Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kebugaran Fisik pada Mahasiswa Laki-Laki Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun Masuk

(1)

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KEBUGARAN FISIK PADA MAHASISWA LAKI-LAKI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN MASUK 2010

Oleh :

WILHELMINA OLIVIA NIM: 080100101

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KEBUGARAN FISIK PADA MAHASISWA LAKI-LAKI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN MASUK 2010

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

WILHELMINA OLIVIA NIM: 080100101

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kebugaran Fisik pada Mahasiswa Laki-Laki Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun Masuk 2010

Nama : Wilhelmina Olivia NIM : 080100101

Pembimbing, Penguji I

dr. Dedi Ardinata, M.Kes dr.HasanulArifin,Sp.An, KAP, KIC NIP. 19681227 199802 1002 NIP.19510423 197902 1 003

Penguji II

dr. Lambok Siahaan, MKT NIP.19711005 200112 1 001

Medan, Desember 2011 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH NIP : 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Kebugaran fisik berperan penting dalam hidup. Kebugaran fisik tidak hanya diperlukan oleh seorang olahragawan untuk penampilan yang lebih baik, tetapi juga oleh nonolahragawan untuk mempertahankan kesehatan. Mahasiswa kedokteran kelak akan menjadi seorang dokter dan dokter yang baik harus memiliki kebugaran fisik yang baik pula. Peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rendahnya kebugaran fisik berhubungan dengan risiko morbiditas dan mortalitas.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara IMT dengan kebugaran fisik pada mahasiswa laki-laki Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun masuk 20l0.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain potong lintang. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Analisis data dilakukan dengan program SPSS (Statistic Package for Social Science).

Lima puluh orang laki-laki, usia 19.1 tahun (SD 0.67), IMT 24.1 kg/m2 (SD 5.87), dinilai kebugaran kardiorespirasi dengan mengukur ambilan oksigen maksimum (VO2max) dengan Mc Ardle Step Test. Tes ini menggunakan bangku

dengan ketinggian 16.25 inchi (41.3 cm). Tes ini berdurasi 3 menit dengan laju 24 kali/menit. Setelah menyelesaikan tes, responden diminta untuk tetap berdiri kemudian diukur denyut nadi radialis pada detik ke 6-20 pada masa pemulihan. Denyut nadi pada 15 detik masa pemulihan dikonversi menjadi denyut per menit dan diprediksi nilai VO2max.

VO2max (ml/kg/menit) = 113.33 - (0.42 x denyut nadi/menit)

Rata-rata VO2max 50.3 ml/kg/menit (SD 7.33). Koefisian korelasi Pearson

menunjukkan hubungan yang sedang antara IMT dengan VO2max (r = - 0.521; p <

0.001).

Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan negatif yang sedang antara IMT dengan kebugaran fisik.

Kata kunci: hubungan, Indeks Massa Tubuh, kebugaran fisik, mahasiswa laki-laki fakultas kedokteran.


(5)

ABSTRACT

Physical fitness is an important thing in life. Physical fitness is not only needed by an athlete but also by nonathlete for better life. Medical students is going to be a doctor. A good doctor is a doctor who has a good physical fitness too. Increased Body Mass Index (BMI) and low cardiorespiratory fitness has been associated with significant risk of morbidity and mortality.

The purpose of this study was to investigate the association between BMI and physical fitness in the male population of the medical class of 2010 at University of Sumatera Utara.

This was an analytic study with a cross-sectional study design. The sampling technique carried out is consecutive sampling and data analysis was performed using SPSS program with Pearson correlation test.

Fifty males, of mean (SD) age 19.15 (0 67) years and BMI, 24.12 (5.57) kg/m2; were assessed for their cardiorespiratory fitness, measured using maximal oxygen uptake (or VO2max) by the Mc Ardle Step Test. The test was performed

using a stool with a height of 16.25 inches (41.30 cm). The test was done for a total duration of three minutes at the rate of 24 cycles per min. After completion, subjects were asked to remain standing comfortably and radial pulse rate was recorded from the 6th to 20th sec of the recovery period. This I5 sec pulse rate was converted into heart rate per min and the following equation was used to predict VO2max.

VO2max (ml/kg/min) = 113.33 - (0.42 X Pulse rate/min)

The mean (SD) VO2max 50.346 (7.329) ml/kg/min respectively for males.

Pearson correlation cofficient showed moderate correlation between BMI and VO2max (r = - 0.521; p < 0.001).

This study illustrated a negative moderate relationship between body mass index and physical fitness.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga KTI (Karya Tulis llmiah) ini dapat diselesaikan. KTI ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Kedokteran (S.Ked) di Fakultas Kedokteran USU. Saya menyadari bahwa KTI ini masih jauh dari sempurna. Namun besar harapan saya kiranya tulisan ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang:

"Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kebugaran Fisik pada Mahasiswa Laki-laki Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun Masuk 2010".

Dengan selesainya KTI ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada yang terhormat:

1. Dekan FK USU, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter di FK USU Medan.

2. Pembimbing penulisan KTI, dr. Dedi Ardinata, M.Kes., yang telah membimbing dan mengarahkan penulisan KTI ini.

3. Kepada dosen penguji, dr. Hasanul Arifin, Sp.An,KAP,KIC dan dr. Lambok Siahaan, MKT yang telah memberikan saran-saran untuk menyempurnakan karya tulis ilmiah ini.

4. Orangtua tercinta Ayahanda N.P. Ginting dan Ibunda Rehulina Agnes M. Sitepu, beserta Abangda Carlo Benedictus dan Adinda Leopold Utama yang selalu memberikan dukungan, perhatian, motivasi, semangat dan doa kepada penulis.

5. Teman-teman mahasiswa tahun masuk 2010 yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini

6. Teman-teman seperjuangan, Dita Arfina, Afra Amira, Indah Soleha, Indah Puspita Sari Pane dan seluruh teman-teman angkatan 2008, penulis mengucapkan terima kasih.


(7)

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan KTI ini. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penulisan KTI ini.

Medan, Desember 20ll


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... ii

Abstrak ... iii

Abstract ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

Daftar Singkatan ... xi

Daftar Alat ... xii

Daftar Lampiran ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Indeks Massa Tubuh ... 4

2.2 Kebugaran Fisik ... 6

2.3 Ambilan Oksigen Maksimal (VO2max) ... 7

2.4 Faktor-faktor yang Memengaruhi VO2max ... 9

2.5 Pengukuran VO2max ... 11

2.6 Hubungan IMT dengan Kebugaran Fisik ... 15

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL... 20

3.1 Kerangka Konsep ... 20

3.2 Variabel dan Definisi Operasional ... 20

3.3 Hipotesis ... 21

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 22

4.1 Jenis Penelitian ... 22

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 22

4.3 Populasi dan Sampel... 22

4.3.1 Populasi Sampel ... 22


(9)

4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel ... 23

4.3.4 Kriteria Inklusi... 23

4.3.5 Kriteria Eksklusi ... 23

4.4 Teknik Pengumpulan Data... 23

4.5 Prosedur Kerja ... 24

4.6 Kerangka Kerja ... 26

4.7 Pengolahan dan Analisis Data... 27

4.8 Ethical Clearance ... 27

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 28

5.1 Hasil Penelitian ... 28

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 28

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden ... 28

5.1.3 Hasil Analisis Statistik ... 31

5.2 Pembahasan ... 33

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

6.1 Kesimpulan ... 37

6.2 Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 39 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.l Klasifikasi IMT Berdasarkan WHO untuk Asia Pasifik...5

2.2 Klasifikasi VO2max pada McArdle Step Test Berdasarkan Pulsasi Nadi Radialis ...14

2.3 Klasifikasi Kebugaran Berdasarkan Nilai VO2max ...14

5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur ...29

5.2 Distribusi Responden Berdasarkan IMT ………...29

5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kebugaran Fisik ...30

5.4 Distribusi Responden Berdasarkan IMT dan Kebugaran Fisik ...31

5.5 Analisis Uji Korelasi Pearson Hubungan IMT dengan Kebugaran Fisik ...31


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman 3.1 Kerangka Konsep...20 4.1 Kerangka Kerja ...26 5.1 Diagram Tebar Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kebugaran


(12)

DAFTAR SINGKATAN

ACSM American College of Sports Medicine

BB Berat Badan DJ Denyut Jantung DM Diabetes Melitus

FK USU Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara GLUT4 glucose transporter 4

HDL High Density Lipoprotein

IL-6 Interleukin-6

IMT Indeks Massa Tubuh LDL Low Density Lipoprotein

NO Nitrit Oxide

PAI-1 Prothrombin Activator Inhibitor-1

TB Tinggi Badan

VO2max Ambilan Oksigen Maksimal


(13)

DAFTAR ALAT

Gelas ukur 50 ml Pipa kapiler Lancet

Alkohol swab

Timbangan Camry Mechanical Personal Scale ISO 9001: 200 model BR 9015B buatan Cina

Stadiometer Stature Meter 2 M buatan Cina Bangku setinggi 41,3 cm

Metronom Arloji/Stopwatch


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup Peneliti Lampiran 2. Kuesioner Penelitian

Lampiran 3. Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian

Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) dan Kesediaan Mengikuti Penelitian

Lampiran 5. Ethical Clearence Lampiran 6. Data Induk Penelitian Lampiran 7. Hasil Analisis SPSS.


(15)

ABSTRAK

Kebugaran fisik berperan penting dalam hidup. Kebugaran fisik tidak hanya diperlukan oleh seorang olahragawan untuk penampilan yang lebih baik, tetapi juga oleh nonolahragawan untuk mempertahankan kesehatan. Mahasiswa kedokteran kelak akan menjadi seorang dokter dan dokter yang baik harus memiliki kebugaran fisik yang baik pula. Peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rendahnya kebugaran fisik berhubungan dengan risiko morbiditas dan mortalitas.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara IMT dengan kebugaran fisik pada mahasiswa laki-laki Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun masuk 20l0.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain potong lintang. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Analisis data dilakukan dengan program SPSS (Statistic Package for Social Science).

Lima puluh orang laki-laki, usia 19.1 tahun (SD 0.67), IMT 24.1 kg/m2 (SD 5.87), dinilai kebugaran kardiorespirasi dengan mengukur ambilan oksigen maksimum (VO2max) dengan Mc Ardle Step Test. Tes ini menggunakan bangku

dengan ketinggian 16.25 inchi (41.3 cm). Tes ini berdurasi 3 menit dengan laju 24 kali/menit. Setelah menyelesaikan tes, responden diminta untuk tetap berdiri kemudian diukur denyut nadi radialis pada detik ke 6-20 pada masa pemulihan. Denyut nadi pada 15 detik masa pemulihan dikonversi menjadi denyut per menit dan diprediksi nilai VO2max.

VO2max (ml/kg/menit) = 113.33 - (0.42 x denyut nadi/menit)

Rata-rata VO2max 50.3 ml/kg/menit (SD 7.33). Koefisian korelasi Pearson

menunjukkan hubungan yang sedang antara IMT dengan VO2max (r = - 0.521; p <

0.001).

Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan negatif yang sedang antara IMT dengan kebugaran fisik.

Kata kunci: hubungan, Indeks Massa Tubuh, kebugaran fisik, mahasiswa laki-laki fakultas kedokteran.


(16)

ABSTRACT

Physical fitness is an important thing in life. Physical fitness is not only needed by an athlete but also by nonathlete for better life. Medical students is going to be a doctor. A good doctor is a doctor who has a good physical fitness too. Increased Body Mass Index (BMI) and low cardiorespiratory fitness has been associated with significant risk of morbidity and mortality.

The purpose of this study was to investigate the association between BMI and physical fitness in the male population of the medical class of 2010 at University of Sumatera Utara.

This was an analytic study with a cross-sectional study design. The sampling technique carried out is consecutive sampling and data analysis was performed using SPSS program with Pearson correlation test.

Fifty males, of mean (SD) age 19.15 (0 67) years and BMI, 24.12 (5.57) kg/m2; were assessed for their cardiorespiratory fitness, measured using maximal oxygen uptake (or VO2max) by the Mc Ardle Step Test. The test was performed

using a stool with a height of 16.25 inches (41.30 cm). The test was done for a total duration of three minutes at the rate of 24 cycles per min. After completion, subjects were asked to remain standing comfortably and radial pulse rate was recorded from the 6th to 20th sec of the recovery period. This I5 sec pulse rate was converted into heart rate per min and the following equation was used to predict VO2max.

VO2max (ml/kg/min) = 113.33 - (0.42 X Pulse rate/min)

The mean (SD) VO2max 50.346 (7.329) ml/kg/min respectively for males.

Pearson correlation cofficient showed moderate correlation between BMI and VO2max (r = - 0.521; p < 0.001).

This study illustrated a negative moderate relationship between body mass index and physical fitness.


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dalam beberapa dekade terakhir membuat hidup manusia menjadi semakin mudah. Hal ini ditandai dengan peningkatan penggunaan tenaga mesin dan pengurangan penggunaan tenaga manusia. Manusia akan cenderung kurang melakukan aktivitas fisik dan memiliki sedentary life style. Sedentary life style akan berkorelasi dengan terjadinya obesitas dan obesitas berhubungan dengan penurunan kebugaran fisik (Ortega et al., 2007).

Obesitas merupakan masalah sosial yang serius di seluruh dunia. Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) (2010) mengumumkan bahwa di seluruh dunia kurang lebih 1,6 miliar orang dewasa mengalami kelebihan berat badan dan setidaknya 400 juta dari populasi tersebut obesitas.

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa obesitas telah memberikan dampak yang signifikan terhadap timbulnya morbiditas dan mortalitas. Pria obesitas memiliki risiko tiga kali lebih tinggi untuk penyakit kardiovaskular dan dua kali lebih berisiko untuk semua penyebab kematian (Ming et al., 1999). Pria obesitas juga memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita penyakit, termasuk sindrom metabolik (diabetes, hipertensi, dislipidemia), sesak nafas, dan buruknya kualitas hidup (Thang et al., 2006).

Obesitas merupakan indikator status berat badan yang diukur melalui pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). Menurut WHO, IMT seseorang dapat dibedakan menjadi underweight, normoweight, normoweight, overweight, obese. Pengukuran IMT merupakan salah satu pengukuran antropometri untuk mengetahui komposisi tubuh seseorang (Thang et al., 2006).

Menurut American College of Sports Medicine (ACSM) (2008), kebugaran fisik adalah kemampuan jantung, pembuluh darah, paru-paru, dan otot untuk bekerja dengan efisiensi yang optimal. Kebugaran fisik juga terkait dengan


(18)

kemampuan untuk melaksanakan aktivitas fisik pada level sedang hingga berat tanpa mengalami kelelahan yang semestinya serta kemampuan untuk mempertahankannya sepanjang hidup. Dengan adanya kebugaran fisik, tubuh kita sanggup untuk melakukan penyesuaian terhadap beban fisik yang diberikan kepadanya sehingga dapat menghindari kelelahan yang berlebihan.

Kebugaran fisik terbagi menjadi dua komponen yaitu kebugaran fisik terkait kesehatan (health related component) dan kebugaran fisik terkait kemampuan atletis (performance or skill related component). Kebugaran fisik terkait kesehatan mencakup kebugaran kardiorespirasi, komposisi tubuh, fleksibilitas, kekuatan otot, dan ketahanan otot. Kebugaran fisik terkait kemampuan atletis mencakup keseimbangan, waktu reaksi, koordinasi, ketangkasan, kecepatan, dan kekuatan (ACSM, 2008).

Salah satu komponen kebugaran fisik adalah kebugaran kardiorespirasi. Pengukuran ambilan oksigen maksimal (VO2max) merupakan indikator terbaik dari

kebugaran kardiorespirasi (So dan Choi, 2010). VO2max adalah jumlah oksigen

maksimum dalam mililiter yang dapat digunakan dalam satu menit per kilogram berat badan. Orang yang kebugarannya baik memiliki nilai VO2max tinggi pada

kelompoknya.

Berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara penurunanan VO2max dengan berbagai tingkat mortalitas dan morbiditas. Rendahnya VO2max

memiliki hubungan yang kuat (peningkatan risiko 3-6 kali) dengan terjadinya hipertensi, diabetes, dan sindrom metabolik (Carnethon et al., 2003).

Kebugaran fisik berperan penting dalam hidup. Kebugaran fisik tidak hanya diperlukan oleh seorang olahragawan untuk penampilan yang lebih baik, tetapi juga oleh nonolahragawan untuk mempertahankan kesehatan. Mahasiswa kedokteran kelak akan menjadi seorang dokter dan dokter yang baik harus memiliki kebugaran fisik yang baik pula (Prajapati et al., 2008).

Penelitian untuk mengetahui hubungan IMT dengan kebugaran fisik pada mahasiswa kedokteran masih sangat terbatas. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk malakukan penelitian tersebut.


(19)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Apakah semakin tinggi IMT maka semakin rendah kebugaran fisik pada mahasiswa laki-laki FK USU tahun masuk 2010?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mendapatkan alternatif alat ukur untuk menentukan tingkat kebugaran fisik seseorang

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran IMT mahasiswa FK USU tahun masuk 2010. 2. Mengetahui gambaran kebugaran fisik mahasiswa FK USU tahun

masuk 2010.

3. Mengetahui hubungan IMT dengan kebugaran fisik pada mahasiswa laki-laki FK USU tahun masuk 2010.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam:

1. Memberikan informasi tentang hubungan IMT dengan kebugaran fisik.

2. Memberikan pemahaman kepada mahasiswa FK USU tahun masuk 2010 agar dapat memperhatikan berat badannya terkait kebugaran fisik.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Indeks Massa Tubuh

Komposisi tubuh didefinisikan sebagai proporsi relatif dari jaringan lemak dan jaringan bebas lemak dalam tubuh. Penilaian komposisi tubuh diperlukan untuk berbagai alasan. Ada korelasi kuat antara obesitas dan peningkatan risiko berbagai penyakit kronis (penyakit arteri koroner), diabetes, hipertensi, kanker tertentu, hiperlipidemia. Menilai komposisi tubuh dapat membantu untuk menetapkan berat badan yang optimal bagi kesehatan dan kinerja fisik (ACSM, 2008).

Antropometri adalah pengukuran tubuh manusia yang mencakup body

weight dan body dimension/build. Ada beberapa teknik yang lazim digunakan: tinggi badan / berat badan, lingkar, dan tebal lipatan kulit. Berbagai teknik pengukuran antropometri dilakukan pada berbagai lokasi pengukuran yang berbeda dengan instrumen yang berbeda-beda pula. Beberapa teknik (seperti penilaian tebal lipatan kulit) adalah untuk mengestimasi komposisi tubuh atau lemak tubuh, sementara teknik lain (seperti IMT) adalah penilaian untuk body

build (ACSM, 2008; Thang et al., 2006).

Ada beberapa cara untuk mengevaluasi komposisi tubuh manusia. Komposisi tubuh dapat diperkirakan melalui pemeriksaan di laboratorium maupun di lapangan dengan cara yang bervariasi dalam hal kompleksitas, biaya, dan akurasi. Salah satu cara yang paling akurat untuk menilai komposisi tubuh adalah dengan hydrostatic weighing. Hydrostatic weighing, juga dikenal sebagai underwater weighing, merupakan kriteria standar/ baku emas untuk menilai komposisi tubuh. Meskipun secara teori sederhana, pemeriksaan ini memerlukan peralatan laboratorium yang mahal dan seringkali tidak nyaman untuk subjek. Oleh karena itu, pemeriksaan ini jarang dilakukan (ACSM, 2008).


(21)

Menurut ACSM (2008) dan dikemukakan dalam penelitian Thang et al. (2006), berikut ini adalah beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai antropometri:

1. Tabel tinggi badan dan berat badan 2. Indeks Massa Tubuh

3. Rasio pinggang-pinggul (Waist-to-hip ratio) 4. Lingkar

5. Tebal lipatan kulit

6. Bioelectrical Impedance Analysis

7. Hydrostatic weighing

Indeks Massa Tubuh (IMT) dihitung dengan menggunakan persamaan berat badan dalam kilogram/kuadrat tinggi badan dalam meter. Untuk Asia Pasifik, WHO mengklasifikasikan IMT menjadi:

Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Berdasarkan WHO untuk Asia Pasifik

IMT (kg/m2) Kategori

< 18.5 Underweight

18.5 – 22.9 Normoweight

23 – 24.9 Overweight

> 25 Obese

Sumber: So dan Choi, 2010

Penggunaan IMT sebagai parameter dalam menentukan total lemak tubuh seseorang memiliki beberapa keuntungan dan kekurangan dibanding cara yang lain. Pengukuran IMT dapat memperkirakan total lemak tubuh dengan perhitungan yang sederhana, cepat, dan murah dalam populasi tertentu. Pengukuran IMT rutin dilakukan dan sering digunakan dalam studi-studi epidemiologi. Namun kelemahannya, IMT tidak dapat menjelaskan tentang distribusi lemak dalam tubuh seperti pada obesitas sentral maupun obesitas abdominal maupun menggambarkan jaringan lemak viseral. Nilai IMT berbeda dalam ras/etnis tertentu dan tidak membedakan antara laki-laki maupun perempuan. Nilai IMT yang tinggi belum tentu karena jaringan lemak tapi dapat


(22)

juga karena jaringan otot (Thang et al., 2006; Shakher et al., 2004 dalam Tomlinson et al., 2008).

2.2 Kebugaran Fisik

Kebugaran fisik menurut Sadoso (1992) dalam Sinaga (2004) adalah kemampuan fungsional seseorang dalam melakukan pekerjaan sehari-hari yang relatif cukup berat untuk jangka waktu yang cukup tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan serta masih mempunyai tenaga cadangan untuk melakukan hal-hal yang mendadak, setelah selesai bekerja dapat pulih ke keadaan semula dalam waktu yang relatif singkat pada saat istirahat.

Kebugaran fisik diperlukan tidak hanya oleh atlet untuk performa yang lebih baik tetapi juga untuk nonatlet untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani (Prajapati et al., 2008).

Kebugaran fisik terbagi menjadi dua komponen yaitu kebugaran fisik terkait kesehatan (health related component) dan kebugaran fisik terkait kemampuan atletis (performance or skill related component). Kebugaran fisik terkait kesehatan mencakup kebugaran kardiorespirasi, komposisi tubuh, fleksibilitas, kekuatan otot, dan ketahanan otot. Kebugaran fisik terkait kemampuan atletis mencakup keseimbangan, waktu reaksi, koordinasi, ketangkasan, kecepatan, dan kekuatan (ACSM, 2008).

Kebugaran kardiorespirasi mencerminkan kemampuan fungsional dari jantung, pembuluh darah, darah, paru-paru, dan otot yang terkait selama berbagai jenis tuntutan latihan. Secara khusus, kebugaran kardiorespirasi memengaruhi berbagai respon fisiologis yaitu saat istirahat, dalam menanggapi latihan submaksimal, dalam menanggapi latihan maksimal, dan selama kerja yang berkepanjangan (Lee et al., 2010; Martinez-Viscaino dan Sanchez-Lopez, 2008).

Kebugaran kardiorespirasi adalah sinonim untuk banyak istilah yang mungkin digunakan untuk hal yang sama. Hal ini dapat membingungkan. Menurut


(23)

ACSM (2008), berikut ini adalah daftar istilah yang pada dasarnya mengacu pada hal yang sama:

• Kapasitas Aerobik Maksimal • Kapsitas Fungsional

Physical Work Capacity

Ambilan atau Konsumsi Oksigen Maksimal

• VO2max

Cardiovascular Endurance, Fitness, or Capacity

Cardiorespiratory Endurance, Fitness, or Capacity

Cardiopulmonary Endurance, Fitness, or Capacity

Kebugaran kardiorespirasi adalah kemampuan sistem peredaran darah dan pernapasan untuk memasok bahan bakar dan oksigen selama aktivitas fisik yang berkelanjutan. Penelitian menemukan bahwa dengan rendahnya kebugaran pada usia dewasa muda dikaitkan dengan perkembangan faktor risiko penyakit kardiovaskular pada usia pertengahan (Steele et al., 2008).

Kebugaran kardiorespirasi yang tinggi akan meningkatkan sensitivitas insulin, meningkatkan transportasi glukosa yang diperantarai oleh insulin dari darah ke otot, memperbaiki fungsi sistem saraf, dan menurunkan denyut jantung. Selain itu juga akan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase pada otot rangka sehingga akan meningkatkan bersihan trigliserida plasma, meningkatkan transportasi lipid dan lipoprotein dari sirkulasi perifer dan jaringan ke hati. Semua hal ini dapat terjadi jika seseorang memiliki kebugaran kardiorespirasi yang baik (Carnethon et al., 2003).

2.3 Ambilan Oksigen Maksimal (VO2max)

Ambilan oksigen maksimal (VO2max) merupakan karakteristik fisiologis

yang dibatasi oleh persamaan Fick:

volume diastolik akhir ventrikel kiri – volume akhir sistolik ventrikel kiri x denyut jantung x perbedaan oksigen darah arteri-vena.


(24)

VO2max adalah suatu ukuran seberapa banyak jumlah oksigen tubuh dapat

diproses untuk menghasilkan energi. Hal ini diukur dalam milimeter oksigen per kilogram berat badan per menit (Levine, 2007).

VO2max adalah hasil dari curah jantung maksimal dan ekstraksi O2 maksimal oleh

jaringan, dan keduanya meningkat dengan latihan. Perubahan yang terjadi pada

otot rangka dengan latihan adalah peningkatan jumlah mitokondria dan enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif. Terjadi peningkatan jumlah kapiler dengan distribusi darah ke serat otot menjadi lebih baik. Efek akhir ialah ekstraksi O2 yang lebih sempurna dan akibatnya untuk beban kerja yang sama, peningkatan

pembentukan laktat lebih rendah. Peningkatan aliran darah ke otot menjadi lebih rendah dan karena hal ini, kecepatan denyut jantung dan curah jantung kurang meningkat dibanding orang yang tidak terlatih (Ganong, 2001).

VO2max adalah kadar oksigen tertinggi yang dapat dikonsumsi selama

latihan, yang menggambarkan fungsi paru, kardiovaskular, dan hematologi serta mekanisme oksidasi dari otot yang aktif selama proses latihan. Selain itu VO2max

dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam latihan aerobik dengan VO2max

menentukan kebugaran kardiorespirasi (Armstrong dan Welsman, 1997).

Jika seseorang melakukan kerja, makin berat kerja yang dilakukan, makin tinggi konsumsi oksigennya. Pada awalnya, jika beban latihan ditambah akan diikuti dengan kenaikan konsumsi oksigen. Pada suatu saat ketika beban kerja ditambah terus, tidak diikuti lagi oleh penambahan konsumsi oksigen dan konsumsi oksigen mulai konstan. Jika hal ini digambarkan pada suatu kurva konsumsi oksigen memperlihatkan gambar yang mendatar (plateau). Pada keadaan ini dikatakan ambilan oksigennya sudah maksimum (VO2max). Namun,

hanya sebagian orang yang menunjukkan gambaran yang mendatar (plateau) dalam konsumsi oksigennya walaupun latihan yang dilakukan sudah menjadi kelelahan. Jika hal ini terjadi, konsumsi oksigen tertinggi yang dicapai disebut VO2peak (Armstrong dan Welsman, 1997).

VO2max adalah salah satu pengukuran yang sering digunakan dalam ilmu

keolahragaan. Konsepnya adalah ada sejumlah oksigen yang ditranspor dengan kecepatan tertentu ke mitokondria untuk mendukung fosforilasi oksidatif yang


(25)

akan menghasilkan ATP (adenosine tri phosphate) untuk melakukan aktivitas fisik (Levine, 2007).

VO2max telah digunakan secara luas dalam ilmu klinis sebagai alat ukur

dalam menilai performa olahraga, penanda kebugaran dan penyakit jantung, dan bahkan sebagai sinyal bahwa pasien dengan gagal jantung berada di ambang dekompensasi dan harus dirujuk untuk transplantasi jantung (Levine, 2007).

2.4 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi VO2max

Pada intinya ada tiga faktor yang menentukan ambilan oksigen maksimal: 1. Curah Jantung (cardiac output)

Curah jantung adalah volume darah yang dipompa oleh jantung dalam satu menit. Curah jantung merupakan hasil kali stroke volume dengan denyut jantung. Volume sekuncup (stroke volume) adalah volume darah yang dipompa keluar dari ventrikel kanan atau kiri per menit. Denyut jantung adalah jumlah kontraksi jantung per menit. Curah jantung pada individu dalam keadaan istirahat rata-rata sekitar 5 liter/menit. Detak jantung individu tidak terlatih dalam keadaan normal adalah sekitar 72 kali per menit, sehingga volume sekuncupnya sekitar 70 mililiter. Volume sekuncup akan meningkat dengan olahraga dan curah jantung maksimal pada individu yang sangat terlatih bisa mencapai 40 liter/menit. Kemampuan untuk menghasilkan curah jantung yang tinggi merupakan penentu utama untuk memiliki nilai ambilan oksigen maksimal yang tinggi (Ganong, 2001; Vander et al., 2001; The Nicholas Institute of sports Medicine and Athletic

Trauma [NISMAT], 2007).

2. Jumlah hemoglobin dalam sel darah merah

Pada sebagian besar individu, jumlah hemoglobin dalam darah sekitar 15 gram/ 100 ml darah. Setiap gram hemoglobin dapat mengikat sekitar 1,34 ml oksigen. Jadi, 15 gram hemoglobin dalam 100 ml darah dapat membawa oksigen sekitar 20 ml setelah melewati paru-paru. Kemampuan jaringan untuk mengambil oksigen dari darah disebut sebagai ekstraksi oksigen (Ganong, 2001; Vander et


(26)

3. Jumlah otot yang terlibat dalam latihan dan kemampuan otot untuk memanfaatkan oksigen yang dipasok.

Semakin besar massa otot rangka yang diberikan beban kerja, semakin besar potensi untuk meningkatkan ambilan oksigen tubuh. Otot yang terbiasa terhadap latihan memiliki kemampuan yang lebih besar/baik untuk mengekstraksi oksigen dari darah karena otot-otot tersebut menggunakan oksigen dengan cepat dan memiliki lebih banyak kapiler-kapiler pembuluh darah (Ganong, 2001; Vander et al., 2001; NISMAT, 2007).

Menurut Foss dan Keteyian (1998) dalam Cheevers dan Pettersen (2007) setidaknya ada satu atau lebih kriteria tercapai untuk menunjukkan bahwa VO2max

telah diukur:

1. Tidak ada peningkatan lebih lanjut dalam ambilan oksigen meskipun beban latihan terus ditingkatkan.

2. Konsentrasi laktat darah di atas 70-80 mg/dl 3. Respiratory Exchanged Ratio antara 1.10 – 1.15

Faktor-faktor yang memengaruhi ambilan oksigen maksimum (VO2max):

1. Jenis Kelamin

VO2max laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini disebabkan

karena konsentrasi hemoglobin dalam darah pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.

2. Umur

Nilai VO2max mencapai puncak pada usia 18-20 tahun. Nilai ini akan

berkurang secara bertahap (1% per tahun) setelah usia 25 tahun. Pada orang yang aktif secara fisik, penurunan terjadi 5% per dekade, sedangkan pada orang dengan gaya hidup sedenter, penurunan VO2max mencapai 10%

per dekade (Strijk, 2010) 3. Komposisi dan Ukuran Tubuh

Bervariasi menurut massa, tinggi badan maupun luas permukaan tubuh 4. Genetika


(27)

Pengaruh genetika adalah sekitar 25% - 40% untuk VO2max (Church et al.,

2005) 5. Ketinggian

VO2max menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian di atas 1600 m.

Untuk setiap kenaikan 1000 m diatas 1600 m, ambilan oksigen maksimum akan menurun sekitar 8% - 11%. VO2max berkurang 26% pada ketinggian

4000 m. Penurunan ini terjadi karena penurunan curah jantung (hasil kali volume sekuncup dengan denyut jantung). Volume sekuncup mengalami penurunan karena terjadinya penurunan volume plasma darah.

6. Latihan

Latihan merupakan kegiatan terstruktur yang direncanakan dan dirancang untuk meningkatkan kebugaran fisik secara keseluruhan (Steele et al., 2008). Kebiasaan latihan pada seseorang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap VO2max, hal ini bervariasi antara 5% - 20% tergantung

dari kebugaran pada saat melakukan uji kebugaran.

2.5 Pengukuran VO2max

Kebugaran kardiorespirasi dapat dinilai dengan berbagai teknik, secara langsung ataupun tidak langsung. Kebugaran kardiorespirasi dapat diukur secara langsung di dalam laboratorium atau secara tidak langsung dengan diprediksi menggunakan banyak metode (ACSM, 2008).

Ada tiga jenis tes yang umum untuk menilai kebugaran kardiorespirasi, yaitu tes di lapangan (field test), tes dengan kekuatan sub maksimal (sub maximal

exertion), dan tes dengan kekuatan maksimal (maximal exertion) (ACSM, 2008).

Pada tes di lapangan, subjek melakukan suatu latihan dengan jarak tertentu atau melakukan latihan menurut waktu yang ditetapkan untuk memprediksi kebugaran kardiorespirasi. Tes ini umumnya menuntut upaya maksimal untuk memperoleh hasil terbaik dalam menentukan kebugaran kardiorespirasi. Metode pengujian meliputi berjalan, berjalan dan berlari, berlari, bersepeda, berenang, dan lain-lain (ACSM, 2008).


(28)

Pada tes dengan beban kerja submaksimal (submaximal exertion) dapat menggunakan tes langkah (step test) atau tes dengan tahapan tunggal maupun multi-protokol untuk memprediksi kapasitas aerobik maksimal atau kebugaran kardiorespirasi. Variabel tertentu diukur dari test ini (biasanya respon denyut jantung), dari hasil tersebut dapat diestimasi nilai kebugaran kardiorespirasi. Metode pengujian mencakup tes langkah (step test), treadmill, bersepeda, dan lain-lain. Sebagian dari tes ini dilakukan di laboratorium (ACSM, 2008).

Tes dengan beban kerja maksimal (maximal exertion) menggunakan tes olahraga yang berjenjang dan progresif untuk mengukur kelelahan. Dengan demikian, tes ini menggunakan tenaga semaksimal mungkin. Tes ini menetukan nilai kebugaran kardiorespirasi bukan sekedar memprediksi nilai kebugaran kardiorespirasi. Tes ini dilakukan dengan atau tanpa pengumpulan gas metabolik dan dilakukan di laboratorium (ACSM, 2008).

Pengukuran terbaik terhadap kemampuan maksimal sistem kardiorespirasi adalah dengan beban kerja maksimal. Pengukuran secara langsung, yaitu dengan menggunakan spirometer sirkuit terbuka atau tertutup (untuk mengumpulkan gas metabolik atau gas yang diekspirasikan) selama latihan dengan treadmill dan

ergocycle di laboratorium. Namun cara ini tidak dapat dilakukan di lapangan,

sehingga dilakukan uji tidak langsung, yaitu digunakan estimasi VO2max dengan

uji submaksimal menggunakan ergocycle, treadmill atau step test. Menurut penelitian tidak terdapat perbedaan bermakna antara pengukuran cara langsung dan tidak langsung. Pada tiap protokol hubungan antara denyut jantung maksimal dengan beban maksimal telah diuji. Kapasitas VO2max kemudian diestimasikan

dari perhitungan VO2max pada beban maksimal (ACSM, 2008).

Menentukan tingkat kebugaran kardiorespirasi paling baik dengan pengukuran secara langsung nilai VO2max ketika malakukan latihan. VO2max

menggambarkan kemampuan tubuh untuk mentransportasikan oksigen dan menggunakannya. Mengukur VO2max secara langsung biasanya melalui latihan

fisik bertahap dan menggunakan protokol tes tertentu yang paling sesuai dengan orang yang akan ditentukan VO2max-nya (Cheevers dan Pettersen, 2007).


(29)

Pengukuran langsung VO2max adalah cara terbaik namun juga memiliki

beberapa kelemahan, antara lain tes sulit dan sangat melelahkan. Banyak orang, terutama penderita penyakit kronis tidak dapat mencapai nilai VO2max yang

sebenarnya, hal ini bukan dikarenakan keterbatasan pasokan oksigen tetapi karena faktor lain seperti kelelahan mental, katakutan, hilangnya motivasi, dan munculnya gejala nyeri dada maupun pandangan gelap. Menurut Durstine dan Moore (2003) dalam Cheevers dan Pettersen (2007), jika hal tersebut terjadi, berarti orang tersebut dikatakan mengalami symptom-limited exhaustion dan hanya mencapai nilai VO2peak.

Menurut Maud dan Foster (1995) dalam Cheevers dan Pettersen (2007), pengukuran VO2max secara langsung juga memerlukan peralatan yang mahal,

instruktur yang terlatih dan kehadiran seorang ahli jantung atau dokter diharuskan. Berdasarkan alasan di atas, pengukuran VO2max secara langsung tidaklah praktis

untuk screening secara umum dan populasi yang besar.

Tes langkah telah ada selama lebih dari 50 tahun dalam pengujian kebugaran. Ada banyak protokol yang telah dikembangkan yang menggunakan tes langkah untuk memprediksi kebugaran kardiorespirasi. Penulis akan membahas penggunaan Mc Ardle Step Test atau Queens College Step Test untuk memprediksi VO2max (ACSM, 2008).

Pada tes ini, subjek akan melangkah ke atas dan ke bawah pada bangku dengan standar tinggi yang telah ditetapkan, selama jangka waktu tertentu dalam irama langkah yang telah ditetapkan. Setelah periode waktu tes selesai, denyut nadi radialis pada masa pemulihan akan diukur dan digunakan dalam memprediksi VO2max. Semakin rendah denyut nadi radialis pada masa pemulihan,

semakin bugar individu tersebut (ACSM, 2008).

Secara umum, tes langkah hanya menggunakan sedikit peralatan dan cukup sederhana. Yang diperlukan adalah sebuah arloji, metronom, dan sebuah bangku dengan tinggi tertentu. Tindakan pencegahan khusus untuk keamanan diperlukan bagi mereka yang mungkin memiliki masalah keseimbangan atau kesulitan dengan melangkah (ACSM, 2008).


(30)

1. Subjek melangkah ke atas dan ke bawah pada bangku dengan ketinggian 16,25 inchi (41,30 cm) selama 3 menit.

2. Subjek laki-laki melangkah dengan irama 24 kali per menit, sedangkan perempuan 22 kali per menit. Irama ini harus dipantau dan diatur dengan penggunaan metronom elektronik. Dua puluh empat kali per menit berarti bahwa melangkah ke atas dengan satu tungkai, diikuti dengan tungkai yang lain, kemudian melangkah turun dengan satu tungkai, dan diikuti dengan tungkai yang lain, dilakukan 24 kali dalam satu menit.

3. Setelah selesai (setelah 3 menit) subjek diminta untuk tetap berdiri dan denyut nadi radialis diukur dari detik ke-5 sampai detik ke-20 periode pemulihan. Denyut nadi selama 15 detik tersebut dikonversi menjadi denyut per menit dengan dikalikan empat.

Besar VO2max ditentukan dari denyut nadi pada periode pemulihan melalui rumus:

Untuk Laki-laki: VO2max (ml/kg/min) = 111.33 - (0.42 x DJ)

Untuk Perempuan: VO2max (ml/kg/min) = 65.81 - (0.1847 x DJ)

DJ= denyut jantung (kali/menit) di arteri radialis pada periode pemulihan

Tabel 2.2 Klasifikasi VO2max pada McArdle Step Test berdasarkan Pulsasi

Nadi Radialis (kali/menit) Jenis

Kelamin

Sangat

Baik Baik Cukup Kurang

Sangat Kurang Laki-laki < 121 148 - 121 156 – 149 162 - 157 > 162 Perempuan < 129 158 - 129 166 – 159 170 – 167 > 170 Sumber: ACSM, 2008

Sehingga besar VO2max berdasarkan rumus menjadi:

Tabel 2.3 Klasifikasi Nilai VO2max

Jenis Kelamin

Sangat

Baik Baik Cukup Kurang

Sangat Kurang Laki-laki > 60.5 49.2 – 60.5 45.8 – 48.8 43.3 – 45.4 < 43.3


(31)

Perempuan > 42 36.6 - 42 35.2 – 36.4 34.4 - 35 < 34.4

Untuk melakukan Mc Ardle Step Test, ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu tidak berada pada keadaan yang kontraindikasi, baik relatif maupun absolut untuk melakukan tes ini. Yang menjadi kontraidikasi absolut adalah ada riwayat miokard infark, angina tidak stabil, aritmia jantung, stenosis aorta, gagal jantung, emboli paru akut, miokarditis atau perikarditis akut. Yang menjadi kontraidikasi relatif adalah stenosis arteri coroner, stenosis katup, hamil, ketidakseimbangan elektrolit, hipertensi, takiaritmia, bradiaritmia, kardiomiopati, AV blok, gangguan sistem muskuloskeletal, demensia atau kondisi psikiatri lainnya (ACSM, 2008).

2.6 Hubungan Antara Indeks Massa Tubuh dengan Kebugaran Fisik Ada banyak sekali faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan jaringan adiposa, salah satu yang dihipotesiskan adalah berkurangnya kebugaran kardiorespirasi. Kebugaran kardiorespirasi adalah salah satu faktor determinan kesehatan sepanjang hidup yang independen. Pada usia dewasa, tingginya kebugaran kardiorespirasi merupakan faktor proteksi terhadap penyakit kardiovaskuler dan semua penyebab mortalitas. Pada usia dewasa muda, kebugaran kardiorespirasi memiliki hubungan terbalik dengan tekanan darah, kolesterol total, dan penanda proinflamasi (Byrd-William et al., 2008).

Kelebihan berat badan memberikan pengaruh buruk hampir pada semua sistem di dalam tubuh manusia. Pada dasarnya pengaruh buruk tersebut berasal dari 2 faktor:

1. Peningkatan massa dari jaringan adiposa

2. Peningkatan sekresi produk patogenik dari sel-sel lemak yang membesar

Peningkatan jaringan adiposa, khususnya jaringan adiposa viseral, berhubungan dengan penurunan fungsi endotel pembuluh darah. Fungsi endotel mengacu pada kapasitas fungsional secara umum dari sel endotel pembuluh darah,


(32)

terutama dalam menghasilkan dan melepaskan nitric oxide (NO). Berkurangnya sintesis dan/atau ketersediaan NO berhubungan dengan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, inflamasi, adhesi, trombosis, dan berkurangnya kemampuan vasodilatasi. Selain itu abnormalitas fungsi endotel berhubungan dengan sejumlah faktor penyakit kardiovaskuler (Davison et al., 2010).

Peningkatan asam lemak bebas dari hasil sel-sel lemak pada individu yang mengalami obesitas berperan dalam terjadinya resistensi insulin. Penurunan kebugaran kardiorespirasi merupakan pertanda awal terjadinya resistensi insulin pada orang yang menderita diabetes mellitus (DM) tipe 2. Tahap awal terjadinya resistensi insulin pada pasien DM tipe 2 adalah terganggunya aktivitas mitokondria. Kaplan et al. (1991) dalam Leite et al. (2009) mengemukakan bahwa insulin memainkan peranan yang penting dalam meregulasi fungsi transporter anion di mitokondria selama terjadinya siklus Kreb. Jika mitokondria terganggu maka konsumsi glukosa dan oksigen akan terganggu dan hal ini akan berdampak pada kemampuan seseorang untuk memiliki tingkat kebugaran yang baik dan sebagai konsekuensi nilai VO2max orang tersebut akan rendah.

Pada individu yang mengalami obesitas, terjadi pelepasan sitokin, khususnya IL-6, yang menstimulasi faktor-faktor proinflamasi. Selain itu, juga terjadi peningkatan sekresi protrombin activator inhibitor-1 dari sel-sel lemak yang membuat orang obesitas memiliki faktor prokoagulan yang lebih sensitif. Hal ini kemudian berpengaruh pada fungsi endotel dan akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan hipertensi. Produksi estrogen dari massa stroma memainkan peranan dalam risiko terjadinya kanker payudara. Keseluruhan efek ini akan meningkatkan risiko terjadinya pemendekan usia harapan hidup (Bray, 2004).

Jumlah lemak tubuh yang berlebihan juga akan menghambat fungsi jantung pada saat melakukan latihan. Hal ini terjadi karena otot-otot yang aktif bekerja pada saat latihan gagal untuk melakukan ekstraksi oksigen akibat deposisi jaringan lemak yang tidak proporsional. Pada individu yang kehilangan berat badan selama program penurunan berat badan, terjadi peningkatan VO2max karena

terjadi pengurangan jumlah lemak yang dapat menghambat penggunaan oksigen oleh otot (Chatterjee et al., 2005).


(33)

Tekanan darah meningkat pada individu yang kelebihan berat badan. Hipertensi pada orang yang kelebihan berat sangat berkaitan dengan terganggunya aktivitas saraf simpatik. Pada individu yang mengalami kegemukan terjadi peningkatan nerve firing rate dibanding individu dengan berat badan normal. Akibatnya terjadi peningkatan yang tidak seimbang dalam output jantung karena peningkatan aktivitas simpatik yang meningkatkan tekanan darah. Selain itu juga terjadi peningkatan resistensi perifer. Kegemukan dan hipertensi berinteraksi dengan fungsi jantung (Laxmi, 2008).

Obesitas dikaitkan dengan tingginya prevalensi hipertrofi ventrikel kiri. Pola yang paling umum dari geometri ventrikel kiri pada orang gemuk adalah hipertrofi konsentris. Kombinasi kelebihan berat badan dan hipertensi menyebabkan penebalan dinding ventrikel sehingga terjadi hipertrofi ventrikel. Hipertrofi ventrikel akan menyebabkan volume jantung menjadi lebih besar sehingga kemungkinan besar dapat terjadi gagal jantung. Penyebab lain terjadinya hipertrofi ventrikel kiri pada obesitas termasuk efek trofik dari hormon yang disekresikan lemak. Bila fungsi jantung terganggu atau menurun maka kebugaran kardiorespirasi akan terganggu juga (Shakher et al., 2004 dalam Tomlinson et al., 2008).

Peningkatan lemak tubuh memberikan dampak yang signifikan hampir pada semua sistem yang ada di dalam tubuh manusia. Tingginya deposisi lemak akan memengaruhi cardiac output karena terjadi penebalan ventrikel. Akibatnya jumlah darah yang dipompakan menjadi lebih sedikit, oksigen yang diedarkan ke otot yang sedang bekerja juga menjadi sedikit. Deposisi lemak juga akan menghambat otot dalam menggunakan pasokan oksigen dari darah. Hal ini diperburuk dengan peningkatan resistensi pembuluh darah akibat penumpukan lemak yang dapat menghambat pendistribusian oksigen ke seluruh sel dalam tubuh. Semua hal ini akan mengakibatkan berkurangnya ambilan oksigen. Jika hal ini terus menerus terjadi maka akan terjadi penurunan dalam kebugaran kardiorespirasi seseorang. Penurunan kardiorespirasi akan memperburuk dampak


(34)

negatif yang telah ditimbulkan dari peningkatan lemak tubuh, akibatnya risiko morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan menjadi meningkat (Bray, 2004).

Pada individu yang overweight dan obese, tubuh akan menjadi kurang sensitif dan terjadi keterbatasan tubuh dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari secara leluasa. Obesitas akan memberikan beban yang terlalu berat untuk jantung dengan meningkatnya low density lipoprotein (LDL) dan menurunnya

high density lipoprotein (HDL). Beban yang terlalu berat akan mengganggu

fungsi jantung, bahkan dapat menyebabkan gagal jantung. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai penurunan kebugaran kardiorespirasi (Ming et al., 1999; So dan Choi, 2010).

Obesitas berhubungan dengan resistensi insulin yang akan berakibat terjadinya hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia akan meningkatkan tekanan darah secara langsung dengan peningkatan reabsorpsi natrium di tubulus renalis bagian distal dan secara tidak langsung melalui perangsangan sistem saraf simpatis serta augmentasi angiotensin II yang diperantarai oleh sekresi aldosteron. Hal ini menunjukkan bahwa obesitas memainkan peranan penting dalam inisiasi dan perkembangan hipertensi (Shakher et al., 2004 dalam Tomlinson et al., 2008).

Kebugaran kardiorespirasi bukan hanya merupakan alat ukur objektif dalam menilai kebiasaan aktivitas fisik, tetapi juga berguna sebagai indikator diagnostik dan prognostik pada pasien klinis (Lee et al., 2010).

Aktivitas fisik dan kebugaran kardiorespirasi adalah determinan yang penting dan bersifat dependen sebagai penentu kematian pada individu yang

overweight dan obesitas. Rendahnya aktivitas fisik dan kebugaran kardiorespirasi

juga berhubungan dengan meningkatnya tingkat mortalitas pada individu dengan diabetes. Ada hubungan terbalik antara angka kematian dengan tingkat kebugaran pada orang dengan normoweight, overweight, maupun individu yang obesitas (Church et al., 2005).

Rendahnya kebugaran kardiorespirasi berhubungan kuat dengan tingginya risiko semua penyebab kematian pada pria dengan diabetes dan hubungan ini berlaku baik untuk normoweight, overweight, dan obese. Kebugaran yang lebih tinggi berbanding terbalik dengan kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada


(35)

pria dengan diabetes pada IMT normoweight, overweight, atau obese kelas I. Walaupun kebugaran kardiorespirasi dipengaruhi oleh komponen genetik (25% - 40%), cukup jelas jika latihan fisik yang regular adalah penentu kebugaran (Church et al., 2005).

Berdasarkan penelitian Ross dan Janiszewski (2008), pada individu yang mengalami obesitas yang terkait dengan risiko penyakit kardiovaskuler sebaiknya disarankan untuk melakukan olahraga yang menurunkan berat badan karena akan memberikan efek yang besar dalam menurunkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Hal ini dilakukan karena setelah berolahraga terjadi perbaikan dalam beberapa faktor risiko penyakit kardiometabolik, contohnya, resistensi insulin akan membaik kurang lebih 20% setelah olahraga aerobik selama satu jam pada orang yang sehat, orang yang mengalami resistensi insulin, maupun orang dengan diabetes. Perbaikan ini sebanding dengan intervensi farmakologi.

Olahraga aerobik selama satu jam juga akan menurunkan trigliserida sampai 10% - 25% dan meningkatkan kolesterol HDL 7% - 15% serta dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga akan memengaruhi komposisi tubuh terutama mengurangi lemak viseral, selain itu akan memperbaiki fungsi glucose

transporter 4 (GLUT 4) di otot rangka dan meningkatkan efisiensi metabolism


(36)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Variabel dalam penelitian ini adalah ini adalah indeks massa tubuh dan kebugaran fisik. Karena penelitian ini merupakan penelitian analitik korelatif, maka tidak dapat ditentukan yang mana variabel bebas maupun terikat karena pola hubungannya dua arah atau timbal balik (Mukhtar, 2011).

3.2 Definisi Operasional

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah indikator status berat badan seseorang yang ditentukan dengan menggunakan rumus

Cara pengukuran IMT adalah dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan terlebih dahulu. Berat badan diukur dengan timbangan dan tinggi badan diukur dengan stadiometer. Timbangan yang digunakan adalah Camry

Mechanical Personal Scale ISO 9001: 200 model BR 9015B buatan Cina dan


(37)

stadiometer yang digunakan adalah Stature Meter 2M buatan Cina. Hasil dari pengukuran berupa data numerik, berat badan dinyatakan dalam kilogram dan tinggi badan dalam meter. Data berat badan dan tinggi badan akan dimasukkan dalam rumus menghitung IMT. Skala pengukuran adalah skala rasio.

Kebugaran fisik adalah suatu parameter yang ditentukan berdasarkan nilai VO2max. VO2max adalah jumlah oksigen maksimum dalam milliliter yang dapat

digunakan dalam satu menit per kilogram berat badan. Cara yang digunakan untuk mengukur kebugaran fisik adalah dengan melakukan Mc Ardle Step Test. Setelah tes dilakukan, denyut nadi radialis diukur pada proses pemulihan pada detik ke 6-20 setelah tes . Denyut nadi yang diperoleh akan dikonversi menjadi denyut nadi per detik, kemudian di masukkan ke dalam rumus estimasi untuk menentukan besar VO2max. Alat ukur yang digunakan adalah Mc Ardle Step Test. Untuk

melakukan Mc Ardle Step Test, diperlukan bangku dengan ketinggian 16.25 inchi (41.3 cm) dan metronom. Hasil dari pengukuran berupa data numerik, yaitu VO2max yang dinyatakan dalam ml/kg/menit. Skala pengukuran adalah skala rasio.

3.3 Hipotesis

Semakin tinggi IMT maka semakin rendah kebugaran fisik (semakin kecil nilai VO2max) pada mahasiswa laki-laki FK USU tahun masuk 2010.


(38)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik korelatif yang bertujuan menilai hubungan antara dua variabel, yaitu IMT dan kebugaran fisik (diwakili dari nilai VO2max), pada mahasiswa laki-laki FK USU tahun masuk 2010

(Alatas, 1995).

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, dimana pengumpulan data atau pengukuran variabel yang akan diteliti dilakukan hanya satu kali tanpa dilakukan tindak lanjut atau pengulangan pengukuran (Ghazali, l995).

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di FK USU. Alasan pemilihan FK USU sebagai lokasi penelitian karena belum ada penelitian sejenis yang pernah dilakukan di FK USU dan mudah dijangkau oleh sampel penelitian. Penelitian ini berlangsung mulai dari September 2011 - Oktober 2011.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi terjangkau penelitian ini adalah mahasiswa laki-laki FK USU tahun masuk 2010 yang berjumlah 168 orang.


(39)

Estimasi besar sampel dihitung dengan rumus:

Keterangan

Zα = tingkat kemaknaan pada 0.05 yaitu 1.960 Zβ = kekuatan uji pada 0.1 yaitu 1.280

r = koefisien korelasi dari penelitian sebelumnya yaitu – 0.45 sehingga jumlah sampel minimal untuk penelitian ini.adalah :

n = 47,6 (dibulatkan menjadi 50 orang) (Haryuna, 2011)

4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah mahasiswa laki-laki FK USU yang telah dipilih secara consecutive sampling, yaitu setiap populasi yang memenuhi kriteria pemilihan (inklusi dan eksklusi) dimasukkan dalam penelitian sehingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 1995).

4.3.4 Kriteria Inklusi

a. Sehat, tidak berada pada kondisi yang kontraindikasi terhadap Mc Ardle Step

Test, baik relatif maupun absolut.

b. Hasil pemeriksaan hemoglobin secara kualitatif dengan larutan CuSO4 normal.

4.3.5 Kriteria Eksklusi

a. Berolahraga secara teratur, yaitu frekuensi ≥3 kali/minggu, durasi 20- 30 menit, dengan intensitas sedang-berat


(40)

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer ini meliputi berat badan, tinggi badan, dan denyut nadi setelah melakukan

McArdle Step Test. Semua data ini diperoleh dengan melakukan pengukuran

dengan menggunakan alat ukur timbangan Camry Mechanical Personal Scale ISO

9001: 200 model BR 9015B buatan Cina, stadiometer Stature Meter 2 M buatan

Cina dan McArclle Step Test. Nilai VO2max ditentukan dengan rumus estimasi

setelah diperoleh denyut nadi dari McArdle Step Test.

Ada sejumlah alat yang digunakan dalam penelitian ini. Sejumlah peralatan yang dimaksud ada yang digunakan saat penyaringan subjek, pemeriksaan Indeks Massa Tubuh maupun pemriksaan kebugaran fisik. Beberapa peralatan penting yang digunakan adalah:

- Pengukuran Hb: - Gelas ukur - Pipa kapiler - Lancet

- Alkohol swab - Pengukuran IMT:

- Timbangan Camry Mechanical Personal Scale ISO 9001: 200 model

BR 9015B buatan Cina

- Stadiometer Stature Meter 2 M buatan Cina - Pengukuran VO2max

- Bangku setinggi 41,3 cm - Metronom

- Arloji/Stopwatch

4.5 Prosedur Kerja

Sebelum ditetapkan menjadi subjek penelitian, calon subjek penelitian, yaitu mahasiswa laki-laki FK USU tahun masuk 2010 mengisi kuesioner dan melakukan pemeriksaan Hb. Kuesioner berisi beberapa pertanyaan, meliputi data


(41)

diri, kebiasaan berolahraga dan aktivitas sehari-hari, riwayat penyakit dan riwayat penyakit dalam keluarga.

Pemeriksaan Hb dengan larutan CuSO4 (cupri sulfat) adalah pemeriksaan

Hb secara kualitatif berdasarkan berat jenis (UTD PMI Jember, 2011). Pada pemeriksaan ini ujung jari telunjuk kiri calon subjek ditusuk dengan lancet. Kemudian darah yang keluar dihisap dengan menggunakan pipa kapiler. Darah plasma dalam pipa kapiler diteteskan pada jarak 1 cm di atas cairan CuSO4

dengan berat jenis 1,053. Yang dinilai adalah waktu yang dibutuhkan tetesan darah tersebut dari permukaan cairan hingga dasar tabung. Bila tetesan sampai ke dasar tabung dalam waktu kurang dari 15 detik maka kadar hemoglobin ≥ 12.5 g/dl. Bila waktu yang dibutuhkan lebih dari 15 detik berarti kadar hemoglobin < 12.5 g/dl dan calon subjek tersebut tidak memenuhi kriteria inklusi sehingga tidak dapat menjadi subjek dalam penelitian ini. Setiap 30 tetesan darah dalam tabung maka larutan CuSO4 harus diganti (Purwanto, 2009).

Pertanyaan dalam kuesioner dan pemeriksaan Hb merupakan suatu cara dalam menyaring populasi sehingga diperoleh subjek penelitian. Bila telah terpilih menjadi subjek maka pemeriksaan IMT dan kebugaran fisik dilaksanakan.

Subjek diukur IMT-nya serta diukur tingkat kebugaran fisiknya berdasarkan nilai VO2max melalui McArdle Step Test. Untuk menentukan IMT,

subjek diukur tinggi badan dan berat badannya.

Prosedur Pengukuran berat badan terdiri dari:

1. Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan dewasa

2. Sebelum dilakukan pengukuran, pasien diwajibkan berkemih terlebih dahulu 3. Pada saat pengukuran berat badan, sampel menggunakan pakaian yang tipis

ringan yang telah disediakan dan tidak menggunakan alas kaki/ kaki telanjang 4. Sampel naik ke atas timbangan

5. Sampel dalam keadaan diam. tegak lurus, dan pandangan menghadap ke depan 6. Melihat berapa berat badan sampel yang ditunjukkan jarum timbangan


(42)

1. Tinggi badan diukur dengan menggunakan stadiometer yang di pasang di dinding

2. Pada saat pengukuran tinggi badan, sampel tidak menggunakan topi atau peralatan apapun pada kepalanya, dan tidak menggunakan alas kaki

3. Sampel berdiri, menempel pada dinding, tegak lurus, dan pendangan menghadap ke depan

4. Tarik stadiometer, letakkan ujungnya tepat dipuncak kepala (verteks) 5. Melihat berapa tinggi badan sampel

Nilai Indeks Massa Tubuh diukur dengan menggunakan rumus:

Berdasarkan ACSM (2008), prosedur McArdle Step Test sebagai berikut: 1. Subjek melangkah ke atas dan ke bawah pada bangku dengan ketinggian 16,25

inchi (41,30 cm) selama 3 menit.

2. Subjek laki-laki melangkah dengan irama 24 kali per menit. Irama ini harus dipantau dan diatur dengan penggunaan metronom elektronik. Dua puluh empat kali per menit berarti bahwa melangkah ke atas dengan satu tungkai, diikuti dengan tungkai yang lain, kemudian melangkah turun dengan satu tungkai, dan diikuti dengan tungkai yang lain, dilakukan 24 kali dalam satu menit.

3. Setelah selesai (setelah 3 menit) subjek diminta untuk tetap berdiri dan denyut nadi radialis diukur dari detik ke-5 sampai detik ke-20 periode pemulihan. Denyut nadi selama 15 detik tersebut dikonversi menjadi denyut per menit dengan dikalikan empat.

4. Besar VO2max diestimasi dari denyut nadi pada periode pemulihan melalui

rumus:

VO2max(ml/kg/min) = 111.33 - (0.42 x DJ)


(43)

4.6 Kerangka Kerja

4.7 Pengolahan dan Analisis Data

Setelah dikumpulkan, data diolah, disajikan dalam tabel distribusi frekuensi, dan dianalisis secara bivariat. Dalam menganalisis data secara bivariat, pengujian data dilakukan dengan menggunakan uji statistik korelasi untuk mengetahui sejauh mana kekuatan hubungan Indeks Massa Tubuh dengan kebugaran fisik. Pengolahan data dengan menggunakan program komputer SPSS.

Bila kedua variabel berdistribusi normal, dilakukan uji Pearson. Bila kedua variabel tersebut tidak terdistribusi normal maka dilakukan uji transfomrasi Fisher's untuk menormalkan distribusi kedua variabel tersebut. Bila hasil tetap tidak terdistribusi normal maka dipakai uji Spearman (nonparametrik).

Tujuan analisis adalah mencari kekuatan hubungan diantara kedua variabel tersebut yang diperoleh dari koefisien korelasi, r. Nilai r dapat bervariasi, - 1 ≤ r ≥ +1, dengan interpretasi:

 1 artinya sifat hubungan linier searah, bila r = 1 ini tingkat asosiasi mutlak, nyaris tidak pernah diperoleh dalam fenomena biologis (Mukhtar, 2011)

Menurut Wahyuni (2007), berdasarkan besar nilai r, maka tingkat hubungannya dapat ditafsirkan sebagai berikut:

 0,000 - 0,199 : hubungan sangat lemah

 0,200 - 0,399 : hubungan lemah

 0,400 - 0,599 : hubungan sedang

 0,600 - 0,799 : hubungan kuat


(44)

 0,800 - 1,000 : hubungan sangat kuat 4.8 Ethical Clearance

Penelitiaan ini telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara berlokasi di jalan dr. Mansyur No.5 Medan, Indonesia. Fakultas Kedokteran USU dibuka pada tanggal 20 Agustus 1952 oleh Yayasan Universitas Sumatera Utara, yang berlokasi di Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, dengan batas wilayah:

Batas Utara : Jalan dr. Mansyur, Padang Bulan Batas Selatan : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Batas Timur: Jalan Universitas, Padang Bulan Batas Barat : Fakultas Psikologi USU

Kampus ini memiliki luas sekitar 122 Ha, dengan zona akademik seluas sekitar 100 Ha berada di tengahnya. Fakultas ini memiliki berbagai ruang kelas, ruang administrasi, ruang laboratorium, ruang skills lab, ruang seminar, perpustakaan, kedai mahasiswa, ruang PEMA, ruang POM, kantin, kamar mandi, dan mushola. Fakultas ini menerima mahasiswa baru sebanyak kurang lebih 400 orang setiap tahunnya yang dapat masuk melalui jalur UMB, PMP, SNMPTN, Kemitraan, Mandiri, dan Internasional dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh pihak Universitas.


(45)

Fakultas ini mempunyai 1832 mahasiswa Sl dengan perincian 415 orang dengan tahun masuk 2008, 466 orang dengan tahun masuk 2009, 426 orang dengan tahun masuk 2010, dan 525 orang dengan tahun masuk 2011.

5.1.2 Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa laki-laki FK USU tahun masuk 2010. Responden adalah mahasiswa yang telah menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian dan telah diseleksi menurut kriteria inklusi dan eksklusi sebelumnya.

Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2011 - Oktober 2011. Semua data yang diperoleh adalah data primer, yaitu berasal dari pengukuran langsung terhadap responden penelitian. Jumlah rasponden yang terlibat dalam penelitian ini ada 50 orang dan jumlah responden yang dimasukkan dalam proses analisis data adalah 49 orang. Berikut ini adalah karakteristik dari responden penelitian:

a. Umur

Responden penelitian berada pada rentang usia 17 - 22 tahun, dengan rerata 18.8 tahun (SD 0.71). Berikut ini merupakan distribusi responden berdasarkan umur:

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentasi (%)

17 1 2

18 14 28.6

19 29 59.2

20 4 8.2

21 1 2

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa 59.2% responden penelitian berumur 19 tahun saat dilakukan pengambilan data. Pada saat yang bersamaan responden adalah mahasiswa FK USU semester III.


(46)

b. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Setiap responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini diukur berat dan tinggi badannya kemudian ditentukan nilai IMT. Berikut ini merupakan distribusi IMT responden:

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan IMT

IMT Jumlah (Orang) Persentasi (%)

Underweight 5 10.2

Normoweight 23 46.9

Overweight 5 10.2

Obese 16 32.7

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa responden dengan IMT yang normal merupakan jumlah terbanyak (46.9%) dan responden dengan IMT obese menempati urutan kedua (32.7%).

c. Kebugaran Fisik

Setelah ditentukan IMT-nya, dilakukan pengukuran kebugaran. Salah satu komponen kebugaran fisik adalah kebugaran kardiorespirasi dan pengukuran VO2max merupakan indikator terbaik dari kebugaran kardiorespirasi (So dan Choi,

2010). Untuk memperoleh nilai VO2max pada responden dilakukan Mc Ardle Step Test. Gambaran kebugaran fisik responden penelitian ditampilkan dalam Tabel

5.3.

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kebugaran Fisik Kebugaran Fisik Jumlah (Orang) Persentasi (%)

Sangat Baik 7 14.3

Baik 27 55.1

Cukup 3 6.1

Kurang 7 14.3

Sangat Kurang 5 10.2

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 55.1% responden memiliki kebugaran fisik yang baik dan terdapat l0.2% dari total responden memiliki kebugaran fisik yang sangat kurang.


(47)

d. Hubungan IMT dan Kebugaran Fisik

Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan IMT dengan kebugaran fisik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 23 orang dari 49 orang responden memiliki Indeks Massa Tubuh yang normal dan 19 orang diantaranya memiliki kebugaran fisik yang sangat baik (7 orang) dan baik (12 orang).

Dari hasil penelitian ini juga diperoleh bahwa semua responden dengan kebugaran fisik yang sangat kurang mengalami obesitas dan semua responden yang memiliki kebugaran fisik sangat baik memiliki Indeks Massa Tubuh yang normal.

Distribusi responden berdasarkan IMT dan kebugaran fisik ditampilkan pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4 Distribusi Responden Menurut IMT dan Kebugaran Fisik

IMT Kebugaran Fisik

Sangat Baik

Baik Cukup Kurang Sangat Kurang

Total

Underweight Jumlah 0 4 0 1 0 5

%IMT 0% 80% 0% 20% 0% 100%

%Total 0% 8.2% 0% 2% 0% 10.2%

Normoweight Jumlah 7 12 1 3 0 23

%IMT 30.4% 52.5% 4.3% 13% 0% 100%

%Total 14.3% 24.5% 2% 6.1% 0% 46.9%

Overweight Jumlah 0 3 1 1 0 5

%IMT 0% 60% 20% 20% 0% 100%

%Total 0% 6.1% 2% 2% 0% 10.2%

Obese Jumlah 0 8 1 2 5 17

%IMT 0% 50% 6.3% 12.5% 31.3% 100%

%Total 0% 16.3% 2% 4.1% 10.2% 32.7%

Jumlah 7 27 3 7 5 50

Total %IMT 14.3% 55.1% 6.1% 14.3% 10.2% 100% %Total 14.3% 55.1% 6.1% 14.3% 10.2% 100%

5.1.3 Hasil Analisis Statistik

Penelitian ini ingin mengetahui hubungan arttara IMT dengan kebugaran fisik yang dapat dievaluasi berdasarkan nilai VO2max. Untuk mengetahui kekuatan


(48)

Adapun hasil uji Korelasi Pearson pada kedua variabel dalam penelitian ini dapat dinyatakan melalui tabel berikut:

Tabel 5.5 Analisis Uji Korelasi Pearson

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kebugaran Fisik Variabel Penelitian Rata-rata Pearson

Correlation (r)

P value

IMT 24.0 (SD 5.89) -0.53 <0.001

Kebugaran Fisik 50.8 (SD 6.60)

Penelitian ini menggunakan hipotesis dua arah (two-tailed) dengan tingkat kepercayaan 95%, yang berarti jika didapati nilai p < 0.05 berarti hipotesis nol penelitian ditolak.

Setelah dianalisis, dalam penelitian ini didapati nilai p = 0.000 atau dituliskan sebagai p < 0.001 dengan maksud agar dapat mengestimasi secara lebih akurat nilai desimal p yang sebenamya. Karena nilai p yang diperoleh lebih kecil dari 0.05, maka hipotesis nol dalam penelitian ini ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara Indeks Massa Tubuh dengan kebugaran fisik (p < 0.05).

Untuk menentukan kekuatan hubungan antara kedua variabel tersebut, dilakukan interpretasi dari nilai koefisien korelasi Pearson penelitian ini r = -0.53 Tanda minus menyatakan arah hubungan, yakni semakin tinggi IMT maka semakin rendah nilai VO2max. Sedangkan 0.53 menyatakan besarnya kekuatan

hubungan antara Indeks Massa Tubuh dan VO2max. Besamya kekuatan hubungan

antara IMT dengan kebugaran fisik dalam penelitian ini adalah sedang (Wahyuni, 2007).

Pola hubungan antara dua variabel numerik juga dapat dilihat dalam suatu diagram tebar (scatter plot). Data IMT ditampilkan pada sumbu X (aksis) sementara kebugaran fisik disajikan pada sumbu Y (ordinat), sedemikian sehingga semua data yang terkumpul dapat ditampilkan melalui diagram tebar berikut ini:


(49)

Gambar 5.1 Diagram Tebar Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kebugaran Fisik

Gambar 5.1 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang linier antara IMT dengan kebugaran fisik. Selain itu, Gambar 5.1 juga menujukkan korelasi negatif antara IMT dengan kebugaran fisik. Dengan kata lain, semakin tinggi IMT maka semakin rendah kebugaran fisik.

5.2 Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden berusia 19 tahun (59.2%), memiliki IMT normal (46.9%) dan kebugaran fisik yang baik (55.1%) dengan rata-rata usia 18.8 tahun (SD 0.71), IMT 24 kg/m2 (SD 5.89) dan VO2max 50.8 ml/kg/menit (SD 6.60). Berdasarkan nilai rata-rata IMT, rata-rata

responden memiliki IMT overweight sementara berdasarkan distribusi responden menurut IMT 46.9% responden memiliki IMT yang normal. Hal ini dapat disebabkan karena terdapat 32.7% responden yang obesitas.

Dari hasil penelitian juga diperoleh mayoritas responden 19 tahun, hal ini sesuai karena pada saat dilakukan penelitian, responden adalah mahasiswa semester III.


(50)

Nilai VO2max responden rata-rata 50.8 ml/kg/menit dan berdasarkan

kriteria eksklusi penelitian ini subjek merupakan kelompok sedentary, yaitu subjek tidak berolahraga secara teratur; yang disebut teratur adalah frekuensi > 3 kali/minggu, durasi 20-30 menit, dengan intensitas sedang-berat. Nilai VO2max

responden sesuai dengan nilai VO2max berdasarkan usia dan pada kelompok yang

sama untuk jenis kelamin laki-laki (usia 10-19 tahun: 47-56 ml/kg/menit) (Wilmore dan Costill,2005).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi IMT seseorang maka nilai VO2max-nya semakin rendah walaupun kekuatan hubungan antara

keduanya dalam taraf yang sedang (r = -0.53, p < 0,001). Hal ini didukung dengan gambaran distribusi responden berdasarkan IMT dan kebugaran fisiknya. Semua responden dengan kebugaran fisik yang sangat kurang mengalami obesitas dan semua responden dengan kebugaran fisik yang sangat baik memiliki IMT yang normal (Tabel 5.4).

Hal yang serupa juga diperoleh Pate (2006) yang menilai tingkat kebugaran kardiorespirasi pada kelompok usia 12-19 tahun di Amerika Serikat, didapatkan bahwa laki-laki dengan normoweight memiliki kebugaran fisik yang lebih baik (48.2 (SD 0.5) ml/kg/menit) daripada individu yang berisiko menjadi

overweight (43.5 (SD 0.6) ml/kg/menit) maupun individu yang overweight (41.6

(SD 1.0) ml/kg/menit), p < 0.001.

Hasil ini tidak bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh So danChoi (2010). Dalam penelitiannya, So dan Choi menjelaskan obesitas yang terjadi pada diri seseorang dapat membatasi keleluasaannya dalam melakukan berbagai macam aktivitas. Hal ini akan membuat orang dengan obesitas cenderung untuk malas bergerak dan lebih banyak duduk sehingga cenderung untuk memiliki pola hidup sedenter (sedentary lfe style). Pola hidup demikian akan membuat kebugaran fisik pada orang dengan obesitas rendah. Orang yang mengalami obesitas tidak hanya memiliki kebugaran kardiorespirasi yang rendah, penelitian ini juga menunjukkan orang yang obesitas memiliki fleksibilitas, keseimbangan, dan muscular endurance yang rendah. Semua hal tersebut merupakan komponen-komponen dalam kebugaran fisik.


(51)

Tingginya lemak tubuh pada orang dengan obesitas akan menjadi penghalang dan memberikan beban tambahan terhadap fungsi kardiorespirasi selama latihan. Berkurangnya fungsi ini akan berdampak pada rendahnya ambilan oksigen yang digunakan untuk metabolisme intrasel, terutama sel-sel muskuloskeletal. Karena deposisi lemak yang tidak proporsional, sistem muskuloskeletal gagal untuk memperoleh jumlah oksigen yang cukup selama melakukan latihan. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya nilai VO2max pada orang

dengan obesitas (So dan Choi, 2010).

Penelitian ini menggunakan analisis uji korelasi Pearson mengetahui seberapa kuat hubungan antara IMT dengan kebugaran fisik. Kekuatan hubungan antara kedua variabel dinyatakan dengan notasi r (koefisien korelasi). Dalam penelitian ini didapati nilai r = - 0.53, yang berarti kekuatan hubungan antara IMT dengan kebugaran fisik adalah sedang. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian sejenis yang dilakukan oleh Laxmi (2008), pada 100 orang pria berusia l8 - 25 tahun di India didapatkan r = - 0.45, p < 0.01. Sementara pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Bertoli et al., (2003) diperoleh hubungan yang kuat dan signifikan antara kebugaran kardiorespirasi dengan IMT (r = 0.6, p < 0.05).

Adanya perbedaan besar koefisien korelasi yang dapat disebabkan karena beberapa faktor, seperti perbedaan subjek dan metode yang dilakukan. Pada penelitian Bertoli, subjek adalah pria berusia rata-rata 54.59 tahun (SD 6.11) dan memiliki setidaknya satu gejala sindrom metabolik. Adanya gejala sindroma metabolik pada responden penelitian Bertoli akan turut mempengaruhi nilai kebugaran kardiorespirasi terlepas dari pengaruh IMT terhadap kebugaran kardiorespirasinya. Metode yang dilakukan dalam menentukan VO2max adalah

pengukuran secara langsung dengan protokol Bruce yang dimodifikasi dan menggunakan treadmill; metode ini memiliki akurasi yang lebih tinggi karena dilakukan secara langsung di laboratorium dan di bawah pengawasan tenaga ahli.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain metode yang digunakan. Kebugaran fisik, khususnya kebugaran fisik terkait kesehatan, mencakup banyak hal yaitu, kebugaran kardiorespiratori, komposisi tubuh, fleksibilitas, kekuatan otot, dan ketahanan otot. Sementara dalam penelitian ini


(52)

hanya dinilai kebugaran kardiorespirasi saja. Protokol yang digunakan dalam menilai kebugaran kardiorespirasi juga tidak secara langsung. Hal ini dapat menyebabkan tidak akuratnya hasil yang diperoleh. Namun sejauh ini hasil penelitian ini masih menunjukkan hasil yang sesuai dengan penelitian-penelitian

lainnya.

Dalam penelitian ini didapati bahwa terdapat hubungan terbalik antara IMT dengan kebugaran fisik dengan kekuatan hubungan sedang. Namun demikian, perlu dipahami bahwa IMT bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi kebugaran fisik seseorang. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kebugaran fisik seseorang selain IMT (ukuran dan komposisi tubuh) adalah jenis kelamin, umur, faktor genetika dan kebiasaan berolahraga. Selain itu kebugaran fisik seseorang (VO2max) pada dasarnya ditentukan oleh

curah jantung, jumlah hemoglobin, jumlah otot yang terlibat dan kemampuan otot untuk memanfaatkan oksigen yang dipasok. Semua faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan baik oleh mahasiswa kedokteran sebagai responden maupun praktisi kesehatan pada umumnya mengingat rendahnya kebugaran fisik seseorang maupun tingginya IMT berhubungan erat dengan risiko penyakit kardiovaskular.


(53)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan, yaitu:

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi IMT maka semakin rendah VO2max, dengan tingkat kekuatan hubungan sedang (r = -0.53, p <

0.001).

2. Rata-rata IMT dalam penelitian ini adalah 24 kg/m2 (SD 5.89).

3. Rata-rata nilai VO2max dalam penelitian ini adalah 50.8 ml/kg/menit (SD

6.60), berada pada tingkat kebugaran baik.

6.2 Saran

Beberapa hal yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian ini di antaranya:

Peningkatan IMT dan rendahnya kebugaran fisik berhubungan dengan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular, oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah preventif yang dapat membuat IMT dalam batasan yang normal dan kebugaran dalam tingkatan yang sesuai. Hal yang dapat dilakukan antara lain:

1. Tingkatkan aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik dan pola hidup yang sedenter dapat menyebabkan terjadinya obesitas.

2. Berolah raga secara teratur, 3-5 kali/minggu. Olah raga yang teratur akan meningkatkan kebugaran fisik dan memberikan dampak positif dalam semua aspek kesehatan tubuh.

3. Perhatikan faktor nutrisi. Nutrisi yang seimbang adalah yang terbaik untuk tubuh.

Untuk penelitin selanjutnya, parameter yang digunakan dalam menentukan kebugaran fisik hendaknya diperbanyak karena kebugaran fisik terkait kesehatan terdiri dari komponen kebugaran kardiorespiratori, komposisi tubuh, fleksibilitas,


(54)

kekuatan otot, dan ketahanan otot. Semakin banyak parameter yang digunakan dalam menentukan kebugaran fisik maka hasil yang diperoleh semakin akurat.


(1)

Lampiran 3

Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian

Judul penelitian : Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kebugaran Fisik pada Mahasiswa Laki-laki Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun Masuk 2010.

Sebelum Saudara terpilih menjadi subjek penelitian ini, Saudara akan mengisi daftar pertanyaan (kuesioner). Pertanyaan yang ditanyakan tentang data diri, kebiasaan berolahraga, ada tidaknya sakit jantung pada diri Saudara ataupun keluarga Saudara. Kemudian akan dilakukan pemeriksaan hemoglobin untuk mengetahui apakah Saudara menderita kurang darah (anemia) atau tidak.

Dalam pemeriksaan hernoglobin, ujung jari telunjuk Saudara akan ditusuk dengan jarum kemudian diambil sedikit darahnya. Darah tersebut akan dimasukkan ke dalam larutan CuSO4. Bila darah Saudara tenggelam dengan cepat

(kurang dari 15 detik) berarti Saudara tidak menderita kurang darah, sebaliknya bila darah Saudara lambat tenggelam (lebih dari l5 detik) berarti Saudara menderita kurang darah.

Jawaban yang telah Saudara berikan atas daftar pertanyaan dan hasil pemeriksaan hernoglobin kemudian akan disaring berdasarkan syarat yang telah ditetapkan dalam penelitian untuk menetukan apakah Saudara dapat menjadi subyek penelitian ini atau tidak. Bila Saudara tidak memenuhi syarat maka tidak dilakukan pengukuran/pemeriksaan lebih lanjut. Sebaliknya, bila Saudara memenuhi syarat sebagai subjek penelitian ini, selanjutnya berat badan Saudara akan ditimbang dan tinggi badan akan diukur serta Saudara akan melakukan Mc


(2)

Saudara akan naik ke atas timbangan, kedua kaki seluruhnya berada di atas timbangan dan pandangan ke depan. Pemeriksa akan melihat angka yang ditunjuk jarum timbangan yang menandakan berat badan Saudara.

Hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan Saudara akan digunakan untuk menghitung nilai Indeks Massa Tubuh (IMT).

Setelah itu, Saudara akan melakukan Mc Ardle Step Test. Pada tes ini, Saudara akan naik turun bangku dengan ketinggian 41,3 cm dengan kecepatan 24 kali/menit selama 3 menit. Dua puluh empat kali per menit berarti melangkah ke atas bangku dengan satu kaki, diikuti dengan kaki yang lain, kemudian melangkah turun dengan satu kaki, dan diikuti dengan kaki yang lain, dilakukan 24 kali dalam satu menit. Kecepatan naik turun bangku akan disesuaikan dengan bunyi metronom.

Setelah 3 menit, Saudara tetap berdiri, kemudian diukur denyut nadi pada tangan pada detik ke 5-20 setelah tes selesai. Denyut nadi tersebut akan dikalikan 4. Hasilnya akan dimasukkan ke dalam rumus sehingga dapat diperoleh nilai VO2max yang dapat menggambarkan kebugaran fisik Saudara.


(3)

Lampiran 4

LEMBAR PERSETUJUAN SUBJEK (INFORMED CONSENT)

Saya telah diminta untuk berpartisipasi dalam penelitian yang berjudul "Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kebugaran Fisik pada Mahasiswa Laki-laki Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun Masuk 2010”. Dalam tahap ini, saya paham bahwa saya akan mengisi kuesioner pra-tes dan pemeriksaan Hb sebagai skrining awal dalam memilih sampel untuk penelitian ini.

Selanjutnya, bila saya terpilih meniadi sampel untuk penelitian ini.Saya akan diukur berat badan dan tinggi badan untuk menentukan indeks massa tubuh dan melakukan McArdle Step Test kemudian diukur denyut nadi di tangan untuk menentukan kebugaran fisik.

Saya menyadari bahwa partisipasi dalam penelitian ini tidak membahayakan saya secara fisik maupun psikologis. Saya menyadari bahwa partisipasi ini bersifat sukarela dan bisa mundur setiap saat serta tidak berdampak pada program pendidikan yang saya tempuh saat ini. Saya paham bahwa semua data akan dirahasiakan. Publikasi yang berhubungan dengan penelitian ini tidak akan disertai nama sehingga kerahasiaannya tetap akan terjamin.

Saya telah mendapatkan penjelasan tentang penelitian ini. Saya menyatakan bahwa bentuk dan tujuan penelitian telah dijelaskan pada saya dan saya mengerti tentang risiko, manfaat, dan prosedur secara keseluruhan dari penelitian ini.

Saya telah membaca dan memahami formulir persetujuan. Semua pertanyaan telah saya jawab dan saya setuju untuk berpartisipasi. Jika saya membutuhkan informasi lebih lanjut, saya dapat menghubungi peneliti, Wilhelmina Olivia.


(4)

(5)

Lampiran 7

HASIL ANALISIS SPSS

Tabel 1. Korelasi

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

IMT 24.0222 5.88931 49

VO2max 50.8157 6.60073 49

Correlations

IMT VO2max

IMT Pearson Correlation 1 -.529**

Sig. (2-tailed) .000

N 49 49

VO2max Pearson Correlation -.529** 1

Sig. (2-tailed) .000

N 49 49

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Tabel 2. Crosstab

Case Processing Summary Cases


(6)

IMTkel * VO2maxkel Crosstabulation VO2maxkel

Total sangat

baik baik cukup kurang

sangat kurang

IMTkel underweight Count 0 4 0 1 0 5

% within IMTkel

.0% 80.0% .0% 20.0% .0% 100.0%

% of Total .0% 8.2% .0% 2.0% .0% 10.2%

normoweight Count 7 12 1 3 0 23

% within IMTkel

30.4% 52.2% 4.3% 13.0% .0% 100.0%

% of Total 14.3% 24.5% 2.0% 6.1% .0% 46.9%

overweight Count 0 3 1 1 0 5

% within IMTkel

.0% 60.0% 20.0% 20.0% .0% 100.0%

% of Total .0% 6.1% 2.0% 2.0% .0% 10.2%

obese Count 0 8 1 2 5 16

% within IMTkel

.0% 50.0% 6.3% 12.5% 31.3% 100.0%

% of Total .0% 16.3% 2.0% 4.1% 10.2% 32.7%

Total Count 7 27 3 7 5 49

% within IMTkel

14.3% 55.1% 6.1% 14.3% 10.2% 100.0%