Konsep partai oposisi dalam sistem pemerintahan : studi komperatif antara hukum Islam dan hukum positif

KONSEP PARTAI OPOSISI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN STUDI
KOMPARATIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Proposal skripsi ini diajukan ke Fakultas Syari’ah Dan Hukum untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Disusun Oleh :
DAMANHURI
105043101294
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH
JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009

LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar starata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Juni 2010

Damanhuri
NIM. 105043101294

 
 

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt., yang telah
memberi nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, juga karena izin dan
ridha-Nya pula dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sesuai dengan
yang diharapkan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi

Muhammad saw., yang dengan kehadirannya telah memberikan pencerahan,
ketenangan dan kenyaman hidup manusia. Tak lupa kepada para sahabat,
keluarga dan orang-orang yang pernah mengikuti dan mentaati ajarannya
hingga akhir zaman.
Setelah melewati eaktu yang melelahkan, akhirnya dengan penuh
kesabaran dan penulis dapat menyelesaikan skripai ini. Semua ini tentunya
tidak menjadi sebuah kenyataan, tanpa bantuan dan keterkaitan semua
pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ayahanda H. Nara Somadan Ibunda Hj. Rosyidah, adalah orang tua
penulis yang dimuliakan, disayangi dan juga yang telah menemani
penulis sejak kecil baik suka maupun duka. Selama di dalam penulisan
skripsi ini beliau selalu memberikan semangat dengan kata-kata yang
membuat penulis semakin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini
hingga menjai Wisudawan.
2. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. Selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.



 

4. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA. Selaku Ketua jurusan
Perbandingan Madzhab dan Hukum. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki
Mag. Selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum.
5. Bapak Asep Saepudin Jahar MA, Ph.D sebagai dosen pembimbing
yang selalu memberikan masukan, arahan, dan kritikan yang
konstruktif pada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
6. Pimpinan perpustakaan, baik perpustakaan pusat maupun fakultas yang
telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan
berupa buku ataupun literatur lainnya sehingga memperoleh informasi.
7. Para dosen khususnya fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakart yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada
penulis selama masa perkuliahan berlangsung.

Tidak ada yang dapat penulis berikan sebagai balas jasa kepada
mereka yang telah memberikan banyak dukungan kepada penulis,
kecuali dengan doa. Semoga Allah membalas segala amal baik karena
sesungguhnya Dialah Tuhan satu-satunya tempat memohon dan
meminta.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini tidak
terlepas

dari

keterbatasan.

Oleh

karena

itu,

penulis

sangat

membutuhkan kritikan dan masukan yang membangun dari semua
pihak. Semoga skripsi ini dapat menjadi amal bagi pengembangan


ii 
 

ilmu pengetahuan, khususnya pengembangan bagi wacana keislaman.
Amin ya robbal ‘alamin

Penulis
Damanhuri
NIM. 105043101294
 

iii 
 

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I

: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah...........................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................13
D. Metode Penelitian....................................................................13
E. Sistematika Penulisan..............................................................15

BAB II

: BENTUK-BENTUK OPOSISI
A. Definisi Oposisi.......................................................................17
B. Oposisi Dalam Islam................................................................23
C. Oposisi dalam Sistem Parlementer...........................................27
D. Oposisi Dalam Sistem Presidensil...........................................30

BAB III

: SEJARAH GERAKAN OPOSISI INDONESIA DAN ISLAM
A. Sejarah Gerakan Oposisi di Indonesia.....................................34
B. Sejarah Gerakan Oposisi di Pemerintahan Islam.....................43


BAB IV

: KONSEP PARTAI OPOSISI DALAM SISTEM
PEMERINTAHAN (STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF)
A. Konsep Partai Oposisi Dalam Sistem Pemerintahan Menurut
Hukum Islam...........................................................................54
B. Konsep Partai Oposisi Dalam Sistem Pemerintahan Menurut
Hukum Positif..........................................................................61
C. Persamaan dan Perbedaan Antara Kedua Konsep..............69

BAB V

: PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................71
B. Saran..............................................................................72
C. Daftar Pustaka.................................................................74

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Demokrasi saat ini merupakan kata yang sering menjadi perbincangan
berbagai lapisan masyarakat mulai dari masyarakat bawah sampai masyarakat kelas
elit seperti kalangan elit politik, birokrat pemerintahan dan kaum profesional lainnya.
Pada berbagai kesempatan mulai dari obrolan warung kopi sampai dalam forum
ilmiah seperti seminar, lokakarya, diskusi publik dan sebagainya.
Semaraknya perbincangan tentang demokrasi semakin memberikan dorongan
kuat agar kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat menjunjung tinggi
nilai-nilai demokrasi. Wacana demokrasi seringkali dikaitkan dengan berbagai
persoalan. Karena itu demokrasi menjadi altenatif sistem nilai dalam berbagai
lapangan kehidupan manusia baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan
negara 1 .
Demokrasi mempunyai beberapa prinsip yang terdiri dari pluralisme,
persamaan dan kebebasan. Prinsip pluralisme memberikan penegasan dan pengakuan
bahwa keragaman budaya, bahasa, etnis, agama, pemikiran dan sebagainya
merupakan conditio sain qua non (sesuatu yang tidak bisa terelakan). Sedangkan
prinsip persamaan memberikan penegasan bahwa setiap warga negara baik rakyat
biasa atau pejabat mempunyai persamaan kesempatan dan kesamaan kedudukan di
muka hukum dan pemerintahan. Begitupula dengan prinsip kebebasan yang
1


Civic Education, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, h. 161

1

2

menegaskan bahwa setiap individu warga negara atau rakyat memiliki kebebasan
menyampaikan pendapat dan membentuk perserikatan
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa kebebasan merupakan salah satu
prinsip demokrasi yang harus dijalankan yaitu kebebasan menyampaikan pendapat
dan kebebasan membentuk suatu perserikatan seperti membentuk Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), membentuk organisasi kemahasiswaan bahkan membentuk
organisasi politik (partai politik) sekalipun. Kebebasan membentuk perserikatan
terutama partai politik, akan mampu menyerap dan sekaligus menyuarakan aspirasi
dan harapan-harapan yang diinginkan oleh segenap anggota masyarakat.
Penyerapan aspirasi masyarakat di negara besar seperti Indonesia yang terdiri
dari banyak pulau, suku, ras dan agama serta berbagai macam golongan yang terus
bermunculan seiring perkembangan zaman. Oleh karena itu diperlukan banyak
penyerap aspirasi, dalam arti diperlukan banyak partai (multi partai) yang mampu

menyerap aspirasi mereka, dan tidak ada lagi warga masyarakat yang merasa
terkucilkan serta tidak diperhatikan pemerintah serta menepis isu-isu separatisme
yang mengancam integrasi bangsa ini.
Sistem demokrasi memberikan ruang tumbuhnya multi partai politik yang
bebas dalam mengemukakan dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat untuk
disampaikan kepada pemerintahan. 2 Adanya multi partai politik mampu melakukan
kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan cita-cita dan
keinginan masyarakat. Karena pemimpin pada dasarnya juga mempunyai
2

Civic Education, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, h. 167

3

keterbatasan dalam hal pemikiran, pengelolaan dan kepemimpinan. Sehingga tidak
bisa dipungkiri juga dapat melakukan hal-hal yang keliru dalam mengelola bangsa ini
Sistem multi partai dianggap lebih mencerminkan keanekaragaman budaya
dan politik daripada sistem dwi-partai dan apalagi partai tunggal. Namun demikian
dalam sistem multi partai, apalagi kalau digandengkan dengan sistem pemerintahan
parlementer yang menitikberatkan kekusaan pada lembaga legislatif sehingga peranan

lembaga eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini disebabkan oleh karena tidak
ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri,
sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Di lain fihak partaipartai oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas oleh karena sewaktu-waktu
masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan koalisi baru.
Berbeda dengan sistim multi partai, dalam sistim dwi-partai sudah jelas letak
tanggungjawab mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi partai. Di dalamnya ada partai
yang berkuasa (partai yang menang dalam pemilihan umum) yang berperan sebagai
pelaksana pemerintahan dan partai oposisi (partai yang kalah dalam pemilihan
umum) yang berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia (loyal opposition)
terhadap kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian
bahwa sewaktu-waktu dapat bertukar tangan.3
Dalam pemilihan umum partai politik berkompetisi untuk mendapatkan
dukungan mayoritas rakyat. Karena itu ada partai yang mendapatkan suara dan
dukungan mayoritas dan ada yang mendapatkan dukungan minoritas. Partai politik
3

Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia, 1989) h. 168

4

yang mendapat dukungan rakyat mayoritas berkesempatan memimpin pemerintahan,
sedangkan partai yang mendapatkan dukungan minoritas dapat menentukan kebijakan
politiknya menjadi kelompok oposisi yakni berada di luar parlemen sebagai
penyeimbang pemerintah, sehingga akan timbul check and balance.
Keputusan menjadi golongan oposisi didasari oleh adanya perbedaan
pandangan dalam menjalankan sebuah roda pemerintahan. Perbedaan pandangan
jangan dianggap sesuatu yang negatif yang dapat merusak dan menghambat jalannya
roda pemerintahan.

Namun sebaliknya perbedaan pandangan tersebut akan

mengahasilkan banyak alternatif dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga
tidak terjadi lagi pemaksaan pandangan yang sudah jelas tidak tepat untuk diterapkan
Namun demikian menjadi oposisi bukan asal beda dan menempatkan serta
menganggap pemerintah secara sinis, lemah dan gagal. Oposisi bukan pula sekedar
menentang suatu kebijakan tanpa alasan dan landasan yang jelas dan tepat, melainkan
berdasar pada program-program yang telah direncanakan namun urung terlaksana
karena kalah dalam pemilihan umum. Maka untuk membuktikan kepada pemilih
bahwa mereka telah keliru dalam menentukan pilihan yaitu dengan membandingkan
antara perencanaannya dan realisasi yang dikerjakan oleh pemerintah yang sedang
berkuasa, dengan demikian maka terlihat jelas keunggulan masing-masing program,
sehingga pada pemilu berikutnya, pemilih dapat melihat kembali kualitas dan
kemampuan masing-masing kontestan berdasarkan pada pengalaman dan kenyataan
yang telah dilalui.
Kemunculan oposisi tidak lepas dari tujuan berdirinya suatu negara, yaitu

5

untuk mensejahterakan rakyatnya, dan pemerintah diberi mandat serta wewenang
untuk mengatur dan menemukan cara yang tepat dan jitu menuju dan menjadi
sejahtera. Untuk itu berbagai upaya dan pendekatan dilakukan untuk tujuan
kesejahteraan tersebut. Cara dan jalan itulah yang dibuat sehingga terbentuk suatu
sistem yang dapat diukur dan dievaluasi kendala, kelemahan, keberhasilan dan
kesuksesannya. Sistem yang digunakan untuk mewujudkan tujuan negara tersebut
tidak selamanya dapat berjalan baik, disana sini terserak berbagai kendala.
Penanganan kendala-kendala tersebut dapat memicu polemik, sehingga
memunculkan beragam model dan alternatif sistem lainnya, maka lahirlah sistemsistem baru, baik hasil modifikasi sistem lama maupun sistem yang sama sekali baru.
Pertarungan diantara sistem-sistem inilah yang melahirkan oposisi. Jadi oposisi
esensinya adalah perbedaan pandangan terhadap model pencapaian tujuan
kesejahteraan. Itulah sebabnya oposisi dikenal dalam sistem kepartaian, sebab partai
politiklah satu-satunya alat yang dapat digunakan untuk memperjuangkan suatu
sistem terlaksana dan dijalankan.
Sistem-sistem ini menjadi platform partai yang dijadikan sebagai alat tawar
kepada pemilih agar mau memilih partai tersebut. Maka oposisi tidak serta merta
terjadi, namun memiliki landasan dan alasan kuat sehingga suatu partai politik
memilih menjadi oposisi. Begitu pula dengan koalisi, tidak sebatas pertemuan
kepentingan sesaat, melainkan adanya pertautan dan persinggungan platform yang
dianut oleh partai-partai politik.
Namun kenyataan, realisasi dan praktek oposisi terlihat bertolak belakang,

6

oposisi dan koalisi menjadi “abu-abu”, sehingga sulit menentukan apakah kekalahan
suatu partai menjadikannya secara otomatis sebagai oposisi, atau bersekutunya
beberapa partai menempatkannya sebagai teman koalisi, tentu sulit untuk
menjawabnya, masih perlu analisa dan telaah lebih mendalam.
Sebenarnya di negara-negara yang menganut demokrasi sekalipun, oposisi
tidak benar-benar diterapkan secara konsisten, mengingat paradigma dan aliran
politik yang dianut dan diterapkan relatif sama terutama dalam kebijakan ekonomi.
Tawaran yang diperjual belikan kepada konstituen tidak jauh berbeda, sehingga
siapapun yang berkuasa tidak akan ada perbedaan yang signifikan. Amerika Serikat
misalnya, sulit membedakan kebijakan Bush dengan Clinton, meskipun mereka
berasal dari partai yang berbeda, keduanya sama-sama mengidolakan liberalisme.
Begitu pula dengan kebijakannya terhadap politik luar negeri Amerika, tidak
jauh berbeda, penerapan standar ganda dilakukan oleh keduanya. Yang berbeda
mungkin hanya pendekatannya, soal motif dan tujuan akhirnya sama saja. Dalam
kasus Israel misalnya, di masa Clinton yang Demokrat tidak ada bedanya dengan
Bush yang Republik, begitu pula dalam kebijakan-kebijakan lainnya. Hal ini
menunjukkan dan menguatkan bahwa oposisi tidak benar-benar sanggup atau mampu
diterapkan di negara-negara yang menganut demokrasi sekalipun. 4
Adanya oposisi adalah adanya pertarungan ideologi atau pemikiran-pemikiran
yang berbeda antara partai satu dengan partai yang lainnya. Pertarungan ini hanya
dimungkinkan, bila suatu negara memberi kebebasan kepada penganut paham
4

http.// www.michelleader.com

7

manapun untuk ikut bertanding. Dengan demikian dapat dilihat keunggulan dan
kelemahan masing-masing pihak. Tentu ide ini tidak mudah untuk dijalankan
mengingat banyaknya trauma sejarah terhadap pertarungan ideologi antar partai
politik tersebut, sehingga membuat banyak pihak menjadi paranoid, padahal bila
hukum ditempatkan sebagai wasit, maka tidak perlu ada kekhawatiran senantiasa
mengisi
Bagi masyarakat muslim Hukum Islam, dalam pengertian mewakili tatanan
konstitusional merupakan seperangkat nilai yang diterima oleh sebagian besar orang
dalam masyarakat politik sebagai sesuatu yang sah dan otoritatif. Oleh karena itu
kesadaran terhadap konstitusi merupakan unsur penting dalam memberikan landasan
bagi oposisi yang sah. Ia memberi dasar untuk menentang tindakan para pemimpin
atau menyarankan pembaruan itu tanpa perlu melakukan penggulingan pemerintahan
secara revolusioner yang banyak menimbulkan kehancuran-kehancuran dan bahkan
menumpahkan darah. 5
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang demokratis, yang didasarkan pada
permusyawaratan dan penghargaan pada hak asasi manusia, hak material, dan hak
imaterial manusia yang tidak boleh dipaksakan dan ditindas. Oleh akrena itu setiap
anggota masyarakat itu berhak menyatakan pendapatnya, berhak berbeda
pendapatnya, berhak mengoreksi setiap pemimpin apakah dia pemimpin tinggi, raja,
presiden atau pemimpin tingkat rendah. Apakah dia pemimpin formal, seperti

5

John L.Esposito&John O. Voll Demokrasi di negara-negara muslim: problem dan
prospekDiterjemahkan oleh Rahmani Astuti dari Islam and Democracy, h. 50-51

8

presiden, raja, panglima atau pemimpin informal, seperti tokoh politik, tokoh
masyarakat, para ulama dan cendikiawan
Ini dinyatakan dalam firman Allah
“dan bermusyawarahlah di dalam semua urusan kamu”(ali imron: 159)
“dan di dalam urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka” (al-syura: 38)
“afdhalul jihad qoulal haqi ‘inda suthanin jaair” (hadits)
Dari ayat-ayat dan hadits di atas tegas bahwa setiap ummat itu berhak untuk
menyatakan yang benar, berhak untuk menyatakan keberatan jika dia merasa bahwa
dia tidak akan mampu melakukannya.
Dan jika seseorang itu merasa bahwa ada kejanggalan atau kekurangan atau
kesalahan atau mengandung maksiat maka ummat wajib mengoreksinya. Dan jika
tidak mampu melakukannya dia boleh menyampaikan keberatannya, dan pimpinan
yang baik tidak akan memberati ummatnya di luar kemampuannya seperti ayat di
atas.
Sebaliknya jika ada kekeliruan, lupa atau kekurangan, maka setiap pemimpin
sangat mengharapkan koreks dan pendapat yang lebih baik dari orang yang
dipimpinnya. Pemimpin Islam itu selalu mengharapkan kritik dan koreksi yang
dicontohkan oleh Rasulullah di mana beliau selalu meminta pendapat dari ummat,
bahkan dari wanita yaitu istrinya, dia dapat menerima jika memang pendapat istrinya
tersebut lebih baik. Juga dari khalifaturasyidin banyak contoh di mana mereka sangat
mengharapkan koreksi dan kritik dari rakyatnya. Khalifah Abu Bakar di saat beliau

9

dibaiat, beliau berkata: “taatilah aku jika aku benar, dan koreksilah aku jika menurut
pendapat kalian aku keliru.”
Contoh di atas merupakan benang merah dari demokrasi dan ketulusan serta
kebesaran pemipin Islam di masa lampau, yang wajib menjadi teladan bagi kita di
masa ini. Akibat dari ada hak dan kewajiban di antara pemimpin dan ummat ini,
maka masyarakat Islam ditegakkan secara demokratis dan didukung dengan sukarela
dan tulus oleh ummatnya. Menjadikan masyarakat yang mempunyai disiplin yang
tinggi, yang masing-masing pihak mengerti tanggung jawab hak dan kewajiban
masing-masing. 6
Pada masa “klasik “setelah wafatnya Nabi Muhammad dan meluasnya
ekspansi komunitas dan negara Islam gagasan mengenai konsensus (ijma’),
musyawarah (syura), dan ijtihad secara operasional

didefinisikan. Selain itu,

dikembangkan pula konsep spesifik yang terkait dengan isu oposisi, yaitu
menyangkut perbedaan pendapat antar umat Islam. Oleh karena itu pada masa itu
pulalah didefinisikan mana perbedaan pendapat yang diperbolehkan dan mana yang
dianggap pembangkangan.
Islam menetapkan musyawarah sebagai salah satu kaidah hidup yang islami
dan mewajibkan seorang pemimpin untuk melakukan musyawarah serta mewajibkan
umatnya untuk mengkritisi apa yang telah dilakukan pemimpinnya. Sebagaimana
menjadikan amar ma’ruf nahi munkar sebagai sebuah kewajiban yang harus
dijalankan, bahkan menjadikannya sebagai sebuah keutamaan jihad untuk
6

Ciri-ciri pemimpin menurut al-Qur’an, hal 58

10

mengatakan perkataan yang benar dihadapan pemimpin jahat.
Kewajiban tersebut harus diimplementasikan oleh partai politik khususnya
dalam pengelolaan sebuah negara. Karena penguasa seringkali dengan mudah
mematah kekuatan individu atau kelompok kecil dengan cara kekerasan atau tipu
daya. Namun sebaliknya ia akan sulit mematahkan kekuatan kelompok yang besar
dan terorganisir seperti partai politik yang mempunyai peran dalam segi kehidupan
dan pengaruh serta basis masa yang kuat di dalam masyarakat. 7 . Maka oleh karena itu
apabila ada kekeliruan atau terjadi keadaan statis dalam menjalankan pemerintahan,
partai politik harus cepat merespon hal tersebut dengan mengkritisi dan memberikan
masukan-masukan yang positif. .
Langkah oposisi partai politik tersebut akan membawa perubahan yang
signifikan bagi peningkatan kinerja pemerintahan dan berdampak pada terlaksananya
kesejahteraan serta kemakmuran yang selalu diidam-idamkan oleh seluruh lapisan
masyarakat khususnya golongan menengah ke bawah. Maka dengan demikian lagilagi kewajiban amar ma’ruf nahi munkar tersebut harus dijalankan dengan sungguhsungguh, jangan sampai diabaikan bahkan tidak dijalankan sama sekali.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis akhirnya tertarik untuk meneliti
secara lebih jauh tentang permasalahan tersebut dari berbagai sudut pandang.
Sehingga penulis berkeinginan untuk menulis skripsi yang berjudul
“KONSEP PARTAI OPOSISI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN ;
STUDI KOMPARATIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF”
7

Yusuf Qordlowy, fiqh daulah fil Islam, h. 136

11

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Peran menjadi partai oposisi tidaklah mudah dan harus menghadapi berbagai
macam tantangan dan permasalahan, yang tidak akan pernah habis dibahas dalam
waktu yang singkat, dan tidak sedikit buku yang dijadikan referensi. Sesuai dengan
latar belakang yang telah dipaparkan di atas. Maka penulis membatasi masalah hanya
mengenai partai oposisi yaitu tentang peran oposisi partai politik terhadap langkahlangkah dan kebijakan yang diambil pemerintah, yang lebih ditekankan pada masalah
pendorongan pemerintah untuk memperbaiki serta meningkatkan mutu kinerjanya
dalam rangka membangun negara dan mensejahterakan seluruh warga negaranya.
Adapun berdasarkan uraian dari pembatasan masalah, maka perumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
1.

Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pengertian “Partai

Oposisi” yang diperankan partai politik terhadap pemerintah yang
sah.
2.

Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif

terhadap konsep partai oposisi
3.

Bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum Islam dan

hukum positif mengenai konsep partai oposisi

12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian disesuaikan pada perumusan masalah di atas yang
meliputi:
1. Dengan penelitian ini dapat diketahui pandangan hukum Islam dan hukum
positif terhadap pengertian ”Partai Oposisi” yang diperankan partai politik
terhadap pemerintah yang sah.
2. Dengan penelitin ini dapat diketahui pandangan hukum Islam dan hukum
positif tentang konsep partai oposisi
3. Dengan penelitian ini dapat diketahui persamaan dan perbedaan antara hukum
Islam dan hukum positif mengenai konsep partai oposisi
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan
dalam kajian ilmiah, antara lain:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan menambah wawasan
khazanah keilmuwan di bidang hukum Islam terutama dalam hal hukum Islam
tentang bagaimana sebuah partai politik berperan sebagai oposisi dan
korelasinya terhadap peningkatan mutu kinerja pemerintahan.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu pemecahan masalah bagi
kalangan akademisi khususnya di bidang siyasah (perpolitikan) agar dapat
menjawab permasalahan-permasalahan hukum terutama seputar oposisi partai
politik dalam segala bentuknya.

13

D. Metode Penelitian
Ada beberapa hal yang terkait dengan metode yang digunakan dalam penelitian
skripsi ini, yakni;
a. Jenis Penelitian
Melihat pada data-data yang diambil dalam skripsi ini, maka penelitian
skripsi ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif, karena jenis data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Dan jika dilihat dari segi tujuan penelitian ini, maka penelitian ini juga
termasuk jenis penelitian deskriptif, yaitu pemaparan data-data dalam satu
variabel.
Dan juga apabila dilihat dari segi tipe penelitian ini, maka penelitian
ini termasuk dalam penelitian normatif-doktriner-komparatif, yaitu penelitian
pada doktrin-doktrin hukum dan membandingkannya satu dengan yang lain.
b. Jenis dan Sumber Data
Ada dua jenis dan sumber yang dijadikan sebagai bahan pegambilan
data penelitian ini, yakni jenis data dari sumebr primer diambil dari undangundang hukum, yakni undang-undang tentang partai politik, dan hukum Islam.
Sedangkan sekundernya adalah penjelasan dan juga penafsiran terhadap
undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait dengan objek penelitian,
serta referensi-referensi pendukung lainnya. Kedua jenis data tersebut diambil
langsung dari undang-undang dan buku-buku yang terkait dengan objek
penelitian.

14

c. Teknik Pengumpulan Data
Untuk jenis penelitian normatif dilakukan dengan cara studi kepustakaan atau
studi dokumenter, yakni dengan menelusuri bahan pustaka yang terkait
dengan peran partai oposisi dan korelasinya terhadap peningkatan mutu
kinerja pemerintah, baik itu dari hukum positif maupun hukum Islam yang
terkait dengan objek masalah yang dikaji dalam skripsi ini.
d. Teknik Pengolahan Data
Adapun teknik pengolahan data dalam skripsi ini dengan menggunakan teknik
deskriptif, yaitu setelah data-data tersebut terkumpul, maka langkah
selanjutnya adalah memaparkan data tersebut secara lengkap, urut, dan
teratur, dan setelah itu dilakukan analisis dengan mencermati setiap
pembahasan tema yang digarap.
e. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku-buku pedoman
penulisan skripsi, tesis, dan disertasi di fakultas syari’ah dan hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini penulis membaginya pada lima bab dan beberapa
sub bab, yakni:
BAB I:

Pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab: latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan keguanaan penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.

15

BAB II:

Pengertian partai oposisi dan partai opoisis menurut pandangan hukum
Islam serta tujuan dan pola oposisi

BAB III:

Bentuk-bentuk oposisi dan strategi oposisi dalam mengkritisi
kebijakan yang tidak populis, yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu
oposisi parlementer, oposisi presidensiil, dan Kedudukan dan fungsi
partai oposisi dalam ketatanegaraan, yang terdiri dari dua sub bab,
partai oposisi dalam ketatanegaraan, fungsi partai sebagai oposisi
pemerintahan

BAB IV:

Peran partai oposisi dalam meningkatkan mutu kinerja pemerintahan
menurut hukum Islam dan hukum positif, yang terdiri dari beberapa
sub bab, yaitu peran partai oposisi dalam meningkatkan mutu kinerja
pemerintah menurut hukum Islam, peran partai oposisi dalam
meningkatkan mutu kinerja pemerintah menurut hukum positif,
persamaan dan perbedaan antara keduanya tentang peran partai oposisi
dalam meningkatkan mutu kinerja pemerintah

BAB V:

penutup yang terdiri dari beberapa sub bab, yaitu: kesimpulan dan
saran-saran.

BAB II
BENTUK-BENTUK OPOSISI
A. Definisi Oposisi

Secara etimologi oposisi berasal dari bahasa inggris opposition (opposites,
oppnore dalam bahasa latin) yang berarti memperhadapkan, membantah, dan
menyanggah 1 . Sedangkan secara terminology, oposisi adalah golongan atau partai
yang menentang politik pemerintahan yang sedang berjalan 2 . Dalam kamus besar
bahasa Indonesia, oposisi diartikan sebagai partai penentang di dewan perwakilan dan
mengkritik pendapat atau kebijakan politik golongan mayoritas yang berkuasa 3 .
Eep Saifullah Fatah mendefinisikan oposisi sebagai setiap ucapan atau
pebuatan yang meluruskan kekeliruan sambil menggaris bawahi dan menyokong
segala sesuatu yang sudah benar. Sehingga maksud dari beroposisi politik adalah
melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa
benar. Jadi oposisi bukanlah penentang an sich, oposisi bukan pula sekedar pihak
yang mengatakan ketidaksetujuan, oposisi bukanlah golongan atau partai yang hanya
teriak semata-mata, dan bukan pula kalangan yang melawan kekuasaan secara
membabi buta 4 .
Sementara itu menurut prof. Dr. Nurcholis Madjid dalam bukunya “Dialog
Keterbukaan” menyatakan bahwa dalam Negara demokrasi yang sehat sangat
1
2

Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta; Gramedia, 1996) h. 754
Jhon McGill dan Eddy Soetrisno, Kamus Politik, (Jakarta, Aribu Matra Mandiri, 1996)

h.154
3
4

Tim Penyusun Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka) h. 628
Eep Saifullah Fatah, Membangun Oposisi, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1999) h. XI

17

18

diperlukan check and balance sebagai kekuatan pemantau dan pengimbang, sebab
dalam pandangan yang agak filosofis manusia tak mungkin selalu benar untuk
menjalankan check and balance secara formal di parlemen adalah partai oposisi.
Menurutnya juga, oposisi tidak berarti to oppose (menentang) tapi dalam oposisi
terkandung unsure to support (mendukung). Dalam pandangan Nurcholis oposisi
sangat berbeda dengan oppositionalisme adalah menentang sekedar menentang,
sangat subyektif dan bahkan ittikadnya kurang baik, seperti kebiasaan mendaftar
kesalahan orang lain. Sedangkan oposisi dalam semangat loyal, loyal kepada Negara,
loyal kepada cita-cita bersama dan bahkan kepada pemerintah pun dalam hal yang
jelas-jelas baik harus loyal 5 .

Dalam ilmu politik definisi oposisi adalah partai yang memiliki kebijakan atau
pendirian yang bertentangan dengan garis kebijakan kelompok yang menjalankan
pemerintahan. Oposisi bukanlah musuh, melainkan mitra tanding (counter player)
dalam percaturan politik, sebagaimana diidentifikasi oleh ghita Lonesca dan Isabel de
Madriaga dalam opposition (1982) – oposisi hadir sebagai pemerhati, pengontrol, dan
evaluator perilaku dan kinerja pemerintah

Dalam wacana politik, oposisi ditinjau dari dua aspek yaitu aspek kultural dan
aspek struktural. Pada aspek kultural menekankan bahwa oposisi sudah menjadi
sebuah kebutuhan mutlak dalam membangun bangsa kedepan yang lebih baik.

5

Nurcholis Madjid, Dialog Keterbuakaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer, (Jakarta, Paramadina, 1999) h.7

19

Mencermati bukan sekedar turut menyaksikan apa saja yang berlalu didepan mata,
akan tetapi siap-siaga untuk melakukan counter discourse atau gelar wacana
tandingan, dialog, kampanye publik, dan lain sebagainya.
Perilaku beroposisi seperti ini dapat diperankan oleh siapa saja dan kapan
saja. Sedangkan dalam aspek struktural, oposisi dimaknai dengan mengkritisi
kebijakan pemerintah yang berkuasa, namun dengan tidak banyak memproduksi aksi
positif, cukup dengan menolak tegas secara moral kebijakan tersebut, untuk
selanjutnya menunggu perkembangan yang akan berlaku. Dengan bahasa lain
merupakan oposisi yang miskin strategi dan miskin program, (menurut penulis) persis
sama dengan kondisi gerakan oposisi di Indonesia 6
Oposisi dalam ilmu politik tidak terlepas dari perkembangan partisipasi yang
lebih luas dalam proses politik. Menurut Myron Weiner partisipasi disebabkan oleh
lima hal. Pertama: modernisasi, komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi
yang meningkat, penyebaran baca tulis, perbaikan pendidikan dan pengembangan
proses demokrasi yang berdaulat. Bentuk kebebasan dalam bingkai pluralisme
menuntut partai untuk andil dalam kekuasaan. Kedua, perubahan struktur sosial.
Ketiga, pengaruh kaum intelektual dan komunikasi era modern yang memunculkan

6

http://ashlf.comH. Aries Sugi Hartono, S.H. H. Aries Sugi Hartono, S.H., oposisi semu di Indonesia, diakses

pada tgl 9 maret 2010

20

ide-ide egaliterianisme, nasionalisme, demokrasi, pluralisme ke dalam masyrakat
umum. Keempat, konflik antar kelompok pemimpin politik. Kelima, keterlibatan
pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. 7
Partisipasi ini sebagai usaha terorganisasi dari para warga negara untuk
mempengaruhi bentuk dan jalannya kebijaksanaan. Untuk menilai partisipasi politik
dapat dilihat dalam dua tolak ukur, yaitu pengetahuan dan penghayatan terhadap
politik yang mereka miliki. Diantaranya hak dan kewajiban warga negara.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan partisipasi itu diperlukan sistem
politik yang demokratis meliputi dua suasana kehidupan. Suasana kehidupan yang
konstitusional (supra struktur) dan kehidupan politik rakyat sebagai kekuatan politik
sosial dalam masyarakat (infra struktur). Infra struktur politik di sebuah negara
mempunyai lima komponen, meliputi:partai politik (political party), kelompok
kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), media komunikasi
politik (political communication group), dan tokoh politik (political figure). Pola
partisipasi politik dapat diklasifikasikan dalam dua pola. Yaitu pola konvensional
sebagai bentuk partisipasi yang umum dala demokrasi modern, meliputi aktivitas
pemberian suara, diskusi politik, kegiatan kampanye dan bergabung dalam kelompok
kepentingan.
Sedangkan partispasi politik non konvensional adalah pengajuan petisi,
demonstrasi, konfrontasi, mogok, tindak kekerasan terhadap harta benda atau
manusia dan revolusi. Partisipasi dapat terealisasi dengan dibentuknya partai politik
7

Tim Kanisius,Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta, Kanisius, 1996), h. 945

21

sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan komunikasi, sosialisasi dan
rekrutmen politik, fungsi lainnya sebagai pengatur konflik.
Kekuasaan dalam politik berbentuk hubungan, dalam arti ada pihak yang
memberi perintah dan ada pula pihak yang diperintah, sehingga ada pengaruh dalam
menjalankan kekuasaan. Kekuasaan politik merupakan kekuasaan sosial yang
fokusnya ditunjukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak berwenang yang
mempunyai hak mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan, ada dua macam
kekuasaan politik. Yakni, kekuasaan sosial yang terwujud dalam negara seperti
lembaga-lembaga pemerintah: DPR, presiden dan yudikatif. Kekuasaan sosial dalam
bentuk asosiasi-asosiasi dan aliran yang bersifat politik, maka untuk mengimbangi
agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan dalam satu badan. Ada pembagian kekuasaan
dalam negara atau lebih dikenal dengan doktrin trias politica. 8
Badan legislatif adalah lembaga yang mewakili aspirasi dari masyrakat yang
dipilih dalam pemilu. DPR menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan
dengan jalan menentukan kebijakan dan menuangkan dalam undang-undang.
Perwakilan-perwakilan partai ini mempunyai wewenang dalam menyuarakan aspirasi
masyarakat yang legal. Adapun tugas penting dari anggota legislatif adalah:
1. Menentukan kebijaksanaan dan membuat undang-undang. Untuk itu DPR
diberi hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang
yang disusun oleh pemerintah dan hak budget.

8

Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia, 1989) h. 135

22

2. Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan bada
eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Untuk
menyelenggarakan tugas ini badan legislatif diberikan hak-hak kontrol
khusus, diantaranya adalah hak bertanya, interpelasi, anggket dan mosi.
Maka format oposisi dalam bentuk ajaran mengimbangi kekuasaan (check and
balance) 9 negara yang diletakan dalam kerangka konstitusi. Format oposisi ini biasa
dilakukan oleh partai politik yang menginginkan perubahan atau mengkritisi kinerja
pemerintahan. Konstitusi mutlak merupakan kata akhir dan perwujudan legitimasi,
penyimpangan terhadap konstitusi berarti melampaui batas mandat politik. Pada
konteks ini oposisi dapat disebut sebagai sistem kontrol konstitusi.
Sistem check and balance merupakan sebuah mekanisme untuk mampu
mengoreksi dan meluruskan sebuah pemerintahan serta mendorong pertumbuhan ke
arah yang lebih baik. Oleh karena itu, setiap pengekangan kebebasan dan pencekalan
dalam mengemukakan pikiran adalah pelanggaran yang amat prinsipil terhadap
tuntutan sebuah falsafah sebuah negara atau hak asasi manusia. Peran oposisi partai
politik sangat penting untuk mengawasi dan mengimbangi kekuasaan secara
konsisten, objektif dan berpegang pada kebenaran. Serta berpihak pada kepentingan
rakyat banyak. Adanya oposisi di parlemen akan mempersempit kemugkinan
terjadinya tiranisme dan otoriterianisme.

9

Nurcholis Madjid, Dialog Keterbuakaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer, (Jakarta, Paramadina, 1999) h.13

23

.
B. Oposisi Dalam Islam

Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam yang mengatur segala aspek
kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, budaya dan bahkan politik sekalipun,
agar manusia tidak tersesat dan selalu berada pada jalan yang telah digariskan-Nya.
Ketika seorang pengkaji mengamati nash-nash yang terdapat dalam AlQur’an dan sunnah Nabi Saw serta dalam berbagai khazanah pemikiran Islam yang
disampaikan pada masa Khulafaur Rasyidin menemukan bahwa secara keseluruhan,
wacana Islam memerintah dan mengajak kaum muslim untuk beroposisi. Di samping
itu mendorong ummat untuk melakukan reformasi, bahkan bersikap menentang jika
keadaannya menghendaki demikian.
Fokus pokok oposisi tercermin dalam kewajiban yang dibebankan syari’at
kepada seluruh manusia untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (menyeru
kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Menurut Imam Hamid Al-Ghazali
dalam kitab ihya ‘ulumuddin, hal itu merupakan kutub terbesar agama 10 .
Kewajiban tersebut, dalam praktiknya, dewasa ini telah dihapus, bahkan
hanya difokuskan dalam masalah moral saja. Tetapi menurut pengalaman pahit kaum
muslim dan menurut kebanyakan ulama, kewajiban ini merupakan istilah politik pada
peringkat pertama. Ia juga merupakan substansi pokok untuk proses perubahan, baik

10

Fahmi Huwaydi, Demokrasi, oposisi, dan Masyarakat Madani , h. 132

24

itu dalam skala individu, kelompok, maupun ummat secara keseluruhan.
Suatu amalan yang sangat penting dalam menjalankan suatu roda
pemerintahan bagi mereka yang mendapatkan amanah dari ummat adalah
melaksanakannya dengan baik, dan sebaik-baiknya ummat adalah yang berani
memperingatkan dan mengkritisi suatu kekeliruan yang dilakukan oleh kepala negara.
Karena itu, suatu bentuk kritikan (oposisi) bukan hanya sekedar hak, tetapi bahkan
merupakan kewajiban menurut syari’at
Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa sebagai muslim kita senantiasa dituntut untuk
taat kepada Allah, rasul dan para pemimpin kita, tetapi kesepakatan itu segera disusul
dengan satu klausul politik selama para penguasa tidak menyeleweng. Artinya, ketika
para pemimpin melakukan perbuatan maksiat (kepada allah dan Rasul-nya), maka
tidak ada ketaatan lagi kepadanya. Dalam konteks ini, umat diperkenankan bahkan
diharuskan untuk senantiasa melakukan kritik terhadap para pemimpinya.
Sehingga dalam pandangan Islam, oposisi tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan
suatu pemerintahan ataupun mengganggu pemerintahan yang sedang berkuasa, tapi
bersikap tegas, tidak kompromi terhadap kedzaliman, sikap tegas ini mengandung
konsekuensi berani mengatakan “tidak” jika salah dan berani mengatakan “benar”
jika memang benar adanya. Atas dasar inilah, maka termasuk bagian tegas ini adalah
tidak malu mendukung kebijakan pemerintah jika dipandang tepat, dan sebaliknya
tidak takut untuk mengkritik suatu kebijakan jika dipandang salah.
Hal tersebut dilakukan untuk mencegah penyimpangan terhadap hak rakyat,
pelanggaran terhadap penuanaian amanat rakyat. Penyimpangan dari keadilan dan

25

menghilangkan kebebasan manusia, maka diperlukan partai politik atau kelompok
yang independen yang mengawasi jalannya pemerintahan di dalam birokrasi untuk
selalu objektif dalam menilai setiap kebijakan yang dibuat.
Untuk mengakomodir aspirasi masyarakat dalam sistem pemerintahan Islam
ada lembaga perwakilan rakyat yang lebih dikenal dengan majelis umat (ahl halli wal
aqdi). Tugas dari majelis umat ini membaiat kepala negara sebagai bentuk dari
kontrak sosial, ini tidaklah bersifat mutlak dan permanen, tetapi bersifat bersyarat
yang bergantung pada para penguasa dalam menjalankan kontrak sosial yang
disepakati sesuai atau tidak dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan berdasarkan
agama.
Adapun tugas lain dari lembaga ini adalah (1) memberikan saran kepada
khalifah. Dalam hal ini pendapatnya bersifat mengikat (wajib dilaksanakan oleh
khalifah); (2) dalam masalah disiplin, finansial, pasukan dan politik luar negeri,
khalifah berhak merujuk kepada majelis untuk meminta pendapatnya dan bersikap
sesuai dengan pandangannya, tetapi tidak mengikat; (3) majelis mempunyai hak
untuk mengoreksi khalifah atas seluruh tindakan yang selama ini terjadi di negara; (4)
majelis umat berhak untuk menampakan ketidaksetujuannya terhadap para Muawin,
Wali dan Amil; (5) kaum muslimin yang menjadi anggota mejelis umat, berhak untuk
membatasi calon yang akan menjadi khalifah.
Dari fungsi majelis umat, maka hak dan kebebasan beroposisi merupakan
produk alami dari kebebasan pemdapat, keadilan dan kesetaraan. Produk alami ini
adalah kaidah-kaidah dasar dari sistem pemerintahan Islam, yang berarti bahwa

26

dalam hukum Islam menerima munculnya oposisi dan melindunginya. Dalam sejarah
Islam permulaan dapat ditemukan bukti-bukti yang menunjukan bahwa Nabi
memberikan kebebasan kepada para sahabatnya untuk berbicara dan mengemukakan
pendapat mereka.
Hal ini tampak dalam musyawarah-musyawarah atau konsultasi yang beliau
laksanakan untuk membicarakan berbagai masalah. Beliau mengembangkan
kebebasan pendapat di kalangan para sahabatnya. Kegemaran Nabi Muhammad
bermusyawarah dengan para sahabatnya mengindikasikan bahwa Nabi mengakui
kebebasan berfikir dan berpendapat, dan sangat menghargai nilai-nilai kebebasan itu
sebagai suatu nilai yang bermanfaat 11 .
Islam telah menjadikannya sebagai tugas Muslim dan Muslimat untuk
membentuk masyarakkat yang sehat, yang bersih dari korupsi dan perbuatan tercela
dan untuk selalu berkelakuan baik dan menghindari kezhaliman. Tugas ini dituangkan
dalam prinsip amar ma’ruf nahi munkar, menyeru orang kejalan kebajikan dan
mencegah ketidakadilan adalah tanggung jawab bersama dari negara dan rakyat.
Sutau pemerintahan Islam tidak bisa bersikap netral berkenaan dengan kondisi moral
religius dari masyarakat.
Syariat islam telah menetapkan peemulaan muasyawarah dan menjadikannya
salah satu pondasi dari hukum dan politik yang tidak mempunyai perincian,
pembatasan,

serta

formulasinya

bagi

ummat

islam.

Al-qur’an

belum

memformulasikannya dan Rasul juga belum memberikan tata aturan yang khusus dari
11

Dr. Fuad Mohd. Fachruddin, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta, 1988) h. 75-76

27

musyawarah itu sendiri, karena musyawarah merupakan hal yang di dalamnya
terdapat

perubahan

sudut

pandang

dan

perubahan

pada

generasi

yang

menjalankannya, serta kemajuan masyarakat. Oleh karena itu apabila ditetapkan
aturan yang baku terhadap musyawarah, maka akan mempersempit pemahaman
musyawarah bagi mereka. Ini secara sengaja ditinggalkan tanpa aturan baku agar
menjadi rahmat bagi sekalian manusia

C. Oposisi dalam Sistem Parlementer
Dalam konsep trias politica, kekuasaan dibagi menjadi tiga;

pertama,

kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang, kedua, kekuasaan
eksekutif atau kekuasaan melaksanakan dan ketiga kekuasaan yudikatif atau
kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Trias politica adalah prinsip
yang normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada
orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang
berkuasa. 12
Sebelum lebih jauh berbicara tentang oposisi dalam sistem parlementer
penulis akan menguraikan lebih dahulu tentang sistem parlementer. Pertama, dalam
sistem parlementer, parlemen merupakan satu-satunya badan yang anggotanya dipilih
secara langsung oleh warga negara yang berhak memilih melalui pemilihan umum.
Kedua, anggota dan pemimpin kabinet dipilih oleh parlemen untuk melaksanakan
fungsi dan kewenangan eksekutif. Sebagian besar atau seluruh anggot kabinet
12

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2000, h. 151

28

biasanya juga menjadi anggota parlemen sehingga mereka memiliki fungsi ganda,
yakni legiaslatid dan eksekutif. Ketiga, kabinet dapat bertahan sepanjang mendapat
dukungan mayoritas dari parlemen. Hal ini berarti perlemen dapat menjatuhkan
kabinet manakala mayoritas parlemen memberikan mosi tidak percaya kepada
kabinet. Keempat, manakala kebijakan tidak mendapat dukungan, parlemen dapat
membubarkan kabinet lalu membentuk kabinet yang baru.13
Kebanyakan oposisi berjalan dengan baik dalam sistem parlementer. Oposisi
biasanya dilakukan oleh partai yang kalah dalam pemilu. Oposisi dilakukan dalam
check

rangka

and

balance

terhadap

pemerintah.

Partai

oposisi

dalam

implementasinya, membentuk kabinet bayangan (shadow cabinet) sebagai pengontrol
terhadap kinerja kabinet. Apabila salah satu dari menteri mengeluarkan kebijakan
yang tidak populis atau tidak berpihak pada rakyat, maka kabinet bayangan akan
mengontrol maupun menolak kebijakan atau membuat kebijakan yang berbeda
dengan yang dikeluarkan oleh menteri terkait. Misalnya, jika yang mengeluarkan
kebijakan itu menteri keuangan, maka menteri keuangan dari partai oposisi kebinet
bayangan pun mengeluarkan kebijakan tandingan.
Dalam sistem parlementer, seorang perdana menteri sangat mudah untuk
dijatuhkan oleh parlemen karena yang memilih perdana menteri adalah legislatif.
Dalam sistem yang menggunakan dwi partai, oposisi lebih jelas peranannya dalam
mengontrol pemerintah, dan begitupula pemerintah akan lebih mudah dalam
mengendalikan wakil-wakilnya di parlemen. Tapi jika menggunakan multi partai dan
13

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 1999, h. 170

29

tidak ada single majority (pemenang utama) maka partai-partai akan berkoalisi untuk
mendapatkan jabatan perdana menteri, sedangkan yang kalah dalam pemilihan
perdana menteri sudah otomatis menjadi partai oposisi. Seperti di Jerman, Partai Uni
Demokrat Kristen (Christlich Demokratische Union Deutschlands) dan Partai Uni
Sosial Kristen (Christlich Soziale Union) adalah dua parpol oposisi terhadap kanselir
Jerman, Gerhard Schroeder dari Partai Sosialis Demokrat Jerman (Sozial
Demokratische Partei Deutschlands) yang tengah berkuasa dengan koalisinya, Partai
Hijau (Bundnis 90 Die Grunen). Partai Uni Demokrat Kristen dan Partai Uni Sosial
Kristen bersama partai oposisi lainnya, Partai Demokrat Liberal (Freier
Demokratische Partei) misalnya, selalu mengkritik kinerja pemerintah dari segala
sisi. Jadi, jika di kabinet Schroeder terdapat menteri luar negeri dengan segala
kinerjanya, di partai oposisi juga memiliki orang yang berperan sebagai menteri luar
negeri bayangan yang tugasnya mengkaji segala bentuk kebijakan luar negeri
Schroeder. 14
Pengalaman di Indonesia menganut sistem ini ketika awal-awal kemerdekaan
menjadikan perpolitikan Indonesia kacau dan tidak stabil karena seringkali sebuah
kabinet dijatuhkan, sehingga menyebabkan arah pembangunan bangsa tidak berjalan
karena energi para elitnya habis untuk mengurusi politik.

14

Y.W. Nugroho, “Oposisi dalam sistem presidensial, mungkinkah?”, Diakses pada tanggal 7
Oktober 2010 dari http://www. Suara pembaruan.com

30

D. Oposisi dalam Sistem Presidensial
Sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial sangat
jauh berbeda. Kalau dalam sistem presidensial kepala negara dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilihan yang ditentukan, sedangkan sistem parlementer kepala
negara dipilih oleh legislatif.
Negara yang sering dijadikan rujukan dalam menggunakan sistem presidensial
adalah negara Amerika Serikat yang kemudian ditiru dan dimodifikasi oleh negaranegara lain termasuk Indonesia. Sistem pemerintahan Amerika dirumuskan dalam
sistem pemerintahannya yang berbentuk presidensial.
Diantara ciri-ciri pemerintahan yang menggunakan sistem presidensial adalah,
pertama, kepemimpinan dalam melaksanakan kebijakan (administrasi) lebih jelas
pada sistem presidensial, yakni di tangan presiden, dari

pada dalam kabinet

parlementer, tetapi siapa yang bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan lebih
jelas dalam kabinet parlementer dibandingkan dengan kabinet presidensial. Kedua,
kebijakan yang bersifat komfrehensif jarang dapat dibuat karena legislatif dan
eksekutif mempunyai kedudukan yang terpisah, ikatan partai yang longgar, dan
kemungkinan kedua badan ini didominasi oleh partai yang berbeda. Ketiga, jabatan
kepala pemerintahan dan jabatan kepala negara berada dalam satu tangan. Keempat,
legislatif bukan tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif, yang dapat diisi dari
berbagai sumber termasuk legislatif. 15

15

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 171

31

Oposisi dalam sistem negara presidensial seperti Amerika tidak terlalu
kelihatan, antara partai oposisi dan partai pemerintah, karena menerapkan sistem
bipartisan yang memungkinkan pemerintah didukung dua partai yang bersaing dalam
pemilihan umum. Sistem bipartisan juga memungkinkan presiden terpilih dapat
mengisi anggota kabinetnya dengan seorang yang berasal dari partai yang berlainan.
Hal ini pernah dilakukan oleh presiden Bill Clinton yang berasal dari partai demokrat
yang memilih William Cohen, yang berasal dari partai republik, sebagai menteri
pertahanan. 16
Dalam sistem presidensial, teradapat satu cara yang bisa digunakan oleh pihak
oposisi untuk menanyakan langsung mengenai satu pertanggung jawaban dari
pemerintah tentang suatu kasus. Cara ini merupakan cara formal yang diatur oleh
undang-undang sebagai sarana komunikasi yang sah, yang bisa digunakan pihak
oposisi di parlemen terhadap pemerintah. Mekanisme impeachement merupakan
mekanisme pendakwaan atau pemanggilan untuk pertanggungjawaban. Tidak jarang
melalui mekanisme ini, seorang presiden dapat ditur