PENGARUH IMBANGAN JERAMI KACANG TANAH DENGAN RUMPUT RAJA DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMAN SAPI PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN (PFH) JANTAN

(1)

i

PENGARUH IMBANGAN JERAMI KACANG TANAH DENGAN RUMPUT RAJA DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMAN

SAPI PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN (PFH) JANTAN

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan

Di Fakulttas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan/Program Studi Peternakan

Oleh : RUMIYATI

H0504071

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2008


(2)

ii

PENGARUH IMBANGAN JERAMI KACANG TANAH DENGAN RUMPUT RAJA DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMAN

SAPI PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN (PFH) JANTAN

Yang dipersiapkan dan disusun oleh RUMIYATI

H0504071

Telah dipertahankan didepan Dewan Penguji Pada tanggal : 15 Oktober 2008

Susunan Tim Penguji

Ketua Anggota I Anggota II

Wara Pratitis S.S, S.Pt, MP Ir. Susi Dwi W, MS Ir. Suharto, MS NIP. 132 259 226 NIP. 131 453 824 NIP. 130 803 673

Surakarta, Oktober 2008

Mengetahui Universitas Sebelas Maret

Fakultas Pertanian Dekan

Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS NIP. 131 124 609


(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar.

Bersama ini kami ucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian, UNS Surakarta 2. Ir. Sudiyono, MS selaku Ketua Jurusan/Program Studi Peternakan

3. Ibu Wara Pratitis Sabar Suprayogi, S.Pt, MP selaku pembimbing utama 4. Ibu Ir. Susi Dwi Widyawati, MS selaku pembimbing pendamping 5. Ir. Suharto, MS selaku dosen penguji

6. Ir. YBP Subagyo, MS selaku pembimbing akademik

7. Segenap dosen dan karyawan Jurusan/Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, UNS Surakarta

8. Orang tua dan keluarga tercinta yang kami banggakan atas do’a restu dan dukungannya

9. Segenap pimpinan dan karyawan CV. Mawar Mekar atas dukungan dan bantuan sarana dan prasarana selama penelitian

10. Teman-teman peternakan angkatan 2004 khususnya dan semua angkatan atas dukungan, bantuan, do’a, kritik dan sarannya

11. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian sampai penulisan skripsi

Selain itu, kami sangat berharap adanya kritik dan saran dari semua pihak yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Atas dukungan, bantuan, kritik dan sarannya kami ucapkan terima kasih.

Oktober 2008 Penulis


(4)

iv DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……….. i

HALAMAN PENGESAHAN………. ii

KATA PENGANTAR………. iii

DAFTAR ISI……… iv

DAFTAR TABEL……… vi

DAFTAR LAMPIRAN……… vii

RINGKASAN……… viii

SUMMARY……….. x

I. PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang……….. 1

B. Rumusan Masalah……… 3

C. Tujuan Penelitian……….. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA……… 4

A. Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH)……….. 4

B. Bahan Pakan Ternak .………... 5

C. Sistem Pencernaan Ruminansia……… 8

D. Konsumsi Pakan………….……….. 11

E. Konsumsi Protein Kasar………... 12

F. Pertambahan Bobot Badan Harian……… 13

G. Efisiensi Penggunaan Protein Ransum………. 14

H. Konversi Pakan ……… 15

I. Feed Cost per Gain………... 15

HIPOTESIS………. 17

III. METODE PENELITIAN………. 18

A. Waktu dan Tempat Penelitian………... 18

B. Bahan dan Alat Penelitian………. 18

C. Persiapan Penelitian………... 20

D. Cara Penelitian……… 21


(5)

v

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………... 24

A. Konsumsi Pakan……….. 24

B. Konsumsi Protein Kasar (PK)………. 26

C. Pertambahan Bobot Badan Harian……….. 28

D. Efisiensi Penggunaan Protein Ransum (EPPR)……….. 30

E. Konversi Pakan………... 33

F. Feed Cost per Gain………. 34

V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 36

A. Kesimpulan……….. 36

B. Saran……… 36

DAFTAR PUSTAKA………... 37


(6)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1. Kebutuhan Nutrien Sapi PFH Jantan Bobot Badan 150 kg (%BK).. 19

2. Kandungan Nutrien Bahan Pakan ... 19

3. Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan... 19

4. Rerata Konsumsi Pakan Dalam BK (kg/ekor/hari) ... 24

5. Rerata Konsumsi PK (gram/ekor/hari) ... 26

6. Rerata PBBH Sapi PFH Jantan Selama Penelitian (kg/ekor/hari) .... 28

7. Rerata EPPR Sapi PFH Jantan ... 30

8. Rerata Konversi Pakan Sapi PFH Jantan ... 33


(7)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Analisis Variansi Konsumsi Pakan ... 41

2. Analisis Variansi Konsumsi PK... 42

3. Analisis Kovariansi PBBH... 43

4. Analisis Variansi EPPR….. ... 45

5. Analisis Variansi Konversi Pakan... 46

6. Perhitungan Feed Cost per Gain... 47

7. Bobot Badan Awal dan Akhir Sapi PFH Jantan ... 48

8. Data Suhu Kandang ... 49

9. Denah Kandang... 50


(8)

viii

PENGARUH IMBANGAN JERAMI KACANG TANAH DENGAN RUMPUT RAJA DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMAN

SAPI PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN (PFH) JANTAN

Rumiyati H0504071

RINGKASAN

Hijauan merupakan bahan pakan yang mutlak harus disediakan bagi ternak ruminansia. Hijauan yang diberikan harus cukup secara kualitas, kuantitas dan kontinyu. Rumput raja sebagai salah satu hijauan yang berkualitas, ketersediaannya tidak tetap sepanjang tahun, tergantung pada musim dan lahan bersaing dengan tanaman pangan. Sedangkan jerami kacang tanah merupakan limbah tanaman pangan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan yang berkualitas dan cukup tersedia serta murah di musim panen. Akan tetapi jerami kacang tanah termasuk leguminosa yang tidak dapat diberikan penuh sebagai hijauan karena produksinya juga tidak tetap sepanjang tahun. Oleh karena itu perlu diketahui rasio yang baik antara jerami kacang tanah dengan rumput raja supaya kualitas hijauan dapat dipertahankan dan kualitas ransum secara keseluruhan meningkat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh imbangan jerami kacang tanah (JKT) dengan rumput raja dalam ransum terhadap performan sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) jantan. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 Maret sampai 21 Mei 2008 di CV. Mawar Mekar, Dusun Sengon Kerep, Kelurahan Gedong, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar. Bahan yang digunakan adalah 12 ekor sapi PFH jantan dengan bobot badan rata-rata 122,04 ± 11,19 kg. Sapi dibagi dalam empat perlakuan dan tiga ulangan. Setiap ulangan terdiri dari satu ekor sapi PFH jantan.

Pakan yang diberikan terdiri dari hijauan (rumput raja dan jerami kacang tanah) dan konsentrat (campuran 50% bekatul, 40% SBR, 6% bungkil kelapa dan 4% jagung giling). Perlakuan yang diberikan yaitu imbangan JKT dengan rumput


(9)

ix

raja, masing-masing P0 (40% rumput raja), P1 (30% rumput raja : 10% JKT), P2 (20% rumput raja : 20% JKT), dan P3 (10% rumput raja : 30% JKT). Peubah yang diamati adalah konsumsi pakan, konsumsi protein kasar, pertambahan bobot badan harian, efisiensi penggunaan protein ransum, konversi pakan dan feed cost per gain. Data dianalisis menggunakan analisis variansi berdasarkan Rancangan Acak Lengkap pada parameter konsumsi pakan, konsumsi protein kasar,efisiensi penggunaan protein ransum, konversi pakan, dan analisis kovariansi pada parameter pertambahan bobot badan harian sedangkan feed cost per gain

dilaporkan secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata dari keempat macam perlakuan P0, P1, P2 dan P3 bertutut-turut untuk konsumsi pakan 3.77, 3.91, 4.09, 4.14 (kg/ekor/hari), konsumsi PK 408.41, 436.60, 477.36, 497.04 (gram/ekor/hari), PBBH 0.45, 0.43, 0.43, 0.56 (kg/ekor/hari), EPPR 0.98, 0.90, 0.83, 1.05, konversi pakan 8.99, 9.13, 10.08, 8.03, feed cost per gain Rp. 19150.32, Rp. 18164.77, Rp. 18658.78, dan Rp. 13700.37.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan imbangan JKT dengan rumput raja dalam ransum adalah saling melengkapi dan mempertahankan kualitas hijauan dalam memperbaiki performan sapi PFH jantan.


(10)

x

INFLUENCE OF RATIO OF PEANUT STRAW WITH KING GRASS IN RATION TO PERFORMANCE OF FRIESIAN HOLSTEIN BULL

Rumiyati H0504071

SUMMARY

Forages represent absolute substance feed have to be provided for ruminant livestock. Forages given have to enough in the amount, quality and continuous. King grass as one of forages which with quality, but the availability erratic during the year, depend on farm and season vie with food crop. While peanut straw represent food crop waste which can be exploited as feed which with quality and is enough made available cheap and also in season harvest. However peanut straw is inclusive of leguminosa which cannot be given by full as forages because the production erratic during the year too. Therefore it is important to know the good ratio between peanut straw with king grass so that defensible quality of forages and quality of ration as a whole mount.

This research aim to know the influence of ratio between peanut straw with king grass in ration to performance of Friesian Holstein Bull. This Research is executed at date of March 17th until May 21th 2008 in CV. Mawar Mekar, Orchard of Sengon Kerep, Chief of Village Gedong, Subdistrict Karanganyar, Regency Karanganyar. Substance used is 12 of Friesian Holstein Bull with weight of body of mean 122,04 ± 11,19 kg. The bull devided into four treatment and three replication. Every replication consisted of one Friesian Holstein Bull.

The ration given consisted of forages (peanut straw and king grass) and concentrate (mixture 50% rice bran, 40% SBR, 6% oil cake of coconut and 4% maize mill). Treatment given that is ratio of peanut straw (JKT) with king grass, each P0 ( 40% king grass), P1 ( 30% king grass : 10% JKT), P2 ( 20% king grass : 20% JKT), and P3 ( 10% king grass : 30% JKT). The parameter perceived is feed intake, crude protein intake, average daily gain, protein efficiency ratio, feed


(11)

xi

conversion and feed cost per gain. Data analysed to use variant analysis of pursuant to Complete Random Design at parameter feed intake, crude protein intake, protein efficiency ratio, feed conversion and covariant analysis at average daily gain parameter while feed cost per gain reported descriptively.

The result of this research indicate that average from fourth kinds of treatment P0, P1, P2 and P3 to feed intake 3.77, 3.91, 4.09, 4.14 (kg/head/day), crude protein intake 408.41, 436.60, 477.36, 497.04 (gram/head/day), average daily gain 0.45, 0.43, 0.43, 0.56 (kg/head/day), protein efficiency ratio 0.98, 0.90, 0.83, 1.05, feed coversion 8.99, 9.13, 10.08, 8.03, feed cost per gain Rp. 19150.32, Rp. 18164.77, Rp. 18658.78, and Rp. 13700.37.

Conclusion from this research is the utilizing of ratio of peanut straw with king grass in ration are completely another and defend of forages quality to improve performance of Friesian Holstein Bull.


(12)

xii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prospek industri peternakan, khususnya ruminansia di Indonesia masih

menjanjikan seiring dengan naiknya konsumsi daging. Dengan konsumsi daging rata-rata per kapita 8,9 kilogram per tahun, lima tahun

mendatang akan ada penambahan populasi sapi potong 2 – 3 juta ekor (Anonimus, 2007). Naiknya konsumsi daging harus diiringi dengan naiknya

produk sapi potong. Untuk itu diperlukan manajemen yang baik untuk menghasilkan produk yang berkualitas dalam usaha sapi potong.

Potensi sapi PFH jantan untuk dijadikan sapi potong cukup baik dalam perkembangannya apabila kebutuhan nutrien dapat terpenuhi. Melalui usaha penggemukan sapi perah jantan secara intensif (feedlot) diharapkan kebutuhan akan daging masyarakat Indonesia dapat terpenuhi mengingat jenis sapi ini merupakan keturunan Bos Taurus yang memiliki potensi genetik lebih baik dibandingkan sapi lokal. Menurut Darmono (1993), ransum merupakan faktor yang sangat penting dalam tatalaksana pemeliharaan ternak. Untuk itu perlu dicari sistem yang dapat dipakai secara efisien, baik pemberian hijauan dan konsentrat. Pemberian ransum perlu disesuaikan dengan bahan-bahan yang tersedia serta harga bahan yang digunakan lebih menguntungkan. Pemberian ransum perlu diperhitungkan rasionya supaya dapat memberikan keuntungan yang maksimal.

Salah satu faktor penting dalam usaha penggemukan sapi adalah ketersediaan pakan yang baik secara kualitas dan kuantitas. Menurut Santosa (2001), didalam usaha penggemukan sapi potong yang dikandangkan, pakan merupakan komponen biaya terbesar yakni mencapai 70-80 % dari total biaya produksi. Pakan yang digunakan umumnya terdiri dari konsentrat dan hijauan. Konsentrat merupakan bahan pakan atau campuran bahan pakan yang mengandung serat kasar kurang dari 18 %, TDN lebih dari 60 % dan berperan menutup kekurangan nutrien yang belum terpenuhi dari hijauan (BPTP,2001). Sedangkan pakan hijauan adalah bahan pakan yang berasal dari tanaman


(13)

xiii

dalam bentuk daun-daunan. Hijauan yang umum dipakai adalah rumput raja yang mempunyai kandungan SK 26,20 (Handayanta,2001) dan protein kasar (PK) 13,50%, TDN 57,00%, Ca 0,37% dan P 0,39% (Sutardi,1981). Konsentrat dengan kualitas tinggi harganya semakin mahal, sehingga dimungkinkan untuk diupayakan pemberian hijauan berkualitas yang mampu memberikan suplai nutrien selain SK. Salah satu bahan pakan hijauan berkualitas yang merupakan limbah pertanian adalah jerami kacang tanah yang mempunyai kandungan bahan kering (BK) 35%, PK 15,1%, SK 22,7%, TDN 65%, Ca 1,51% dan P 0,20% (Hartadi et al.,1990).

Jerami kacang tanah merupakan sisa pertanian yang bisa dijumpai di negara agraris seperti Indonesia. Sehingga dimusim panen keberadaannya sangat melimpah dan mudah didapat. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa sumber bahan kering ruminan pedaging banyak diperoleh dari sisa pertanian. Ditambahkan pula oleh Huitema (1986) bahwa tanaman kacang-kacangan yang sangat penting adalah Arachis hypogea, daun-daunan kacang-kacangan mempunyai kelebihan karena kaya akan protein, tambahan lagi daun-daunan tersebut mengandung banyak fosfor, kalsium dan vitamin-vitamin, terutama vitamin A. Sekitar 250.000 ha setiap tahun di Jawa ditanami tanaman kacang tanah. Dengan penggunaan jerami kacang tanah diharapkan dapat mempertahankan kualitas hijauan dengan adanya pengurangan pemberian rumput raja, selain itu bersama rumput raja diharapkan mampu meningkatkan kualitas ransum yang diberikan pada ternak secara keseluruhan dalam usaha sapi potong.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan mengkaji pengaruh imbangan jerami kacang tanah dengan rumput raja dalam ransum terhadap performan sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) jantan.


(14)

xiv B. Rumusan Masalah

Hijauan merupakan bahan pakan yang harus cukup tersedia secara kualitas, kuantitas dan kontinyu dalam usaha penggemukan sapi. Hijauan berkualitas yang umum dipakai adalah rumput raja. Akan tetapi rumput raja ketersediaannya tidak tetap sepanjang tahun, tergantung pada musim serta lahan bersaing dengan tanaman pangan. Disamping itu untuk mendapatkan rumput raja dengan kualitas baik diperlukan manajemen pemeliharaan yang baik serta biaya yang lebih pula. Oleh karena itu digunakan rasio antara jerami kacang tanah dengan rumput raja untuk mempertahankan kualitas hijauan. Jerami kacang tanah merupakan salah satu hijauan limbah pertanian yang berkualitas yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan nutrien ternak ketika rumput raja tidak dapat diberikan penuh sebagai hijauan. Akan tetapi jerami kacang tanah tidak dapat digunakan penuh sebagai hijauan, karena produksinya juga relatif tidak tetap sepanjang tahun tergantung pada musim panen di mana keberadaannya melimpah dan murah. Untuk itu perlu diketahui rasio yang tepat antara jerami kacang tanah dengan rumput raja dalam penggunaannya sebagai hijauan, agar kualitas hijauan dapat dipertahankan dan meningkatkan kualitas ransum secara keseluruhan.

Dari uraian diatas dapat ditarik suatu perumusan masalah “ Apakah imbangan jerami kacang tanah dengan rumput raja dalam ransum berpengaruh terhadap performan sapi PFH jantan ? “.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pengaruh imbangan jerami kacang tanah dengan rumput raja dalam ransum terhadap performan sapi PFH jantan.

2. Mengetahui level imbangan optimal antara jerami kacang tanah dan rumput raja yang berpengaruh terhadap performan sapi PFH jantan.


(15)

xv

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH)

Sapi Friesian Holstein yang dikenal dengan nama Fries Holland atau sering sering disingkat FH. Di Amerika bangsa sapi ini disebut Holstein, dan di negara-negara lain ada pula yang menyebut Friesien, berasal dari Belanda. Ciri-ciri sapi FH adalah warna belang hitam putih, pada dahinya terdapat warna putih berbentuk segitiga; dada, perut bawah, kaki dan ekor berwarna

putih; mempunyai tanduk yang kecil dan pendek serta menjurus ke depan (Sumoprastowo dan Syarif, 1985)

Sistematika sapi PFH menurut Kartadisastra (1997), sebagai berikut : Fillum : Chordata

Sub Fillum : Vertebrata Kelas : Mammalia Bangsa : Placentalia Suku : Ungulata Familia : Bovidae Sub famili : Bovinae Genus : Bos Species : Bos taurus

Friesian Holstein (FH) tergolong sapi perah. Namun, sapi FH jantan juga dapat digemukkan untuk sapi potong. Sapi yang dulunya berasal dari Belanda kini sudah tersebar luas di Jawa dan Sumatera sebagai sapi lokal. Bobot maksimal sapi jantan dewasa dapat mencapai 800 – 1000 kg. Pertumbuhan bobot badan tanpa pemberian pakan tambahan rata – rata 1,03 kg/hari. Persentase karkas 55 – 60 % (Sarwono dan Arianto, 2007).


(16)

xvi B. Bahan Pakan Ternak

Bahan pakan adalah bahan yang dapat digunakan dan dicerna oleh seekor hewan, yang mampu menyajikan nutrien yang penting untuk perawatan tubuh, pertumbuhan, penggemukan, reproduksi (birahi, konsepsi, kebuntingan), serta laktasi atau produksi susu (Blakely dan Bade, 1998). Akoso (1996) menambahkan bahwa pakan bagi ternak mutlak diperlukan guna menunjang kebutuhan hidup pokok dan reproduksi.

Menurut Williamson dan Payne (1993) pakan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu pakan hijauan dan pakan konsentrat. Pemberian ransum berupa kombinasi kedua bahan itu akan memberi peluang terpenuhinya zat-zat gizi dan biaya relatif rendah. Namun demikian bisa saja ransum terdiri dari hijauan atau konsentrat saja (Siregar, 1994). Lebih lanjut dijelaskan apabila ransum hanya terdiri hijauan saja maka biayanya relatif murah, tetapi produksi yang tinggi sulit dicapai, sedangkan pemberian ransum hanya terdiri konsentrat saja akan memungkinkan tercapainya produksi yang tinggi, tetapi biaya ransumnya relatif mahal dan kemungkinan bisa terjadi gangguan pencernaan.

1. Konsentrat

Konsentrat adalah bahan pakan tambahan yang diberikan untuk melengkapi kekurangan zat pakan atau zat gizi yang terdapat dalam hijauan sehingga penampilan produksi ternak lebih baik. Konsentrat sapi dapat terdiri dari satu bahan pakan atau campuran dari beberapa bahan pakan (BPTP, 2001).

Menurut Tillman, et al., (1991), konsentrat adalah bahan pakan ternak yang mengandung SK kurang dari 18%, dan banyak mengandung BETN (karbohidrat yang mudah dicerna). Bahan pakan yang termasuk golongan ini diantaranya adalah biji-bijian dan sisa hasil penggilingan umbi-umbian dan bahan berasal dari hewan. Soetarno (2003), menyatakan bahwa konsentrat dibedakan menjadi dua yaitu sebagai sumber energi dan sebagai sumber protein. Konsentrat sumber energi apabila kadar protein


(17)

xvii

kurang dari 20%, sedangkan apabila berkadar protein lebih dari 20% merupakan konsentrat sumber protein.

Konsentrat diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai gizi dari pakan, meningkatkan konsumsi dan meninggikan daya cerna pakan. Teknik pemberian konsentrat disarankan tidak bersama dengan hijauan karena pakan konsentrat mempunyai daya cerna dan kandungan nutrien yang lebih tinggi daripada hijauan. Efektivitas nutrien pakan akan menurun jika pemberian konsentrat bersamaan dengan pemberian hijauan (Mulyono, 1998).

2. Hijauan

Pakan hijauan ialah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan. Termasuk kelompok pakan hijauan ini adalah bangsa rumput (gramineae), leguminose dan hijauan dari tumbuh-tumbuhan lain seperti daun nangka, daun waru dan lain sebagainya. Kelompok pakan ini biasanya disebut pakan kasar. Hijauan sebagai bahan pakan ternak bisa diberikan dalam dua macam bentuk, yakni hijauan segar dan hijauan kering. Hijauan segar ialah pakan yang berasal dari hijauan yang diberikan dalam bentuk segar. Termasuk hijauan segar ialah rumput segar, leguminose segar dan silage. Sedangkan hijauan kering ialah pakan yang berasal dari hijauan yang sengaja dikeringkan (hay) ataupun rumput kering (AAK, 1983).

Hijauan mungkin dihasilkan dari tanaman tahunan atau padang rumput hidup sepanjang tahun dan atau tanaman yang kering, dari rumput-rumputan dan tanaman yang dipanen, sebagai hasil sampingan dari tanaman lain seperti buah-buahan, kacang-kacangan, minyak palm dan karet. Jerami atau tangkai tanaman yang kering dari tanaman kacang-kacangan (Arachis hypogaea) memiliki nilai gizi lebih tinggi daripada jerami lainnya (Williamson dan Payne, 1993). Jerami kacang tanah mempunyai kandungan bahan kering (BK) 35%, PK 15,1%, SK 22,7%, TDN 65%, Ca 1,51% dan P 0,20% (Hartadi et al.,1990).


(18)

xviii

Ternak sapi dapat diberikan limbah dari tanaman legum (kacang-kacangan) antara 30-50% dari pakan yang diberikan. Karena kalau diberikan dengan komposisi lebih dari itu, ternak akan kelebihan Ca (Kalsium) dan kekurangan zat-zat yang lainnya (AAK, 1983).

Hijauan golongan Leguminosa (kacang-kacangan) umumnya mengandung protein kasar lebih dari 20%, kaya akan mineral Ca dan P, sumber karoten (provitamin A), dan kandungan TDN yang lebih tinggi dibandingkan dengan golongan rumput-rumputan. Namun golongan legum

tidak bisa menggantikan hijauan rumput secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena produksinya relatif tidak bisa sepanjang tahun, jumlahnya relatif lebih sedikit dan penggunaannya bersaing dengan manusia (BPTP, 2001). Leguminose menambahkan nitrogen ke dalam tanah, karena adanya bakteri-bakteri pada bintil-bintil akar. Leguminose

umumnya kaya akan protein, Ca dan P bila dibandingkan dengan bangsa

gramineae atau hijauan lain ( AAK, 1983 ).

Rumput raja adalah hasil persilanagan Pennisetum purpureum dan

Pennisetum tyoides, rumput raja tumbuh berumpun- rumpun dengan batang tebal, keras serta permukaan daun luas. Pemotongan dapat dilakukan pada saat tanaman berumur 2-3 bulan untuk merangsang pertumbuhan dan memperbanyak jumlah anakan (Soetarno, 2003). Rumput ini mudah ditanam, dapat tumbuh dari dataran rendah sampai hingga dataran tinggi, menyukai tanah subur dan curah hujan yang merata sepanjang tahun. Produksi rumput ini jauh lebih tinggi dibandingkan rumput lain. Rumput raja yang mempunyai kandungan SK 26,20 (Handayanta,2001) dan protein kasar (PK) 13,50%, TDN 57,00%, Ca 0,37% dan P 0,39% (Sutardi,1981).


(19)

xix C. Sistem Pencernaan Ruminansia

Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, fermentasi dan enzimatik. Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau pengunyahan pakan dalam mulut dan gerakan-gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh kontraksi otot sepanjang usus. Fermentasi oleh mikroorganisme dilakukan secara enzimaik yang enzimenya dihasilkan oleh sel-sel mikroorganisme. Tempat utama fermentasi atau pencernaan mikrobial ini adalah dalam retikulo-rumen pada ruminansia dan dalam usus besar baik pada ruminansia maupun pada non-ruminansia. Mikroorganisme hidup dalam beberapa bagian dalam saluran pencernaan yang sangat penting dalam proses pencernaan ruminansia, dan pada non-ruminansia, proses ini kurang penting. Sedangkan pencernaan secara enzimatik atau kimiawi dilakukan oleh enzime yang dihasilkan oleh sel-sel tubuh hewan dan yang berupa getah-getah pencernaan.

Pengertian pencernaan dimulai dengan penempatan pakan dalam mulut di mana terdapat pemamahan atau pelumatan dengan pengunyahan. Proses ini juga mencampur pakan dengan air liur yang berfungsi sebagai pelicin untuk membantu penelanan. Saliva (air liur) disekresikan dalam jumlah banyak oleh semua ruminansia dan diperkirakan bahwa sapi dengan berat 450 kg akan mensekresikan dan menelan sejumlah 60 sampai 80 liter saliva tiap hari. Saliva mengandung sejumlah besar natrium bikarbonat, yang sangat penting untuk menjaga pH yang tepat dengan berfungsi sebagai buffer terhadap asam lemak volatile yang dihasilkan oleh fermentasi bakterial. Saliva penting pula untuk menjaga sejumlah air yang optimal dalam cairan rumen. Setelah dari mulut pakan menuju lambung melalui faring dan esofagus. Faring dan esofagus tidak mensekresikan enzime sehingga tidak mempunyai fungsi pencernaan kemik (Tillman et al., 1991).

Lambung ruminansia terdiri dari empat bagian yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Pada waktu ruminansia masih menyusu, rumen dan retikulum belum berkembang sempurna sehingga air susu terus masuk ke dalam omasum dan abomasum. Sejak mendapatkan pakan cair, rumen dan retikulum (retinoretikulum) mulai berkembang terus sehingga pada


(20)

xx

waktu dewasa kapsitasnya telah mencapai ± 85%, omasum sebesar 10-14% dan abomasum sebesar 3-5% dari seluruh kapasitas lambung. Perkembangan ini dicapai sapi pada umur 5-6 bulan dan oleh kambing atau domba pada umur 2-3 bulan. Isi rumen selalu mengalami pencampuran dengan adanya gerakan atau kontraksi yang teratur dari dinding rumen dan juga dengan adanya ruminasi. Ruminasi dipacu dengan adanya pakan yang masih kasar di dalam rumen. Waktu yang diperlukan untuk ruminasi tergantung pada adanya bahan pakan kasar tersebut. Pencernaan pakan di dalam retikulorumen dilakukan oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau bakteri dan protozoa yang ada disitu. Kombinasi dari kedua kontraksi rumen dan retikulum akan menyebabkan pakan masuk ke dalam omasum. Di omasum sebagian besar air diabsorpsi dan baru kemudian pakan masuk ke dalam abomasum. Abomasum yang berfungsi sebagai lambung tunggal mirip pada non ruminansia menghasilkan getah lambung yang berisi pepsin. Sejak dari abomasum dan organ pencernaan berikutnya, proses pencernaan dan absorpsi adalah sama dengan berlambung tunggal (Kamal, 1994).

Usus halus secara anatomi dibagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum yang berhubungan dengan abomasum, bagian tengah disebut jejunum dan ileum yang berhubungan dengan usus besar. Ke dalam usus halus termasuk 4 sekresi yaitu cairan duodenum, empedu, cairan pankreas dan cairan usus. Kelenjar-kelenjar duodenum menghasilkan sekresi yang bersifat alkali yang masuk duodenum melalui saluran diantara villi. Fungsi cairan ini adalah sebagai pelicin dan melindungi dinding duodenum dari pengaruh suasana asam yang masuk dari abomasum. Empedu dihasilkan oleh hati dan masuk usus melalui saluran empedu ysng disebut ductus choleduchus. Empedu mengandung garam-garam kalium dan natrium dari asam-asam empedu dan zat warna empedu. Fungsi garam-garam empedu adalah mengemulsikan lemak dan mengaktifkan lipase pankreas yang membantu menghidrolisis lemak. Pankreas terletak pada lengkungan duodenum, mensekresikan cairan yang masuk duodenum melalui duktus pankreatikus. Epitel usus halus akan mengeluarkan hormon apabila zat asam dari abomasum


(21)

xxi

masuk duodenum. Hormon tersebut akan masuk ke dalam peredaran darah, dan mengeluarkan sekresi sekretin yang merangsang pankreas untuk mengeluarkan cairan ion bikarbonat yang berfungsi menetralisir asam lambung. Selanjutnya mukosa usus akan mensekresikan hormon pankreozimin, yang akan merangsang pankreas mensekresikan enzim tripsinogen, kimotripsinogen dan nuklease. Mukosa usus juga mensekresikan enzim enterokinase yang berfungsi mengaktifkan tripsinogen menjadi gugus tripsin yang dapat memecah ikatan peptida yang mempunyai gugus karboksil dari lisin dan arginin. Tripsin kemudian mengaktifkan kimotripsinogen menjadi kimotripsin yang berfungsi memecah ikatan pepetida yang mempunyai gugus karboksil dari asam-asam amino aromatik. Tripsin juga mengaktifkan prokarboksipeptidase yang memisahkan asam amino terminal yang mengandung gugus karboksil bebas. Alfa amilase akan memecah pati menjadi dekstrin dan maltose. Maltase, laktase dan sukrase dalam usus menghidrolisis disakarida menjadi gula sederhana yaitu glukosa, galaktose dan fruktose. Lipase pankreas dengan bantuan garam-garam empedu menghidrolisis lemak menjadi asam-asam lemak dan gliserol.

Sekum merupakan tabung berstruktur sederhana. Kondisi dalam sekum dan kolon secara umum tidak berbeda dengan kondisi dalam rumen, yaitu merupakan tempat fermentasi oleh mikroba. Meskipun demikian VFA yang dihasilkan di dalam sekum dan kolon lebih rendah dibanding VFA yang dihasilkan rumen. Konsentrasi VFA di dalam sekum dan kolon masing-masing sebesar 7mM dan 60 mM, sedangkan konsentrasi VFA di dalam rumen berkisar antara 100-150 mM. Sekum juga merupakan tempat absorpsi VFA dan air (Soebarinoto et al., 1991).

D. Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan atau jumlah pakan yang dihabiskan oleh seekor ternak dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menentukan penampilan seekor ternak. Tinggi rendahnya kandungan energi pakan akan dapat mempengaruhi banyak sedikitnya konsumsi pakan, di samping itu konsumsi pakan juga


(22)

xxii

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu palatabilitas, faktor toksik yang dapat menghambat proses metabolisme, dan pakan yang volumnious (bulky), atau pakan yang mengandung serat kasar tinggi akan menurunkan jumlah konsumsi pakan (Kamal, 1994).

Pakan yang berkualitas baik, tingkat konsumsinya relatif lebih tinggi dibanding dengan pakan yang berkualitas lebih inferior. Tingkat konsumsi seekor sapi pedaging dipengaruhi oleh berbagai faktor yang komplek, yang terdiri dari hewannya sendiri (bobot badan, jenis kelamin, umur, faktor genetik dan tipe bangsa), pakan yang diberikan (nilai nutrisi dan palatabilitas) dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara (temperatur dan kelembaban) (Parakkasi, 1999).

Kartadisastra (1997) menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi dipengaruhi oleh palatabilitas, konsentrasi nutrisi, dan bentuk pakan. Konsentrasi nutrisi yang sangat berpengaruh terhadap konsumsi adalah konsentrasi energi, makin tinggi konsentrasi energi dalam pakan maka konsumsi pakan semakin turun dan sebaliknya. Ditambahkan pula bahwa sifat perfomansi bahan-bahan pakan akibat dari keadaan fisik dan kimiawi pakan yang dicerminkan oleh kenampakan, bau, rasa, tekstur dapat menimbulkan daya tarik dan merangsang ternak untuk mempengaruhi tingkat konsumsi.

Kemampuan ternak ruminansia dalam mengkonsumsi ransum dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain faktor ternak itu sendiri : besar tubuh atau bobot badan, status fisiologis, potensi genetik, tingkat produksi, dan kesehatan ternak; faktor ransum yang diberikan : bentuk dan sifat, komposisi zat-zat gizi, frekuensi pemberian, keseimbangan zat-zat gizi dan toksitas ataupun antinutrisi ; dan faktor lainnya berupa suhu dan kelembaban udara, curah hujan, lama siang atau malam dan keadaan ruang kandang dan tempat ransum (Siregar, 1994).

Besarnya konsumsi pakan sangat berpengaruh terhadap penimbunan jaringan lemak dan daging. Konsumsi pakan yang rendah akan menyebabkan kekurangan zat makanan yang dibutuhkan ternak dan akibatnya akan menghambat penimbunan lemak dan daging. Apabila kebutuhan untuk hidup


(23)

xxiii

pokok sudah terpenuhi, kelebihan gizi yang dikonsumsi akan ditimbun sebagai jaringan lemak dan daging (Anggorodi, 1990).

E. Konsumsi Protein Kasar

Protein terdapat dalam setiap sel hidup karena merupakan penyusun utama bagian yang hidup dari sel (protoplasma). Setiap sel tanaman dan hewan mempunyai protein yang spesifik dikarenakan setiap organ, cairan dan jaringan yang lain dari masing-masing spesies tersusun dari protein yang berbeda (Kamal, 1994). Menurut Tillman et al. (1991), protein adalah senyawa organik komplek yang terdiri dari gabungan asam amino yang mempunyai berat molekul tinggi. Seperti halnya karbohidrat dan lipida, protein mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen tetapi sebagai tambahannya semua protein mengandung nitrogen, kebanyakan protein mengandung sulfur dan beberapa mengandung fosfor. Hampir limapuluh persen dari berat kering suatu sel hewan adalah protein. Molekul protein adalah sebuah polimer dari asam-asam amino yang digabungkan dengan ikatan-ikatan peptide. Asam-asam amino adalah kunci dari struktur protein dan lebih dari seratus telah diisolasi tetapi dalam molekul protein ada 25 asam amino yangberbeda. Macam posisi molekul dan jarak kedudukan molekul asam-asam amino dalam protein, menentukan sifat-sifat protein tersebut dan selanjutnya menentukan fungsi protein dalam tubuh.

Siregar (1994) menyatakan bahwa protein yang dibutuhkan ternak ruminansia yaitu dalam bentuk protein kasar dan protein dapat dicerna. Protein kasar adalah jumlah nitrogen yang terdapat didalam pakan atau ransum dikalikan dengan 6,25 (Nx6,25). Sedangkan protein dapat dicerna adalah protein pakan yang dicerna dan diserap dalam saluran-saluran pencernaan. Sumber protein bagi ternak ruminanasia adalah protein natural (protein pakan atau ransum) dan non protein nitrogen (NPN). Termasuk dalam kelompok ini adalah pakan yang setidaknya mengandung protein kasar 20 persen dari bahan kering. Misalnya pakan yang berasal dari hewan, bungkil kedelai, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, ampas tahu dan sebagainya.


(24)

xxiv

Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi protein kasar antara lain kandungan protein dan NPN ransum, kemampuan mikroba mendegradasi protein kasar ransum dan tingkat ketahanan protein penyususn ransum (Maramis dan Rossi, 1999)

F. Pertambahan Bobot Badan Harian

Pertumbuhan adalah suatu penambahan dalam bentuk dan berat tubuh seperti urat daging, tulang, jantung, otak dan semua jaringan tubuh lainnya (kecuali jaringan lemak) serta alat-alat tubuh (Anggorodi, 1990). Selanjutnya Soeparno (1992) menambahkan bahwa tubuh secara kumulatif mengalami pertambahan bobot badan selama pertumbuhan sampai mencapai kedewasaan.

Kenaikan bobot badan terjadi apabila pakan yang dikonsumsi telah melebihi kebutuhan hidup pokok, maka kelebihan nutrien diubah menjadi jaringan, daging dan lemak sehingga pertambahan bobot badan tampak menjadi lebih jelas (Williamson dan Payne, 1993). Ditambahkan oleh Kamal (1990) bahwa penimbangan ternak pada setiap jangka waktu tertentu misalnya setiap minggu atau setiap bulan akan dapat mengetahui besarya pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan ternak tersebut dapat digunakan untuk mengontrol kecepatan pertumbuhan.

Menurut Soeparno (1992), konsumsi pakan mempunyai pengaruh besar terhadap pertambahan berat badan ternak. Siregar (1994) menambahkan, kenaikan bobot badan tergantung pada jumlah zat gizi yang dikonsumsi ternak. Semakin tinggi kemampuan konsumsinya, bobot ternak yang dipelihara juga akan meningkat. Ditambahkan pula oleh Kartadisastra (1997), bobot tubuh ternak berbanding lurus dengan tingkat konsumsinya. Makin tinggi tingkat konsumsinya, akan semakin tinggi bobot tubuhnya.

Semakin tinggi konsumsi bahan kering, maka akan semakin banyak zat-zat makanan yang dikonsumsi yang akan digunakan untuk pertumbuhan dan produksi sehingga berpengaruh pada bobot badan (Tillman et al., 1991). Sedangkan menurut Wardhani dan Mosafie (1991), pertambahan berat badan


(25)

xxv

merupakan ekspresi dari konsumsi zat-zat makanan kaitannya dengan kecernaan zat-zat itu.

G. Efisiensi Penggunaan Protein Ransum

Tillman et al. (1991) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan protein ransum dipengaruhi oleh pertambahan bobot badan dan konsumsi protein. Nilai Protein Efficiency Ratio (PER) dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, lama percobaan dan kadar protein dalam pakan. Nilai PER bervariasi dengan sumber protein yang berbeda karena komposisi protein bervariasi terhadap asam-asam amino asensial untuk laju pertumbuhan maksimum. Berbagai tingkatan protein yang diperlukan tergantung kualitas. Anggorodi (1990) menambahkan, kualitas protein dalam bahan pakan tergantung dari asam-asam amino esensial yang akan dibawa ke tenunan-tenunan tubuh guna pembentukan sel-sel baru selanjutnya nilai gizi protein ditentukan aleh laju pertumbuhan hewan.

Metode untuk pengukuran kualitas protein adalah imbangan efisiensi protein (Protein Effisiency Ratio) yang diperoleh dengan sederhana dari pertambahan bobot badan dibagi konsumsi protein. Efisiensi protein sangat dipengaruhi kandungan asam amino bahan pakan. Setiap perbaikan imbangan asam amino dalam ransum, efisiensi penggunaan protein ransum akan menjadi lebih baik (Wahju, 1997). Sedangkan menurut Parakkasi (1999), dibanding dengan metode pengukuran pertambahan bobot badan, metode imbangan efisiensi protein lebih baik. Kelemahan imbangan efisiensi protein adalah lebih banyak waktu yang dibutuhkan untuk mengukur berapa protein yang dikonsumsi dibandingkan dengan menimbang bobot badan.

H. Konversi Pakan

Basuki (2002) menyatakan bahwa konversi pakan sangat dipengaruhi konsumsi bahan kering dan pertambahan bobot badan harian ternak. Ditambahkan oleh Martawidjaja (1998) bahwa konversi pakan adalah jumlah unit pakan berdasarkan bahan kering yang dikonsumsi di bagi dengan unit pertambahan bobot hidup per satuan waktu. Penggunaan pakan akan


(26)

xxvi

semakin efisien bila jumlah pakan yang dikonsumsi minimal namun menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi. Konversi pakan dipengaruhi oleh kualitas pakan, pertambahan bobot badan, dan kecernaan, artinya semakin baik kualitas pakan yang dikonsumsi akan menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dan lebih efisien penggunaan pakannya.

Konversi pakan merupakan rasio antara konsumsi pakan dengan PBBH ternak (Sudjatinah et al.,2005 cit Ariani, 2007). Ditegaskan pula oleh Mugiyono dan Karmada (2000) bahwa besar kecilnya konversi pakan dipengaruhi oleh konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan harian. Siregar (1994) menambahkan bahwa konversi pakan digunakan sebagai tolak ukur efisiensi produksi, semakin rendah nilai konversi berarti efisiensi penggunaan pakan semakin tinggi.

I. Feed Cost per Gain

Produksi dan produktivitas ternak sapi potong sangat peka atau sensitif terhadap perubahan pemberian pakan, oleh karena itu pakan yang diberikan harus memperhatikan ketersediaan, kesinambungan mutu maupun jumlahnya. Disamping itu perlu diketahui bahwa biaya asal pakan dalam usaha penggemukan memberikan kontribusi yang cukup besar. Oleh karena itu, dalam usaha penggemukan peternak harus bisa memberikan pakan yang murah namun bermanfaat bagi peningkatan produksi daging (BPTP, 2001).

Menurut Rasyaf (1992) bahwa tinggi rendahnya biaya pakan tergantung pada harga pakan dan efisien tidaknya pemberian pakan. Suparman (2004) menambahkan feed cost per gain diperoleh dengan mengalikan harga pakan dengan konversi pakan. Feed cost per gain dinilai baik apabila angka yang diperoleh serendah mungkin yang berarti dari segi ekonomi peggunaan pakan efisien.

Feed Cost per Gain didapat dengan menghitung jumlah biaya pakan yang diperlukan untuk menghasilkan setiap kenaikan satu kilogram bobot badan. Feed Cost per Gain dalam suatu usaha peternakan terutama ternak


(27)

xxvii

ruminansia digunakan sebagai salah satu parameter untuk mengetahui efisiensi pakan yang diberikan dapat dimanfaatkan dan diubah menjadi daging (Wodzicka et al., 1993).


(28)

xxviii HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah imbangan jerami kacang tanah dengan rumput raja dalam ransum mampu memperbaiki performan sapi PFH jantan.


(29)

xxix

III. METODE PENELITIAN

a. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian tentang Pengaruh Imbangan Jerami Kacang Tanah Dengan Rumput Raja Dalam Ransum Terhadap Performan Sapi PFH Jantan dilaksanakan pada tanggal 17 Maret sampai 21 Mei 2008 di perusahaan sapi perah “CV. Mawar Mekar“ Dusun Sengon Kerep, Kelurahan Gedong, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Karanganyar.

Analisis pakan dan sisa pakan akan dilaksanakan di laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Laboratorium Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

b. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi PFH jantan, ransum, kandang, dan peralatannya

1. Sapi

Sapi yang digunakan adalah sapi PFH jantan dengan bobot badan 122,04 ± 11,19 kg sebanyak 12 ekor.

2. Ransum

Ransum yang digunakan terdiri dari hijauan (rumput raja dan jerami kacang tanah (JKT)) dan konsentrat (campuran 50% bekatul, 40% SBR, 6% bungkil kelapa dan 4% jagung giling). Kebutuhan nutrien sapi PFH jantan, kandungan nutrien bahan pakan penyusun ransum perlakuan, serta komposisi dan kandungan nutrien ransum masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.


(30)

xxx

Tabel 1. Kebutuhan Nutrien Sapi PFH Jantan Bobot Badan 150 kg (% BK)

Sumber: NRC 1976 dalam Parakkasi (1999)

Tabel 2. Kandungan Nutrien Bahan Pakan

Bahan Pakan BK PK SK LK BETN2) TDN3) Abu

(%) (% BK) Rumput Raja JKT Konsentrat 13,20 18,19 86,63 11,681) 16,04 10,53 25,48 29,48 6,40 2,08 2,18 6,30 45,01 41,01 57,99 57,08a) 59,54a) 34,75b) 15,75 11,27 18,78 Sumber : Hasil analisis Lab. Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi

Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2008)

1) Hasil analisis lab. Nutrisi dan Makanan Ternak, Jurusan Peternakan,

Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (2007)

2) BETN = 100 - % (Air + Abu + PK + SK + LK) ( Hartadi et al., 1990) 3) Hasil perhitungan menurut rumus regresi Hartadi et al., (1990)

a)

% TDN (Kelas 2) = -54.572+6.769(PK)-51.083(LK)+1,851(BETN)-0.334(PK)-0.049(SK)2+3.384(LK)2-0.086(SK) (BETN)+0.687(LK)(BETN)+0.942(LK)(PK)-0.112(LK)2(PK)

b)

% TDN (Kelas 4) = -202.686-1.357(PK)+2.638(LK)+3.003(BETN) +2.347(PK)+0.046(SK)2+0.647(LK)2+0.041(SK) (BETN)-0.081(LK)(BETN)+0.553 (LK)(PK)-0.046(LK)2(PK)

Tabel 3. Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan Ransum Perlakuan (%) Bahan Pakan

P0 P1 P2 P3

Komposisi Ransum : Rumput Raja JKT Konsentrat 40 0 60 30 10 60 20 20 60 10 30 60 Kandungan nutrien :

PK (%) SK (%) LK (%) BETN(%) TDN (%) Abu (%) 10,99 14,03 04,61 52,80 43,68 17,57 11,43 14,21 04,21 52,40 43,93 17,12 11,86 14,84 04,63 52,00 44,17 16,67 12,30 15,23 04,04 51,60 44,42 16,23 Sumber: Hasil perhitungan berdasarkan Tabel 2

Nutrien Kebutuhan (%)

Energi (TDN) Protein Kasar (PK) Kalsium (Ca) Phosphor (P) 62,00 11,00 0,35 0,32


(31)

xxxi 3. Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan adalah kandang individual dengan ukuran (1,25x3,25)m2 untuk tiap ekor sapi. Tempat pakan dan minum yang digunakan berukuran (0,5x 0,5) m2. Kandang, tempat pakan dan minum serta lantai terbuat dari tembok beton.

4. Alat yang digunakan selama penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Timbangan ternak kapasitas 1000 kg kepekaan 0,5 kg merk

Rudweight.

b. Timbangan pakan kapasitas 300 kg kepekaan 0,1 kg untuk pakan hijauan dan timbangan pakan konsentrat kapasitas 5 kg kepekaan 1 g merk Idealife

c. Termometer ruang untuk mengukur suhu di dalam kandang dan suhu lingkungan di luar kandang

d. Kantong plastik untuk menimbang konsentrat dan karung untuk menimbang hijauan (Rumput Raja dan JKT) serta sisa pakan.

e. Sabit untuk memotong rumput dan Cooper untuk mencacah rumput raja dan JKT.

f. Sapu, ember dan selang untuk memandikan sapi dan kebersihan tempat pakan, kandang dan lingkungan sekitar kandang serta peralatan lain yang menunjang.

c. Persiapan Penelitian 1. Persiapan kandang

Kandang, lantai, dinding kandang, tempat pakan, tempat minum, dan peralatan lain sebelum digunakan dibersihkan dahulu dan disemprot dengan desinfektan merk Antisep dengan dosis 3 ml (1 sendok teh) tiap liter air, kemudian dikeringkan.

2. Persiapan sapi

Sapi-sapi yang ada ditimbang untuk mengetahui bobot badan awalnya. Sapi tersebut dipilih 12 ekor yang bobot badannya hampir homogen dan sebelum digunakan untuk penelitian, sapi diberi obat cacing merk


(32)

xxxii

Albendasol dengan dosis 25 gram/400 kg berat badan untuk menghilangkan parasit saluran pencernaan.

3. Ransum yang diberikan

Bahan pakan untuk ransum disusun sesuai dengan perhitungan formula ransum yang terdiri dari rumput raja, JKT, dan konsentrat seperti pada Tabel 3.

d. Cara Penelitian 1. Macam Penelitian

Penelitian tentang pengaruh imbangan jerami kacang tanah dengan rumput raja dalam ransum terhadap performan sapi PFH jantan dilakukan secara eksperimental.

2. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah dengan 4 macam perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari satu ekor sapi PFH jantan. Ransum perlakuan terdiri dari rumput raja, JKT, dan konsentrat dengan susunan sebagai berikut:

P0 = 60 % konsentrat + 40% rumput raja

P1 = 60 % konsentrat + 30% rumput raja + 10% JKT P2 = 60 % konsentrat + 20% rumput raja + 20% JKT P3 = 60 % konsentrat + 10% rumput raja + 30% JKT

3. Peubah Penelitian

Peubah penelitian yang diamati adalah : a. Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan (dalam BK) dihitung dengan cara mencari selisih pakan yang diberikan dengan sisa pakan setiap harinya. Konsumsi pakan dinyatakan dalam bentuk konsumsi BK (kg/ekor/hari).

b. Konsumsi Protein Kasar (PK)

Konsumsi PK dihitung berdasar konsumsi BK dikalikan dengan kandungan protein masing-masing bahan pakan, dinyatakan dengan g/ekor/hari.


(33)

xxxiii

c. Pertambahan Bobot Badan Harian ( PBBH )

PBBH ternak diperoleh dari bobot badan akhir dikurangi bobot badan awal dibagi dengan lama waktu pemeliharaan. PBBH dinyatakan dalam kg/ekor/hari.

d. Efisiensi Penggunaaan Protein Ransum

Efisiensi penggunaan protein ransum diperoleh dengan cara membagi pertambahan bobot badan dengan konsumsi protein.

e. Konversi Pakan

Konversi pakan diperoleh dengan cara membagi jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan selama pemeliharaan.

f. Feed Cost per Gain

Feed Cost per Gain diperoleh dengan cara menghitung jumlah biaya pakan yang diperlukan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan. Harga ransum untuk masing-masing perlakuan dihitung dengan rumus : Harga (BK) = 100/BK x harga pakan x %. Kemudian untuk memperoleh besarnya Feed Cost per Gain, harga dikalikan konversi pakan.

4. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dibagi menjadi 2 tahap yaitu tahap adaptasi dan tahap pemeliharaan. Tahap adaptasi dilakukan selama 10 hari meliputi penimbangan bobot badan awal, adaptasi lingkungan, dan pakan. Tahap pemeliharaan merupakan tahap koleksi data dilaksanakan selama delapan minggu meliputi pengukuran konsumsi pakan yaitu mencatat konsumsi pakan dan menimbang pakan yang tersisa selama 24 jam, sampel sisa pakan diambil 10% dari total sisa pakan setelah dikeringkan dengan sinar matahari kemudian dianalisis kandungan bahan keringnya serta penimbangan bobot badan sapi dilakukan dua minggu sekali.

Pada tahap koleksi data pemberian pakan sesuai dengan perlakuan masing – masing pada pukul 07.00 WIB dan 14.00 WIB untuk pakan


(34)

xxxiv

konsentrat, pukul 08.00 WIB dan 15.00 WIB untuk hijauan. Sedangkan air minum disediakan secara ad libitum.

e. Cara Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan analisis variansi berdasarkan RAL untuk parameter konsumsi pakan, konsumsi PK, efisiensi penggunaan protein ransum, konversi pakan dan analisis kovariansi untuk parameter pertambahan bobot badan harian, sedangkan Feed Cost per Gain dilaporkan secara deskriptif.

Model matematika dari rancangan ini adalah :

Yij = µ + τi + €ij i = 1,2,3,… j = 1,2,3,… Keterangan :

Yij = nilai pengamatan pada satuan perlakuan ke-i ulangan ke-j

m = rataan nilai dari seluruh perlakuan

τi = pengaruh perlakuan ke-i

€ij = kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j


(35)

xxxv

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konsumsi Pakan

Rerata konsumsi pakan sapi PFH jantan selama penelitian disajikan pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Rerata konsumsi pakan dalam BK ( kg/ekor/hari)

Rerata konsumsi pakan sapi PFH jantan selama penelitian untuk masing-masing perlakuan P0, P1, P2, dan P3 berturut- turut sebesar 3.77, 3.91, 4.09 dan 4.14 (kg/ekor/hari).

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa pengaruh penggunaan keempat macam perlakuan terhadap konsumsi pakan adalah berbeda tidak nyata (P≥0.05). Hal ini berarti imbangan JKT dengan rumput raja tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan sapi PFH jantan. Konsumsi pakan antar perlakuan berbeda tidak nyata menunjukkan bahwa kualitas JKT dan rumput raja hampir sama (Tabel 2), sehingga JKT dan rumput raja memberikan pengaruh yang hampir sama terhadap konsumsi pakan. Anggorodi (1990), menyatakan bahwa kandungan pakan yang relatif sama menyebabkan tidak adanya perbedaan pada konsumsi pakan.

Menurut Kartadisastra (1997), tinggi rendahnya konsumsi dipengaruhi oleh palatabilitas, konsentrasi nutrisi dan bentuk pakan. Palatabilitas merupakan sifat performansi bahan-bahan pakan sebagai akibat dari keadaan fisik dan kimiawi bahan-bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti kenampakan, bau, rasa dan tekstur. Hal inilah yang menimbulkan daya tarik dan merangsang ternak untuk mempengaruhi tingkat konsumsi. Palatabilitas JKT dan rumput raja relatif sama sehingga memberikan pengaruh yang sama terhadap konsumsi pakan.

Ulangan Perlakuan

1 2 3

Rerata

P0 3.79 4.07 3.46 3.77

P1 4.21 4.07 3.44 3.91

P2 4.34 4.49 3.45 4.09

P3 4.90 4.04 3.50 4.14


(36)

xxxvi

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa tingkat konsumsi dipengaruhi oleh faktor hewan, pakan dan lingkungan. Dalam penelitian ini faktor hewan dan lingkungan diupayakan seragam, sehingga tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan. Dari faktor pakan, menurut Kartadisastra (1997), kandungan nutrien pakan yang paling mempengaruhi konsumsi ruminansia adalah konsentrasi energi. Konsentrasi energi pakan berbanding terbalik dengan tingkat konsumsinya. Semakin tinggi konsentrasi energi di dalam pakan, maka konsumsinya akan menurun dan sebaliknya. Kandungan energi dalam ransum perlakuan P0, P1, P2 dan P3 yaitu sebesar 43.68%, 43.93%, 44.17% dan 44.42% terlihat relatif sama dan peningkatan energi karena peningkatan persentase JKT dalam imbangan JKT dan rumput raja dari P0 ke P3 sebesar 0,02% belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi pakan, sehingga pemberian perlakuan memberikan konsumsi pakan yang sama.

Disamping energi, kandungan serat kasar ransum juga berhubungan dengan konsumsi pakan. Menurut Parakkasi (1999), pakan yang banyak mengandung serat kasar mengakibatkan jalannya pakan akan lebih lamban sehingga ruang dalam saluran pencernaan cepat penuh dan konsumsi pakan akan menurun. Serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kartadisastra (1997) menyatakan bahwa rumput mengandung selulosa sebesar 15-30% dan hemiselulosa 10-20%, sedangkan legum mengandung selulosa sebesar 6-12% dan hemiselulosa 4-10%. Ditambahkan oleh Kamal (1994), bahwa bersama selulosa terdapat lignin sebanyak 2-12% dari bahan kering. Dalam bahan kering rumput muda mengandung ± 5% lignin yang terdapat bersama selulosa dan jumlah selulosa yang dapat dicerna mencapai 80%, tetapi pada tanaman yang lebih tua terdapat lignin sebanyak 10% mengakibatkan jumlah selulosa yang dapat dicerna turun hingga dibawah 60%. Dalam penelitian ini JKT dan rumput raja sama-sama berumur tua yakni JKT mencapai umur panen tua dan rumput raja berumur ± 3 bulan, sehingga dimungkinkan memiliki persentase kandungan lignin yang hampir sama. Didukung pula oleh kandungan serat kasar pada ransum perlakuan P0, P1, P2 dan P3 yaitu sebesar 14,03%, 14,21%, 14,84% dan 15,23% serta peningkatan


(37)

xxxvii

serat kasar dari P0 ke P3 sebesar 8,55% yang disebabkan karena peningkatan persentase JKT dalam imbangan JKT dengan rumput raja belum memberikan pengaruh nyata diantara perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa mikroba dalam rumen masih toleran terhadap kenaikan serat kasar dari masing-masing perlakuan, sehingga kemampuan mencerna serat kasar terhadap ransum perlakuan relatif sama dan menghasilkan konsumsi pakan yang sama pula.

Wodzicka et al. (1993) menyatakan bahwa jumlah konsumsi pakan merupakan faktor penentu yang paling penting dalam menentukan jumlah nutrien yang didapat oleh ternak dan selanjutnya mempengaruhi tingkat produksi. Akan tetapi pengatur konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat komplek dan banyak faktor yang menentukan, seperti sifat-sifat pakan, faktor ternak dan faktor lingkungan. Ditambahkan oleh Soebarinoto et al. (1991) bahwa peningkatan konsumsi sejalan dengan peningkatan kecernaan.

B. Konsumsi Protein Kasar (PK)

Rerata konsumsi PK dari masing-masing perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Rerata konsumsi PK (gram/ekor/hari)

Rerata konsumsi PK sapi PFH jantan selama penelitian masing-masing perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut sebesar 408.41, 436.60, 477.36 dan 497.04 (gram/ekor/hari).

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa imbangan JKT dengan rumput raja memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P≥0.05) terhadap konsumsi PK. Hal ini berarti imbangan JKT dengan rumput raja tidak berpengaruh terhadap konsumsi PK. Menurut Maramis dan Rossi (1999), konsumsi protein kasar dipengaruhi oleh kandungan protein kasar dari

Ulangan Perlakuan

1 2 3

Rerata

P0 408.47 441.61 375.16 408.41

P1 471.55 454.56 383.69 436.60

P2 509.33 526.54 396.22 477.36


(38)

xxxviii

ransum. Kandungan PK antara JKT dan rumput raja hampir sama (Tabel 2), sehingga dengan adanya konsumsi bahan kering yang relatif sama menyebabkan konsumsi PK yang hampir sama pula. Didukung oleh Kamal (1994) bahwa banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi besarnya nutrien lain yang dikonsumsi, sehingga semakin banyak pakan yang dikonsumsi akan meningkatkan konsumsi nutrien lain.

Protein yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia sebagian dipenuhi dari protein mikrobial dan sebagian lagi dari protein pakan yang lolos dari degradasi rumen (Siregar, 19940. Menurut McDonald et al. (2002), protein

legum bersifat soluble proteins, sehingga memungkinkan terjadinya bloat. Akan tetapi karena kandungan tanin pada legume yaitu >20 g/kg maka dapat melindungi soluble proteins dalam legume sehingga kemungkinan bloat dapat diperkecil. Didukung oleh Arora (1989) bahwa hijauan legume yang mengandung tanin terkondensasi tidak menyebabkan kembung pada sapi, sebab legume mengendapkan protein sitoplasmik. Tanin di dalam hijauan memberikan perlindungan secara alami kepada protein dari degradasi dalam rumen. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa sumber protein by pass (protein yang lolos dari degradasi rumen) diharapkan dapat menyediakan protein atau asam amino (selain dari mikroba) yang akan dicerna secara enzimatis dan akan diserap di saluran pencernaan pasca rumen. Protein tidak terdegradasi akan lebih efisien digunakan oleh tubuh ternak untuk kegiatan produksi. Hal ini memungkinkan JKT mampu menyediakan asam amino yang setara dengan rumput raja pasca rumen, yang selanjutnya asam amino ini akan digunakan untuk mensintesis jaringan.

C. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)

Rerata PBBH sapi PFH jantan masing-masing perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 6 berikut.


(39)

xxxix

Rerata PBBH sapi PFH jantan selama penelitian masin-masing perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut sebesar 0.45; 0.43; 0.43 dan 0.56 (kg/ekor/hari).

Hasil analisis kovariansi menunjukkan bahwa imbangan JKT dengan rumput raja memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P≥0.05) terhadap PBBH. Hal ini berarti imbangan JKT dengan rumput raja tidak berpengaruh terhadap PBBH. Hal tersebut selaras dengan adanya pengaruh yang tidak nyata terhadap konsumsi BK pakan dan konsumsi PK. Menurut Zulbardi et al. (2001), konsumsi suatu bahan pakan berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan ternak. Disamping itu pakan antar perlakuan memiliki kandungan nutrien hampir sama (Tabel 3) serta kandungan nutrien JKT dan rumput raja (Tabel 2) yang merupakan perlakuan dalam penelitian ini hampir sama pula, sehingga sapi yang ransumnya menggunakan imbangan JKT dengan rumput raja dan tanpa JKT memiliki pertumbuhan yang relatif sama. Menurut Wardhani dan Mosafie (1991), pertambahan berat badan merupakan ekspresi dari konsumsi zat-zat makanan kaitannya dengan kecernaan zat-zat makanan. Didukung pula oleh Soeparno dan Davies (1987)

cit Soeparno dan Sumadi (1991) bahwa konsumsi serta efisiensi pakan dapat menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan dan Tillman et al. (1991) bahwa semakin tinggi konsumsi bahan kering, maka akan semakin banyak zat-zat makanan yang dikonsumsi yang akan digunakan untuk pertumbuhan dan produksi sehingga berpengaruh pada bobot badan.

Menurut Tarmidi (2004), salah satu komponen nutrien pakan yang penting untuk pertambahan bobot badan ternak adalah protein. Protein dalam

legume bersifat soluble proteins, akan tetapi karena kandungan tanin di Ulangan

Perlakuan

1 2 3

Rerata

P0 0.30 0.54 0.51 0.45

P1 0.42 0.49 0.38 0.43

P2 0.40 0.60 0.29 0.43


(40)

xl

dalamnya, soluble proteins dalam legume dapat terlindungi dari degradasi dalam rumen, sehingga kemungkinan dapat langsung masuk ke dalam abomasum dan usus halus kemudian mengalami pencernaan oleh enzim hewan induk semang (by pass protein). Oleh karena itu, dengan peningkatan persentase JKT dalam imbangan JKT dengan rumput raja kemungkinan protein ransum juga meningkat. Ditegaskan oleh Soebarinoto et al. (1991), bahwa protein yang masuk ke dalam usus halus selain berasal dari protein mikrobia, juga berasal dari protein bahan pakan yang tahan terhadap degradasi dalam rumen, sehingga persediaan asam amino bagi penyerapan usus halus menjadi lebih banyak. Asam amino yang sudah diabsorpsi masuk ke dalam sirkulasi darah kemudian diangkut serta diedarkan ke dalam sel-sel tubuh. Selanjutnya asam-asam amino digunakan untuk metabolisme pembentukan jaringan tubuh yang menghasilkan pertambahan bobot badan. Akan tetapi kemungkinan peningkatan protein dari protein JKT dan kandungan PK dari ransum perlakuan P0, P1, P2 dan P3 sebesar 13,03%, 12,90%, 12,88% dan 12,81% serta konsumsi PK P0, P1, P2 dan P3 sebesar 457,60; 477,27; 510,66 dan 515;23 (gram/ekor/hari) masih menghasilkan pertambahan bobot badan yang relatif sama. Meskipun ada kecenderungan meningkat (P≤0,963) pada level imbangan 30% JKT : 10% rumput raja, tetapi masih menunjukkan non significant dengan perlakuan yang lain.

D. Efisiensi Penggunaan Protein Ransum (EPPR)

Rerata EPPR sapi PFH jantan selama penelitian dari masing-masing perlakuan tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7. Rerata EPPR sapi PFH jantan Ulangan Perlakuan

1 2 3

Rerata

P0 0.67 1.08 1.20 0.98

P1 0.83 0.98 0.89 0.90

P2 0.74 1.06 0.68 0.83


(41)

xli

Rerata EPPR sapi PFH jantan selama penelitian masing-masing perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut sebesar 0.98, 0.90, 0.83 dan 1.05.

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa imbangan JKT dengan rumput raja memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P≥0.05) terhadap EPPR. Hal ini berarti bahwa imbangan JKT dengan rumput raja tidak berpengaruh terhadap EPPR sapi PFH jantan. EPPR antar perlakuan yang berbeda tidak nyata selaras dengan PBBH dan konsumsi PK yang berbeda tidak nyata pula. Menurut Tillman et al. (1991), efisiensi penggunaan protein ransum dipengaruhi oleh pertambahan bobot badan dan konsumsi protein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumbangan PK dari hijauan yaitu P0 150.72, P1 188.37, P2 285.21 dan P3 232.40 (gram/ekor/hari) masih memberikan pengaruh yang sama pula terhadap EPPR, sehingga pengaruh antar perlakuan berbeda tidak nyata.

EPPR diperoleh dari hasil pembagian PBBH oleh konsumsi protein. Menurut Wahju (1997), metode untuk pengukuran kualitas protein adalah imbangan efisiensi protein (Protein Efficiency Ratio) yang diperoleh dengan sederhana dari pertambahan bobot badan dibagi konsumsi protein. Efisiensi protein sangat dipengaruhi kandungan asam amino bahan pakan. Setiap perbaikan imbangan asam amino dalam ransum, efisiensi penggunaan protein ransum akan menjadi lebih baik. Ditambahkan pula oleh Tillman et al. (1991) bahwa nilai imbangan efisiensi protein dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, lamanya percobaan dan kadar protein dalam ransum. Nilai rasio efisiensi protein akan bervariasi dengan sumber protein yang berbeda, karena komposisi protein bervariasi terhadap asam amino esensial. Tingkat protein yang diperlukan dalam ransum tergantung pada kualitas protein untuk laju pertumbuhan maksimum (Anggorodi, 1990).

Menurut McDonald et al. (2002), kandungan asam amino dari rumput adalah arginin 0,85; sistin 0,19; glisin 0,84; histidin 0,32; isoleusin 0,65; leusin 1,22; lisin 0,79; methionin 0,33; phenylalanin 0,79; serine 0,68; threonin 0,72; tryptophan 0,13; tirosin 0,54 dan valin 0,55 (%). Sedangkan menurut Hartadi et al. (1990), kandungan asam amino dari JKT adalah arginin


(42)

xlii

3,65; sistin 0,30; methionin 0,13; glisin 1,99; histidin 0,8; isoleusin 1,00; leusin 2,04; lisin 1,20; phenylalanin 1,63; tirosin 0,04; serine 0,00; threonin 0,93; tryptophan 0,00 dan valin 1,23 (%). Variasi kandungan asam amino dari rumput dan JKT menunjukkan kualitas rumput dan JKT. Berdasarkan hasil penelitian imbangan dari JKT dan rumput raja bersama variasi kandungan asam amino dari keduanya masih memberikan pengaruh yang relatif sama terhadap EPPR dan diduga kualitas keduanya saling melengkapi. Tingginya nilai EPPR menunjukkan semakin tinggi kualitas protein dari bahan pakan yang digunakan. Berdasarkan penilaian kimiawi (chemical score), nilai kimiawi dari rumput adalah 8, sedangkan JKT adalah 7, sehingga indeks kualitas protein rumput lebih baik dari JKT. Akan tetapi penilaian ini memiliki keterbatasan, seperti yang dijelaskan oleh Tillman et al. (1991) bahwa metode penilaian kimiawi (chemical score) berdasarkan atas suatu konsep bahwa kualitas protein ditentukan oleh asam amino assensial yang paling rendah kadarnya dibanding dengan suatu standar. Protein telur merupakan standar yang lazim digunakan. Akan tetapi metode ini memiliki keterbatasan yang serius apabila ada beberapa defisiensi. Oleh karena itu metode chemical score

diduga belum bisa menunjukkan kualitas protein yang sesungguhnya dari rumput dan JKT, karena terdapat defisiensi yang nyata dari asam amino JKT yaitu JKT tidak diketahui asam amino tryptophannya (Hartadi et al., 1990). Selanjutnya dilakukan perhitungan indeks asam amino asensial (Essential Amino Acid Index = EAAI) dari asam amino essensial yang ada dalam rumput dan JKT. Menurut Tillman et al. (1991) pula bahwa indeks ini diadakan untuk mengurangi keterbatasan pada metode nilai kimiawi (chemical score).

Berdasarkan perhitungan nilai EAAI dari rumput adalah sebesar 8,638 dan JKT sebesar 11,519, sehingga indeks kualitas protein JKT lebih baik dari rumput. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan kualitas JKT lebih baik dari rumput. Didukung pula dengan adanya kecenderungan peningkatan EPPR yang optimal (P≤0,993) pada imbangan 30% JKT : 10% rumput raja, meskipun masih dalam batas peningkatan yang non significant dengan perlakuan yang lain.


(43)

xliii

Menurut Tillman et al. (1991), hijauan pakan ternak yang masih muda dan tumbuh mengandung proporsi nitrogen yang tinggi dalam bentuk senyawa NPN dan proporsi N dalam protein bertambah dengan bertambahnya umur tanaman. Anggorodi (1990) menyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan

leguminosa secara tidak langsung sanggup menggunakan gas nitrogen dari udara untuk membuat protein. Hal tersebut dilaksanakan melalui pengikatan gas nitogen bebas oleh bakteri leguminosa yang terdapat dalam bonggol-bonggol akar leguminosa. Bakteri tersebut membuat nitogen dari udara menjadi ikatan nitrogen organik yang nantinya digunakan oleh tumbuh-tumbuhan leguminosa. Sedangkan pada rumput, ikatan nitrogen sederhana (nitrogen bukan protein) juga lebih besar karena sebagian dari protein dalam hijauan ini dirombak ke dalam ikatan yang lebih sederhana. Oleh karena protein JKT dan rumput raja sebagian besar dalam bentuk senyawa NPN, maka imbangan keduanya dalam ransum memberikan pengaruh yang hampir sama terhadap EPPR.

E. Konversi Pakan

Rerata konversi pakan sapi PFH jantan selama penelitian dari masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Rerata konversi pakan sapi PFH jantan

Rerata konversi pakan sapi PFH jantan selama penelitian masing-masing perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut sebesar 8.99, 9.12, 10.08 dan 8.03.

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa imbangan JKT dengan rumput raja memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P≥0.05) terhadap konversi pakan. Hal ini berarti imbangan JKT dengan rumput raja

Ulangan Perlakuan

1 2 3

Rerata

P0 12.65 7.53 6.78 8.99

P1 10.01 8.31 9.05 9.12

P2 10.86 7.48 11.89 10.08


(44)

xliv

tidak berpengaruh terhadap konversi pakan sapi PFH jantan. Menurut Basuki (2002), konversi pakan sangat dipengaruhi oleh konsumsi BK dan pertambahan bobot badan harian ternak. Oleh karena konsumsi BK dan PBBH menunjukkan pengaruh yang berbeda tidak nyata, maka konversi pakan berbeda tidak nyata pula. Nilai konversi paling rendah dalam penelitian ini adalah P3, ini berarti imbangan 30% JKT : 10% rumput raja paling efisien dalam penggunaan pakan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan.

Menurut Martawidjaja (1998), konversi pakan dipengaruhi oleh kualitas pakan, pertambahan bobot badan dan kecernaan, artinya bahwa semakin baik kulitas pakan yang dikonsumsi akan menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dan lebih efisien penggunaan pakannya. Konversi pakan merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan. Ditegaskan oleh Siregar (1994), bahwa konversi pakan digunakan sebagai tolok ukur efisiensi produksi, semakin rendah nilai konversi berarti efisiensi penggunaan pakan semakin tinggi.

F. Feed Cost per Gain

Rerata Feed Cost per Gain sapi PFH jantan selama penelitian disajikan pada Tabel 9 berikut.

Tabel 9. Rerata Feed Cost per Gain sapi PFH jantan (Rupiah/kg Bobot Badan)

Rerata Feed Cost per Gain pada perlakuan P0, P1, P2 dan P3 berturut-turut yaitu Rp. 19150.32, Rp. 18164.77, Rp. 18658.78, dan Rp. 13700.37. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa sapi yang mendapatkan perlakuan P0 nilai Feed Cost per Gain paling tinggi, sedangkan P1, P2, P3 nilai Feed Costper Gain semakin menurun. Hal ini karena peningkatan bobot badan yang dicapai sapi dengan perlakuan P3 paling tinggi dibanding P0, P1

Ulangan Perlakuan

1 2 3

Rerata

P0 26956.77 16046.20 14447.98 19150.32

P1 19930.11 16545.38 18018.73 18164.77

P2 20102.62 13864.51 22009.22 18658.78


(45)

xlv

dan P2, serta harga ransum semakin murah dengan naiknya level imbangan JKT terhadap rumput raja. Harga ransum antar perlakuan yaitu sebesar P0 Rp. 2130.97, P1 Rp. 1991.02, P2 Rp. 1851.07 dan P3 Rp. 1711.12.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi level imbangan JKT terhadap rumput raja dalam ransum sapi PFH jantan nilai Feed Cost per Gain semakin rendah. Nilai Feed Cost per Gain merupakan besarnya biaya pakan yang diperlukan untuk menghasilkan 1 kg pertambahan bobot badan. Rasyaf (1992) menyatakan bahwa tinggi rendahnya biaya pakan tergantung pada harga pakan dan efisien tidaknya pemberian pakan. Ditambahkan pula bahwa semakin efisien dalam mengubah pakan menjadi daging semakin baik pula nilai Income Over Feed Cost-nya. Dengan demikian semakin meningkatnya level imbangan JKT terhadap rumput raja akan memberikan nilai ekonomis yang semakin tinggi dalam usaha penggemukan sapi PFH jantan. Hal ini berarti pemberian JKT dengan level imbangan JKT : rumput raja mencapai 30% : 10% atau 30% JKT dari total ransum dapat dijadikan sebagai pakan alternatif ketika keberadaan JKT melimpah dimusim panen. Ditegaskan oleh Wodzicka et al., (1993) bahwa Feed Cost per Gain pada usaha peternakan terutama ternak ruminansia digunakan sebagai salah satu parameter untuk mengetahui efisiensi pakan yang diberikan dapat dimanfaatkan dan diubah menjadi daging.


(46)

xlvi

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil pembahasan pada penelitian ini adalah :

1. Penggunaan imbangan JKT dengan rumput raja dalam ransum adalah saling melengkapi dan mempertahankan kualitas hijauan dalam memperbaiki performan sapi PFH jantan.

2. Imbangan JKT dengan rumput raja sampai level imbangan 30% JKT : 10% rumput raja atau 30% JKT dari total ransum merupakan imbangan yang optimal dapat digunakan sebagai formula ransum pakan sapi PFH jantan tanpa berpengaruh terhadap konsumsi BK pakan, konsumsi PK, PBBH, EPPR, konversi pakan dan menurunkan

Feed Cost per Gain. B. Saran

Pada saat musim panen kacang tanah, JKT dapat dijadikan sebagai pakan alternatif untuk sapi PFH jantan sampai level imbangan 30% JKT : 10% rumput raja atau 30% JKT dari total ransum dan JKT akan lebih memperbaiki performan sapi PFH jantan jika diimbangkan dengan bahan pakan yang kualitasnya lebih rendah dari rumput raja.


(47)

xlvii

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1983. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja dan Perah. Kanisius. Yogyakarta.

Akoso, B. T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta. Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak. Gramedia. Jakarta.

Anonimus, 2007. Bisnis dan Keuangan. Investasi. Industri Peternakan Masih Menjanjikan Keuntungan. Kompas, 27 Juni 2007Hal 17.

Ariani, P. 2007. Pengaruh Substitusi Rumput Raja dengan Kulit Kacang Tanah Fermentasi dalam Ransum terhadap Penampilan Produksi Bomba Lokal Jantan. Skripsi. Jurusan Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Basuki, P. 2002. Pengantar Ilmu Ternak Potong dan Kerja. Bahan Kuliah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Blakely, J. Dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Diterjemahkan oleh Bambang Srigandono. Edisi IV. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. BPTP. 2001. Teknologi Usaha penggemukan Sapi Potong. Departemen Pertanian.

Badan Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Jawa Tengah. Darmono. 1993. Tata Laksana Sapi Kereman. Kanisius. Yogyakarta.

Handayanta, E. 2001. Pengaruh Substitusi Rumput Raja dengan Pucuk Tebu dalam Ransum terhadap Performan Sapi Jantan Friesian Holstein. Sains Peternakan Jurnal Penelitian Ilmu Peternakan. Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian. Vol 1 No.2 September 2004. Hal 49-56. Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A. D. Tillman, 1990. Tabel Komposisi Pakan

Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Huitema, H. 1986. Peternakan di Daerah Tropis Arti Ekonomi dan Kemampuannya. Gramedia. Jakarta.

Kamal. M. 1994. Nutrisi Ternak I. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kartadisastra, H.R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius. Yogyakarta.

Maramis dan E. Rossi. 1999. Penggunaan Sumber Protein dengan Kandungan Protein By-Pass yang Berbeda dalam Ransum Ternak Domba. Jurnal Peternakan dan Lingkungan. Vol. 5, No. 2. hal 40-46.


(48)

xlviii

Martawidjaja, M. 1998. Pengaruh Taraf Pemberian Konsentrat Terhadap Keragaan Kambing Kacang Betina Sapihan. Prosiding seminar Nasional dan Veteriner. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

McDonald, P, R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, dan C. A. Morgan. 2002.

Animal Nutrition. 6th ed. Ashford Colour Press, Ltd. Gosport.

Mugiyono, Y dan G. Karmada. 2000. Pengaruh Taraf Pemberian Konsentrat Terhadap pakan Ternak di NTB. Hal 13-14 dalam Suhubudi Yasin dan S.H. Dilaga (eds. Peternakan Sapi Bali da Permasalahannya). Bumi Aksara. Jakarta.

Mulyono, S. 1998. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Cet. 1. Penebar Swadaya. Jakarta.

Parakkasi, A., 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press. Jakarta.

Rasyaf, M. 1992. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging. Kanisius. Yogyakarta.

Santosa, U. 2001. Pengenalan Bisnis Usaha Penggemukan dengan Basis Sapi Bakalan Import dan Bakalan Lokal. Pelatihan wirabisnis feedlot sapi potong 17 Maret 2001. Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran, Jatinangor.

Sarwono, B dan H.B. Arianto. 2007. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Siregar, S.B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta. Soebarinoto , S. Chuzaemi dan Mashudi. 1991. Ilmu Gizi Rumiansia. Jurusan

Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya. Malang.

Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sumoprastowo, R. M.dan M.Z. Syarif. 1985. Ternak Perah. Yasaguna. Jakarta. Suparman. 2004. Kinerja Produksi Kelinci Lokal Jantan dengan Pemberian

Pakan Kering vs Basah. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Soeparno dan Sumadi. 1991. Pertambahan Berat Badan, Karkas dan Komposisi Kimia Daging Sapi, Kaitannya dengan Bangsa dan Macam Pakan Penggemukan. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Grati. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Soetarno, T. 2003. Manajemen Budidaya Perah. Laboratorium Ternak Perah. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sutardi, T., 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak . Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(49)

xlix

Tarmidi, A. R. 2004. Pengaruh Pemberian Ransum yang Mengandung Ampas Tebu Hasil Biokonversi oleh Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Terhadap Performan Domba Priangan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol. 9 (3) hal 157-163. Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wardhani, N. K dan A. Mosafie. 1991. Jerami Jagung Segar, Kering dan Teramoniasi sebagai Pengganti Hijauan Sapi Potong. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Grati. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian

Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wodzicka, M. Tomaszewska, A. Djajanegara, S. Gardiner, T.R. Wiradarya dan I.M. Mastika. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Penerjemah : I.M. Mastika, K.G. Suryana, I.G. Lanang Oka dan I.B. Sutrisna. Universitas Sebelas Maret Press. Surakarta.

Yitnosumarto,S.1993. Perancangan Percobaan, Analisis dan Interprestasinya. Gramedia Utama. Jakarta.

Zulbardi, M., A.A. Karto, U. Kusnadi dan A. Thalib. 2001. Pemanfaatan Jerami Padi bagi Usaha Sapi Peranakan Ongole di Daerah Irigasi Tanaman Padi. Hal 256-261. dalam B. Haryanto (edt.). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Penelitian Ternak. Bogor.


(50)

(51)

li LAMPIRAN 1

ANALISIS VARIANSI KONSUMSI PAKAN (BK) (kg/ekor/hari) Ulangan

Perlakuan 1 2 3 Jumlah Rerata

P0 3.79 4.07 3.46 11.32 3.77

P1 4.21 4.07 3.44 11.72 3.91

P2 4.34 4.49 3.45 12.28 4.09

P3 4.90 4.04 3.50 12.44 4.14

Perhitungan Anova : Faktor Koreksi (C) = Y2/n

= 47.762/12 = 190.0848 JKL = (3.792+...+3.502) – C

= 192.503 – 190.0848 = 2.4182

JKT = ( 11.322+11.722+12.282+12.442)/3 – C = 190.35093 – 190.0848 = 0.26613 JKE = JKL - JKT

= 2.4182 – 0.26613 = 2.15207 dbL = n – 1 = 11

dbT = t – 1 = 3

dbE = n – t = 12 – 4 = 8 KTT = JKT/dbT

= 0.26613/3 = 0.08871 KTE = JKE/dbE

= 2.15207/8 = 0.2690088 F hit = KTT//KTE

= 0.08871/0.2690088 = 0.3298

DAFTAR ANOVA

F Tabel Sumber

Variansi

db JK KT F hitung

5% 1%

Treatment 3 0.26613 0.08871 0.3298ns 4.07 7.59 Error 8 2.15207 0.2690088

Total 11 2.4182


(52)

lii LAMPIRAN 2

ANALISIS VARIANSI KONSUMSI PK (gram/ekor/hari) Ulangan

Perlakuan 1 2 3 Jumlah Rerata

P0 408.47 441.61 375.16 1225.24 408.41

P1 471.55 454.56 383.69 1309.80 436.60

P2 509.33 526.54 396.22 1432.09 477.36

P3 593.30 482.45 415.38 1491.13 497.04

Perhitungan Anova : Faktor Koreksi (C) = Y2/n

= 5458.262/12 = 2482716.852 JKL = (408.472+...+415.382) – C

= 2529770 – 2482716.852 = 47053.148

JKT = ( 1225.242+1309.802+1432.092+1491.132)/3 – C = 2497046.667– 2482716.852 = 14329.81467 JKE = JKL - JKT

= 47053.148 – 14329.81467 = 32723.33 dbL = n – 1 = 11

dbT = t – 1 = 3

dbE = n – t = 12 – 4 = 8 KTT = JKT/dbT

= 14329.81467/3 = 4776.60489 KTE = JKE/dbE

= 32723.33/8 = 4090.41625 F hit = KTT//KTE

= 4776.60489/4090.41625 = 1.168

DAFTAR ANOVA

F Tabel Sumber

Variansi

db JK KT F hitung

5% 1%

Treatment 3 14329.81467 4776.60489 1.168ns 4.07 7.59 Error 8 32723.33 4090.41625

Total 11 47053.148 ns = non significant


(1)

LAMPIRAN 4

ANALISIS VARIANSI EPPR Ulangan

Perlakuan 1 2 3 Jumlah Rerata

P0 0.67 1.08 1.20 2.95 0.98

P1 0.83 0.98 0.89 2.70 0.90

P2 0.74 1.06 0.68 2.48 0.83

P3 1.27 1.11 0.77 3.15 1.05

Perhitungan Anova : Faktor Koreksi (C) = Y2/n

= 11.282/12 = 10.6032 JKL = (0.672+...+0.772) – C

= 11.0682 – 10.6032 = 0.465 JKT = ( 2.952+2.702+2.482+3.152)/3 – C

= 10.6885 – 10.6032 = 0.0853 JKE = JKL - JKT

= 0.465 – 0.0853 = 0.3797 dbL = n – 1 = 11

dbT = t – 1 = 3

dbE = n – t = 12 – 4 = 8

KTT = JKT/dbT

= 0.0853/3 = 0.0284 KTE = JKE/dbE

= 0.3797/8 = 0.0475 F hit = KTT//KTE

= 0.0284/0.0475 = 0.5979

DAFTAR ANOVA

F Tabel Sumber

Variansi

db JK KT F hitung

5% 1%

Treatment 3 0.0853 0.0284 0.5979ns 4.07 7.59

Error 8 0.3797 0.0475

Total 11 0.465


(2)

lvi ANALISIS VARIANSI KONVERSI PAKAN

Ulangan

Perlakuan 1 2 3 Jumlah Rerata

P0 12.65 7.53 6.78 26.96 8.99

P1 10.01 8.31 9.05 27.37 9.12

P2 10.86 7.48 11.89 30.23 10.08

P3 6.28 7.21 10.60 24.09 8.03

Perhitungan Anova : Faktor Koreksi (C) = Y2/n

= 108.652/12 = 983.7353 JKL = (12.652+...+10.62) – C

= 1032.8951 – 983.7353 = 49.1598 JKT = ( 26.962+27.372+30.242+24.022)/3 – C

= 990.0465 – 983.7353 = 6.3112 JKE = JKL - JKT

= 49.1598 – 6.3112 = 42.8486 dbL = n – 1 = 11

dbT =t – 1 = 3

dbE = n – t = 12 – 4 = 8

KTT = JKT/dbT

= 6.3112/3 = 2.1037 KTE = JKE/dbE

= 42.8486/8 = 5.3561 F hit = KTT//KTE

= 2.1037/5.3561 = 0.3928 DAFTAR ANOVA

F Tabel Sumber

Variansi

db JK KT F hitung

5% 1%

Treatment 3 6.3112 2.1037 0.3928ns 4.07 7.59

Error 8 42.8486 5.3561

Total 11 ns = non significant


(3)

PERHITUNGAN FEED COST PER GAIN Tabel Daftar harga bahan pakan

Perlakuan Bahan Pakan Harga (Rp/kg) BK

P0 P1 P2 P3

Rumput raja JKT Konsentrat 400 300 1316 13,20 18,19 86,63 40 - 60 30 10 60 20 20 60 10 30 60 Harga (BK) = 100/BK x harga pakan x %

Bahan Pakan P0 P1 P2 P3

Rumput Raja JKT Konsentrat 1219,51 - 911,46 914,63 164,93 911,46 609,76 329,85 911,46 304,88 494,78 911,46

Total 2130,97 1991,02 1851,07 1711,12

Feed Cost per Gain = Harga Ransum x Konversi Pakan Ulangan

Perlakuan

1 2 3

Rerata

P0 26956.77 16046.20 14447.98 19150.32

P1 19930.11 16545.38 18018.73 18164.77

P2 20102.62 13864.51 22009.22 18658.78


(4)

lviii

BOBOT BADAN AWAL DAN AKHIR SAPI PFH JANTAN SELAMA PENELITIAN

Sapi Perlakuan BB awal BB akhir

1 P0U1 134 151

2 P0U2 125 155

3 P1U1 139.5 163

4 P2U2 127.5 161

5 P1U2 125.5 153

6 P2U1 128.5 151

7 P3U1 134.5 178

8 P0U3 110 138.5

9 P3U3 110.5 129

10 P1U3 105 126.5

11 P2U3 107 123.5


(5)

DATA SUHU KANDANG

Suhu ( 0C) Suhu ( 0C) Tanggal Pagi Sore Tanggal Pagi Sore

27-Mar-2008 23 30 24-Apr-2008 24 30

28-Mar-2008 23 29 25-Apr-2008 24 30

29-Mar-2008 24 30 26-Apr-2008 24 31

30-Mar-2008 24 30 27-Apr-2008 24 31

31-Mar-2008 23 29 28-Apr-2008 24 31

1-Apr-2008 22 30 29-Apr-2008 24 31

2-Apr-2008 22 30 30-Apr-2008 25 32

3-Apr-2008 23 30 1-May-2008 24 27

4-Apr-2008 23 31 2-May-2008 24 27

5-Apr-2008 24 29 3-May-2008 24 32

6-Apr-2008 23 28 4-May-2008 24 31

7-Apr-2008 24 29 5-May-2008 25 31

8-Apr-2008 25 31 6-May-2008 25 30

9-Apr-2008 22 28 7-May-2008 24 30

10-Apr-2008 23 29 8-May-2008 23 29

11-Apr-2008 24 31 9-May-2008 21 31

12-Apr-2008 22 30 10-May-2008 24 31

13-Apr-2008 24 31 11-May-2008 19 31

14-Apr-2008 24 31 12-May-2008 20 29

15-Apr-2008 23 26 13-May-2008 20 30

16-Apr-2008 24 30 14-May-2008 21 30

17-Apr-2008 24 29 15-May-2008 21 30

18-Apr-2008 24 31 16-May-2008 21 30

19-Apr-2008 24 31 17-May-2008 21 31

20-Apr-2008 25 31 18-May-2008 24 31

21-Apr-2008 24 31 19-May-2008 21 30

22-Apr-2008 24 30 20-May-2008 24 30


(6)

lx DENAH KANDANG

U

P3U2

P2U3

P1U3

P3U3

P0U3

P3U1

P2U1

P1U2

P2U2

P1U1

P0U2