Selain neurotransmiter, hormonal juga berperan dalam siklus bangun-tidur. Salah satu contohnya adalah melatonin. Pada malam hari melatonin melalui
aktivitas norepinefrin pada res eptor β-adrenergik. Hal ini kemudian meningkatkan
CAMP intraseluler, yang pada akhirnya akan meningkatkan N-acetyltransferase. Lalu terangsanglah kelenjar pineal. Maka terbentuk dan tersekresilah melatonin.
Melatonin ini yang menjaga keadaan tidur si individu sepanjang malam hari Barret et al, 2010.
2.4. Bentuk-bentuk Gangguan Pola Tidur
Terdapat 3 kategori utama dalam Diagnostic and Statistical Mental Disorders 4
th
ed DSM-IV: 1 gangguan tidur primer, 2 gangguan tidur yang berhubungan dengan gangguan mental lain, dan 3 gangguan tidur lain,
khususnya gangguan tidur karena kondisi medis umum dan obat Kaplan, 2010. Secara umum terdapat 4 gejala utama yang menandai sebagian besar
gangguan tidur, yakni: 1 insomnia, adalah kesukaran dalam memulai atau mempertahankan tidur, 2 hipersomnia, adalah jumlah jam tidur yang berlebihan
dan mengantuk yang berlebihan di siang hari, 3 parasomnia, yaitu fenomena yang tidak umum dan tidak diinginkan yang tampak secara tiba-tiba selama tidur
atau yang terjadi pada ambang antara terjaga dan tertidur, dan 4 gangguan jadwal tidur-bangun, di sini penderita tidak dapat tidur saat mereka ingin tidur
walaupun mereka dapat tidur pada waktu lain Kaplan, 2010.
2.5. Hubungan Jumlah Jam Tidur dengan Indeks Massa Tubuh
Akhir-akhir ini, beberapa studi menemukan hubungan antara jumlah jam tidur dengan indeks massa tubuh Launderdale et al, 2009; Adamkova et al, 2009;
Kohatsu et al, 2006; Sharma et al, 2010. Pada penelitian-penelitian tersebut menunjukkan jumlah jam tidur yang kurang memiliki angka indeks massa tubuh
yang lebih tinggi dibandingkan yang memiliki jumlah jam tidur yang normal Launderdale et al, 2009; Adamkova et al, 2009; Kohatsu et al, 2006; Sharma et
al, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Berbagai hal yang berlangsung selama tidur, salah satunya dalam hal metabolisme glukosa. Pada individu yang normal terjadi peningkatan hormon
pertumbuhan dan penurunan kortisol serta epinefrin ketika tidur. Peningkatan hormon pertumbuhan selama awal tidur ini akan menjaga kadar gula darah stabil
dengan cara menghambat pengambilan glukosa dari otot. Sedangkan penurunan kadar kortisol inilah yang menyebabkan terlambatnya efek sensitivitas insulin
selama tidur, sehingga efek ini akan muncul pada akhir malam. Karena inilah, kadar gula darah tetap stabil selama tidur di sepanjang malam meskipun si
individu dalam keadaan berpuasa Cauter et al, 1997. Tidak hanya hormon pertumbuhan dan kortisol yang berperan, ghrelin, leptin
dan oreksin juga memiliki kaitan dalam hubungan tidur dan homeostasis glukosa. Keseimbangan energi positif yang mengubah aktivitas transkripsi kunci sirkadian
juga mampu mempengaruhi homeostasis glukosa. Zvonic et al, 2007; Tsujino et al, 2009; Lam et al, 2010; Adamkova et al, 2009; Yang et al, 2009.
Pada penderita yang memiliki nilai indeks massa tubuh lebih tinggi obese, sudah tentu terjadi gangguan metabolisme glukosa. Salah satu kemungkinan sebab
penyebabnya adalah bahwa pada penderita obese terjadi penurunan respon sel beta pankreas terhadap glukosa secara signifikan pada akhir hari Cauter et al,
1997. Akibatnya terjadi penurunan sekresi insulin pada akhir malam sehingga kadar glukosa pada malam hari, dalam keadaan berpuasa, terganggu.
Setelah awal mula tidur, pada penderita obese dijumpai penurunan kadar gula darah dan penurunan kecepatan sekresi insulin dikarenakan penurunan pelepasan
hormon pertumbuhan Cauter et al, 1997. Mungkin hal ini akan menyebabkan penderita obese banyak mengonsumsi makanan di malam hari karena tubuh
merasa „kelaparan‟. Penurunan kecepatan sekresi insulin ini tidak hanya dikarenakan resistensi insulin tetapi juga pengaruh dari perubahan kortisol Cauter
et al, 1997. Mutasi homozigot Clock, protein regulator jam sirkadian pada individu
menyebabkan hiperfagia, hipoinsulinemia, hiperglisemia, hiperlipid, yang pada akhirnya menyebabkan individu mengalami peningkatan nilai indeks massa
Universitas Sumatera Utara
tubuh, serta mengalami gangguan siklus tidur Zvonic et al, 2007; Yang et al, 2009.
Pada penderita obese juga ditemukan penurunan respon Clock-Bmal1, Bmal1 juga merupakan protein regulator transkripsional, sehingga pada penderita obese
memperlihatkan ritme sirkadian yang berbeda daripada orang normal. Zvonic et al, 2007; Yang et al, 2009.
Terdapat pula neuropeptida oreksin atau hipokretin, tidak hanya mengatur nafsu makan tetapi juga mengatur pola tidur pada individu. Oreksin merupakan
neuropeptida yang diproduksi di neuron hipotalamus, terutama di area lateral hipotalamus LHA, yang merupakan pusat pengaturan nafsu makan. Peran
oreksin ini didukung dengan ditemukannya kedua reseptor oreksin, OX
1
R dan OX
2
R, pada pusat-pusat pengaturan makan dan siklus bangun-tidur. OX
1
R, misalnya, terdapat di prefrontal, korteks infralimbik, hipokampus, amigdala,
nukleus talamus paraventrikular, dorsal raphe, area tegmental ventral, lokus serulus dan nukleus tegmental laterodorsal. Sedangkan OX
2
R terletak di amigdala, nukleus talamus paraventrikular, area tegmental ventral dan dorsal raphe
Tsujino et al, 2009. Tak hanya reseptor-reseptor di atas, oreksin juga menerima inervasi dari area
yang berkaitan dengan pengaturan homeostasis energi, seperti NPY, AgRP dan α-
MSH. Oreksin diaktifkan oleh neurotensin, oksitosin, dan vasopressin. Sebaliknya
GABA, glukosa, 5-HT, noradrenalin dan leptin menghambat aktivitas oreksin Tsujino et al, 2009. Pada penderita obese dijumpai disfungsi leptin Shea et al,
2005. Hal ini yang menyebabkan peningkatan nafsu makan dikarenakan peran leptin dalam menekan nafsu makan terganggu.
Dalam pengaturan nafsu makan, oreksin diaktifkan jika tubuh dalam keadaan hipoglikemi. Sebaliknya, jika kadar gula darah ekstraseluler meninggi maka
oreksin pun akan dihentikan aksi potensialnya Tsujino et al, 2009. Penurunan jumlah tidur berkaitan dengan modulasi aktivitas neuron oreksin
melalui noradrenalin. Periode jumlah total tidur yang berkurang akan mengubah aktivitas noradrenalin pada neuron oreksin dari keadaan tereksitasi menjadi
Universitas Sumatera Utara
terinhibisi. Sehingga penginhibisian noradrenalin ini akan mengaktivasi oreksin Tsujino et l, 2009.
Ghrelin juga memiliki peranan. Menurut Thompson et al 1999 dalam Spiegel et al 2004 penurunan jumlah jam tidur selama 6 hari menunjukkan
peningkatan keseimbangan
cardiac sympathovagal.
Peningkatan ini
mencerminkan penurunan aktivitas vagus. Seperti yang diketahui bahwa vagus dan ghrelin memiliki perbandingan yang terbalik, yakni penurunan vagus berarti
peningkatan ghrelin. Ghrelin diduga merupakan hormon yang bersifat oreksigenik, yakni meningkatkan nafsu makan Guyton, 2007.
Sedangkan leptin berkaitan dengan aktivitas simpatis, yang mana perangsangan simpatis akan menurunkan pelepasan leptin. Penurunan jumlah jam
tidur ini, berarti peningkatan cardiac sympathovagal, akan menurunkan kadar leptin Spiegel et al, 2004. Akibatnya tidak terdapat penekanan nafsu makan
Guyton, 2007. Sehingga secara keseluruhan dapat dilihat terdapat hubungan antara jumlah
jam tidur dengan peningkatan indeks massa tubuh, dikarenakan disregulasi nafsu makan. Kaitan jumlah jam tidur yang berhubungan dengan peningkatan indeks
massa tubuh, khususnya obesitas, adalah penurunan jumlah jam tidur, normal jumlah jam tidur 7-8 jam Adamkova et al, 2009, beberapa referensi menyatakan
penurunan jumlah tidur yang dimaksud adalah kurang dari 7 jam Theorall- Haglow, 2010; Watson et al, 2010 sedangkan referensi lain menyatakan
penurunan jumlah tidur tersebut adalah tidur kurang dari 4-5 jam Schmid et al, 2008; Adamkova et al, 2009. Dari keseluruhan hal yang paling umum
menyebabkan peningkatan indeks massa tubuh pada penurunan jumlah jam tidur adalah penurunan kadar leptin dan peningkatan kadar ghrelin.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3. Hubungan Jumlah Jam Tidur dengan Obesitas
Gambar 2.3. Hubungan Jumlah Jam Tidur dengan Indeks Massa Tubuh PENURUNAN JUMLAH
JAM TIDUR
↓↓ KADAR LEPTIN
↑↑ KADAR GHRELIN
PENINGKATAN NAFSU MAKAN PADA MALAM HARI
PENINGKATAN IMT
Mutasi Clock-
Bmal1
↑kortisol ↓GH
oreksin
Universitas Sumatera Utara
Indeks Massa Tubuh IMT
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL