Functional Duck Egg Production Rich of Omega 3 and Omega 6 Fatty Acid Balanced, Vitamin A and Low Cholesterol

(1)

ARIF DARMAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PRODUKSI TELUR ITIK FUNGSIONAL KAYA ASAM

LEMAK OMEGA-3 DAN OMEGA-6 BERIMBANG,


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi Telur Itik Fungsional Kaya Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Berimbang,Vitamin A dan Rendah Kolesterol adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013 Arif Darmawan D152110051

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.


(3)

RINGKASAN

ARIF DARMAWAN. Telur Itik Fungsional Kaya Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Berimbang, Vitamin A dan Rendah Kolesterol. Dibimbing oleh KOMANG G WIRYAWAN dan SUMIATI.

Telur itik mengandung kolesterol dan asam lemak jenuh yang tinggi. Kandungan lemak jenuh dan kolesterol telur itik yang tinggi sangat berbahaya karena jika dikonsumsi berlebihan akan menyebabkan penyakit arterosklerosis dan jantung koroner. Beberapa fakta menunjukkan bahwa omega 3 (ω-3) dan omega 6 (ω-6) dari makanan berperan penting dalam fungsi dan integritas otak serta merupakan faktor penting dalam pembentukan dan pertumbuhan otak, mencegah penyakit kardiovaskuler (aterosklerosis dan jantung koroner), kanker, tumor dan berpengaruh pada kekebalan tubuh. Perkembangan selanjutnya menunjukkan jika keseimbangan antara ω-γ dan ω-6 terganggu dapat mengakibatkan penurunan kolesterol LDL dan HDL serta mudah terbentuknya plaque atau sumbatan. Rasio yang terbaik antara ω-γ dan ω-6 dalam makanan adalah 1:5.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan produksi Itik Magelang, kualitas fisik telur, kandungan kolesterol telur, kandungan vitamin A dan imbangan ω-3 : ω-6 dalam kuning telur itik yang diberi pakan dengan imbangan asam lemak omega 3 dan omega 6 yang berbeda dan penambahan Zn organik. Penelitian ini menggunakan 90 ekor itik Magelang yang berumur 21 minggu. Itik dipelihara selama sembilan minggu dalam kandang sekat berukuran 1m x 1m x 1m. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan enam perlakuan dan tiga ulangan. Ransum yang diberikan adalah sebagai berikut : (R0) ransum tanpa menggunakan minyak sawit, minyak ikan dan Zn organik dengan imbangan ω-γ : ω-6 = 1 : 5.1, (R1) ransum dengan imbangan ω-γ : ω-6 = 1 : 1.5 + β00 ppm Zn organik, (Rβ) ransum dengan imbangan ω-γ : ω-6 = 1 : 2.9 + 200 ppm Zn organik, (Rγ) ransum dengan imbangan ω-γ : ω-6 = 1 : 4.6 + 200 ppm Zn organik, (R4) ransum dengan imbangan ω-γ : ω-6 = 1 : 5.9 + 200 ppm Zn organik, (R5) ransum dengan imbangan ω-γ : ω-6 = 1 : 7.7+ 200 ppm Zn organik. Parameter yang diamati diantaranya konsumsi pakan, konversi pakan, produksi telur ( duck day ), berat telur, berat kuning telur, berat putih telur, skor warna kuning telur, berat kerabang telur, tebal kerabang telur, haugh unit dan indeks telur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan asam lemak ω-γ : ω-6 dengan imbangan 1 : 2.9 ditambah Zn organik 200 ppm sangat nyata (P<0.01) meningkatkan produksi telur ( duck day ) dan sangat nyata (P<0.01) mampu menurunkan nilai konversi ransum (FCR). Rata-rata konsumsi pakan berkisar 143.81-160.53 g / ekor / hari, produksi telur 35.08%-58.47% dan konversi pakan 5.12-7.61. Seluruh perlakuan tidak menurunkan kualitas fisik telur itik. Penggunaan imbangan ω-γ dan ω-6 sebesar 1 : 1.5 (R1) dalam ransum sangat signifikan (P<0.01) mampu menurunkan kandungan kolesterol kuning telur sebesar 24.45% dari 9.65 mg/g (R0) menjadi 7.29 mg/g (R1). Kandungan vitamin A tertinggi terdapat pada telur perlakuan R5 sebesar 1675 IU/100 g dan terendah pada perlakuan R0 sebesar 1345 IU/100g. Imbangan ω-6 dan ω-3 yang diperoleh


(4)

pada perlakuan R0, R1, R2, R3, R4 dan R5 dalam kuning telur itik adalah 7, 1.1, 3.4, 5.3, 9.3, 11.5. Efesiensi deposit asam lemak ω-3 pada kuning telur sebesar 39.29% (R0), 55.30% (R1), 32.00% (R2), 28.57% (R3), 27.50% (R4) dan 32.26% (R5), sedangkan efesiensi deposit asam lemak ω-6 di kuning telur sebesar 53.84% (R0), 41.75% (R1), 37.75% (R2), 32.74% (R3), 43.04% (R4), dan 48.12% (R5).

Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan asam lemak ω -γ dan ω-6 dengan imbangan 1 : 4.6 ditambah Zn organik 200 ppm menghasilkan performa produksi yang baik, tidak menurunkan kualitas telur itik, menurunkan kolesterol dalam kuning telur, meningkatkan kandungan vitamin A dan menghasilkan imbangan ω-γ : ω-6 terbaik sebesar 1: 5.29.


(5)

SUMMARY

ARIF DARMAWAN. Functional Duck Egg Production Rich of Omega-3 and Omega-6 Fatty Acid Balanced, Vitamin A and Low Cholesterol. Supervised by KOMANG G WIRYAWAN and SUMIATI.

Duck eggs contain high cholesterol and high saturated fatty acids. These high fatty acids and high cholesterol are very dangerous because if it were consumed in excess will lead to atherosclerosis and coronary heart disease. Several facts suggest that omega-γ (ω-3) and omega-6 (ω-6) have an important role for brain function, integrity, formation and growth of the brain, preventing cardiovascular disease (atherosclerosis and coronary heart disease), cancer, and improve the body immunity. The other hand if the balance of ω-γ and ω-6 distracted can decrease LDL and HDL cholesterol. The best ratio between ω-3 and ω-6 in the food is 1:5.

The aims of this study was to determine the feeding effect of diets containing different balance of omega γ (ω-γ) and omega 6 (ω -6) fatty acid and organic Zn on duck productive performances, egg quality, egg cholesterol content, vitamin A content and proportion of ω-γ: ω-6 in the yolk. A total of 90 birds of 21 weeks old ducks were randomly divided into 18 experimental units of 1mx1mx1m of cages. This study used a completely randomized design with 6 treatments and 3 replications. The treatment diets were : diet without using palm oil, fish oil or organic Zn with proportion of ω -γ : ω -6 = 1: 5.1; R1 = diet contain proportion of ω-γ : ω-6= 1: 1.5 + 200 ppm organic Zn; R2 = diet contain proportion of ω-3 : ω -6= 1: 2.9 + 200 ppm organic Zn; R3 = diet contain proportion of ω-γ : ω-6= 1: 4.6 + 200 ppm organic Zn; R4 = diet contain proportion of ω-γ : ω-6= 1: 5.9 + 200 ppm organic Zn; R5 = diet contain proportion of ω-γ : ω-6= 1 : 7.7 + 200 ppm organic Zn. The parameters observed were: feed consumption, feed conversion ratio, egg production, egg weight, yolk weight, albumen weight, yolk color score, eggshell weight, eggshell thickness, haugh unit, egg index, fatty acid, Vitamin A, and egg cholesterol content.

The results showed using ω-γ and ω-6 fatty acids with proportion of 1: 2.9 + 200 ppm organic Zn (R1) highly significantly (P<0.01) increased egg production, and highly significant (P <0.01) reduced feed conversion ratio (FCR). The average of feed consumption ranged at 143.81-160.53 g / duck / day, egg production was 35.08% - 58.47% and the feed conversion was 5.12 - 7.61.. The treatments did not decrease physical duck eggs quality. The treatment of R1 higly significantly (P<0.01) decreased the yolk cholesterol about 24.45%. The egg of R5 contained the highest vitamin A which was 1675 IU/100g. The balances of ω-6 and ω-3 contained in the yolk due to the treatments of R0, R1, R2, R3, R4 and R5 were 7, 1.1, 3.4, 5.3, 9.3, 11.5 respectively. The deposit efficiency of ω-3 fatty acids in egg yolk were 39.29% (R0), 55.30% (R1), 32.00% (R2), 28.57% (R3), 27.50% (R4) and 32.26% (R5), while the deposit efficiency of ω-6 fatty acids in egg yolk were 53.84% (R0), 41.75% (R1), 37.75% (R2), 32.74% (R3), 43.04% (R4), and 48.12% (R5). The treatment of R3 resulted the best ω-γ : ω-6 fatty acid proportion in the yolk which was 1:5.29.


(6)

The conclusion of this study was that feeding diet contained use of ω-3 and ω-6 fatty acid with proportion of 1: 4.6 +200 ppm organic Zn produced the best proportion of ω-γ : ω -6 in the yolk, increased egg production and vitamin A content, decreased yolk cholesterol content without decreased egg quality.


(7)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang me'izgumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

PRODUKSI TELUR

FUNGSIONAL KAYA ASAM

LEMAK OMEGA-3 DAN OMEGA-6 BERIMBANG,

VITAMIN A DAN

KOLESTEROL

DARMAWAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Magister Sains

pada

IImu Nutrisi dan

SEKOLAH

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(9)

· ', .


(10)

JuduJ Tesis Telur Itik Fungsionai Kaya Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Berimbang, Vitamin A dan Rendah Kolesteroi

Nama Arif Darmawan

NIM D152110051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr II' Komang G W iryawan Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi IImu Nutrisi dan Pakan

Dr Ir Dwierra Evvyemie, MS, MSc

Tanggal Ujian: 2 September 2013

Dr Ir Sumiati, MSc Anggota

セセ ュセセaQi|[セHLjセャi@ Pascasarj ana


(11)

PRAKATA

atas segala yang dipilih

Juli 2013

.1'-Vl.lH"Ul;;;' rnengucapkan terirna kasih "''-'IJUU'U. Prof. Dr. Ir.

Wiryawan dan Ibu Dr. Ir. Sumiati, M.Sc Ir. Mutia, M.Sc. Agr sebagai dosen

telah rnernbantu selarna terdalarn kepada

do'a, kasih sayang, tiada henti kepada

dan

atas doa dan sernangatnya. juga kepada

atas bantuan do'a, kasih dukungan dan

kasih juga dan Bu Ade serta

npCr"'UJ'l1 Pasacasarjana Ilrnu serta Departernen

...."'.1.1VLVI",L Pakan atas segala bantuan dan birnbingannya. Penulis IH'-'1.15'.1",,,,,,,..,.'Ul terirnakasih kepada ternan-ternan besar INP 2011 dan saudara-saudaraku

di C (Mas rnuI, Pak Ucup, Latif dan Finnan) atas bantuan

kebersamaannya selama ini. juga mengucapkan terimakasih yang

kepada Pendidikan telah

kesempatan melanjutkan pendidikan

Unggulan 2011 serta dana penelitian

Strategis Unggulan 2013 me1alui

I<:.UUUj'U.11 kepada Bogor.

::>ernOI2[a karya ilmiah

.:)eJ;ILeIIlOeI 2013


(12)

DAFTARISI

DAFTAR TABEL Vll

DAFTAR GAMBAR Vll

DAFTAR LAMPIRAN VB

1. PENDAHULUAN

1 Latar Belakang

2

Tujuan Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2. MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat 3

Materi 3

Metode 3

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan Terhadap Performa Itik Petelur Umur 21-29 Minggu

Konsumsi 6

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kualitas Fisik Itik Petelur Umur 21-29 Minggu

Produksi Telur (Duck Day) 7

Konversi Ransum 9

Berat Telur 10

Skor Wama Kuning Telur 12

Haugh Unit 13

Berat Putih Telur 13

Pengaruh Perlakuan Terhadap Kualitas Kimia Itik Petelur Umur 21-29 Minggu

Kandungan Asam Lemak Ransum, Imbangan dan Efisiensi Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Ekonomis Usaha Itik Petelur Umur 21-29 Minggu

Berat Kuning Telur 14

Berat Kerabang Telur 14

Tebal Kerabang Telur 14

Indeks Telur 15

Kolesterol Kuning Telur 15

Vitamin A Kuning Telur 17

Deposit Asam Lemak (0-3 dan (0-6 dalam · Kuning Telur 18

Income Over Feed Cost (lOFC) 21

4. SIMPULAN 23

DAFTAR PUSTAKA 24


(13)

DAFTAR TABEL

1. Susunan dan kandungan nutrien ransum perlakuan , 5

2. Rataan konsumsi ransum, produksi telur (duck day) dan konversi

ran sum itik umur selama 9 minggu penelitian 6

3. Kualitas telur itik umur 21-29 minggu 11

4. Kandungan asam lemak ransum 19

5. Kandungan asam lemak kuning telur itik umur 29 minggu 20

6. Rataan income over feed cost itik selama 9 minggu penelitian 22

DAFTARGAMBAR

1. Metabolisme asam lemak linoleat dan linolenat menjadi prostaglandin 8 2. Rataan produksi telur itik (duck day (%)) umur 21-29 minggu 9

3. Rataan konversi ransum itik petelur umur 21-29 minggu 10

4. Berat rata-rata telur itik minggu ke 21-29 12

5. Warna kuning telur antar perlakuan umur 29 minggu 13

6. Kandungan kolesterol (mg/g) kuning telur itik umur 29 minggu 16 7. Proses transformasi dan transportasi lemak hingga ke ovari 17 8. Kandungan vitamin A (lUll OOg) kuning telur itik umur 29 minggu 18

9. Proses transformasi asam lemak di dalam tubuh 21

DAFTAR LAMPlRAN

1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A . 26

2. Analisis ragam kualitas fisik telur itik umur 29 minggu 28

3. Analisis ragam performan itik umur 29 minggu 29

4. Uji lanjut konsumsi itik umur 29 minggu 29

5. Uji lanjut konsumsi itik umur 29 minggu 29

6. Uji lanjut konversi ransum itik umur 29 minggu 30


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Telur merupakan salah satu bahan makanan yang banyak memegang peranan di dalam membantu mencukupi kebutuhan gizi karena kandungan protein yang tinggi dan harga yang murah. Sebutir telur mengandung zat-zat gizi yang lengkap antara lain protein, lemak, hidrat arang, air, vitamin A, B, D dan K. Salah satu telur unggas yang mengandung nilai nutrisi tinggi adalah telur itik. Telur itik juga mengandung kolesterol dan asam lemak jenuh yang tinggi. Telur itik mengandung protein 13%, lemak 14%, kolesterol 10.81 mg/g kuning telur dan imbangan asam lemak omega-3 (ω-3) dan omega-6 (ω-6) sebesar 1 : 12.8 (Kazmierska et al. 2005). Kandungan lemak jenuh dan kolesterol telur itik yang tinggi sangat berbahaya karena jika dikonsumsi berlebihan akan menyebabkan penyakit arterosklerosis dan jantung koroner. Beberapa fakta menunjukkan bahwa asam lemak ω-γ dan ω-6 dari makanan berperan penting dalam fungsi dan integritas otak serta merupakan faktor penting dalam pembentukan dan pertumbuhan otak, mencegah penyakit kardiovaskuler (aterosklerosis dan jantung koroner), kanker, tumor dan berpengaruh pada kekebalan tubuh (Hardini et al. β006). Perkembangan selanjutnya menunjukkan jika keseimbangan antara ω-3 dan ω-6 terganggu dapat mengakibatkan penurunan kolesterol LDL dan HDL serta mudah terbentuknya plaque atau sumbatan. Hal ini tidak menguntungkan karena rasio LDL/HDL yang menurun dan mudahnya terjadi sumbatan pada pembuluh darah akan memicu terjadinya penyakit jantung koroner (Simopoulos β008). Beberapa hasil penelitian merekomendasikan bahwa imbangan ω-γ dan ω -6 dalam makanan yang aman untuk dikonsumsi manusia adalah 1 : 4 sampai 1 : 10 (British Nutrition Foundation’s 1994) dan menurut Leeson dan Atteh (1995) rasio yang terbaik antara ω-γ dan ω-6 adalah 1 : 5.

Merekayasa aspek pakan adalah upaya yang dapat dilakukan untuk menghasilkan produk telur yang kaya akan asam lemak ω-γ dan ω-6 berimbang. Sumber pakan yang kaya akan asam lemak ω-3 dapat diperoleh dari minyak ikan, sedangkan bahan pakan yang kaya akan asam lemak ω-6 dapat diperoleh dari minyak sawit. Penggunaan minyak lemuru mampu menurunkan kandungan kolesterol telur dan meningkatkan kandungan ω-3 secara signifikan. Kombinasi kedua jenis minyak (2% minyak lemuru dan 6% minyak sawit) dalam pakan menghasilkan produksi dan kualitas telur yang baik dan rasio ω -3 dan ω-6 dalam telur yang seimbang (Sulistiawati 1998). Minyak sawit memiliki karakteristik asam lemak utama penyusunnya yang terdiri atas 35%-40% asam palmitat, 38%-40% oleat dan 6%-10% asam linoleat serta kandungan mikronutriennya seperti kartonoid, tokoferol, tokotrienol dan fitosterol. Kandungan karotenoid dalam minyak sawit bervariasi sekitar 200-800 ppm, meskipun ada yang mencepai lebih dari 1.000 ppm. Kartonoid dalam minyak sawit terutama mencakup alpha dan betha karoten dan sejumlah kecil yaitu karoten, likopen dan xantofil. α dan karoten mempunyai aktivitas tinggi sebagai provitamin A, sedangkan kartonoid yang lain mempunyai aktivitas sebagai provitamin A sangat rendah.


(15)

Aktivitas provitamin A dari karotenoid adalah 1.66 IU/µg, hampir dua kali

lipatnya dar α karoten yaitu 0.9 IU/µg (Winarno 1999).

Hasil penelitian baik pada manusia atau hewan, bahwa asam lemak ω-3 bersifat efektif dalam menurunkan produksi dan pengeluaran trigleserida dari hati. Penurunan tersebut disebabkan oleh penurunan proses esterifikasi asam lemak pada struktur gliserol atau penurunan sintesis trigleserida. Selain itu juga terjadi peningkatan oksidasi asam lemak ω-3 dalam hati dan peningkatan proses pembersihan lipoprotein tinggi trigleserida dari plasma darah. Kadar trigleserida yang tinggi menunjukan resiko terhadap penyakit jantung koroner yang tinggi juga. Selain itu asam lemak ω-3 juga menrunkan kadar lipoprotein (Estiasih 2009).

Penambahan minyak ikan dan minyak sawit yang kaya akan PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) pada ransum itik petelur dapat dikombinasikan dengan suplementasi Zn. Mineral Zn sangat bermanfaat terhadap transformasi metabolik PUFA menjadi prostaglandin yang berperan dalam sistem reproduksi (Eder et al. 2000). Hasil penelitian Eder dan Kirchgessner (2000), defesiensi Zn akan mempengaruhi komposisi asam lemak dan konsentrasi asam lemak dalam hati. Mineral Zn juga dapat mempengaruhi metabolisme vitamin A termasuk penyerapan, transportasi dan penggunaanya karena merupakan kofaktor dari Retinol Binding Protein (Muňoz et al. 2000). Mekanismenya adalah peran seng dalam berbagai sintesis protein termasuk Retinol Binding Protein (RBP). Defisiensi Zn akan menekan sintesis RBP di hati dan menyebabkan turunnya konsentrasi RBP dalam plasma. Mekanisme lain interaksi antara vitamin A dan seng adalah melalui peran seng dalam konversi retinol menjadi retinaldehyd (retinal), suatu tahap yang penting dalam fungsi normal penglihatan yang membutuhkan peran dari enzim zincdependent retinol dehidroginase. Mekanisme seng dalam pengaturan metabolism vitamin A terutama pada peran seng dalam mengontrol RBP sebagai transport intersellular dan intraseluler dari retinol dan sebagai kofaktor dari sintesis enzim yang berfungsi untuk mengatur absorpsi dan fungsi vitamin A (Muňoz et al.2000).

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menentukan kombinasi minyak ikan dan minyak sawit dalam ransum itik petelur agar telur yang dihasilkan kaya asam lemak ω-γ dan ω-6 dengan komposisi yang seimbang.

2. Meningkatkan produksi telur dan kualitas telur.

3. Menurunkan kadar kolesterol dan meningkatkan kandungan vitamin A dalam telur itik.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi analisis kandungan asam lemak minyak sawit dan minyak ikan, analisis kualitas ransum, performa, analisis kualitas kimia dan fisik telur itik.


(16)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret - Juni 2013 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Laboratorium Lapang Blok C Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Materi 1. Persiapan bahan baku pakan.

Bahan baku pakan yang digunakan adalah jagung, dedak, bungkil kedelai, tepung ikan, minyak sawit, minyak ikan lemuru, CaCO3, NaCl, Premix,

DL-Methionine dan Zn organik. 2. Ternak

Ternak yang digunakan adalah itik petelur Magelang umur 21 minggu sebanyak 90 ekor dengan bobot rata-rata 1.3 kg/ekor. Itik dipelihara sampai umur 29 minggu dalam kandang sekat yang berukuran 1m x 1m x 1m.

3. Ransum

Ransum perlakuan disusun secara isoprotein dan isokalori untuk itik periode layer dengan kebutuhan protein dan energi masing-masing sebesar 16% dan β850 kkal/kg (Leeson dan Summers β005) serta imbangan asam lemak ω-3 dan ω-6 sesuai perlakuan. Susunan dan kandungan nutrien ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Metode

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas enam perlakuan dan tiga ulangan, masing-masing ulangan menggunakan 5 ekor itik. Sebelum pakan penelitian diberikan, itik petelur diberikan pakan adaptasi selama dua minggu pada umur 19 - 20 minggu. Selesai masa adaptasi penelitian, pemberian ransum perlakuan dimulai. Pemberian ransum perlakuan dilakukan selama sembilan minggu pada itik umur 21 - 29 minggu. Itik diberi ransum perlakuan dan air minum ad libitum setiap hari. Konsumsi ransum diukur setiap minggu sedangkan berat dan produksi telur dicatat setiap hari selama sembilan minggu percobaan. Pada perlakuan minggu ke 2, 4, 6, 8, dan 9 diambil dua butir telur dari masing-masing ulangan untuk analisis kualitas fisik telur. Pada minggu ke- 9 percobaan, dua butir telur tiap ulangan diambil kuning telurnya. Kuning telur dipisahkan dari putih telur dan kemudian kuning telur tersebut disatukan. Sebanyak enam sampel kuning telur yang disatukan, dianalisis kandungan asam lemak, vitamin A dan 18 sampel kuning telur diambil untuk dianalisis kandungan kolesterolnya. Kandungan kolesterol telur diamati dengan menggunakan metode Liebermann Burchard Color Reaction ( Kleiner dan Dotti


(17)

1962), komposisi asam lemak tidak jenuh pada kuning telur diamati dengan menggunakan metode khromatografi gas ( Folch et al. 1957) dan kandungan vitamin A di dalam kuning telur menggunakan metode high performance liquid chromatography (HPLC).

Perlakuan

Perlakuan yang diberikan adalah:

R0 = Ransum tanpa minyak ikan, minyak sawit atau Zn organik dengan imbangan ω-3 : ω-6 =1 : 5.1

R1 = Ransum dengan imbangan ω-3 : ω-6 = 1 : 1.5 + 200 ppm Zn organik R2 = Ransum dengan imbangan ω-3 : ω-6 = 1 : 2.9 + 200 ppm Zn organik R3 = Ransum dengan imbangan ω-3 : ω-6 = 1 : 4.6 + 200 ppm Zn organik R4 = Ransum dengan imbangan ω-γ : ω-6 = 1 : 5.9 + 200 ppm Zn organik R5 = Ransum dengan imbangan ω-3 : ω -6 = 1 : 7.7+ 200 ppm Zn organik

Rancangan Percobaan dan Model Matematika

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Adapun model matematika yang digunakan adalah :

Yij= µ + αi+ βj + εij

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan ke-i j = Pengaruh ulangan ke-j

εij = Error perlakuan ke-i dan ulangan ke-j. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of Variance/ ANOVA), jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Jarak Duncan (Steel dan Torrie 1993).

Peubah yang diamati Peubah yang diamati adalah

1. Konsumsi ransum (g/ekor), diukur setiap minggu dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan denga sisa ransum selama 1 minggu.

2. Produksi telur duck day (%)

Duck day (%) = Jumlah telur pada hari itu (butir)x 100% Jumlah itik pada hari itu


(18)

4. Konversi ransum, dihitung dengan membagi jumlah ransum yang dikonsumsi dengan produksi massa telur selama penelitian .

5. Kualitas fisik telur: persentase kerabang, putih telur dan kuning telur, warna kuning telur diukur dengan Roche Yolk Colour fan, tebal kerabang telur, haugh unit dihitung dengan rumus = 100 log(H+7,57- 1,7W0,37). H : Tinggi putih telur, W : Berat telur

6. Kualitas kimia telur: kandungan kolesterol kuning telur, asam lemak ω-3 dan ω-6 kuning telur dan vitamin A kuning telur.

Imbangan asam lemak ω -3 : ω -6 = C18:3n-3 +C20:5n-3+ C22:6n-3 C18:2n-6 + C20: 4n-6

Tabel 1. Susunan dan kandungan nutrien ransum perlakuan

Nama Bahan Baku Perlakuan

R0 R1 R2 R3 R4 R5

……….(%)………..

Jagung 67 45.5 45.7 47 47.2 46

Dedak padi 5.7 24 22.5 21 21 20.5

Bungkil kedelai 13 10.7 12 12.7 11 12

Tepung ikan 6.5 8 7 7 8 9

Minyak sawit 0 0 3.2 4 4.6 5

Minyak ikan 0 5 1.8 1 0.4 0

CaCO3 7 7 7 6.5 7 6.7

NaCl 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2

Premix 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5

DL-Methionin 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1

Total 100 100 100 100 100 100

Zn Organik (ppm) 200 200 200 200 200

Kandungan Nutrien

Protein kasar (%)* 13.31 13.66 13.45 14.26 14.2 13.88

Energi metabolis (Kkal/kg)** 2766.60 2878.25 2660.75 2905.8 2772.4 2786.175

Ca (%) 3.11 3.22 3.16 3.01 3.22 3.17

P tersedia (%) 0.43 0.60 0.56 0.55 0.59 0.62

Serat Kasar (%)* 3.18 4.72 4.21 3.74 4.1 4.19

Lemak (%)* 4.24 7.63 7.09 8 8.76 8.07

Total ω -6 (%) 1.43 1.94 2.17 2.26 2.37 2.39

Total ω -3 (%) 0.28 1.32 0.75 0.49 0.40 0.31

Imbangan ω -3 : ω -6 1:5.1 1:1.5 1:2.9 1:4.6 1:5.9 1:7.7

Lysine (%) 0.98 0.98 0.98 0.98 0.98 1.03

Methionine (%) 0.46 0.47 0.46 0.46 0.46 0.46

Methionine + Cystine (%) 0.71 0.70 0.70 0.71 0.71 0.73

*Analisis di Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, 2013 ** Analisi di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB, 2013


(19)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Performa Itik Petelur Umur 21-29 Minggu

Konsumsi Ransum

Menurut North dan Bell (1990), pakan yang dikonsumsi unggas diperlukan untuk hidup pokok, pertumbuhan, pertumbuhan bulu dan produksi telur. Faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan harian pada unggas dibagi menjadi dua kelompok. Faktor yang berpengaruh dominan adalah kandungan energi pakan dan suhu lingkungan. Faktor yang berpengaruh minor adalah strain unggas, berat tubuh, bobot telur harian, pertumbuhan bulu, derajat stress dan aktivitas. Berdasarkan Tabel 2, rataan konsumsi ransum itik selama sembilan minggu penelitian (umur 21-29 minggu) pada semua perlakuan berkisar 143.81 - 160.53 g/ekor/hari. Ransum tanpa menggunakan minyak dengan imbangan ω-γ dan ω-6 = 1 : 5.1 (R0) nyata (P<0.05) menurunkan konsumsi ransum. Ransum tanpa menggunakan minyak menghasilkan konsumsi terendah diantara perlakuan yang lain yaitu sebesar 143.81 gram/ekor/hari. Hal ini disebabkan karena pakan yang tidak menggunakan minyak akan mengurangi daya palatabilitasnya karena memiliki tekstur yang berdebu. Wahyju (1997) menyatakan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh bentuk ransum, bau dan warna ransum dan palatabilitas ransum. Ransum yang hanya menggunakan minyak sawit (R5) menghasilkan konsumsi sebesar 156.02 g/ekor/hari, sedangkan perlakuan yang menggunakan minyak sawit dan minyak ikan (R2, R3 dan R4) menghasilkan angka konsumsi sebesar 160.53 g/ekor/hari, 157.08 g/ekor/hari dan 160.50 g/ekor/hari dan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan ransum yang hanya menggunakan minyak ikan (R1).

Tabel 2. Rataan konsumsi ransum, produksi telur (duck day) dan konversi ransum itik selama 9 minggu penelitian

Perlakuan Konsumsi (g/ekor)

Produksi telur/Duck day (%)

Konversi ransum

R0 143.81±9.43a* 35.08±3.82A** 7.61±1.01B**

R1 153.02±4.32ab 46.98±5.93AB 5.55±0.77A

R2 160.53±1.24b 58.47±5.83B 5.12±0.54A

R3 157.08±1.05b 47.72±6.85AB 6.32±0.28AB

R4 160.5±11.42b 45.52±6.58AB 6.31±0.51AB

R5 156.68±1.08b 38.31±4.77A 7.60±0.69B

*Superskrip dengan huruf kecil dalam satu kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) ** Superskrip dengan huruf beser dalam satu kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01)


(20)

Produksi Telur (Duck Day)

Rataan produksi telur yang dihasilkan selama sembilan minggu (umur 21 - 29 minggu) dalam penelitian ini adalah 35.08% - 58.47% (Tabel 2). Ransum yang mengandung imbangan ω-γ dan ω-6 = 1 : 2.9 dan 200 ppm Zn organik (R2) sangat nyata (P<0.01) meningkatkan produksi telur itik dibandingkan perlakuan R0 dan R5. Produksi telur itik terendah dihasilkan oleh ransum dengan perlakuan tanpa minyak dan Zn organik (R0) yaitu sebesar 35.08% dan tertinggi diperoleh pada perlakuan kombinasi minyak ikan lemuru dan minyak sawit dengan imbangan 1 : 2.9 dan Zn organik 200 ppm yaitu sebesar 58.47%. Produksi telur itik umur 29 minggu dapat dilihat pada Gambar 2. Produksi telur itik umur 21-29 minggu mengalami peningkatan setiap minggunya. Produksi telur itik tertinggi pada minggu ke-21 terjadi pada perlakuan R4 disusul perlakuan R2 yaitu sebesar 20.00% dan 13.33%, sedangkan produksi telur terendah dihasilkan pada perlakuan R0 yaitu sebesar 1.90%. Rata-rata peningkatan produksi telur tertinggi terjadi pada minggu ke- 23. Produksi telur tertinggi pada minggu ke-23 terjadi pada perlakuan R2 sebesar 57.14%, sedangkan produksi terendah terjadi pada perlakuan R0. Seluruh perlakuan mengalami peningkatan produksi telur sampai minggu ke- 29. Produksi tertinggi pada minggu ke-29 terjadi pada perlakuan R2 sebesar 75.00% sedangkan terendah terjadi pada perlakuan R0 sebesar 47.14%. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan 200 ppm Zn organik dan interaksi antara asam linolenat (EPA) dan asam linoleat (AA) dapat mempercepat pembentukan sel telur pada umur yang sama. Rasio asam arakhidonat dengan eikosapentaenoat (AA/EPA) sangat menentukan keseimbangan eikosanoid. Eikosanoid yang terbentuk dari EPA juga berkompetitif mengganggu tindakan eikosanoid terbentuk dari AA. Oleh karena itu aktivitas eikosanoid dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh rasio AA/EPA. Imbangan ω-γ dan ω-6 sebesar 2.9 (R3) kemungkinan menghasilkan rasio AA/EPA yang optimal dalam tubuh sehingga menghasilkan performa yang optimal.

Defesiensi mineral Zn akan mempengaruhi komposisi asam lemak dan konsentrasi asam lemak dalam hati (Eder et al. 2000). Defesiensi Zn pada ransum yang mengandung minyak kelapa atau minyak ikan menyebabkan kandungan linoleat, arakidonat (AA) dan total asam lemak ω-6 lebih rendah. Menurut British Nutrition foundation’s (1994), arakidonat merupakan cikal bakal terbentuknya hormon prostaglandin (PGE2) yang berperan dalam system reproduksi. Hormon

prostaglandin akan mempengaruhi sekresi hormon folicel stimulating hormone (FSH) dan leutinizing hormone (LH) yang berfungsi dalam proses pembentukan dan pematangan sel telur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sitindaon (2005) bahwa suplementasi mineral Zn pada taraf 112.5 mg nyata meningkatkan produksi telur, karena pada taraf ini mineral Zn dapat mengaktifkan enzim karboksipeptidase dan aminopeptidase untuk menyediakan asam amino yang cukup untuk pembentukan telur. Menurut Wathes et al. (2007), asam lemak tak jenuh rantai panjang EPA (eikosapentaenoat) dan AA (asam arakhidonat) merupakan prekursor prostaglandin, prostacycline, thromboxane, dan leukotriene. Prostaglandin memiliki peran yang penting dalam beberapa aspek reproduksi, antara lain ovulasi, estrus dan kelangsungan hidup embrio. Proses metabolisme perubahan asam lemak linoleat dan asam lemak linoleat dapat dilihat pada Gambar 1.


(21)

Membrane phospholipid Phospholipase A2

Glucocorticoid

Arachidonic acid

Cyclo – Oxigenase 15 – Lipaxygenase Aspirin – like

Drugs

ProstaglandinG2 15-S-Hydroperoxy -

Elcosatetraenoic acid Peroxidase Glutathione peroxidase

15 – S – hydroxy – elcosatetraenoic acid Prostaglandin H2

Prostacyclin synthase Thromboxane synthase

Lipid peroxides Dazoxiben

Prostacyclin Thromboxane A2

Nonenzymic hydrolysis Nonenzymic hydrolysis 6 – keto –prostaglandin F1α Thromboxane B2

Dietary eicosapentaenoic acid Prostaglandin G3 Prostaglandin H3

Prostaglandin I3 Thromboxane A

∆ - 17 – 6 –keto prostaglandin F1α Thromboxane B Gambar 1.Metabolisme asam lemak linoleat dan linolenat menjadi prostaglandin (British Nutrition Foundation’s 1994)


(22)

Peningkatan hormon prostaglandin akan menginduksi peningkatan sekresi hormon FSH dan LH dari pituitari anterior. Hormon FSH menstimulasi

pertumbuhan folikel yolk dan hormon LH berperan dalam proses ovulasi folikel yolk dari ovarium, sehingga merangsang ovarium untuk memperbanyak folikel. Mekanisme pertumbuhan dan ovulasi folikel yolk pada itik diatur oleh hormon FSH, LH dan hormon yang dihasilkan ovarium. Enam jam sebelum folikel yolk diovulasikan hormon LH mengalami peningkatan (Yuwanta 2004).

Gambar 2. Rataan produksi telur itik (duck day (%)) umur 21-29 minggu. Peningkatan hormon LH menstimulasi sekresi hormon estrogen dan progesteron. Peningkatan hormon estrogen mengontrol transfer bahan yolk. Hormon estrogen yang tinggi menyebabkan umpan balik negatif terhadap sekresi FSH sehingga untuk sementara pertumbuhan folikel yolk kecil dan sedang dihambat. Peningkatan hormon progesteron menyebabkan umpan balik positif terhadap sekresi hormon LH. Sekresi hormon LH yang tinggi berperan dalam proses ovulasi dengan merobek membran vetilen pada bagian stigma sehingga ovum bisa diovulasikan dari ovarium. Setelah ovum diovulasikan hormon LH mengalami penurunan, sedangkan sekresi hormon FSH kembali meningkat untuk melanjutkan kembali pertumbuhan folikel yolk (Yuwanta 2004).

Konversi Ransum

Rataan konversi ransum yang dihasilkan dari penelitian ini adalah 5.12 - 7.61 (Tabel 2). Menurut Zubaidah (2001), konversi ransum itik petelur pada umur 21 sampai 28 minggu sebesar 5.55 - 6.70. Indarsih dan Tamsil (2012) melaporkan bahwa konversi ransum itik umur 24 minggu yang diberi duckweed 20% dalam ransum yang berbentuk mash adalah sebesar 5.31 - 7.65. Menurut Anggorodi (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi konversi pakan adalah produksi telur,


(23)

kandungan energi dalam ransum, bobot badan, kandungan nutrisi dalam pakan dan temperatur udara. Rataan konversi terendah dicapai pada perlakuan kombinasi minyak ikan dan minyak sawit dan Zn organik dengan imbangan asam lemak ω-γ dan ω-6 sebesar 1 : 2.9 (R2) yaitu 5.12 dan tertinggi dicapai pada ransum tanpa menggunakan minyak dan Zn organik (R0) yaitu sebesar 7.61. Berdasarkan uji lanjut, R1 dan R2 sangat nyata (P<0.01) menurunkan nilai konversi ransum. Hal ini disebabkan karena produksi telur harian R1 dan R2 nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lain dengan jumlah konsumsi ransum yang tidak berbeda dengan R3, R4 dan R5. Nilai konversi ransum selama sembilan minggu dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Rataan konversi ransum itik petelur umur 21-29 minggu

Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Kualitas Fisik Telur Itik Umur 21-29 Minggu

Berat Telur

Rataan berat telur hasil penelitian berkisar antara 53.66 - 57.84 g/butir (Tabel 3). Berat telur terendah dihasilkan oleh perlakuan tanpa penggunaan minyak dan Zn organik (R0) yaitu sebesar 53.66 g/butir. Berat telur yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan berat telur standar umur 24 - 31 minggu yaitu 63.8 - 65.5 g/butir. Hal ini diduga disebabkan karena rendahnya asupan protein yang hanya 22.89 g/hari, sedangkan menurut Ketaren dan Prasetyo (2002) rata-rata konsumsi protein itik umur 20 - 43 minggu adalah 26.65 g/hari.


(24)

Tabel 3. Kualitas telur itik umur 21-29 minggu

Paramter R0 R1 R2 R3 R4 R5

Berat telur (g) 53.66±1.09 57.58±3.31 57.84±0.34 57.84±0.96 56.85±0.43 56.16±3.74 Skor kuning telur 11.27±0.21 11.32±0.16 11.22±0.10 11.22±0.31 11.3±0.17 11.20±0.12

Haugh unit 94.5±0.49 93.95±2.60 93.86±1.65 93.86±2.49 95.71±2.86 97.38±3.48

Berat

putih telur (g) 30.37±0.70 31.82±2.63 32.32±1.10 32.32±0.65 31.76±0.27 31.85±2.39 Persentase berat

putih telur (%) 56.62±1.86 55.21±1.39 55.88±1.59 55.88±1.54 55.86±0.17 56.7±0.77 Berat kuning

telur (g) 16.98±1.24 18.14±1.41 17.67±1.99 17.67±1.17 17.85±1.20 16.34±2.12

Persentase berat

kuning telur (%) 31.64±1.80 31.64±3.96 30.56±3.49 30.56±1.63 31.4±2.18 29.27±4.99 Berat

kerabang (g) 6.30±0.20 6.62±0.24 6.55±0.11 6.55±0.05 6.67±0.18 6.41±0.34

Persentase

berat kerabang (%) 11.74±0.15 11.50±0.26 11.32±0.14 11.32±0.22 11.73±0.30 11.41±0.23 Tebal

kerabang (mm) 0.47±0.01 0.47±0.01 0.47±0.02 0.47±0.02 0.48±0.02 0.47±0.01


(25)

Menurut Leeson dan Summers (2005) protein dan asam amino (terutama metionina) merupakan zat makanan yang paling berperan dalam mengontrol ukuran telur, disamping genetik dan ukuran tubuh unggas. Berdasarkan hasil analisis statistik, berat telur yang dihasilkan antara perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05), namun dengan penggunaan Zn organik dalam ransum mengakibatkan kecenderungan berat telur yang semakin besar tiap minggunya (Gambar 4). Berat telur terbesar dihasilkan oleh perlakuan R1 yaitu 62 g/butir diikuti oleh R2 sebesar 61 g/butir pada minggu ke-29. Suplementasi Zn organik dapat meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang terlibat dalam sintesis maupun pencerna protein. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa enzim thymidine kinase mengandung Zn untuk aktivitasnya. Pemberian minyak ikan dalam ransum tidak mempengaruhi ukuran telur akan tetapi mempengaruhi komposisi kandungan lemak dalam kuning telur. Penelitian sebelumnya yang menggunakan minyak ikan lemuru dalam ransum burung puyuh tidak nyata mempengaruhi berat telur (Suripta dan Astuti 2006).

Gambar 4. Berat rata-rata telur itik minggu ke 21-29

Skor Warna Kuning Telur

Rataan skor warna kuning telur penelitian adalah 11.09 - 11.32 (Tabel 3). Seluruh perlakuan tidak mempengaruhi skor warna kuning telur (P> 0,05). Warna kuning telur dipengaruhi oleh xanthophylls dalam pakan. Jika pakan mengandung banyak xanthophylls warna kuning telur adalah merah oranye (Castan et al. 2005). Jagung kuning memiliki kandungan xanthophylls yang tinggi yaitu sekitar 17 mg/kg (Moros et al.2002). Penggunaan jagung sampai 67% pada ransum kontrol (R0) dapat menghasilkan skor warna kuning telur sebesar 11.3 dan tidak berbeda nyata dengan ransum R1, R2, R3, R4 dan R5 yang menggunakan jagung sebesar 44.5% - 47.2%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan xanthophylls dalam minyak sawit serta tunaxantin, lutein dan zeaxantin pada minyak ikan dapat menggantikan xanthophylls yang terkandung dalam 20.8% - 23.5% jagung kuning. Perbandingan warna kuning telur antar perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5.


(26)

Gambar 5. Warna kuning telur antar perlakuan umur 29 minggu

Haugh Unit

Nilai haugh unit merupakan nilai yang mencerminkan keadaan albumen telur yang berguna untuk menentukan kualitas telur. Nilai haugh unit yang tinggi menunjukkan kualitas telur tersebut juga tinggi (Hardianto et al. 2012). Rataan nilai haugh unit hasil penelitian berkisar antara 93.86 - 97.38. Nilai haugh unit tersebut dikategorikan sebagai telur yang berkualitas AA. Nilai haugh unit lebih dari 72 dikategorikan sebagai telur berkualitas AA, haugh unit 60 - 72 sebagai telur berkualitas A, nilai haugh unit 31 - 60 sebagai telur berkualitas B dan nilai haugh unit kurang dari 31 dikategorikan sebagai telur berkualitas C (Yuwanta 2004). Faktor yang mempengaruhi haugh Unit adalah umur penyimpanan, strain unggas, umur, molting, nutrisi pakan dan penyakit (Roberts 2004). Pengukuran haugh unit pada penelitian ini dilakukan pada masa penyimpanan dan suhu yang relatif sama yakni, + 24 jam pada suhu 27 - 30 °C, sehingga hasilnya cenderung seragam.

Berat Putih Telur

Berdasarkan Tabel 3, rataan berat putih telur yang dihasilkan tidak brbeda nyata antar perlakuan. Rata-rata berat putih telur relatif sama untuk semua perlakuan berkisar antara 30.37 g (56.65%) - 32.32 g (55.88%). Berat putih telur umumnya dipengaruhi oleh berat telur. Rata-rata berat putih telur dalam penelitian ini lebih rendah dari yang dilaporkan Budiman dan Rukmiasih (2007) bahwa berat putih telur itik adalah 33,96 ± 3,94 g. Penyusun utama putih telur menurut Stadelman dan Cotteril (1994) adalah air (88%) dan protein (9,7% - 10,6%), sedangkan lipid sangat sedikit bahkan dapat dianggap tidak ada. Berdasarkan Tabel 3, kecil sekali perbedaan berat albumen antar perlakuan. Hal tersebut dapat dipahami rnengingat keberadaan antara kuning telur dan putih telur sangat tergantung dari sejumlah nutrien pembentuk sebutir telur. Ukuran putih telur


(27)

dipengaruhi oleh ukuran telur. Berat telur hasil perlakuan tidak berbeda oleh karena itu berat putih telur juga tidak berbeda. Selain itu karena ransum yang dikonsumsi mempunyai kandungan nutrien yang sama maka hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap berat putih telur. Putih telur terdapat diantara membran kerabang ( shell membrane ) dan yolk.

Berat Kuning Telur

Rataan berat kuning telur yang dihasilkan relatif sama untuk semua perlakuan yaitu berkisar 16.34 g (29.27%) - 18.58 g (33.00%) (Tabel 3). Menurut Bell dan Weaver (2002) persentase kuning telur sekitar 30% - 32% dari berat telur. Berat kuning telur yang relatif sama tidak terlepas dari pengaruh berat telur yang juga relatif sama untuk semua perlakuan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Amrullah (2003) bahwa ukuran telur lebih banyak terkait dengan ukuran kuning telur dibandingkan dengan jumlah putih telur, walaupun sebenarnya putih telur tetap penting untuk menentukan ukuran telur. Menurut Wiradimadja et al. (2006), semakin menurun kadar kolesterol kuning telur semakin rendah bobot kuning telur yang dihasilkan. Menurut Juliambarwati (2012) faktor yang mempengaruhi berat kuning telur adalah kandungan lemak dan protein dalam telur yang sebagian besar terdapat dalam kuning telur.

Berat Kerabang Telur

Rataan berat kerabang telur yang dihasilkan berkisar 6.25 g (11.11%) - 6.67 g (11.74%). Bell dan Weaver (2002), menyatakan bahwa persentase kerabang telur berkisar 10% - 12% dari berat telur. Tidak adanya pengaruh perlakuan terhadap berat kerabang telur di karena ransum yang digunakan pada masing-masing perlakuan mempunyai kandungan Ca yang hampir sama yaitu 3.01 - 3.22% serta penambahan Zn organik sampai 200 ppm tidak menekan kandungan Ca dalam kerabang. Namra et al. ( 2009) menyatakan bahwa penurunan berat kerabang telur dapat disebabkan oleh sifat antagonisme antara Zn dan Ca jika diberikan pada jumlah yang tinggi. Menurut Clunies et al. (1992) semakin tinggi Ca semakin tinggi pula bobot maupun tebal kerabang telur. Stadellman dan Cotterill (1994) menyatakan bahwa berat kerabang telur berkisar antara 9 - 12% dari total berat telur.

Tebal Kerabang Telur

Rataan tebal kerabang yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 0.47 - 0.48 mm. Keadaan ini menandakan penggunaan Zn organik dalam ransum tidak menunjukkan efek negatif terhadap pembentukan tebal kerabang. Penambahan mineral Zn organik sampai 200 ppm tidak menekan kandungan


(28)

mineral kalsium dalam kerabang telur. Menurut Leeson dan Summers (2005), bahwa zat nutrisi utama yang mempengaruhi tebal kerabang telur adalah kalsium, fosfor dan vitamin D3. Pada penelitian ini berat kerabang menunjukkan hasil yang tidak berbeda sehingga menghasilkan tebal kerabang yang tidak berbeda pula. Menurut Anggorodi (1994) dan Wahyju (1997), kualitas kerabang telur ditentukan oleh ketebalan dan struktur kerabang. Kandungan Ca dan P dalam ransum berperan terhadap kualitas kerabang telur karena dalam pembentukan kerabang telur diperlukan adanya ion-ion karbonat dan ion-ion Ca yang cukup untuk membentuk CaCO3 kerabang telur. Menurut Clunies et al. (1992), semakin tinggi

konsumsi kalsium maka kualitas kerabang telur semakin baik.

Indeks Telur

Rataan indeks telur yang dihasilkan selama penelitian ini adalah 77.63%- 79.14% (Tabel.3). Indeks telur yang diperoleh dalam penelitian ini masih dalam kisaran normal. Hal ini didukung oleh Srigandono (1991) bahwa indeks telur itik yang normal berkisar antara 63.3% – 81.70%. Menurut Elvira et al.(1994) bentuk telur sangat dipengaruhi oleh sifat genetik, bangsa, juga dapat disebabkan oleh proses-proses yang tejadi selama pembentukan telur, terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus. Nilai indeks telur yang lebih besar menunjukkan bahwa telur memiliki bentuk yang bulat dan telur yang lonjong memiliki nilai indeks yang lebih rendah.

Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Kualitas Kimia Telur Itik Umur 21-29 Minggu

Kolesterol Kuning Telur

Berdasarkan Gambar 6, penggunaan imbangan ω-γ dan ω-6 sebesar 1 : 1.5 (R1) dalam ransum sangat nyata (P<0.01) menurunkan kandungan kolesterol kuning telur sebesar 24.45%, dari 9.65 mg/g (R0) menjadi 7.29 mg/g (R1). Kandungan kolesterol pada kuning telur itik tertinggi pada R0 dan R5 yaitu 9.65 mg/g dan 9.42 mg/g. Kandungan kolesterol hasil penelitian lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan oleh Aziz et al.(2012) yaitu kandungan kolesterol pada kuning telur itik sebesar 10.36 mg/g kuning telur dan Kazmierska et al.( 2005) yaitu kandungan kolesterol kuning telur sebesar 10.81 mg/g. Kandungan kolesterol menurun secara nyata pada imbangan ω-γ dan ω-6 sebesar 1: 3 ; 1; 4.5 dan 1: 6 yaitu sebesar 8.04 mg/g, 8.31 mg/g dan 8.43 mg/g. Penurunan kandungan kolesterol disebabkan oleh penggunaan minyak ikan yang mengandung asam lemak ω-3 (EPA dan DHA).Tingginya asam lemak omega-3 (EPA dan DHA) dalam ransum berpengaruh terhadap konsentrasi kolesterol. Griffin (199β) menyatakan bahwa salah satu fungsi ω-3 adalah menghambat biosintesis kolesterol. Menurut Yoriko dan Darshan (2009), asam lemak ω-3 juga dapat menurunkan konsentrasi trigleserida dengan menghambat sekresi low


(29)

density lipoprotein (LDL) di hati. Penurunan sekresi LDL disebabkan oleh terhambatnya ekspresi trnskripsi gen sterol regulatory element-binding protein-1c (SREBP-1c). Lipogenesis dan kolesterogenesis di hati bergantung pada aktivasi faktor transkripsi SREBP-1c. Lipogenesis adalah proses deposisi lemak meliputi proses sintesis asam lemak dan sintesis trigliserida yang terjadi di hati pada daerah sitoplasma dan mitikondria. Asam lemak ω-3 menekanan aktivitas gen SREBP-1c dengan mencegahan pengikatan liver X receptor α (LXRα)/retinoid X receptor α (RXRα) heterodimer pada liver X receptor responsive elements (LXREs) di SREBP-1c. LXRα dan RXRα heterodimer dibutuhkan untuk mengatur ekspresi gen SREBP-1c. Terhambatnya ekspresi gen SREBP-1c akan menghambat proses lipogenesis dan kolesterogenesis.

Gambar 6. Kandungan kolesterol (mg/g) kuning telur itik umur 29 minggu Berdasarkan Gambar 6, terlihat bahwa semakin rendah imbangan ω-γ : ω-6 atau semakin tinggi penggunaan minyak ikan dalam ransum menghasilkan kandungan kolesterol yang semakin menurun. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Montesqrit (2008) bahwa pemberian minyak ikan yang kaya akan asam lemak omega-3 dalam ransum ayam petelur dapat menurunkan kandungan kolesterol telur dan serum. Demikian juga hasil penelitian Suripta dan Astuti (2006) bahwa penggunaan minyak lemuru 8% dalam ransum dapat menurunkan kandungan kolesterol dari 120,32 mg/100 g menjadi 54,82 mg/100 g. Menurut Wiradimadja et al. (2006) asam lemak omega-3 berperan dalam pengaturan metabolisme kolesterol yang meliputi transport dan ekskresi kolesterol. Proses transformasi dan transportasi lemak hingga ke ovary dapat dilihat pada Gambar 7.


(30)

Gambar 7. Proses transformasi dan transportasi lemak hingga ke ovari (Piliang dan Djojosoebagiao, 2006)

Vitamin A Kuning Telur

Berdasarkan Gambar 8, menunjukkan bahwa kandungan vitamin A dalam kuning telur meningkat dengan adanya suplementasi 200 ppm Zn organik dan semakin meningkatnya penggunaan minyak sawit. Data hasil penelitian menunjukan kandungan vitamin A tertinggi terdapat pada perlakuan R5 yaitu sebesar 1675 IU/100 g dan terendah pada perlakuan R0 yaitu sebesar 1345 IU/100g. Besarnya peningkatan kandungan vitamin A tersebut dibandingkan dengan ransum kontrol (tanpa suplementasi Zn dan minyak) adalah : 0.44% pada R1, 1.03% pada R2, 7.43 % pada R3, 8.37% pada R4 dan 19.70% pada R5. Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan -karoten pada minyak sawit, vitamin A pada minyak ikan dan mineral Zn memberikan kontribusi pada peningkatan kandungan vitamin A pada kuning telur.


(31)

Gambar 8. Kandungan vitamin A (IU/100g) kuning telur itik umur 29 minggu

Kadar karotenoid dalam minyak sawit yaitu 60.000 μg/100g atau 500-700 ppm di dalam minyak sawit mutu regular. Karotenoid minyak sawit terdiri dari α -karoten (30-γ5%), -karoten (60-65%), dan karoten lain seperti -karoten, likopen, xanthofil, -zeakaroten (5-10%) (Ketaren, β005). Kandungan -karoten dalam pakan sangat mempengaruhi kandungan vitamin A produk ternak karena -karoten merupakan provitamin A memiliki aktivitas vitamin A yang paling besar dibandingkan dengan karotenoid lainnya (McDowell, 2000). Menurut Leeson dan Summers (2005), kandungan vitamin A kuning telur akan meningkat dengan bertambahnya kandungan provitamin A dalam ransum. Selain disebabkan oleh kandungan -karoten, peningkatan vitamin A pada kuning telur juga disebabkan oleh kandungan mineral Zn dalam plasma. Menurut Christian and Keith (1998) status Zn dapat mempengaruhi metabolisme vitamin A termasuk penyerapan, transportasi dan penggunaanya. Muňoz et al.(2000) menyatakan bahwa defisiensi Zn dapat menurunkan vitamin A dalam plasma serta menurunkan sintesis retinol- binding protein (RBP) dalam hati demikian pula RBP dalam plasma. Groff dan Gropper (2000) menyatakan bahwa defisiensi Zn menurunkan mobilisasi retinol di hati dari bentuk simpannya (retinyl ester). Aktivitas enzim retinyl ester hydrolase yang melepas vitamin A dari bentuk simpannya dihambat dengan kurangnya mineral Zn. Leeson dan Summers (2005) melaporkan bahwa RBP diangkut ke jaringan target dimana RBP ini terikat kepermukaan sel reseptor dan retinol diangkut ke dalam sel jaringan target, antara lain telur.

Kandungan Asam Lemak Ransum, Imbangan dan Efisiensi Deposit Asam Lemak ω-3 dan ω-6 dalam Kuning Telur

Kandungan asam lemak ransum disajikan pada Tabel 4 dan kandungan asam lemak kuning telur umur 29 minggu disajikan pada Tabel 5. Itik yang diberi perlakuan yang diberi ransum dengan imbangan ω-γ dan ω-6 = 1:1.5 (R1) menghasilkan telur dengan kandungan asam lemak ω-3 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain ( Tabel 5). Hal ini disebabkan karena penggunaan


(32)

minyak ikan paling banyak pada R1 yaitu 5% dalam ransum, sedangkan perlakuan R2 menggunakan minyak ikan sebesar 1.8%, R3 1% dan R4 0.4%. Ransum yang menggunakan minyak ikan (R1, R2, R3 dan R4) mampu meningkatkan kandungan asam lemak ω-3 dalam kuning telur dibandingkan R0 dan R5. Ransum dengan minyak ikan sebesar 5% mampu meningkatkan kandungan asam lemak ω-3 sebesar tujuh kali lipat dibandingkan ransum R0 dan R5 yang tidak menggunakaan minyak ikan dalam ransum yaitu dari 0.1% menjadi 0.73%. Hasil ini sejalan dengan pernyataan Setyono (2005), bahwa kandungan EPA dan DHA dalam kuning telur meningkat apabila jumlah minyak ikan yang kaya EPA dan DHA dalam ransum ditingkatkan. Minyak ikan kaya akan asam lemak ω-3. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Domínguez et al.(2012), bahwa penggunaan minyak ikan lemuru 2.5% yang dikombinasikan dengan 100 ppm vitamin E dalam ransum mampu meningkatkan kandungan asam lemak ω-3 pada kuning telur ayam sebesar empat kali lipat dibandingkan kontrol. Semakin tinggi kandungan minyak ikan dalam ransum semakin tinggi pula asam lemak ω-γ yang terdeposisi dalam kuning telur. Asam lemak ω-3 terdiri dari asam linolenat (18:2), EPA (20:5) dan DHA (22:6). Kandungan asam lemak ω-3 dalam kuning telur penelitian didominasi oleh asam lemak DHA. Banyaknya asam lemak DHA dalam kuning telur disebabkan oleh proses transformasi metabolik asam lemak linolenat dan EPA menjadi DHA ( British Nutrition Foundation’s 1994 ).

Tabel 4. Kandungan asam lemak ransum*

Asam Lemak (%) R0 R1 R2 R3 R4 R5

Miristat (14:0) 1.62 1.81 1.55 1.33 3.22 1.80 Palmitat (16:0) 38.02 39.63 41.03 41.01 40.12 37.23 Stearat (18:0) 8.50 9.48 7.08 6.15 6.48 9.61 Arakhidat (20:0) 0.90 0.78 0.85 0.63 0.82 2.20 Palmitoleat (16:1) 5.23 3.78 4.36 5.00 3.39 3.23 Oleat (18:1) 44.02 41.26 42.21 43.13 43.20 43.23 Arakidonat (20:4) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Linoleat (18:2) 1.43 1.94 2.17 2.26 2.37 2.39 Linolenat (18:3) 0.28 0.24 0.10 0.16 0.38 0.31

EPA (20:5) 0.00 0.96 0.41 0.13 0.02 0.00

DHA (22:6) 0.00 0.12 0.24 0.20 0.00 0.00

SAFA 49.04 51.70 50.51 49.12 50.64 50.84

MUFA 49.25 45.04 46.57 48.13 46.59 46.46

PUFA 1.71 3.26 2.92 2.75 2.77 2.70

Total ω -3 0.28 1.32 0.75 0.49 0.40 0.31

Total ω -6 1.43 1.94 2.17 2.26 2.37 2.39

Imbangan ω -6 : ω -3 5.11 1.47 2.89 4.61 5.93 7.71 *Hasil analisis PT. Saraswanti Indo Genetech Bogor


(33)

Deret asam lemak ω-6 disintesis dari asam linoleat, sedangkan deret asam lemak ω-3 disintesis dari asam linolenat. Asam oleat, linoleat dan linolenat diubah menjadi deret asam lemak ω-9, ω-γ dan ω-6 dengan melibatkan proses elongasi (pemanjangan rantai karbon dalam asam lemak) dan desaturasi (penambahan ketidakjenuhan asam lemak) (Estiasih 2009). Berdasarkan Tabel 5, imbangan ω-6 dan ω-3 yang diperoleh pada perlakuan R0, R1, R2, R3, R4 dan R5 dalam kuning telur itik adalah 7, 1.1, 3.4, 5.3, 9.3, 11.5. Perlakuan R3 menghasilkan telur itik dengan imbangan asam lemak ω -3 dan ω -6 terbaik yaitu dengan imbangan 1 : 5.3. Beberapa hasil penelitian merekomendasikan bahwa imbangan ω-γ dan ω-6 dalam makanan untuk dikonsumsi manusia adalah 1 : 4 sampai 1 : 10 (British Nutrition Foundation’s 1994). Menurut Leeson dan Atteh (1995), rasio yang terbaik antara ω-γ dan ω-6 adalah 1 : 5. Suplementasi minyak ikan pada ransum menyebabkan meningkatkan kandungan asam linolenat ransum, sehingga imbangan ω-γ dan ω-6 menjadi lebih rendah pada ransum yang mengandung minyak ikan dibandingkan dengan ransum yang disuplementasi minyak sawit. Sebaliknya, semakin tinggi penggunaan minyak sawit dalam ransum akan meningkatkan imbangan ω-γ dan ω-6 dalam kuning telur. Hal yang sama dilaporkan oleh Suripta dan Astuti (2006), bahwa penggunaan minyak ikan lemuru sebanyak 8% dalam ransum mampu menurunkan imbangan ω-γ dan ω-6 dalam kuning telur puyuh yaitu dari 1 : 24 menjadi 1 : 11.

Imbangan ω-γ dan ω-6 dalam kuning telur itik mengalami perubahan jika dibandingkan dengan imbangan ω-γ dan ω-6 dalam ransum (Tabel 4). Imbangan ω-γ dan ω-6 dalam ransum adalah 5.1, 1.5, 2.9, 4.6, 5.9 dan 7.7, sedangkan imbangan ω-γ dan ω-6 dalam kuning telur itik adalah 7, 1.1, 3.4, 5.3, 9.3, 11.5. Efisiensi deposit asam lemak ω-3 pada kuning telur sebesar 39.29% (R0), 55.30% Tabel 5. Kandungan asam lemak kuning telur itik umur 29 minggu*

Asam lemak (%) R0 R1 R2 R3 R4 R5

Miristat (14:0) 0.59 0.57 0.60 0.69 0.60 0.60 Palmitat (16:0) 33.63 32.36 33.99 32.36 33.30 33.68

Stearat (18:0) 7.52 6.08 5.88 6.43 6.40 6.21

Arakhidat (20:0) 0.10 0.14 0.11 0.12 0.10 0.12 Palmitoleat (16:1) 3.27 4.54 2.82 3.26 4.36 4.02 Oleat (18:1) 54.01 54.77 55.54 56.26 54.11 54.12 Arakidonat (20:4) 0.03 0.01 0.03 0.03 0.03 0.03 Linoleat (18:2) 0.74 0.80 0.79 0.71 0.99 1.12 Linolenat (18:3) 0.02 0.05 0.09 0.02 0.09 0.09

EPA (20:5) 0.00 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00

DHA (22:6) 0.09 0.65 0.15 0.12 0.02 0.01

SAFA 41.84 39.15 40.58 39.60 40.40 40.61

MUFA 57.28 59.31 58.36 59.52 58.56 58.14

PUFA 0.88 1.54 1.06 0.88 1.13 1.25

Total ω -3 0.11 0.73 0.24 0.14 0.11 0.10

Total ω -6 0.77 0.81 0.82 0.74 1.02 1.15

Imbangan ω -6 : ω -3 7.00 1.11 3.42 5.29 9.27 11.50 *Hasil analisis PT. Saraswanti Indo Genetech Bogor


(34)

(R1), 32.00% (R2), 28.57% (R3), 27.50% (R4) dan 32.26% (R5), sedangkan efisiensi deposit asam lemak ω-6 di kuning telur sebesar 53.84% (R0), 41.75% (R1), 37.75% (R2), 32.74% (R3), 43.04% (R4), dan 48.12% (R5). Perubahan imbangan dan deposit ω-γ dan ω-6 di kuning telur kemungkinanan disebabkan oleh sifat kompetisi asam lemak ω-γ dan ω-6 terhadap enzim 6-desaturase dalam proses transformasi asam lemak (Gambar 8). Menurut Estiasih (2006), pada proses transformasi asam lemak berdasarkan deret asam lemak, enzim 6-desaturase merupakan enzim pembatas. Asam linoleat dan asam linolenat berkompetisi untuk sistem enzim ini, dan asam linoleat merupakan substrat yang lebih disukai. Oleh karena itu, proses transformasi asam linolenat menjadi deret asam lemak ω -3 dengan rantai lebih panjang dan lebih tak jenuh menjadi terhambat. Keadaan ini diperparah dengan kenyataan bahwa dalam makanan jumlah asam linoleat berlimpah dan jauh lebih banyak dibandingkan asam linolenat. Oleh karena itu, sintesis asam lemak ω-3 yang lebih panjang dan lebih tak jenuh yang penting bagi tubuh, yaitu EPA dan DHA menjadi terhambat. Murray et al. (1995) juga menyatakan bahwa bahwa biosintesis ω-6 akan menghambat biosintesis ω-3 dengan cara berkompetisi untuk sistem enzim yang sama. Proses transformasi asam lemak di dalam tubuh yang melibatkan peran enzim 6-desaturase dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Proses transformasi asam lemak di dalam tubuh (Estiasih 2009)

Enzim 6-desaturase (pembatas laju) Elongasi(pemanjangan rantai) 5-desaturase Elongase (pemanjangan rantai) 4-desaturase

Deret Omega 6

Asam linoleat (C18:2 omega 6)

Asam g- linolenat (C18:3 omega-6) Asam eikosatrienoat C20:3 omega-6 Asam arakhidonat C20:4 omega-6 Asam dekosatetraenoat C22:4 omega-6 Asam dokosapentaenoat C22:5 omega-6

Deret Omega 3

Asam linolenat (C18:3 omega 3)

Asam oktadekatetraenoat (C18:4 omega-3) Asam eikosatetraenoat 20:4 omega-3 Asam eikosapentaenoat C20:4 omega-3 Asam dokosapentaenoat EPA,C22:5 omega-3 Asam dokosaheksaenoat DHA,C22:6 omega-3


(35)

Pengaruh Ransum Perlakuan terhadap Nilai Ekonomis Usaha Itik Petelur Umur 21-29 Minggu

Income Over Feed Cost (IOFC)

Pengaruh perlakuan terhadap rataan income over feed cost dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan income over feed cost itik selama 9 minggu penelitian

Peubah R0 R1 R2 R3 R4 R5

Harga pakan (Rp/kg)* 4040.6 4162.4 4090.7 4157.6 4241.7 4058

Harga jual telur (Rp/ butir)** 1500 2000 2000 2500 2000 2000

Konsumsi pakan

(kg/hari/ekor) 0.14 0.15 0.16 0.16 0.16 0.16

Produksi telur

(butir/hari/ekor) 0.35 0.44 0.59 0.47 0.46 0.38

Biaya pakan (Rp/hari/ekor) 577.81 636.85 658.60 652.74 682.91 637.11

Pendapatan (Rp/hari/ekor) 528.91 878.31 1176.87 1179.14 928.57 766.14

IOFC (Rp) -48.89 241.46 518.27 526.40 245.66 129.03

*Harga pakan pada bulan Maret – Juni 2013 **Harga telur pada bulan Juni 2013

Nilai income over feed cost dihitung berdasarkan besarnya biaya konsumsi dan harga jual dari tiap kg berat telur. Besarnya nilai konversi pakan akan menambah biaya produksi, dengan demikian akan mempengaruhi nilai income over feed cost. Besar kecilnya nilai income over feed cost juga dipengaruhi oleh harga telur di pasaran pada waktu tertentu.

Dari Tabel 6,dapat dilihat bahwa harga pakan perlakuan tertinggi didapat pada perlakuan R4 ( Rp. 4241.7 /kg) dan terendah pada pakan perlakuan R0 ( Rp. 4040.6/ kg). Harga jual telur R0 sebesar Rp. 1.500 /butir sedangkan untuk R1, R2, R4, R5 sebesar Rp. 2.000 /butir dan R3 sebesar Rp. 2.500/butir. Perbedaan harga jual telur pada R1, R2, R4 dan R5 dikarenakan telur yang dihasilkan memiliki nilai jual lebih karena mengandung tinggi ω-γ dan ω-6, tinggi vitamin A dan rendah kolesterol. Harga jual yang tinggi pada R3 yaitu sebesar Rp.2.500/butir dikarenakan selain mengandung tinggi vitamin A dan rendah kolesterol juga mengandung asam lemak ω-γ dan ω-6 yang seimbang. Penggunaan pakan dengan imbangan asam lemak ω-6 dan ω-3 sebesar 1.5 ; 2.9 ; 4.6 dan 5.9 memberikan efek positif terhadap income over feed cost. Income over feed cost tertinggi dihasilkan oleh perlakuan pakan yang menggunakan imbangan ω-6 dan ω-3 sebesar 4.6 (R3) yaitu sebesar Rp. 526.40 /hari/ekor. Hal ini disebabkan karena R3 menghasilkan produksi telur yang tinggi dengan jumlah pakan yang dikonsumsi tidak berbeda nyata dengan perlakuan R1,R2 dan R4. Perlakuan R0 menghasilkan income over feed cost negatif atau mengalami kerugian sebesar Rp. -48.89 /hari/ekor (R0).


(36)

SIMPULAN

Penggunaan imbangan asam lemak ω -γ : ω -6 sebesar 1 : 4.6 dan penambahan 200 ppm Zn organik dalam ransum meninkatkan produksi telur itik dan menurunkan nilai konversi ransum, meningkatkan kandungan vitamin A, menurunkan kandungan kolesterol telur, tidak menurunkan kualitas fisik telur serta menghasilkan ω -γ : ω -6 terbaik yaitu 1 : 5.29 dalam kuning telur.


(37)

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah IK. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Cetakan Ketiga. Lembaga Satu. Gunungbudi, Bogor

Anggorodi HR. 1994. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Gramedia, Jakarta.

Aziz Z, Cyriac S, Beena V, Philomina PT. 2012. Comparision of cholesterol content in chicken, duck and quail eggs. Veterinary and Animal Science College. Mannuthy-680 651.Thrissur.Keralla

Bell DD, Weaver WW. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. 5th ed. Kluwer Academic Publishers, Norwell, MA.

Budiman, Rukmiasih. 2007. Karakteristik putih telur itik tegal. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

British Nutrition Foundation’s (BNF). 1994. Unsaturated fatty acid, nutritional and physiological significance. The Report of The british Nutrition Foundation’s task Force.Chapman & Hall, London. 35-39.

Castan MP, Hirschler EM, Samsa AR. 2005. Skin Pigmentation Evaluation in Broilers Fed Natural and Synthetic Pigments. Poult Sci Association Inc. Clunies, Parks MD, Lesson S. 1992. Calcium and phosphorus metabolism and

egg shell formation of hens fed different amounts of calcium. Poult Sci. 71: 482- 489.

Christian P, Keith PW. 1998. Interactions between zinc and vitamin A. Am J Clin Nutr : 68(suppl):435S–41S.

Domínguez CS, Avila GE, Vásquez PC, Fuente B, Calvo CC, Carranco JME Pérez-Gil RF. 2012. Effects of adding vitamin E to diets supplemented with sardine oil on the production of laying hens and fatty- egg acid composition. Afr J Food Sci Vol. 6(1), pp. 12-19.

Eder K, Wild S, Kirchgessner. 2000. The effect of zinc defeciency on parameters of lipoprotein metabolism and lipolysis in rats fed different fats. Institute of Nutrition Physoilogy. Technical university of Munich. Germany.

Elvira S, Soewarno, Soelcarto T, Mansjoer SS. 1994. Studi komparatif sifat mutu dan fungsional telur puyuh dan telur ayam ras. Hasil penelitian. Bul. T. no. 3.

Estiasih T. 2009. Minyak Ikan : Teknologi dan Penerapannya untuk Pangan dan Kesehatan. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Folch J, Less M, Stanley GHS. 1957. A simple method for the isolation and purification of total lipids from animal tissue. J Biol Chem. 226:497-509. Grifin HD. 1992. Control of egg yolk cholesterol. Proceedings of The 5th

European Symposium on The Quality of Eggs and Egg Products, held at the “Vinci” Congress Centre In Tours : γ78 – 383.

Groff JL, Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 3 rd Ed . U.S. A : Wadsworth Thomson Learning.

Hardianto, Suarjana IGK, Rudyanto MD. 2012. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap kualitas telur ayam kampung ditinjau dari angka lempeng total bakteri. Indon medic veter 1(1) : 71-84 ISSN : 2301-7848


(38)

Hardini D, Yuwanta T, Zuprizal, Supadmo. 2006. The change in cholesterol content of long chain fatty acid egg during processing and its influence to the Rattus norvegicus L.blood cholesterol content. JITV 11 (4):260-265. Indarsih B, Tamsil MH. 2012. Feeding diets containing different forms of

duckweed on productive performance and egg quality of ducks. Media Petern. 35: 128-132.

Juliambarwati M, Ratriyanto A, Hanifa A. 2012. Pengaruh penggunaan tepung limbah udang dalam ransum terhadap kualitas telur itik. Sains Petern Vol. 10 (1), 1-6 .ISSN 1693-8828.

Kazmierska M, Jaros B, Korzeniowska M, Trziszka T, Dobrzanki Z. 2005. Analisys of fatty acid profille and cholesterol content of egg yolks of different bird species. Poult J Food Nutr Sci, Vol 114/15 : 69-73.

Ketaren S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Ketaren PP, Prasetyo LH. 2002. Pengaruh pemberian pakan terbatas terhadap produksi telur itik silang Mojosari x Alabio (MA): 1. Masa bertelur fase pertama umur 20-43 minggu. JITV 7(1): 38-45.

Kleiner IS, Dotti LB. 1962. Laboratory Instruction in Biochemestry. Ed ke-6. New York:Mosby

Leeson S, Summers JD. 2005. Commercial Poultry Nutrition. 3 rdEd. Department of Animal and Poultry Science, University of Guelph. University Books, Canada.

Leeson S, Atteh JO. 1995. Utilization of fats and fatty acids by Turkey poults. Poult Sci. 74 : 2003 – 2010.

Mc Donald P, Edward RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition. London New York Toronto Sydney Tokyo Amsterdam : Prentice Hall.

McDowell LR. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. London :Academic Press, Inc.

Muñoz EC, Rosado JL, López P, Harold CF, Lindsay H. 2000. Iron and zinc supplementation improves indicators of vitamin A status of Mexican preschoolers. Am J Clin Nutr 71:789–94.

Montesqrit. 2008. Penggunaan bahan pakan berdasarkan imbangan karbohidrat dan protein yang dikandungnya sebagai bahan penyalut dalam mikoenkapsulasi minyak ikan. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II .Universitas Lampung.

Moros EE, Darnoko D, Cheryan M, Perkins EG, Jerrell J .2002. Analysis of xanthophylls in corn by HPLC. J Agric and Food Chem.50: 5787-5790 Murray RK, Ganner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 1995. Biokimia Harper. EGC,

Jakarta. Namra MM, Abdelwahed HM, Fayek HM. 2009. Evaluation of different source of dietary zinc supplementation for laying Japanese quail performance, Egypt. Poult Sci. 29:127-143.

North MO, Bell DD. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4 Th Ed . Van Nostrand Reinhold. New York.

Roberts JR. 2004. Factors affecting eggs internal quality and egg shell quality in laying hens. Rev. J Poult Sci. 41: 161-177.


(39)

Setyono B. 2005. Ransum untuk Meningkatkan Kualitas Telur Itik. BPTP Yogyakarta

Simopoulos AP. 2008. The importance of the omega-6/omega-3 fatty acid ratio in cardiovascular disease and other chronic diseases. Exper Biol Medic, 233:674-688.

Sitindaon SH. 2005. Pengaruh suplementassi mineral zinkum terhadap produksi , fertiitas dan daya tetas telur burung puyuh ( Cortunix-cortunix japonica) umur 6-14 minggu, Skripsi, Universitas Sumatar Utara. Medan.

Srigandno B. 1991. Ilmu Unggas Air. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta Stadellman WS, Cotterill OJ. 1994. Quality Identification of Shell Egg in: Egg

Science and Techonology. W. J. Stadellmanand O.J Cotterill ed. Avi. Publishing Co. Inc. Wesport, Connecticu.

Steel RG, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan. Edisi Kelima. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sulistiawati, D. 1998. Pengaruh penggunaan minyak lemuru dan minyak sawit dalam ransum terhadap kinerja ayam dan kandungan lemak omega-3 dalam telur. Tesis S-2. Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Suripta H, Astuti P. 2006. Pengaruh penggunaan minyak lemuru dan minyak sawit dalam ransum terhadap rasio asam lemak omega-3 dan omega-6 dalam telur burung puyuh (coturnix coturnix japonica). J Indon Trop Anim. Agric. Akademi Karanganyar, Surakarta.

Wahyju J. 1997. IImu Nutrisi Ternak Unggas. UGM-Press, Yogyakarta.

Wathes DC, Abayasekara DRE, Aitken RJ. 2007. Polyunsaturated fatty acids in male and female reproduction. Biol. Reprod. 77:190-201.

Winarno.F.G, 1999. Minyak Goreng: Dalam Menu Masyarakat.Cet 1.Balai Pustaka. Jakarta.

Wiradimadja R, Pilliang WG, Suhartono MT, Manalu W. 2006. Performans kualitas telur puyuh jepang yang diberi ransum mengandung tepung daun katuk (Savropvs androgynvs, l. Merr ). Seminar Nasional Fakultas Peternakan Unpad.

Yoriko A, Darshan SK. 2009. Mechanisms underlying the cardioprotective effects of omega-3 polyunsaturated fatty acids. J Nutr Biochem 21: 781–792. Yuwanta T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisius. Yogyakarta.

Zubaidah. 2001. Kualitas telur itik hasil persilangan Alabio dengan bibit induk CV 2000 pada generasi pertama dengan kandang litter. J Petern Lingk. Universitas Andalas, Padang.


(40)

Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962).

Diambil sampel dua telur pada setiap ulangan. Delapan belas sampel dianalisis kolesterolnya dengan metode Liebermann Buchner (Kleiner dan Dotti,1962).Cara kerjanya sebagai berikut:

Sebanyak 0.1 mg kuning telur diaduk di dalam tabung reaksi bersama 10 ml alkohol eter sampai homogen. Kemudian di sentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Setelah itu dipindahkan ke dalam gelas piala serta dipanaskan kedalam penangas pengangaaas air sampai kering. Ekstraknya di larutkan dalam kloroform sedikit demi sedikit sambil dilakukan pemindahan ke dalam tabung reaksi sampai volume 10 ml. Lalu ditambahkan asam asetat anhidrid sebanyak 2ml dan 4 tetes asam sulfat pekat diaduk sampai warna hijau. Larutan tersebut disimpan selama 15 menit di dalam ruang gelap. Selanjutnya dilakukan pembacaan dengan menggunakan spectrofotometer sehingga didapat nilai absorben sampel. Nilai kolesterol didapatkan dari perhitungan dengan rumus: Kolesterol (mg)= Absorben sampel Konsentrasi standart

Absorben standar Berat sampel B. Analisis Asam Lemak Telur (Metode Folch 1957).

Pada minggu ke 9 percobaan, 2 butir telur tiap ulangan dikumpulkan kemudian masing-masing ditimbang dan dipecahkan. Kuning telur dipisahkan dari putih telur dan kemudian kuning telur tersebut disatukan. Sebanyak 6 sampel kuning telur yang disatukan dan dianalisis kandungan asam lemak. Analisa asam lemak dilakukan dengan Gas kromatografi. Fase diam kolom dalam analisis ini adalah OV 275.25% 80/100 Chromosap WAW DEGS OV 20/200 dengan temperature 2750C. Standar asam lemak diperoleh dari Supelco USA. Gas N2 digunakan untuk fase gerak dengan kecepatan 20 ml/menit, gas H2 dan O2 dengan kecepatan alir 20 ml/menit dan 260 ml/menit. Metil ester asam lemak dari standard dan contoh sampel diberikan ke kolom sebanyak 0.5µl. Perhitungan RF dan kuantitas asam lemak

RF = area SI x asam lemak (mg) SI (mg) area asam lemak Konsentrasi asam lemak = A x RF x C (mg/g sampel) B D

Keterangan : A : berat Si yang ditambahkan (mg) B : berat sampel (g)

C : area asam lemak D : area SI

RF : respon factor C. Analisis Vitamin A

Kandungan Vitamin A pada kuning telur dilakukan dengan menggunakan High Performance Liquid Chromotography (HPLC).

Ekstraksi sampel dan standar eksternal untuk anlisa vitamin A adalah sebagai berikut:


(41)

0,5 g sampel atau standar eksternal ditambah 400 l sodium askorbat dan divortex selama 10 menit, kemudian di tamah dengan 2 ml KOH, divortex selama 10 detik. Selanjutnya dilakukan saponifikasi dengan menyimpan pada waterbath dengan suhu 80 0C selama 30 menit, lalu disimpan pada Icebath selama 2 menit ke dalam campuran ditambahakan 3 ml heksan dan dikocok selama 10 detik. Campuran tersebut disimpan dalam lemari es sampai lapisan organik dan air terpisah. Selanjutnya diambil 2,6 ml lapisan heksan (supernatan) dan dipisahkan dalam tabung lain (A). Kemidian sisanya ditambahkan lagi sampai lapisan organik dan air terpisah dan dimasukkan kedalam tabung (B). Selanjtnya supernatan (Tabung A) dicuci dengan 4,6 ml asam asetat 5% dan lapiasan organik dipindahkan sebanyak yang bisa diambil, lalu dikeringkan dengan aliran nitrogen, lalu terakhir dilarutkan dalam 3 ml fase mobil sebelum diinjeksikan 50 l dalam HPLC sistem. Pembuatan standar eksternal retinil palmitat adalah sebagai berikut.

1. Stock Standard Solution : 10 mg/ml retinil palmitat dalam heksan. Satu g retinil palmitat (USP Reference Standard) dilarutkan dalam 100 ml heksan, dikocok sampai larut sempurna.

2. Intermediate Standard Solution : 2 ml stock standard solution dipipet dan dimasukkan dalam 250 ml volumetric flask lalu diencerkan dengan 250 ml heksan.

3. Working Standard Solution: sekitar 1,6 g/ml retinil palmitat. Dua ml intermediate standard solution,(2) dipipet dan dimasukkan dalam 100 ml volumetric flask dan diencerkan dengan heksan.

Untuk mengukur konsentrasi dari working standard, intermediate standard solution diambil 2 ml dan diencerkan dengan heksan dalam 50 ml volumetric flask. Kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometri

C Std = [ A325/(2 x ƹ x b] x 104

C Std : Konsentrasi standar

A325 : Absorbansi working standard solution

ƹ : 996, konsentrasi palmitat dan retinil palmitat dalam heksan pada panjang gelombang 325 nm

B : 1 cm, (kuvet)

Perhitungan kandungan vitamin A menggunakan standar eksternal adalah sebagai berikut.

[ Beta karoten/ Retinol] : L1 x S x V L2 B

[ Beta karoten/ retinol] : Konsentrasi beta karoten/retinol (µg/g) L1 : Luas peak sampel yang memiliki waktu retensi yang sama dengan waktu retensi standar eksternal beta karoten/retinol dilihat dari kromatogram HPLC.

L2 : Luas peak standard beta karoten/retinol

S : konsentrasi standard beta karoten/ retinol (µg/ µl atau mg/ml)

V : Volume akhir yang siap disuntikkan pada HPLC


(42)

Lampiran 2. Analisis ragam kualitas fisik telur itik umur 29 minggu

Parameter Jumlah

kuadrat db

Kuadrat

tengah Fhit Sig.

Skor Kuning Telur Between

Groups 0.100 5 0.020 0.557 0.731 Within Groups 0.433 12 0.036

Total 0.534 17

Haugh Unit Between

Groups 0.003 5 0.001 0.965 0.476 Within Groups 0.008 12 0.001

Total 0.011 17

Berat Putih Telur Between

Groups 6.600 5 1.320 0.534 0.747 Within Groups 29.673 12 2.473

Total 36.274 17 Persentase

Berat Putih Telur

Between

Groups 4.637 5 0.927 0.510 0.764 Within Groups 21.810 12 1.818

Total 26.447 17

Berat Kuning Telur Between

Groups 9.218 5 1.844 0.748 0.603 Within Groups 29.589 12 2.466

Total 38.807 17 Persentase

Berat Kuning Telur

Between

Groups 21.316 5 4.263 0.403 0.838 Within Groups 126.976 12 10.581

Total 148.292 17

Berat Kerabang Between

Groups 0.337 5 0.067 1.554 0.246 Within Groups 0.520 12 0.043

Total 0.857 17 Persentase

Berat Kerabang

Between

Groups 0.564 5 0.113 2.218 0.120 Within Groups 0.611 12 0.051

Total 1.175 17

Tebal Kerabang Between

Groups 0.000 5 0.000 0.166 0.970 Within Groups 0.004 12 0.000

Total 0.004 17

IndeksTelur Between

Groups 5.267 5 1.053 0.218 0.948 Within Groups 58.083 12 4.840


(43)

Lampiran 3. Analisis ragam performan itik umur 29 minggu

Parameter Jumlah

kuadrat db

Kuadrat

tengah F hit Sig. Konsumsi Between

Groups 590.032 5 118.006 2.928 0.059 Within

Groups 483.637 12 40.303

Total 1073.669 17

Konversi Ransum

Between

Groups 14.502 5 2.900 6.372 0.004

Within

Groups 5.462 12 0.455

Total 19.964 17

Duck Day Between

Groups 1006.350 5 201.270 6.136 0.005 Within

Groups 393.595 12 32.800

Total 1399.945 17

BeratTelur Between

Groups 33.913 5 6.783 1.488 0.265

Within

Groups 54.704 12 4.559

Total 88.616 17

Lampiran 4. Uji lanjut konsumsi itik umur 29 minggu

Perlakuan N α = 0.05

1 2

0 3 143.8090

1 3 153.0159 153.0159

5 3 156.6772

3 3 157.0815

4 3 160.4970


(1)

0,5 g sampel atau standar eksternal ditambah 400 l sodium askorbat dan divortex selama 10 menit, kemudian di tamah dengan 2 ml KOH, divortex selama 10 detik. Selanjutnya dilakukan saponifikasi dengan menyimpan pada waterbath dengan suhu 80 0C selama 30 menit, lalu disimpan pada Icebath selama 2 menit ke dalam campuran ditambahakan 3 ml heksan dan dikocok selama 10 detik. Campuran tersebut disimpan dalam lemari es sampai lapisan organik dan air terpisah. Selanjutnya diambil 2,6 ml lapisan heksan (supernatan) dan dipisahkan dalam tabung lain (A). Kemidian sisanya ditambahkan lagi sampai lapisan organik dan air terpisah dan dimasukkan kedalam tabung (B). Selanjtnya supernatan (Tabung A) dicuci dengan 4,6 ml asam asetat 5% dan lapiasan organik dipindahkan sebanyak yang bisa diambil, lalu dikeringkan dengan aliran nitrogen, lalu terakhir dilarutkan dalam 3 ml fase mobil sebelum diinjeksikan 50 l dalam HPLC sistem. Pembuatan standar eksternal retinil palmitat adalah sebagai berikut.

1. Stock Standard Solution : 10 mg/ml retinil palmitat dalam heksan. Satu g retinil palmitat (USP Reference Standard) dilarutkan dalam 100 ml heksan, dikocok sampai larut sempurna.

2. Intermediate Standard Solution : 2 ml stock standard solution dipipet dan dimasukkan dalam 250 ml volumetric flask lalu diencerkan dengan 250 ml heksan.

3. Working Standard Solution: sekitar 1,6 g/ml retinil palmitat. Dua ml intermediate standard solution,(2) dipipet dan dimasukkan dalam 100 ml volumetric flask dan diencerkan dengan heksan.

Untuk mengukur konsentrasi dari working standard, intermediate standard solution diambil 2 ml dan diencerkan dengan heksan dalam 50 ml volumetric flask. Kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometri

C Std = [ A325/(2 x ƹ x b] x 104 C Std : Konsentrasi standar

A325 : Absorbansi working standard solution

ƹ : 996, konsentrasi palmitat dan retinil palmitat dalam heksan pada panjang gelombang 325 nm

B : 1 cm, (kuvet)

Perhitungan kandungan vitamin A menggunakan standar eksternal adalah sebagai berikut.

[ Beta karoten/ Retinol] : L1 x S x V L2 B

[ Beta karoten/ retinol] : Konsentrasi beta karoten/retinol (µg/g) L1 : Luas peak sampel yang memiliki waktu retensi yang sama dengan waktu retensi standar eksternal beta karoten/retinol dilihat dari kromatogram HPLC.

L2 : Luas peak standard beta karoten/retinol

S : konsentrasi standard beta karoten/ retinol (µg/ µl atau mg/ml)

V : Volume akhir yang siap disuntikkan pada HPLC


(2)

Lampiran 2. Analisis ragam kualitas fisik telur itik umur 29 minggu

Parameter Jumlah

kuadrat db

Kuadrat

tengah Fhit Sig.

Skor Kuning Telur Between

Groups 0.100 5 0.020 0.557 0.731

Within Groups 0.433 12 0.036

Total 0.534 17

Haugh Unit Between

Groups 0.003 5 0.001 0.965 0.476

Within Groups 0.008 12 0.001

Total 0.011 17

Berat Putih Telur Between

Groups 6.600 5 1.320 0.534 0.747

Within Groups 29.673 12 2.473

Total 36.274 17

Persentase Berat Putih Telur

Between

Groups 4.637 5 0.927 0.510 0.764

Within Groups 21.810 12 1.818

Total 26.447 17

Berat Kuning Telur Between

Groups 9.218 5 1.844 0.748 0.603

Within Groups 29.589 12 2.466

Total 38.807 17

Persentase

Berat Kuning Telur

Between

Groups 21.316 5 4.263 0.403 0.838

Within Groups 126.976 12 10.581

Total 148.292 17

Berat Kerabang Between

Groups 0.337 5 0.067 1.554 0.246

Within Groups 0.520 12 0.043

Total 0.857 17

Persentase Berat Kerabang

Between

Groups 0.564 5 0.113 2.218 0.120

Within Groups 0.611 12 0.051

Total 1.175 17

Tebal Kerabang Between

Groups 0.000 5 0.000 0.166 0.970

Within Groups 0.004 12 0.000

Total 0.004 17

IndeksTelur Between

Groups 5.267 5 1.053 0.218 0.948

Within Groups 58.083 12 4.840


(3)

Lampiran 3. Analisis ragam performan itik umur 29 minggu

Parameter Jumlah

kuadrat db

Kuadrat

tengah F hit Sig. Konsumsi Between

Groups 590.032 5 118.006 2.928 0.059

Within

Groups 483.637 12 40.303

Total 1073.669 17

Konversi Ransum

Between

Groups 14.502 5 2.900 6.372 0.004

Within

Groups 5.462 12 0.455

Total 19.964 17

Duck Day Between

Groups 1006.350 5 201.270 6.136 0.005 Within

Groups 393.595 12 32.800

Total 1399.945 17

BeratTelur Between

Groups 33.913 5 6.783 1.488 0.265

Within

Groups 54.704 12 4.559

Total 88.616 17

Lampiran 4. Uji lanjut konsumsi itik umur 29 minggu

Perlakuan N α = 0.05

1 2

0 3 143.8090

1 3 153.0159 153.0159

5 3 156.6772

3 3 157.0815

4 3 160.4970


(4)

Lampiran 5. Uji lanjut konversi ransum itik umur 29 minggu

Perlakuan N α = 0.01

1 2

2 3 5.1155

1 3 5.5545

4 3 6.3063 6.3063

3 3 6.3160 6.3160

5 3 7.3970

0 3 7.6088

Lampiran 6. Uji lanjut perentase duck day itik umur 29 minggu

Perlakuan N α = 0.01

1 2

0 3 35.0794

5 3 38.3069

4 3 45.5203 45.5203

1 3 46.9841 46.9841

3 3 47.7249 47.7249


(5)

Konsumsi Between

Groups 590.032 5 118.006 2.928 0.059

Within

Groups 483.637 12 40.303

Total 1073.669 17

Konversi Ransum

Between

Groups 14.502 5 2.900 6.372 0.004

Within

Groups 5.462 12 0.455

Total 19.964 17

Duck Day Between

Groups 1006.350 5 201.270 6.136 0.005 Within

Groups 393.595 12 32.800

Total 1399.945 17

BeratTelur Between

Groups 33.913 5 6.783 1.488 0.265

Within

Groups 54.704 12 4.559

Total 88.616 17

Lampiran 4. Uji lanjut konsumsi itik umur 29 minggu

Perlakuan N α = 0.05

1 2

0 3 143.8090

1 3 153.0159 153.0159

5 3 156.6772

3 3 157.0815

4 3 160.4970


(6)

Lampiran 5. Uji lanjut konversi ransum itik umur 29 minggu

Perlakuan N α = 0.01

1 2

2 3 5.1155

1 3 5.5545

4 3 6.3063 6.3063

3 3 6.3160 6.3160

5 3 7.3970

0 3 7.6088

Lampiran 6. Uji lanjut perentase duck day itik umur 29 minggu

Perlakuan N α = 0.01

1 2

0 3 35.0794

5 3 38.3069

4 3 45.5203 45.5203

1 3 46.9841 46.9841

3 3 47.7249 47.7249