STUDI KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
STUDI KOMPARASI ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Skripsi Oleh Amin Nim. C01212067
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Prodi Ahwal Al-Syakhsiyah Surabaya
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Studi Komparasi antara Hukum Islam dan Hukum Positif
tentang Kekerasan dalam Rumah,” memiliki rumusan masalah sebagai berikut: (1)
Bagaimana kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam dan hukum positif?, (2) Bagaimana komparasi antara hukum Islam dan hukum positif tentang kekerasan dalam rumah tangga?.
Teknik pengumpulan data menggunakan metode bibliographic research (kajian pustaka), dengan analisis metode komparatif yaitu penelitian dengan mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku, diktat dan sebagainya, untuk dijadikan referensi dalam penulisan skripsi ini.
Hasil penelitian ini: (1) Menurut hukum Islam kekerasan dalam rumah tangga termasuk kategori kriminalitas, sedangkan menurut hukum positif merupakan perbuatan yang menimbulkan penderitaan terhadap istri. (2) Persamaan antara hukum Islam dan hukum positif (Undang-undang R.I Nomor 23 tahun 2004) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri merupakan tindakan yang dianggap melawan hukum dan mendapatkan sanksi. Sedangkan perbedaannya, dalam hukum Islam tindak kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam jarimah kisas-diat, sedangkan dalam hukum positif dipenjara atau didenda dengan uang.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga hendaknya mampu melihat dan menghargai kebaikan yang dimiliki pasangannya, yaitu dengan menghindari ego dan tindakan yang berlebihan. Suami juga dapat memberikan nasihat dan peringatan dengan penuh kasih sayang kepada istri yang tidak taat.
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN... iv
ABSTRAK... v
KATA PENGANTAR... vi
PERSEMBAHAN... viii
MOTTO... ix
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TRANSLITERASI... xiii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 11
C. Rumusan Masalah... 12
D. Kajian Pustaka... 13
E. Tujuan Penelitian... 16
F. Kegunaan Penelitian... 16
G. Definisi Operasional... 17
H. Metode Penelitian... 18
I. Sistematika Pembahasan... 21
BAB II KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM ISLAM... 23
(8)
B. Pengertian Rumah Tangga menurut Hukum Islam.... 24 C. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga.. ... 24
D.Dasar-dasar Hukum Kekerasan dalam Rumah
Tangga... 25 E. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.. 29 F. Faktor-faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah
Tangga... 31 G. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam
Pandangan Islam... 34 H. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah
Tangga... 39 I. Solusi Mengatasi Kekerasan Rumah Tangga dalam
Perspektif Hukum Islam... 40
BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN
2004)... 43 A. Landasan Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun
2004... 43 B. Pengertian Rumah Tangga... 44 C. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga.. ... 45 D. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah
Tangga... 46 E. Faktor-faktor Penyebab Kekerasan dalam
Rumah Tangga... 48 F. Ketentuan Pidana Kekerasan dalam Rumah
(9)
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF ANTARA HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA……….. 54 A. Tinjauan Hukum Islam tentang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga………... 54
B. Tinjauan Hukum Positif tentang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga……… 58 C. Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum Positif
Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga…….... 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………... 65
B. Saran-saran……… 65
DAFTAR PUSTAKA
(10)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hal asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadapseseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan pelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.1
Ketuhanan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuh kembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap
1
(11)
2
orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan
pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.2
Mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
2
(12)
3
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.3
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan
dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga.4
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi ditengah masyarakat sungguh sangat memprihatinkan. Hal tersebut banyak dijumpai dan yang dapat dilihat dalam masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggal maupun yang dapat kita baca di media cetak atau di media elektronik, tidak jarang yang menjadi korban dari kekerasan tersebut adalah istri/perempuan. Memunculkan anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Ketidakadilan terhadap perempuan ini terutama dapat dilihat dari adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tetapi meski banyak terjadi kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga
3
Ibid., 2. 4
(13)
4
(KDRT) angka di lapangan tidak bisa menunjukkan semuanya, atau tidak dapat diketahui secara jelas apakah adanya peningkatan dalam setiap tahunnya tentang
tindakan kekerasan dalam rumah tangga.5
Timbulnya berbagai permasalahan dalam rumah tangga bisa hanya berupa pertengkaran kecil. Akan tetapi ketika hal tersebut tidak segera diselesaikan akan bisa menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan hal yang buruk dalam keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga yang dikenal dengan istilah KDRT ini mempunyai berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk-bentuk KDRT diantaranya; kekerasan fisik, psikologis,
seksual, dan ekonomi.6
Perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki‐laki mempengaruhi
kehidupan perempuan dan laki-laki baik secara langsung maupun tidak langsung di masyarakat. Menurut teori bias gender kedudukan yang terpenting bagi perempuan dalam keluarga adalah sebagai istri dan ibu yang mengatur jalannya rumah tangga serta memelihara anak. Untuk menjalankan tugas sebagai istri dan ibu diharapkan perempuan dapat memasak, menjahit, memelihara rumah serta melahirkan. Sebaliknya, menurut ideologi ini kedudukan laki-laki yang terpenting dalam suatu keluarga adalah sebagai seorang suami yang bertanggung jawab sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Karena tugasnya sebagai pencari nafkah sering
5
Nofarina, (Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dilihat Dari Aspek Viktimologi Dan Hukum Pidana), Jurnal Ilmiah (2012), 3.
6
(14)
5
seorang suami tidak peduli dan tidak mau tahu dengan urusan rumah tangga, sebab
dia merasa sudah memberi uang untuk jalannya roda rumah tangga7
Kekerasan dalam rumah tangga terjadi, karena masih adanya pemahaman yang keliru mengenai bias gender, di mana seorang perempuan harus tunduk
kepada laki‐laki, hal itu mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Bias gender juga menekan kaum perempuan untuk menjadi submisif dan menerima semua bentuk perilaku tidak adil yang lebih mengedepankan hak sosial atau orang lain dari pada hak pribadi. Pada umumnya bias gender juga
menempatkan perempuan pada posisi lemah, sehingga membuat laki‐laki lebih
dominan dalam sistem keluarga dan masyarakat, hal ini sangat merugikan
perempuan sehingga perempuan lebih sering mengalami kekerasan.8
Adapun dasar hukum kekeasan dalam rumah tangga terdapat dalam Surah
Annisa: 34, Allah Berfirman :9
اوُغْ بَ ت َلَف ْمُكَْعَطَأ ْنِإَف نُوُبِرْضاَو ِعِجاَضَمْلا يِف نُوُرُجْاَو نُوُظِعَف نَُزوُشُن َنوُفاَخَت يِت للاَو
اًريِبَك اًيِلَع َناَك َه للا نِإ ًليِبَس نِهْيَلَع
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyunya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
7
Anugriaty Indah Asmarany, (Bias Gender Sebagai Prediktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Jurnal Psikologi (t.t.), 4.
8 Ibid., 5. 9
(15)
6
Dalam ayat di atas disebutkan cara yang dilakukan untuk menasehati istri
yang nusyu (tidak taat) adalah menasehatinya dengan baik. Kalau nasihat itu tidak
berhasil, maka suami mencoba berpisah tempat tidur dengan istrinya, dan kalau tidak berubah juga, barulah memukul dengan pukulan yang tidak mengenai muka
dan tidak meninggalkan bekas.10
Ar-Razi menjelaskan pula dalam tafsirnya, bahwa melakukan itu hendaklah dengan cara bertingkat. Mulanya diajari baik-baik, tingkat kedua barulah memisah tidur, dan tingkat ketiga barulah memukul. Tidak boleh dimulai dengan memukul
terlebih dahulu.11
Ibnu Abbas memberikan tafsir: ”Pukullah, tetapi jangan yang menyebabkan dia menderita”. Atha’ berkata: “Pukullah dengan sikat (Siwak)”12
, lalu jumhur ulama fikih menjelaskan: “Jangan sampai melukai, jangan sampai patah tulang, jangan berkesan dan jauhi memukul muka, karena mukalah kumpulan segala kecantikan. Dan hendaklah berpisah-pisah pukulan itu, jangan hanya di satu tempat, supaya jangan menyakiti benar”. Bahkan ada pula ahli fikih berkata: “Pukul saja dengan tangan yang diselubungi saputangan jangan dengan cambuk dan jangan dengan tongkat”.13
10
Ibid., 163. 11
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz V, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), 65. 12
Ibid. 13
(16)
7
Setelah itu para suami diberi peringatan, bila istri sudah kembali taat kepadanya, jangan lagi si suami mencari-cari jalan untuk menyusahkan istrinya, seperti membongkar-bongkar kesalahan-kesalahan yang sudah lalu, tetapi bukalah lembaran hidup yang baru yang mesra dan melupakan hal-hal yang sudah lalu. Bertindaklah dengan baik dan bijaksana. Karena Allah Maha Mengetahui dan
Maha besar.14
Memperlakukan istri beda sekali dengan memperlakukan pria. Karena istri diciptakan dari tulang rusuk dan sifatnya seperti itu pula. Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda ;
اوُصْوَ تْسا
لاِب
ِءاَس
،
نِإَف
َةَأْرَمْلا
ْتَقِلُخ
ْنِم
عَلِض
،
نِإَو
َجَوْعَأ
ءْىَش
ىِف
ِعَل ضلا
َُلْعَأ
،
ْنِإَف
َتْبََذ
ُهُميِقُت
ُهَتْرَسَك
،
ْنِإَو
ُهَتْكَرَ ت
ْمَل
ْلَزَ ي
َجَوْعَأ
،
اوُصْوَ تْساَف
ِءاَس لاِب
Berbuat baiklah pada para wanita. Karena wanita diciptakan dari tulang rusuk. Yang namanya tulang rusuk, bagian atasnya itu bengkok. Jika engkau mencoba untuk meluruskannya (dengan kasar), engkau akan mematahkannya. Jika engkau membiarkannya, tetap saja tulang tersebut bengkok. Berbuat baiklah pada
para wanita. (HR. Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 1468)15
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan memaparkan catatan tahunan tentang kekerasan terhadap perempuan menunjukkan peningkatan jumlah kasus secara konsisten dan signifikan. Alasan lainnya adalah KDRT memiliki keunikan
14
Kementrian Agama RI, Al Qur’an dan Tafsirnya…, 163. 15
Imam Abi Zakariyah Yahya Bin Syaraf Al Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Damaskus, Maktabah Taufiqiah), Juz IX, 57.
(17)
8
dankekhasan karena kejahatan ini terjadi dalam lingkup rumah tangga dan berlangsung dalam hubungan personal yang intim, yaitu antara suami dan istri, orang tua dan anak atau antara anak dengan anak atau dengan orang yang bekerja di lingkup rumah tangga yang tinggal menetap. KDRT yang terjadi antara suami istri dilandasi oleh hubungan dalam lembaga perkawinan yang di atur pula oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedudukan pelaku dan korban yang sedemikian ini menyebabkan KDRT masih dipandang sebagai bagian dari hukum privat sehingga penyelesaian kasus ini lebih sering diarahkan untuk damai atau diselesaikan secara
internal keluarga.16
Lahirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan keharusan bagi Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang perempuan, seperti Anggota Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All forms of Discrimination against women) atau Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan melalui Undang Nomor 7 Tahun 1984. Undang-Undang PKDRT memiliki nilai strategis bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pertama, dengan diundangkannya UU PKDRT akan menggeser isu KDRT dari isu privat menjadi isu publik. Dengan demikian diharapkan dapat meruntuhkan hambatan psikologis korban untuk mengungkap
16
Hamidah Abdurrachman, (Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Sebagai Implementasi Hak-Hak Korban), Jurnal Hukum, (t.t.), 2.
(18)
9
kekerasan yang diderita dengan tanpa dihantui perasaan bersalah karena telah membuka aib. Kedua, UU KDRT akan memberi ruang kepada negara untuk melakukan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi di dalam rumah sehingga negara dapat melakukan perlindungan lebih optimal terhadap warga negara yang membutuhkan perlindungan khusus (perempuan dan anak) dari tindak kekerasan. Ketiga, UU PKDRT akan berpengaruh pada percepatan perwujudan kebijakan toleransi nol kekerasan terhadap perempuan yang digulirkan pemerintah beberapa
tahun lalu.17
Data yang diperoleh dari Data Catatan Akhir Tahun 2014 Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan, menunjukkan peningkatan jumlah kasus terhadap perempuan sebanyak 20.000 kasus dibandingkan kasus tahun 2013. Akan tetapi, penanganan hukum yang diterima korban umumnya belum berperspektif gender. Menurut Catatan Akhir Tahun 2014, terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2014. Sebanyak 68 persen dari kasus tersebut adalah kekerasan domestik dan rumah tangga (KDRT) dengan mayoritas korban ibu rumah tangga dan pelajar. Bentuk-bentuk kekerasan meliputi penelantaran tanggung jawab, penganiayaan jasmani dan psikis, serta pernikahan paksa ataupun
pernikahan dini.18
17
Ibid., 10. 18
http://print.kompas.com/baca/2015/04/27/Laporan-KDRT-Meningkat%2c-Penanganan-Belum-Optimal diakses pada tanggal 20 april 2016.
(19)
10
Kekerasan memang berdampak sangat luas. Melihat dampak yang muncul akibat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, maka serangkaian kegiatan
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sangat penting untuk
diimplementasikan secara komprehensif dan dengan baik. Terlebih dengan melihat fakta maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga di tengah-tengah masyarakat, khususnya terhadap perempuan. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sudah tidak dapat ditawarlagi. Berbagai upaya perlu dilakukan, termasuk upaya preventif diantaranya adalah penyebaran informasi atau penyadaran masyarakat (kampanye/sosialisasi) mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Ini bukan sekedar tugas pemerintah semata, tetapi diperlukan pula peran serta
masyarakat.19
Hadirnya UU PKDRT tentu menjadi harapan besar bagi masyarakat, khususnya para perempuan, untuk melawan segala tindak kekerasan dalam rumah tangga. Secara keseluruhan UU PKDRT sendiri memuat mengenai pencegahan, perlindungan dan pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu juga mengatur secara khusus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ketentuan-ketentuan tersebut masih perlu terus diinformasikan kepada masyarakat luas, penegak hukum, tenaga medis, relawan pendamping, pekerja sosial serta
(20)
11
pembimbing rohani dalam rangka mewujudkan penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga.20
Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan kreteria kekerasan dalam rumah tangga untuk itu
penelitian di beri judul “Studi Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum
Positif tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi masalah
Identifikasi masalah menjelaskan kemungkinan-kemungkinan cakupan yang dapat muncul dalam penelitian dengan melakukan identifikasi dan kemungkinan
yang dapat diduga sebagai masalah Yaitu:21
1. Kontruksi tentang kekerasan dalam rumah tangga
2. Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
3. Pandangan hukum Islam tetang kekerasan dalam rumah tangga
4. Pandangan hukum positif tetang rekerasan dalam rumah tangga
20
Ibid., 6. 21
Tim Penyusun Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi Edisi Revisi IV, (Surabaya: Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012), 8.
(21)
12
5. Data tentang kekerasan dalam rumah tangga
6. Dampak yang ditimbulkan terjadinya larangan kekerasan dalam rumah tangga.
2. Batasan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
1. Kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam dan hukum positif.
2. Komparasi antara hukum Islam dan hukum positif tentang kekerasan dalam rumah tangga
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam dan hukum positif ?
2. Bagaimana komparasi antara hukum Islam dan hukum positif tentang kekerasan dalam rumah tangga?
(22)
13
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga tidak terjadi
pengulangan atau bahkan duplikasi kajian/penelitian yang telah ada.22Pada
dasarnya bertujuan untuk mendapatkan gambaran topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan harapan tidak ada pengulangan materi secara mutlak.
Setelah mengadakan penelaan berbagai skripsi atau karya ilmiah di kalangan mahasiswa yang membahas tentang kekerasan dalam rumah tangga cukup banyak, namun dalam penelusuran awal sampai saat ini penulis belum menemukan penelitian atau tulisan yang secara spesifik mengkaji tentang Studi Komparasi antara Hukum Islam dan Hukum Positif tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Di samping itu ada beberapa judul yang terkait dengan judul penulis diantaranya yaitu :
Farouq Umar (Skripsi).23Dengan judul: “Tinjauan Hukum Islam dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 terhadap Pemaksaan Hubungan Seksual Suami
Istri Studi Kasus di Desa Bundeh Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang” yang
ditulis oleh mahasiswa AS (Ahwalul Syasiah) IAIN Sunan Ampel tahun 2013.
22
Ibid., 9.
23Farouq Umar, ‚Tinjauan Hukum Islam dan Undang
-undang Nomor 23 Tahun 2004 terhadap Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Istri Studi Kasus di Desa Bundeh Kecamatan Sreseh Kabupaten Sampang’ (Skripsi-- IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013).
(23)
14
Karyanya memuat tentang tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga dimana kekerasan tersebut berupa kekerasan fisik terhadap hubungan seksual dalam rumah tangga. Perlakuan suami terhadap istri yang meminta istrinya untuk melakukan hubungan seksual tanpa adanya kemauan dari pihak istri. Sehingga terjadi pemaksaan suami terhadap istrinya dan terjadi pula tidak kekerasan didalam hubungan suami-istri tersebut sehingga menimbulkan rasa kesakitan dan penganiayaan terhadap istri.
Nurul Huda (Skripsi)24. Dengan judul “Analisis Hukum PN Sidoarjo tentang
tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 2004” yang ditulis oleh mahasiswa Jurusan SJ (Siyasah Jinayah) IAIN Sunan Ampel tahun 2005. Karyanya memuat tentang hukuman hakim PN Sidoarjo terhadap pelaku tindakan KDRT dimana menurut kisas seperti yang ditimpakan pelaku terhadap korban. Namun dalam persidangan terdapat pernyataan bahwa korban (SriWahyuni) telah memaafkan pelaku (Suyono). Karena faktanya terdapatmaaf dari korban maka pelaku tidak lagi diancam dengan hukuman qisas melainkan beralih kepada hukuman diat dan takzir penjara selama 4 Bulan.
Listia Romdiyah (Skripsi),“Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan antara Hukum Islam dan Hukum Positif)”2007.25
Menyugukan perbandingan pandangan hukum Islam dan hukum positif (UU PKDRT) pada
24
Nurul Huda, ,Analisis Hukum PN Sidoarjo tentang tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004’ (Skripsi-- IAIN Sunan Ampel, 2005).
25
Listia Romdiyah, ,Kekerasan Dalam Rumah Tangga Studi Perbandingan antara Hukum Islam dan Hukum Positif’ (Skripsi--Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007).
(24)
15
masalah kekerasan dalam rumah tangga. Menghasilkan; pertama: Kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga sebagai tindakan tercela dan dilarang dan dikategorikan sebagai tindak pidana sedangkan dalam hukum positif khususnya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dikategorikan sebagai tindakan yang dilarang dan dikategorikan sebagai tindak pidana yang pelakunya patut dihukum.
Kedua: Kriteria KDRT menurut Islam dan UU PKDRT hampir sama, perbedaanya
hanya pada bentuk kekerasan ekonomi menurut Islam dan penelantaran rumah tangga menurut UU PKDRT.
Sejauh penelusuran penyusun dalam penelitian ini telah banyak yang membahas tentang kekerasan dalam rumah tangga. Perbedaan penelitian yang saya buat dengan penelitian sebelumnya yaitu, penelitian ini secara spesifik membandingkan dalil hukum Islam dan hukum positif tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dalam meninjau kejahatan kekerasan dalam rumah tangga yang belum terselesaikan dan seiring waktu semakin beragam bentuk-bentuknya. Selain menghadirkan sikap dari kedua hukum, penelitian ini juga mengulas persamaan dan perbedaan dalam menyikapi kekerasan dalam rumah tangga serta berusaha mencari titik temu di antara perbedaan dalam tinjauan hukum Islam dan hukum Positif Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004. Hadirnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih wawasan hukum dalam menyelesaikan kejahatan kekerasan dalam rumah tangga.
(25)
16
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang ada, tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penelitian dalam skripsi adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam dan hukum positif
2. Mengetahui komparasi antara hukum Islam dan hukum positif tentang kekerasan dalam rumah tangga
F. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan berguna dalam beberapa hal sebagai berikut:
1. Aspek keilmuan (teoretis)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas pengetahuan tentang pemahaman komparasi hukum Islam dan hukum positif tentang kekerasan dalam rumah tangga serta diharapkan hasil penelitian ini menjadi dasar penyusunan penelitian lanjutan yang relevan dengan penelitian ini.
(26)
17
2. Aspek terapan (praktis)
Dari sisi praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan atau pertimbangan bagi mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum apabila ada masalah yang berkaitan khusus dengan masalah komparasi hukum Islam dan hukum positif tentang kekerasan dalam rumah tangga.
G. Definisi Operasional
Berdasarkan judul skripsi yang telah dipaparkan di atas, maka perlu untuk mengartikan masing-masing variabel secara tegas dan spesifik dari penelitian yang
berjudul “Studi Komparasi antara Hukum Islam dan Hukum Positif tentang
Kekerasan dalam Rumah Tangga”. Untuk memperoleh gambaran yang luas dan pemahaman yang utuh tentang judul penelitian ini, maka akan dijelaskan sub-sub bagian dari judul penelitian ini sebagai berikut :
1. Hukum Positif : Peraturan hukum yang berlaku pada
saat ini atau sekarang untuk masyarakat dari suatu daerah tertentu.
2. Komparasi : Membandingkan seberapa besar tingkat
perbedaan antara satu hal dengan hal lainnya.
(27)
18
3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik,seksual, dan
atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau
perampasanunt kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.26
4. Hukum Islam : Peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan
kehidupan berdasarkan Alquran, hukum
syarah.27
H. Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif, karna data primer yang di gunakan berupa Undang-Undang
26
Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga…, pasal 1 27
(28)
19
tentang kekerasan dalam rumah tangga agar penelitian ini tersusun dengan benar, maka penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis dan pendekatan penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini.
2. Data yang dikumpulkan.
Dalam pelaksanaan penelitian ini dikumpulkan data yang sesuai dengan kebutuhan dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini antara lain;
a. Kekerasan dalam rumah rangga menurut hukum Islam dan hukum positif
b. Komparasi antara hukum Islam dan hukum positif tentang kekerasan dalam rumah tangga
3. Sumber data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh.28Untuk
mendapat data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka digunakan dua sumber data antara lain:
a. Sumber data primer yaitu sumber data yang sifatnya penting dan memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi yang diperlukan dan
28
(29)
20
berkaitan dengan penelitian.29Dengan tujuan menunjang penjelasan data primer
antara lain:
1) Kitab Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT
2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pernikahan
3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti yang merupakan hasil penelitian dari sumber-sumber yang telah
ada.30Dengan tujuan menunjang penjelasan data primer antara lain:
1) Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga, Peri Umar Faruq
2) Perempuan, Kekerasan dan Hukum, Aroma Elmina Marta
3) Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Sebagai Implementasi Hak-Hak Korban, Hamidah Abdurrachman
4) Kekerasan dalam Rumah Tangga dilihat dari Aspek Viktimologi dan Hukum Pidana, Nofarina
5) Membumikan Hukum Pidana Islam, Topo Santoso
29
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), 116. 30
(30)
21
4. Teknik pengumpulan data.
Dalam penelitian kepustakaan ini, pengumpulan data dilakukan penulismelalui teknik dokumentasi. Dengan teknik ini, penulis melakukan penelaahan bacaan yang sesuai dengan objek penelitian yakni ketentuan hukum kekerasan dalam rumah tangga tentang larangan kekerasan dalam rumah tangga.
5. Metode analisis data.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan menggunakan pola pikir deduktif yakni dengan mengungkapkan ketentuan dalam hukum positif, kemudian menjelaskan
ketentuan hukum kekerasan dalam rumah tangga, serta kemudian analisis
hukum Islam dan hukum positif Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga.
I. Sistematika Penulisan
Dalam setiap pembahasan suatu masalah sistematika pembahasan merupakan aspek terpenting karena sistematika pembahasan ini dimaksud untuk mempermudah bagi pembaca dalam mengetahui alur pembahasan yang terkandung dalam skripsi ini. Adapun sistematika pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab. Adalah sebagai berikut:
(31)
22
Bab pertama, membahasa tentang pendahuluan yang berisi latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, kajian pustaka, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, merupakan bab yang berisi tentang kontruksi kekerasan dalam rumah tangga meliputi pengertian kekerasan dalam rumah tangga, dasar hukum kekerasan dalam rumah tangga, ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga, faktor-faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga, cara penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga, dan solusi mengatasi kekerasan rumah tangga dalam perspektif hukum Islam.
Bab ketiga, merupakan uraian tentang kekerasan dalam rumah tangga prespektif Hukum positif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga dengan adanya uraian ini akan menjadi jelas sumber pokok atau obyek yang diteliti.
Bab keempat, merupakan bab yang berisi tentang analisis hukum Islam dan
hukum positif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga .
Bab kelima, berupa penutup yang berisi tentang kesimpulan dari penelitian ini
(32)
BAB II
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF
HUKUM ISLAM
A. Landasan Hukum Islam
Salah satu tujuan diturunkan agama Islam kepada umat
manusia adalah untuk menjamin hak manusia. Hak yang paling utama
yang dijamin oleh Islam adalah hak hidup, hak kepemilikan, hak
kehormatan dan hak kemerdekaan. Hak-hak tersebut merupakan hak
milik manusia secara mutlak berdasarkan tinjauan dari sisi manusiawi
tanpa mempertimbangkan warna kulit, agama, bangsa, negara, dan
posisi dalam masyarakat.1 Oleh sebab itu, Islam melarang tindakan
kekerasan, baik ditujukan terhadap orang lain maupun kepada keluarga
sendiri, baik dalam bentuk kekerasan terhadap psikis, maupun kekerasan
seksual. Allah Swt. Berfirman dalam Alquran Surah Alburuj Ayat 10:
ْ مَََُو
َْمّنَهَج
ُْباَذَع
ْ مُهَلَ ف
اوُبوُتَ ي
ْ َل
ُّْ
ِْتاَنِم ؤُم لاَو
َْيِنِم ؤُم لا
اوُنَ تَ ف
َْنيِذّلا
ّْنِإ
ِْقيِرَ ْا
ُْباَذَع
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mu’min laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab
(neraka) yang membakar.2
1
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Terjemah Thalib, 1987), Juz X 13.
2
(33)
24
B. Pengertian Rumah Tangga menurut Hukum Islam
Rumah tangga adalah rumah tangga yang didalamnya terdapat
sakinah, mawadah dan warahmah (perasaan tenang, cinta dan kasih
sayang).3 Perasaan tersebut senantiasa melingkupi suasana rumah setiap
harinya. Seluruh anggota merasakan suasana surga di dalamnya. Inilah
ciri khas keluarga Islam. Mereka berserikat dalam rumah tangga untuk
berkhidmad pada aturan Allah, mereka bergaul dan ta‘abbudīyah
(peribadatan) yang jauh dari dominasi nafsu, bekerja sama di dalamnya
untuk saling menguatkan dalam beribadah kepadanya.
C. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut ahli fikih, yang dimaksud tindak kekerasan adalah
perbuatan menyakiti badan yang tidak sampai menghilangkan nyawa,
seperti menganiaya, menyakiti, melukai, memukul, menarik, memeras,
memotong rambut serta mencabutnya dan sebagainya. Para ahli huku
pidana Mesir menafsirkan tindak pidana kekerasan dengan “melukai” dan “memukul” saja, memukul dan melukai itu, menurut mereka mencakup semua perbuatan yang dilimpahkan pada badan yang
berdampak pada jasmani dan rohani. Dengan begitu, mencekik
seseorang dan menariknya, dianggap memukul dengan sengaja. Tindak
pidana selain nyawa (kekerasan) adalah berupa rasa sakit yang menimpa
3
Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka
(34)
25
pada badan manusia yang lain, tetapi tidak sampai menghilangkan
keselamatan hidupnya.4
Tindak kekerasan adalah semua tindakan yang melawan hukum
yaitu berupa tindakan yang membahayakan atau mendatangkan rasa
sakit pada badan dan atau anggota badan manusia.5 Di dalam rumah
tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang bisa terjadi.
Perselisihan pendapat, perdebatan, petengkaran, saling mengejek atau
memaki lumrah terjadi. Tetapi semua itu tidak semerta-merta disebut
sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah
tangga jauh lebih buruk. Hal ini biasa terjadi jika hubungan antara
korban dan pelaku tidak setara. Lazimnya pelaku kekerasan mempunyai
status dan kekuasaan yang lebih besar, baik dari segi ekonomi, kekuatan
fisik, maupun status sosial dalam keluarga. Dan karena posisinya yang
khusus itu pelaku kerap kali memaksakan kehendaknya untuk diikuti
orang lain. Untuk mencapai kenginannya, pelaku akan menggunakan
berbagai cara, kalau perlu cara kekerasan.
D. Dasar-dasar Hukum Kekerasan dalam Rumah Tangga
Adapun dasar hukum kekeasan dalam rumah tangga terdapat
dalam Surah Annisa : 34, Allah Berfirman
4
Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Mukarram bin Qanun
Al-Wad’i, (Maktabah Dar Al-Urubah, 1963), 204.
5
Sudjari Dahlan, (Sudut Pandang Terhadap Rancangan KUHP), Makalah, (2001,
(35)
26
ْْ نِإَفّْْنُوُبِر ضاَوِْْعِجاَضَم لاِْْفّْْنُوُرُج اَوّْْنُوُظِعَفّْْنَُزوُشُنَْْنوُفاَََِْْ َّلاَو
اًرِبَكْاًيِلَعَْْناَكَّّْْاّْْنِإًَْْيِبَسْنِه يَلَعْاوُغْ بَ تَََْْفْْ مُكَن عَطَأ
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar.6
Terkait dengan ayat tersebut, Tafsir Jalalain menerangkan
bahwa para laki-laki adalah pemimpin yaitu yang menguasai para
perempuan, memberikan pelajaran dan melindunginya, karena apa yang
telah dilebihkan oleh Allah Swt. kepada sebagian mereka atas sebagian
yang lain, seperti kelebihan dalam hal ilmu, akal dan perwalian, dan
sebagainya, dan harta yang mereka nafkahkan. Selanjutnya, dijelaskan
bahwa perempuan-perempuan yang shalih adalah yang taat kepada
suaminya, menjaga diri dan kehormatannya ketika suaminya tidak ada,
karena Allah Swt. telah menjaganya dengan cara mewasiatkannya
kepada suaminya. Adapun bagi perempuan-perempuan yang
dikhawatirkan akan berbuat nusyu yaitu maksiat kepada suaminya
dengan membangkang perintah-perintahnya, maka nasehatilah mereka
agar mereka takut kepada Allah Swt., dan pisahlah tempat tidur yakni
pindahlah ke tempat tidur yang lain jika mereka masih berbuat nusyu, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai jika dengan
pisah tidur mereka belum kembali berbuat baik. Jika mereka telah
6
(36)
27
kembali melakukan apa yang suami perintahkan, maka janganlah
mencari cara untuk memukulnya untuk berbuat aniaya.7
Melengkapi penjelasan di atas, Al-jurjawi menegaskan hal-hal
sebagai berikut; kewajiban untuk memberikan pelajaran kepada istri
adalah apabila ia mulai tidak taat dan menunjukkan gelaja nusyu kepada suami. Maka si suami wajib memberikan pelajaran, akan tetapi
pemberian pelajaran tersebut dilaksanakan dengan urut-urutan, pertama
suami wajib memberikan peringatan kepada si istri dengan lembut dan
halus seperti mengingatkannya untuk takut kepada Allah Swt., apabila
si istri sudah taat kembali, maka cukup hanya sampai di situ. Apabila
masih tetap membangkang, maka tinggalkan si istri itu sendirian,
dengan meninggalkannya di tempat tidur, tidak mengumpulinya,
lebih-lebih ketika syahwatnya memuncak. Apabila dia sudah taat, maka cukup
sampai di situ dan kumpulilah istri tersebut seperti sediakala. Namun
apabila tetap, maka si istri tersebut boleh ‘dipukul’ dengan catatan tidak
terlalu keras dan tidak membuat cedera.8
Dalam tafsir al-Mizan, dinyatakan bahwa kata rijāl dan nisā’
dalam ayat tersebut tidak bersifat umum yaitu laki-laki dan perempuan.
Akan tetapi laki-laki dan perempuan dalam hubungannnya dalam rumah
tangga, yaitu suami istri. Karena dalam ayat tersebut juga dipaparkan
tentang perempuan-perempuan yang sholehah yang menjaga diri ketika
7
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli, Tafsir Jalalain ( Bahrun Abu Bakar), (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2006), 345.
8
Syekh ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Kairo: Jami’ah
(37)
28
suaminya tidak ada dan seterusnya, serta tindakan laki-laki ketika
perempuan berbuat nusyu, maka laki-laki dan perempuan dalam konteks
ini adalah suami dan istri dalam rumah tangganya.9
Senada dengan pendapat di atas, Asghar Ali Engineer juga
menyatakan bahwa konteks ayat tersebut dibatasi hanya dalam rumah
tangga. Menurutnya, secara normatif, memang Alquran menempatkan
laki-laki dalam kedudukan yang lebih superior terhadap perempuan.
Namun, Alquran tidak menganggap atau menyatakan bahwa struktur
sosial bersifat normatif. Sebuah struktur sosial tidak pasti dan memang
selalu berubah, dan jika pada sebuah struktur sosial dimana perempuan
yang menghidupi keluarganya, atau menjadi teman kerja laki-laki, maka
perempuan pasti sejajar atau bahkan superior terhadap laki-laki dan
memainkan peranan yang dominan di dalam keluarganya sebagaimana
yang diperankan laki-laki.10
Adapun tentang diperbolehkannya pemukulan dalam ayat
tersebut, dapat dipahami berdasarkan peristiwa khusus yang
menyebabkan turunnya (asbābun nuzūl ) ayat tersebut. Yaitu, ayat
tersebut turun setelah adanya laki-laki yang melukai istrinya, dan
kemudian saudaranya mengadukannya kepada Rasulullah saw., sehingga
beliau memerintahkan untuk melakukan kisas. Dalam riwayat Ibnu Murdawaih disebutkan bahwa seorang sahabat ansar memukul istrinya
9
Sayyid Muhammad Husain At-Tabatha’I, Al-Mizan fi al-Tafsir, ( Lebanon :
al-‘Alami, t.t.), Juz IV, 343-346.
10
Ali Engineer Adghar, Islam dan Teologi Pembebasan, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), 237.
(38)
29
sampai berbekas, kemudian si istri tersebut mengadukan kepada
Rasulullah, beliau bersabda ; ia ( suami ) tidak boleh demikian.
Kemudian turunlah ayat 34 surat al-Nisa’ ini.11
Berdasar asbāb al-nuzūl di atas, dapat dipahami bahwa ayat
itu untuk membatalkan keputusan Rasulullah saw. Tentang kisas. Namun demikian, pemukulan dalam hal ini hendaknya dimaknai untuk
memberikan pelajaran, bukan untuk menyakiti isteri.
D. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Para fukaha membagi tindak kekerasan (penganiayaan), baik
yang di sengaja maupum yang tidak disengaja menjadi 5 macam yaitu
:12
1. Ibānat al-aṭrāf, yaitu bagian yang menerangkan anggota tubuh
manusia dan apa yang berlaku sebagai anggota tubuh,
maksudnya: memisahkan anggota tubuh, memotongnya, dan
memutuskan sesuatu yang mengalir darahnya, seperti memotong
tangan, kaki, jari-jari, hidung, kemaluan, telinga dan sebagainya.
2. Iẓhab ma’a al-aṭrāf, yaitu menghilangkan makna atau subtansi
anggota tubuh, tetapi secara formal anggota tubuh masih ada,
maksudnya: perbuatan ini hanya menghilankan manfaat dan
fungsi dari anggota tubuh tanpa menghilangkannya, seperti
11
Abu Bakar al-Sayuthi, Lubabun Nuqul fi Asbab al Nuzul, Hamisy Tafsir Jalalain, (Bandung : Al-Ma’arif, t.t.), Juz I 92.
12
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003),
(39)
30
menghilangkan fungsi pendengaran, penglihatan, penciuman,
rasa, bicara, jima’, dan sebagainya termasuk juga menghilangkan aka.
3. As-Syijāj, yaitu luka-luka pada kepala, maksudnya luka di kepala
dan wajah, adapun luka pada anggota tubuh yang lain selain
kepala disebut jarh, dan orang yang membedakan antara luka di
kepala dan luka di selain kepala, menurut Abu Hanifah luka-luka
di kepala dibagi menjadi sebelas bagian, yaitu:
a. Al-Kharīsah, yaitu luka di kulit kepala dan tidak
mengeluarkan darah.
b. Al-Damī’ah, yaitu luka di kulit kepala sehingga
mengeluarkan darah, seperti air mata mengalir dari mata.
c. Al-Damīyah, yaitu luka di kulit kepala sampai darahnya
mengalir.
d. Al-Baẓīah, yaitu luka daging setelah kulit.
e. Al-Muṭālimah, yaitu apabila luka yang di daging itu lebih
besar dari al-Bazi’ah.
f. Al-Syimhāq, yaitu luka yang menghabiskan semua daging di
bawah kulit hingga tidak tersiksa dikulit kepala kecuali
lapisan tipis.
g. Al-Muaẓilah, yaitu luka di kulit daging dan lapisan di
(40)
31
h. Al-Hāsyimah, yaitu luka hingga tengkorak kelihatan dan
memecahkannya.
i. Al-Muhaqqilah, yaitu luka parah hingga tengkorak kepala
kelihatan pecah dan berkeping-keping, serta terpisah dari
tempat semula dan perlu dikembalikan lagi.
j. Al-Mātu, yaitu luka di tulang kepala sampai ke tulang
tengkorak sebelum otak.
k. Al-Darīqah, yaitu luka yang menembus selaput otak.
4. luka pada badan yang lain (al-jarh), maksudnya ialah luka di sekujur
tubuh selain kepala dan wajah.
5. semua yang tidak termasuk empat macam di atas. Maksudnya
adalah menyakiti dan menganiaya, tetapi menghilangkan anggota
tubuh dan fungsinya.
E. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
Adapun ada bebrapa faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga, yakni :13
1. Masyarakat masih membesarkan anak lelaki dengan mendidiknya
agar mereka yakin bahwa mereka harus kuat dan berani serta
tanpa ampun. Lelaki dilatih untuk merasa berkuasa atas diri dan
orang sekeliling nya. Itulah kejantanan. Jika mereka menyimpang
13
Farha Ciciek, Jangan Ada Lagi Kekerasan Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam
Rumah Tangga Belajar dari Kehidupan Rasulullah Saw (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), 33-36.
(41)
32
dari harapan peran tersebut, mereka dikatagorikan sebagai lelaki
lemah. Dan hal ini sangat melukai harga diri dan martabat lelaki.
Setelah mereka tumbuh menjadi lelaki dewasa dan menikah,
masyarakat semakin mendorong untuk menaklukan istri. Jika
gagal, berarti kejantanannya terancam. Nilai inilah yang
mendorong suami untuk mempergunakan cara apa pun, termasuk
cara-cara kekerasan demi menundukkan istrinya. Jika kita tetap
membesarkan anak lelaki kita seperti ini, kita termasuk golongan
yang melanggengkan budaya kekerasan.
2. Kebudayaan kita mendorong perempuan atau istri supaya
bergantung kepada suami, khususnya secara ekonomi. Hal ini
membuat perempuan hampir sepenuhnya berada di bawah kuasa
suami. Dan salah satu akibatnya, istri seringkali dilakukan
semena-mena sesuai kehendak atau mood suaminya. Banyak
penelitian menunjukkan bahwa pemicu tindak kekerasan
terhadap istri justru bukan “kesalahan” istri sendiri. Suami yang frustrasi di tempat kerja dan tidak mampu mengatasi
persoalannya dengan sangat mudah melampiaskan
kejengkelannya.
3. Fakta bahwa lelaki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam
masyarakat. Kita pada umumnya percaya bahwa lelaki berkuasa
atas perempuan. Di dalam rumah tangga, ini berarti suami di atas
(42)
33
berada dalam kontrol suami. Jika istri keliru menurut cara
pandang suami, maka mereka bisa berbuat apa saja agar sang
istri segera “kembali ke jalan yang benar” termasuk di dalamnya melakukan tindak kekerasan.
4. Masyarakat tidak menganggap KDRT sebagai persoalan sosial,
tetapi persoalan pribadi suami-istri. Orang lain tidak boleh ikut
campur. Kepercayaan ini ditunjang sepenuhnya oleh masyarakat
yang dengan sengaja “menutup mata” terhadap fakta KDRT yang lazim terjadi. Masyarakat menganggap masalah KDRT
adalah masalah pribadi atau maslah rumah tangga yang orang
lain tidak layak mencampurinya. Hal ini sungguh aneh. Kalau
kita melihat seorang perempuan yang tak dikenal diserang oleh
seseorang di jalanan, maka kita akan berupaya menghentikannya
atau melaporkannya ke polisi. Tetapi jika kita mengetahui
seorang suami menganiaya istrinya, kita tidak berbuat apa-apa.
Sikap inilah yang mengakibatkan kekejaman dalam rumah
tangga ini terus berlangsung.
5. pemahaman yang keliru terhadap agama yang menganggap
bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan. Tafsiran semacam
ini mengakibatkan pemahaman turunan bahwa agama juga
membenarkan suami melakukan pemukulan terhadap istri dalam
rangka mendidik. Hak ini diberikan olehnya karena suami
(43)
34
yang mempunyai “kelebihan-kelebihan” kodrati yang merupakan anugrah Tuhan. Pemahaman seperti di atas akan melestarikan
tindak kekerasan terhadap perempuan, jika tidak “diluruskan” dengan penafsiran yang lebih sesuai dengan semangat keadilan
yang merupakan ruh Islam.
F. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam Pandangan Islam Hubungan timbal balik antara suami dan istri digambarkan dalam Alquran sebagai satu jiwa dalam dua tubuh. Alquran menyebutkan dalam Surah Arrum : 21 .
ًْةَ َْرَو
ًْةّدَوَم
ْ مُك
َْن يَ ب
َْلَعَجَو
اَه يَلِإ
اوُنُك سَتِل
اًجاَو زَأ
ْ مُكِسُف نَأ
ْ نِم
ْ مُكَل
َْقَلَخ
ْ نَأ
ِْهِتََآ
نِمَو
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang.14
Kekerasan fisik yang dalam ayat di atas seolah “mendapat
pengesahan” untuk dilakukan oleh suami sebagai tahap akhir dan upaya sang pemimpin mengendalikan stabilitas rumah tangga. Para ahli Islam sepakat bahwa ia tidak boleh sampai melukai atau yang dapat membahayakan tubuhnya, tidak pada wajah atau kepala. Pemukulan suami atau istri memang diizinkan agama, akan tetapi hanya kasus nuzyus yang amat serius, seperti kabur dari rumah, bertingkah laku
14
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli, Tafsir Jalalain (Bahrun Abu Bakar)...,293.
(44)
35
mencurigakan atau hal-hal lain yang dapat membahayakan kehidupan rumah tangga.
Para suami berkewajiban mendidik mereka melalui tahapan-tahapan menasehati, membimbing, pisah ranjang, baru boleh memukul. Para mufassir juga sepakat bahwa yang terbaik adalah tidak menggunakan kekerasan. Langkah terakhir yang ditempuh apabila ketiga cara tersebut juga tidak berhasil, maka suami boleh memukul isteri tanpa
keinginan untuk melecehkan, menyakiti ataupun melukai isteri.15
Adapun mengenai hadits yang berisi penolakan perempuan
terhadap “panggilan suaminya”, beberapa penafsir hadits mencoba memberikan penjelasan mengenai konteks ini. Muhyiddin Al Nawawi dan Musthofa Muhammad Imarah misalnya memberikan catatan bahwa penolakan isteri yang dianggap sebagai kemaksiatan dan karena itu berh ak mendapatkan teguran atau hukuman adalah apabila ada kesenjangan melakukannya atau tanpa ada alasan apapun yang dibenarkan agama.
Surah Annisa : 34 posisi laki-laki sebagai Qawwāmūn harus
difahami sebagai diskripsi keadaan struktur dan norma sosial masyarakat pada saat itu, dan bukannya norma ajaran, ayat tersebut menjelaskan bahwa laki-laki harus menguasai. Dalam sejarah Islam keadaan perempuan berubah mengikuti semakin berkembangnya kesadaran hak kaum perempuan, dan konsep hak juga semakin meningkat. Kata
Qawwāmūn dari masa kemasa selalu dipahami berbeda. Atas dasar
15
(45)
36
tersebut perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki dan implikasinya adalah seperti zaman foedal bahwa perempuan harus mengadi pada suaminya sebagai bagian dari aturannya tetapi Alquran
menegaskan bahwa kedudukan suami istri adalah sejajar.16
Kata Qawwāmūn tidak dapat diartikan sebagai pemimpin
karena sifat kepemimpinan merupakan salah satu sifat orang mukmin (pria maupun wanita) sebagaimana Rasulullah dalam melaksanakan nilai-nilai agama sesuai dengan aturan serta memberi rasa keadilan dan keseimbangan.
Kepemimpinan dalam instruksi keluarga merupakan
kepemimpinan yang berdasarkan musyawarah, bukan berdasarkan kesewenang-wenangan. Sehingga secara normatif sikap suami terhadap isteri bukan menguasai atau mendominasi melainkan mendukung dan
mengayomi. Jadi dalam konteks keluarga kata Qawwāmūn lebih tepat
diartikan dengan “pelindung, penopang, penanggung jawab, pengayom,
penjaga, pemelihara, penjamin atau penegak”, ini bila dikaitkan dengan
kewajiban memberi nafkah seperti dapat dilihat dari asal kata
Qawwāmūndari bahasa arab mempunyai arti menjamin dan menjaga.17
Peran domestik yang dijalankan oleh wanita, harus diberi nilai tersendiri, bahwa semata-mata merupakan suatu kewajiban, sehingga perlindungan dan nafkah tidak lagi dianggap sebagai suatu keunggulan pria. Karena peran yang dilakukan wanita pria pun harus membimbing
16
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2000), 403.
17
(46)
37
dan melindungi dan memberinafkah yang oleh Alquran disebut sebagai
Qawwāmūn.
Alquran Surah Annisa (4) : 35 yang mengangkat hakim dalam menyelesaikan perselisihanpun diturunkan dengan semangat untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan bukan menegaskan superioritas laki-laki atas perempuan.
Dari uraian diatas tampak jelas bahwa persoalan paling substansial menyangkut kekerasan terhadap perempuan adalah pemahaman keagamaan yang menganngap bahwa kekuasaan laki-laki atas perempuan merupakan keputusan tuhan yang tidak dapat diubah, atau bahasa lain berarti kekuasaan laki-laki yang dianggap atau diyakini bersifat kodrat, fitrah dan bukan karena alasan sosiologi ataupun kultural yang tentu saja kontektual dan bias saja berubah, keyakinan seperti itu dengan sendirinya merupakan pelanggaran system demokrasi terhadap jenis kelamin perempuan kesimpulan ini tentu saja tidak meniscayaan pembalikan terhadap peran kepemimpinan atau kekuasaan.
Islam harus menjadi landasan bagi cara pandang kita terhadap perempuan, dengan landasan ini substansi kekerasan, ketika ia dibenarkan, harus dilihat dari sudut relasi kekuasaan, jadi tidak karena relasi laki-laki perempuan. Dengan begitu perempuan tidak lagi dipandang sebagai makhluk tuhan yang tersubordinasi, marginal, dapat dilecehkan atau diperlakukan secara dhalim. Karena hal ini bertentangan dengan asas perlindungan terhadap hak hak dasar manusia yang menjadi
(47)
38
Ideal Islam dan kemanusiaan. Konsekwensinya lebih lanjut dari ini adalah bahwa relasi suami isteri harus ditempatkan menuju proporsi masing-masing.
Pandangan bahwa perkawinan merupakan perjanjian
kepemilikan laki-laki atas pemanfaatan seluruh tubuh perempuan dan karena itu diberi hak menggunakan kekerasan juga bukan dipahami dalam konteks kekuasaan diatas dan bukan dalam konteks kemanusiaan laki-laki perempuan. Dalam koonteks kesetaraan kemanusiaan Ayat Alquran menyatakan perempuan mempunyai hak yang setara dengan kewajibannya (Surah Albaqarah: 228) menjadi benar-benar relevan. Oleh karena itu persoalannya bukan terletak pada siapa yang memiliki kesempatan dan kemampuan memimpin atau menjadi penguasa, laki-laki perempuan. Hak menggunakan kekuasaan merupakan sesuatu yang melekat pada status penguasa . Ini tentu saja jika tuntutan keadilan dan kehormatan memang mengharuskannya.
Kesimpulan demikian sesuai dengan pernyataan umum Alquran tentang kesetaraan laki-laki perempuan Surah Alahzab (33) :35. Ayat ini mengungkapkan sangat transparan bahwa dalam hal amal, profesi dan aktualitas diri, laki-laki dan perempuan adalah sama dihadapan Allah, yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah tingkatan ketaqwaannya, pengabdian kepada Allah bukan jenis kelamin.
Sistem sosial dan keluarga yang mentoleransi kekerasan,pada gilirannya pasti akan menciptakan rasa tidak aman apalagi jika
(48)
39
kepemimpinan atau kekuasaan dalam sistem sosial maupun keluarga digunakan untuk kepentingan duniawi (yang rendah kini dan sesat), maka ini berarti merupakan prakondisi untuk sebuah malapetaka, sebuah kehancuran. Dari konflik yang ada, maka perlu sebuah kesadaran baik dari pihak istri apabila terdapat perbedaan. Maka dasar dari sebelum pernikahan menjadi sangat penting. Dengan landasan keimanan, ketaqwaan dan pengertian menjadi sangat pokok dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
G. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Untuk menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,
diperlukan cara-cara penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga,
antara lain:
1. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlak yang baik dan berpegang
teguh pada agamanya sehingga kekerasan dalam rumah tangga
tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
2. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga,
karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang
terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara
anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang
ada.
3. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar
(49)
40
dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan
diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya
kekerasan dalam rumah tangga.
4. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan
sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga
dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling
percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika
tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu
yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga
berlebih-lebihan.
5. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan
yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi
apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan
ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
H. Solusi Mengatasi Kekerasan Rumah Tangga dalam Perspektif Hukum Islam
Pada Surah Annisa Ayat 34 menjelaskan bahwa tentang
kedudukan suami sebagai pemimpin keluarga dan juga tentang
kewajiban seorang istri untuk mentaati suami. Jika terjadi nusyu dari
pihak istri terhadap suami, maka Islam memberikan langkah-langkah
(50)
41
mengarahkan istri untuk kembali ke jalan yang benar. Langkah tersebut
diantaranya:18
1. Hendaklah suami sebagai pemimpin mampu melihat dan
menghargai sisi baik yang dimiliki pasangannya, dan tentunya
dengan menghindari sikap yang membanggakna dirinya sendiri.
2. Berikan nasihat dan perinngatan kepada pasangan yang nusyu
dengan penuh kasih sayang dengan memberikan kesadaran terhadap
istrinya.
3. Tunaikan kewajiban suami istri dengan sebaik-baiknya. Untuk para
suami, bahwa sering terjadi kekerasan dalam bentuk tekanan
ekonomi, dalam tanda kutip seorang istri sulit terpenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga karena jumlah penghasilan suami tidak
mencukupi.
4. Berkomunikasi secara baik, setelah menikah suami istri
kecenderungan memberikan perintah, dalam hal ini kekerasan bisa
di lakukan dengan kata-kata, misalnya mengumbar kata cerai,
mencela pasangan, mengeluarkan kata-kata yang menyinggung
perasaan atau mengluarkan kata yang bernada ancaman, bisa juga
dengan menjauhi pasangannya, dingin terhadap pasangannya, acuh,
cuek, akhirnya hidupnya dengan sendiri-sendiri saja padahal istri
dan suami ibarat lading yang saling menutupi kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
18
Lailatul Mubarokah, (Problematik Aktual Hukum Islam Mengenai Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Fiqh Jinayah)…, 5.
(51)
42
Akibat buruk dari KDRT adalah: suami bisa dituntut ke
pengadilan karena perlakuannya terhadap istri merupakan tidakan
melanggar KUHP. Kedua, rumah tangga menjadi berantakan, ketiga,
mengakibatkan gangguan mental (kejiwaan) terhadap istri dan juga
anak. Keempat, melanggar syari’ah agama. Karena agama mengajarkan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah bukan
keluarga yang di hiasi dengan pukulan atau penganiayaan. Keempat,
untu para suami, berlaku lemah lembutlah kepada istri sebagaimana
yang telah di contohkan Rasulullah saw.
Nasihat perkawinan dalam rumah tangga untuk mengurangi
tindakan kekerasan dalam rumah tangga dapat memperhatikan hal-hal
di bawah ini:19
1. Seorang suami dilarang melihat perempuan-perempuan lain dan
begitu pula sebaliknya kecuali pada muhrimnya.
2. Seorang istri dilarang membicarakan keburukan suaminya
kepada orang lain begitupun sebaliknya.
3. Seorang suami harus menyayangi istrinya.
4. Seorang istri yang baik adalah yang menarik, taat, dan menjaga
kehormatan dan harta suaminya
19
(52)
BAB III
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF
HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN
2004)
A. Landasan Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 2004
Salah satu tujuan dibentuknya Undang-Undang R.I. Nomor 23
Tahun 2004 adalah bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan
falsafah pancasila daan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Segala bentuk kekerasan, terutama dalam
kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi
manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi yang harus dihapus. Penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga dilaksanakan atas dasar penghormatan hak asasi manusia,
keadilan dan kesetaraan gender, dan non diskriminasi dan perlindungan
bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga juga bertujuan untuk:
1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
(53)
44
4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis.1
B. Pengertian Rumah Tangga
Pengertian lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini
diatur dalam Pasal 2 yaitu:
1. Suami, istri, dan anak.
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap
dalam rumah tangga; dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut
4. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang
sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam
rumah tangga yang bersangkutan.2
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri
dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya,
atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam segaris lurus ke atas
atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.3
Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah
dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
1
Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 2004, Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga., 10.
2
Ibid., 9.
3
(54)
45
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, ter masuk anak yang masih dalam kandungan.4
C. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
Istilah kekerasan mengingatkan kita pada perbuatan yang
kasar, mencekam, menyakitkan, dan berdampak negatif. Sayangnya,
kebanyakan orang selama ini memahami kekerasan sebatas perilaku
fisik yang kasar, keras, dan bengis, sehingga perilaku opresif (menekan
dan menindas) yang nonfisik tak dianggap sebagai kekerasan.5
Kekerasan pada dasarnya adalah seluruh bentuk perilaku,
verbal maupun nonverbal, yang dilakukan seseorang atau sekelompok
orang terhadap seseorang atau sekelompok orang lain, yang
menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis pada
pihak sasaran (korban). Dengan demikian, kekerasan adalah
tindakan-tindakan yang secara langsung ataupun tidak, menyebabkan potensi
seseorang atau sekelompok orang tidak terwujud.6
Pengertian atau definisi kekerasan dalam rumah tangga diatur
dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
menyatakan bahwa:
4
Ibid.
5
Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual terhadap Istri, (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2007), 13.
6
(55)
46
Kekerasan dalam rumah rangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.7
D. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Secara umum unsur-unsur kekerasan adalah sebagai berikut :8
1. Secara fisik yaitu :
a. Adanya perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cidera,
luka-luka, atau cacat pada tubuh, bahkan kematian
b. Adanya akibat
2. Secara psikis yaitu :
a. Hilangnya rasa percaya diri
b. Hilangnya kemampuan untuk bertindak
c. Rasa tidak aman atau terancam
3. Adanya akibat perbuatan yaitu :
a. Rasa sakit pada tubuh
b. Luka pada tubuh
7
Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 2004, Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga..., 7.
8
Chazawi Adami, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, ( Jakarta : Raja
(56)
47
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tindak
kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4
(empat) macam :9
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk
dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul,
meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut
dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya.
Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka
lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.10 Seringkali suami yang
melakukan penganiyaan fisik cukup pintar memilih daerah tubuh
yang dipukul sehingga tak tampak bekasnya oleh orang lain11
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan /
atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan
yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga
9
Asri Supatmiati, (Pandangan Islam terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga),
Artikel Rumahku Surgaku, (02, 2007), 3.
10
Ibid.
11
Rifka Annisa, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Yogyakarta: Kurnia Alam
(57)
48
diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau
,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.12
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan)
istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan
seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan
kepuasan pihak istri.
4. Penelantaran Rumah Tangga
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah kepda
istri, memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomi untuk
mengontrol kehidupan istri, atau membiarkan istri bekerja untuk
kemudian penghasilannya di kuasai suami.13
E. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sangat berpengaruh
terhadap dinamika kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia.
12
Asri Supatmiati, (Pandangan Islam terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga)..., 3.
13
(58)
49
Harapan yang ingin dicapai adalah meningkatnya pemahaman dan
kesadaran hukum masyarakat terkait dengan tindak kekerasan dalam
rumah tangga dan memberikan payung hukum sebagai perlindung bagi
pihak-pihak dalam rumah tangga yang berada pada posisi sebagai
korban kekerasan dalam rumah tangga.14
Secara umum, kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh
beberapa hal, yakni :15
1. Budaya patriarkhi
Kita hidup dalam budaya patriarkhi, yang meletakkan
laki-laki sebagai makhluk superior, dan perempuan makhluk inferior.
Dengan keyakinan ini, laki-laki kemudian dibenarkan untuk
menguasai dan mengontrol perempuan.
2. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama
Banyak ajaran agama yang ditafsirkan secara keliru
sehingga menimbulkan anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai
perempuan. Ayat tentang “nusyu” dalam Alquran, misalnya, membuat banyak yang berkeyakinan bahwa laki-laki memang boleh
memukul istri, tanpa mempelajari lebih jauh tentang hal tersebut.
3. Peniruan
Anak laki-laki yang hidup bersama ayah yang pemukul
biasanya akan meniru perilaku ayahnya. Perilaku ini dianggap
14
Mulyani Mudis Taruna, Agama Melawan KDRT Studi Lembaga-Lembaga
Keagamaan, (Yogyakarta: CV. Arti Bumi Intaran, 2012), 57.
15
(59)
50
sebagai pola komunikasi, dan kelak akan diterapkan terhadap
pasangannya. Perilaku ini juga bisa dipelajari melalui
tayangan-tayangan televisi, film, dan sebagainya.
F. Ketentuan Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga
Adapun hukuman bagi pelaku melakukan Kererasan dalam
Rumah tangga sebagai berikut:
1. Kekerasan fisik
DELIK SANKSI
Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
Penjara paling lama 5 tahun
Denda paling banyak Rp. 15 jt
Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat
Penjara paling lama 10 tahun
atau;
Denda paling banyak Rp. 30 jt
Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban
Penjara paling lama 15 tahun
atau;
Denda paling banyak Rp. 45 jt
Kekerasan fisik yang
dilakukan suami
terhadap istri atau
sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata
pencaharian atau
Penjara paling lama 4 bulan
atau;
(60)
51
kegiatan sehari-hari
2. Kekerasan psikis
DELIK SANKSI
Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga
Penjara paling lama 3 tahun
atau;
Denda paling banyak Rp. 9 jt
Kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami
terhadap istri atau
sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata
pencarian atau kegiatan sehari-hari
Penjara paling lama 4 bulan
atau;
Denda paling banyak Rp. 3 jt
3. Kekerasan seksual
DELIK SANKSI
Kekerasan Seksual Penjara paling lama 12 tahun
atau;
Denda paling banyak Rp. 36 jt
Memaksa orang yang menetap dalam rumah
tangganya melakukan
hubungan seksual
Penjara paling singkat 4 tahun
dan paling lama 15 tahun atau;
Denda paling sedikit Rp. 12 jt
dan paling banyak Rp. 300 jt
(61)
52
mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama
sekali, mengalami
gangguan daya pikir atau
kejiwaan
sekurang-kurangnya selama 4
minggu terus menerus atau 1 tahun tidak
berturut-turut, gugur
atau matinya janin
dalam kandungan atau
mengakibatkan tidak
berfungsinya alat
reproduksi
dan paling lama 20 tahun atau;
Denda paling sedikit Rp. 25 jt
dan paling banyak 500 jt
4. Penelantaran rumat tangga
DELIK SANKSI
Menelantarkan orang
lain dalam lingkup
rumah tangga atau
Menelantarkan orang
lain yang berbeda di bawah kendali
Penjara paling lama 3 tahun
atau;
(62)
53
Pidana tambahan
Selain ancaman pidana penjara dan denda tersebut di atas,
hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:16
1. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjatuhkan
pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun
pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku.
2. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu.
Tindak pidana kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan
kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau
sebaliknya merupakan delik aduan.17
16
Peri Umar Faruq, Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga..., 18.
17
(63)
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF ANATARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A. Tinjauan Hukum Islam tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Rumah tangga merupakan unit terkecil dari susunan kelompok masyarakat. Rumah tangga merupakan sendi dasar dalam membina dan terwujudnya suatu negara.
Syeikh Mahmud Syaltut dalam bukunya “Al-Islam ‘Aqidah wa
Shari‘ah” mengatakan bahwa tidak diragukan lagi keluarga adalah batu
dasar dari bangunan suatu umat yang terbentuk dari keluarga-keluarga yang berhubungan erat satu dengan yang lainnya. Dan pastilah kuat lemahnya bangunan umat itu tergantung kepada kuat lemahnya keluarga yang menjadi batu dasar itu.
Dari sini jelas bahwa rumah tangga memiliki peran penting dalam kemajuan ummat. Suatu masyarakat akan tenteram bila rumah tangga dalam masyarakat terjalin dengan baik penuh dengan kebahagiaan. Sebaliknya jika dalam rumah tangga masyarakat tersebut tidak terjalin hubungan yang baik, selalu terjadi percekcokan tindak kekerasan, maka masyarakat pun demikian. Kehidupan keluarga merupakan aspek ajaran islam yang sangat penting. Keluarga adalah pondasi bangunan masyarakat, dari keluarga yang tertata rapi kehidupannya akan terbentuk masyarakat yang tertata pula.
(1)
64
gugur atau matinya janin dalam kandungan, alat reproduksi, maka di
ancam hukuman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara
paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,- dan denda
paling banyak Rp 500.000.000,-. Seperti disebutkan dalam Pasal 48.
4. Penelantaran rumah tangga
Orang yang menelantarkan keluarga maka diancam hukuman
pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,-. Seperti disebutkan dalam Pasal 49. Selain pidana
sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana
tambahan berupa:
1. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan
pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun
pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku.
2. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.
Menurut hukum pidana islam hukuman itu dikaitkan dengan
kehendak atau niat pelaku, tindak pidana penganiayaan (kekerasan)
tersebut dibagi menjadi dua yaitu :
1. Penganiyaan sengaja
2. Penganiyaan tidak sengaja
Sedangkan menurut Undang-Undang R.I Nomor 23 tahun 2004
(2)
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
Setelah diuraikan beberapa bab dari penelitian tentang “Studi Komparasi Antara Hukum Islam dan Hukum Tentang Kriteria Kekerasan
Dalam Rumah Tangga”, penulis dapat mengambil kesimpulan dan saran
yang dipergunakan sebagai bahan pemikiran atau pertimbangan sebagai
berikut:
1. Menurut hukum Islam kekerasan dalam rumah tangga termasuk
kategori kriminalitas, sedangkan menurut hukum positif merupakan
perbuatan yang menimbulkan penderitaan terhadap istri.
2. Persamaan antara hukum Islam dan hukum positif (Undang-undang
R.I Nomor 23 tahun 2004) tentang kekerasan dalam rumah tangga
terhadap istri merupakan tindakan yang dianggap melawan hukum dan
mendapatkan sanksi. Sedangkan perbedaannya, dalam hukum Islam
tindak kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam jarimah
kisas-diat, sedangkan dalam hukum positif dipenjara atau didenda dengan
uang.
B. Saran
1. Suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga hendaknya mampu
melihat dan menghargai kebaikan yang dimiliki pasangannya, yaitu
(3)
66
2. Suami juga dapat memberikan nasihat dan peringatan dengan penuh
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Abi Zakariyah Yahya Bin Syaraf Al Nawawi, Imam. Syarah Shahih Muslim. Damaskus. Maktabah Taufiqiah, Juz IX.
Ali Ahmad Al-Jurjawi Syekh, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu. Kairo:
Jami’ah al-azhar, t.t. Jilid II.
Annisa Rifka, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Kurnia
Alam Semesta,1997. Cet. I.
Arikunto Suharnisi, Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta, 2010.
Chazawi Adami, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2002.
Qadir ‘Audah Abdul, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Mukarram bin
Al-Qanun Al-Wad’i. Maktabah Dar Al-Urubah, 1963.
Dewi Puspitasari, Chandra. Perempuan Dan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Makalah, (t.t.).
Elmina Marta, Aroma, Perempuan, Kekerasan dan Hukum. Yogyakarta:
UII Pres, 2003.
Engineer Adghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1999
Farha Ciciek, Jangan Ada Lagi Kekerasan Ikhtiar Mengatasi Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Belajar dari Kehidupan Rasulullah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Hamidah Abdurrachman, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan
Negeri Sebagai Implementasi Hak-Hak Korban, Jurnal Hukum,
(5)
68
Hamka, Tafsir Al-AzharJuz V. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004.
Hasan Iqbal. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik. Jakarta: Bumi
Aksara, 2006
http://print.kompas.com/baca/2015/04/27/Laporan-KDRT
Meningkat%2c-Penanganan-Belum-Optimal di akses pada tanggal 20 april 2016.
Indah Asmarany, Anugriaty. Bias Gender Sebagai Prediktor Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, Jurnal Psikologi, t.t.
Kementrian Agama RI Al Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta : Widya
Cahaya, 2011.
Marlia Milda, Marital Rape Kekerasan Seksual terhadap Istri.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007.
Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli Jalaluddin, Tafsir Jalalain Terj.
Bahrun Abu Bakar, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2006.
Muhammad Husain at-Tabatha’I Sayyid, Al-Mizan fi al-Tafsir. Lebanon :
Al-‘Alami, t.t., Juz IV.
Nofarina, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dilihat Dari Aspek
Viktimologi Dan Hukum Pidana, Jurnal Ilmiah 2012.
Santoso Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani,
2003.
Shihab Quraish, Tafsir Al-Mishbah. Jakarta : Lentera Hati, 2000.
Sudarsono, Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Sabiq Sayyid, Fiqh Sunnah. Bandung: Terjemah Thalib, 1987, Juz X
Subhan Zaitunah, Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2004.
(6)
69
Sudjari Dahlan. Sudut Pandang Terhadap Rancangan KUHP. Makalah,
2001, Surabaya.
Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja
Grafindo, 1997.
Supatmiati Asri, Pandangan Islam terhadap Kekerasan dalam
Rumah Tangga, Artikel Rumahku Surgaku. 02, 2007.
Umar Faruq, Peri, Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga,
Jakarta: JBDK, t.t.
Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan dalam Rumah Tangga.