Etnik Mandailing Kebudayaan Mandailing

xxix 6. Padang Bolak Julu 7. Portibi

3.2 Etnik Mandailing

Etnik Mandailing adalah orang yang berasal dari Mandailing secara turun- temurun di manapun ia bertempat tinggal. Etnik menurut garis keturunan ayah patrilineal yang terdiri dari marga-marga : 1. Nasution 2. Lubis 3. Pulungan 4. Rangkuti 5. Batubara 6. Daulay 7. Matondang 8. Parinduri 9. Hasibuan Menurut Pandapotan Nasution dalam bukunya Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman. Marga-marga ini tidak serentak mendiami wilayah Mandailing. Ada beberapa marga yang datang kemudian mendiami wilayah Mandailing dan tidak mau disebut sebagai warga pendatang. Sebagai contoh marga Hasibuan yang bertempat tinggal di Mandailing, yang berasal dari Barumun sudah mempunyai Bona Bulu di Mandailing. xxx Sebahagian dari marga Hasibuan telah turut membuka huta bersama-sama dengan raja, sehingga ia disebut anak boru bona bulu. Demikian juga dengan marga lainnya. Orang Mandailing memperhitungkan hubungan keturunan itu secara patrilineal. Suatu kelompok kekerabatan juga dihitung berdasarkan satu ayah, satu kakek atau satu nenek monyang. Perhitungan berdasarkan satu ayah disebut “saamang” pada orang Mandailing perhitungan hubungan berdasarkan satu kakek disebut “saompung”. Orang Mandailing biasanya dapat menunjukan garis hubungan kekerabatan dengan kaum kerabatnya sampai jauh kembali ke atas beberapa generasinya. Di Mandailing ada falsafah yang menyebutkan “Hombar Do Adat Dohot Ibadat”. Artinya adat dan ibadah tidak dapat dipisahkan, adat tidak boleh bertentangan dengan agama Islam. Jika dalam upacara adat ada hal-hal yang mengganggu dengan pelaksannaan agama, adat itu harus dikesampingkan.

3.3 Kebudayaan Mandailing

Yang disebut kebudayaan tradisional itu nyatanya masih hidup dalam kebudayaan kontemporer. Adat perkawinan, adat menanam kepala kerbau pada waktu membangun gedung, batik tradisional dan lain-lain kebiasaan masih dipegang teguh, meskipun maknanya sudah tidak diketahui lagu atau sudah diberi makna baru. Akan tetapi untuk hal-hal tertentu orang tidak merasa harus mengindahkan adat. Inilah yang disebut kontemporer. Sebenarnya tidak ada tradisi yang bersih pada zaman sekarang, xxxi dan juga tidak ada kebudayaan modren yang tidak mengandung unsur-unsur tradisi walaupun kecil . Yang membedakan kebudayaan Mandailing dari kebudayaan lainnya dapat dilihat dari bahasa, tulisan dan adat istiadatnya baik dalam pergaulan sehari-hari dan dalam upacara-upacara tertentu. Adat istiadat Mandailing berdasarkan “Dalihan Na Tolu” Bahasa Mandailing merupakan medium utama kebudayaan. Mandailing. Bahasa Mandailing sampai sekarang masih dipakai di daerah Mandailing dan di daerah-daerah lain di perantauan dalam pelaksanaan komunikasi di antara sesama etnik Mandailing. Bahasa Mandailing mempunyai logat dan aksen irama yang lemah lembut dan dibawakan dengan suara halus. Sesuai dengan pemakaiannya bahasa Mandailing terdiri dari lima tingkatan, yaitu : Menurut Pandapotan Nasution dalam bukunya Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman. a. Bahasa adat bahasa pada waktu upacara adat b. Bahasa andung bahasa waktu bersedih c. Bahasa parkapur bahasa waktu di hutan d. Bahasa na biaso bahasa sehari-hari e. Bahasa bura bahasa waktu marahkasar Contoh : a. Sirih Bahasa adat = napuran Bahasa andung = simanggurak Bahasa biasa = burangir xxxii Bahasa parkapur = siroan b. Harimau Bahasa adat = balemun Bahasa parkapur = ompu i Bahasa biasa = babiat Bahasa bura = simorjut c. Makan Bahasa adat = marpanyogon Bahasa biasa = mangan Bahasa bura = mandursik Menurut Pandapotan Nasution dalam bukunya Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman. Bentuk masyarakat Batak Mandailing di kabupaten Tapanuli Selatan berdasarkan pada filsafat “Dalihan Na Tolu” sebagaimana alat tempat memasak yang bertumpu pada tiga buah batu yang merupakan tungku. Demikian juga dengan kelompok masyarakat Tapanuli Selatan yang didukung oleh lapisan-lapisan masyarakat yang terdiri dari : 1. Kahanggi yakni golongan yang merupakan teman semarga atau serumpun menurut golongan marga. 2. Anak boru yakni golongan yang diberi boru perempuan, misalnya seorang yang bermarga Siregar mengambil istri dari marga Harahap, maka Siregar tersebut adalah anak boru dari marga Harahap. xxxiii 3. Mora adalah pihak memberi boru, seperti contoh di atas yaitu mora dari Siregar. Sifat orang Mandailing adalah suka merantau, religius, kritis, mudah menyusaikan diri, dan berani menegakkan keberanian. Sifat perantau orang Mandailing menyebabkan mereka tersebar di seluruh Indonesia dengan berbagai profesi, bahkan sampai ke luar negeri seperti Malaysia, Saudi Arabia, dan Eropa. Daerah perantauan orang Mandailing yang pertama secara lokal adalah Sumaera Barat, Tanah Deli, Langkat dan Malaysia. Bahkan pada tahun 1800 seorang warga Mandailing telah pergi menuntut ilmu ke negara Belanda, bernama Sati Nasution gelar William Iskander dalam bukunya Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk. William Iskandar menulis falsafah dan ajaran-ajaran agama orang Mandailing berkemauan keras menuntut ilmu. Sebagai contoh dapat dilihat dari beberapa bait sajaknya yang berjudul Ajar ni Amangna di Anakna na kehe tu Sikola sebagai berikut: I abo, ale amang, sinuan tunas Langka ma ho, amang, marguru tu sikola Ulang hum baen song luas-luas, Tai ringgas ho, amang, marsipoda Anggo panganon dohot abit, Huparkatcitkon manjalahisa, Inda au nian mangkikit, Di ho mangalehensa I ma le nian, amang Por ni rohakku ho marbisuk, Ampot sogot madokdok ma hu lala pamatang, Anso hu domu hubaen usuk. xxxiv

3.4 Penduduk Serta Mata Pencaharian a. Penduduk