Data deskriptif Komponen komitmen

istri diketahui bahwa nilai Z sebesar -1,080 dengan signifikansi yang didapat sebesar 0,280 p0,05. Maka, pada komponen komitmen juga tidak ada perbedaan diantara etnis Jawa dan etnis Papua. Selain itu, sampel suami pada etnis Jawa dan etnis Papua menghasilkan nilai Z sebesar -0,902 dengan signifikasi sebesar 0,367 p0,05. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan pada sampel suami etnis Jawa dan sampel suami etnis Papua dalam komponen komitmen. Pada sampel istri etnis Jawa dan sampel istri etnis Papua, juga dilakukan pengujian u, dan menghasilkan nilai Z sebesar -0,647 dengan signifikasi sebesar 0,518 p0,05. Dengan begitu, pada sampel istri pun juga tidak ditemukan adanya perbedaan dalam komponen komitmen. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa “ada perbedaan signifikan komponen cinta pada etnis Jawa dan etnis Papua” ditolak. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil perhitungan uji-t menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan komponen cinta pada etnis Jawa dan etnis Papua. Pada komponen keintiman, baik sampel etnis Jawa dan etnis Papua menempati kategori sangat tinggi. Pada etnis Jawa, terlihat dari prosesi adat pernikahan yaitu upacara wijik kembang setaman dan kacar kucur, diamana dalam upacara wijik kembang setaman dimaksudkan supaya sang istri bisa melayani suaminya dengan baik, dan pada upacara kacar kucur sang suami memberikan nafkah pada istrinya. Kedua hal tersebut merupakan elemen dari keintiman. Mungkin hal tersebut menjadi panutan pada pasangan etnis Jawa untuk memelihara hubungan pernikahannya, sehingga menyebabkan keintiman pada pasangan tersebut berada dalam kategori sangat tinggi. Pada etnis Papua, pemberian mas kawin merupakan sesuatu hal yang wajib, dan mas kawin merupakan suatu media yang menuntut sang istri untuk setia melayani suami dan memelihara anak-anaknya yang lahir dari perkwaninan tersebut, dan menuntut suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik Mampioper, dalam Papuasiana, 2011. Hal ini mungkin menjadi alasan mengapa keintiman dalam etnis Papua sangat tinggi, dengan adanya pemberian mas kawin dalam kebudayaan Papua, maka menuntut pasangan tersebut untuk terus mendukung kesejahteraan satu sama lain. Sementara itu pada komponen gairah, baik etnis Jawa maupun etnis Papua sama-sama berada dalam kategori yang sangat tinggi, Doherty, Hatfield, Thompson, dan Choo 1994 mengungkapkan bahwa ketika dihadapkan dengan emosi yang paling kuat, yaitu gairah cinta, pria dan wanita dari berbagai etnis dan kebudayaan tampaknya memiliki sikap dan perilaku yang sama. Hal ini mungkin sudah mewakili mengapa tidak ada perbedaan pada komponen gairah, baik dari etnis Jawa maupun etnis Papua keduanya memiliki sikap dan mungkin pandangan yang sama terhadap gairah. Pada komponen komitmen, baik etnis Jawa maupun etnis Papua berada dalam kategori sangat tinggi. Pada etnis Jawa, ajaran dari upacara adicara sinduran, yang mengajarkan bahwa harus tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga walaupun banyak masalah berat yang menimpa, mungkin membuat pasangan dari etnis Jawa ini menjaga komitmen pernikahannya. Sekali lagi ditekankan bahwa budaya Jawa merupakan suatu yang sangat sakral dan tidak bisa dipungkiri lagi bahwa budaya tersebut masih dipegang teguh oleh masyarakatnya, hal ini mendorong masyarakat untuk selalu bersikap harmonis dengan kebudayaannya, meskipun terjadi pengikisan budaya oleh karena modernisasi, tetapi ajaran-ajaran budaya Jawa masih saja tetap terpelihara dan masih kental. Sementara itu masyarakat Papua termasuk masyarakat Biak sangat memegang teguh ajaran agama Kristen. Injil masuk ke tanah Papua pada tahun 1855, dan pada tahun 1908 wilayah Biak Numfor dijadikan sebagai medan penginjilan. Pada saat itu pula agama norma-norma ajaran Kristen menjadi unsur kebudayaan baru bagi masyarakat Biak Rumansara, 2003. Agama Kristen mengajarkan bahwa apa yang sudah dipersatukan oleh Allah, janganlah dipisahkan oleh tangan manusia, dengan kata lain, agama Kristen sangat tidak menganjurkan perceraian. Oleh karena itu, karena ajaran agama Kristen yang begitu kental dan dipegang teguh oleh masyarakat Biak dan masyarakat Papua lainnya. Selain itu, pengaruh mas kawin juga sangat kuat disini, mas kawin merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Papua, sudah dijelaskan sebelumnya bahwa disisi lain, mas kawin menuntut suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik agar mas kawin yang dibayarkan tidak hilang jika terjadi penyelewengan yang mengakibatkan perceraian. Oleh karena itu, dengan adanya pengaruh agama dan kebudayaan yang kuat maka wajar saja bila komponen komitmen etnis Papua berada pada kategori yang sangat tinggi. Faktor lain tidak adanya perbedaan komponen cinta ditinjau dari etnis bisa dikarenakan perbedaan antara budaya individualisme dan budaya koletivitis. Doherty, Hatfield, Thompson, dan Choo 1994 mengungkapkan bahwa pada penelitiannya, mereka menemukan beberapa perbedaan cinta pada kebudayaan negara barat dengan negara timur, atau kebudayaan individualisme dengan kebudayaan kolektivisme. Negara dengan kebudayaan individualisme seperti Amerika, Inggris, Australia, Kanada, serta negara-negara di utara dan barat Eropa lebih mementingkan keinginan pribadi, sedangkan negara dengan kebudayaan kolektivisme seperti Cina, Amerika Latin, Yunani, Italia bagian selatan, Kepualuan Pasifik lebih menekan kepentingan pribadi demi kepentingan bersama Markus Kitayama, 1991; Triandis, McCusker, Hui, 1990, dalam Hatfield Rapson, 2007 . Ting-Toomey dalam Matsumoto, 2008