Pengaruh self-esteem dan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial pada santri Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Disusun oleh:

NURIS FAKHMA HANANA 109070000002

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

vi

D) Pengaruh Self-esteem dan Kecerdasan Emosi Terhadap Perilaku Prososial Pada Santri Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta

E) Xiv + 113 Halaman + Lampiran

F) Perilaku prososial merupakan tindakan yang menguntungkan orang lain secara sukarela sehingga menciptakan interaksi yang baik antara individu ataupun kelompok. Namun, saat ini perilaku prososial cenderung menurun. Ini terbukti dari menipisnya kepedulian tiap individu terhadap lingkungan, karena lebih fokus pada kepentingan sendiri (Yusuf dan Listiara, 2012). Keadaan tersebut menurut Sabiq dan Djalali (2012) juga terjadi di pesantren. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, di antaranya adalah self-esteem, dan kecerdasan emosi. Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh self-esteem (successes, values, aspirations dan defences), kecerdasan emosi (mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan keterampilan sosial), serta jenis kelamin dan usia, terhadap perilaku prososial.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan populasi santri di Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta kelas satu sampai kelas lima, sebanyak 503 orang. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 200 santri. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik probability sampling. Instrumen dalam penelitian ini merupakan adaptasi dari skala perilaku prososial dan self-esteem, yaitu, Prosocial Tendencies Measurement dan The School Short-form Coopersmith Self-esteem Inventory. Sedangkan skala pada kecerdasan emosi dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi dari Goleman (1998). Analisis data penelitian menggunakan regresi berganda dengan menggunakan program SPSS versi 16.0. Sedangkan untuk menguji validitas konstruk menggunakan LISREL 8.70.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel self-esteem, kecerdasan emosi, jenis kelamin dan usia secara signifikan mempengaruhi perilaku prososial dengan kontribusi sebesar 35.5 %. Dari sebelas variabel yang diteliti, ada empat dimensi yang berpengaruh signifikan terhadap perilaku prososial, yaitu aspirations, mengenali emosi sendiri, keterampilan sosial dan jenis kelamin.


(6)

vii ABSTRACK

A) Psychology Faculty B) January 2015

C) Nuris Fakhma Hanana

D) Influence of Self-esteem and emotional intelligence Prosocial Behavior Against Students Boarding School In Jakarta Daarul Rahman

E) Xiv + 113 + Attachment

F) Prosocial behaviors are actions that benefit others voluntarily thus creating a good interaction between individuals or groups. However, this time prosocial behavior tends to decrease. This is evident from the depletion of individual concern for the environment, because it is more focused on their own interests (Joseph and Listiara, 2012). The situation is under Sabiq and Djalali (2012) also occurred at the school. There are several factors that influence prosocial behavior, among which is the self-esteem, and emotional intelligence. This study was conducted to examine the effect of self-esteem (successes, values, aspirations and defenses), emotional intelligence (recognizing emotions, managing emotions, motivating oneself, recognizing emotions in others, and social skills), as well as gender and age, on behavior prosocial.

This study uses a quantitative approach to the population of students in boarding school Daarul Rahman Jakarta grade one to grade five, as many as 503 people. The sample in this study were 200 students. Sampling using probability sampling techniques. Instruments in this study is an adaptation of the scale prosocial behavior and self-esteem, ie, Prosocial Tendencies Measurement and The School Short-form Coopersmith Self-esteem Inventory. While the scale of emotional intelligence developed by the researchers based aspects of emotional intelligence Goleman (1998). Research data analysis using multiple regression using SPSS version 16.0. Meanwhile, to test the construct validity using LISREL 8.70.

The results showed that the variables of self-esteem, emotional intelligence, sex and age significantly affect prosocial behavior with a contribution of 35.5%. Of the eleven variables studied, there are four dimensions significantly influence prosocial behavior, ie aspirations, recognizing their own emotions, social skills and sex.


(7)

v

Hal-hal terbaik dan terindah di dunia ini tak bisa dilihat

dan disentuh mereka harus dirasakan

-Hellen Keller-

Segala sesuatu yang biasa akan menjadi luar biasa jika

dilakukan dengan cinta dan perasaan

-Hanana-

Karya ini saya persembahkan untuk Kedua

Orang tua saya adik-adik, keluarga besar

Alm. Mbah haji dan eyang kakung.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT atas segala rahmat, hidayah, dan kasih sayang yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “PENGARUH SELF-ESTEEM DAN KECERDASAN EMOSI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL

PADA SANTRI PONDOK PESANTREN DAARUL RAHMAN JAKARTA”. Shalawat

serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad SAW berikut keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam

bentuk sumbangan pikiran, tenaga, waktu, dan do’a yang diberikan kepada penulis. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Si, M.Ag beserta seluruh jajaran dekanat lainnya yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas terbaik kepada seluruh mahasiswa Psikologi UIN, untuk menjadi lulusan yang berkualitas.

2. Bapak Bambang Suryadi, Ph.D. dan Ibu Layyinah, S.Psi., MSi. yang telah membimbing, memberikan arahan dan saran kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Netty Hartati, M.Si dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengetahuan, dan dukungan kepada penulis.

4. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak ilmu, pengetahuan, dan bantuannya kepada penulis selama studi di kampus UIN.

5. Kedua orang tua tercinta, abah Drs. Nurudin Abdullah dan umi Dra. Isna Hidayati beserta keluarga besar dan juga kedua adik kebangaan penulis, Nuris Fakhmi Zakky dan Nuris Ajieb Aulady yang selalu memberikan motivasi, dukungan, pengertian serta doa yang tulus.


(9)

ix

juga keluarga besar Kahfi Motivator School, yaitu teman Angkatan 11, serta kakak dan kelas terutama Ka Fitriah AB dan Ka Lina Marlina yang terus menerus mendorong penulis untuk menuntaskan skripsi ini.

7. Kepada keluarga besar Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta, KH Syukron Mamun, Ustadz H Umar Faruq, dan Ustadzah Anti yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan pengambilan data di Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta. Termasuk para santri Pondok yang sangat kooperatif dalam membantu peneliti selama proses pengumpulan data penelitian.

8. Teman-teman kelas A 2009 Fakultas Psikologi UIN Jakarta, terutama pada

Ajeng Sya’bani, Hawa Nadya Puspita, Siti Kesturi, Risa Pangestu dan Wahyu

Budiani yang selalu memberikan keceriaan, dukungan, kritik dan saran selama perkuliahan.

9. Teman diskusi selama proses skripsi, Ka Adyo, Ka puti, Hani, Azka, Restianie, dan Ayu yang selalu memberikan solusi, motivasi, serta dukungan terbaik dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Keluarga besar IMM PK Psikologi (Ka Sarah, Ka Kiki, Mega, Bias, Uswah dan Lala) yang telah mengajarkan arti berorganisasi dan kebersamaan. 11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu yang


(10)

x

Semoga segala bantuan yang telah diberikan dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari situ sangatlah diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dapat menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk penulis pribadi dan siapa saja yang membaca serta berkeinginan untuk mengeksplorasinya lebih lanjut.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 10 Desember 2014


(11)

xi

MOTTO DAN LEMBAR PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

1.2.1. Pembatasan Masalah ... 8

1.2.2. Perumusan Masalah ... 10

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 11

1.4.Sistematika Penulisan ... 11

BAB 2 KAJIAN TEORI 2.1. Perilaku Prososial ... 12

2.1.1. Definisi perilaku prososial ... 12

2.1.2. Dimensi perilaku prososial ... 13

2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial ... 15

2.1.5. Pengukuran perilaku prososial ... 26

2.2. Self-esteem... 27

2.2.1. Definisi Self-esteem ... 27

2.2.2. Dimensi Self-esteem ... 29

2.2.3. Pengukuran self-esteem ... 34

2.3 Kecerdasan emosi... 35

2.3.1. Definisi kecerdasan emosi... 35

2.3.2. Dimensi kecerdasan emosi ... 36

2.3.4. Pengukuran kecerdasan emosi ... 38

2.4. Kerangka berfikir ... 39

2.5. Hipotesis penelitian ... 43

BAB 3 METODOLOGIPENELITIAN 3.1. Populasi dan Sampel ... 45

3.2. Variabel Penelitian ... 47

3.3. Definisi Operasional Variabel ... 48

3.3. Instrumen Pengumpulan Data ... 49

3.4. Uji Validitas Konstruk ... 56


(12)

xii

3.4.3. Uji Validitas Konstruk Self-esteem ... 63

3.4.4. Uji Validitas konstruk Kecerdasan Emosi ... 67

3.5. Metode Analisis Data ... 72

3.6. Prosedur Peneltian ... 75

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Subjek ... 77

4.2. Hasil Analisis Deskripsi ... 78

4.3. Kategorisasi variabel penelitian ... 79

4.4. Uji Hipotesis Penelitian... 85

4.5. Proporsi Varians ... 91

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI & SARAN 5.1. Kesimpulan ... 95

5.2. Diskusi ... 95

5.3. Saran ... 101

5.3.1. Saran teoritis ... 101

5.3.2. Saran praktis ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104 LAMPIRAN


(13)

xiii

Tabel 3.3 Blue Print Skala Self-Esteem ... 54

Tabel 3. 4 Blue Print Skala Kecerdasan Emosi ... 55

Tabel 3.6 Muatan Item Faktor Altruisme ... 58

Tabel 3.7 Muatan Item Faktor Compliant ... 59

Tabel 3.8 Muatan Item Faktor Emotional ... 60

Tabel 3.9 Muatan Item Faktor Public ... 61

Tabel 3.10 Muatan Item Faktor Anonymous ... 62

Tabel 3.10 Muatan Item Faktor Dire ... 62

Tabel 3.11 Muatan Item Faktor Successes ... 64

Tabel 3.11 Muatan Item Faktor Values ... 65

Tabel 3.11 Muatan Item Faktor Aspiration ... 66

Tabel 3.11 Muatan Item Faktor Defenses ... 67

Tabel 3.11 Muatan Item FaktorMengenali Emosi Sendiri ... 68

Tabel 3.11 Muatan Item FaktorMengelola Emosi ... 69

Tabel 3.11 Muatan Item FaktorMemotivasi Diri ... 70

Tabel 3.11 Muatan Item FaktorMengenali Emosi Orang lain ... 71

Tabel 3.11 Muatan Item FaktorKeterampilan Sosial ... 72

Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 77

Tabel 4.2 Hasil analisis deskriptif ... 78

Tabel 4.3 Pedoman Interpretasi Skor ... 79

Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Perilaku Prososial ... 80

Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Self-Esteem ... 80


(14)

xiv

Tabel 4.7 Kategorisasi Skor Values ... 81

Tabel 4.8 Kategorisasi Skor Aspiration ... 82

Tabel 4.9 Kategorisasi Skor Defenses ... 82

Tabel 4.10 Kategorisasi Skor Kecerdasan Emosi ... 83

Tabel 4.11 Kategorisasi Skor Mengenali Emosi Sendiri ... 83

Tabel 4.12 Kategorisasi Skor Mengelola Emosi ... 84

Tabel 4.13 Kategorisasi Skor Memotivasi Diri ... 84

Tabel 4.14 Kategorisasi Skor Mengenali Emosi Orang Lain ... 85

Tabel 4.15 Kategorisasi Skor Keterampilan Sosial ... 85

Tabel 4.16 Tabel R-Square ... 86

Tabel 4.17 Hasil Uji Anova ... 87

Tabel 4.18 Hasil Uji Koefisien Regresi ... 88


(15)

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Surat Izin Penelitian

Lampiran 2: Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Lampiran 3: Alat Ukur Penelitian

Lampiran 4: Syntax


(17)

1

Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

1.1. Latar Belakang Masalah.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dimuka bumi ini sebagai makhluk sosial. Artinya, manusia tidak dapat untuk hidup sendiri karena sebagian besar dari aktifitas dalam kehidupannya, melibatkan interaksi dengan orang lain. Oleh karena itu, agar tercipta interaksi yang baik, beberapa dari tindakan manusia, cenderung mengarah kepada kepentingan masyarakat (bersama), seperti membantu, menolong berderma dan lainnya (Walgito, 2008). Dalam psikologi perilaku tersebut dinamakan perilaku prososial.

Perilaku prososial menurut Eisenberg (1989) adalah tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk memberikan keuntungan pada individu atau sekelompok individu. Perilaku prososial ini meliputi aspek seperti menyumbang (donating), bekerjasama (cooperating), memberi (giving), menolong (helping), simpati (sympathy) dan altruism (Wispe dalam Zanden, 1984). Dalam Islam, aspek perilaku prososial tercermin dalam himbauan: “Tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam perbuatan dosa” (QS. Almaidah; 2). Hal tersebut bisa bisa diartikan bahwa orang yang melakukan perilaku prososial dicirikan dengan mereka yang selalu mengerjakan amal sholeh.


(18)

2

Dalam bermasyarakat, perilaku prososial sangatlah penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan kodusif sesuai dengan harapan warganya. Adapun manfaat lainnya adalah dapat meminimalisir kejadian-kejadian negatif seperti tawuran dan tindak kriminal yang lain. Begitu besarnya manfaat dari perilaku prososial hingga Allah SWT memberikan pahala pada mereka yang hanya menyerukan kebaikan namun tidak melakukannya. Hal tersebut menurut Nawawi (2014) tertera dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Muslim yang artinya sebagai berikut. “Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan, maka baginya pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. (Hr. Muslim)”

Tetapi, sebuah penelitian mengemukakan bahwa budaya gotong royong dan tolong menolong, serta solidaritas sosial pada masyarakat sekarang ini cendrung menurun (Setiadi, dalam Hartati, 1997). Hal tersebut disebabkan banyak individu yang sekarang ini sibuk dan terpaku pada kepentingan pribadinya masing-masing. Sehingga kepedulian terhadap lingkungan sekarang ini menipis (Yusuf & Listiara, 2012).

Menurunya perilaku prososial, menurut Sabiq dan Djalali (2012) bukan hanya dirasakan di masyarakat umum, akan tetapi juga merambah ke dunia pesantren. Terlebih pada santri yang masuk kedalam pusaran modernitas dan kehidupan hedonis. Lambat laun, etika yang dimiliki santri tersebut pudar. Dampaknya adalah membuat perilaku prososial yang dimiliki santri menjadi menurun (Mun’im, dalam Sabiq & Djalali, 2012).


(19)

Senada dengan pernyataan diatas, hasil wawancara peneliti kepada salah seorang ustadzah salah satu pesantren di Parung, pada tanggal 12 November 2013 juga menyatakan bahwa kepedulian santri saat ini menurun drastis dari sebelumnya. Misalnya, jika terdapat santri yang sakit, mereka hanya memantau kondisinya, tidak lebih dari itu perhatiannya, seperti mengambilkan makanan untuk santri yang sakit ataupun sekedar menemaninya.

Fenomena tersebut diperkuat pula oleh hasil wawancara pada lima orang santri Pondok Pesantren Daarul Rahman pada tanggal 24 November 2013. Diketahui bahwa masih ada diantara santri di pondok tersebut yang kurang peduli dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Dari hasil observasi peneliti yang lakukan juga terlihat bahwa masih ada beberapa santri yang terlihat acuh terhadap teman lainnya, dan fokus pada kelompoknya sendiri.

Menurunya perilaku prososial di pesantren sebenarnya bisa diminamalisir, karena pesantren merupakan salah satu tempat untuk meningkatkan perilaku prososial pada remaja sebagai peserta didiknya. Hal tersebut karena santri dibiasakan hidup bersama-sama, yang mengharuskan mereka untuk saling berbagi dan peduli. Pembiasaan diri pada santri seperti itu akan membentuk mental kebersamaan, gotong royong, dan jiwa sosial (Asy’ari, 1996).

Kondisi menurunnya perilaku prososial tersebut, memang bukan hanya tanggung jawab satu pihak tertentu saja, misalnya pembina santri. Sebab ada banyak faktor yang akan mempengaruhi tampil atau tidaknya perilaku prososial, seperti, kehadiran orang lain, kondisi lingkungan, desakan waktu dan lainnya (Taylor, Peplau & Sears, 2009). Selain itu, menurut Eisenberg, Fabes, dan Spinrad


(20)

4

(2006) faktor internal seperti asertif, emosi, religiusitas, self-esteem, dan norma-norma juga berpengaruh signifikan terhadap perilaku prososial.

Dari pernyataan di atas, menurut hemat penulis, jika santri dipondok sudah dibiasakan untuk memiliki sifat gotong royong, dan bersosialisasi, namun masih terdapat perilaku santri yang cuek, egois, dan tidak melakukan perilaku prososial, hal tersebut merupakan faktor dari santri itu sendiri. Alasan inilah yang mendorong peneliti lebih menfokuskan penelitian perilaku prososial pada faktor-faktor internal daripada faktor-faktor eksternal.

Harga diri atau yang sering disebut self-esteem menjadi salah satu faktor internal dalam meningkatkan perilaku prososial. Dalam hal ini, Staub (2003) melihat bahwa tingginya self-esteem akan membuat seseorang merasa superioritas, dan saat itu, mereka akan lebih mampu menekan agressivitas agar terhindar dari prilaku antisosial. Jika self-esteem rendah, seseorang tidak akan merasa nyaman dan selalu melindungi dirinya sendiri sehingga sangat mudah terpengaruh oleh prilaku yang tidak baik.

Senada dengan pernyataan diatas, Sweson dan Prelow (2005), dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa orang yang memiliki self-esteem tinggi, akan mampu mengatasi masalah-masalah perilaku seperti depresi, kenakalan remaja dan lainnya. Penemuan tersebut didukung oleh pernyataan Adimo dan Retnowati (dalam Asia, 2008) yang mengemukakan bahwa self-esteem berpengaruh terhadap sikap remaja dalam kehidupan sehari-hari. Remaja dengan self-esteem rendah cenderung bersikap negatif dalam perilakunya dan merasa tidak dihargai, tidak diterima dan diperlakukan kurang baik oleh orang lain.


(21)

Sebaliknya remaja dengan harga diri tinggi cendrung bersikap positif dalam perilakunya. Self esteem diartikan sebagai nilai yang ditempatkan pada diri sendiri. Penilian diri tersebut didasarkan atas nilai sebagai manusia berdasarkan persetujuan atau penolakan dari diri dan perilaku (Minchinton, 1995). Sedangkan menurut Coopersmith (1990) self-esteem adalah evaluasi yang dibuat individu dan biasanya berhubungan dengan penghargaan terhadap dirinya.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Leary dan MacDonald (dalam Mruk, 2006) hasilnya mendukung hubungan antara self-esteem dengan berbagai fenomena interpersonal positif. Misalnya self-esteem tinggi berhubungan dengan perilaku prososial seperti, menjunjung nilai-nilai moral atau standar kesehatan. Penelitian lainnya yang dilakukan Srimanjaya (2007) tentang hubungan antara orientasi keagamaan dan harga diri dengan perilaku prososial, juga menyimpulkan bahwa harga diri memberikan kontribusi sebesar 28,479 % terhadap perilaku prososial.

Faktor lain yang mempengaruhi perilaku prososial adalah emosi seseorang. Seperti yang dikutip dari Baron, Byrne, Brascombe (dalam Sarwono, 2009) menyatakan bahwa emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya untuk menolong. Wang dan Ahmad (dalam Vembriamma, 2010) menyatakan bahwa emosi seseorang erat sekali kaitannya dengan kecerdasan emosi. Karena pada dasarnya emosi (seperti, marah, bahagia, & sedih) sudah dimiliki tiap manusia sejak lahir. Namun kecerdasan emosilah yang mampu mengontrolnya agar tidak menimbulkan kerugian pada orang lain. Oleh sebab itulah kecerdasan


(22)

6

emosi sangat penting untuk mengontrol emosi agar merespon dengan benar emosinya untuk orang lain, sehingga emosinya selalu positif.

Pernyataan diatas diperkuat oleh penelitian Rosenhan, Moore dan Underwood, (dalam Feldman, 1985) yang mengungkap bahwa orang dengan suasana hati yang baik akan lebih mungkin untuk membantu dari pada mereka yang berada di mood negatif. Itulah sebabnya peneliti dalam penelitian ini berfokus pada kecerdasan emosi. Adapun kecerdasan emosi meliputi, kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain (Goleman, 1998).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vembriamma (2010) terhadap karyawan PT telkom menunjukkan hasil bahwa kecerdasan emosi berpengaruh terhadap perilaku prososial sebesar 21, 8 % dan sisanya 78, 2 % dipengaruhi faktor lain diluar kecerdasan emosi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rudyanto (2010) juga menunjukkan hasil bahwa kecerdasan emosi memiliki korelasi yang cukup kuat terhadap perilaku prososial.

Selain beberapa faktor yang telah dikemukakan di atas, faktor usia dan jenis kelamin juga berpengaruh terhadap perilaku prososial. Caprara dan Steca (2005) dalam penelitiannya terhadap kelompok usia yang berbeda antara usia 20 hingga di atas 65 tahun, menemukan bahwa semakin dewasa seseorang akan lebih menolong daripada yang masih anak-anak dan remaja. Hal tersebut karena pada orang dewasa lebih bersungguh-sungguh dalam membantu orang lain. (Bengston


(23)

1985; Kahana & Midlarsky, 1983;Midlarsky & Hannah, 1989, dalam Caprara & Steca, 2005).

Dari penelitian Carpara dan Steca (2005) juga membuktikan bahwa perempuan lebih tinggi tingkat prososialnya daripada laki-laki. Hasil tersebut, sejalan dengan penelitian Eisenberg (dalam Bierhoff, 2002) yang menyatakan bahwa wanita lebih memiliki rasa menolong yang tinggi dari pada laki-laki.Itu disebabkan karena wanita lebih memiliki rasa empati yang tinggi daripada laki-laki. Namun hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian Afolaby (2003), menurutnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam proses perilaku prososial.

Dari uraian di atas, peneliti ingin mengkaji sejauh mana pengaruh self-esteem dan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial khususnya pada santri. Penelitian ini akan dilakukan di Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta, karena pesantren tersebut berada di tengah kota Jakarta, dan letaknya berdampingan dengan mall dan gedung bertingkat, suatu lingkungan yang dapat memicu meningkatnya sikap hedonis dan individualis para santri. Padahal menurut Taylor Peplau dan Sears (2009) kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku prososial.

Selain itu sebagian besar santri di sana berusia remaja. Usia remaja merupakan usia peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa, sehingga banyak perubahan yang berkembang pesat dalam diri mereka. Seperti perubahan fisik yang pesat, begitu juga pada perilaku dan sikap (Hurlock, 1996).


(24)

8

Dengan pemaparan di atas, maka peneliti melakukan penelitian lebih mendalam untuk tugas skripsi dengan judul “Pengaruh self-esteem dan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial pada santri di Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta.”

1. 2 Pembatasan dan Perumusan masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah

Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku prososial. Namun masalah utama yang menjadi fokus penelitian ini adalah pengaruh self-esteem dan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial pada santri Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta, yang pengertiannya sebagai berikut:

1. Self-esteem yang dimaksud dalam penelitian ini adalah evaluasi yang dibuat individu dan biasanya berhubungan dengan penghargaan terhadap dirinya. Dalam penelitian ini merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Coopersmith (1990) yang dimensinya meliputi successes, values, aspiration, defenses.

2. Kecerdasan emosi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, serta mampu mengontrolnya dengan baik. Dalam penelitian ini merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Goleman (1998) yang dimensinya meliputi mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, keterampilan membina hubungan.

3. Perilaku prososial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan menolong yang dilakukan secara sukarela untuk menolong dan memberikan manfaat kepada orang lain. Dalam penelitian ini merujuk pada Carlo dan Randall


(25)

(2002) yang dimensinya meliputi altruism, compliant, emotional, public, anonymous dan dire.

4. Faktor demografi dalam penelitian ini adalah usia dan jenis kelamin.

5. Subjek dalam penelitian ini adalah santri kelas satu hingga kelas lima Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta yang masih aktif mengikuti kegiatan belajar baik tingkat tsanawiyah maupun aliyah pada tahun pelajaran 2013 – 2014.

1.2.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah ada pengaruh yang signifikan self-esteem dan kecerdasan emosi

terhadap perilaku prososial pada santri Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta?

2. Apakah ada pengaruh Apakah ada pengaruh yang signifikan self-esteem terhadap perilaku prososial pada santri Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta?

3. Apakah ada pengaruh yang signifikan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial pada santri Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta?

4. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi self-esteem (successes, values, aspirations, defenses), dimensi kecerdasan emosi (mengenali emosi sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, keterampilan sosial), usia dan jenis kelamin terhadap perilaku prososial pada santri Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta?


(26)

10

1. 3 Tujuan dan Manfaat penelitian

1. 3. 1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data seberapa besar pengaruh self-esteem dan kecerdasan emosi serta variabel demografi yaitu usia dan jenis kelamin terhadap perilaku prososial pada santri.

Selain itu juga untuk memperoleh data seberapa besar sumbangan aspek-aspek self-esteem (success, values, aspiration, defenses) dan aspek kecerdasan emosi (mengenali emosi sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri, kemampuan mengenal emosi orang lain, keterampilan sosial) serta usia dan jenis kelamin terhadap perilaku prososial.

1.3.2 Manfaat Penelitian 1.3.2.1 Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah diharapkan menambah wacana dalam ilmu psikologi pendidikan. Selain itu juga dapat diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang secara umum berhubungan dengan perilaku prososial khususnya pada santri.

1.3.2.2 Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai referensi yang dapat digunakanoleh pembaca khususnya dan masyarakat luas dalam upaya meningkatkan perilaku prososial pada remaja terutama pada santri agar dapat menyesuaiakan diri dengan baik selama berada di pondok. Selain itu sebagai masukan pada santri agar dapat mengoptimalkan perilaku prososial dalam kehidupan sehari-hari.


(27)

1. 4 SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika dalam penulisan ini mengacu pada pedoman penyusunan dan penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Penulisan ini dibagi menjadi beberapa bahasan yang dijabarkan berikut ini.

BAB 1 : Pendahuluan

Bab ini berisi uraian mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, dan sistematika penelitian.

BAB 2 : Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi uraian teoritik mengenai variabel-variabel yang hendak diteliti di antaranya perilaku prososial, self-esteem dan kecerdasan emosi. Dilengkapi dengan kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.

BAB 3 : Metodologi Penelitian

Bab ini berisi uraian mengenai populasi dan sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, identifikasi variabel penelitian meliputi definisi konseptual dan operasional variabel, teknik pengumpulan data, uji validitas konstruk dan hasilnya, teknik analisis data, dan prosedur penelitian.

BAB 4 : Hasil Penelitian

Bab ini berisi mengenai hasil deskripsi data penelitian dan uji hipotesis. BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini berisi uraian kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi mengenai temuan-temuan dalam penelitian dan saran yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.


(28)

12 BAB 2 KAJIAN TEORI

Bab ini berisi uraian teoritik mengenai variabel-variabel yang hendak diteliti yaitu perilaku prososial, self-esteem dan kecerdasan emosi. Dilengkapi dengan kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.

2.1. Perilaku Prososial

2.1.1. Definisi Perilaku Prososial

Menurut Feldman (1985) perilaku prososial adalah “Behavior that benefit other people”. Yang dimaknai sebagai “menolong atau perilaku yang menguntungkan orang lain”.

Eisenberg dan Mussen (1989) juga mendefinisikan perilaku prososial sebagai “voluntary actions that are intended to help or benefit another individual or group of individuals.”Perilaku prososial merujuk pada suatu tindakan yang dilakukan secara sukarela untuk menolong atau memberikan manfaat bagi individu atau kelompok yang lain.

Sedangkan Daux & Wrightmans (1993) mendefinisikan perilaku prososial sebagai: “Behavior that benefit other or has positive social consequence”. Artinya perilaku prososial adalah perilaku mengutungkan orang lain atau memiliki konsekuensi sosial yang positif.

Selain itu, tokoh lain, seperti Bierhoff (2002) mendefinisikan perilaku prososial sebagai “Narrower, in that the action is intended to improve the situation of the help-recipent, the actor is not motive by the fulfillment of


(29)

professional of the help recipient is a person and not an organization.”Artinya perilaku prososial secara sempit, sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan pihak penerima pertolongan, sementara itu si pelaku (penolong) tidak didorong oleh adanya pemenuhan kewajiban secara professional dan pihak penerima pertolongan adalah individu dan bukan kelompok.

Baron & Byrne (2005) mendefinisikan perilaku prososial sebagai suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung kepada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.

Dari beberapa pemaparan definisi perilaku prososial, sebagai acuan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi yang dikemukakan oleh Eisenberg (1989) yang mengemukakan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sukarela untuk menolong atau memberikan manfaat bagi individu atau kelompok.

2.1.2. Dimensi-dimensi perilaku prososial

Dimensi prososial ini mengacu pada teori Eienberg (1989), yang salah satu pengukurannya dikembangkan oleh Carlo dan Randall (2002).Menurutnya, ada enam subskala dari perilaku prososial ini yaitu, altruism, compliant, emotional, public, anonimus dan dire. Dengan merujuk pada Carlo dan Randall (2002), masing-masing subskala perilaku prososial,akan dijabarkan singkat sebagai berikut.


(30)

14

1. Altruisme

Perilaku prososial altruistic didefinisikan sebagai perilaku sukarela untuk menolong orang lain, didasarkan motivasi utama yaitu adanya kebutuhan untuk menolong dan kepentingan untuk mensejahterakan orang lain, yang selalu diikuti dengan respon simpati dan norma internal/ prinsip yang konsisten untuk menolong orang lain.

2. Compliant

Perilaku prososial compliant didefinisikan sebagai permintaan menolong orang lain karena adanya permintaan verbal dan non-verbal. Perilaku prososial ini lebih sering dilakukan secara spontan.

3. Emotional

Perilaku prososial emotional adalah kecenderungan menolong orang lain atas dasar situasi emosional yang tinggi. Seperti misalnya remaja yang tangannya terluka, kemudian dia menangis dan mengeluarkan darah akan lebih menggugah emosi daripada mereka yang tangannya terluka tetapi tidak menunjukkan respon apapun. Faktor lain, seperti hubungan kekerabatan juga mampu menggugah respon emosional orang yang mengamati.

4. Public

Perilaku prososial yang dilakukan di depan orang lain yang dimotivasi dengan keinginan untuk mendapatkan penerimaan dan penghormatan dari orang lain.


(31)

5. Anonymous

Perilaku prososial anonymous didefinisikan sebagai tindakan menolong yang ditunjukan tanpa diketahui oleh orang yang telah diberikan pertolongan.

6. Dire

Perilaku prososial dire perilaku menolong yang ditunjukkan seseorang diantara situasi krisis atau keadaan darurat.

Dari ke-enam dimensi tersebut, semua akan ikut diteliti sebagai dimensi varibel perilaku prososial.

2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial

Menurut Sears, dkk (1994) terdapat tiga faktor yang mendasari seseorang berperilaku prososial. Beberapa faktor tersebut, terbagi menjadi tiga yaitu, karakteristik situasi, karakteristik penolong dan juga karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan. Ketiga faktor tersebut, akan dijabarkan sebagai berikut :

1. Karakter Situasi. Situasi menjadi faktor yang akan menunjang seseorang dalam melakukan perilaku prososial. Sears (1994) menyatakan, orang yang altruis sekalipun, cenderung tidak menolong, dalam situasi tertentu. Maka itulah, karakteristik situasi sangat penting dalam menunjang perilaku prososial. Karakteristik situasi ini, meliputi kehadiran orang lain, kondisi lingkungan, dan tekanan akibat keterbatasan waktu. Adapun penjelasannya akan dipaparkan seperti di bawah ini:

A ) Kehadiran orang lain di sekitar cukup berpengaruh dalam prilaku prososial ini. Hal tersebut, didasari atas adanya anggapan bahwa dengan kehadiran


(32)

16

banyak orang, menjadi alasan untuk tiada usaha memberikan pertolongan. Keadaan tersebut, dipengaruhi oleh adanya peyebaran tanggung jawab, adanya reaksi dari penonton lain, serta rasa takut dinilai

1. Penyebaran Tanggung Jawab. Timbul karena kehadiran orang lain. Bila hanya ada satu orang yang menyaksikan korban yang mengalami kesulitan, maka orang itu mempunyai tanggung jawab untuk memberikan reaksi terhadap situasi tersebut dan akan menanggung rasa salah dan rasa sesal bila tidak bertindak. Bila terdapat orang lain yang juga muncul untuk memberikan pertolongan, maka tanggung jawab akan terbagi.

2. Perilaku penonton yang lain dapat mempengaruhi bagaimana menginterpretasikan situasi dan bagaimana reaksi. Jika orang lain mengabaikan suatu situasi atau memberikan reaksi seolah-olah tidak terjadi apa-apa, sehingga seseorang beranggapan tidak ada keadaan darurat.

3. Rasa takut dinilai. Bila mengetahui bahwa orang lain memperhatikan perilaku, mungkin berusaha melakukan apa yang menurut diharapkan oleh orang lain dan memberikan kesan yang baik (Baumeister, dalam Sears 1994). Rasa takut dinilai dalam efek penonton memungkinkan terjadi, hal ini disebabkan adanya kekhawatiran, karena adanya bystander (pengamat) dan timbulnya pertimbangan. Misalnya rasa takut akan salah jika memberikan


(33)

bantuan, rasa takut dinilai menjadi pusat perhatian penonton yang lain dan menimbulkan rasa malu.

B) Kondisi lingkungan. Sears (1994) menyatakan bahwa, orang yang lebih senang apabila menolong seseorang jika cuaca cerah, dan pada siang hari, daripada menolong pada saat gelap dan cuaca dingin. Kondisi lingkungan ini, dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu, cuaca, ukuran kota, dan kebisingan

a ) Cuaca. Orang cenderung membantu bila hari cerah dan bila suhu udara cukup menyenangkan. (relatif hangat di musim dingin dan relatif sejuk di musim panas).

b) Ukuran kota. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ukuran kota menimbulkan perbedaan dalam usaha menolong orang asing yang mengalami kesulitan. Persentase orang yang menolong lebih besar di kota kecil daripada di kota besar.

c) Kebisingan. Faktor lingkungan lainnya yang mempengaruhi perilaku prososial adalah kebisingan. Para peneliti menyatakan bahwa suara bising yang keras menyebabkan orang mengabaikan orang lain di sekitarnya dan memotivasi mereka meninggalkan situasi tersebut secepatnya. Sehingga menciptakan penonton yang tidak suka menolong.

C) Tekanan keterbatasan waktu. Bagi beberapa orang, keterbatasan waktu akan mempengaruhi perilaku prososial.Terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Darley dan Batson (dalam Sears, 1994) menyebutkan


(34)

18

bahwa seseorang yang tergesa-gesa memiliki kecendrungan untuk menolong yang lebih kecil daripada mereka yang memiliki banyak waktu luang. Oleh karena itu, keterbatasan waktu, juga menjadi hal yang yang tidak bisa terlepas dari karakteristik situasi.

2. Karakterisitik penolong. Faktor situasional dapat mempengaruhi orang untuk melakukan tindakan prososial. Tetapi ada faktor penting lainnya yang mendorong seseorang untuk menolong, yaitu faktor dari dalam diri orang tersebut. Faktor tersebut menurut Sears (1994), dapat dikelompokkan menjadi, faktor kepribadian, faktor suasana hati, faktor rasa bersalah, faktor distress diri dan faktor rasa empatik.

1) Faktor kepribadian. Dalam beberapa jenis situasi dan tidak dalam situasi yang lain. Kepribadian tertentu mendorong orang untuk memberikan pertolongan

2) Suasana hati. Ada sejumlah bukti bahwa orang lebih terdorong untuk memberikan bantuan bila mereka dalam suasana hati yang baik. Misalnya, orang akan lebih cenderung menolong bila berhasil melaksanakan tugas eksperimental (Isen, dalam Sears, 1994), perasaan positif yang dapat meningkatkan ketersediaan untuk melakkukan tindakan prososial.

3). Rasa bersalah. Keadaan psikologis yang mempunyai relevansi khusus dengan perilaku prososial adalah rasa bersalah, perasaan gelisah yang timbul bila kita melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Keinginan untuk mengurangi rasa bersalah bisa


(35)

menyebabkan kita menolong orang yang kita rugikan, atau berusaha menghilangkannya dengan melakukan “tindakan yang

baik”. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa rasa bersalah yang

timbul meningkatkan kebersediaan untuk menolong (Cunningham, dalam Sears, 1994).

4). Distres diri dan rasa empatik. Distres diri adalah reaksi pribadi kita terhadap penderitaan orang lain, perasaan terkejut, cemas, prihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang kita alami. Sebaliknya yang dimaksud rasa atau sikap empatik (emphatic concern) adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagai pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Perbedaan utamanya adalah bahwa penderitaan diri terfokus pada diri sendiri, sedangkan empatik terfokus pada korban.

3. Karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan. Dalam menolong seseorang, penolong biasanya akan tetap memilih siapa saja yang patut untuk ditolong. Karena dengan keterbatasan fisik dan materi orang yang menolong, maka tidak semua orang yang menurutnya membutuhkan bantuan dapat dibantu. Oleh karenanya, karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan menjadi salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan perilaku prososial.


(36)

20

a) Menolong orang yang disukai.

Daya tarik fisik dalam beberapa situasi akan memungkinan seseorang untuk membantu. Selain daya tarik fisik, faktor kesamaan juga mendorong seseorang untuk dapat membantu orang lain, seperti berasal dari daerah yang sama daripada orang asing.

b) Menolong orang yang pantas ditolong.

Seseorang pasti akan memprioritaskan untuk menolong orang-orang yang sangat membutuhkan pertolongan dan keadaannya mendesak. Misalnya seorang mahasiswa akan lebih mudah meminjamkan uang kepada temannya yang kehabisan uang karena sakit daripada kepada mereka yang kehabisan uang karena kemalasannya (Mayer & Mulherin dalam sears, 1994).

Faktor-faktor perilaku prososial juga dijelaskan oleh Baron dan Byrne (2005) dengan membagi faktor-faktor perilaku prososial menjadi 3 bagian, yaitu, faktor situasional, motivasi dan moralitas, keadaan emosional serta empati.

1. Faktor situasional. Menurut Baron dan Byrne (2005) faktor situasional ini, dibagi menjadi 3 yaitu, daya tarik, atribusi dan model-model prososial.

a. Daya tarik (menolong mereka yang anda sukai)

Faktor yang mendorong sesorang menolong paling penting adalah sejauh mana individu mengevaluasi korban secara positif (daya tarik). Sesorang cenderung akan menolong jika seseorang yang membutuhkan pertolongan menarik di mata orang yang hendak menolong.


(37)

b Atribusi

Atribusi yang dibuat oleh individu mengenai apakah korban bertanggung jawab atau tidak terhadap hal yang menimpanya. Dalam hal ini, penolong akan melihat, sejauh mana korban atau orang yang hendak ditolong, berusaha untuk keluar dari masalahnya. Jika orang tersebut sudah berusaha untuk menolong dirinya sendiri, namun belum mampu juga, maka orang tersebut akan lebih banyak mendapatkan pertolongan daripada orang yang tidak sama sekali berusaha untuk menyelesaikan masalahnya.

c. Model-model prososial

Pengalaman individu terhadap model-model prososial di masa sekarang maupun dimasa lampau. Sebagai contoh, dari model semacam itu terdapat pada suatu penelitian lapangan di mana seorang wanita muda (asisten peneliti) yang bannya kempes memarkirkan mobilnya disamping jalan. Para pengendara lebih banyak yang berhenti dan menolong wanita ini jika mereka sebelumnya telah melewati suatu situasi (sandiwara) dimana wanita lain yang mempunyai masalah dengan mobilnya terlihat menerima pertolongan.

2. Faktor Motivasi dan Moralitas

Batson dan Thompson (dalam Baron & Byrne, 2005) mengindikasikan bahwa ada tiga motif utama relevan ketika seseorang dihadapkan pada sebuah dilemma moral. Self-interest (kadang-kadang disebut egoisme (egoism)), moral integrity (integritas moral), dan moral hypocrisy. Bisa dikatakan faktor-faktor


(38)

22

tersebutlah yang membuat seseorang melakukan sesuatu terhadap orang lain, termasuk perilaku prososial.

a. Kepentingan pribadi (self-interest)

Orang-orang yang memiliki motif utama tidak dipusingkan oleh pertanyaan benar atau salah atau adil, mereka hanya melakukan yang terbaik bagi diri mereka sendiri.

b. Integritas moral (moral integrity)

Bagi mereka yang termotivasi oleh integritas moral, pertimbangan akan kebajikan dan keadilan seringkali membutuhkan sejumlah pengorbanan terkait kepentingan pribadiuntuk melakukan “hal yang benar”.

c. Hiprokisi Moral (moral hyprocisy)

Individu pada kategori ini didorong oleh kepentingan tapi juga mempertimbangkan penampilan luar mereka. Kombinasi ini berarti bahwa penting bagi mereka untuk terlihat peduli dalam melakukan hal yang benar, sementara mereka sebenarnya tetap mengutamakan kepentingan-kepentingan mereka pribadi.

3. Faktor Keadaan Emosional

Kondisi hati yang baik akan meningkatkan peluang terjadinya tingkah laku menolong orang lain, sedangkan kondisi suasana hati yang tidak baik akan menghambat tindakan tersebut. Terdapat banyak bukti yang mendukung asumsi ini (Forgas dalam Baron & Byrne, 2005).


(39)

4. Empati

Minat seseorang untuk menolong seseorang berbeda-beda, motif altruistic tersebut yang berdasarkan pada empati pada masing-masing individu (Clary & Orenstein, Grusec dalam Baron, 2005).

Sedangkan Sarwono (2009) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku prososial bisa dipicu oleh faktor dari luar dan dari dalam diri seseorang.

1. Faktor luar/ Pengaruh situasi a. Bystanders

Menurut penelitian Darley dan Latane (1996) kehadiran orang sekitar berpengaruh pada perilaku menolong atau tidak menolong adalah adanya orang lain yang kebetulan bersama kita di tempat kejadian (Bystanders). Semakin banyak oramg lain semalin kecil kemungkinan untuk menolong dan sebaliknya orang yang sendirian cenderung untuk menolong.

b. Daya tarik

Sejauh mana seseorang memandang korban (orang yang membutuhkan pertolongan) dengan positif, akan mempengaruhi kesediaan penolong untuk memberikan bantuan. Faktor daya tarik yang akan dapat meningkatkan meningkatkan terjadinya respon untuk menolong., diantaranya adalah memiliki penampilan menarik, memiliki kesamaan baik dalam hal yang disukai ataupun kesamaan sifat.


(40)

24

c. Atribusi terhadap korban

Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang apabila ketidak beruntungan korban adalah di luar kendali korban, maksudnya orang tersebut kesulitan bukan karena kesalahannya tetapi itu karena musibah yang menimpanya. Misal seseorang akan lebih menolong orang yang kehabisan uang karena terkena bencana dibandingkan dengan orang yang kalah berjudi.

d. Ada model

Pada teori pembelajaran sosial dijelaskan bahwa, adanya model yang melakukan tingkah laku menolong akan dapat mendorong seseorang untuk memberikan pertolongan pada orang lain.

e. Desakan waktu

Biasanya orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung untuk tidak menolong daripada orang yang memiliki waktu lebih banyak.

2. Faktor dari dalam diri a. Suasana hati (mood)

Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecendrungannya untuk untuk menolong. Sarwono (2002) juga menjelaskan bahwa perasaan dalam diri seseorang dapat mempengaruhi perilaku menolong. Kurang ada konsistensi dalam hal pengaruh perasaan negatif (sedih, kecewa) terhadap perilaku prososial. Perasaan negatif pada anak akan menghambatnya melakukan perilaku menolong tetapi pada orang dewasa akan mendorongnya melakukan perilaku menolong karena mereka telah


(41)

merasakan menfaat dari perilaku menolong untuk mengurangi perasaan negatif sedangkan pada anak-anak belum ada kemampuan seperti itu. Akan tetapi jika perasaan negatif itu terlalu mendalam (misalnya, karena kematian anggota keluarga), dampaknya pada orang dewasa adalah juga menghambat perilaku prososial. Pada saat itu mereka lebih fokus pada dirinya sendiri dan tidak mau memikirkan orang lain. Lain halnya, dengan perasaan positif, pada saat itu, mereka lebih konsisten untuk menolong orang lain.

b. Faktor sifat

Penelitian Karremans (dalam Sarwono, 2009) membuktikan bahwa orang yang memiliki sifat pemaaf akan memiliki kecendrungan untuk mudah menolong. Orang yang memiliki pemantauan diri (self monitoring) yang tinggi juga cenderung lebih penolong, karena dengan penolong ia akan memiliki penghargaan sosial yang tinggi (White & Gerstein, dalam Sarwono, 2009). Bierhoff, Klein dan Kramp (dalam Sarwono, 2002) mengemukakan faktor-faktor dalam diri yang menyusun kepribadian altruistik, yaitu adanya empati, kepercayaan pada dunia yang adil, rasa tanggung jawab sosial, memiliki internal locus of control, dan egosentrisme yang rendah.

c. Jenis kelamin

Peranan gender seseorang untuk menolong sangat bergantung pada situasi dan kondisi. Laki-laki cenderung lebih mau terlibat dalam aktifitas menolong pada situasi darurat yang membahayakan, misalnya menolong


(42)

26

seseorang dalam kebakaran. Hal ini tampaknya terkait dengan peran tradisonal laki-laki yang dipandang lebih kuat dari perempuan karena mempunyai keterampilan untuk melindungi. Sementara perempuan, lebih tampil menolong pada situasi yang bersifat member dukungan emosi, mengasuh dan merawat.

Selain tiga tokoh di atas, Eisenberg, Tracy dan Fabes (2006) juga mengungkapkan bahwa terdapat aspek-aspek kepribadian yang mempengaruhi perilaku prososial, seperti misalnya, tempramen, emosi, asertif, self esteem, self-efficacy, agama, nilai-nilai dan tujuan. Menurutnya beberapa aspek kepribadian tersebut berhubungan dengan faktor genetik seseorang. Faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku prososial juga ditemukan oleh Caprara dan Steca (2005), menurutnya jenis kelamin dan usia juga berpengaruh terhadap perilaku prososial. Beberapa faktor tersebut, ada yang berasal dari internal dan maupun eksternal. Dalam penelitian ini, faktor yang ingin diteliti berfokus pada faktor internal yaitu pada, self- esteem, kecerdasan emosi, jenis kelamin serta usia. 2.1.4. Pengukuran perilaku prososial

Ada beberapa alat ukur yang bisa digunakan untuk perilaku prososial diantaranya yaitu :

1. Prosocial Personality Battery (PSB) yang dikembangkan oleh Panner (1995). Alat ukur ini dirancang secara baik untuk mengukur seberapa baik individu dalam berprilaku prososial, dengan dimensinya yang diukur adalah, tanggung jawab, empati, penalaran moral, dan membantu dengan menggunakan questionare model likert yang memiliki 56 item pernyataan dan masing-masing


(43)

dimensi memiliki nilai alpha ≥ 0.50 yang membuktikan reabilitas per dimensi hasilnya bagus.

2. Prosocial tendencies measure (PTM) yang dikembangkan oleh Carlo, Gustave dan Randall (2002). PTM ini dirancang untuk anak usia anak-anak akhir dengan 23 item pernyataan berbentuk likert dengan tes reabilitas alpha sebesar 0.62. Variabel yang diukur pada PTM ini adalah altruis, compliant, emotional, public, anonymous dan dire.

Pada penelitian ini, alat ukur yang digunakan mengadaptasi dari alat ukur prosocial tendencies measure yang dikembangkan oleh Carlo, Gustave dan Randall (2002)karena memiliki rebilitas yang tinggi dan sesuai dengan kebutuhan penelitian yang mencangkup altruis, compliant, emotional, public, anonymous dan dire.

2.2. Self-esteem

2.2.1. Definisi Self-esteem

Definisi self-esteem menurut Coopersmith (1990) adalah suatu evaluasi yang dibentuk berdasarkan kebiasaan individu memandang dirinya terutama mengenai sikap menerima atau menolak dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuannya, keberartiannya, kesuksesannya, dan keberhargaan. Secara singkat self-esteem adalah “personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya.


(44)

28

Selanjutnya menurut Branden (1992) self-esteem adalah pengalaman bahwa kita cocok dengan dengan kehidupan ini dan dengan prasyarat dari kehidupan lebih spesifik lagi, self-esteem adalah:

1. Keyakinan dalam kemampuan untuk bertindak dan menghadapi tantangan hidup ini.

2. Keyakinan dalam hak kita untuk bahagia, perasaan berharga, layak, memungkinkan untuk menegaskan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan kita serta menikmati buah dari hasil kerja keras kita.

Kemudian menurut Minchinton (1993), self-esteem adalah sebagai penilaian terhadap diri sendiri dan merupakan tolak ukur harga diri kita sebagai seorang manusia, berdasarkan kemampuan penerimaan diri dan perilaku sendiri atau tidak. Dapat juga dideskripsikan sebagai penghormatan terhadap diri sendiri atau perasaan mengenai diri kita sebenarnya. Self-esteem bukan hanya sekedar aspek atau kualitas diri tetapi dengan pengertian yang lebih luas yang merupakan kombinasi yang berhubungan dengan karakter perilaku.

Selain itu, Baumeister (2005) juga mengartikan self-esteem sebagai berikut “self-esteem it is how people evaluate themselves. It’s synonyms include self -worth, self regard, self covidence and pride”.

Dari definisi diatas, dikatakan bahwa self-esteem adalah cara untuk mengevaluasi diri sendiri. Self-esteem ini disebut juga penilaian diri, penghargaan diri dan kebanggaan.Sedangkan menurut Rosenberg (dalam Murk, 2006) self-esteem merupakan sikap positif atau negatif terhadap objek tertentu yang disebut self.


(45)

Baron, Branscombe dan Byrne (2008) juga mendefinisikan self-esteem sebagai derajat dimana individu merasa dirinya positif atau negatif.

Berdasarkan pemaparan tentang definisi self-esteem diatas, peneliti menyimpulkan, bahwa self esteem adalah penilaian tentang diri sendiri (personal judgment) tentang kesuksesannya, keberartian dirinya yang kemudian diekspresikan dalam sikap individu terhadap dirinya. Pernyataan ini mengacu pada definisi self-esteem yang dikemukakan oleh Coopersmith (1990) bahwa self-esteem adalah evaluasi yang dibentuk berdasarkan kebiasaan individu memandang dirinya terutama mengenai sikap menerima atau menolak dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuannya, keberartiannya, kesuksesannya, dan keberhargaan. Secara singkat self-esteem adalah “personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya.

2.2.2. Dimensi Self-esteem

Coopersmith (1990) menyebutkan bahwa self-esteem terdiri dari empat dimensi yaitu Sucsesses, values, aspirations, defenses, yang masing-masing akan dijabarkan sebagai berikut.

1. Keberhasilan (Successes)

Successes atau keberhasilan adalah tingkat pencapaian yang tinggi, dengan tingkatan, dan tugas yang bervariasi untuk setiap individu.Pemaknaan yang berbeda-beda terhadap keberhasilan ini disebabkan oleh faktor individu dalam memandang kesuksesan dirinya dan juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi budaya yang memberikan nilai pada bentuk-bentuk tertentu dari kesuksesan.


(46)

30

Dalam situasi sosial tertentu, mungkin lebih memaknakan keberhasilan dalam bentuk kekayaaan, kekuasaan, penghormatan, independen dan kemandirian. Pada konteks sosial yang lain, lebih dikembangkan makna ketidakberhasilan dalam bentuk kemiskinan, ketidakberdayaan, penolakan, keterikatan pada suatu bentuk ikatan social dan ketergantungan. Hal ini tidak berarti bahwa individu dapat dengan mudahnya mengikuti nilai-nilai yang dikembangkan dimasyarakat mengenai keberhasilan, tetapi hendaknya dipahami bahwa masyarakat memiliki nilai-nilai tertentu mengenai apa yang dianggap berhasil atau gagal dan dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut oleh individu.

Terdapat empat tipe pengalaman berbeda yang mendefinisikan tentang keberhasilan. Setiap hal tersebut memberikan kreteria untuk mendefinisikan keberhasilan itu adalah area power, area significance, area competence dan area virtue. Adapun penjabaran mengenai empat keberhasilan tersebut akan di jelaskan sebagai berikut:

a) Keberhasilan dalam area power

Keberhasilan ini diukur oleh kemampuan individu untuk mempengaruhi aksinya dengan mengontrol tingkah lakunya sendiri dan mempengaruhi orang lain. Dalam situasi tertentu, power tersebut muncul melalui pengakuan dan penghargaan yang diterima oleh individu dari orang lain dan melalui kualitas penilaian terhadap pendapat-pendapat dan hak-haknya. Efek dari pengakuan tersebut adalah menumbuhkan perasaan penghargaan (sense of appreciation) terhadap pandangannya sendiri dan mampu melawan tekanan untuk


(47)

melakukan konformitas tanpa mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan dan pendapat-pendapatnya sendiri.

b) Keberhasilan dalam area significance

Keberhasilan ini diukur oleh adanya penerimaan, perhatian, dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh orang lain. Ekspresi dari penghargaan dan minat terhadap individu tersebut termasuk dalam pengertian penerimaan (acceptance) dan popularitas, yang merupakan kebalikan dari penolakan dan isolasi. Penerimaan ditandai dengan kehangatan, responsifitas, minat, dan menyukai individu apa adanya. Dampak utama dari masing-masing perlakuan dan kasih sayang tersebut adalah menumbuhkan perasaan berarti (tense of importance) dalam dirinya. Makin banyak orang menunjukkan kasih sayang, maka makin besar kemungkinan memiliki penilaian diri yang baik.

c) Keberhasilan dalam area competence

Keberhasilan ini ditandai oleh tingkat pencapaian yang tinggi, dengan tingkatan, dan tugas yang bervariasi untuk tiap kelompok usia. White (dalam Coopersmith, 1990) menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman seorang anak mulai dari masa bayi yang diberikan secara biologis dan rasa mampu (sense of efficacy) yang memberikannya kesenangan, membawanya untuk selalu berhadapan dengan lingkungan dan menjadi dasar bagi pengembangan motivasi instrinsik untuk mencapai kompetensi yang lebih tinggi lagi.

White (dalam Coopersmith, 1990) menekankan pentingnya aktivitas spontan pada seorang anak dalam menumbuhkan perasaan mampu (feeling of efficacy) dan pengalaman-pengalaman dalam pencapaian kemandirian dapat


(48)

32

sangat memberikan penguatan terhadap nilai-nilai personalnya dan tidak tergantung pada kekuatan-kekuatan di luar dirinya.

d) Keberhasilan dalam area virtue

Menurut Coopersmith (1990) keberhasilan ini ditandai oleh tingkah laku patuh pada kode etik, moral dan prinsip-prinsip agama. Orang yang mematuhi kode etik, agama dan kemudian menginternalisasikannya, menampilkan sikap diri yang positif dengan keberhasilan dalam pemenuhan terhadap tujuan-tujuan pengabdian terhadap nilai-nilai luhur. Perasaan berharga muncul diwarnai dengan sentimen-sentimen keadilan, kejujuran dan pemenuhan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual.

2. Nilai-nilai (values)

Setiap individu berbeda dalam memberikan pemaknaan terhadap keberhasilan yang ingin dicapai dalam beberapa area pengalaman dan perbedaan-perbedaan ini merupakan fungsi dari nilai-nilai yang diinternalisasikan dari orang tua dan figur-figur signifikan lainnya dalam hidup. Faktor-faktor seperti penerimaan (acceptance) dan respek dari orang tua merupakan sesuatu yang dapat memperkuat penerimaan nilai-nilai dari orang tua tersebut. Hal ini juga mengungkapkan bahwa kondisi-kondisi yang mempengaruhi pembentukan self-esteem akan berpengaruh pula dalam pembentukan nilai-nilai yang realistis dan stabil.

3. Aspirasi-aspirasi (Aspirations)

Menurut Coopersmith (1990), penilaian diri (self judgement) meliputi perbandingan antara performance dan kapasitas actual dengan aspirasi dan


(49)

standar personalnya. Jika standar tersebut tercapai, khususnya dalam area tingkah laku yang bernilai, maka individu akan menyimpulkan bahwa dirinya adalah orang yang berharga. Ada perbedaan esensial antara tujuan yang terikat secara sosial (public goals) dan tujuan yang bersifat self significant yang ditetapkan individu. Individu-individu yang berbeda tingkat self-esteemnya tidak akan berbeda dalam public goalnya, tetapi berbeda dalam personal ideals yang ditetapkan untuk dirinya sendiri. Individu dengan self-esteem tinggi menentukan tujuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan self-esteem yang lebih rendah.

4. Pertahanan (defenses)

Defenses adalah kemampuan untuk mengeliminir situmulus yang mencemaskan, mempu menjaga ketenangangan, dan mampu mengevaluasi diri dan tingkah lakunya efektif. Menurut Coopersmith (1990), beberapa pengalaman dapat merupakan sumber evaluasi diri yang positif, namun ada pula yang menghasilkan penilaian diri yang negatif. Kenyataan ini tidak akan mudah diamati dan diukur pada tipe individu. Kenyataan ini merupakan bahan mentah yang digunakan dalam membuat penilaian, interpretasi terhadapnya tidaklah senantiasa seragam. Interpretasi akan bervariasi sesuai dengan karakteristik individu dalam mengatasi distress dan situasi ambigu serta dengan tujuan dan harapan-harapannya.

Dari dimensi-dimensi yang telah dibahas diatas, maka keempatnya akan dijadikan dasar alat ukur dalam penelitian ini dan semua variabel tersebut akan ikut diteliti dalam penelitian ini sebagai independent variable.


(50)

34

2.2.3. Pengukuran Self-esteem

Beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur self-esteem, yaitu: 1. Rosenberg Self-esteem Scale (RSES) dikembangkan oleh Rosenberg. RSES

adalah instrument unidimensional mengenai self-esteem yang mengukur self-esteemse cara global dengan skala berjumlah 10 item dan memiliki interabilitas alpha sebesar 0.95 (Heatherton dan Wyland, 2002).

2. Self-esteem inventory dikembangkan oleh Minchinton (1993) yang terdiri atas 25 item dengan aspek-aspek yang diukur adalah perasaan mengenai diri sendiri, perasaan terhadap hidup, serta hubungan dengan orang lain dengan reabilitas alpha sebesar 0.877.

3. The Coopersmith Self-esteem Inventory sebuah instrumen yang dikembangkan oleh Coopersmith (1990) terdiri atas 50 item yang mengukur sikap terhadap diri sendiri dan memiliki skor alpha cronbachs dari hasil pengujian reabilitas sebesar 0.870. Dalam perkembangannya Coopersmith juga membuat alat ukur self-esteem untuk pelajar, dengan menciptakan The School Short-form Coopersmith Self-esteem Inventory pada tahun 1981 yang kemudian kembangkan oleh Hills, Francis dan Jennings (2011). Dimensi yang diukur adalah successes, values, aspiration, defenses yang terdiri atas 25 item pernyataan.

Alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan alat ukur The School Short-form Coopersmith Self-esteem Inventory yang dikembangkan oleh Coopersmith (2011) karena memiliki nilai reabilitas yang cukup tinggi dan juga


(51)

sesuai dengan kebutuhan penelitian yang mencangkup successes, values, aspiration, defenses.

2.3. Kecerdasan emosi

2. 3 1. Definisi kecerdasan emosi

Kecerdasan emosi menurut Salovey dan Mayor (1990) adalah sebagai berikut “Emotional intelligence as the subset of social intelligence that involves the ability to monitor one’s own and others feelings and emotions, to discriminate among them and to use this information to guide one’s thinking and action”. Yang memaknai kecerdasan emosi sebagai bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk memantau diri sendiri dan perasaan dan emosi orang lain, untuk membedakan di antara mereka dan digunakan sebagai informasi untuk menuntun pikiran dan tindakan menjadi satu.

Sedangkan menurut Goleman (1998) kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.

Baron (2006) juga mendefinisikan kecerdasan emosional, sebagai bagian lintas kompetensi antara emosi dengan kemampuan sosial, keterampilan dan fasilitator yang menentukan seberapa efektif seseorang memahami dan mengekspresikan diri, memahami orang lain dan berhubungan dengan mereka, serta menghadapi tuntutan dalam hidup sehari-hari.

Dari beberapa definisi tentang kecerdasan emosi dapat disimpulkan, bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengontrol emosi dirinya sendiri dan


(52)

36

juga orang lain serta mampu mengelolanya dengan baik. Hal teresebut, sesuai dengan teori Goleman (1998) yang mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.

2. 3. 2. Dimensi-dimensi kecerdasan emosi

Menurut Goleman (1998) kecerdasan emosi terdiri dari 5 dimensi, yaitu, mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, keterampilan sosial.

a. Mengenali emosi diri (self awareness)

Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realitis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kemampuan ini berupa kesadaran diri (self Awarenees) dalam mengenal perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologis dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah. Kemampuan kesadaran diri ini adalah kemampuan dalam menangani emosi diri sendiri dan pengaruhnya, serta mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri.


(53)

b. Mengelola emosi (self management )

Mengelola emosi adalah kemampuan menangani emosinya sendiri, mengekspresikan serta mengendalikan emosi, memiliki kepekaan terhadap kata hati, untuk digunakan dalam hubungan dan tindakan sehari-hari. Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Selain itu juga terdapat kemampuan control diri yang bertujuan menjaga keseimbangan emosi dan bukan menekannya, karena setiap perasaan memiliki nilai dan makna. Kemampuan dalam menampilkan emosi yang wajar, selaras antara perasaan dan lingkungan.

c. Memotivasi diri (motivating oneself)

Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat untuk setiap saat membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, mampu bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.

d. Mengenali emosi orang lain (emphaty)

Empati merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif orang lain, dan menimbulkan hubungan saling percaya serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu. Kunci untuk memahami perasaan atau emosi orang lain adalah kemampuan untuk membaca pesan nonverbal (misalnya gerak-gerik, ekspresi wajah). Merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami


(54)

38

persepektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.

e. Keterampilan Sosial (social skills)

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial (social skills) yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan dengan orang lain. Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan dan untuk bekerja dalam team.

Dari kelima dimensi tersebut, semua dimensi akan ikut diteliti sebagai dimensi kecerdasan emosi dan menjadi independent variableyang kedua pada penelitian ini.

2.3.3. Pengukuran kecerdasan emosi

Ada beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kecerdasan emosi ini, diantaranya adalah

1. Bar-on’s EQ-I dikembangkan oleh Bar-On (1997) untuk usia diatas 17 tahun dengan berbentuk self report untuk mengukur emotional intelligence dan social intelligence. EQ-I ini terdiri dari 133 item pernyataan dan menyediakan 5 point skala respon. Skala ini telah digunakan untuk menilai ribuan individu dengan reliabilitas sebesar 6.21.


(55)

Dan saat ini dikenal untuk memprediksi validitas di situasi kerja, salah satunya perekrutan di U.S. Air Foce (Cherniss, 2000).

2. Mayer Salovey dan Caruso Emotional Intelligence Test (MSCEIT) yang dikembangkan oleh Salovey dan Mayer (2002), berbentuk tes kemampuan (tes of ability) yang terdiri dari 141 item pernyataan. Test MSCEIT ini adalah pengembangan dari Multifactor Emotional Intelligence Scale (MEIS). Pada MSCEIT ini pula pengukurannya berkembang menjadi MSCEIT RV 1.1 dan yang terbaru MSCEIT V2,0. Adapun dimensi yang diukur dalam test ini adalah mengamati emosi dengan tepat, menggunakan emosi untuk memudahkan penyampaian ide, memahami emosi dan mengelola emosi.

Adapun pengukuran kecerdasan emosi yang digunakan dalam penelitian ini, merujuk pada teori Goleman (1998). Alat ukur ini terdiri atas 25 item, yang mengukur kesadaran diri, kemampuan mengelola emosi, memotivasi diri, kemampuan mengenal emosi orang lain, serta keterampilan sosial dan memiliki tingkat reabilitas alpha cronbarch’s cukup tinggi sebesar 65.5.Penelitian-penelitian lain di Indonesia juga mengembangkan alat ukur kecerdasan emosi, dengan mengacu pada teori Goleman. Seperti Farikha (2011) dan juga Fajri (2013). 2. 4. Kerangka Berpikir

Perilaku prososial menurut Eisenberg dan Mussen (1989) adalah perilaku yang dilakukan secara sukarela untuk menolong atau memberikan manfaat bagi orang lain. Perilaku prososial sangat besar manfaatnya untuk menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif. Ada beberapa faktor yang berasal dari luar individu atau


(56)

40

(eksternal) yang dapat mempengaruhi tampil atau tidaknya perilaku prososial, yaitu kehadiran orang lain, kondisi lingkungan, dan desakan waktu (Taylor, Peplau & Sears, 2009). Selain itu adapula faktor yang berasal dari faktor dalam diri individu (internal) diantaranya, seperti asertif, emosi, religiusitas, self-esteem, dan norma-norma juga berpengaruh signifikan terhadap perilaku prososial (Eisenberg, Fabes & Spinrad, 2006).

Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku prososial adalah self esteem (Eisenberg, Tracy & Fabes, 2006). Karena dengan self-esteem yang tinggi pada diri seseorang akan mampu menekan agresitifitasnya sehingga terhindar dari perilaku antisosial (Staub, 2003). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Srimanjaya (2007) yang menemukan bahwa self-esteem memberikan kontribusi terhadap perilaku prososial sebesar 28,479 %.

Self-esteem menurut Coopersmith (1990) adalah evaluasi yang dibuat oleh individu dan kebiasaan memandang dirinya, berdasarkan keyakinan, kesuksesan serta keberhargaan dirinya. Orang yang memiliki yang memiliki self-esteem tinggi cenderung memiliki nilai diri positif. Maka itu mereka mampu mengatasi depresi dan juga masalah kenakalan remaja dengan begitu mereka akan lebih mudah berprilaku prososial (Sweson & Prelow, 2005).

Selain self-esteem, kecerdasan emosi juga berpengaruh terhadap perilaku prososial. Kecerdasan emosi yang tinggi, akan membentuk individu mampu mengenali emosi sendiri, memotivasi diri, mengelola emosi, mengenali emosi orang lain dan mampu bersosialisasi dengan baik (Goleman,1998). Hal tersebut


(57)

menjadikan emosi seseorang selalu positif, sehingga mereka akan lebih mudah untuk melakukan perilaku prososial (Eisenberg & Mussen, 1989).

Berpengaruhnya kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial juga telah dibuktikan oleh penelitian Vebriamma (2010) dan Rudyanto (2010) yang menemukan bahwa kecerdasan emosi memiliki kontribusi dan hubungan yang signifikan terhadap perilaku prososial.

Selain dua variabel di atas, jenis kelamin dan usia juga merupakan faktor kategorik yang mempengaruhi perilaku prososial. Hal ini mengacu pada penelitian Caprara dan Steca, (2005), yang menemukan bahwa usia berpengaruh terhadap perilaku prososial seseorang. Selain itu pernyataan Sarwono (2009) yang menyatakan bahwa usia dan jenis kelamin berpengaruh terhadap perilaku prososial. Sejalan dengan pernyataan tersebut, hasil penelitian Eisenberg (dalam Bierhoff, 2002) juga membuktikan bahwa wanita lebih memiliki rasa menolong yang tinggi dari pada laki-laki. Itu disebabkan karena wanita lebih memiliki rasa empati yang tinggi dari pada laki-laki.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat pengaruh self-esteem dan kecerdasan emosi serta variabel demografi (usia dan jenis kelamin) terhadap perilaku prososial. Dalam penelitian ini dependent variable yaitu perilaku prososial, sedangkan independent variable adalah self-esteem, kecerdasan emosi, usia dan jenis kelamin. Adapun penjelasan self-esteem dalam penelitian ini, dimensinya terdiri atas successes, values, aspirations, defenses. Kecerdasan emosi dalam penelitian ini dimensinya terdiri atas mengenali emosi sendiri, mengelola emosi, motivasi diri, mengenali emosi


(58)

42

orang lain, dan keterampilan sosial. Dari kerangka berpikir yang telah dipaparkan, dapat diilustrasikan sebagai berikut.

Gambar 2.1 Kerangka berpikir

Mengenali emosi sendiri

Mengelola emosi Motivasi diri Mengenali emosi orang lain

Keterampilan sosial Kecerdasan emosi Successes

Values Aspirations Defenses Self-esteem

Perilaku

Prososial

Jenis kelamin Usia


(59)

Berdasarkan gambar diatas, dalam penelitian ini peneliti ingin mencari pengaruh self–esteem dan kecerdasan emosi serta faktor demografi (usia dan jenis kelamin), terhadap perilaku prososial. Selanjutnya peneliti juga ingin mencari pengaruh dimensi-dimensi self esteem yang terdiri dari successes, values, aspirations dan defenses. Begitu juga pada dimensi kecerdasan emosi yang terdiri dari kesadaran diri, mengelola emosi, motivasi diri, mengenal emosi orang lain, dan keterampilan sosial terhadap perilaku prososial serta ditambahkan faktor demografis, yaitu, usia dan jenis kelamin terhadap perilaku prososial.

2.5 Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini ada dua hipotesis yaitu hipotesis mayor dan hipotesis minor yang masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:

Hipotesis mayor:

Ada pengaruh yang signifikan self-esteem (successes, values, aspirations dan defenses), kecerdasan emosi (kesadaran diri, mengelola emosi, motivasi diri, mengenalemosi orang lain dan keterampilan sosial) serta variabel demografis jenis kelamin dan usia terhadap perilaku prososial

Hipotesis minor:

Ha₁ : Ada pengaruh yang signifikan dimensi successes pada variabel self-esteem terhadap perilaku prososial.

Ha2 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi values pada variabel self-esteem terhadap perilaku prososial.

Ha3 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi aspirations pada variabel self-esteem terhadap perilaku prososial.


(60)

44

Ha4 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi defenses pada variabel self-esteem terhadap perilaku prososial.

Ha5 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi kesadaran diri pada variable kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial.

Ha6 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi mengelola emosi pada variabel kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial.

Ha7 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi motivasi diri pada variabel kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial.

Ha8 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi mengenal emosi orang lain pada variabel kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial.

Ha9 : Ada pengaruh yang signifikan dimensi keterampilan sosial pada variabel kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial.

Ha10 : Ada pengaruh yang signifikan variabel demografis jenis kelamin terhadap perilaku prososial.

Ha11 : Ada pengaruh yang signifikan variabel demografis usia terhadap perilaku prososial.


(61)

45 BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab tiga ini akan diuraikan mengenai populasi, sampel, variabel penelitian, instrument pengumpulan data, uji validitas konstruk, metode analisis data dan prosedur penelitian.

3.1. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah santri Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta, kelas I, II, III, IV, dan V, tahun ajaran 2013-2014. Santri kelas VI tidak diikutkan dalam penelitian ini, karena sedang fokus mengikuti ujian akhir pondok. Oleh karena itu, jumlah total populasi santri dalam penelitian sebanyak 503 santri. Mereka terdiri atas 270 santri kelas I, 65 santri kelas II, 50 santri kelas III, 60 santri kelas IV, dan 58 santri kelas V. Selanjutnya, dari jumlah populasi tersebut peneliti menetapkan sampel sebanyak 200 santri atau 40 persen dari populasi. Penetapan jumlah sampel tersebut, disesuaikan dengan peneliti berdasarkan pertimbangan waktu dan dana dalam penelitian ini.

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik probability sampling melalui cara stratified random sampling, dimana masing-masing populasi memiliki peluang yang sama untuk ditetapkan menjadi sampel. Adapun penetapan anggota populasi yang dijadikan sampel ditentukan sesuai dengan proporsi masing-masing kelas, dengan menggunakan rumus sebagai berikut:


(62)

46

Proporsi perkelas = populasi kelas X kouta sampel yang ditentukan populasi sekolah

Mengacu pada rumus diatas, maka jumlah sampel pada masing-masing kelas adalah sebagai berikut:

1. Kelas I : 270/503 x 200 = 107 2. Kelas II : 65/503 x 200 = 26 3. Kelas III : 50/503 x 200 = 20 4. Kelas IV : 60/503 x 200 = 24 5. Kelas V : 58/ 503 x 200 = 23

Setelah dilakukan penentuan jumlah sampel pada masing-masing kelas, tahap selanjutnya dilakukan pengambilan sampel secara random dari masing-masing kelas dengan dengan langkah sebagai berikut:

1. Peneliti mengumpulkan data santri (daftar hadir) dari kelas satu sampai kelas lima, untuk kemudian dilakukan penomeran pada data tersebut, sesuai dengan jumlah populasi yang diikutkan.

2. Langkah selanjutnnya setelah dilakukan penomeran, peneliti mengelompokkannya berdasarkan tingkatan kelas, sesuai dengan jumlah santri pada tiap-tiap kelas. Kemudian dilakukan proses random untuk menentukan sampel dengan menggunakan SPSS versi 16.0.

3. Adapun yang berhalangan untuk mengisi karena sakit dan juga telah keluar dari pondok diadakan replacement sesuai tingkat kelasnya sehingga jumlahnya 200.


(63)

3.2. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini variabel penelitian yang diteliti adalah sebagai berikut. 1. Perilaku prososial

2. Successes 3. Value 4. Aspiration 5. Defenses

6. Mengenali emosi diri sendiri 7. Mengelola emosi

8. Memotivasi diri

9. Mengenali emosi orang lain. 10. Keterampilan sosial

11. Usia

12. Jenis kelamin

Dari beberapa variabel yang telah di sebutkan diatas, peneliti mengelompokkan variabel tersebut, menjadi independent variable dan dependent variable, yang akan dijabarkan sebagai berikut: self-esteem (successes, value, aspirations, dan defenses), kecerdasan emosi (mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, keterampilan sosial) usia dan jenis kelamin, pada penelitian ini akan dikelompokkan sebagai Independent variable. Sedangkan perilaku prososial dalam penelitian ini sebagai dependent variable.


(64)

48

3.3. Definisi Operasional Variabel

Berdasarkan definisi konseptual yang telah dijelaskan dalam Bab 2, kemudian peneliti menentukan definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Perilaku prososial

Perilaku prososial adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sukarela untuk menolong atau memberikan manfaat bagi orang lain dengan diukur menggunakan alat ukur Prososial Tendencies Measurement yang dikembangkan oleh Carlo dan Randall (2002), dan memiliki enam dimensi, yaitu, altruism, compliant, emotional, public, anonymous dan dire.

2. Self-esteem

self-esteem yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penilaian terhadap diri sendiri (personal judgment) mengenai perasaan mampu, penting, berarti dan menerima kekurangan yang ada dan diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap diri para santri di Pondok Pesantren Daarul Rahman dengan diukur menggunakan Coopersmith Self-esteem Inventory dan memiliki empat dimensi, yaitu, succsses, values, aspirations, defenses.

3. Kecerdasan emosi

kecerdasan emosi dalam penelitian ini adalah kemampuan santri dalam mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, memotivasi diri sendiri dan juga mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri serta hubungannya dengan orang lain, yang dimensinya terdiri dari mengenali emosi diri sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan


(65)

keterampilan sosial dan diukur menggunakan skala yang mengacu pada teori Goleman (1998).

4. Usia

Usia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usia santri Pondok Pesantren Daarul Rahman yang berusia sebelas hingga Sembilan.

5. Jenis Kelamin

Jenis kelamin yang dimaksud dalam penelitian ini banyaknya santri laki-laki dan santri perempuan yang dilibatkan dalam penelitian.

3.4. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini, terdiri dari dua bagian. Bagian pertama terdiri dari pertanyaan demografi yang mencangkup jenis kelamin, usia dan pendidikan saat ini. Bagian kedua, berisi skala yang merupakan alat ukur dari perilaku prososial, self-esteem dan kecerdasan emosi.

Untuk model skala, peneliti menggunakan model skala likert, dimana variabel penelitian dijadikan titik tolak penyusunan item-item instrument. Jawaban dari setiap instrument ini memiliki gradasi dari tertinggi (sangat positif) sampai terendah (sangat negatif), dengan empat kategori jawaban, yaitu “Sangat Sesuai” (SS), “Sesuai” (S), “Tidak Sesuai” (TS), “Sangat Tidak Sesuai” (STS). Selanjutnya, subjek diminta untuk memilih salah satu dari pilihan jawaban yang masing-masing jawaban menunjukan kesesuaian pernyataan yang diberikan dengan keadaan yang dirasakan oleh subjek. Model skala likert ini terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan pernyataan negatif (unfavorable). Penskoran tertinggi pada pernyataan positif (Favorable), diberikan pada pilihan sangat


(1)

Path diagram anonymous


(2)

(3)

Path diagram values


(4)

Path diagram defenses


(5)

Path diagram mengelola emosi


(6)

Path diagram mengenali emosi orang lain