12
BAB III PERANAN NIYAGA PANGRAWIT
Biasanya mengerjakan perawatan sesuatu benda lebih sukar dari pada pembuatannya atau pengadaannya. Soal perawatan sesuatu benda memerlukan
kesadaran yang tinggi. Benda-benda yang sulit didapat, sukar pengadaannya sudah barang tentu mahal harganya, dan harus dirawat dengan penuh kesadaran.
Seniman bukan hanya orang yang menciptakan barang seni saja; orang yang bisa menikmati benda senipun ia seniman, meskipun ia tidak bisa menciptakan benda
seni tersebut. Peran niyaga pernah oleh Soetrisno R 2004 dalam disertasinya yang
berjudul Dimensi Moral Dalam Syair Tembang Pada Pergelaran Wayang Purwa. Benda-benda seni memang diciptakan atau dibuat oleh seniman-seniman atau
budayawan-budayawan, namun orang yang memeliharanya atau menjaga kelestariannya juga budayawan Koentjaraningrat, 1984. Maka dari itu kita harus
mendidik generasi penerus lewat sekolah, keluarga, masyarakat agar mereka menjadi generasi budayawan penerus Trimanto, 1984.
Pada jaman dahulu Wayangan hanya digunakan Gamelan Slendro saja. Ini berlaku bagi masyarakat Umum. Pengarang sendiri tidak tahu alasannya, tetapi
yang pasti, kemungkinan mengingat tempat atau pangkat yang mempunyai hajat tersebut tidak mengizinkan dipakainya kedua rancak Gamelan Slendro dan Pelog
itu. Kecuali yang mempunyai hajat yang punya kerja berpangkat Panewu ke atas, biasanya digunakan kedua rancak Gamelan tersebut Harsono Kodrat, 1982.
13 Umum pada waktu itu takut sekali menggunakan kedua rancak gamelan tersebut
dengan dalih bahwa hal itu akan mendatangkan kualat kepada orang dalam, yang mengakibatkan kejadian-kejadian yang kurang baik, yang pada dasarnya
kemungkinan hanya co-insiden saja. Tetapi karena dihubung-hubungkan biasanya cocok gatuk. Pada jaman kemerdekaan dan saat sekarang ini hal-hal yang
demikian sudah tidak berpengaruh lagi. Bahkan di mana-mana, jika ada pertun- jukan Wayang Kulit semalam suntuk selalu digunakan 2 rancak. Hal-hal yang
menjadi kunci suksesnya pergelaran apa pun bentuknya, apakah itu pergelaran Wayang Kulit atau Tari, ialah expresipenanganan yang sempurna dan penuh
semangat pengabdian daripada para seniman-senimanperaga-peraga tersebut yang tidak lepas dari rule of the game aturan permainan patokan-patokan yang
telah ditentukan para Empu-empu GendhingTari beserta improvisasinya yang benar-benar selaras, dengan rasa keindahan estetika serta kalau mungkin, lepas
dari bentuk komersialisasi apa pun dasarnya. Kalau kita mengobservasi, meneliti, melihat, dan merasakan bentuk-
bentuk pergelaran yang berupa WayangDrama Tari pada masa sekarang ini kita benar-benar akan merasa terharu, sayang, dan prihatin di samping rasa bangga
akan kemajuan yang telah dicapai terutama oleh generasi-generasi muda dalam mengungkapmenyuguhkan berbagai atraksi kebudayaan pada segi-segi lain
kelihatan agak menonjol, tetapi ditinjau dari segi yang lain lagi merupakan kemunduran, terutama yang menyangkut masalah Gerak-gerak Tari dan
Penyuguhan Gendhing-gendhing yang dikeluarkan. Perlu dipikirkan demi kelestarian Kebudayaan Kita Sendiri Yang Sungguh-sungguh Adhi Luhung
14 Indah Sekali, Penuh dengan Estetika, Keharmonisan, Ajaran-ajaran, Filsafat-
filsafat, Tatakrama, Kemasyarakatan, Toleransi, Pembentukan Manusia-manusia Yang Bermental LuhurJujurKsatria, Tidak Lepas Pula Sebagai Faktor
Pendorong Insan Dalam Beribadah Terhadap Iuhan Seru Sekalian Alam, yaitu dengan sarana kerja keras dan itikat baik memetrimenjagamenyempurnakan Seni
dan Budaya Sendiri. Jangan sampai ada suatu Gap dengan sesepuh yang benar- benar mumpuni ahli dalam hal tersebut di atas. Bahkan komunikasi perlu dijaga
sebaik-baiknya dengan para sesepuh sebagai sumbergudang yang masih menyimpan berbagai ilmu yang berhubungan dengan masalah kebudayaan itu
sendiri, terutama para Empu-empu Karawitan dan TariPedalangan, dan sebagainya yang kenyataannya sebagian besar pada masa ini Beliau-beliau itu
sudah hampir mahas sepining asamun, berada di rembang petang. Saya peringatkan masalah ini dengan serious untuk segera bersiap-siap untuk
menanganinya, terutama generasi muda, jangan sampai Simpanan-simpanan Turut Sirna Marga Layu Punah.
Proposal saran pengarang mengenai hal tersebut di atas, semoga mendapat tanggapan para Seniman-seniman Muda khususnya dan Pemerintah
pada umumnya demi kelestarian Kebudayaan Bangsa bagi anak cucu kita nanti. Kriteria Melestarikan Kebudayaan di sini bukan pengarang maksudkan dalam arti
yang sempit, yaitu hanya bergerak pada aktivitas seni tradisional thok dan jangan hanya berkecimpung di bidang seni kontemporer saja, tetapi Kuasailah Keduanya
secara baik, syukur sempurna Harsono Kodrat, 1982. Jadilah Seniman-seniman yang tangguh, tatag, dan tanggon. Artinya seniman yang serba bisa, ulet, dan mau
15 berkorban demi Nusa dan Bangsa. Apa pun bidang seni yang dikuasai, jadilah
insan seni yang banyak beramal, dengan ilmu yang padat dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Adapun maksud pengarang menyusun buku Gendhing Karawitan Jawa ini tidak lain ingin turut Melestarikan Existensi Kebudayaan Bangsa supaya tidak
musnah dimakan jaman peradaban Serba Super Teknik yang menghendaki ekselerasi dan kepraktisan-kepraktisan di segala lapangan, baik yang menyangkut
masalah tata kehidupan masyarakat maupun individual Harsono Kodrat, 1982. Dengan sumbangan yang kurang berarti ini, pengarang sebagai insan Indonesia
yang bertanggung jawab kepada Nusa Bangsa dan Tuhan, sedikit lega bernafas bisa mendarmabaktikan hasil karya yang belum seberapa ini ke haribaan Ibu
Pertiwi. Berkaitan dengan pelestarian musik Jawa itu Trimanto 1984 memberi
saran sebagai berikut. Barang atau benda yang terawat kelihatan tetap anggun. Cara merawat gamelan memerlukan pengertian khusus, antara lain : instrumen-
instrumen gamelan harus dijauhkan dari benturan satu sama lain. Di samping ia akan pecah juga benturan akan merubah nada. Tali temali pluntur, Jawa harus
selalu dikontrol. Sebab bila tali-tali gamelan itu putus gamelan bisa jatuh ke tanah atau lantai yang menyebabkan gamelan itu pecah atau paling sedikit nada
berubah. Gamelan itu tiap kali harus dipel dilap agar kelembaban permukaannya
berkurang. Sebab gamelan yang lembab adalah penyebab melekatnya debu-debu. Debu-debu membantu makin mengganasnya karat. Karat gamelan harus cepat-
16 cepat dibuang. Instrumen gamelan yang berbentuk bundar, kelembaban bagian
dalam lebih hebat daripada bagian luar. Oleh karena itu bagian dalam gamelan bundar harus juga dibersihkan.
Niyaga atau pengrawit harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang seluk-beluk gamelan. Peranan niyaga dalam pergelaran wayang purwa
yaitu membantu dalang dalam mengiringi karawitan, sehingga jalan pementasannya terasa lebih hidup. Kata niyaga dalam bahasa Kawi atau Jawa
Kuna, berarti dagang atau dagangan Winter dan Ranggawarsita, 1987:184. Namun demikian, dalam komunitas karawitan, kata niyaga dalam bahasa Jawa
baru berarti penabuh gamelan. Demikian pula di dalam tulisan ini yang dimaksud niyaga adalah penabuh atau pemain gamelan dalam pergelaran wayang kulit
purwa Jawa. Sebetulnya kata niyaga itu sangat erat hubungannya dengan konsep abdi dalem. Kata abdi berarti hamba atau sahaya, sedangkan abdi dalem berarti
punggawa atau pegawai kerajaan. Tentu saja di dalam kehidupan keraton terdapat beberapa kelompok abdi dalem, seperti abdi dalem kriya, abdi dalem prajurit,
abdi dalem ulama, abdi dalem gunung, abdi dalem bedhaya, dan abdi dalem niyaga. Di Keraton Kasunanan Surakarta seorang yang telah resmi menjadi abdi
dalem, mulai dari pangkat jajar ke atas dikategorikan sebagai priyayi Soeratman, 1989: 200.
Dalam perkembangan selanjutnya kata niyaga ini mempunyai arti yang berbeda, dan pada tahun 1970-an, istilah niyaga itu berubah menjadi penabuh, dan
kemudian menjadi pangrawit atau pradangga. Sebetulnya istilah pangrawit sudah
17 ada paling tidak pada masa pemerintahan Paku Buwana IX. Hal itu terbukti
adanya salah satu tempat di Pagelaran yang disebut bangsal Pangrawit, yakni tempat gamelan yang akan ditabuh oleh para niyaga. Di samping itu, nama
pangrawit juga diberikan kepada para abdi dalem niyaga yang sudah mempunyai kedudukan atau pangkat bei, seperti misalnya Pancapangrawit, Martapangrawit,
Gunapangrawit, dan Purwapangrawit. Dalam pementasan wayang kulit purwa saat ini, jumlah niyaga kurang
lebih 30 orang. Hal ini tidak lepas dari keperluan pementasan wayang kulit itu sendiri yang menggunakan gamelan komplit laras slendro dan pelog, bahkan
sering ditambah dengan instrumen lain seperti drum dan biola. Instrumen gamelan yang sering digunakan yaitu kendang, gender barung, gender penerus, rebab,
slenthem, gambang, suling, bonang barung, bonang penerus, saron demung, saron barung, saron penerus, kethuk, kenong, kempul, gong, drum dan biola,
kadang-kadang terompet, dan keyboard. Khusus kendang berjumlah tiga buah, saron demung dua rancak, dan saron barung empat rancak, saron penerus dua
rancak. Kecuali niyaga yang menabuh gamelan, ada niyaga yang berfungsi sebagai vokalis atau biasa disebut wiraswara atau penggerong yang jumlahnya
disesuaikan dengan kebutuhan. Dalam kehidupan karawitan termasuk karawitan untuk keperluan
pementasan wayang kulit purwa, instrumen gamelan secara fungsional musikal dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yakni kelompok instrumen ricikan
balungan, kelompok instrumen garap, dan kelompok instrumen struktural.
18 Kelompok ricikan balungan, yaitu ricikan-ricikan yang lagu permainannya
sangat dekat dengan lagu balungan gendhing. Yang termasuk kelompok tersebut adalah ricikan-ricikan saron barung, saron demung, saron penerus, slethem, dan
bonang penembung. Kelompok ricikan garap, yaitu ricikan-ricikan yang menggarap balungan
gendhing, dengan cara menafsirkan kemudian menerjemahkan lewat vokabuler- vokabuler garapnya. Ricikan-ricikan yang termasuk dalam kelompok tersebut
adalah rebab, kendhang, gender, gender penerus, bonang, bonang penerus, siter, suling, gambang, sindhen, dan gerong.
Kelompok ricikan struktural, yaitu ricikan-ricikan yang membuat suatu jalinan permainan dengan membentuk struktur berdasarkan menentukan bentuk
gendhing. Ricikan-ricikan yang termasuk di dalam kelompok ini adalah kethuk, kempyang, engkuk, kenong, kempul, gong, kecer, kemanah, keplok-alok, dan
kendhang. Pengendang selalu menjadi pimpinan karawitan pengiring, dan menjadi
pimpinan pertunjukan pada umumnya di samping dalang. Kepada merekalah terutama sasmita-sasmita dalang ditujukan, dan merekalah yang harus
menjabarkannya kepada semua niyaga dan khususnya pengrebab, karena instrumen rebab merupakan pamurba lagu yang berfungsi sebagai pembuka
gending. Salah satu di antara tugas penggender ialah memperhatikan apakah nada suara dalang masih tetap benar di sepanjang permainannya, yaitu dengan jalan
terus-menerus memainkan gendernya perlahan-lahan atau grimingan mengingat
19 gender merupakan pamangku lagu, bahkan ketika semua niyaga sedang berhenti
menabuh. Pangrawit atau penabuh atau musisi gamelan Jawa selain mempunyai fungsi sebagai pengiring dalam pementasan wayang purwa harus memahami pula
pengertian karawitan secara umum. Karawitan adalah seni suara yang menggunakan laras slendro dan pelog baik suara manusia atau suara instrumen
gamelan. Di samping itu pangrawit harus memahami irama dari lagu-lagu yang dibawakan, karena irama sebagai tingkatan pengisian di dalam gatra yang berisi
empat titik dan selanjutnya meningkat menjadi kelipatan-kelipatan sampai dengan enam belas titik. Titik-titik itu akan diisi oleh permainan instrumen yang bertugas
di bagian lagu, misalnya: cengkok permainan gender, cengkok permainan bonang dan instrumen-instrumen lainnya.
Irama dan tempo dari lagu yang terdapat dalam syair-syair tembang akan menjadi lebih harmonis manakala pamurba irama dalam hal ini kendang dapat
memelihara tempo dengan sebaik-baiknya. Di dalam memainkan alat musik gamelan Jawa dapat dikategorikan menjadi tiga jenis: Tempo lambat atau tamban,
tempo sedang atau sedeng, dan tempo cepat atau seseg. Cepat dan lambatnya tempo di dalam karawitan disebut laya dan bukannya wirama. Bagi para
pangrawit sudah dapat membedakan pengertian laya dan wirama walaupun istilah tersebut tidak terdengar di dalam percakapan sehari-hari.
Pangrawit harus mempunyai pengetahuan tentang lagu yang merupakan susunan nada-nada yang diatur sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku, apabila
dibunyikan enak didengar. Pengaturan nada-nada akan berkembang ke arah satu
20 bentuk, sehingga menimbulkan bermacam-macam jenis gendhing. Adapun irama
dan lagu di dalam ricikan karawitan akan dijelaskan sebagai berikut. Nama dan tugas ricikan di dalam karawitan
Ricikan yang bertugas pada bagian irama
Ricikan yang bertugas pada bagian lagu
1. Kendang : a. Kendang gede
b. Kendang kalih c. Ketipung
d. Ciblon 2.
Ketuk 3.
Kempyang 4.
Kenong 5.
Kempul 6.
Gong 7.
Kecar pada wayangan 1.
Rebab 2.
Gender gede 3.
Gender penerus 4.
Gambang 5.
Bonang gede 6.
Bonang penerus 7.
Slenthem 8.
Demung 9.
Saron barung 10.
Saron penerus 11.
Clampung 12.
Suling
Sumber : Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta Jurusan Karawitan
Tugas masing-masing ricikan bagian irama 1.
Kendang disebut pemurba irama a.
Menentukan bentuk gending b.
Mengatur irama dan jalannya laya c.
Mengatur mandeg dan menyusukkan gending d.
Buka untuk gending-gending kendang 2.
Kethuk disebut pemangku irama a.
Menguatkan kendang dalam menentukan bentuk gending. b.
Menunjukkan macam irama misal irama apakah ini? 3.
Kenong disebut pemangku irama a. Menentukan batas-batas gatra berdasarkan bentuk gendingnya.
4. Kempul
21 5.
Gong disebut pemangku irama a.
Menguatkan kendang dalam menentukan bentuk gending. b.
Sebagai pada dan finalis. Tugas ricikan pada bagian lagu
1. Rebab disebut pemurba lagu
a. Menentukan lagu
b. Buka untuk gending-gending rebab
2. Gender gede disebut pemangku lagu
a. Memperindah lagu dengan segenap cengkoknya
b. Buka untuk gending-gending gender
c. Buka untuk gending-gending disamping bonang barung
3. Bonang gede disebut pemangku lagu
a. Memperindah lagu dengan segenap cengkoknya
b. Buka untuk gending-gending bonang
c. Buka untuk gending-gending lancaran
4. Gambang disebut pemangku lagu
a. Memperindah lagu dengan segenap cengkoknya
b. Buka untuk gending-gending gambang
5. Clempung, gender penerus, bonang penerus disebut juga pemangku lagu
tugasnya menghias lagu. 6.
Slenthem, demung, saron barung disebut juga pemangku lagu tugasnya sebagai pola dari pada lagu atau diistilahkan balungan.
7. Saron penerus disebut juga pemangku lagu instrumen ini mempunyai
gaya yang dapat digunakan sebagai petunjuk macam-macam irama.
22 Ditilik dari sudut komposisi rombongan karawitannya, terlihatlah bahwa
kebanyakan pergelaran oleh para dalang merupakan urusan keluarga belaka. Malah ada beberapa dalang yang ikut serta dalam pertunjukan, semata-mata
sebagai pernyataan hormat terhadapnya, yang pada waktu itu sudah berumur lima puluhan tahun. Juga sering dijumpai satu dua orang kerabat seorang dalang
terselip di antara para niyaga yang mengiringi pertunjukan dalang lain. Lebih lanjut malah sering terjadi adanya beberapa murid atau bekas murid dalang di
antara para niyaga-nya, bahkan sangat sering juga dalang-dalang yang pada waktu itu sedang tidak mengadakan pentas. Sebagai contoh, pada saat Ki Nartosabdo
melaksanakan pergelaran wayang, dalang-dalang yunior Ki Manteb Soedarsono dan Ki Anom Suroto ikut memainkan gamelan sebagai niyaga. Pada umumnya
mereka bergabung dalam rombongan niyaga karena belum terkenal sebagai dalang, justru oleh umur mereka yang umumnya masih sangat muda. Walaupun
umumnya mereka berharap akan mampu mengubah peranan dari niyaga menjadi dalang dalam waktu yang tidak terlalu lama, banyak calon dalang tersebut yang
harus menunggu sampai bertahun-tahun. Ada yang kemudian mundur sebelum cita-cita mereka tercapai, tetapi ada beberapa pula yang berhasil menarik
penggemarnya berkat nasib baik, dan bahkan mungkin akan tumbuh menjadi dalang yang terkenal, seperti pengalaman Ki Manteb Soedarsono pribadi.
Sementara itu, mereka akan tetap bermain sebagai niyaga, agar tidak kehilangan intuisinya terhadap pekerjaannya, seperti halnya pada dalang-dalang yang sudah
terlalu tua untuk tampil mendalang.
23 Sering pula terjadi dalang yang tidak pentas menggantikan tempat salah
seorang niyaga tetap di tengah pertunjukan berlangsung, sementara yang digantikannya sejurus akan menepi atau mulai memainkan gamelan yang lain.
Bahkan lazim pula terjadi tamu ikut bergabung sebagai niyaga beberapa saat, sedangkan niyaga-niyaga itu pun sering bertukar-tukar tempat atau gamelan yang
dimainkannya berkali-kali sepanjang malam pertunjukan berlangsung. Komposisi rombongan karawitan itu tidak pernah tidak berubah jika rombongan karawitan
tersebut adalah rombongan tetap dalang itu sendiri. Demikian pula komposisi tidak akan tinggal tetap di sepanjang suatu pertunjukan tertentu. Hal demikian
sama sekali tidak akan dianggap sebagai pengganggu pertunjukan. Pergantian niyaga selagi pergelaran berjalan oleh teman si dalang atau tamu undangan justru
dipandang sebagai penghormatan terhadap dalang sebagai sesama profesi, sehingga karenanya masyarakat sangat menghargainya. Pernyataan penghormatan
seperti itu sering kali dipandang mempunyai arti lebih penting bagi mereka dan bagi semua yang hadir, daripada keindahan estetik pergelaran itu sendiri.
Kendati demikian, pandangan itu tidak berarti bahwa aspek estetika sama sekali tidak penting bagi dalang, para niyaga, serta penonton. Dalang adalah tokoh
profesional, sehingga oleh karenanya pasti akan mempergelarkan permainannya yang indah. Kurangnya persiapan sebagaimana mestinya, sebagai akibat tidak
adanya latihan atau belum saling kenal dengan niyaga, selalu diimbangi oleh dalang dengan datang ke tempat pertunjukan jauh lebih awal. Biasanya ia akan
ikut bermain gamelan sebentar atau klenengan yang umumnya diadakan oleh para niyaga sekitar dua jam sebelum pertunjukan dimulai atau talu. Tujuan klenengan
24 ini supaya dalang bisa menangkap suasana atau ngrasakake swasanane termasuk
embat gamelan. Selanjutnya, dalang akan membicarakan soal-soal pokok pergelaran dengan para niyaga yang mengiringnya, dan khususnya dengan
pengendang, yaitu di tengah-tengah klenengan beristirahat atau mungkin juga sebelumnya, ketika dalang dan para niyaga dijamu penanggap. Mereka saling
bertukar pikiran tentang gendhing dan lagu yang hendak dimainkan, atau petunjuk-petunjuk dalang tentang yang dikehendakinya pada bagian-bagian
adegan tertentu atau banyolan-banyolan tertentu yang perlu ditonjolkan. Tidak jarang pula disaksikan, atas permintaan pesinden, dalang cepat-cepat menuliskan
beberapa lagu, atau bahkan memberikan petunjuk-petunjuk lebih lanjut kepada pengendang, pada saat-saat istirahat di tengah-tengah pertunjukan berlangsung.
Tentang perpaduan gamelan dengan ritual keagamaan pernah ditulis oleh Sukatmi Susantina 2001 dengan judul Inkulturasi Gamelan Jawa.
25
BAB IV LAGU LANCARAN