Colon


(37)

Lampiran 2. Tinjauan umum tentang obat

No Nama Obat Komposisi Dosis lazim Indikasi Mekanisme kerja Efek samping

1. Cefotaxime (inj.)

Cefotaxime sodium setara dengan cefotaxime 1000 mg

1 gr/12 jam, maksimal 12 gram.

Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh kuman yang sensitif terhadap cefotaxime seperti infeksi saluran kemih, infeksi intra abdominal, dll.

Menghambat sintesa dinding sel bakteri

Gangguan fungsi ginjal, gangguan gastrointestinal, hipoprotrombinemia

2. Paracetamol Paracetamol 500 mg 3 x sehari Demam dan nyeri Menghambat sintesis

prostaglandin di hipotalamus/SSP

Gangguan fungsi pencernaan 3. Loperamid Loperamid HCl 2 mg 4-8 mg/hari,

maksimal 16 mg

Diare kronik Meghambat pelepasan

asetilkolin

Nyeri abdominal, mual, muntah, konstipasi, mulut kering.


(38)

Terapi obat Rasionalitas

Dosis regimen Tgl Diagnosis

Nama obat kekuatan Dosis sehari rute Ind O P Dos is

Wa ktu

Int. lama Rute

IVFD NaCl 0,9% 20gtt/mnt = 1440 ml/hari iv R R R R R R R R

Inj. Cefotaxime 1000 mg/vial 1 gr/12 jam = 2 gr/hari iv R R R R R R R R

Loperamide HCl 2 mg/ tablet 4-8 mg/hari, maks 16 mg p.o R R R R R R R R 7-12

Sept

Ca Colon ec Diare Kronis

Paracetamol 500 mg/ tablet 3 x 500 mg p.o R R R R R R R R

IVFD5 NaCl 0,9% 20gtt/mnt = 1440 ml/hari iv R R R R R R R R

Inj. Cefotaxime 1000 mg/vial 1 gr/12 jam = 2 gr/hari iv R R R R R R R R 13 Sept

Ca Colon ec Diare Kronis

Paracetamol 500 mg/ tablet 3 x 500 mg p.o R R R R R R R R

IVFD5 NaCl 0,9% 6 gtt/mnt = 432 ml/hari iv R R R R R R R R

Inj. Cefotaxime 1000 mg/vial 1 gr/12 jam = 2 gr/hari iv R R R R R R R R

14-17

Sept Ca Rektum ec Diare

Kronis

Paracetamol 500 mg/ tablet 3 x 500 mg p.o R R R R R R R R

IVFD5 NaCl 0,9% 6 gtt/mnt = 432 ml/hari iv R R R R R R R R

18-22 Sept

Ca Rektum ec Diare

Kronis Inj. Cefotaxime 1000 mg/vial 1 gr/12 jam = 2 gr/hari iv R R R R R R R R


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

- Pemberian IVFD NaCl 0,9% adalah rasional untuk memenuhi kebutuhan tubuh pasien akan cairan dan elektrolit.

- Pemberian cefotaxime adalah rasional untuk mengobati infeksi yang terjadi pada bagian usus besar pasien.

- Pemberian Loperamide adalah rasional untuk mengobati penyakit diare kronis yang dialami pasien.

- Pemberian Parasetamol adalah rasional untuk mengobati penyakit demam yang dialami oleh pasien.

5.2 Saran

5.2.1 Rekomendasi untuk dokter

Hendaknya dilakukan kultur jaringan untuk mengetahui bakteri penyebab infeksi dan diare dari pasien, sehingga dapat dilakukan pengobatan yang lebih lanjut.

5.2.2Informasi obat dan konseling untuk pasien/ keluarga

a. Hendaknya keluarga memberikan nutrisi tambahan bagi pasien untuk menambah tenaga dan fitalitas pasien.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, G.S. (1995). Farmakologi Dan Terap., Edisi keempat. Gaya Baru. Jakarta

Heriady, Yusuf, Dr., SpB., SpBOnk., 2002, “Kanker Usus Besar Kolon dan Rektum”, Kalimantan Barat: Pontianak Post.

Kee, LeFever, Joyce, 1997, “Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik”, Edisi ke-2, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, Hal: 300 – 301.

Martindale, 2007, ”The Complete Drug Reference”, Great Britain: Pharmaceutical Press.

Maryani, 2003, ”Diare Kronis”, Medan: USU Press, Hal: 1; 6.

Price, S. A., & Wilson, L. J., (1995), Patofisiologi, Edisi ke-4, Cetakan pertama, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC, Hal 419 – 420.

Soeparman, 1990, ”Ilmu Penyakit Dalam”, Jilid II, Jakarta: Balai Penerbit FK UI, Hal: 145 – 146; 163 – 164.

Suyono, Slamet, 2001, ”Ilmu Penyakit Dalam”, Jilid II, Edisi Ke-3, Jakarta: Balai Penerbit FK UI, Hal: 180-182.

www.wikipedia.org, 2007, “Kanker Kolon dan Rektum”. www.medicastore.com, 2004, “Kanker Kolorektal”.


(3)

Lampiran 1. Hasil Diagnosa Dan Terapi (7 September 2007-22 September 2007) Tanggal Keluhan

7/09 8/09 9/09 10/09 11/09 12/09 13/09 14/09 15/09

Keterangan

KU Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret KU = Keadaan Umum

Sensorik CM ( Compose Mentis) CM =Kesadaran cukup

Pemeriksaan

TD (mmHg) 90/60 100/70 120/90 110/90 110/70 120/80 110/60 TD=Tekanan darah

Normal: 120/80mmHg

HR(Kali/menit) 78 88 80 80 80 80 68 HR=Heart Rate,

N: 70-90 x/menit

RR(kali/menit) 24 28 20 24 22 22 22 RR=Respiratory Rate,

N:10-20 x/menit

Suhu tubuh 37 37,2 37,5 36,8 36,1 37 37 N : 37 ± 0,50C

Diagnosa CC+DK CC+DK CC+DK CC+DK CC+DK CC+DK CC+DK CR+DK CR+DK

Terapi

Tirah baring √ √ √ √ √ √ √ √ √

Diet

IVFD NaCl 0,9% √ √ √ √ √ √ √ √ √ 20 tetes/menit

Inj. Cefotaxim √ √ √ √ √ √ √ √ √ 1 gr/12 jam

Paracetamol 500 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ 3 x sehari

Loperamid 2 mg √ √ √ √ √ √ 1 x 2 tablet, selanjutnya

1 tablet setiap mencret. Maksimal 8 tablet.

Keterangan :

CC : Ca. Colon


(4)

Tanggal Keluhan

16/09 17/09 18/09 19/09 20/09 21/09 22/09

Keterangan

KU Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret Mencret KU = Keadaan Umum

Sensorik CM ( Compose Mentis) CM =Kesadaran cukup

Pemeriksaan

TD (mmHg) 120/80 100/80 90/60 100/50 100/70 TD=Tekanan darah

Normal: 120/80mmHg

HR(Kali/menit) 80 80 64 76 76 HR=Heart Rate,

N: 70-90 x/menit

RR(kali/menit) 22 20 22 24 24 RR=Respiratory Rate,

N:10-20 x/menit

Suhu tubuh 37 36,8 36,7 37,7 36,9 N : 37 ± 0,50C

Diagnosa CR+DK CR+DK CR+DK CR+DK CR+DK CR+DK CR+DK

Terapi

Tirah baring √ √ √ √ √ √ √

Diet - - - - - -

IVFD NaCl 0,9% √ √ √ √ √ √ √

Inj. Cefotaxim √ √ √ √ √ √ √

Paracetamol 500 mg √ √ Loperamid 2 mg

Keterangan :


(5)

Lampiran 2. Tinjauan umum tentang obat

No Nama Obat Komposisi Dosis lazim Indikasi Mekanisme kerja Efek samping

1. Cefotaxime (inj.)

Cefotaxime sodium setara dengan cefotaxime 1000 mg

1 gr/12 jam, maksimal 12 gram.

Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh kuman yang sensitif terhadap cefotaxime seperti infeksi saluran kemih, infeksi intra abdominal, dll.

Menghambat sintesa dinding sel bakteri

Gangguan fungsi ginjal, gangguan gastrointestinal, hipoprotrombinemia

2. Paracetamol Paracetamol 500 mg 3 x sehari Demam dan nyeri Menghambat sintesis prostaglandin di hipotalamus/SSP

Gangguan fungsi pencernaan 3. Loperamid Loperamid HCl 2 mg 4-8 mg/hari,

maksimal 16 mg

Diare kronik Meghambat pelepasan asetilkolin

Nyeri abdominal, mual, muntah, konstipasi, mulut kering.


(6)

Terapi obat Rasionalitas Dosis regimen Tgl Diagnosis

Nama obat kekuatan Dosis sehari rute Ind O P Dos is

Wa ktu

Int. lama Rute

IVFD NaCl 0,9% 20gtt/mnt = 1440 ml/hari iv R R R R R R R R

Inj. Cefotaxime 1000 mg/vial 1 gr/12 jam = 2 gr/hari iv R R R R R R R R

Loperamide HCl 2 mg/ tablet 4-8 mg/hari, maks 16 mg p.o R R R R R R R R

7-12 Sept

Ca Colon ec Diare Kronis

Paracetamol 500 mg/ tablet 3 x 500 mg p.o R R R R R R R R

IVFD5 NaCl 0,9% 20gtt/mnt = 1440 ml/hari iv R R R R R R R R

Inj. Cefotaxime 1000 mg/vial 1 gr/12 jam = 2 gr/hari iv R R R R R R R R

13 Sept

Ca Colon ec Diare Kronis

Paracetamol 500 mg/ tablet 3 x 500 mg p.o R R R R R R R R

IVFD5 NaCl 0,9% 6 gtt/mnt = 432 ml/hari iv R R R R R R R R

Inj. Cefotaxime 1000 mg/vial 1 gr/12 jam = 2 gr/hari iv R R R R R R R R

14-17

Sept Ca Rektum ec Diare

Kronis

Paracetamol 500 mg/ tablet 3 x 500 mg p.o R R R R R R R R

IVFD5 NaCl 0,9% 6 gtt/mnt = 432 ml/hari iv R R R R R R R R

18-22 Sept

Ca Rektum ec Diare

Kronis Inj. Cefotaxime 1000 mg/vial 1 gr/12 jam = 2 gr/hari iv R R R R R R R R