BANDAR LAMPUNG GOVERNMENT AUTHORITY ON PUBLIC TRANSPORTATION ROUTE PERMISSION KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM IZIN TRAYEK ANGKUTAN KOTA

(1)

ABSTRACT

BANDAR LAMPUNG GOVERNMENT AUTHORITY ON PUBLIC TRANSPORTATION ROUTE PERMISSION

By : Paksi Seto

The high number of public transportation on Bandar Lampung triggers the local state to specially supervise the management of working. Government authority on supervising the route permission is one of the way to control the growth of public transportation. The policy mention by communication ministry on Number 35, 2003 regarding the existence of public transportation said that the government is obligated to provide proper transportation for its society especially those in area of Bandar Lampung, thus the government manage public transportation as a solution to be well used by every aspect of society.

The problem in this research : (1) How is the monitoring of Bandar Lampung local state policy toward public transportation route permission? (2) What kind of sanction given by Bandar Lampung communication department toward the public transportation which disobeys the rule?

The method of this research is normative empiric approach. The data used are primer and secondary data. The data manages through data selection process, classification, systematization, the analyzed through descriptive qualitative way. The result and discussion of this research shows that: 1. The supervision done by the communication department of Bandar Lampung local state through the way of law justification and filter of public transportation was not equal to the regulation mention on UU no 22, 2009 regarding traffic and public transportation. (2) Sanction for public transportation which disobeys the route permission will have warning letter by the department of communication, Bandar Lampung local state then having higher sanction such as evaluation up to arresting the car and withdrawal the route permission. Suggestion for this research (1) the communication department of Bandar Lampung is expected to be more cooperated with P3ABL to reduce the misunderstanding of information and P3ABL shall be more coordinating to every public transportation owner and driver for the sake of building better cooperation and confidence during


(2)

(3)

ABSTRAK

KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM IZIN TRAYEK ANGKUTAN KOTA

Oleh : Paksi Seto

Banyaknya Angkutan kota di Bandar Lampung yang beroperasi membuat pemerintah kota Bandar Lampung mengupayakan untuk terus memberi pengawasan secara khusus bagi angkutan umum ini. Kebijakan pemerintah kota Bandar Lampung dalam melakukan pengawasan terhadap izin trayek merupakan salah satu upaya dalam mengendalikan tingkat pertumbuhan angkutan umum. Kebijakan yang dikeluarkan Menteri Perhubungan melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum, maka Pemerintah wajib menyediakan angkutan orang dijalan raya yang layak, aman dan nyaman bagi masyarakat khususnya di Kota Bandar Lampung, untuk itu pemerintah mengatur angkutan kota sebagai moda transportasi yang bisa digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Permasalahan dalam penelitian ini: (1) Bagaimana pengawasan kebijakan pemerintah kota Bandar Lampung terhadap izin trayek angkutan kota? (2) Apakah sanksi yang diberikan Dinas Perhubungan kota Bandar Lampung terhadap angkutan kota yang melakukan pelanggaran peraturan izin trayek?

Metode penelitian menggunakan pendekatan secara normatif empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data diolah melalui proses seleksi data, klasifikasi, dan sistematisasi, lalu dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Hasil Penelitian dan pembahasan menunjukan: (1) pengawasan yang dilakukan Pihak Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung dalam rangka penegakan Hukum dan sebagai filterisasi bagi mikrolet yang tidak sesuai dengan regulasi yang ditentukan dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) sanksi bagi angkutan kota yang melanggar izin trayek langkah awalnya diberikan surat teguran oleh Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung. Kemudian memberikan tindakan sesuai pelanggaran yang dilakukan


(4)

pahaman informasi yang ingin disosialisasikan, dan P3ABL harus lebih mengkoordinir semua pemilik dan pengemudi mikrolet yang beroperasi supaya tercipta kerjasama baik dan menciptakan kenyamanan bertransportasi. (2) Para pemilik dan pengemudi angkutan kota sebaiknya lebih cerdas dan peka terhadap regulasi yang mengatur tentang izin trayek sehingga tidak terjadi kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan.


(5)

(6)

KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM IZIN TRAYEK ANGKUTAN KOTA

(Skripsi)

Oleh PAKSI SETO

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Paksi Seto dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 12 Oktober 1991, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan bapak Suhadi dan Ibu Sunarti (Alm).

Jenjang akademis Penulis diselesaikan dari sekolah TK Sandhy Putra di Bandar Lampung pada tahun 1996 . Sekolah Dasar Negeri 2 Sawah Brebes kecamatan Tanjung Karang Timur sampai selesai pada tahun 2003, lalu penulis melanjutkan jenjang pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 9 Bandar Lampung dan selesai pada tahun 2006, selanjutnya ditahun yang sama Penulis melanjutkan pendidikan pada SMA Negeri 3 Bandar Lampung dan selesai pada tahun 2009.

Selanjutnya ditahun yang sama Penulis berkesempatan belajar di perguruan tinggi dan diterima dijurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Kemudian pada tahun 2010 penulis mencoba kembali tes perguruan tinggi melalui jalur SNMPTN dan diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum pada Universitas Lampung program pendidikan strata 1 (S1) dan mengambil jurusan Hukum Administrasi Negara (HAN) sampai akhirmya menyelesaikan pendidikan pada tahun 2014.


(10)

MOTO

Quid Leges Sine Moribus

Kepercayaan akan diri sendiri adalah rahasia utama untuk sukses (C. Rogen)

Integritas adalah menceritakan kebenaran pada diri sendiri; kejujuran menceritakan kebenaran kepada orang lain

(Spencer Johnson)

Berusahalah semaksimal mungkin, karena sesulit apapun itu pasti akan ada hasil yang memuaskan


(11)

PERSEMBAHAN

Segala puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT Robb penguasa alam semesta, yang telah memberikan nikmat iman, islam, serta kesehatan jasmani rohani, dan

tetap selalu melimpahkan rahmat kekuatan untuk tetap istiqomah di jalan-Nya. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada keharibaan junjungan Nabi

besar

Nabi Muhammad SAW

“Allaahumma shalli wasallim alaihi”

Kupersembahkan Karya Kecilku ini kepada:

Tanah air bangsaku, tanah tumpah darahku, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepada inspirasi dan penyemangat hidupku

Almarhummah Ibunda tercinta dan Ayahanda

“Allaahummaghfirlii wa liwaalidayya warhamhumma kamaa rabbayaani shaghiira”

Kepada Adikku tersayang Dan

Nenekku tercinta dan Saudara-saudaraku semua Seluruh teman-teman Ilmu Pemerintahan 2009 FISIP Unila

Seluruh teman-teman Fakultas Hukum Unila khususnya Hukum Administrasi Negara 2010 Ingatlah hari kemarin saat kita melangkah bersama menuju pada

satu ambisi, tujuan dan satu kemenangan Sarjana Hukum Almamaterku tercinta “Universitas Lampung”


(12)

DAFTAR ISI

Halaman BAB I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 6

1.2.1 Rumusan Masalah ... 6

1.2.2 Ruang Lingkup ... 7

1.3Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.2 Kegunaan Penelitian... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kewenangan ... 9

2.1.1 Pengertian Kewenangan ... 11

2.1.2 Sifat Kewenangan ... 16

2.1.3 Sumber Kewenangan ... 17

2.2 Kewenangan Pemerintah di Bidang Transportasi ... 18

2.2.1 Urusan Kewenangan Pemerintah Pusat di Bidang Transportasi Publik ... 19

2.2.2 Urusan Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi di Bidang Transportasi Pubik ... 20

2.2.3 Urusan Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota diBidang Transpotasi Publik ... 21

2.3 Pengertian Kebijakan ... 22

2.3.1 Kebijakan Publik ... 23

2.3.2 Implementasi Kebijakan ... 26

2.4 Pemerintahan Daerah ... 33

2.5 Perizinan (Vergunningen) ... 34

2.5.1 Pengertian Perizinan... 34

2.5.2 Fungsi Perizinan ... 37

2.5.3 Tujuan Perizinan ... 38

2.5.4 Bentuk dan Isi izin ... 38

2.5.5 Sifat Izin ... 39

2.6 Trayek Angkutan ... 39

2.6.1 Pengertian Trayek Angkutan ... 40

2.6.2 Izin Trayek ... 40


(13)

3.1 Jenis Penelitian ... 43

3.2 Pendekatan Masalah ... 43

3.3 Sumber Data ... 44

3.4 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 46

3.4.1 Pengumpulan Data ... 46

3.4.2 Pengolahan Data... 46

3.5 Analisis Data ... 47

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Sistem Transportasi di Kota Bandar Lampung ... 48

4.1.1 Wilayah Kota Bandar Lampung ... 48

4.1.2 Sistem Transportasi Darat di Bandar Lampung ... 54

4.1.2.1 Angkutan Kota (AK) ... 54

4.1.2.2 Sarana dan Prasarana Sistem Transportasi Darat di Bandar Lampung ... 57

4.1.3 Moda Transportasi Angkutan Kota di Bandar Lampung ... 59

4.2 Pelaksanaan Pengawasan Dalam Izin Trayek ... 60

4.2.1 Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung ... 61

4.2.2 Bagian Pengawasan ... 62

4.2.3 Pengawasan Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung ... 63

4.2.4 Kebijakan Pemerintah Kota Bandar Lampung terhadap Angkot/Mikrolet ... 66

4.2.4.1 Izin Trayek Angkutan Kota/Mikrolet... 66

4.2.4.2 Kebijakan Pemerintah Kota Bandar Lampung terhadap tarif Angkutan Kota ... 67

4.2.5 Prosedur Pemberian Izin Trayek Angkutan Kota/Mikrolet ... 67

4.2.6 Kendala Dalam Permohonan Izin Trayek Angkutan Kota ... 69

4.3 Sanksi Bagi Angkutan Kota yang melanggar izin trayek ... 71

4.3.1 Berdasarkan UU no 22 Tahun 2009 tentang LLAJ ... 71

4.3.2 Berdasarkan Kepmenhub no 35 tahun 2003 tentang penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum ... 72

4.3.3 Bentuk-bentuk Pelanggaran dalam izin trayek ... 73

4.3.4 Bentuk-bentuk Pelanggaran Lalu Lintas ... 75

4.3.5 Prosedur Penyelesaian Pelanggaran Angkutan Kota ... 76

BAB V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 78

5.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Sektor transportasi memiliki peranan yang cukup penting dalam peningkatan mobilitas warga, baik dari segi kepentingan umum maupun pelayanan perdagangan barang dan jasa.1 Tidak hanya itu saja, transportasi juga merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan bangsa dan negara serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara. Hal ini tercermin semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang dan barang dari dan keseluruh pelosok tanah air hingga luar negeri. Selain itu transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang berpotensi tetapi belum berkembang sebagai upaya peningkatan pemerataan pembangunan.2 Pada umumnya perkembangan sarana transportasi di Indonesia berjalan sedikit lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini disebabkan oleh perbedaan regulasi pemerintah masing-masing negara dalam menangani kinerja sistem transportasi yang ada. Kebanyakan dari Negara maju menganggap pembangunan transportasi merupakan bagian yang integral dari pembangunan perekonomian dan sangat berperan penting dalam

1

Adrian Sutedi,2011. Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. Hlm 314.

2

Rahayu Kartini.2007. Hukum Pengangkutan, UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Hlm 53.


(15)

mobilitas masyarakat. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana transportasi seperti halnya dermaga, pelabuhan, bandara, jalan raya, dan jalan rel dapat menimbulkan efek ekonomi berganda (multiplier effect) yang cukup besar, baik dalam hal penyediaan lapangan kerja, maupun dalam memutar konsumsi dan investasi dalam perekonomian lokal dan regional.

Salah satu bagian dari transportasi yaitu transportasi darat. Kendaraan bermotor merupakan sarana yang mutlak diperlukan dalam transportasi darat. Jumlah kendaraan bermotor semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menjadi suatu indikasi bahwa masyarakat semakin membutuhkan sarana transportasi sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Maka dari itu seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk di Indonesia yang sedang berkembang ini maka mode transportasi masal dan angkutan umum perlu ditingkatkan pengoperasiannya guna kelancaran aktifitas masyarakat.

Adanya layanan transportasi publik merupakan wujud dari tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat. Bahkan menurut Tangkilisan, transportasi merupakan barang publik (public goods), sehingga peranan pemerintah sangat vital dalam pengembangan sistemnya.3 Terkait dengan pengembangan sistem transportasi tersebut, Nasution menyatakan bahwa dibutuhkan sistem transportasi yang baik, aman, cepat, dan terjangkau oleh daya beli masyarakatnya.4

Nasution mengemukakan bahwa bagi daerah perkotaan, transportasi memegang peranan yang cukup menentukan. Kota yang baik ditandai antara lain dengan melihat kondisi transportasinya. Namun, layanan transportasi publik di kawasan

3

Hesel Nogi D Tangkilisan. Kebijakan Publik yang Membumi, Konsep, Strategi, dan Kasus. 2003. Yayasan Pembaruan Administrasi Publik, Yogyakarta. Hlm 402

4


(16)

perkotaan dihadapkan oleh kompleksitas kondisi transportasi yang telah ada.5 Menurut Sadyohutomo beberapa kondisi transportasi kota yang buruk, yaitu: kemacetan lalu lintas (traffic jams) dan lalu lintas merambat (traffic congestion); kesemrawutan lalu lintas, polusi udara dari knalpot mobil-mobil tua, kendaraan umum yang tidak aman, nyaman, dan tidak tepat waktu, kebijaksanaan pemerintah yang memanjakan penggunaan kendaraan pribadi dan mengabaikan pembinaan pada transportasi umum massal, dan prasarana jalan yang cepat rusak walau diperbaiki setiap tahun.6

Permasalahan kondisi transportasi kota ini juga dialami oleh kota Bandar Lampung. Bandar Lampung sebagai ibukota Provinsi Lampung dengan luas wilayah 196 km² dan penduduk kota saat ini berjumlah ±1 juta jiwa. Bandar Lampung memiliki andil penting karena secara administrastif sebagai pusat ibukota pemerintahan, Bandar Lampung juga sebagai jalur darat hubungan antara pulau Jawa dan Sumatera. Sesuai dengan klasifikasi kota, maka Kota Bandar Lampung masuk dalam kategori kota besar, dengan panjang jalan kota 900,320 km, jalan negara 65,04 km, dan jalan propinsi sepanjang 43,980 km.(Sumber: Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung, 2012).7

Sebagai kota yang menjadi pusat kegiatan baik pemerintahan maupun aktifitas perdagangan di Provinsi Lampung, Kota Bandar Lampung juga mulai menghadapi situasi dimana kemacetan lalu lintas mulai menjadi masalah. Hal ini diindikasikan dari kesemrawutan pengaturan angkutan kota yang salah satunya

5

Ibid. Hlm 16

6

Mulyono Sadyohutomo. Manajemen Kota & Wilayah Realita & Tantangan. 2009. Bumi Aksara, Jakarta. Hlm 65

7


(17)

dapat dilihat saat memasuki kawasan pusat perbelanjaan di Tanjungkarang Pusat dimana angkutan kota menumpuk. Angkutan umum belum terintegrasi dengan baik di Bandar Lampung, hal ini terlihat dari seringnya angkutan umum terlibat perebutan penumpang, saling menyalip serta berhenti di sembarang tempat. Perilaku ini membuat tidak nyaman dan membahayakan pengendara lain.8 Keadaan transportasi seperti ini menimbulkan dampak buruk dan ketidaknyamanan masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari khususnya bagi mereka yang menggunakan kendaraan umum atau angkutan umum.

Masalah transportasi sudah menjadi isu kebijaksanaan publik karena dampaknya secara material, waktu, dan kenyamanan sudah cukup besar.9 Masalah dan tantangan transportasi kota untuk jangka panjang ini merupakan hal yang harus diberi perhatian khusus dan dibahas pencegahannya dalam bentuk kebijakan. Berdasarakan PP Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, antara Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, telah dibagi-bagi kewenangan pemerintah pusat dan daerah Provinsi dalam bidang transportasi dan perhubungan. Izin trayek adalah salah satu dari perizinan sektor transportasi. Penerbitan izin trayek diperuntukkan untuk angkutan kota bagi permohonan izin trayek baru, permohonan perubahan, dan atau perpanjangan masa berlakunya. Melihat akan hal itu Izin trayek penerbitannya diberikan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan azas Otonomi Daerah yang berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

8

Lampung Post, 2 okt 2011

9

Mulyono Sadyohutomo. Manajemen Kota & Wilayah Realita & Tantangan. 2009. Bumi Aksara, Jakarta. Hlm 157


(18)

Untuk mengatasi tantangan-tantangan yang disebutkan sebelumnya, diperlukan kebijakan di bidang transportasi yang mampu mengantisipasi persoalan yang dikhawatirkan akan muncul di Kota Bandar Lampung beberapa tahun mendatang. Pemerintah Kota, khususnya Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung berusaha melakukan perubahan paradigma dengan mengutamakan perwujudan Sistem Angkutan Umum Massal (SAUM) dengan menerapkan pengoperasian angkutan berupa Bus Rapid Transit (BRT) yang dikenal dengan sebutan Trans-Bandar Lampung. BRT merupakan program unggulan pemerintah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) serta keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di jalan dengan kendaraan Umum.

Kebijakan angkutan kota pada BRT berdampak pada beralih fungsinya angkutan kota atau mikrolet tapi biasa masyarakat sebut Angkot, penerapan trayeknya adalah trayek berjenjang (utama, cabang, dan ranting/feeder). Prinsip trayek angkutan umum yang beroperasi di Kota Bandar Lampung adalah trayek berjenjang dan menjangkau seluruh wilayah kota. Oleh karena itu, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) pasal 158, maka pembagian jenjang trayeknya adalah Trayek Utama yang dilalui BRT, sedangkan Trayek Pengumpan/feederyang dilalui mikrolet. Terkait Surat Keputusan (SK) wali kota Bandar Lampung Nomor: 589/IV.33/HK/2013 tertanggal 1 Juli 2013, tentang tarif angkutan penumpang, dengan besaran Rp 2.500 untuk umum, dan Rp 2.000 untuk pelajar.


(19)

Berkaitan dengan masih banyaknya supir atau pemilik mikrolet yang melakukan pelanggaran tarif, terutama tarif bagi penumpang umum. Peneliti menemukan dari berbagai sumber dimedia cetak khususnya media cetak yang terbit di Bandar Lampung ada beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh supir angkutan kota (Mikrolet) diberbagai jurusan yang salah satunya jurusan Rajabasa–Tanjung karang yang tidak memungut biaya yang seharusnya dan hanya secara sepihak, tidak seperti yang diputuskan oleh SK Walikota Bandar Lampung Nomor: 589/IV.33/HK/2013.10 Supir tersebut memungut biaya sebesar Rp 3.000 kepada penumpang. Selain itu seringnya mikrolet terlibat perebutan penumpang, saling menyalip serta berhenti di sembarang tempat. Perilaku ini membuat tidak nyaman dan membahayakan pengendara lain. Keadaan transportasi seperti ini menimbulkan dampak buruk dan ketidaknyamanan masyarakat dalam menjalankan aktivitas. Dari contoh-contoh pelanggaran tersebut maka peneliti ingin mengkaji lebih khusus tentang Izin trayek angkutan kota (mikrolet) di Bandar Lampung.

1.2Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1.2.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis merumuskan masalah untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas serta untuk lebih mengarahakan pembahasan. Adapun permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana pengawasan kebijakan Pemerintah Kota Bandar Lampung terhadap izin trayek angkutan kota ?

10


(20)

b. Apakah sanksi yang diberikan Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung terhadap angkutan kota (Mikrolet) yang melakukan pelanggaran peraturan izin trayek ?

1.2.2 Ruang Lingkup

Berdasarkan permasalahan di atas maka ruang lingkup penelitian ini berkaitan dengan bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara khususnya Hukum Perizinan dan lingkup substansi yaitu Kebijakan Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam Izin Trayek Angkutan Kota.

1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah yang akan dibahas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pelaksanaan kebijakan pemerintah kota Bandar Lampung dalam izin trayek angkutan kota.

1.3.2 Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini dibagi menjadi dua kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu :

a. Kegunaan teoritis

1) Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dalam bidang pendidikan ilmu hukum khususnya Hukum Administrasi Negara yang mengenai bidang ilmu hukum perizinan tentang izin trayek angkutan kota.


(21)

2) Sebagai sumber informasi dan bahan bacaan bagi mahasiswa dan masyarakat agar dapat mengetahui tentang implikasi kebijakan pemerintah kota dalam izin trayek angkutan kota.

b. Kegunaan Praktis

1) Untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat, pemerintah serta peneliti sebagai sumber informasi bagi para pengkaji ilmu hukum ataupun teman-teman mahasiswa lain yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama.

2) Sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian akhir dan menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan gelar Sarjana Hukum.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kewenangan

Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang.Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).1

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”,2 sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara .

1

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), Hlm. 35-36

2

Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1990), Hlm. 30


(23)

Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.3 Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu:

a) hukum

b) kewenangan (wewenang) c) keadilan

d) kejujuran

e) kebijakbestarian, dan f) kebijakan.4

Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar Negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu Negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau Negara.5

Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) dimana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan

3

Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, hlm. 1

4

Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas Islam Indonesia, 1998), hlm. 37-38

5


(24)

kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.6 Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata yang artinya; kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya.Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat.Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.7

2.1.1 Pengertian Kewenangan

Kata kewenangan berasal dari kata dasar wenang yang diartikan sebagai hal berwenang, hak dan kekuasaaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.8 Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa

6

Rusadi Kantaprawira, Op.Cit, hlm. 39

7

Phillipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 20

8


(25)

wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan.9

Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang.10 Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.11

Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah:

“Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer”. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik).12

9

Prajudi Atmosudirdjo. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm 78.

10

Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), hlm. 22

11

Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 65

12

Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004), hlm.4


(26)

Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, maka kesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).

Bagir Manan mengemukakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (match). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.Di dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichen). Di dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk


(27)

menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.13

J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya.Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten.14

Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.

Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan menganai kemungkinan delegasi tersebut.

13

Bagir manan, wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah. Hlm 1-2

14

J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, (Nijmegen: Ars Aeguilibri, 1998), hlm. 16-17


(28)

Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Delegasi harus definitif, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;

c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;

e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.15

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah.Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya.Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.16

15

Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 5

16

F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 219


(29)

2.1.2 Sifat Kewenangan

Mengenai sifat kewenangan pemerintahan yaitu yang bersifat terikat, fakultatif, dan bebas, terutama dalam kaitannya dalam kewenangan kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikkingan) oleh organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan yang bersifat terikat dan bebas.

Menurut Indroharto; pertama, pada wewenang yang bersifat terikat, yakni terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dan keputusan yang harus diambil, kedua, wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalm hal-hal atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya: ketiga, wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.

Philipus mandiri Hadjon mengutip pendapat N. M. Spelt dan Ten Berge, membagi kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsverijheid) yang selanjutnya disimpulkan bahwa ada dua jenis kekuasaan bebas yaitu : pertama,


(30)

kewenangan untuk memutuskan mandiri; kedua, kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (verge norm).17

2.1.3 Sumber Kewenangan

Di dalam negara hukum dikenal asas legalitas yang menjadi pilar utamanya dan merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dan sistem kontinental.18

Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa kewenangan diperoleh melalui tiga sumber yaitu; atribusi, delegasi, mandat. Kewenangan atribusi lasimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar, kewenangan delegasi dan Mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.19

Bedanya kewenangan delegasi terdapat adanya pemindahan atau pengalihan kewenangan yang ada, atau dengan kata lain pemindahan kewenangan atribusi kepada pejabat dibawahnya dengan dibarengi pemindahan tanggung jawab. Sedangkan pada kewenangan mandat yaitu dalam hal ini tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan, yang ada hanya janji-janji kerja intern antara penguasa dan pegawai (tidak adanya pemindahan tanggung jawab atau tanggung jawab tetap pada yang memberi mandat). Setiap kewenangan dibatasi oleh isi atau materi, wilayah dan waktu.Cacat dalam

17

Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 112

18

Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Paradoksal Konflik dan otonomi Daerah, Sketsa bayang-bayang Konflik Dalam Prospek Masa Depan Otonomi Daerah.2002. hlm 65

19Op Cit


(31)

aspek tersebut menimbulkan cacat kewenangan (onbevoegdheid) yang menyangkut cacat isi, cacat wilayah, dan cacat waktu.

2.2 Kewenangan Pemerintah di Bidang Transportasi

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Kewenangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota diluar urusan mutlak terdapat berbagai bidang antara lain sesuai norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai urusan bersama (Concurrent) meliputi :

1. perencanaan dan pengendalian pembangunan

2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang

3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat

4. penyediaan sarana dan prasarana umum (yang menyangkut bidang perhubungan)

5. penanganan bidang kesehatan

6. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial

7. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota 8. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota

9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota

10. pengendalian lingkungan hidup

11. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota 12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil

13. pelayanan administrasi umum pemerintahan

14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota

15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota

16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undang

Dari masing-masing bidang diatas maka dalam hal ini urusan pemerintah di bidang transportasi angkutan publik secara langsung masuk di bidang penyediaan


(32)

sarana dan prasarana umum.20 Artinya urusan pemerintah di bidang transportasi bertujuan untuk menciptakan transportasi yang aman, nyaman dan terjangkau karena transportasi berhubungan dengan sarana dan prasarana umum khususnya transportasi angkutan publik. Mengenai pembagian urusan pemerintah daerah yang menyangkut penyediaan sarana dan prasarana umum maka dalam hal ini berhubungan juga dengan elemen dasar yang membangun kesatuan pemerintah, yakni mengenai keuangan daerah.

Maka dengan pembagian urusan kewenangan pemerintah di bidang transportasi dalam hal ini dibagi menjadi 3 yaitu :

a. Urusan Kewenangan Pemerintah Pusat di Bidang Transportasi Publik

b. Urusan Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi di Bidang Transportasi Publik

c. Urusan Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota di Bidang Transportasi Publik

2.2.1 Urusan Kewenangan Pemerintah Pusat di Bidang Transportasi Publik

Dalam memenuhi kewajiban dalam menyediakan sarana transportasi bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam angkutan publik diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau yang berhubungan dengan urusan pemerintah di bidang penyedia sarana dan prasarana umum. Pemerintah juga bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan publik. Pemerintah wajib menjamin tersediannya angkutan publik untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antar kota antar

20

Pasal 138 tentang Tanggung jawab dan Kewajiban Menyediakan Angkutan Umum, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan


(33)

provinsi serta antar lintas batas negara hal ini dijelaskan dalam pasal 138 dan pasal 139 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.

2.2.2 Urusan Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi di Bidang Transportasi Publik

Kewenagan Pemerintah Provinsi dalam menyelenggarakan transportasi angkutan public termasuk dalam tugas urusannya di bidang penyediaan sarana dan prasarana umum. Hal ini dijelaskan juga bahwa kewenangan pemerintah provinsi adalah pemerintah daerah provinsi wajib menjamin tersediannya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antar kota dalam provinsi. Adapun jenis penyediaan angkutan umum sebagai berikut :

1) Angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek, angkutan ini memiliki jenis pelayanan angkutan antar kota antar provinsi, angkutan antar kota dalam provinsi, angkutan perkotaan dan angkutan pedesaan.

2) Angkutan massal, sebagaimana harus didukung dengan : mobil bus yang berkapasitas angkut missal, lajur khusus, trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan missal dan angkutan pengumpan.21

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 berhubungan dengan urusan pemerintah dalam melakukan pembinaan lalu lintas dan Angkutan Jalan Meliputi : 1) Penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem lalu lintas dan angkutan jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/kota;

21


(34)

2) Pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi;

3) Pengawasan terhadap pelaksanaan lalu lintas dan angkutan jalan provinsi.

2.2.3 Urusan Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/kota di Bidang Transportasi Publik

Pemerintah Kabupaten/kota adalah pemerintah yang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dalam skala Kabupaten/kota sesuai norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan pemerintah. Selain itu wajib menjamin tersediannya angkutan umum untuk jasa ankutan orang dan/atau barang dalam wilayah Kabupaten/kota. Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Urusan kabupaten/kota, mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dalam skala kabupaten/kota sesuai norma, standar dan prosedur yang ditetapkan pemerintah dan urusan-urusan tertentu yang focus menyangkut pelayanan dasar dan pelayanan masyarakat.

Dalam menyelenggarakan transportasi pemerintah Kabupaten/kota juga memiliki kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan, bahwa dalam menyelenggarakan transportasi pemerintah Kabupaten/kota berkewajiban bahwa pemerintah daerah Kabupaten/kota wajib menjamin tersediannya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota.


(35)

2.3 Pengertian Kebijakan

Pemerintah dalam peningkatan pelayanan publik terdapat beberapa kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal ini biasa juga disebut sebagai kebijaksanaan. Kebijaksanaan Menurut Amara Raksasataya, adalah sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan.22

Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Dr. SP. Siagian, MPA dalam proses pengolahan Pembangunan Nasional, bahwa :

“Kebijaksanaan adalah serangkaian keputusan yang sifatya mendasar untuk dipergunaan sebagai landasan bertindak dalam usaha untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan sebelumnya”.23

Jadi kebijakan/kebijaksanaan adalah suatu rangkaian keputusan yang telah di tetapkan dengan cara yang terbaik untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelum kebijakan tersebut diambil.

Secara garis besar ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan, yaitu :

1. Adanya pengaruh tekanan dari luar

2. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme) 3. Adanya pengaruh sifat pribadi

4. Adanya pengaruh dari kelompok luar 5. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.24

22

AG.Subarsono , 2006, Analisis Kebijakan Publik. Hlm 17

23

Lijan Poltak Sinambelu. Reformasi Pelayanan Publik. Hlm 49

24


(36)

Selain itu, terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi dalam pembuatan kebijaksanaan, yaitu :

1. Sulitnya memperoleh informasi yang cukup 2. Bukti-bukti sulit disimpulkan

3. Adanya berbagai macam kepentingan yang berbeda mempengaruhi pilihan tindakan yang berbeda-beda pula

4. Dampak kebijaksanaan sulit dikenali 5. Umpan balik kepututusan bersifat sporadis

6. Proses perumusan kebijkasanaan tidak mengerti dengan benar.25

2.3.1 Kebijakan Publik

Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, kita tidak dapat lepas dari apa yang disebut dengan Kebijakan Publik. Kebijakan-kebijakan tersebut kita temukan dalam bidang kesejahteraan sosial, di bidang kesehatan, perumahan rakyat, pembangunan ekonomi, pendidikan nasional dan lain sebagainya.Namun keberhasilan dari kebijakan-kebijakan tersebut boleh dikatakan seimbang dengan kegagalan yang terjadi.Oleh karena luasnya dimensi yang dipengaruhi oleh kebijakan publik.

Salah satu defenisi yang diberikan oleh Robert Eyestone tentang kebijakan publik adalah “secara luas” kebijakan publik dapat didefenisikan sebagai “Hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”. Selanjutnya Carl Fried memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan

25


(37)

hambatan – hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusukan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Selain itu, gagasan bahwa kebijakan mencakup perilaku yang mempunyai maksud yang layak mendapat perhatian dan sekaligus harus dilihat sebagai bagian defenisi kebijakan publik yang penting, sekalipun maksud atau tujuan dari tindakan-tindakan pemerintah yang dikemukakan dalam defenisi ini mungkin tidak selalu mudah dipahami.

Proses kebijakan dapat dilukiskan sebagai tuntunan perubahan dalam perkembangan menyiapkan, menentukan, melaksanakan dan mengendalikan suatu kebijakan. Dengan kata lain bahwa proses adalah merupakan keseluruhan tuntunan peristiwa dan perbuatan dinamis.

Defenisi lain mengatakan bahwa kebijakan public pun ditawarkan oleh Carl freadrich yang mengatakan bahwa :

“ Kebijakan pubik adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) da kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijaan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinnya untuk mencapai tujuan yang dimaksud”.26

26


(38)

Menurut David Easton dalam bukunya yang berjudul The Political System memberikan defenisi tentang kebijakan publik yaitu “ Pengalokasian nilai-nilai secara sah/paksa kepada seluruh masyarakat”.27

Sementara itu definisi yang diberikanoleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai “whatever government choose to do or not to do”. Artinya, kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.28

Dalam kaitannya dengan defenisi tersebut maka dapat disimpulkan beberapa karakteristik utama suatu defenisi kebijakan publik, yaitu :

a. Pada umumnya kebijakan publik perhatianya diitujukan pada tindakan yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu dari pada perlu yang berubah atau acak.

b. Kebijkan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dari pada kepuasan yang berpindah-pindah.

c. Kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya yang dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatu perdagangan, mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau yang akan dikerjakan.

27

David Easton. 1953. The Political System. hlm 129

28


(39)

d. Kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan public melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan;

secara negatif, kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan.

e. Kebijkan publik, paling tidak secara positif didasarkan pada hukum dan merupakan tindakan yang bersifat memerintah.

Dengan demikian kebijakan publik adalah kebijakan yangdibuat oleh suatu lembaga pemerintah, baik pejabat maupun instansi pemerintah yangmerupakan pedoman pegangan ataupun petunjuk bagi setiap usaha dan aparatur pemerintah,sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam pencapaian tujuan kebijakan.

Pada tahap analisis kebijakan, analisis kebijakan sangat berperan penting dalam pengimplementasian kebijakan atau pelaksanaanya, sehingga nanti pada akhirnya dibuatsuatu kesimpulan apakah suatu kebijakan tersebut efektif atau tidak dan apakah kebijakantersebut sudah sesuai dengan peraturan kebijakan tersebut atau tidak.Hal ini merupakanelemen penting dalam analisis kebijakan.

2.3.2 Implementasi Kebijakan

Kamus Webster, merumuskan secara singkat bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out


(40)

(menyediakan sarana dan untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).

Kalau pandangan tersebut kita pahami, maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam bentuk Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit presiden).

Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara menstruktur/mengatur proses implementasinya.

Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijaksanaan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksana kesediaan. Proses pengimplementasian suatu kebijakan dipengaruhi oleh dua unsur yaitu; adanya program (kebijaksanaan) yang dilaksanakan, adanya target group, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran, dan diharapkan akan menerima manfaat dari program kebijaksanaan, adanya unsur pelaksana (implementer) baik organisasi maupun perorangan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam proses implementasi kebijaksanaan tersebut. Tahapan implementasi sebuah kebijakan merupakan tahapan yang krusial, karena tahapan ini menentukan keberhasilan sebuah kebijakan.Tahapan implementasi perlu dipersiapkan dengan baik pada tahap perumusan dan pembuatan kebijakan.


(41)

George Edwards III (1980) mengungkapkan ada empat faktor dalam mengimplementasikan suatu kebijakan publik yaitu:

a. Komunikasi

Dalam variabel komunikasi ini, secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yaitu transmisi, konsistensi, dan kejelasan. Menurut Edwards, persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Komunikasi harus akurat, dalam proses transmisi akan banyak hambatan-hambatan yang menghadang transmisi komunikasi pelaksanaan dan akan menghalangi pelaksanaan kebijakan. Aspek lain dari komunikasi menyangkut petunjuk-petunjuk pelaksanaan adalah persoalan konsistensi. Keputusan-keputusan yang bertentangan akan membingungkan dan menghalangi staf adminstrasi dan menghambat kemampuan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif. b. Sumber daya

Sumber-sumber disini dimaksudkan sebagai sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan sehingga implementasi kebijakan berjalan secara efektif. Sumber-sumber yang penting meliputi staf yang memadai disertai dengan keahliannya, informasi, wewenang, dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan pelayanan-peayanan publik. Tanpaadanya


(42)

sumber-sumber, kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan di atas kertas hanya akan jadi rencana saja dan tidak pernah ada realisasinya.

c. Disposisi atau perilaku

Kecenderungan dari pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Mengingat pentingnya kecendrungan-kecendrungan bagi implementasi kebijakan yang efektif, maka akan timbul dampak dari kecendrungan-kecendrungan tersebut dalam implementasi kebijakan. Menurut Edwards dampak dari kecendrungan-kecendrungan yaitu terdapat kebijakan yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat dukungan dari pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pandangan-pandangan pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana. Kecendrungan-kecendrungan yang menghalangi implementasi bila para pelaksana tidak sepakat dengan substansi suatu kebijakan. Implementasi tersebut di hambat oleh keadaan-keadaan yang sangat kompleks.

d. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu badan yang menjadi pelaksana kebijakan. Pada dasarnya, para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya, tetapi dalam pelaksanaannya masih dihambat oleh struktur-struktur organisasi dalam menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni


(43)

prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut Standard Operating System (SOP) dan fargmentasi. Struktur Organisasi-organisasi yang melaksanakan kebijakan mempunyai pengaruh penting pada implementasi. Salah satu dari aspek-aspek struktural paling dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya (SOP). Sedangkan sifat kedua dari struktur organisasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan yaitu fragmentasi organisasi. Fragmentasi organisasi ini akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap implementasi kebijakan. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi.

Gambar 1. Dampak Langsung dan tidak Langsung pada Implementasi Gambar diatas menjelaskan adanya interaksi mengenai beberapa hubungan dari faktor-faktor yang akan menjelaskan peranan masing-masing dalam proses implementasi. Kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap faktor-fator komunikasi, sumber-sumber, kecendrungan-kecendrungan dan struktur birokrasi pada pelaksanaan kebijakan. Akan tetapi, disamping itu secara langsung dapat

Komunikasi

Sumber- sumber

Implementasi Disposisi/Prilaku


(44)

mempengaruhi implementasi. Jika dilihat dari gambar diatas, komunikasi mempengaruhi sumber-sumber, kecendrungan-kecendrungan, dan struktur birokrasi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi implementasi.

Keempat faktor tersebut secara simultan bekerja dan berinteraksi satu sama lain agar membantu proses implementasi atau sebaliknya menghambat proses implementasi. Implementasi sebuah kebijakan secara konseptual bisa dikatakan sebagai sebuah proses pengumpulan sumber daya Alam dan Sumber Daya Manusia dan diikuti dengan penentuan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan kebijakan.

Rangkaian tindakan yang diambil tersebut merupakan bentuk transformasi rumusan-rumusan yang diputuskan dalam kebijakan menjadi pola-pola operasional yang pada akhirnya akan menimbulkan perubahan sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan yang telah diambil sebelumnya. Hakikat utama implementasi adalah pemahaman atas apa yang harus dilakukan setelah sebuah kebijakan diputuskan.

Dalam pandangan George C. Edwards yang diikuti dalam buku Leo Agustino (2006:149), Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu:

a. Komunikasi, keberhasilan implementasi kebijakan masyarakat agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali


(45)

oleh kelompok sasaran, maka kemugkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

b. Sumber Daya, walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumber daya finansial.

c. Disposisi, merupakan watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis.

d. Struktur Organisasi, merupakan yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengatuh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.

Tahapan ini tentu saja melibatkan seluruh stakeholder yang ada, baik sektor swasta maupun publik secara kelompok maupun individual. Implementasi kebijakan meliputi tiga unsur yakni tindakan yang diambil oleh badan atau lembaga administratif; tindakan yang mencerminkan ketaatan kelompok target serta jejaring sosial politik dan ekonomi yang mempengaruhi tindakan para stakeholder tersebut. Interaksi ketiga unsur tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak, baik dampak yang diharapkan maupun dampak yang tidak diharapkan.

Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.”


(46)

Perlu dipahami bahwa implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan, karena melalui prosedur ini proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan. Hal ini dipertegas oleh Chif J. O. Udoji (1981) dengan mengatakan bahwa:

“ hasil akhir implementasi kebijakan paling tidak terwujud dalam beberapa indikator yakni hasil atau output yang biasanya terwujud dalam bentuk konkret, keluaran atau outcome yang biasanya berwujud rumusan target semisal tercapainya pengertian masyarakat atau lembaga, manfaat atau benefit yang wujudnya beragam; dampak atau impact baik yang diinginkan maupun yang tak diinginkan serta kelompok target baik individu maupun kelompok”.(Chif J. O. Udoji; 1981)

2.4 Pemerintahan Daerah

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat 2 menjelaskan Pemerintahan daerah adalah Penyelenggara Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selanjutnya dalam ayat 3, UU Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan Pemerintahan Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan Perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.


(47)

Dalam hal ini di maksudkan bahwa pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintah daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi.Asas desentralisasi dalam hal ini sebagai suatu penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom.Oleh karenanya daerah mempunyai kewenangan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.5 Perizinan ( Vergunningen ) 2.5.1 Pengertian Perizinan

Perizinan beraasal dari kata izin yang diartikan dengan kenyataan mengabulkan (tiada melarang, dan sebagainya) persetujuan memperbolehkan. Sedangkan perizinan diartikan sebagai hal pemberian izin.29

Dalam pengertian umum berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, perizinan diartikan sebagai hal pemberian izin. Sedangkan izin itu sendiri, dalam kamus tersebut izin diartikan sebagai pernyataan mengabulkan (tidak melarang dsb); persetujuan membolehkan. Dengan demikian, secara umum perizinan dapat diartikan sebagai hal pemberian pernyataan mengabulkan (tidak melarang dsb) atau persetujuan membolehkan.30

Pasal 1 ayat (8,9) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelayanan Satu Pintuyang berbunyi :

29

R. Subekti. Kamus Hukum. Hlm 391

30

Pusat Bahasa Depdikbud. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Pustaka. Hal : 447


(48)

Ayat (8), Izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan syah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu.

Ayat (9), perizinan adalah pemberian legalitas kepada sesorang atau pelaku usaha/ kegiatan tertentu, baik dalam bentuk izin maupun daftar usaha.

Adapun beberapa pengertian izin diantaranya :

Prajudi Atmosudirdjo, menyatakan bahwa izin (vergunning) adalah penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh undang-undang. Pada umumnya pasal unadng-undang yang bersangkutan berbunyi, “dilarang tanpa izin ….(melakukan)…dan seterusnya.” Selanjutnya larangan tersebut diikuti dengan perincian syarat-syarat, kriteria, dan sebagainya yang pelu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan, disertai dengan penetapan prosedur dan petunjuk pelaksanaan (juklak) kepada pejabat-pejabat administrasi negara yang bersangkutan.31

Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi Negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal kongkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.32 E. Uthrecht berpendapat, Bilamana pembuatan peraturan tidak umunya melarang suatu perbuatan tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara

31

Atmosudirjo, Prayudi. 1983. Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Ghalia Indonesia. Hal : 94.

32


(49)

yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit maka perbuatan administrasi negara memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).33 Philipus M Hadjon membagi pengertian izin dalam arti luas dan sempit. Yaitu suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari larangan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan hal ini menyangkut tindakan demi kepentingan umum. Disamping itu izin juga dapat dibedakan atas berbagai figure hukum, yang meliputi izin dalam arti sempit, pembebasan atau dispensasi dan konsesi. Dalam arti sempit izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau menghalangi keadaan-keadaan yang buruk pembebasan atau dispensasi yaitu pengecualian atas larangan sebagai aturan umum, yang berhubungan erat dengan keadaan khusus peristiwa, konsesi adalah izin yang berkaitan dengan usaha yang diperuntukan untuk kepentingan umum.34

Spelt dan Ten Berge Membagi pengertian izin dalam arti luas dan sempit, yaitu izin merupakan salah satu instrument yang paling banyak digunakan dalam hukum adminisitrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin ialah salah satu persetujuan dari para penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya

33

E. Utrecht. 1957. Hlm 187.

34


(50)

dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya.Ini adalah paparan luas dari pengertian izin.35

2.5.2 Fungsi Perizinan

Izin merupakan instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi para warga agar mau mengikuti cara yang dianjurkannya guna mencapai suatu tujuan konkret.36 Sebagai suatu instrumen, izin berfungsi selaku ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang masyarakat yang adil dan makmur itu dijelmakan. Hal ini berarti lewat izin dapat diketahui bagaimana gambaran maasyarakat yang adil dan makmur itu terwujud37. Persayaratan yang terkandung dalam izin merupakan pengendali dalam memfungsikan izin itu sendiri. Karena dengan izin pemerintah dapat melakukan pengendalian terhadap siapa saja yang meminta melakukan permohonan izin tersebut.

Apabila dikatakan bahwa izin itu dapat difungsikan sebagai instrumen pengendali dan instrument untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimana yang diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, penataan dan pengaturan izin ini sudah semestinya harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, berkenaan dengan fungsi-fungsi hukum modern, izin dapat diletakkan dalam fungsi menertibkan masyarakat.38

35

N.M. Spelt dan J.B.J.M Ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan.Surabaya, 1992, Hlm 2-3

36

Ibid. hlm 5

37

Sjahran Basah. Pencabutan Izin Salah satu sanksi Administrasi, makalah pada penataran hukum administrasi dan hukum lingkungan di Fakultas hukum Unair. Hlm 2.

38


(51)

2.5.3 Tujuan Perizinan

Tujuan perizinan menurut Spelt dan Tan Berge hal ini tergantung pada kenyataan konkret yang dihadapi. Keragaman peristiwa konkret menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin ini, yang secara umum dapat disebutkan sebagai berikut :

1) Keinginan mengarahkan ( mengendalikan “struen”) aktivitas-aktivitas tertentu (misalnya izin bangunan).

2) Izin mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan).

3) Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin membongkar pada monumen-monumen).

4) Izin hendak membagikan benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat penduduk)

5) Izin memberikan pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (izin berdasarkan “drank en horecawet” dimana pengurus haarus memenuhi syarat-syarat tertentu).39

Perizinan mempunyai beberapa tujuan yaitu keinginan untuk mengarahkan atau mengendalikan aktivitas-aktivitas tertentu, mencegah timbulnya bahaya, keinginan untuk melindungi obyek-obyek tertentu, keinginan untuk membagi benda-benda yang sedikit.

2.5.4 Bentuk dan Isi izin

Izin yaitu merupakan salah satu bentuk keputusan tata usaha negara. Keputusan tata usaha negara adalah penetapan tertulis dan izin selalu dibuat dalam bentuk tertulis, yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi

39Op.cit


(52)

tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata yang berdarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Pasal 1 ayat (3).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka izin akan selalu berbentuk tertulis dan berisikan beberapa hal sebagai berikut :

1) Organ pemerintah yang memberikan izin. 2) Siapa yang memperoleh izin.

3) Untuk apa izin digunakan.

4) Alasan yang mendasari pemberian izin. 5) Ketentuan pembatasan dan syarat-syarat. 6) Pemberitahuan tambahan

2.5.5 Sifat Izin

Sesuai dengan sifatnya, yang merupakan bagian dari ketetapan, izin selalu dibuat dalam bentuk tertulis dan merupakan suatu keputusan tata usaha negara yang menciptakan hukum sehingga dengan pemberian izin akan dapat menimbulkan hubungan hukum tertentu. Sehingga sifat izin yang tidak lain adalah bahwa izin merupakan keputusan yang bersifat menguntungkan.

2.6 Trayek Angkutan

Angkutan kota secara umum merupakan bagian dari angkutan umum khususnya angkutan darat, adapun pengertian dari angkutan umum berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 80/PMK.03/2012 berbunyi;


(53)

“kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan orang dan/atau barang yang disediakan untuk umum dengan dipungut bayaran baik dalam trayek atau tidak dalam trayek, dengan menggunakan tanda nomor kendaraan dengan dasar kuning dan tulisan hitam”.

Angkutan kota sendiri adalah sebuah moda transportasi perkotaan yang merujuk kepada kendaraan umum dengan rute yang sudah ditentukan. Tidak seperti bus yang mempunyai halte sebagai tempat perhentian yang sudah ditentukan, angkutan kota dapat berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang di mana saja.

2.6.1 Pengertian Trayek Angkutan

Trayek Angkutan adalah lintasan kendaraan umum atau rute untuk pelayanan jasa angkutan orang dengan mobil bus yang mempunyai asal dan tujuan perjalanan tetap, lintasan tetap dan jadwal tetap maupun tidak berjadwal.40

2.6.2 Izin Trayek

Untuk melakukan kegiatan angkutan dalam trayek wajib memiliki izin trayek. Dan izin trayek sendiri merupakan satu kesatuan dokumen yang terdiri dari41 :

a. surat keputusan izin trayek, yang sekurang-kurangnya memuat : 1) nomor surat keputusan;

2) nama perusahaan;

3) nomor induk perusahaan;

4) namap impinan perusahaan/ penanggung jawab; 5) alamat perusahaan/ penanggung jawab;

6) masa berlaku izin;

40

Pasal 1 ayat (4) Kepmen Perhubungan nomor 35 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum.

41

Pasal 42 ayat (2) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum


(54)

b. surat keputusan pelaksanaan izin trayek, yang sekurang-kurangnya memuat: 1) nomor surat keputusan;

2) nama perusahaan;

3) kode trayek yang dilayani;

4) jumlah kendaraan yang diizinkan; 5) jumlah perjalanan perhari;

6) sifat pelayanan; 7) masa berlaku izin;

c. lampiran surat keputusan berupa daftar kendaraan, yang sekurang-kurangnya memuat :

1) nomor surat keputusan; 2) nama perusahaan; 3) nomor induk kendaraan; 4) tanda nomor kendaraan; 5) nomor uji;

6) merk pabrik; 7) tahun pembuatan; 8) daya angkut orang;

9) kode trayek yang dilayani; 10) kode pelayanan;

d. kartu pengawasan kendaraan, yang sekurang-kurangnya memuat : 1) nomor surat keputusan;

2) nomor induk kendaraan; 3) nama perusahaan; 4) masa berlaku izin; 5) trayek yang dilayani; 6) tanda nomor kendaraan; 7) nomor uji;

8) daya angkut orang; 9) daya angkut bagasi;

10) kode trayek yang dilayani; 11) jenis dan sifat pelayanan; 12) jadwal perjalanan;

e. surat pernyataan kesanggupan untuk mentaati kewajiban sebagai pemegang izin trayek, yang ditandatangani pemohon dan diketahui pejabat pemberi izin.


(55)

2.6.3 Pengertian Izin Trayek

Izin Trayek adalah izin yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada orang pribadi atau badan yang mengoperasikan angkutan penumpang umum pada satu atau beberapa trayek tertentu dalam wilayah daerah.42.

Dalam angkutan orang atau barang diklasifikasikan menjadi dua yaitu : a. angkutan orang atau barang dalam trayek dan

b. angkutan orang atau barang tidak dalam trayek

Untuk angkutan dalam trayek wajib memiliki izin trayek untuk melakukan kegiatan angkutan. Dan izin trayek sendiri merupakan satu kesatuan dokumen yang terdiri dari :

a. surat keputusan izin trayek

b. surat keputusan pelaksanaan izin trayek

c. lampiran surat keputusan berupa daftar kendaraan d. kartu pengawasan kendaraan

e. surat pernyataan kesanggupan untuk mentaati kewajiban sebagai pemegang izin trayek.

42

Pasal 64 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum.


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif-empiris, yaitu penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan peraturan perundang-undangan (in abstracto) serta penerapannya pada peristiwa hukum (in concreto).

3.2 Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini yang berdasarkan pada pokok permasalahan dilakukan dengan dua cara, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan empiris.

a. Pendekatan normatife (library research) adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama atau mempergunakan data sekunder diantaranya ialah asas, kaidah, norma, dan aturan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya. Pendekatan ini dikenal dengan nama pendekatan kepustakaan atau yang biasa disebut dengan studi kepustakaan atau studi dokumentasi, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dokumen lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Kebijakan Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam Izin trayek Angkutan Kota.


(57)

b. Pendekatan empiris yaitu disebut juga dengan sosiologis (field research) adalah peneliti yang mempergunakan data primer yang merupakan hasil dari penelitian lapangan. Data yang diperoleh dari pendekatan ini digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh dari studi kepustakaan sebagai bahan utama penelitian ini.

3.3 Sumber Data

Sumber data yang digunakan didalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder yang didefinisikan sebagai berikut:

1.Data Primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari sumber asli yang tentunya berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat didalam penelitian. Penulis akan mengkaji dan meneliti sumber data yang diperoleh melalui pihak-pihak dan instansi terkait, yakni Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung.

2. Data Sekunder adalah sumber data yang diperoleh tidak secara langsung, akan tetapi didapat dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum dan dokumen yang berhubung dengan penelitian permaslahan diatas. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Bahan hukum primer, yaitu meliputi:

1. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang tentang lalu lintas dan angkutan jalan.

3. Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 4. Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 1993 tentang angkutan jalan


(58)

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota.

6. Keputusan Menteri Perhubungan nomor 35 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di jalan dengan Kendaraan umum 7. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1985 tentang Pola Angkutan Umum

dalam Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung.

8. Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 07 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan tertentu.

9. Keputusan Walikota Nomor 29 Tahun 2004 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung Nomor 6 Tahun 1985 tentang Pola Angkutan Umum dalam Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung.

10.Surat Keputusan (SK) Walikota Bandar Lampung Nomor589/IV.33/HK/2013tentang Penetapan Tarif Angkutan.

b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersumber dari buku-buku ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum lainnya.

c. Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang bersumber dari kamus hukum, majalah surat kabar serta bahan-bahan yang didapat melalui internet.


(59)

3.4 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.4.1 Pengumpulan Data

1. Studi Pustaka, yaitu dengan mengidentifikasi dan mengumpulkan literature hukum serta dengan cara membaca, mempelajari, mengutip, merangkum dan memahami data-data yang diperoleh yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

2. Studi Dokumen, yaitu dilakukan dengan cara membaca dokumen yang berupa perizinan yang berhubungan dengan pokok bahasan yang akan diteliti.

3. wawancara, yaitu wawancara yang dilakukan bertujuan sebagai pendukung data sekunder dengan diperolehnya informasi langsung pada Instansi terkait.

3.4.2 Pengolahan Data

Dalam prosedur pengolahan data yang sudah terkumpul dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Inventarisasi data, pada tahap ini seluruh data hasil studi dikumpulkan. b. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi data yang terkumpul sudah

cukup lengkap, sudah benar, sudah sesuai (relevan) dengan masalah. c. Penandataan data (coding), yaitu memberi catatan atau tanda yang

menyatakan jenis sumber data.

d. Rekonstruksi Data (Reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur, beruntun dan logis. Sehingga mudah untuk dipahami dan diinterpretasikan.


(1)

47

e. Sistematisasi data (systematizing), yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika pokok bahasan dan sub pokok bahasan berdasarkan urutan masalah.

3.5 Analisis Data

Dari hasil keseluruhan data yang sudah dikumpulkan dan telah dilakukan pemeriksaan, kemudian dilakukan analisis data yang dipergunakan ialah deskripsi kualitatif yaitu pembahasan skripsi ini dengan cara menyajikan dalam bentuk uraian kalimat yang secara sitematis, sehingga dapat ditarik kesimpulan dimulai dari bahan yang bersifat umum berdasarkan fakta yang bersifat khusus dari permasalahan yang diteliti dalam penelitian terhadap Kebijakan Pemerintah Kota Bandar Lampung Dalam Izin Trayek Angkutan Kota.


(2)

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terhadap Kebijakan Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam Izin Trayek Angkutan Kota dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pada dasarnya kebijakan pemerintah Kota Bandar Lampung sendiri tidak akan berjalan dengan baik apabila Dinas Perhubungan kota Bandar Lampung tidak mensosialisasikan secara menyeluruh peraturan dan ketentuan yang berhubungan dengan izin trayek angkutan kota terhadap para pengusaha angkutan kota baik pemilik dan pengemudi angkutan kota/mikrolet. Karena pengawasan tanpa adanya pemberitahuan yang jelas hanya akan membuat jebakan bagi para pengusaha angkutan kota.

2. Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran izin trayek angkutan kota ini merupakan tindak pidana ringan pelanggaran sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan (2) peraturan daerah Kotamadya Daerah tingkat II Bandar Lampung Nomor 6 Tahun 1985 Tentang Pola Angkutan Umum Dalam Kotamadya Daerah tingkat II Bandar Lampung. Dan sanksi yang diberikan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2009 dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 menyebutkan sanksi bagi pelanggaran izin trayek adalah sanksi


(3)

79

administratif berupa pencabutan izin, pembekuan izin, penundaan perluasan izin.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut :

1. Untuk Pemerintah kota Bandar Lampung dalam hal ini Dinas Perhubungan kota Bandar Lampung sebaiknya melakukan sosialisasi, pengayoman, serta pengarahan kepada pihak pengusaha angkutan kota baik pemilik dan pengemudi angkutan kota/mikrolet sehingga dapat memimalisir pelanggaran yang dilakukan oleh angkutan kota yang beroperasi dalam trayek. Idealnya Dinas Perhubungan kota Bandar Lampung lebih bekerjasama lagi dengan P3ABL agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam informasi yang ingin disosialisasikan, dan P3ABL sendiri harus bisa lebih mengkoordinir semua pemilik dan pengemudi Mikrolet yang beroperasi di Bandar Lampung guna terciptanya kerjasama yang baik dalam menciptakan kenyamanan dalam bertransportasi di dalam kota khususnya bagi para pengguna angkutan ini. 2. Untuk para pemilik dan pengemudi angkutan kota sebaiknya lebih cerdas dan

peka terhadap regulasi yang mengatur tentang izin trayek sehingga tidak terjadi kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan secara terus menerus sehingga dapat beroperasi sebagaimana yang telah ditetapkan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Atmosudirdjo, Prajudi. 1981. Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Basah, Sjahran. 1995. Pencabutan Izin Salah satu sanksi administrasi . Fungsi pemerintah daerah dapat diartikan sebagai perangkat daerah yang menjalankan, mengatur dan menyelenggarakan jalannya pemerintahan. Budiardjo, Miriam. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama

Indroharto. 1994. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Bandung: Citra Aditya Bakti.

J.G. Brouwer dan Schilder. 1998. A Survey of Dutch Administrative Law. Nijmegen: Ars Aeguilibri.

Manan, Bagir.1990. wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung : Armico

Mulyosudarmo, Suwoto . 1990. Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan. Surabaya : Universitas Airlangga

Nitibaskara, Tubagus Ronny Rahman. 2002. Paradoksal Konflik dan otonomi Daerah, Sketsa bayang-bayang Konflik Dalam Prospek Masa Depan Otonomi Daerah.Bandung. Alumni.

Nugroho, Riant. 2011. Public Policy: Dinamika Kebijakan - Analisis Kebijakan ManajemenKebijakan, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.

Parsons, Wayne. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analysis Kebijakan. Jakarta: Kencana Predana Media Group.

Rahayu, Kartini. 2007. Hukum Pengangkutan, UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah. Malang.


(5)

Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktik Mengkaji Masalah danKebijakan Sosial, Bandung: CV. Alfabeta

Sinambelu Lijan, Poltak. 2010. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta : Bumi. Aksar.

Subarsono AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta . Sutedi, Adrian. 2011. Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. Sinar

Grafika. Jakarta.

Syafrudin, Ateng. 2000. Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV. Bandung : Universitas Parahyangan.

Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin. 2004. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah. Bandung: Alumni.

Sadyohutomo, Mulyono, 2009, Manajemen Kota & Wilayah Realita & Tantangan, Bumi Aksara, Jakarta.

Siswanto, 2007, Pengantar Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta.

Tngkilisan, Hesel Nogi D, 2003, Kebijakan Publik yang Membumi, Konsep, Strategi, dan Kasus.Yayasan Pembaruan Administrasi Publik, Yogyakarta. Winarno, Budi. 2002. Teori Dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media

Pressindo.

Perundang-undangan:

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang tentang lalu lintas dan angkutan jalan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota

Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di jalan dengan kendaraan Umum.

Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung nomor 3 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daaerah Kota Bandar Lampung


(6)

Perizinan Tertentu.

Keputusan Walikota Bandar Lampung nomor 29 Tahun 2004 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung nomor 6 Tahun 1985 tentang Pola Angkutan Umum Dalam Kotamadya Daerah tingkat II Bandar Lampung

Surat Keputusan (SK) Wali Kota Bandar Lampung Nomor 589/IV.33/HK/2013 tentang Penetapan Tarif Angkutan