Perbedaan Keterampilan Sosial Antara Siswa Homeschooling Dan Siswa Yang Mengikuti Program Reguler

(1)

PERBEDAAN KETERAMPILAN SOSIAL ANTARA SISWA HOMESCHOOLING

DAN SISWA YANG MENGIKUTI PROGRAM REGULER

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

EVI ULINA SEBAYANG 021301040

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN OKTOBER 2007


(2)

BAB I PENDAHULUAN

I.A.LATAR BELAKANG MASALAH

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua satuan dan jenjang pendidikan yang meliputi wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Suryabrata, 2001).

Seperti yang kita ketahui bahwa ada tiga jalur pendidikan yang dikenal dalam sistem pendidikan di Indonesia yaitu: pertama, jalur formal atau yang sering juga disebut dengan program reguler, seperti: SD, SMP, dan SMA. Kedua, jalur nonformal, seperti: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar. Selanjutnya yang terakhir yaitu jalur informal, seperti: pendidikan oleh keluarga dan lingkungan secara mandiri dan salah satunya adalah homeschooling

(Sumardiono, 2007). Di Indonesia Proses belajar mengajar di sekolah reguler bersifat sangat kompleks, karena di dalamnya terdapat aspek paedagogis, psikologis, dan didaktis. Aspek paedagogis merujuk pada kenyataan bahwa belajar mengajar di sekolah berlangsung dalam lingkungan pendidikan di mana guru harus mendampingi siswa dalam perkembangannya menuju kedewasaan, melalui proses belajar mengajar di dalam kelas. Aspek psikologis merujuk pada kenyataan bahwa siswa yang belajar di sekolah memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda. Aspek psikologis tersebut merujuk pada kenyataan bahwa proses belajar itu sendiri sangat bervariasi, misalnya: ada belajar materi yang


(3)

mengandung aspek hafalan, ada belajar keterampilan motorik, ada belajar konsep, ada belajar sikap, dan seterusnya. Adanya kemajemukan ini menyebabkan cara siswa belajar harus berbeda-beda pula, sesuai dengan jenis belajar yang sedang berlangsung. Aspek didaktis merujuk pada pengaturan belajar siswa oleh tenaga pengajar, yaitu adanya berbagai prosedur didaktis. Guru harus menentukan metode yang paling efektif untuk proses belajar mengajar tertentu sesuai dengan tujuan instruksional yang harus dicapai. Demikian pula dengan kondisi eksternal belajar yang harus diciptakan oleh pengajar, sangat bervariasi (Suryadi dan Hartilaar, 1993)

Dengan berbagai macam pendidikan yang ada, para orang tua haruslah bijak memilih pendidikan yang tepat untuk anak-anaknya sesuai dengan tugas perkembangan yang akan mereka jalani, karena pada usia remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja. Salah satu tugas-tugas perkembangan remaja yang menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku adalah penyesuaian sosial (Santrock, 2004). Ditambahkan pula oleh Mu’tadin (2002), bahwa kemampuan penyesuaian sosial dirasakan semakin penting bagi perkembangan remaja. Hal ini disebabkan karena individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas, di mana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan. Suryabrata (2001) mengatakan bahwa remaja memiliki pula kebutuhan akan adanya teman yang dapat memahami dan menolongnya, teman yang dapat turut serta merasakan suka dan dukanya.

Greenberger (dalam Hurlock, 1999) menyatakan untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus banyak membuat penyesuaian baru. Penyesuaian tersebut berkaitan dengan pengaruh kelompok sebaya, perubahan


(4)

dalam perilaku dan pengelompokan sosial, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan dan pemimpin.

Bertambah luasnya lingkup sosial remaja membawa konsekuensi tertentu pula. Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) semakin kompleks lingkup sosialnya, remaja semakin dituntut untuk selalu menyesuaikan diri, dan diharapkan mampu membina hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya, serta mampu bertingkah laku sosial yang bertanggung jawab. Menurut Craig (1996), alasan mengapa para remaja lebih suka mencari dukungan dari teman-teman sebaya adalah karena teman-teman sebayalah yang memiliki pengalaman yang sama dengannya dibandingkan dengan orang-orang lain dalam menghadapi perubahan fisik, emosional, dan perubahan sosial yang terjadi. Kegagalan remaja dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku kurang normatif, dan bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, dan tindakan kriminal (Sarwono, 2000).

Melihat kondisi lingkungan yang semakin luas, remaja dituntut untuk dapat memilih dan memilah hal-hal baik mana yang akan ditiru atau diikuti, serta perilaku buruk mana yang memang seharusnya dihindari. Remaja harus mampu bersikap tegas dan merespon secara tepat segala pengaruh yang seringkali muncul dalam pergaulannya. Salah satu kunci keberhasilan hidup manusia adalah kemampuannya untuk melakukan dan membina hubungan antar pribadi dengan orang lain (Nashori, 2000). Berbagai kisah nyata menunjukkan bahwa keberhasilan pada berbagai bidang kehidupan dipengaruhi oleh kemampuan untuk


(5)

mengelola hubungan pribadi dengan orang lain. Havighurst (dalam Hurlock,1999) menyatakan bahwa untuk melakukan penyesuaian dalam kehidupan sehari-hari, remaja harus mampu mencapai kemampuan sosial. Kemampuan sosial dapat dikuasai dengan baik oleh remaja apabila mereka memiliki keterampilan sosial.

Keterampilan sosial merupakan kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, dimana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Remaja dengan keterampilan sosial akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain (Hargie, Saunders, & Dickson dalam Gimpel & Merrell, 1998).

Keterampilan sosial juga harus dimiliki remaja ketika berhadapan dengan teman sebaya. Remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan sesama remaja daripada dengan orang tua atau anggota keluarga lain. Hal ini dikarenakan remaja selalu berada di sekolah dari pagi sampai siang, belum lagi kalau ada ekstrakurikuler, les, bahkan nonton ke bioskop atau ke mal dilakukan bersama teman. Acara liburan pun seringkali dilewatkan untuk berekreasi bersama teman, seperti pergi camping atau berdarmawisata ke kota lain. Fenomena ini di Indonesia dikenal dengan istilah peer pressure atau tekanan teman sebaya. Faktanya dapat dilihat dari besarnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari cara berbicara, berpakaian, sampai bertingkah laku yang cenderung memperhatikan dan mengikuti apa yang dilakukan oleh temannya (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0203/08/dikbud/pee33.htm).


(6)

Keterampilan sosial membawa remaja untuk lebih berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Remaja akan memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi dalam segala hal, penuh pertimbangan sebelum melakukan sesuatu, tahu situasi dengan siapa dan dalam kondisi bagaimana bmereka berbicara, mampu menolak dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan (Libet & Lewinsohn dalam Gimpel & Merrell, 1998). Penelitian yang mendukung hal ini dilakukan oleh Buhrmester, dkk (1988) hasilnya menunjukkan bahwa keterampilan sosial bermanfaat dalam hal popularitas dalam peer-group, kesuksesan dalam membina hubungan antar jenis, kepuasan dalam hubungan perkawinan, dan sebagai benteng stres dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya, Caldarella & Merrell (dalam Gimpel & Merrell, 1998) mengemukakan bahwa keterampilan sosial mencakup 5 dimensi yang paling umum, yaitu:

1. Hubungan dengan teman sebaya (peer relations,) yaitu ditunjukkan melalui perilaku yang positif terhadap teman sebaya seperti memuji atau menasehati orang lain, menawarkan bantuan kepada orang lain, dan bermain bersama orang lain.

2. Manajemen diri (self-management), yaitu merefleksikan remaja yang memiliki emosional yang baik, yang mampu untuk mengontrol emosinya, mengikuti peraturan dan batasan-batasan yang ada, dapat menerima kritikan dengan baik.


(7)

3. Kemampuan akademis (academic), yaitu kemampuan yang ditunjukkan melalui pemenuhan tugas secara mandiri, menyelesaikan tugas individual, menjalankan arahan dengan baik.

4. Kepatuhan (compliance), yaitu menunjukkan remaja yang dapat mengikuti peraturan dan harapan, menggunakan waktu dengan baik, dan membagikan sesuatu.

5. Perilaku assertive (assertion), adalah kemampuan yang membuat seorang remaja dapat menampilkan perilaku yang tepat dalam situasi yang diharapkan.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kesempatan berinteraksi dengan teman sebaya sebagian besar banyak dihabiskan di sekolah reguler, di mana peran remaja dalam hal ini adalah sebagai siswa. Sekolah juga mempersiapkan siswa untuk aktif berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan sosial melalui organisasi intrakurikuler maupun ekstrakurikuler-nya. Begitu pentingnya peranan sekolah bagi siswa membuat pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menciptakan sekolah sebagai lingkungan pendidikan yang bermutu dalam hal teknologi dan informasi. Pemerintah harus peka dalam membentuk strategi penyelenggaraan pendidikan melalui kurikulum yang akan diterapkan di seluruh sekolah di Indonesia.

Pembaharuan pendidikan yang mulai digalakkan beberapa puluh tahun yang lalu menyebabkan timbulnya berbagai usaha pemikiran di berbagai bidang pendidikan, seperti: pembaharuan kurikulum, metode mengajar, administrasi pendidikan, media pendidikan, dan sistem supervisi. Adanya pembaharuan ini


(8)

telah menimbulkan perubahan ukuran baik-buruk perihal kegiatan guru, kegiatan siswa, suasana kelas, dan banyak lagi hal lainnya (Arikunto, 1996).

Namun, sistem kurikulum yang berlaku di Indonesia sekarang dianggap belum sepenuhnya mampu menampung konsepsi dan gagasan baru sejalan dengan tantangan dan kehidupan bangsa saat ini. Banyak orang tua merasa tidak puas pada pendidikan di sekolah reguler. Kurikulum selalu berubah, akibatnya buku pelajaran juga ikut berubah, dan beban muatan pelajaran cukup berat. Alasan lain yang menjadi pertimbangan orang tua adalah pergaulan di sekolah yang memberi dampak buruk. Salah satu fakta itu, penyalahgunaan obat terlarang yang sudah menyusup di kalangan pelajar. Semua itu membuat orangtua mempertimbangkan kembali untuk menyekolahkan anaknya di sekolah reguler (Prasetyawati, 2006).

Widyastono (2001) menambahkan pula bahwa strategi penyelenggaraan pendidikan bersifat klasikal-massal yang selama ini dilakukan di sekolah reguler, memberikan perlakuan yang standar (tidak memperhatikan keberagaman peserta didik) kepada semua siswa, padahal setiap siswa memiliki kebutuhan yang berbeda. Akibatnya, siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di bawah rata-rata, karena memiliki kecepatan belajar di bawah kecepatan belajar siswa lainnya, akan selalu tertinggal dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Demikian pula sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas rata-rata, karena memiliki kecepatan belajar di atas kecepatan belajar siswa lainnya, akan merasa jenuh, sehingga sering berprestasi di bawah potensinya (under achiever).

Bertolak dari situasi tersebut, akhir-akhir ini telah muncul suatu konsep pendidikan alternatif yang melibatkan orang tua dengan pola pendidikan di dalam


(9)

rumah. Konsep tersebut dikenal dengan homeschooling, karena pada hakikatnya pendidikan adalah berasal dari rumah. Sewaktu anak-anak lahir dan berkembang serta belajar merupakan tanggung jawab dari orang tua sebagai pendidik dan menjadi role model bagi anak (Griffith, 2006). John Locke (dalam Lines, 2000) mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan adalah kebaikan, dan rumah merupakan tempat yang terbaik untuk mengajarkannya. Menurut Evy (2006) cara memulai program sekolah rumah (homeschooling) ini, ada beberapa cara berdasarkan pengalaman yang selama ini telah dilakukan, diantaranya pertama, kelas anak disesuaikan dengan usia, kedua tutor dari orangtua atau orang yang ditunjuk, ketiga menggunakan buku panduan Paket A,B,C atau juga pakai buku yang banyak di toko, keempat waktu belajar terserah, yang penting anak belajar minimal 2x 3 jam dalam sehari. Masih banyak aturan lain dari homeschooling ini dan penyelenggaraan sekolah rumah tidak hanya setara SD saja bahkan sampai SMA pun ada programnya.

Menurut Wichers (2001) homeschooling didesain sebagai situasi pembelajaran di mana anak diajarkan pada umumnya oleh orang tua mereka, dalam lingkungan yang non tradisional. Orang tua merasa lebih nyaman bila menerapkan homeschooling bagi anak-anaknya. Selain lebih aman, orang tua akan dapat lebih intensif membantu tumbuh kembang anak. Dalam homeschooling

penekanannya lebih kepada partisipasi dari orang tua dalam merancang pendidikan anak-anaknya, karena pada dasarnya orang tua-lah yang lebih mengenal karakter anak-anaknya. Orang tua dapat merancang pola didik yang paling sesuai dengan karakter, minat, dan bakat anaknya. Holt (dalam Griffith, 2006) mengatakan bahwa homeschooling merupakan sebuah pendidikan yang


(10)

dilakukan ’tanpa sekolah’ dan dilakukan di dalam rumah, serta berdasarkan pada pembelajaran yang terpusat pada anak. Menurut Yulfiansyah (2006)

homeschooling merupakan sebuah wacana pembelajaran yang menitikberatkan kepada pemanfaatan potensi anak didik dengan sedikit supervisi. Anak yang

homeschooling diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar secara komprehensif, optimal dan mengoptimalkan kreativitasnya.

Pelaksanaan dari program pendidikan homeschooling mulai dari awal hingga sekarang masih menimbulkan pro dan kontra (Yulfiansyah, 2006). Pro dan kontranya terutama dari segi psikologis. Siswa yang homeschooling

melaksanakan pendidikan di rumah yang akan lebih fleksibel, sehingga terkesan tidak disiplin dan seenaknya sendiri karena terbiasa bebas. Sebagian orang berpendapat bahwa pendidikan homeschooling membuat anak kurang bersosialisasi dan tidak realistis terhadap dunia. Siswa akan kehilangan waktu senggang dan masa bermainnya, serta menghambat dan membatasi siswa untuk berinteraksi dengan teman sebaya, dan dengan demikian hubungan interpersonal dengan orang lain pun juga akan semakin merenggang. Prasetyawati (2006) menambahkan pula bahwa kelemahan dari homeschooling, yaitu kemungkinan kurangnya sosialisasi anak dengan teman sebaya. Anak hanya bisa bertemu saudara dan orang tuanya yang biasanya juga ada di rumah. Sementara di sekolah reguler, anak bisa bertemu banyak orang dengan karakter dan budaya yang berbeda. Di sekolah reguler anak juga lebih banyak kesempatan untuk belajar tentang rasa toleransi, dan bagaimana bersikap pada teman, guru, lingkungan sekitar, dan lain-lain. Pada umumnya orang lebih menganjurkan pendidikan di sekolah reguler yang konvensional (Griffith, 2006).


(11)

Namun di sisi lain Yulfiansyah (2006) mengatakan bahwa anak yang

homeschooling juga bersosialisasi dengan orang lain sehingga memiliki keterampilan untuk bersosialisasi. Bersosialisasi berarti berinteraksi dengan individu-individu lain dan tidak harus dengan mereka yang sebaya saja. Anak yang homeschooling berinteraksi dengan siapa saja, baik teman sebaya, mereka yang lebih tua maupun yang jauh lebih muda sekali pun. Mereka diajar untuk bisa menempatkan diri di lingkungan mana pun, dengan siapa pun, dan menjalin hubungan atau interaksi bukan karena diharuskan atau dipaksakan tetapi karena kesadaran bahwa hubungan antar manusia itu memiliki makna.

Di Indonesia, yaitu di beberapa kota seperti di Jakarta penerapan program

homeschooling sudah banyak dilaksanakan. Kebanyakan orang tua mereka menyarankan anaknya untuk bersekolah dengan cara homeschooling. Peneliti sendiri sudah menanyakan kepada beberapa orang tua yang anaknya mengikuti program homeschooling, dan para orang tua tersebut mengatakan bahwa alasan mereka adalah bahwa mereka kurang percaya dengan sekolah reguler karena pergaulan di Jakarta yang begitu bebas sehingga ia takut kalau anaknya akan salah pergaulan. Selain itu dengan homeschooling, anak dapat mengatur jadwal belajarnya sendiri tetapi penuh dengan kedisiplinan yang tinggi dan juga dapat memfokuskan pelajaran mana yang paling digemari. Karena itu di Jakarta sudah banyak sekali siswa yang memilih program homeschooling tanpa adanya rasa keraguan. Di Jakarta sendiri sudah banyak terdapat komunitas homeschooling,

sehingga jika kita ingin memasukkan anak kita bersekolah melalui program

homeschooling sudah dapat melalui sekretariatnya. Itulah sebabnya peneliti tertarik untuk mengambil sampel di Jakarta karena sudah banyak siswa yang


(12)

mengikuti program homeschooling, sedangkan di Medan sendiri peminatnya masih sedikit, yang biasanya diutamakan kepada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (special needs).

Setiap siswa pastilah berbeda-beda, begitu juga dengan keterampilan sosial yang dimiliki siswa belum tentu sama antara satu dengan yang lainnya. Bertolak dari perbedaan pandangan di atas, pertanyaan yang muncul dan harus segera dijawab dalam hal ini adalah apakah siswa yang mengikuti program

homeschooling berbeda keterampilan sosialnya dengan siswa yang mengikuti program reguler di sekolah. Untuk itu peneliti merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian mengenai perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa program reguler.

I.B TUJUAN PENELITIAN

Dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa program reguler

I.C. MANFAAT PENELITIAN

Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang berguna dalam pengembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Pendidikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan


(13)

informasi mengenai bagaimana perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa program reguler. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memperluas ruang lingkup dan menambah wacana dalam ilmu psikologi sendiri, khususnya yang berkaitan dengan tema program homeschooling yang sedang marak akhir-akhir ini.

2. Manfaat praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah:

a. Memberikan masukan kepada para siswa dalam menjalani sebuah program pendidikan, sehingga mereka dapat mempersiapkan diri sebelum mereka mengecap suatu program pendidikan tertentu.

b. Memberikan informasi kepada pihak keluarga dan

masyarakat agar lebih memperhatikan pola pendidikan anak, dan memberikan perlakuan yang tepat bagi pendidikan anak, sehingga para anak tidak merasakan adanya suatu paksaan dalam bersekolah. c. Memberikan informasi yang telah didapatkan kepada pihak yang berwenang dalam program pendidikan, yaitu pemerintah, sehingga homeschooling semakin mendapat dukungan yang lebih dalam menciptakan pendidikan bagi pengembangan potensi anak.


(14)

I.D. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa program reguler

Bab II Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian, meliputi landasan teori dari keterampilan sosial, homeschooling, dan program reguler.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini berisikan identifikasi variabel-variabel yang diteliti, definisi operasional, subyek penelitian, alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel, dan metode analisis data.

Bab IV Analisa dan Interpretasi Data

Bagian ini berisikan uraian singkat hasil utama penelitian, dan interpretasi data, serta hasil tambahan yang dapat memperkaya penelitian ini.

Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bagian ini berisikan kesimpulan dari penelitian dan hasil dari penelitian itu sendiri yang dibuat berdasarkan analisa dan interpretasi data, dan berbagai kemungkinan yang terjadi mengenai alasan dari hasil penelitian yang telah diperoleh berdasarkan teori-teori keterampilan sosial, maupun


(15)

teori lain yang mendukung. Selain itu bagian ini juga memberikan saran-saran praktis sesuai dengan hasil penelitian dan interpretasi data penelitian, serta memberikan inspirasi pada peneliti-peneliti lain.


(16)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Keterampilan Sosial

II. A.1. Definisi Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial adalah kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Remaja dengan keterampilan sosial akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain (Hargie, Saunders, & Dickson dalam Gimpel & Merrell, 1998). Keterampilan sosial membawa remaja untuk lebih berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi dan sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, sehingga mereka tidak mencari pelarian ke hal-hal lain yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Libet dan Lewinsohn (dalam Cartledge dan Milburn, 1995) mengemukakan keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan. Kelly (dalam Gimpel & Merrel, 1998) mendefinisikan keterampilan sosial sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh individu pada situasi-situasi interpersonal dalam lingkungan. Keterampilan sosial, baik secara langsung maupun tidak membantu remaja untuk dapat menyesuaikan diri


(17)

dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya (Matson, dalam Gimpel & Merrell, 1998).

Mu’tadin (2006) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja yang berada dalam fase perkembangan masa remaja madya dan remaja akhir adalah memiliki ketrampilan sosial (social skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima

feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dsb. Apabila keterampilan sosial dapat dikuasai oleh remaja pada fase tersebut maka ia akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal ini berarti pula bahwa sang remaja tersebut mampu mengembangkan aspek psikososial dengan maksimal.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial merupakan kemampuan seseorang untuk berani berbicara, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan yang dihadapi sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif, memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi dalam segala hal, penuh pertimbangan sebelum melakukan sesuatu, mampu menolak dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari lingkungan.

II.A.2. Arti Penting Keterampilan sosial

Johnson dan Johnson (1999) mengemukakan 6 hasil penting dari memiliki keterampilan sosial, yaitu :


(18)

1. Perkembangan Kepribadian dan Identitas

Hasil pertama adalah perkembangan kepribadian dan identitas karena kebanyakan dari identitas masyarakat dibentuk dari hubungannya dengan orang lain. Sebagai hasil dari berinteraksi dengan orang lain, individu mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri. Individu yang rendah dalam keterampilan interpersonalnya dapat mengubah hubungan dengan orang lain dan cenderung untuk mengembangkan pandanagn yang tidak akurat dan tidak tepat tentang dirinya.

2. Mengembangkan Kemampuan Kerja, Produktivitas, dan Kesuksesan Karir

Keterampilan sosial juga cenderung mengembangkan kemampuan kerja, produktivitas, dan kesuksesan karir, yang merupakan keterampilan umum yang dibutuhkan dalam dunia kerja nyata. Keterampilan yang paling penting, karena dapat digunakan untuk bayaran kerja yang lebih tinggi, mengajak orang lain untuk bekerja sama, memimpin orang lain, mengatasi situasi yang kompleks, dan menolong mengatasi permasalahan orang lain yang berhubungan dengan dunia kerja.

3. Meningkatkan Kualitas Hidup

Meningkatkan kualitas hidup adalah hasil positif lainnya dari keterampilan social karena setiap individu membutuhkan hubungan yang baik, dekat, dan intim dengan individu lainnya.


(19)

4. Meningkatkan Kesehatan Fisik

Hubungan yang baik dan saling mendukung akan mempengaruhi kesehatan fisik. Penelitian menunjukkan hubungan yang berkualitas tinggi berhubungan dengan hidup yang panjang dan dapat pulih dengan cepat dari sakit.

5. Meningkatkan Kesehatan Psikologis

Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan psikologis yang kuat dipengaruhi oleh hubungan positif dan dukungan dari orang lain. Ketidakmampuan mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengarah pada kecemasan, depresi, frustasi, dan kesepian. Telah dibuktikan bahwa kewmampuan membangun hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengurangi distress psikologis, yang menciptakan kebebasan, identitas diri, dan harga diri.

6. Kemampuan Mengatasi Stress

Hasil lain yang tidak kalah pentingnya dari memiliki keterampilan sosial adalah kemampuan mengatasi stress. Hubungan yang saling mendukung telah menunjukkan berkurangnya jumlah penderita stress dan mengurangi kecemasan. Hubungan yang baik dapat membantu individu dalam mengatasi stress dengan memberikan perhatian, informasi, dan feedback.

II.A.3. Ciri-ciri Keterampilan Sosial

Gresham & Reschly (dalam Gimpel dan Merrell, 1998) mengidentifikasikan keterampilan sosial dengan beberapa ciri, antara lain:


(20)

1. Perilaku Interpersonal

Perilaku interpersonal adalah perilaku yang menyangkut keterampilan yang digunakan selama melakukan interaksi sosial yang disebut dengan keterampilan menjalin persahabatan.

2. Perilaku yang Berhubungan dengan Diri Sendiri

Perilaku ini merupakan ciri dari seorang yang dapat mengatur dirinya sendiri dalam situasi sosial, seperti: keterampilan menghadapi stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan dan sebagainya.

3. Perilaku yang Berhubungan dengan Kesuksesan Akademis

Perilaku ini berhubungan dengan hal-hal yang mendukung prestasi belajar di sekolah, seperti: mendengarkan guru, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku di sekolah. 4. Penerimaan Teman Sebaya

Hal ini didasarkan bahwa individu yang mempunyai keterampilan sosial yang rendah akan cenderung ditolak oleh teman-temannya, karena mereka tidak dapat bergaul dengan baik. Beberapa bentuk perilaku yang dimaksud adalah: memberi dan menerima informasi, dapat menangkap dengan tepat emosi orang lain, dan sebagainya.

5. Keterampilan Berkomunikasi

Keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan sosial yang baik, berupa pemberian umpan balik dan perhatian terhadap lawan bicara, dan menjadi pendengar yang responsif.


(21)

Adapun ciri-ciri individu yang memiliki keterampilan sosial, menurut Eisler dkk (L’Abate & Milan, 1985) adalah: orang yang berani berbicara, memberi pertimbangan yang mendalam, memberikan respon yang lebih cepat, memberikan jawaban secara lengkap, mengutarakan bukti-bukti yang dapat meyakinkan orang lain, tidak mudah menyerah, menuntut hubungan timbal balik, serta lebih terbuka dalam mengekspresikan dirinya. Sementara Philips (dalam L’Abate & Milan, 1985) menyatakan ciri-ciri individu yang memiliki keterampilan sosial meliputi: proaktif, prososial, saling memberi dan menerima secara seimbang.

II.A.4. Dimensi Keterampilan Sosial

Caldarella dan Merrell (dalam Gimpel & Merrell, 1998) mengemukakan 5 (lima) dimensi paling umum yang terdapat dalam keterampilan sosial, yaitu :

1. Hubungan dengan teman sebaya (Peer relation), ditunjukkan melalui perilaku yang positif terhadap teman sebaya seperti memuji atau menasehati orang lain, menawarkan bantuan kepada orang lain, dan bermain bersama orang lain.

2. Manajemen diri (Self-management), merefleksikan remaja yang memiliki emosional yang baik, yang mampu untuk mengontrol emosinya, mengikuti peraturan dan batasan-batasan yang ada, dapat menerima kritikan dengan baik.

3. Kemampuan akademis (Academic), ditunjukkan melalui

pemenuhan tugas secara mandiri, menyelesaikan tugas individual, menjalankan arahan guru dengan baik.


(22)

4. Kepatuhan (Compliance), menunjukkan remaja yang dapat mengikuti peraturan dan harapan, menggunakan waktu dengan baik, dan membagikan sesuatu.

5. Perilaku assertive (Assertion), didominasi oleh kemampuan-kemampuan yang membuat seorang remaja dapat menampilkan perilaku yang tepat dalam situasi yang diharapkan.

Tabel 1

Dimensi Umum Keterampilan Sosial

Dimensi Pola Perilaku

Hubungan dengan teman sebaya (peer relation)

Interaksi sosial, prososial, empati, partisipasi sosial, sociability-leadership, kemampuan sosial pada teman sebaya. Manajemen diri (Self-management) Kontrol diri, kompetensi sosial,

tanggung jawab sosial, peraturan, toleransi terhadap frustasi.

Kemampuan akademis (academic) Penyesuain sekolah, kepedulian pada peraturan sekolah, orientasi tugas, tanggung jawab akademis, kepatuhan di kelas, murid yang baik.

Kepatuhan (Compliance) Kerjasama secara sosial, kompetensi,

cooperation-compliance

Perilaku Asertif (Assertion) Keterampilan sosial asertif, social initiation, social activator, gutsy


(23)

II.A.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial

Hasil studi Davis dan Forsythe (Mu’tadin, 2006), terdapat 8 aspek yang mempengaruhi keterampilan sosial dalam kehidupan remaja, yaitu :

1. Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis (broken home) di mana anak tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup maka anak akan sulit mengembangkan ketrampilan sosialnya. Hal yang paling penting diperhatikan oleh orang tua adalah menciptakan suasana yang demokratis di dalam keluarga sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua maupun saudara-saudaranya. Dengan adanya komunikasi timbal balik antara anak dan orang tua maka segala konflik yang timbul akan mudah diatasi. Sebaliknya komunikasi yang kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh otoritas, dsb. hanya akan memunculkan berbagai konflik yang berkepanjangan sehingga suasana menjadi tegang, panas, emosional, sehingga dapat menyebabkan hubungan sosial antara satu sama lain menjadi rusak.

2. Lingkungan

Sejak dini anak-anak harus sudah diperkenalkan dengan lingkungan. Lingkungan dalam batasan ini meliputi lingkungan fisik (rumah, pekarangan) dan lingkungan sosial (tetangga). Lingkungan juga meliputi lingkungan keluarga (keluarga primer dan sekunder), lingkungan sekolah


(24)

dan lingkungan masyarakat luas. Dengan pengenalan lingkungan maka sejak dini anak sudah mengetahui bahwa dia memiliki lingkungan sosial yang luas, tidak hanya terdiri dari orang tua, saudara, atau kakek dan nenek saja. 2. Kepribadian

Secara umum penampilan sering diindentikkan dengan manifestasi dari kepribadian seseorang, namun sebenarnya tidak. Karena apa yang tampil tidak selalu menggambarkan pribadi yang sebenarnya (bukan aku yang sebenarnya). Dalam hal ini amatlah penting bagi remaja untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan semata, sehingga orang yang memiliki penampilan tidak menarik cenderung dikucilkan. Di sinilah pentingnya orang tua memberikan penanaman nilai-nilai yang menghargai harkat dan martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal-hal fisik seperti materi atau penampilan.

3. Meningkatkan Kemampuan Penyesuaian Diri

Untuk membantu tumbuhnya kemampuan penyesuaian diri, maka sejak awal anak diajarkan untuk lebih memahami dirinya sendiri (kelebihan dan kekurangannya) agar ia mampu mengendalikan dirinya sehingga dapat bereaksi secara wajar dan normatif. Agar anak dan remaja mudah menyesuaikanan diri dengan kelompok, maka tugas orang tua / pendidik adalah membekali diri anak dengan membiasakannya untuk menerima dirinya, menerima orang lain, tahu dan mau mengakui kesalahannya, dsb. Dengan cara ini, remaja tidak akan terkejut menerima kritik atau umpan balik dari orang lain / kelompok, mudah membaur dalam kelompok dan


(25)

memiliki solidaritas yang tinggi sehingga mudah diterima oleh orang lain / kelompok.

Berdasarkan ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial dipengaruhi berbagai faktor, antara lain faktor keluarga, lingkungan, serta kemamapuan dalam penyesuaian diri.

II.B. Homeschooling

II.B.1. Sejarah Homeschooling

Setiap kegiatan pendidikan merupakan bagian dari suatu proses yang sangat penting dan diharapkan dapat mengarah ke suatu tujuan. Gambaran kepercayaan masyarakat abad 20 ini terhadap pendidikan berkembang sama luasnya dengan perluasan pendirian sekolah-sekolah umum dan diberlakukannya undang-undang wajib belajar. Asumsi sekolah sebagai hal yang dibutuhkan dalam pendidikan anak didik begitu besar, sehingga meskipun banyak perdebatan mengenai bentuk sekolah dan bahan-bahan yang harus diajarkan, tetap saja sekolah menjadi suatu lembaga yang tidak tergantikan (Griffith, 2006).

Tapi, seiring perkembangan zaman, timbullah suatu pengecualian-pengecualian. Sebagian anak yang tinggal di daerah yang terpencil dan terlalu jauh dari sekolah formal menyulitkan mereka untuk datang ke sekolah. Kemudian sebagian lainnya merasa tidak tahan berada di sekolah atau datang dari keluarga dengan ide-ide yang tidak tradisional mengenai makna pembelajaran (Griffith, 2006).

Para pembelajar yang tidak konvensional ini kemudian mengambil jalur pendidikan yang berbeda. Hingga pada akhirnya John Holt di akhir tahun 1970-an


(26)

mempelopori terbentuknya sekolah di rumah kepada publik. Pada tahun 1977, Holt mulai mempublikasikan buletin berita sebanyak 4 halaman, yang berjudul ‘Growing Without Schooling’ (Tumbuh Tanpa Sekolah) bagi keluarga-keluarga yang menginginkan ide-ide dan dukungan untuk membantu anak-anak mereka belajar di luar sekolah. Ide-ide Holt mempengaruhi banyak orang tua yang juga memikirkan hal yang serupa, dan dalam waktu singkat banyak yang mendukungnya.

Pada awalnya Holt menggunakan kata “pendidikan tanpa sekolah” untuk menggambarkan tindakan pendidikan anak didik di luar sekolah formal. Namun, hal tersebut segera menjadi sinonim untuk sebutan sekolah di rumah

(homeschooling). Selama dua dekade terakhir, arti istilah itu telah berubah dan menyempit, sehingga “pendidikan tanpa sekolah” mengacu pada gaya khusus sekolah di rumah (homeschooling) yang dianjurkan Holt dan pembelajarannya terpusat pada anak. Kemudian sejak tahun 1970-an, pergerakan dari

homeschooling telah mendapat dukungan luas dan tumbuh dengan pesat (Griffith, 2006).

Menurut data dari National Household Education Surveys Program

(NHES) seperti dikutip dari National Center for Education Statistics, di Amerika Serikat, pada tahun 2003 terdapat sekitar 1,096,000 anak yang homeschooling. Empat tahun sebelumnya, yaitu tahun 1999, terdapat sekitar 850.000 anak (sekitar 1,7 % dari populasi usia sekolah) yang homeschooling. Hal ini berarti terjadi peningkatan sekitar 0,5 % jumlah anak yang mengikuti program pendidikan


(27)

Di tahun 2003 pula, NHES melakukan survei terhadap para orang tua, mengenai alasan mereka menerapkan homeschooling pada anak-anak mereka. Sekitar 31 % orang tua menyatakan khawatir terhadap lingkungan sekolah; 30 % mengatakan alasannya adalah memberikan ajaran agama dan moral; dan alasan berikutnya, sekitar 16 % adalah ketidakpuasan terhadap sistem akademis di sekolah.

II.B.2. Sejarah Homeschooling di Indonesia

Negara menjamin adanya pendidikan di Indonesia, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara di sektor pendidikan.

Pendidikan di sekolah merupakan salah satu sub sistem dari keseluruhan sistem pendidikan yang terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan sekolah. Pemerintah Indonesia pada hakekatnya telah melakukan beberapa kebijakan pendidikan guna mengakomodasi dan melayani kebutuhan pendidikan bagi anak-anak di Indonesia, karena pendidikan merupakan usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut diselenggarakan pada semua satuan dan jenjang pendidikan yang meliputi wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Depdiknas, 2001).

Namun, pada saat ini banyak fenomena yang mengarah pada bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap signifikansi proses pendidikan dalam sistem sekolah formal untuk merubah kualitas hidup. Proses yang terjadi di


(28)

sekolah dianggap sebagai ritual formalitas yang berkisar dari menjemukan sampai dengan menyiksa anak, namun perlu dilakukan agar mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah berupa ijazah untuk bisa memasuki jenjang selanjutnya. Sekolah hanya dianggap sebagai lembaga pemberi ijazah. Di tingkat perguruan tinggi, terungkapnya kasus pembelian gelar dan ijazah sebagai jalan pintas yang juga melibatkan beberapa pejabat dan anggota dewan merupakan pucuk gunung es dari ketidakpercayaan terhadap proses pembelajaran dalam sistem formal (http://www.komunitasdemokrasi.or.id/ comments.php?id=P153_0_9_0_C).

Sejalan dengan hal tersebut muncul sekolah-sekolah alternatif yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ketika masyarakat tergerak untuk mengambil alih kembali pendidikan, muncul pendidikan alternatif yang diprakarsai sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Terdapat sanggar anak, sekolah anak rakyat, komunitas pinggir kali, dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini yang lebih menggembirakan lagi, muncul sebuah gerakan sekolah rumah

(homeschooling) sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada sekolah formal. Walaupun masih belum cukup banyak dibanding kompleksitas berbagai permasalahan dalam masyarakat, upaya-upaya alternatif ini merupakan bagian dari dinamika proses negosiasi dimensi formal dan non-formal dari pendidikan (http://www.komunitasdemokrasi.or.id/ comments.php?id=P153_0_9_0_C).

Prasetyawati (2006) mengatakan bahwa kegiatan belajar yang dialihkan dari sekolah ke rumah (homeschooling) disebabkan oleh ketidakpuasan orang tua terhadap sistem pendidikan, ketidaksesuaian anak terhadap mata pelajaran sehingga tidak bisa mengembangkan potensi anak, pergaulan di sekolah yang memberi dampak buruk, misalnya: penyalahgunaan obat terlarang yang sudah


(29)

menyusup di kalangan pelajar, serta adanya fleksibilitas dalam memberikan pelajaran oleh orang tua.

Ibuka (dalam Sukadji, 2000) menyatakan tulisannya mengenai pendidikan anak, bahwa anak hendaknya mulai dididik sejak lahir oleh orang tuanya sendiri. Pendidikan anak pada hakikatnya berasal dari rumah dan yang menjadi guru pertama kali dalam hidup anak adalah orang tua, yang mana pendidikan dalam rumah dapat membuat anak sehat jasmaninya, lebih bermental fleksibel, lebih cerdas, dan lebih sopan. Yulfiansyah (2006) mengatakan bahwa pada

homeschooling yang menjadi guru untuk mendidik dan mengajarkan anak adalah orang tua. Selanjutnya orang tua dapat pula mengundang siapa saja untuk memberikan transfer keahlian pada anak-anaknya, bisa seorang mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya, seorang suster untuk masalah kesehatan, seorang satpam untuk belajar bela diri, seorang cleaning service untuk kegigihan dan kesungguhan dalam bekerja, seorang buruh pabrik, dan lain sebagainya. Pada dasarnya dengan pengalaman yang mereka miliki, wawasan anak didik menjadi lebih berkembang oleh karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh siapa saja.

Suyanto (2006) mengatakan bahwa orang tua yang ragu-ragu terhadap kualitas pendidikan formal yang ada, sah-sah saja jika ingin mendidik sendiri anaknya di rumah. Namun, tentu materinya harus sesuai dengan standard yang berlaku. Untuk itulah anak-anak yang mengikuti homeschooling harus menempuh ujian kesetaraan, yang dapat diikuti melalui lembaga yang dikelola oleh pemerintah, seperti di Sanggar Kegiatan Belajar-Unit Pelaksaanaan Teknis Daerah (SKB-UPTD) yang sudah menyebar di seluruh kabupaten di Indonesia, dan di


(30)

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang penyebarannya mencapai tingkat kelurahan. Dengan demikian anak yang homeschooling dapat memperoleh ijazah sama seperti anak yang sekolah di sekolah formal, dan dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah yang lebih tinggi pula.

II.B.3. Pengertian Homeschooling

Lines (1995) mendefinisikan homeschooling sebagai suatu situasi pembelajaran yang singkat atau lama, di mana siswa dididik dengan beragam subjek pelajaran di dalam rumah oleh orang tuanya, orang lain, teman-teman, atau orang yang ahli.

Homeschooling merupakan sebuah situasi pembelajaran di mana pada umumnya anak diajarkan oleh orang tua mereka sendiri dalam lingkungan yang non-tradisional (Wichers, 2001).

Menurut Yulfiansyah (2006) homeschooling merupakan sebuah wacana pembelajaran yang menitikberatkan pada pemanfaatan potensi anak didik dengan sedikit supervisi. Anak yang homeschooling diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar secara komprehensif, optimal, dan mengoptimalkan kreativitasnya.

Holt (dalam Griffith, 2006) mengatakan bahwa homeschooling merupakan sebuah pendidikan yang dilakukan ’tanpa sekolah’ dan dilakukan di dalam rumah, serta berdasarkan pada pembelajaran yang terpusat pada anak.

Pada dasarnya homeschooling bersifat unik, karena setiap keluarga mempunyai nilai dan latar belakang berbeda, setiap keluarga akan melahirkan pilihan-pilihan model homeschooling yang unik.


(31)

Sekolah rumah pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: 1. Sekolah Rumah Tunggal

Merupakan format sekolah rumah yang dilaksanakan oleh orang tua dalam satu keluarga yang dalam pelaksanaannya dengan sengaja tidak bergabung dengan keluarga lain yang menerapkan sekolah rumah tunggal lainnya.

Format sekolah rumah tunggal biasanya dipilih oleh keluarga yang ingin memiliki fleksibilitas maksimal dalam penyelenggaraan

homeschooling. Mereka bertanggunjawab sepenuhnya atas seluruh proses yang ada dalam homeschooling, mulai perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pengadministrasian, hingga penyediaan sarana pendidikan. Dalam format ini, keluarga biasanya menggunakan fasilitas keluarga atau sarana-sarana umum sebagai penunjang kegiatan belajar putra-putrinya.

2. Sekolah Rumah Majemuk

Merupakan format sekolah rumah yang dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga sekolah rumah yang memilih untuk menyelenggarakan satu atau lebih kegiatan bersama-sama. Dalam sekolah rumah majemuk setiap keluarga tetap memiliki fleksibilitas untuk menjalankan kegiatan inti maupun kegiatan lainnya secara mandiri. Format sekolah rumah ini memberikan kemungkinan pada keluarga untuk saling bertukar pengalaman dan sumber daya yang dimiliki tiap keluarga. Sebuah keluarga dapat melakukan pertukaran keahlian untuk mnegekspos anak-anak pada keahlian lain yang tidak


(32)

dimiliki oleh sebuah keluarga. Selain itu, format sekolah rumah ini juga dapat menambah sosialisasi sebaya (horizontal socialization)

dalam kegiatan bersama di antara anak-anak homeschooling.

3. Sekolah Rumah Komunitas

Merupakan gabungan beberapa sekolah rumah majemuk yang menyusun dan menentukan silabus serta bahan ajar bagi anak-anak sekolah rumah. Berbeda dengan sekolah rumah tunggal / majemuk, Komunitas Sekolah Rumah menyelenggarakan proses belajar mengajar dalam keluarga dengan komitmen orang tua dan komunitas dengan perbandingan tertentu, misalnya: 50 : 50.

Menurut panduan yang diterbitkan Depdiknas, pertimbangan pelaksanaan Komunitas Sekolah Rumah adalah untuk membuat struktur yang lebih lengkap dalam penyelenggaraan aktivitas pendidikan akademis untuk pembangunan akhlak mulia, pengembangan intelegensi, keterampilan hidup dalam pembelajaran, penilaian, dan kriteria keberhasilan dalam standard mutu tertentu tanpa menghilangkan jati diri dan identitas diri yang dibangun dalam keluarga dan lingkungannya.

II.B.4. Legalitas Homeschooling di Indonesia

Ada 3 (tiga) jalur pendidikan yang dikenal dalam sistem pendidikan di Indonesia (http://www.sumardiono.com/index.php?option=com_content&task= view&id=314&Itemid=80), yaitu:


(33)

2. non formal, yaitu: lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan sejenis.

3. informal, yaitu: pendidikan oleh keluarga dan lingkungan secara mandiri, salah satunya adalah homeschooling.

Dalam sistem pendidikan di Indonesia, homeschooling merupakan jalur pendidikan informal. Keberadaan homeschooling telah diatur dalam UU 20 / 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 27 ayat (1), yaitu:

"Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri"

Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan informal, kecuali standar penilaian apabila akan disetarakan dengan pendidikan jalur formal dan non formal sebagaimana yang dinyatakan pada UU No. 20 / 23, pasal 27 ayat (2).

Ketika banyak pihak yang melaksanakan homeschooling bergabung dan menyusun atau menentukan silabus serta bahan ajar bagi peserta didiknya, maka itu merupakan suatu kelompok belajar atau disebut Komunitas Belajar.

Komunitas Belajar merupakan satuan pendidikan jalur non formal. Acuan dalam UU mengenai Komunitas Belajar ada pada UU 20 / 2003 pasal 26 ayat (4):

"Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis."

Peserta didik dari Komunitas Belajar yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan pada jalur pendidikan non formal. Hal tersebut sejalan dengan UU 20 / 2003 pasal 26 ayat (6):


(34)

"Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan."

Agar kegiatan homeschooling bisa memperoleh penilaian dan penghargaan melalui pendidikan kesetaraan, perlu ditempuh langkah-langkah pembentukan Komunitas Belajar sebagai berikut:

1. Mendaftarkan kesiapan orang tua / keluarga untuk menyelenggarakan pembelajaran di rumah / lingkungan kepada Komunitas Belajar.

2. Berhimpun dalam suatu komunitas.

3. Mendaftarkan komunitas belajar pada bidang yang menangani pendidikan kesetaraan pada Dinas Pendidikan kabupaten / kota setempat.

4. Mengadministrasikan peserta didik sesuai dengan program paket belajar yang diikutinya.

5. Menyusun program belajar dan strategi penyelenggaraan secara menyeluruh dan berkesinambungan sesuai dengan program paket belajar yang diselenggarakannya.

6. Mengembangkan perangkat pendukung pembelajaran.

7. Melakukan penilaian terhadap hasil belajar yang dicapai peserta didik secara berkala per semester.

8. Mengikutsertakan peserta didik yang sudah memenuhi persyaratan dalam Ujian Nasional.

Sejalan dengan hal di atas, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk:


(35)

1. Melakukan pendataan Komunitas Belajar dan sekolah rumah yang menjadi anggotanya.

2. Melakukan pembinaan terhadap Komunitas Belajar.

3. Memfasilitasi terselenggaranya ujian nasional bagi peserta didik sekolah rumah yang terdaftar pada Komunitas Belajar.

II.B.5. Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Homeschooling

Alifa (2006) mengatakan bahwa keberhasilan homeschooling dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini (http://www.tabloid-nakita.com/artikel2.php3 ?edisi=07359&rubrik=topas), yaitu:

1. Kedisiplinan dan Komitmen

Pengajar dan anak didik yang diajar harus menerapkan sikap yang disiplin. Belajar di rumah tentu memiliki keleluasaan waktu. Namun, orang tua bersama anak harus membuat kesepakatan bersama perihal waktu belajar. Taati waktu yang telah dipilih dan tidak melanggarnya. Terlewat satu hari berarti telah melewatkan beberapa materi yang harus dipelajari.

2. Mengenali Kemampuan Anak

Dengan mengenali kemampuan anak, maka si pengajar atau tutor dapat memberikan materi yang sesuai baginya. Orang tua tidak boleh memaksa anak melebihi kemampuannya karena dapat membuatnya frustrasi.


(36)

3. Menciptakan Suasana Belajar yang Menyenangkan

Kelebihan sistem homeschooling ini adalah dapat memilih lokasi belajar di mana saja, di dalam ruangan, di luar ruangan, dan di sekitar rumah, sehingga suasana belajar menjadi lebih menyenangkan.

4. Memberikan Kesempatan pada Anak untuk Bersosialisasi

Kemampuan bersosialisasi anak tetap dapat dikembangkan dengan cara memberinya kesempatan mengikuti kegiatan ekskul yang melibatkan anak-anak sebayanya. Sesuaikan bidang ekskul dengan minat anak sehingga semangat selalu menyertainya.

5. Memperkaya Kemampuan Pengajaran

Tutor hendaknya selalu menambah pengetahuannya, baik dalam hal teknik mengajar kreatif dan interaktif maupun materi yang disampaikan. Mengakses informasi di internet, televisi, surat kabar, buku, dan forum-forum orangtua homeschooling tentu akan sangat membantu.

II.C Program Reguler

Pengertian Program reguler dalam kamus Bahasa Indonesia adalah teratur, tetap atau biasa (Daryanto, 1997). Berdasarkan pengertian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud kelas reguler adalah kelas yang secara umum diselenggarakan oleh sekolah-sekolah dengan sistem tetap atau biasa yang memberikan kepada siswa suatu metode pengajaran yang biasa dilaksanakan selama ini yang membutuhkan waktu tempuh pendidikan selama enam tahun SD dan tiga tahun di SMP/SMU. Waktu belajar yang digunakan kelas reguler


(37)

maksimal delapan jam, secara umum belajar yang digunakan adalah tujuh sampai dengan delapan jam (Balitbag Depdikbud, 1986)

Menurut Widyastono (2004) kelas reguler diselenggarakan berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku. Dalam kelas reguler semua peserta didik atau siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan kemampuan mereka.

II.D Remaja

Istilah adolescence atau remaja (Hurlock, 1999) berasal dari kata latin

adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Pengertian adolescence atau remaja mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.

Masa remaja adalah suatu masa peralihan, periode transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa yang mensyaratkan suatu perubahan-perubahan biologis, kognitif dan psikososial individu (Santrock, 2001). Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun enam belas tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia enam belas atau tujuh belas tahun sampai delapan belas tahun, yaitu usia matang secara hukum. Lazimnya masa remaja dianggap mulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Pada umumnya remaja masih belajar di Sekolah Menengah atau Perguruan tinggi (Hurlock, 1999).

Hurlock (1998) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan remaja adalah untuk mencapai kematangan emosional. Perkembangan emosi yang terjadi pada masa remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman-teman sebaya serta


(38)

aktivitas-aktivitas yang dilakukannya sehari-hari. Jadi seberapa jauh remaja dapat mengadakan hubungan dengan orang lain tergantung pada kualitas interpersonal yang diciptakannya.

II.E. Perbedaan Keterampilan Sosial antara siswa Homeschooling dan siswa yang mengikuti Program Reguler

Saat ini di Indonesia program pendidikan homeschooling sudah semakin meluas dan cukup dikenal. Banyak para para pendidik dan tokoh masyarakat menyambut positif kebijakan ini, karena program ini adalah salah satu program pendidikan bagi anak didik yang melibatkan partisipasi orang tua di dalamnya. Pemerintah juga telah memberikan perhatian pada homeschooling, karena

homeschooling sudah ada landasan hukumnya, dan telah diakui oleh Departemen Pendidikan Nasional. Saat ini para peserta homeschooling bisa mendapatkan ijazah juga seperti di sekolah formal.

Dalam homeschooling penekanannya lebih kepada partisipasi dari orang tua dalam merancang pendidikan anak-anaknya. Dalam belajar dan mendidik anak yang menjadi guru pertama kali dalam hidup anak adalah orang tua. Dewey mengatakan (dalam Lines, 2000) orang tua yang lebih mengenal karakter, minat, dan bakat anak-anaknya, sehingga dapat dirancang suatu pola didik yang paling sesuai dengan karakter, minat, dan bakat mereka tersebut. Dan tentu saja orang tua juga harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi tentang metode belajar dan pembelajaran. Selanjutnya orang tua bisa mengundang siapa saja untuk memberikan transfer keahlian untuk anak-anaknya, bisa seorang mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya, seorang suster untuk masalah


(39)

kesehatan, seorang satpam untuk belajar beladiri, seorang cleaning service untuk kegigihan dan kesungguhan dalam bekerja, seorang buruh pabrik, dan lain sebagainya. Pada dasarnya dengan pengalaman mereka wawasan anak-anak akan menjadi lebih berkembang, karena ilmu yang sejati bisa datang dan dibawa oleh siapa saja (Yulfiansyah, 2006).

Namun, tidak sedikit pula pihak yang pesimis dengan pelaksanaan program homeschooling ini. Pelaksanaan homeschooling kebanyakan dilakukan di rumah dengan melibatkan peran orang tua sebagai guru atau tutor yang didatangkan. Sebagian kekhawatiran mereka adalah homeschooling hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga dari kalangan mampu sehingga memunculkan suatu elitisme baru. Kekhawatiran lainnya adalah pertanyaan mengenai apakah

homeschooling menyentuh aspek sosial dan afektif anak didik. Ada anggapan bahwa homeschooler (sebutan bagi anak didik homeschooling), kurang bersosialisasi, tidak realistis terhadap dunia, dan bahkan tidak demokratis (Lines, 2000). Siswa akan kehilangan waktu senggang dan masa bermainnya, serta menghambat dan membatasi siswa untuk berinteraksi dengan teman sebaya, dan dengan demikian hubungan interpersonal pun juga akan semakin merenggang (Griffith, 2006).

Karena itu sebagai mahluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan linkungan sosial dan mampu menampilkan diri sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku. Oleh karena itu setiap individu dituntut untuk menguasai keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Keterampilan-keterampilan tersebut biasanya disebut


(40)

sebagai aspek psikososial. Keterampilan tersebut harus mulai dikembangkan sejak masih anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup buat anak-anak untuk bermain atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggungjawab sesuai perkembangan anak, dsb. Dengan mengembangkan ketrampilan tersebut sejak dini maka akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat (Mu’tadin, 2002).

Keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin penting dan krusial manakala anak sudah menginjak masa remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan lingkungan sosial akan sangat menentukan (Mu’tadin, 2002). Sejumlah hal yang dapat memudahkan remaja dalam proses sosialisasinya tercakup dalam keterampilan sosial. Keterampilan sosial memudahkan remaja untuk berhubungan dan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, selektif terhadap berbagai pengaruh yang ada di lingkungan, bertanggung jawab dan penuh pertimbangan atas semua yang dilakukan, serta mampu menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi secara tepat.

Remaja yang mempunyai keterampilan sosial tidak akan mudah lagi terjebak dalam sikap, perilaku, kebiasaan ataupun hal-hal lain yang justru akan menghambat perkembangannya menuju dewasa. Keterampilan sosial yang tinggi pada masa remaja akan membawa individu untuk dapat menempatkan diri pada posisi yang semakin baik di masyarakat (Sunarti, 2004). Sedangkan kegagalan remaja dalam menguasai ketrampilan-ketrampilan sosial akan menyebabkan dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat


(41)

menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif (misalnya asosial ataupun anti sosial), dan bahkan dalam perkembangan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dan sebagainya.

Siswa-siswa yang mengikuti pendidikan homeschooling diperkirakan memiliki keterampilan sosial yang berbeda dibandingkan dengan siswa-siswa reguler yang belajar di sekolah formal. Siswa-siswa yang mengikuti program

homeschooling lebih terfokus pada pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan di dalam rumah, sehingga menimbulkan anggapan bahwa mereka lebih sedikit mengadakan sosialisasi dan partisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas sosial lainnya. Hal ini tentu akan berpengaruh pada keterampilan sosial siswa tersebut. Namun, keterampilan sosial belum tentu sama antara siswa yang satu dengan siswa lainnya. Dengan demikian keterampilan sosial siswa yang homeschooling

belum tentu sama dengan keterampilan sosial yang dimiliki oleh siswa di sekolah reguler.

II.F. Hipotesis

Berdasarkan uraian teoritik yang dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :“Ada perbedaan keterampilan sosial antara siswa homeschooling dengan siswa yang mengikuti program reguler”.


(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data, dan pengambilan keputusan hasil penelitian. Pembahasan dalam metode penelitian meliputi: identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, dan metode analisis data (Hadi, 2000). Atas dasar hal tersebut maka dalam bab ini akan dibahas mengenai masalah-masalah metodologis yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian.

III. A. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Tergantung : Keterampilan Sosial 2. Variabel Bebas : Program Homeschooling

Program Reguler

III. B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

a. Keterampilan sosial

Keterampilan sosial adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menciptakan suatu interaksi yang efektif dalam suatu konteks hubungan dengan teman atau orang lain di lingkungan sosialnya. Keterampilan sosial terdiri atas kemampuan menjalin hubungan dengan teman sebaya, kemampuan memanajemen diri, kemampuan akademis, kepatuhan serta kemampuan dalam berprilaku assertive. Keterampilan sosial siswa ditunjukkan dengan skor total


(43)

pada skala keterampilan sosial. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek maka akan menggambarkan semakin tinggi tingkat keterampilan sosialnya, dan demikian sebaliknya apabila semakin rendah skor total subjek, maka akan semakin rendah tingkat keterampilan sosialnya.

b. Program Homeschooling

Program homeschooling adalah sebuah wacana pembelajaran yang menitikberatkan pada pemanfaatan potensi anak didik, di mana anak dididik dengan beragam subjek pelajaran di dalam rumah oleh orang tuanya, orang lain, teman-teman, atau orang yang ahli di beberapa bidang yang akan diajarkan. Pihak yang melaksanakan homeschooling akan bergabung dan menyusun / menentukan silabus serta bahan ajar bagi peserta didiknya, maka itu merupakan suatu kelompok belajar atau disebut Komunitas Belajar

c. Program Reguler

Program reguler merupakan program pendidikan secara umum, di mana siswa menyelesaikan studinya selama tiga tahun, baik untuk Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Umum, dan menggunakan kurikulum yang diterapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional.

III.C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel III.C.1.Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk diselidiki dan dibatasi oleh sejumlah penduduk yang sedikitnya memiliki satu sifat yang sama


(44)

(Hadi, 2000). Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian (Nawawi, 2000).

Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang berada pada taraf pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU). Sampel dalam penelitian ini adalah remaja SMU dengan karakteristik berusia 15 – 17 tahun, baik pria maupun wanita yang mengikuti program Homeschooling maupun Program Reguler di Morning Star Academy (MSA) Jakarta dan SMU Negeri 30 Jakarta, dengan jumlah 80 orang, 40 orang untuk siswa yang mengikuti Program Homeschooling dan 40 orang untuk siswa yang mengikuti Program Reguler. Sedangkan untuk uji coba ( try out) digunakan sampel sebanyak 50 orang.

III.C.2. Metode Pengambilan Sampel

Sampel penelitian menurut Azwar (2000) adalah sumber utama data penelitian, yaitu mereka yang memiliki data mengenai variabel penelitian yang akan diteliti. Sampel adalah sebagian dari populasi yang merupakan penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel harus memiliki paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Penelitian terhadap sampel dilakukan untuk menggeneralisasikan sampel, yaitu untuk mengambil kesimpulan penelitian sampel sebagai sesuatu yang berlaku bagi populasi (Azwar, 2000).

Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, di mana subjek penelitian didasarkan atas ciri atau sifat tertentu yang


(45)

dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Penekanannya adalah pada kesesuaian tujuan penelitian dengan populasi yang diperoleh yang mengarah pada karakteristik sampel saja (Hadi, 2000).

Karakteristik sampel penelitian diperlukan untuk menjamin homogenitas dari sampel penelitian. Adapun karakteristik sampel penelitian adalah siswa yang berada pada taraf pendidikan Sekolah Menengah Umum baik pria maupun wanita, yang mengikuti Program Homeschooling dan Program Reguler di sekolah.

III. C. 3. Jumlah Sampel Penelitian

Mengenai jumlah sampel tidak ada batasan mengenai berapa jumlah ideal sampel penelitian, seperti yang dikatakan Siegel (1997) bahwa kekuatan tes statistik meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah sampel. Jumlah total dalam penelitian adalah 130 orang. Dengan perincian 50 orang untuk uji coba dan 80 orang untuk penelitian.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Guilford & Frutcher (1978), bahwa:

A frequency distribution will be close to the normal from when the population distribution is not seriously skewed and when N is not small (i.e, not less than about 30).”

III. D. Metode Pengumpulan Data

Dalam usaha mengumpulkan data penelitian diperlukan suatu metode. Metode pengumpulan data dalam suatu kegiatan penelitian bertujuan untuk mengungkapkan fakta mengenai variabel yang akan diteliti (Azwar, 2000).

Adapun prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala.


(46)

Definisi dari skala itu sendiri menurut Hadi (2000) adalah suatu metode pengumpulan data yang merupakan suatu daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis.

Skala merupakan suatu prosedur pengambilan data, yaitu suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2000).

Metode skala ini dipilih dengan pertimbangan, antara lain karena metode skala mempunyai kebaikan-kebaikan dengan alasan sebagai berikut (Hadi, 2000):

a. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya

b. Apa yang dinyatakan subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.

c. Interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya cenderung sama dengan apa yang dimaksud oleh peneliti.

Selain itu menurut Azwar (2000) metode skala sering digunakan karena mempunyai kebaikan-kebaikan dengan alasan sebagai berikut :

a. Pertanyaan disusun untuk memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan diri subjek yang tidak disadari.

b. Digunakan untuk mengungkap suatu atribut tunggal

(undimensional).

c. Subjek tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan yang sesungguhnya diungkap oleh pertanyaan.

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala keterampilan sosial. Skala yang digunakan adalah skala model Likert, yaitu skala yang di dalamnya


(47)

terdiri sejumlah item yang merefleksikan suatu gagasan atau daerah yang sedang diperhatikan (Hadi, 2000).

Metode ini dimodifikasi dengan menghilangkan pilihan jawaban tengah, yaitu netral (N), sehingga setiap item meliputi empat pilihan jawaban yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Pada pernyataan yang favorable (F), diberikan penilaian 4 pada jawaban Sangat Setuju (SS), nilai 3 pada jawaban Setuju (S), nilai 2 diberikan pada jawaban yang Tidak Setuju (TS), dan nilai 1 diberikan pada jawaban Sangat Tidak Setuju (STS). Dan sebaliknya pada pernyataan yang unfavorable (UF), diberikan nilai 1 pada jawaban Sangat Setuju (SS), nilai 2 pada jawaban Setuju (S), nilai 3 diberikan pada jawaban yang Tidak Setuju (TS), dan nilai 4 diberikan pada jawaban Sangat Tidak Setuju (STS).

Blue print skala disajikan dalam bentuk tabel yang memuat uraian komponen-komponen atribut yang diukur, proporsi item dalam masing-masing komponen, serta memuat indikator-indikator perilaku dalam setiap komponen. Dalam penulisan item, blue print akan memberikan gambaran mengenai isi skala dan menjadi acuan serta pedoman bagi penulis untuk tetap berada dalam lingkup ukur yang benar (Azwar, 1999).

Berikut ini blue print yang menyajikan distribusi item-item skala Keterampilan Sosial.


(48)

Tabel 1

Blue Print Skala Kterampilan Sosial

No Dimensi Indikator Item Item Jumlah

Favorable Unfavorable

1

Hubungan dengan teman sebaya (Peer relation)

Interaksi Sosial 2 2 4

Prososial 2 3 5

Empati 3 2 5

2 Pengaturan Diri

(Self Management)

Kontrol Diri 3 2 5

Tanggung Jawab Sosial 2 2 4

Toleransi 2 3 5

3

Kemampuan Akademis (Academic)

Penyesuaian Sekolah 2 2 4

Tanggung Jawab Akademis 3 3 6

Classroom compliance 2 2 4

4 Kepatuhan (Compliance)

Kerja sama Sosial 4 4 8

Kompetensi 3 3 6

5 Perilaku Asertif (Assertion)

Social Initiation 2 2 4

Social Activator 3 3 6

Gutsy 2 2 4

Jumlah 35 35 70

Adapun distribusi itemnya adalah sebagai berikut :

Tabel 2

Blue Print Skala Keterampilan Sosial sebelum uji coba

No Dimensi Indikator Item Item Jumlah

Favorable Unfavorable

1

Hubungan dengan teman sebaya (Peer relation)

Interaksi Sosial 1, 2 11, 12 4

Prososial 21,22 31, 32, 51 5

Empati 41, 42, 61 52, 66 5


(49)

(Self Management) Tanggung Jawab Sosial 34, 53 23, 24 4

Toleransi 54, 67 43, 44, 62 5

3

Kemampuan Akademis (Academic)

Penyesuaian Sekolah 5, 6 15, 16 4

Tanggung Jawab Akademis 25, 26, 63 35, 36, 55 6

Classroom compliance 45, 46 56, 68 4

4 Kepatuhan (Compliance)

Kerja sama Sosial 17, 18, 37,

38 7, 8, 27, 28 8

Kompetensi 57, 58, 69 47, 48, 64 6

5 Perilaku Asertif (Assertion)

Social Initiation 9, 10 19, 20 4

Social Activator 29, 30, 49 39, 40, 59 6

Gutsy 50, 65 60, 70 4

Jumlah 35 35 70

III.E. Uji Daya Beda Item dan Uji Reliabilitas Alat Ukur

Tujuan dilakukan uji coba alat ukur adalah untuk melihat seberapa jauh alat ukur dapat mengukur dengan tepat apa yang hendak diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan pengukuran (Azwar, 1997). Uji coba skala dilakukan dengan menyebarkan skala kepada responden uji coba yang memiliki karakteristik hampir sama dengan karakteristik subjek penelitian. Skala Keterampilan Sosial disebarkan, dikumpulkan, dan diuji daya beda itemnya dengan menggunakan Koefisien Alpha. Item yang memiliki daya beda yang cukup tinggi akan dihitung reliabilitas dengan menggunakan reliabilitas koefisien Alpha. Item-item dalam skala yang memiliki daya beda cukup tinggi dan reliable


(50)

III.E.1. Uji Daya Beda Item

Uji daya beda item dilakukan untuk melihat sejauh mana item mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atribut dengan yang tidak memiliki atribut yang akan diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis item ini adalah dengan memilih item-item yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Atau dengan kata lain, memilih item yang mengukur hal yang sama dengan yang diukur oleh tes sebagai keseluruhan (Azwar, 1999).

Pengujian daya beda item ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap item dengan suatu kriteria yang relevan yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan koefisien yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment

yang dikenal dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2000). Uji daya beda item ini akan dilakukan pada alat ukur yang dalam penelitian ini adalah skala Keterampilan Sosial. Prosedur pengujian ini menggunakan taraf signifikansi 5% (p< 0.05). Umumnya koefisien indeks daya beda item di atas 0.30 atau di atas 0.25 sudah dianggap mengindikasikan daya diskriminasi yang baik. Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa koefisien indeks daya beda item di atas 0.20 sudah dianggap memuaskan (Crocker & Algina, dalam Azwar 1996). Berdasarkan hal di atas, maka koefisien indeks daya beda item yang ditetapkan pada penelitian ini adalah alpha lebih besar dari 0,3.


(51)

III.E.2. Uji Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas adalah indeks sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Reliabilitas dapat juga dikatakan sebagai kepercayaan, kehandalan, keajegan, stabil, konsisten (Azwar, 2000).

Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien reliabilitas merupakan indikator konsistensi item-item yang dalam menjalankan fungsi ukurnya secara bersama-sama. Reliabilitas alat ukur ini sebenarnya mengacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2000).

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan konsistensi internal, di mana prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan tes pada sekelompok subjek, dengan tujuan untuk melihat konsistensi antar item atau antar bagian dalam skala psikologi itu sendiri. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2000).

Untuk melihat seberapa jauh skala ini memberikan hasil yang ajeg (konstan) maka dilakukan pengujian dengan rumus yang dikemukakan oleh Cronbach (dalam Azwar, 1999). Teknik yang digunakan adalah teknik koefisien reliabilitas Alpha Chronbach. Teknik ini merupakan teknik yang sesuai untuk memeriksa konsistensi internal dalam sebuah tes (Crocker & Algina, 1986).

Penghitungan daya beda item dan koefisien reliabilitas dalam uji coba ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS version 12.0 for Windows.


(52)

III.F. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Alat ukur dilakukan pada 50 orang, dengan jumlah item yang diujicobakan adalah 70 butir dan diperoleh 53 item yang memenuhi kriteria, bergerak dari rxy = 0,308 sampai dengan rxy = 0,732, dan 17 item yang tidak memenuhi kriteria. Reliabilitas skala Keterampilan Sosialadalah rxx = 0,923. Daftar item skala yang memenuhi kriteria dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3

Penyebaran Item Skala Keterampilan Sosial Setelah Uji Coba

No Aspek Indikator Item Item Jumlah

Favorable Unfavorable

1

Hubungan dengan teman sebaya (Peer relation)

Interaksi Sosial 1, 2 12 3

Prososial 21,22 31, 32, 51 5

Empati 41, 42 52, 66 4

2 Pengaturan Diri (Self

Management)

Kontrol Diri 13, 14, 33 3, 4 5

Tanggung Jawab Sosial 53 23 2

Toleransi - 43, 44, 62 3

3 Kemampuan Akademis

(Academic)

Penyesuaian Sekolah 5, 6 16 3

Tanggung Jawab Akademis 26, 63 35, 55 4

Classroom compliance 45, 46 68 3

4 Kepatuhan (Compliance)

Kerja sama Sosial 17, 18, 37,

38 7, 8, 27, 28 8

Kompetensi 57, 58, 69 47, 48 5

5 Perilaku Asertif

(Assertion)

Social Initiation 9, 10 19 3

Social Activator 29, 30 40 3

Gutsy 50 70 2


(53)

Hasil dari item-item yang memenuhi kriteria disusun ulang sehingga distribusi skala yang digunakan dalam pengambilan data yang sesungguhnya menjadi sebagaimana yang tampak pada tabel berikut ini:

Tabel 4

Distribusi Item Skala Keterampilan Sosial untuk Penelitian

No Aspek Indikator

Item Item Jumlah Favorable Unfavorable

1

Hubungan dengan teman sebaya (Peer relation)

Interaksi Sosial 1, 2 11 3

Prososial 18,19 26, 27, 42 5

Empati 33, 34 43, 50 4

2 Pengaturan Diri (Self

Management)

Kontrol Diri 12, 13, 28 3, 4 5

Tanggung Jawab Sosial 44 20 2

Toleransi - 35, 36, 48 3

3 Kemampuan Akademis

(Academic)

Penyesuaian Sekolah 5, 6 14 3

Tanggung Jawab Akademis 21, 49 29, 45 4

Classroom compliance 37, 38 51 3

4 Kepatuhan (Compliance)

Kerja sama Sosial 15, 16, 30,

31 7, 8, 22, 23 8

Kompetensi 46, 47, 52 39, 40 5

5 Perilaku Asertif

(Assertion)

Social Initiation 9, 10 17 3

Social Activator 24, 25 32 3

Gutsy 41 53 2


(54)

III.G. PROSEDUR PENELITIAN III.G.1. Tahap Persiapan

Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan penelitian adalah penyusunan alat ukur, masalah administrasi penelitian, serta uji coba alat ukur. a. Penyusunan alat ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Keterampilan Sosial, yang disusun berdasarkan 5 dimensi dalam Keterampilan Sosial sesuai dengan teori Caldarella & Merrell (dalam Gimpel & Merrell, 1998). Jumlah item pada skala adalah 70 butir. Item-item tersebut berupa pernyataan, di mana setiap pernyataan disediakan 4 pilihan jawaban untuk lebih memudahkan subjek dalam menjawab.

b. Uji Coba Alat Ukur

Sebelum melakukan penelitian di Morning Star Academy (MSA) dan SMA Negeri 30 Jakarta, peneliti terlebih dahulu melakukan uji coba pada tanggal 10 – 11 September 2007 pada kedua institusi pendidikan tersebut. Skala diujicobakan terhadap 50 orang siswa yang sesuai dengan karakteristik sampel penelitian. Uji coba dilakukan dengan cara menyebarkan skala tersebut di sekolah.

c. Revisi alat ukur

Setelah peneliti melakukan uji coba alat ukur yang dilakukan pada 50 orang siswa, peneliti menguji reliabilitas skala penelitian dengan menggunakan bantuan aplikasi komputer SPSS versi 12 for Windows.


(55)

Item-item yang baik kemudian disajikan dalam skala penelitian yang terdiri dari 53 item.

III.G.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah alat ukur diuji dan direvisi, maka dilaksanakan penelitian pada tanggal 20 – 22 September 2007. Skala pada subjek yang berada dalam populasi. Penelitian ini dilakukan dengan memberikan Skala Keterampilan Sosial kepada 40 siswa Homeschooling dan 40 siswa Program Reguler, dengan cara Purposive Sampling.

III.G.3. Tahap Pengolahan Data Penelitian

Setelah diperoleh hasil skor skala penelitian, data-data tersebut kemudian diolah dengan menggunakan fasilitas aplikasi komputer SPSS versi 12.0 for Windows, meliputi uji daya beda item dan reliabilitas alat ukur, uji asumsi dan uji hipotesa.

III.H. Metode Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa statistik. Alasan yang mendasari dipakainya analisis statistik ini adalah, karena: (a) statistik bekerja dengan angka; (b) statistik bekerja secara objektif; dan (c) bersifat universal. Hadi (2000) mengatakan bahwa melalui analisis statistik ini juga dapat ditarik kesimpulan yang dapat dikenakan bagi keseluruhan darimana sebagian gejala atau kejadian itu diambil (generalisasi).


(56)

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik t-test, yaitu teknik statistik untuk menguji signifikansi perbedaan 2 buah mean yang berasal dari 2 buah distribusi.

Sebelum dilakukan analisis data dengan teknik t-test, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian yaitu uji asumsi terhadap variabel-variabel penelitian yang meliputi uji normalitas dan uji homogenitas.

III.H.1. Uji Normalitas

Adapun maksud dari uji normalitas ini adalah untuk mengetahui apakah distribusi pada penelitian variabel tergantung (Keterampilan sosial) telah menyebar secara normal. Uji normalitas sebaran dianalisis dengan menggunakan

One Sample Kolmogorov Smirnov Test.

III.H.2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah subjek yang digunakan dalam penelitian ini homogen atau tidak. Uji homogenitas pada penelitian ini, dianalisa dengan menggunakan Anova melalui Levene’s Test.


(57)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bab ini akan diuraikan hasil dan interpretasi hasil sesuai dengan data yang diperoleh. Pembahasan pada bab ini akan diawali dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian, hasil utama, dan hasil tambahan.

IV.A. GAMBARAN SAMPEL PENELITIAN

Sampel dalam penelitian ini berjumlah 80 orang, di mana sampel dikelompokkan secara garis besar menjadi 2, yaitu: 40 orang sampel penelitian untuk siswa homeschooling, dan 40 orang sampel penelitian untuk Program Reguler (PR). Dari tiap-tiap program diperoleh gambaran mengenai ciri-ciri demografi sampel penelitian, yang meliputi: usia dan jenis kelamin.

IV.A.1. Gambaran Sampel Penelitian Berdasarkan Usia

Sampel dalam penelitian ini berada pada tahap usia remaja, dimana usia sampel penelitian baik untuk program homeschooling maupun program reguler adalah berkisar 15 sampai 17 tahun. Berikut ini merupakan tabel penyebaran sampel berdasarkan usia:


(1)

reguler. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F hitung < F tabel dan nilai p > 0,05.

4. Siswa homeschooling yang memiliki skor keterampilan sosial rendah 5 orang, sedang 27 orang, dan tinggi 8 orang. Sedangkan siswa Program Reguler yang memiliki skor keterampilan sosial rendah 7 orang, sedang 28 orang, dan tinggi 5 orang.

V. B. Diskusi

Hasil-hasil yang telah dipaparkan di atas diperoleh dengan membandingkan varian dan mean. Metode statistik yang dipilih untuk membandingkannya adalah t-test untuk hasil utama dan Anova (Analysis of Varians) untuk hasil tambahan.

Dari hasil tersebut, maka hipotesa kerja yang diajukan pada penelitian ini diterima, bahwa terdapat perbedaan keterampilan sosial antara siswa yang mengikuti program homeschooling dengan siswa program reguler. Siswa yang mengikuti program homeschooling lebih tinggi keterampilan sosialnya daripada siswa program reguler.

Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Yulfiansyah (2006) yang mengatakan bahwa anak homeschooling bersosialisasi dengan orang lain sehingga memiliki keterampilan sosial yang baik. Lines (2001) mengatakan pula bahwa siswa yang mengikuti program homeschooling jauh lebih aktif di kehidupan sosial daripada siswa program reguler. Demikian pula Sikkink dan Smith (dalam Lines, 2001) melaporkan hasil studi mereka, bahwa keluarga yang memilih homeschooling memiliki skor yang tinggi dalam hal partisipasi


(2)

mereka di setiap lingkungan sosial daripada keluarga yang memilih Program Reguler. Sumardiono (2007) menyatakan bahwa dengan model sosialisasi dalam keluarga, organisasi, kantor, dan masyarakat, siswa homeschooling biasanya lebih matang secara sosial karena mereka terbiasa berkomunikasi dan berinteraksi dengan dengan orang-orang dari beragam usia.

Gresham & Reschly (dalam Gimpel dan Merrell, 1998) mengidentifikasikan keterampilan sosial dengan beberapa ciri, yaitu di antaranya adalah: perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan akademis dan keterampilan berkomunikasi. Dari hasil penelitian, siswa yang homeschooling

lebih bisa berkomunikasi dua arah dengan orang dewasa, anak-anak seusianya, dan juga anak-anak yang lebih kecil usianya (Saputra, 2007). Bersosialisasi berarti berinteraksi dan berkomunikasi dengan individu-individu lain dan tidak harus dengan mereka yang sebaya saja. Anak homeschooling berkomunikasi dengan siapa saja, baik teman sebaya, mereka yang lebih tua maupun yang jauh lebih muda sekali pun. Mereka diajar untuk bisa menempatkan diri di lingkungan mana pun, dengan siapa pun, dan menjalin hubungan atau interaksi bukan karena diharuskan atau dipaksakan, tetapi karena kesadaran bahwa hubungan antar manusia itu memiliki makna.

Dalam hal prestasi, berbagai studi menunjukkan bahwa siswa

homeschooling tidak kalah dibandingkan siswa program reguler. Hal ini dapat dipahami karena sistem pendidikan homeschooling lebih bersifat personal dan disesuaikan dengan kebutuhan / keadaan siswa. Pada tahun 1997, sebuah studi atas 5402 siswa homeschooling dari 1657 keluarga di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa siswa homeschooling berprestasi lebih baik daripada siswa


(3)

sekolah reguler (Sumardiono, 2007). Samuel (1995) mengatakan pula bahwa siswa homeschooling melaksanakan pembelajaran lebih baik dari siswa sekolah reguler. Hal ini dibuktikan ketika siswa homeschooling diberikan ‘standardized achievement test’, skor mereka melampaui siswa sekolah reguler. Hal ini dikarenakan rumah merupakan tempat yang baik untuk belajar daripada sekolah. Sistem pembelajaran ‘one-on-one’ di rumah sangat efektif daripada di dalam kelas.

Ditinjau dari segi usia, hasil penelitian memperlihatkan tidak terdapat perbedaan keterampilan sosial yang nyata di lapangan. Usia dapat mempengaruhi keterampilan sosial seseorang. Keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri menjadi semakin penting dan krusial pada saat anak sudah menginjak masa remaja (Mu’tadin, 2002). Namun pada penelitian ini subjek memiliki usia yang hampir sama, dalam arti berada pada tahap usia remaja dengan rentang usia 15 – 17 tahun, sehingga tidak ada perbedaan keterampilan sosialnya.

Jika ditinjau berdasarkan jenis kelamin, hasil penelitian memperlihatkan tidak terdapat perbedaan keterampilan sosial yang nyata antara pria dan wanita di lapangan, baik untuk siswa homeschooling maupun siswa program reguler. Jenis kelamin seseorang mempengaruhi keterampilan sosialnya dilihat dari segi pasangannya dalam berinteraksi, di mana pengaruhnya akan berbeda pada masing-masing aspek. Dukungan emosional wanita lebih baik daripada pria, namun aspek keterbukaan, inisiatif, dan asertif tidak ada beda antara kedua jenis kelamin (Buhmster dkk, 1988). Baik siswa homeschooling maupun siswa program reguler sama-sama dapat berinteraksi dengan teman-teman sekolah maupun komunitasnya, yang jumlah antara pria dan wanitanya adalah tidak jauh berbeda.


(4)

V. C. Saran

Berdasarkan kesimpulan dan diskusi dari hasil penelitian ini, maka penulis mencoba untuk memberikan beberapa saran. Saran-saran berikut ini diharapkan berguna bagi perkembangan studi ilmiah tentang keterampilan sosial.

V. C. 1. Saran bagi Kelanjutan Studi Ilmiah

1. Untuk mendapatkan hasil yang lebih mendalam maka kiranya perlu diadakan suatu penelitian yang sama dengan menggunakan metode kualitatif. Diharapkan dengan metode tersebut dapat kita lihat dinamika keterampilan sosial, sehingga hasil penelitian dapat dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis.

2. Melakukan penelitian sejenis dengan variabel bebas yang berbeda, sehingga dapat memperkaya pengetahuan tentang keterampilan sosial.

V. C. 2. Saran bagi Siswa

1. Perkembangan zaman saat ini membawa dampak yang luas terutama dalam hal teknologi dan informasi. Diharapkan bagi siswa, baik siswa

Homeschooling maupun siswa program Reguler, siswa bersosialisasi secara positif dengan teman-teman sekolah maupun di lingkungannya. Siswa diharapkan dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.


(5)

2. Para siswa diharapkan dapat mengisi waktu luang yang dimilikinya dengan melakukan hal-hal yang bersifat positif dan berguna, seperti mengisi waktu luang dengan melakukan hobi,

3. Siswa diharapkan dapat membina hubungan yang baik dengan orang lain, karena dengan hubungan yang baik dapat membantu individu dalam mengatasi stress dengan memberikan perhatian, informasi, dan feedback. Dengan demikian keterampilan social siswa dapat terbina dengan biaik.

V. C. 2. Saran bagi Orang Tua dan Guru.

1. Orang tua diharapkan memiliki peran yang penting dan bertanggung jawab terhadap kebutuhan riil dimensi edukatif anak-anaknya. Orang tua hendaknya tidak memperlakukan sekolah sebagai institusi pendidikan yang paling bertanggung jawab mewakili tugasnya sebagai orang tua atau keluarga.

2. Pada sekolah reguler jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Hal inilah yang kadang-kadang menjadikan siswa menjadi suatu objek, bukan sebagai subjek pendidikan. Siswa dituntut mengikuti seluruh jadwal pelajaran dan dijejali dengan tugas-tugas, yang hingga akhirnya menjadikan sekolah menjadi tidak menyenangkan lagi. Diharapkan sekolah dapat menjadikan sekolah sebagai wahana pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa layaknya homeschooling. 3. Orang tua hendaknya menciptakan suasana yang demokratis di dalam

keluarga, sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua maupun saudara-saudaranya. Dengan adanya komunikasi timbal


(6)

balik antara anak dan orang tua, maka segala konflik yang timbul akan mudah diatasi.