Suplementasi Blok Multinutrisi terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum pada Sapi Bali (Bos sondaicus)

(1)

SUPLEMENTASI BLOK MULTINUTRISI TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK RANSUM

PADA SAPI BALI (Bos sondaicus)

SKRIPSI

RIMBUN H.A.H. NABABAN 060306037

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011


(2)

SUPLEMENTASI BLOK MULTINUTRISI TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK RANSUM

PADA SAPI BALI (Bos sondaicus)

SKRIPSI

Oleh:

RIMBUN H.A.H. NABABAN 060306037

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011


(3)

SUPLEMENTASI BLOK MULTINUTRISI TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK RANSUM

PADA SAPI BALI (Bos sondaicus)

SKRIPSI

Oleh:

RIMBUN H.A.H. NABABAN 060306037

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERDITAS SUMATERA UTARA


(4)

Judul :iSuplementasi Blok Multinutrisi terhadap iiKecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik iiRansum pada Sapi Bali (Bos sondaicus)

Nama : Rimbun H.A.H. Nababan

Nim : 060306037

Departemen : Peternakan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

( Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si.) (Ir. Roeswandy) Ketua Anggota

Mengetahui,

(Dr. Ir. Ristika Handarini, MP) Ketua Program Studi Peternakan


(5)

ABSTRAK

RIMBUN HOT ASI HASOLOAN NABABAN : Suplementasi Blok Multinutrisi dalam Pakan terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Sapi Bali (Bos sondaicus). Dibimbing oleh MA’RUF TAFSIN dan ROESWANDY.

Blok multinutrisi merupakan pakan tambahan yang dapat meningkatkan kualitas pakan sapi sehingga palatabilitas pakan meningkat. Pemberian blok multinutrisi meningkatkan kandungan mikroorganisme dalam tubuh ternak yang dapat membantu sistem pencernaan ternak dalam mencerna pakan yang pada akhirnya meningkatkan kecernaan pakan sapi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan blok multinutrisi terhadap kecernaan yang meliputi konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan 4 kelompok, yaitu P0 (tanpa suplementasi blok multinutrisi), P1 (pemberian BM A) dan P2 (Pemberian BM B). Pengelompokan bobot badan yaitu K1 = 126 – 133 kg, K2 = 135 – 148 kg, K3 = 149 – 161 kg dan K4 = 163 – 179 kg.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian blok multinutrisi pada

perlakuan P2 menghasilkan konsumsi bahan kering tertinggi sebesar 4451,08 ± 399,683 g/ekor/hari dan bahan organik tertinggi sebesar 6009,08 ± 367,784 g/ekor/hari, kecernaan bahan kering tertinggi terdapat pada

perlakuan P1 sebesar 68,03439± 6,6109% dan kecernaan bahan organik tertinggi pada perlakuan P1 sebesar 73,9365 ± 6,50059%. Kesimpulannya adalah pemberian blok multinutrisi berpengaruh positif terhadap kecernaan sapi bali. Kata Kunci : Blok Multinutrisi, Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik,


(6)

ABSTRACT

RIMBUN HOT ASI HASOLOAN NABABAN : The Supplementation Nutrition Block in Feed on The Digestibility of Dry Matter and Organic Matter of Bos sondaicus. Under advised by MA’RUF TAFSIN and ROESWANDY.

The nutrition supplement is a feed additive which can increase the quality feed of cattle then increase the palatability of feed. The nutrition supplement can manipulate the microorganism in cattle and finally can support the digestibility of cattle.

The present experiment was conducted to investigate the effects of the nutrition supplement on the digestibility of dry matter and organic matter of Bos sondaicus. The design used in this research was the block randomized design (GRD) with three treatments and four blocks. The treatment were P0 (without

nutrition supplement), P1 (nutrition supplement A), P2 (nutrition supplement B).

The blocking of gain were K1 = 126 – 133 kg, K2 = 135 – 148 kg, K3 = 149 – 161

kg and K4 = 163 – 179 kg.

The result of this experiment showed that the supplementation nutrition block in P2 can produce the highest of the dry matter and organic matter

consumption, the digestibility of dry matter and organic matter of Bos sondaicus were 4451,08 ± 399,683 g/c/d, 6009,08 ± 367,784 g/c/d, and the highest digestibility of dry matter in P1 were 68,03439± 6,6109% but the highest

digestibility of organic matter in P1 were 73,9365 ± 6,50059%. It could be

concluded that supplementation of the nutrition block can increase the digestibility of cattle (Bos sondaicus).

Keywords : The Block Nutrition, Dry Matter and Organic Matter Consumption, Digestibility of Dry Matter and Organic Matter, Bos sondaicus


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sidikalang pada tanggal 17 Oktober dari ayah Edison Nababan dan Ibu Liber br. Simbolon. Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara.

Penulis lulus dari SMA Katolik Tri Sakti pada Tahun 2006 dan pada tahun yang sama penulis masuk ke dalam Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur ujian tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program studi Ilmu Produksi Ternak, Departemen Peternakan Universitas Sumatera Utara.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Peternakan, anggota Himpunan Mahasiswa Dairi (IMADA).

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di CV. Terang Bulan yang bergerak dalam bidang produksi ayam pedaging dari tanggal 1 Juni 2009 sampai 31 Juli 2009. Serta mengadakan Penelitian Tugas Akhir di CPL tepatnya di desa Kuala Bekala, Kecamatan Medan Tuntungan, Medan, Sumatera Utara.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul “Suplementasi Blok Multinutrisi terhadap Kecernaan Ransum (In vivo) pada Sapi Bali (Bos sondaicus)”.

Pada kesempatan ini Penulis menghanturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memlihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si. sebagai dosen ketua pembimbing dan Bapak Ir. Roeswandy sebagai anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada Penulis mulai menetapkan judul sampai dalam penulisan proposal penelitian ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan proposal penelitian ini. Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu terselesaikannya proposal penelitian ini, semoga proposal ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2011


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Hipotesis Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali ... 4

Potensi Sapi Potong lokal di Indonesia. ... 7

Produktivitas Ternak Sapi ... 7

Kebutuhan Nutrisi Sapi Bali ... 8

Pakan Sapi ... 8

Konsentrat ... 10

Blok Multinutrisi (BM)... 11

Molases ... 13

Bungkil Inti Sawit ... ... 14

Dedak Padi ... 15

Tepung Ikan... ... 15

Ampas Tahu ... 16

Garam Dapur ... ... 16

Urea ... ... 18

Ultra Mineral ... ... 18

Sistem Pencernaan Ruminansia ... ... 20

Kecernaan ... ... 23

Pencernaan Pakan ... ... 24

Konsumsi Pakan ... ... 25

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 28

Bahan dan Alat Penelitian ... 28

Bahan ... 28

Alat ... 28

Metode Penelitian ... 29

Peubah Yang Diamati... ... 30


(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Bahan Kering dan Organik ... 36

Kecernaan Bahan Kering dan Organik ... 38

Rekapiltulasi Hasil Penelitian ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 45

Saran ... ... 45

DAFTARPUSTAKA... ... 46


(11)

DAFTAR TABEL

No. ... Hal.

1. Kebutuhan nutrisi sapi untuk tujuan produksi ... 8

2. Kualitas blok multinutrisi (BM)... 13

3. Kandungan nilai gizi molases ... 14

4. Kandungan nilai gizi bungkil sawit ... 15

5. Toleransi maksimum berbagai spesies terhadap NaCl ... 17

6. Kandungan mineral ultra mineral ... 20

7. Susunan blok multinutrisi (BM) ... 34

8. Rataan konsumsi bahan kering dan organik sapi... 36

9. Susunan kelompok sapi berdasarkan bobot badan... ... 38

10. Rataan kecernaan bahan kering dan organik sapi... 38


(12)

DAFTAR GAMBAR

No. ... Hal. 1. Skema pembuatan blok multinutrisi ... 33


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. ... Hal.

1. Konsumsi Hijauan Segar (g/ekor/hari) ... 52

2. Konsumsi Hijauan dalam Bahan Kering (BK) (g/ekor/hari) ... 52

3. Konsumsi hijauan dalam Bahan Organik(g/ekor/hari) ... 53

4. KonsumsiBM (g/ekor/hari) ... 54

5. Konsumsi BM dalam Bahan Kering (g/ekor/hari) ... 55

6. Konsumsi BM dalam Bahan Organik(g/ekor/hari) ... 56

7. Konsumsi Pakan Sapi dalam Bahan Kering(g/ekor/hari) ... 57

8. Konsumsi Pakan Sapi dalam Bahan Organik(g/ekor/hari) ... 57

9. Konsumsi Bahan Kering (BK) (g/hari/ekor) ... 58

10. Konsumsi Bahan Organik (BO) (g/hari/ekor) ... 58

11. Tabel Anova Konsumsi Bahan Kering (BK) ... 59

12. Tabel Anova Konsumsi Bahan Organik (BO) ... 59

13. Total Feses Segar (g/ekor/hari) ... 60

14. Feses dalam Bahan Kering (BK) (g/ekor/hari) ... 61

15. Feses dalam Bahan Organik (BO) (g/ekor/hari) ... 62

16. Kecernaan Bahan Kering (BK) (g/ekor/hari) ... 63

17. Kecernaan Bahan Organik (BO) (g/ekor/hari) ... 64

18. Tabel Rataan Kecernaan Bahan Kering (BK) ... 64

19. Tabel Rataan Kecernaan Bahan Organik (BO) ... 65

20. Tabel Anova Kecernaan Bahan Kering (BK) ... 65


(14)

22. Kandungan nutrisi dari masing – masing bahan pakan yang digunakan

dalam pembuatan blok multinutrisi (BM)) ... 66

23. Formulasi Blok Multinutrisi ... 67

24. Kandungan Nutrisi dari Blok Multinutrisi A (BM A) ... 68

25. Kandungan Nutrisi dari Blok Multinutrisi B (BM B) ... 69

26. Hasil Analisis Laboratorium ... 70


(15)

ABSTRAK

RIMBUN HOT ASI HASOLOAN NABABAN : Suplementasi Blok Multinutrisi dalam Pakan terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Sapi Bali (Bos sondaicus). Dibimbing oleh MA’RUF TAFSIN dan ROESWANDY.

Blok multinutrisi merupakan pakan tambahan yang dapat meningkatkan kualitas pakan sapi sehingga palatabilitas pakan meningkat. Pemberian blok multinutrisi meningkatkan kandungan mikroorganisme dalam tubuh ternak yang dapat membantu sistem pencernaan ternak dalam mencerna pakan yang pada akhirnya meningkatkan kecernaan pakan sapi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan blok multinutrisi terhadap kecernaan yang meliputi konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan 4 kelompok, yaitu P0 (tanpa suplementasi blok multinutrisi), P1 (pemberian BM A) dan P2 (Pemberian BM B). Pengelompokan bobot badan yaitu K1 = 126 – 133 kg, K2 = 135 – 148 kg, K3 = 149 – 161 kg dan K4 = 163 – 179 kg.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian blok multinutrisi pada

perlakuan P2 menghasilkan konsumsi bahan kering tertinggi sebesar 4451,08 ± 399,683 g/ekor/hari dan bahan organik tertinggi sebesar 6009,08 ± 367,784 g/ekor/hari, kecernaan bahan kering tertinggi terdapat pada

perlakuan P1 sebesar 68,03439± 6,6109% dan kecernaan bahan organik tertinggi pada perlakuan P1 sebesar 73,9365 ± 6,50059%. Kesimpulannya adalah pemberian blok multinutrisi berpengaruh positif terhadap kecernaan sapi bali. Kata Kunci : Blok Multinutrisi, Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik,


(16)

ABSTRACT

RIMBUN HOT ASI HASOLOAN NABABAN : The Supplementation Nutrition Block in Feed on The Digestibility of Dry Matter and Organic Matter of Bos sondaicus. Under advised by MA’RUF TAFSIN and ROESWANDY.

The nutrition supplement is a feed additive which can increase the quality feed of cattle then increase the palatability of feed. The nutrition supplement can manipulate the microorganism in cattle and finally can support the digestibility of cattle.

The present experiment was conducted to investigate the effects of the nutrition supplement on the digestibility of dry matter and organic matter of Bos sondaicus. The design used in this research was the block randomized design (GRD) with three treatments and four blocks. The treatment were P0 (without

nutrition supplement), P1 (nutrition supplement A), P2 (nutrition supplement B).

The blocking of gain were K1 = 126 – 133 kg, K2 = 135 – 148 kg, K3 = 149 – 161

kg and K4 = 163 – 179 kg.

The result of this experiment showed that the supplementation nutrition block in P2 can produce the highest of the dry matter and organic matter

consumption, the digestibility of dry matter and organic matter of Bos sondaicus were 4451,08 ± 399,683 g/c/d, 6009,08 ± 367,784 g/c/d, and the highest digestibility of dry matter in P1 were 68,03439± 6,6109% but the highest

digestibility of organic matter in P1 were 73,9365 ± 6,50059%. It could be

concluded that supplementation of the nutrition block can increase the digestibility of cattle (Bos sondaicus).

Keywords : The Block Nutrition, Dry Matter and Organic Matter Consumption, Digestibility of Dry Matter and Organic Matter, Bos sondaicus


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produktivitas ternak sapi bali atau ternak ruminansia lainnya sangat tergantung pada ketersediaan hijauan baik berupa rumput ataupun legum yang berasal dari alam. Penampilan produksi ternak sapi yang dipelihara peternak tersebut umumnya relatif masih rendah dibandingkan potensi yang dimilikinya.

Peternakan-peternakan sapi potong di Indonesia masih banyak mengandalkan sumber hijauan yang berasal dari perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit. Kualitas nutrisi hijauan ini sangat tergantung kepada musim dan umumnya mempunyai kualitas nutrisi yang lebih rendah dibandingkan hijauan yang berasal dari sub tropis. Hal ini menunjukan bahwa hijauan tropis lebih cepat tua sehingga menurunkan kandungan proteinnya. Kandungan protein hijauan akan menurun dibawah 4% dari bahan kering pada masa pertumbuhan generatif dimana pada saat ini proses pembentukan jaringan tumbuhan sudah berhenti. Kandungan nutrisi hijauan yang rendah tersebut memberikan pengaruh terhadap rendahnya tingkat kecernaan ternak sapi akan hijauan, yang pada akhirnya berdampak terhadap menurunnya produktivitas ternak sapi.

Berdasarkan permasalahan diatas maka faktor pembatas utama yang menyebabkan tingkat produksi ternak adalah tingkat konsumsi dan kecernaan pakan yang rendah. Strategi pada umumnya digunakan untuk meningkatkan

produktivitas ternak adalah dengan memberikan suplemen protein. Pemberian sumber protein yang berbeda memberikan respon berbeda juga pada


(18)

diterapkan pada peternakan sapi potong adalah penggunaan multinutrient block (Blok Multinutrisi, BM). Dengan komponen bahan yang digunakan untuk BM antara lain urea, molases, garam, bungkil inti sawit, kapur, tepung ikan, dedak padi, bungkil kelapa, ampas tahu dan ultra mineral. Beberapa mineral makro yang esensial seperti Zn dan Se terutama dalam bentuk organik yang terkandung di dalam BM akan meningkatkan daya cerna pakan ternak.

Keberhasilan teknik suplementasi sangat ditentukan oleh keseimbangan dan kelengkapan nutrisi yang ditambahkan ke dalam ransum pokok (hijauan) sesuai dengan kebutuhan ternak. Efek yang diharapkan dari suplementasi yang dapat diterapkan pada peternakan sapi potong adalah terjadi saling melengkapi kekurangan nutrisi yang dimiliki suatu bahan pakan.

Kebutuhan nutrisi ternak sapi yang telah terpenuhi dari penambahan blok multinutrisi akan berpengaruh terhadap peningkatan daya cerna pakan sehingga produktivitas sapi semakin meningkat.

Tujuan penelitian

Tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan blok multinutrisi terhadap kecernaan yang meliputi konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik.

Hipotesis Penelitian

Suplementasi blok multinutrisi pada pakan sapi bali berbasis hijauan lapangan berpengaruh positif terhadap kecernaan (bahan kering dan bahan organik).


(19)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi dasar mengenai pembuatan multinutrien blok yang berbasiskan hijauan lapangan yang dapat digunakan pada ternak sapi dan dapat digunakan sebagai model rujukan untuk penggunaan BM pada ternak ruminansia lainnya (kambing, domba), meningkatkan kecernaan ternak sapi sehingga dapat mengefisiensikan pakan.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Bali

Sapi bali adalah sapi asli Indonesia sebagai hasil domestikasi dari banteng liar yang telah berjalan lama. Kapan dimulainya proses penjinakan banteng belum diketahui dengan jelas, demikian pula dengan mengapa lebih terkenal di Indonesia sebagai sapi bali dan bukannya sapi banteng mengingat dalam keadaan liar dikenal sebagai banteng. Pendapat yang bisa dirujuk adalah dijinakkan di Jawa dan Bali (Herweijer, 1947; Meijer, 1962; Pane, 1990 dan 1991) dan dalam perkembangannya ternyata kondisi di Bali lebih sesuai bagi bangsa sapi ini karena adanya budaya orang bali yang memuliakan ternak sapi. Sementara itu tidak berhasilnya pengembangan sapi bali di Jawa kemungkinan disebabkan karena cukup tingginya populasi ternak domba yang kemungkinan besar telah menjadi carrier dari penyakit MCF (Malignant Catarrhal Fever) yang mudah sekali menulari sapi bali dengan akibat yang cukup fatal bagi bangsa sapi ini. Hal yang berbeda terdapat di beberapa wilayah di Indonesia seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Sumatera dan Kalimantan.

Dalam keadaan liar, habitat asli banteng di Indonesia, adalah di Jawa Timur (Blauran) dan di Jawa Barat (Ujung Kulon). Dari galur yang lebih kecil, banteng juga ditemukan di perbatasan hutan Kalimantan Timur, Laos, Vietnam dan di Semenanjung Coubourgh di Australia Utara (Scherf, 1995). Walaupun demikian yang pasti sesuai dengan namanya, dapat dikatakan bahwa sapi bali di Indonesia hampir semuanya bermula dari sapi bali yang ada di Bali dan hasil pembuktian lanjutan menunjukkan bahwa sapi bali di Bali adalah yang paling


(21)

murni (Namikawa dan Widodo, 1978; Namikawa dkk, 1980) jika digunakan darah banteng sebagai kontrolnya.

Saat ini penyebaran sapi bali telah meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia, konsentrasi sapi bali terbesar adalah di Sulawesi Selatan, Pulau Timor, Bali dan Lombok. Pane (1989) menyatakan bahwa jumlah sapi bali di Sulawesi Selatan dan Pulau Timor telah jauh melampaui populasi sapi bali ditempat asalnya (Pulau Bali). Pada tahun 1991 ditaksir jumlah sapi bali di Indonesia sekitar 3,2 juta, dengan jumlah terbanyak di Sulawesi Selatan (1,8 juta ekor), Nusa Tenggara Timur (625 ekor) dan Pulau Bali (456 ekor) (Hardjosubroto, 1994).

Secara umum bila dilihat dari peta penyebaran sapi bali di luar Indonesia, ternyata sapi bali juga terdapat di negara Asia Tenggara lainnya, Australia Utara dan sedikit di peternakan khusus di Texas dan Australia (Brisbane dan NSW) dan juga dalam jumlah terbatas tersebar di 112 buah tempat penangkaran dan kebun binatang di seluruh dunia. Pada tempat-tempat yang disebut belakangan, sapi bali lebih dikenal sebagai “banteng cattle” (Devendra dkk, 1973; Kirby, 1979; Scherf, 1995; Talib dkk., 1998).

Ditinjau dari sistematika ternak, sapi bali masuk familia Bovidae, Genus bos dan Sub-Genus Bovine, yang termasuk dalam sub-genus tersebut adalah; Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus. Sapi bali mempunyai ciri-ciri khusus antara lain: warna bulu merah bata, tetapi yang jantan dewasa berubah menjadi hitam (Hardjosubroto, 1994).


(22)

Menurut Williamson and Payne (1993) bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum : Chordata; Subphylum : Vertebrata; Class : Mamalia ; Sub class : Theria ; Infra class : Eutheria ; Ordo : Artiodactyla ; Sub ordo : Ruminantia; Infra ordo : Pecora; Famili : Bovidae; Genus : Bos (cattle); Group : Taurinae; Spesies : Bos taurus (sapi eropa), Bos indicus (sapi india/sapi zebu), Bos sondaicus (banteng/sapi bali)

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa ada tanda-tanda khusus yang harus dipenuhi sebagai sapi bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling edial disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok keatas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada sapi betina bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah kebelakang sedikit melengkung kebawah dan pada ujungnya sedikit mengarah kebawah dan kedalam, tanduk ini berwarna hitam.

Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memasok kebutuhan akan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia (Bandini, 1999). Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas nutrien yang terkandung pada tiap bahan pakan yang dimakan. Pada umumnya, kebutuhan akan nutrien dari ternak sapi adalah energy berkisar 60 – 70% “total digestible nutrien” (TDN), protein kasar 12%, dan lemak


(23)

3 – 5% (Abidin, 2002). Pemanfaatan hijauan bernilai hayati tinggi sebagai sumber pakan belum bisa mendukung kebutuhan sapi Bali akan nutrien. Hal ini disebabkan karena hijauan bernilai hayati tinggi dan ketersediaannya terbatas pada musim kemarau.

Potensi Sapi Potong Lokal di Indonesia

Tiga bangsa sapi lokal yang berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah sapi ongole (sumba ongole dan peranakan ongole), sapi bali dan sapi madura. Bangsa sapi tersebut telah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan dan cekaman di wilayah Indonesia. Dari ketiga bangsa sapi lokal tersebut, sapi bali paling tahan terhadap cekaman panas (Sutrisno dkk, 1978), di samping memiliki tingkat kesuburan yang baik, kemampuan libido pejantan lebih unggul, persentase karkas tinggi (56%) dan kualitas daging baik.

Bobot tubuh ternak senantiasa berbanding lurus dengan konsumsi pakan, makin tinggi bobot tubuhnya, makin tinggi pula tingkat konsumsinya terhadap pakan (Kartadisastra, 1997).

Produktivitas Sapi Bali

Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran waktu tertentu (Hardjosubroto, 1994) dan Seiffert (1978) menyatakan bahwa produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan. Tomaszewska dkk. (1988) menyatakan bahwa aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak yang bersangkutan, dapat dikatakan bahwa tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan terjadi produksi. Dijelaskan pula bahwa tingkat dan efesiensi produksi ternak


(24)

dibatasi oleh tingkat dan efesiensi reproduksinya. Produktivitas sapi potong dapat

juga dilihat dari jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (Calf crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih,

bobot setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan (Trikesowo dkk, 1993).

Kebutuhan Nutrisi Sapi Bali

Wahyono dan Hardianto (2004) menyatakan kebutuhan nutrisi pakan sapi untuk tujuan produksi (pembibitan dan penggemukan) dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Kebutuhan nutrisi pakan sapi.

Uraian Bahan ( %) Tujuan Produksi

Pembibitan Penggemukan

Kadar Air 12 12

Bahan Kering 88 88

Protein Kasar 10,4 12,7

Lemak Kasar 2,6 3,0

Serat Kasar 19,6 18,4

Kadar Abu 6,8 8,7

TDN 64,2 64,4

Sumber : Wahyono dan Hardianto (2004).

Pakan Sapi

Menurut Hardianto (2000) ada beberapa pengertian tentang bahan pakan ternak yaitu sebagai: 1) Sumber serat yaitu adalah bahan-bahan yang memiliki kandungan serat kasar (SK) > 18% (contoh: limbah pertanian dan kulit biji polong-polongan). 2) Sumber energi yaitu bahan-bahan yang memiliki kadar protein kurang dari 20% dan serat kasar kurang dari 18% atau dinding selnya kurang dari 35% (contoh: biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan, umbi- umbian dan sisa penggilingan). 3) Sumber protein yaitu bahan-bahan yang


(25)

memiliki kandungan protein kasar > 20% (contoh: berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti bungkil, bekatul maupun yang bukan berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti silase ikan). 4) Sumber mineral yaitu bahan-bahan yang memiliki kandungan mineral yang cukup tinggi, misalnya makanan berbutir dan umbi-umbian. 5) Pakan tambahan yaitu bahan-bahan tertentu yang ditambah kedalam ransum, seperti: obat-obatan, anti biotika, hormon, air dan zat flavour.

Menurut Parakkasi (1995) pakan merupakan semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak untuk kehidupannya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral dan air.

Pakan yang di berikan sebaiknya jangan sekedar untuk mengatasi rasa lapar atau sebagai pengisi perut saja melainkan harus benar-benar bermamfaat untuk kebutuhan hidup, membentuk sel-sel baru, mengganti sel-sel yang rusak dan untuk produksi (Widayati dan Widalestari, 1996).

Rumput sebaiknya diberikan dalam bentuk cacahan sepanjang 10 cm, rumput bentuk cacahan ini lebih disenangi ternak. Sedangkan legume sebaiknya diberikan tidak dalam bentuk segar, tetapi harus dilayukan terlebih dahulu, pelayuan bisa mengurangi ransum seperti mimosin pada leucaena (Murti, 2002).

Pakan ternak ruminansia pada umumnya terdiri dari hijauan sperti rumput,

leguminosa dan konsentrat. Pemberian pakan berupa kombinasi kedua bahan tersebut akan menjamin terpenuhinya zat - zat gizi (Smith dan Mangkoewidjojo,1988).


(26)

Konsentrat

Ternak ruminansia membutuhkan konsentrat untuk mengisi kekurangan makanan yang diperolehnya dari hijauan. Pemberian konsentrat pada sapi tidak sama dengan hewan lainnya (Novirma, 1991).

Teknik pemberian pakan juga perlu diperhatikan dengan kaitannya dengan suplementasi konsentrat, untuk meningkatkan kecernaan bahan organik sapi, pemberian konsentrat sebaiknya dilakukan dua jam sebelum,tetapi menurut (Owen, 1979),konsentrat dapat diberikan secara bersama-sama dengan hijauan sebagai pakan lengkap. Hal ini sejalan dengan pendapat (Ibrahim, 1988), pada pemberian hijauan dan konsentrat secara bersama-sama dalam bentuk campuran yang seragam, akan meningkatkan nilai guna hijauan yang diberikan, terutama bila hijauan yang di berikan berkualitas rendah.

Konsentrat adalah pakan yang memiliki protein dan energi yang cukup tinggi PK ≥ 18%. Pada ternak y ang digemukkan semakin banyak konsentrat dalam pakan akan semakin baik asalkan konsumsi serat kasar tidak kurang dari 15 % BK pakan. Oleh karena itu, banyaknya pemberian pakan konsentrat adalah formula pakan harus terbatas agar tidak terlalu gemuk (Siregar, 2003).

Pemberian konsentrat terlalu banyak akan meningkatkan konsentrasi energi pakan yang dapat menurunkan tingkat konsumsi sehingga tingkat konsumsi energi sendiri dapat berkurang (Parakkasi, 1995).

Pemberian hijauan pakan berbasis daun-daunan leguminosa semak tersebut masih memunculkan kekhawatiran, terutama dalam hal pemenuhan mikroba rumen dan ternak akan energi siap pakai (available energy) dan nitrogen bukan protein (NPN). Karena hampir 85% mikroba rumen dapat memanfaatkan


(27)

NPN untuk sintesis protein tubuhnya (Schaefer dkk, 1980), sudah selayaknya dibutuhkan kehadiran konsentrat berurea sebagai sumber NPN. Dengan harapan dapat meningkatkan populasi bakteri, proteinmikroba di dalam rumen, kecernaan BK, dan nutrien ransum.

Blok Multinutrisi (BM)

Urea Molases Blok (UMB) merupakan pakan tambahan yang biasa diberikan pada ternak pada saat hijauan yang diberikan mengalami kualitas dan palatabilitas rendah. Kandungan molases yang mengandung karbohidrat mudah dicerna dan urea yang terdapat pada UMB menjadikannya sebagai enrichment media bagi fermentasi rumen. Penggunann UMB pada ternak sapi potong terbukti

dapat meningkatkan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan (Preston dan Leng, 1990).

Blok mutinutrisi merupakan suplemen untuk ternak ruminansia yang dibuat dari bahan baku urea, molases (tetes tebu) dan bahan lain seperti mineral yang diolah dan dibuat dalam bentuk silinder atau balok padat serta keras. Bentuk ini sengaja dirancang agar ternak memakan dengan cara menjilat. Suplemen ini memberi kesempatan bagi ternak untuk memperoleh tambahan nutrisi berupa protein, energi dan mineral. Selain itu BM juga dapat meningkatkan daya cerna dan konsumsi serat kasar.

BM atau Urea Mineral Molases Blok (UMMB) adalah pakan tambahan (imbuhan), yang menyediakan nutrisi penting bagi ternak seperti protein, energi dan mineral yang biasanya sangat kurang pada sumber hijauan dan limbah pertanian. BM diberikan dalam bentuk padat, keras, kompak, tapi bisa larut dalam air (Hamdan, 2005).


(28)

Untuk melengkapi kebutuhan gizi ternak terutama ternak yang mengkonsumsi bahan makanan yang berkualitas rendah, maka makanan tambahan sangat diperlukan. Urea Saka Multinutrien Blok (USMB) adalah makanan tambahan yang terdiri dari bahan campuran yang berasal dari hasil ikutan pertanian atau industri pertanian, garam, kapur, urea, saka, mineral yang dapat memperbaiki kondisi lingkungan rumen, sehingga pencernaan zat-zat makanan

lebih sempurna dan pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas ternak (Hendratmo dkk, 1991).

Penggunaan multinutrient block merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kecernaan pakan ternak ruminansia, khususnya pada musim kemarau yang berkepanjangan. Multinutrient block ini mengandung urea, mineral, dan kadang-kadang diberi protein by-pass (Tolleng, 2002).

Leng (1995) menyatakan bahwa USMB juga dapat meningkatkan effisiensi daya cerna hijauan oleh ternak dan merupakan makanan yang baik untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesuburan ternak yang menderita kurang gizi. Selanjutnya Leng (1995) menyimpulkan pembuatan USMB dapat direkayasa sendiri dengan pemanfaatan bahan lokal dan mudah diterapkan.

Blok multinutrisi diberikan dengan cara diletakan di tabung bambu atau dikotak pakan. Pakan suplemen ini diberikan pada pagi hari, jumlahnya disesuaikan dengan tingkat konsumsi yang dianjurkan pada setiap jenis ternak. Kebutuhan BM untuk ternak besar (sapi dan kerbau) mencapai 350 g/ekor/hari, sedangkan kambing dan domba sebesar 120 g/ekor/hari. Blok Multinutrisi merupakan hasil proses pengolahan bahan pakan dengan hasil pengolahan yang bervariasi. Oleh karena BM mempunyai kualitas yang sangat bervariasi yaitu yang


(29)

Tabel 2. Kualitas blok multinutrisi (BM)

Parameter Baik Tidak baik

Warna Bau Rasa pH Tekstur Coklat matang Aroma khas molases Asam, manis, dan gurih 3,5 – 4,2

Padat, kenyal, kesat dan tidak berlendir

Belang berbintik putih Busuk tengik

Sangat asam Lebih dari 4,2

Bergumpal, pecah, basah, dan berlendir.

Sumber: (http ://insidewinme.blogspot.com/penggunaan BM)

Blok multinutrisi (BM) mengandung non-protein nitrogen (NPN), yang di dalam rumen akan mengaktifkan mikroba rumen dan disintesis menjadi asam-asam amino yang dibutuhkan tubuh ternak. Selain urea, blok multinutrisi juga terdiri atas berbagai bahan penyusun lain, seperti molases, bungkil inti sawit (BIS), dedak padi, tepung ikan, semen, kapur, garam dapur dan ultra mineral. Pada domba, pemberian blok multinutrisi (BM) sebesar 4 gram perhari per kg bobot badan terbukti mampu meningkatkan pertambahan bobot badan harian domba. Selain itu juga terbukti meningkatkan akseptabilitas domba terhadap limbah pertanian dengan serat kasar cukup tinggi seperti kulit dan tongkol jagung (Sodiq dan Abidin, 2002).

Molases

Molases dapat digunakan sebagai pakan ternak. Keuntungan penggunaan molases untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (46-60% sebagai gula), kadar mineral cukup disukai ternak. Molases atau tetes tebu juga mengandung vitamin B kompleks dan unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak seperti kobalt, boron, jodium, tembaga, mangan dan seng. Sedangkan kelemahannya adalah kadar kaliumnya yang tinggi dapat menyebabkan diare bila


(30)

dikonsumsi terlalu banyak (Rangkuti et al., 1985). Kandungan nilai gizi molases dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan nilai gizi molases

Kandungan Zat Kadar Zat (%) Bahan kering

Protein kasar Lemak kasar Serat kasar TDN

67.5 3-4 0.08 0.38 81.0

Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Jurusan Peternakan FP-USU, Medan (2005).

Bungkil Inti Sawit

Menurut Davendra (1997) bungkil inti sawit adalah limbah hasil ikutan dari hasil ekstraksi inti sawit. Bahan ini diperoleh dengan proses kimiawi atau cara mekanik. Walaupun kandungan proteinnya agak baik, tapi karena serat kasarnya tinggi dan palatabilitasnya rendah menyebakan kurang cocok bagi ternak monogastrik, melainkan lebih cocok bagi ternak ruminansia.

Semakin tinggi persentase bungkil inti sawit dalam pakan, maka kenaikan bobot badan perhari semakin besar, namun demikian pemberian optimal dari bungkil inti sawit ialah 1,5 % dari bobot badan untuk mempengaruhi pertumbuhan ternak domba.


(31)

Kandungan nilai gizi dalam bungkil inti sawit dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan nilai gizi bungkil sawit

Uraian Kandungan (%)

Protein kasar 15,4a

TDN 81b

Serat kasar 16,9a

Lemak kasar 2,4a

Bahan kering 92,6a

Ca 0,10c

P 0,22c

Sumber : a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak, Departemen Peternakan FP USU (2005). b. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak IPB, Bogor (2000).

c. Siregar (2003).

Dedak Padi

Dedak padi adalah bahan pakan yang diperoleh dari pemisahan beras dengan kulit gabahnya melalui proses penggilingan padi dari pengayakan hasil ikutan penumbukan padi (Parakkasi, 1995). Sedangkan menurut Rasyaf (1992) sebagai bahan makanan asal nabati, dedak memang limbah proses penggilingan padi menjadi beras. Oleh sebab itu kandungan nutrisinya juga cukup baik, dimana kandungan protein dedak halus sebesar 12%-13%, kandungan lemak 13%, dan serat kasarnya 12%.

Pemanfaatan dedak padi di Indonesia sampai saat ini adalah sebagai pakan ternak. Hal ini dikarenakan kandungan yang terkandung dalam dedak padi yang mempunyai nilai gizi yang tinggi seperti lipid, protein, karbohidrat, vitamin, mineral dan juga serat.

Tepung Ikan

Tepung ikan merupakan bahan makanan asal hewan yang sangat kondang sebagai bahan makanan sumber protein dan asam-asam amino yang baik. Tepung


(32)

ikan digunakan untuk menjamin pemenuhan keseimbangan asam-asam amino dalam formulasi pakan yang dibuat, karena 90% hingga 94% bahan makanan pembentuk pakan berasal dari sumber nabati yang umumnya miskin akan Methionine, lysine, Tryptopan dan Cystine. Keempat asam amino yang kurang ini dapat ditutupi dengan tepung ikan (Rasyaf, 1992).

Ampas Tahu

Tahu banyak diproduksi di daerah Sumedang, yang mencapai 15 ton kacang kedele per hari, sehingga menghasilkan ampas tahu kering sebanyak 4 ton per hari (Kopti DT II Sumedang, 1999).

Ampas tahu merupakan hasil ikutan dari proses pembuatan tahu, yang diperoleh dari residu pendidihan bubur kedele yang memiliki daya tahan tidak lebih dari 24 jam dalam ruangan terbuka (Tim Fatemata, 1981).

Kandungan protein maupun zat nutrisi lainnya dari ampas tahu kering cukup baik, mengandung protein kasar 22,64%; lemak kasar 6,12%; serat kasar 22,65%; abu 2,62%; kalsium 0,04%; fosfor 0,06%; dan Gross Energi 4010 kkal/kg (Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, 2006).

Garam Dapur

Garam dapur adalah sejenis Bentuknya kristal putih, dihasilkan dari tersedia secara umum adalah Sodium klorida. Garam sangat diperlukan tubuh, namun bila dikonsumsi secara berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit. Garam dapur diperlukan oleh ternak sebagai perangsang menambah nafsu makan.


(33)

Garam juga merupakan unsur yang sangat dibutuhkan dalam kelancaran faali tubuh (Sumopraswoto, 1993).

Semua herbivora akan suka memakan garam apabila disediakan dalam bentuk jilatan (lick) atau dalam bentuk halus dalam tempet mineral. Oleh karena itu biasanya garam digunakan sebagai campuran fosfor atau mineral mikro dan senyawa lainnya seperti obat parasit (Tillman dkk,1981).

Pada umumnya bahan makanan yang digunakan untuk ternak tidak cukup mengandung Na dan Cl untuk memenuhi kebutuhan produksi optimum (termasuk unggas). Hampir semua bahan makanan nabati (termasuk khususnya hijauan tropis) mengandung Na dan Cl relatif lebih kecil dibanding bahan makanan hewani. Oleh karena itu bahan makanan ruminan (terutama hijauan) harus ditambahkan suplemen Na dan Cl dalam bentuk garam dapur, pemberian tersebut dapat dilakukan secara ad libitum (Parakkasi, 1995).

Penggunaan toleransi maksimum terhadap pemberian NaCl untuk berbagai spesies dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Toleransi maksimum berbagai spesies terhadap NaCl.

Spesies Level NaCl dalam makanan (%)

Sapi

Pedaging 4a

Perah 9a

Domba 9a

Babi 8a

Unggas 2b

Kuda 3b

Kelinci 3a

Sumber : a = Ammerman dkk., 1980.


(34)

Urea

Urea adalah suat

2H4 atau (NH2)2CO. Urea juga

dikenal dengan nama carbamide yang terutama digunakan di kawasan Eropa. Nama lain yang juga sering dipakai adalah carbamide resin, isourea, carbonyl diamide dan carbonyldiamine. Senyawa ini adalah senyawa organik sintesis pertama yang berhasil dibuat dari

Urea bila diberikan kepada ruminansia akan melengkapi sebagian dari protein hewan yang dibutuhkan, karena urea tersebut disintesa menjadi protein oleh mikroorganisme dalam rumen. Untuk hal tersebut diperlukan sumber energi seperti jagung atau molases (Anggorodi, 1979).

Parakkasi (1995) menyatakan bahwa disamping dapat menguntungkan, urea dapat pula merugikan karena dapat menyebabkan keracunan (minimal tidak bermanfaat) bila penggunaannya tidak semestinya. Oleh karena itu beberapa prinsip dasar penggunaanya perlu diketahui, dimana batas penggunaan urea dalam ransum sekitar 8%.

Ultra Mineral

Zat-zat mineral lebih kurang merupakan 3 - 5% dari tubuh hewan. Hewan tidak dapat membuat mineral, sehingga harus disediakan dalam makanannya. Dari hasil penelitian dapat diterangkan bahwa mineral tersebut harus disediakan dalam perbandingan yang tepat dan dalam jumlah yang cukup. Terlalu banyak mineral dapat membahayakan individu. Suatu keuntungan ialah bahwa sebagian besar mineral dapat diberikan dalam jumlah yang besar dalam pakan tanpa


(35)

mengakibatkan kematian, tetapi kesehatan hewan menjadi mundur sehingga menyebabkan kerugian ekonomis besar (Anggorodi, 1979).

Mineral yang dibutuhkan ternak memang relatif sedikit, namun mineral sangat penting dan diperlukan kesempurnaan makanan yang dikonsumsi oleh ternak tersebut. Mineral esensial yang diperlukan oleh tubuh ternak terbagi dalam dua kelompok, yakni mineral makro yang terdiri dar Ca, P, Mg, Na, K dan Cl, serta mineral mikro yang terdiri atas Cu, Mo, Fe dan lain-lain. Kebutuhan akan mineral makro lebih banyak dibandingkan jumlah kebutuhan mineral mikro (Murtidjo, 1993).

Parakkasi (1995) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan mineral, mungkin dapat diusahakan bila ruminan bersangkutan dapat mengkonsumsi hijauan yang cukup. Hijauan tropis umumnya mengandung (relatif) kurang mineral (terutama di musim kemarau) maka umumnya ruminan di daerah tropis cenderung defisiensi mineral.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kebutuhan mineral pada ternak. Diantaranya adalah bangsa ternak, umur, jenis kelamin, pertumbuhan, kesuburan berkembang biak, laktasi, iklim, pakan, kandungan mineral tanah, keseimbangan hormonal dan kegiatan fali di dalam tubuh (Sumopraswoto, 1993).

Menurut (Tillman dkk, 1981) secara umum mineral-mineral berfungsi sebagai berikut :

1. Bahan pembentukan tulang dan gigi yang menyebabkan adanya jaringan keras dan kuat

2. Mempertahankan keadaan koloidal dari beberapa senyawa dalam tubuh 3. Memelihara keseimbangan asam basa tubuh


(36)

4. Aktivator sistem enzim tertentu 5. Komponen dari suatu enzim

6. Mineral mempunyai sifat yang karakteristik terhadap kepekaan otot dan saraf. Kandungan beberapa mineral dalam ultramineral cukup tinggi terutama kandungan kalsium karbonat, phosphor dan sodium klorida Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan mineral ultra mineral.

Kandungan Zat Kadar Zat (%)

Kalsium karbonat 50,00

Phospor 25,00

Mangan 0,35

Iodium 0,20

Kalium 0,10

Cuprum 0,15

Sodium klorida 23,05

Besi 0,80

Zn 0,20

Mg 0,15

Sumber : Eka Farma disitasi Warisman (2009).

Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia

Sistem pencernaan merupakan sistem yang terdiri dari saluran pencernaan dan organ-organ pelengkap yang berperan dalam proses perombakan bahan makanan, baik secara fisik, maupun kimia menjadi zat-zat makanan yang siap

diserap oleh dinding saluran pencernaan (Parakkasi, 1990). Menurut Anggorodi (1990) pencernaan adalah penguraian bahan makanan ke dalam zat-zat

makanan dalam saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh. Saluran pencernaan dari semua hewan dapat dianggap sebagai tabung yang dimulai dari mulut sampai anus yang fungsinya dalam


(37)

saluran pencernaan adalah mencernakan dan mengabsorpsi makanan dan mengeluarkan sisa makanan sebagai tinja (Tillman dkk, 1998).

Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, fermentatif dan hidrolisis. Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau pengunyahan dalam mulut dan gerakan-gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh konstraksi otot sepanjang usus. Pencernaan secara fermentatif dilakukan oleh mikroorganisme rumen sedangkan secara hidrolisis dilakuakan oleh jasad renik dengan cara penguraian dalam rumen (Tillman dkk, 1991).

Bagian-bagian sistem pencernaan adalah mulut, parinks, (pada ruminansia terdapat rumen retikulum, omasum, abumasum). Usus halus, usus besar serta glandula aksesoris yaitu glandula saliva, hati dan pankreas (Frandson, 1992).

Ruminansia berasal dari kata latin “ruminate” yang berarti “mengunyah berulang-ulang”. Proses ini disebut proses ruminansi yaitu suatu proses pencernaan pakan yang dimulai dari pakan dimasukkan ke dalam rongga mulut dan masuk ke rumen setelah menjadi bolus-bolus dimuntahkan kembali (regurgitasi), dikunyah kembali (remastikasi), lalu penelanan kembali (redeglutasi) dan dilanjutkan proses fermentasi di rumen dan ke saluran berikutnya. Proses ruminansi berjalan kira – kira 15 kali sehari, dimana setiap ruminansi berlangsung 1 menit sampai 2 jam (Prawirokusumo, 1994).

Frandson (1992) menyatakan bagian – bagian dari saluran pencernaan adalah mulut, parinks, oesofagus (pada ruminansia merupakan perut depan atau forestimach), perut grandular, usus halus, usus besar serta glandula aksesoris yang terdiri dari glandula saliva, hati dan pankreas.


(38)

Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, enzimatik ataupun mikrobial. Proses mekanik terdiri dari mastikasi ataupun pengunyahan dalam mulut dan gerakan – gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh kontraksi-kontraksi otot sepanjang usus. Pencernaan secara enzimatik atau kimiawi dilakukan oleh enzim yang dihasilkan oleh sel – sel dalam tubuh hewan yang berupa getah – getah pencenaan. Mikroorganisme hidup dalam beberapa bagian dari saluran pencernaan yang sangat penting dalam pencernaan ruminansia. Pencernaan oleh mikroorganisme ini juga dilakukan secara enzimatik yang enzimnya dihasilkan oleh sel – sel mikroorganisme (Tillman dkk,1991).

Pertumbuhan dan aktivitas mikroba selulolitik yang efisien, sama halnya dengan mikroba rumen lain, membutuhkan sejumlah energi, nitrogen, mineral dan faktor lain (misalnya vitamin). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa energi merupakan faktor essensial utama yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba rumen. Mikroba rumen menggunakan energi untuk hidup pokok, teristimewa untuk melakukan transport aktif (Bamualim,1994).

Menurut Rangkuti dkk (1985) ruminansia mempunyai empat

lambung yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa pada waktu lahir

abomasum merupakan bagian utama, tetapi begitu susu diganti dengan rumput, rumen tumbuh sampai 80% kapasitas lambung. Retikulum dan omasum berkembang pada waktu yang sama (Tillman dkk, 1991).

Kemampuan mencerna bahan makanan ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis ternak, komposisi kimia makanan dan penyiapan makanan. Lebih


(39)

lanjut dijelaskan bahwa daya cerna suatu bahan makanan tergantung pada keserasian zat-zat makanan yang terkandung didalamnya (Tillman dkk, 1991).

Protein merupakan suatu zat makanan yang essensial bagi tubuh ternak dan tersediaan protein yang cukup menyebabkan aktivitas dan pertumbuhan mikoorganisme meningkat sehingga proses pencernaan dan konsumsi juga meningkat (Bamualim, 1994).

Kecernaan

Kecernaan setiap bahan makanan atau ransum dipengaruhi oleh spesies hewan, bentuk fisik makanan, komposisi bahan makanan atau ransum, tingkat

pemberian makanan, temperatur lingkungan dan umur hewan (Rahjan dan Pathak, 1979).

Menurut Tillman dkk, (1998) kecernaan dapat diartikan banyaknya atau jumlah proporsional zat-zat makanan yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Zat makanan yang terdapat di dalam feses dianggap zat makanan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan kembali (Cullison 1978). Kecernaan dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, defisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan, dan gangguan saluran pencernaan (Church dan Pond, 1988). Dinyatakan oleh Anggorodi (1990) yang mempengaruhi daya cerna adalah suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya. Jenis kelamin, umur dan strain mempunyai pengaruh terhadap daya cerna protein dan asamasam amino, tetapi pengaruhnya tidak konsisten (Doeschate dkk., 1993).


(40)

Prinsip penentuan kecernaan zat-zat makanan adalah menghitung banyaknya zat-zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan banyaknya zat makanan yang dikeluarkan melalui feses (Ranjhan, 1980).

Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein di dalam ransum (Ranjhan, 1980). Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tillman dkk., 1998).

Tingkat kecernaan suatu pakan menggambarkan besarnya zat-zat makanan yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk proses hidup pokok (maintenance), pertumbuhan, produksinya, maupun reproduksi (Ginting, 1992).

Pencernaan Pakan

Pencernaan pakan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi pada pakan selama berada didalam saluran pencernaan sampai memungkinkan terjadinya suatu penyerapan (Webster, 1987). Untuk penentuan kecernaan dari suatu pakan maka harus diketahui terlebih dahulu dua hal yang penting yaitu; jumlah nutrien yang terdapat dalam pakan dan jumlah nutrien yang dapat dicerna

dan dapat diketahui bila pakan telah mengalami proses pencernaan (Tillman dkk, 1991).

Anggorodi (1979) menyatakan bahwa pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan pakan adalah usaha menentukan jumlah nutrisi dari suatu bahan pakan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan presentasi nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrisi yang dimakan


(41)

dan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Nutrisi yang tidak terdapat dalam feses inilah yang diasumsikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap.

Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan antara lain dipengaruhi oleh bobot hidup ternak. Semakin tinggi bobot hidup ternak, konsumsi BK pakan semakin tinggi pula. Selain karena bobot hidupnya yang berbeda, konsumsi pakan yang berbeda ini juga dikarenakan

bangsa ternak yang berbeda (Kearl, 1982). Sesuai dengan pendapat Sumadi dkk. (1991), bahwa bangsa ternak dapat mempengaruhi konsumsi pakan

karena kecepatan metabolism pakan pada setiap bangsa ternak berbeda apabila mendapat pakan dengan kualitas yang sama.

Tillman dkk. (1998), konsentrat merupakan bahan pakan ternak yang mudah dicerna sehingga laju aliran pakan dalam saluran pencernaan lebih cepat dan memungkinkan ternak untuk menambah konsumsi pakan.

Menurut Smith dan Chruch (1979), palatabilitas pakan dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimiawi pakan, yang akan berpengaruh pada fisiologis ternak dalam rangsangan penglihatan, penciuman dan rasa dalam mengkonsumsi pakan.

Crampton dan Harris (1969), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi PK adalah jumlah BK pakan yang dikonsumsi. Konsumsi BK pakan memegang peranan penting, karena menurut Tilllman dkk. (1998), dari BK pakan tersebut ternak memperoleh zat-zat nutrisi penting, seperti energi, protein, vitamin dan mineral.

Menurut NRC yang dikutip oleh Mariani (1994), jumlah bahan kering yang dikonsumsi oleh sapi tergantung pada berat badan, tingkat produksi, kondisi lingkungan, kondisi tubuh, tipe dan jenis bahan makanan.


(42)

Tingkat perbedaan konsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor ternak (bobot badan, umur, tingkat kecernaan pakan, kualitas pakan dan palatabilitas) (Parakkasi, 1995).

Jumlah konsumsi bahan kering pakan dipengaruhi beberapa variabel meliputi palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan komposisi kimia serta kualitas bahan pakan. Parakkasi (1995) menyatakan ketersediaan zat makanan yang dibutuhkan oleh mikroba rumen untuk menjalankan fungsi yang normal harus mendapatkan perhatian khusus misalnya pertambahan suplai sumber N pada bahan makanan yang rendah proteinnya akan meningkatkan konsumsi dari bahan pakan tersebut. Variasi kapasitas produksi disebabkan oleh makanan pada berbagai jenis ternak ditentukan oleh konsumsi (60%), kecernaan (25%) dan konversi hasil pencernaan produk yaitu sekitar 15%.

Untuk melengkapi kebutuhan gizi ternak terutama ternak yang mengkonsumsi bahan makanan yang berkualitas rendah, maka makanan tambahan sangat diperlukan. Urea Multinutrien Blok (UMB) adalah makanan tambahan yang terdiri dari bahan campuran yang berasal dari hasil ikutan pertanian atau industri pertanian, garam, kapur, urea, mineral yang dapat memperbaiki kondisi lingkungan rumen, sehingga pencernaan zat-zat makanan lebih sempurna dan pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas ternak (Hendratmo dkk, 1991).

Pertambahan berat rata-rata sapi Bali yang sangat rendah (kurang dari200g/ekor/hari), sebenarnya masih dapat ditingkatkan dengan memberikanjumlah maupun kualitas pakanyang Memadai. Lana dan Nitis (1989) melaporkan tambahan berat rata-rata 460 g/ekor/hari ketika sapi Bali diberikan pakan rumput lapangan dengan tambahan konsentrat yang terdiri dari : 5 %


(43)

bungkil kelapa, 10 % cacah ketela pohon dan 15 % dedak padi. Pemanfaatan morea plus sangat menjajikan karena urea yang terdapat pada molasses akan meningkatkankandungan N pada pakan, sedangkan molasses yang ada di dalamnyadisamping sebagai sumber energi juga merupakan penyeimbang antarasumber N dan energi sehingga pemanfaatan serat kasar menjadi optimal.


(44)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Ternak, Departemen Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan dimulai Desember 2009 sampai Januari 2010.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan

Adapun sapi yang digunakan adalah sapi bali sebanyak 12 ekor dengan berat minimum 126 kg, maksimum 179 kg dan rata-rata berat seluruhnya 148,3 kg. Bahan - bahan pakan yang diberikan terdiri atas : Hijauan (rumput lapangan), molasses, dedak padi, garam, urea, bungkil kelapa, tepung ikan, ampas tahu, ultra mineral dan kapur. Untuk menghindarkan sapi dari penyakit cacingan diberikan obat-obatan seperti obat cacing Wormzol-B dan rodalon sebagai desinfektan untuk membersihkan sapi bali dari hinggapan lalat-lalat yang membawa bibit penyakit.Vitamin B-Kompleks diberikan untuk menjaga daya tahan tubuh sapi dan pemberian air minum secara ad libitum.


(45)

Kandang terdiri atas 12 kandang individu dengan ukuran 1.5 x 2 meter beserta perlengkapannya.Tempat pakan sebagai wadah pakan, papan sebagai alas saat pengukuran bobot badan sapi, tong sebagai tempat memasak pelepah daun kelapa sawit, ember 12 buah sebagai wadah/tempat air minum, timbangan digital Iconix FX1 kapasitas 1000 kg sebagai alat penimbang bobot badan sapi dengan kepekaan 1%, timbangan dengan kapasitas 10 kg sebagai alat penimbang bahan pakan dengan kepekaan 10 g, karung sebagai tempat bahan pakan, sapu dan sekop sebagai alat pembersih kandang, alat tulis sebagai alat pencatat data selama penelitian, kereta sorong sebagai alat pengangut bahan pakan dan lampu sebagai alat untuk penerang kandang.

Metode Penelitian

Adapun rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan 4 kelompok. Perlakuan yang akan diteliti sebagai berikut :

P0 = Hijauan (rumput lapangan) 100 % P1 = P0 + BM A

P2 = P0 + BM B

Model linier yang digunakan untuk rancangan acak kelompok (RAK) adalah : Yij = µ + Ti + Bj + €ij

Dimana : Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai tengah umum

Ti = Pengaruh perlakuan ke- i Bj = Pengaruh blok ke- j


(46)

(Hanafiah, 2003).

Susunan perlakuan didalam penelitian :

P1R4 P0R1 P1R3 P1R2

P2R2 P2R4 P2R1 P0R4

P2R3 P0R2 P0R3 P1R1

Dimana P = Perlakuan (P0, P1, dan P2) R = Kelompok (R1, R2, R3 dan R4)

Ket : R1 = 126 – 133 kg Ket : R2 = 135 – 148 kg Ket : R3 = 149 – 161 kg Ket : R4 = 163 – 179 kg

Peubah yang Diamati

1. Konsumsi Pakan (Bahan Kering dan Bahan Organik)

Konsumsi bahan kering dan bahan organik adalah diukur dengan mengalikan konsumsi ransum dengan kandungan bahan kering dan bahan organik yang diperoleh dari data analisis di laboratoium.

2. Pengeluaran Bahan Kering dan Bahan Organik pada Feses

Pengeluaran bahan kering dan bahan organik diukur dengan mengalikan total feses yang dikeluarkan dengan kandungan bahan kering dan bahan organik selama penelitian.


(47)

Kecernaan bahan kering dapat diukur dengan menghitung berdasarkan rumus : KcBK = (Konsumsi BK – Pengeluaran BK) x 100%

Konsumsi BK

Konsumsi dan pengeluran feses (BK) diperoleh dalam jangka waktu pengukuran selama peneltian.

4. Kecernaan Bahan Organik (KcBO)

Kecernaan bahan organik diukur dengan menghitung berdasarkan rumus : KcBO = (Konsumsi BO – Pengeluaran BO) x 100%

Konsumsi BO

Konsumsi dan pengeluran feses (BO) diperoleh dalam jangka waktu pengukuran selama peneltian.

Pelaksanaan penelitian 1. Persiapan Kandang

Kandang terdiri atas 12 unit dengan masing - masing kandang memliki ukuran 1.5 x 2 m dan tempat pakan yang terbuat dari bak semen serta tempat minum berupa ember plastik.

2. Pengacakan sapi bali.

Sapi bali yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 12 ekor, penempatan sapi bali dengan sistem pengelompokan berdasarkan bobot badan. Sebelumnya dilakukan penimbangan bobot badan awal sapi bali dengan menggunakan timbangan digital duduk kapasitas 1000 kg.

3. Pemberian Pakan dan Minum.

Pakan yang diberikan disesuaikan dengan perlakuan. Hijauan yang diberikan merupakan rumput lapangan yang telah dipotong kecil – kecil


(48)

dengan ukuran sekitar 7 - 10cm sebanyak 10% bobot badan dan diberikan 2 kali sehari. Sisa rumput yang diberikan ditimbang keesokan harinya untuk mengetahui konsumsi ternak tersebut. Pemberian air minum dilakukan secara ad libitum. Air diganti setiap hari dan tempatnya dicuci dengan bersih.

4. Pembuatan Blok Multinutrisi (BM)

Pembuatan blok multinutrisi (BM) menggunakan beberapa bahan antara lain molases, urea, bungkil inti sawit (BIS), tepung ikan, bungkil kelapa, ampas tahu, dedak padi, kapur, garam dapur dan ultra mineral serta air. Komposisi setiap bahan yang akan digunakan sebagai percobaan disesuaikan dengan perlakuan yang diberikan.

Proses pembuatan dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut : a. Premixing yaitu mencampur komponen bahan yang digunakan dalam

jumlah sedikit.

b. Mixing yaitu mencampur semua komponen bahan yang akan digunakan.

c. Pressing yaitu pembuatan blok dengan menggunakan cetakan. d. Drying; yaitu pengeringan dengan cara penjemuaran.


(49)

Disediakan masing – masing bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan BM

Ditimbang masing – masing bahan pakan sesuai perlakuan

Dicampur semua bahan dalam satu wadah

Diaduk hingga merata/homogen

Dicetak dengan mesin cetak BM

Dijemur dengan sinar matahari sampai kering

BM siap diberikan ke ternak

Gambar 1. Skema pembuatan blok multinutrisi (BM) Sumber : Dehan, M. R dan Nababan, R. H. A. H (2009)


(50)

5. Pemberian blok multinutrisi (BM)

Blok multinutrisi (BM) diberikan sebanyak 300gr yaitu dengan cara meletakkannya di sudut depan lantai kandang.

Tabel 7. Susunan blok multinutrisi (BM)

Bahan Pakan Komposisi (%)

BM A BM B

Molases 12 12

Urea 3 3

BIS 10 10

Dedak padi 19 19

Tepung ikan 4 4

Kapur 4 2

Garam 3 3

Ultra mineral 0 2

Bungkil kelapa 15 15

Ampas tahu 30 30

Total 100 100

6. Pemberian Obat - obatan

Ternak sapi pertama masuk kandang diberikan obat cacing WORMZOL-B dan vitamin B-kompleks sebanyak 5 - 10 ml/ekor selama masa adaptasi, sedangkan obat lain diberikan sesuai kondisi ternak.

7. Periode pengambilan Data


(51)

waktu 14 hari. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan mengkoleksi feses dengan frekuensi pengambilan feses dilakukan sekali dalam sehari selama tujuh hari. Feses ditimbang dalam keadaan segar kemudian dimasukkan kedalam pendingin untuk dilakukan analisis laboratorium.

8. Analisis Data

Data yang diperoleh meliputi konsumsi bahan kering (BK) dan bahan organik (BO), kecernaan bahan kering (BK) dan kecernaan bahan organik (BO). Selanjutnya akan di tabulasi dengan menggunakan rumus daya cerna dilanjutkan secara statistik dengan sidik ragan dan untuk melihta perbedaan tiap perlakuan dilakukan ujin lanjut beda nyata terkecil.


(52)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Bahan Kering dan Organik

Konsumsi pakan sapi dihitung berdasarkan kandungan bahan kering dan bahan organik pakan. Pengambilan data konsumsi pakan sapi dilakukan selama 7 hari. Data hasil pengamatan terhadap rataan konsumsi pakan sapi disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan konsumsi bahan kering dan organik sapi

Perlakuan Konsumsi BK (g/ekor/hari) Konsumsi BO (g/ekor/hari) P0 4212,56 ± 229,028* 5689,12 ± 362,414* P1 4388,17 ± 257,755* 5762,82 ± 490,313* P2 4451,08 ± 399,683* 6009,08 ± 367,784* Keterangan : * = tidak berbeda nyata

Berdasarkan tabel di atas dapat kita lihat bahwa suplementasi BM dalam pakan yang diberikan pada sapi bali memberikan hasil

rataan konsumsi bahan kering dan organik tertinggi pada perlakuan P2 sebesar 4451,08 g/ekor/hari dan 6009,08 g/ekor/hari. Sedangkan rataan konsumsi bahan kering dan organik terendah pada perlakuan P0 sebesar 4212,56 g/ekor/hari dan 5689,12 g/ekor/hari.

Hasil analisis sidik ragam konsumsi pakan sapi (Lampiran 9 dan 10) menunjukan bahwa suplementasi Blok Multinutrisi (BM) dan pengelompokan


(53)

sapi berdasarkan bobot badannya tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap tingkat konsumsi sapi.

Konsumsi pakan sapi memperlihatkan bahwa pakan perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan pakan perlakuan P2. Hal ini menunjukan bahwa kualitas BM A sama dengan BM B sekalipun dalam formulasi BM B terdapat ultramineral sebanyak 2%. Konsumsi pakan yang paling rendah terlihat pada perlakuan P0 yang tidak disuplementasi dengan BM. Rendahnya tingkat konsumsi bahan kering dan bahan organik tersebut merupakan pengaruh dari perbedaan kandungan nutrisi pakan sapi. Suplementasi BM dengan kandungan nutrisi yang komplek dapat melengkapi kandungan nutrisi yang tidak sepenuhnya tercukupi dari hijauan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hamdan (2005) yang menyatakan bahwa BM atau urea mineral molases blok (UMMB) adalah pakan tambahan (imbuhan) yang menyediakan nutrisi penting bagi ternak seperti protein, energi dan mineral yang biasanya sangat kurang pada sumber hijauan dan limbah pertanian.

Sapi yang hanya diberi hijauan menunjukan tingkat konsumsi yang lebih rendah dibandingkan sapi yang mendapatkan urea molasses blok. Kandungan nutrisi yang berbeda pada pakan berpengaruh terhadap palatabilitas pakan. Menurut Smith dan Chruch (1979), palatabilitas pakan dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimiawi pakan yang akan berpengaruh pada fisiologis ternak dalam rangsangan penglihatan, penciuman dan rasa dalam mengkonsumsi pakan.

Palatabilitas pakan yang semakin baik berpengaruh terhadap tingkat konsumsi bahan kering dan organik sapi yang semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Parakkasi (1995) yang menyatakan bahwa jumlah konsumsi


(54)

bahan kering dan organik pakan dipengaruhi oleh palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan komposisi kimia serta kualitas bahan pakan. Ketersediaan zat makanan yang dibutuhkan oleh mikroba rumen untuk menjalankan fungsi yang normal harus mendapatkan perhatian khusus misalnya pertambahan suplai sumber N pada bahan makanan yang rendah proteinnya akan meningkatkan konsumsi dari bahan pakan tersebut.

Tabel 8 memperlihatkan bahwa tingkat konsumsi baik bahan kering maupun bahan organik dihasilkan dari perlakuan P2. Konsumsi sapi akan bahan kering yang tinggi diikuti dengan konsumsi bahan organiknya yang juga tinggi. Menurut Kamal (1994) yang menyatakan bahwa konsumsi bahan kering memiliki korelasi positif terhadap konsumsi bahan organiknya yaitu apabila konsumsi bahan kering tinggi maka dapat mengakibatkan konsumsi bahan organiknya juga tinggi. Bahan kering terdiri dari bahan organik dan abu sehingga besarnya konsumsi bahan organik berbanding lurus dengan besarnya konsumsi bahan kering.

Kecernaan Bahan Kering dan Organik

Kecernaan merupakan selisih antara pakan yang dikonsumsi dengan sisa pakan yang tidak tercerna dan dikeluarkan dalam bentuk feses. Daya cerna dihitung berdasarkan bahan kering dan bahan organik. Kandungan nutrisi yang semakin rendah dalam feses menunjukan tingkat kecernaan yang semakin baik.

. Data hasil pengamatan terhadap rataan kecernaan bahan kering dan organik sapi disajikan pada Tabel 10.


(55)

Tabel 9. Rataan kecernaan bahan kering dan organik sapi

Perlakuan Kecernaan BK (%) Kecernaan BO (%)

P0 65,43± 6,70282* 71,40 ± 5,39071*

P1 68,03± 6,6109* 73,93 ± 6,50059*

P2 67,87± 3,32663* 72,64 ± 3,5224*

Keterangan : * = tidak berbeda nyata

Tabel 9. menunjukkan bahwa rataan kecernaan bahan kering tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 68,03%, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan P0 sebesar 65,43%. Analisis keragaman kecernaan bahan kering dan organik sapi (Lampiran 18 dan 19) menunjukan bahwa suplementasi BM dan pengelompokan sapi berdasarkan bobot badannya tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap tingkat kecernaan sapi.Kecernaan bahan kering dan organik sapi yang disuplementasi BM dengan penambahan ultramineral 2% (BM B) belum menunjukan perbedaan yang signifikan dengan kecernaan bahan kering dan organik sapi yang disuplementasi BM tanpa penambahan ultramineral (BM A).

Kecernaan bahan kering yang tidak berbeda nyata disebabkan karena konsumsi bahan kering masing-masing perlakuan juga berbeda tidak nyata.Hal ini sesuai dengan pendapat Zain (1999) bahwa tingkat konsumsi ransum mempengaruhi kecernaan, sehingga konsumsi yang berbeda tidak nyata antar perlakuan juga menyebabkan kecernaan yang berbeda tidak nyata.

Tillman, dkk, (1998) menyatakan bahwa daya cerna pakan erat hubungan dengan komposisi kimianya dan serat kasar mempunyai pengaruh yang terbesar terhadap daya cerna. Semakin tinggi kandungan serat kasar bahan pakan maka akan semakin rendah daya cernanya. Berdasarkan analisis laboratorium, diperoleh kandungan serat kasar yaitu sebesar 30,26, akibatnya nilai kecernaan bahan keringnya juga menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini dipertegas


(56)

oleh (Debora, dkk 2005) bahwa tinggi rendahnya kecernaan zat-zat makanan pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh kandungan serat kasar dan aktifitas mikrobia rumen terutama bakteri selulotik. (Tillman, dkk 1998), menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kecernaan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi, dalam hal ini adalah bahan kering. Konsumsi bahan kering yang berbeda tidak nyata menyebabkan kecernaan bahan kering sapi juga berbeda tidak nyata. Hal ini dikarenakan aktifitas mikroorganisme mengikuti bahan pakan yang dikonsumsi, sehingga jika konsumsi pakannya meningkat maka diduga pertumbuhan dan perkembangan mikrobianya juga meningkat (Kamal, 1994).

Perbedaan yang tidak nyata dari masing-masing perlakuan disebabkan pula karena kandungan protein pakan dari masing-masing perlakuan sehingga terjadi perubahan kandungan nutrisi yang cenderung meningkat, tetapi berdasarkan hasil analisa statistik pengaruhnya didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan P0 (P kontrol) memiliki kandungan protein yang sudah bisa memenuhi kebutuhan protein pada sapi. Penambahan pemberian BM mengakibatkan adanya kualitas protein yang tinggi namun mengakibatkan banyaknya protein yang tidak termanfaatkan. Didalam rumen terjadi proses pemecahan protein menjadi asam amino yang dilakukan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme memecah protein dengan susunan asam amino yang sudah baik menjadi protein mikrobia dan amonia yang sebagian besar dikeluarkan melalui urine (Prawirokusumo, 1993).

Kecernaan bahan organik yang berbeda tidak nyata diakibatkan oleh tingkat konsumsi bahan organik masing-masing perlakuan yang juga tidak berbeda nyata. (Tillman dkk. 1998) menyatakan salah satu faktor yang


(57)

mempengaruhi kecernaan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi, dan Soeparno (1992) menambahkan tingkat konsumsi pakan juga berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik. Besarnya konsumsi bahan organik akan berpengaruh terhadap ketersediaan energi dalam rumen untuk pertumbuhan mikrobia rumen. Pertumbuhan mikrobia rumen berhubungan dengan kerja optimal mikrobia yang nantinya berpengaruh terhadap kecernaan ternak (Kamal, 1994). Kecernaan bahan organik yang tidak berbeda nyata juga bisa disebabkan karena kecernaan bahan keringnya tidak berbeda nyata pula. Hal ini disebabkan kecernaan bahan kering dan bahan organik saling berhubungan, sebab bahan pakan berdasarkan komposisi kimianya dibedakan menjadi bahan anorganik (abu) dan bahan organik (Tillman dkk, 1998).

Akan tetapi, tingkat kecernaan sapi yang disuplemen blok multinutrisi lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kecernaan sapi yang hanya diberi hijauan. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan blok multinutrisi dalam pakan dapat meningkatkan kecernaan sapi..Penggunaan multinutrient block merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kecernaan pakan ternak ruminansia. Multinutrient block ini mengandung urea, mineral, dan kadang - kadang diberi protein by pass (Tolleng, 2002).

Sapi yang diberikan pakan konsentrat yang dalam hal ini adalah BM dapat meningkatkan kecernaan pada sapi. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan (Schaefer dkk, 1980), yang menyatakan bahwa selayaknya di butuhkan kehadiran konsentrat berurea sebagai sumber nitrogen non protein (NPN). Dengan harapan dapat meningkatkan populasi bakteri, protein mikroba di dalam rumen, kecernaan


(58)

BK, dan nutrien ransum dan dalam hal pemenuhan mikroba rumen dan ternak akan energi siap pakai.

Untuk melengkapi kebutuhan gizi ternak terutama ternak yang mengkonsumsi bahan makanan yang berkualitas rendah, maka makanan tambahan sangat diperlukan. Urea Multinutrien Blok (UMB) adalah makanan tambahan yang terdiri dari bahan campuran yang berasal dari hasil ikutan pertanian atau industri pertanian, garam, kapur, urea dan mineral yang dapat memperbaiki kondisi lingkungan rumen, sehingga pencernaan zat - zat makanan lebih sempurna

dan pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas ternak (Hendratmo dkk, 1991). Leng (1995) menyatakan bahwa UMB juga dapat

meningkatkan effisiensi daya cerna hijauan oleh ternak dan merupakan makanan yang baik untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesuburan ternak yang menderita kurang gizi. Selanjutnya Leng (1995) menyimpulkan pembuatan UMB dapat direkayasa sendiri dengan pemanfaatan bahan lokal dan mudah diterapkan.

Tingkat kecernaan pakan dapat menentukan kualitas dari pakan tersebut, karena bagian yang dicerna dihitung dari selisih antara kandungan zat dalam pakan yang dimakan dengan zat makanan yang keluar atau berada dalam feses. Koefisien cerna bahan kering merupakan tolak ukur dalam menilai kualitas pakan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kecernaan bahan kering dan organik sapi pada perlakuan P1 dan P2 yang lebih tinggi dari kecernaan bahan kering dan organik sapi dari perlakuan P0. Penambahan blok multinutrisi dalam pakan sapi berperan dalam perkembangan populasi mikroorganisme yang membantu

pencernaan pakan dalam tubuh ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Apriyadi (1999) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya kecernaan zat - zat


(59)

makanan pada ternak bergantung aktifitas mikroorganisme yang berada dalam tubuh ternak. Mikroorganisme ini berfungsi dalam mencerna serat kasar yaitu sebagai pencerna selulosa juga hemiselulosa dan pati.

Tingginya kecernaan bahan organik dari perlakuan P1 yaitu 73,9365 % dan P2 yaitu 72,6482 % disebabkan karena konsumsi bahan

organik dari perlakuan – perlakuan tersebut tinggi dibandingkan dengan P0 yaitu 71,4017 %. (Tillman dkk, 1991) menyatakan bahwa sebagian besar bahan organik merupakan komponen bahan kering. Jika koefisien cerna bahan kering sama, maka koefisien cerna bahan organiknya juga sama. Kandungan mikroorganisme yang semakin meningkat yang menyebabkan kadar cerna pakan tinggi. Akibatnya kadar bahan organik feses rendah.

Preston dan Leng (1990), BM merupakan pakan tambahan yang biasa diberikan pada ternak pada saat hijauan yang diberikan memiliki kualitas dan palatabilitas rendah. Kandungan molases yang mengandung karbohidrat mudah dicerna dan urea yang terdapat pada BM menjadikannya pakan yang memiliki kandungan energi dan protein yang tinggi bagi ternak. Penggunaan BM pada ternak sapi potong terbukti dapat meningkatkan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan serta kecernaan pakan ternak. Tingginya populasi mikroba berpengaruh terhadap tingkat kecernaan sapi yang semakin baik. Hal ini disebabkan karena banyaknya mikroba rumen yang membantu penguraian dan penyerapan bahan makanan.


(60)

Rekapiltulasi hasil penelitian

Perbedaan konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Rekapitulasi hasil penelitian Perlakuan Parameter Konsumsi BK (g/ekor/hari)* Konsumsi BO (g/ekor/hari)* Kecernaan BK (%)* Kecernaan BO (%)*

P0 4212,56 5689,12 65,43 71,4

P1 4388,17 5762,82 68,03 73,93

P2 4451,08 6009,08 67,87 72,64

Keterangan: * = tidak berbeda nyata

Suplementasi BM tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi bahan kering dan konsumsi bahan organik. Rataan konsumsi bahan kering tertinggi terdapat pada P2 sebesar 4451,08 g/ekor/hari dan terendah pada P0 sebesar 4212,56 g/ekor /hari. Rataan konsumsi bahan organik tertinggi terdapat pada P2 sebesar 6009,08 g/ekor/hari dan terendah pada P0 sebesar 5689,12 g/ekor/hari.

Suplementasi BM juga tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Rataan kecernaan bahan kering tertinggi terdapat pada P1 sebesar 68,03% dan yang terendah pada perlakuan P0 sebesar 65,43%. Rataan kecernaan bahan organik tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 73,93% dan terendah pada perlakuan P0 sebesar 71,40 %. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pemberian BM memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap konsumsi bahan kering, bahan organik kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik sapi bali .


(61)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pemberian blok multinutrisi (BM) dalam pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap konsumsi bahan kering dan bahan organik, serta terhadap kecernaan bahan kering dan organik sapi bali. Konsumsi bahan kering dan organik tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 4451,08 g/ekor/hari,dan 6009,08 g/ekor/hari dan kecernaan bahan kering tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 68,03439 % dan kecernaan bahan organik tertinggi terdapat pada perlakuanP1 sebesar 73,9365 %.

Saran

Disarankan untuk peternak level penggunaan ultra mineral dalam formulasi BM diberikan sebanyak 2%. Diharapkan pada penelitian selanjutnya level penggunaan ultra mineral dalam formulasi blok multinutrisi (BM) ditingkatkan lebih dari 2%. Untuk melihat apakah penambahan level penambahan ultra mineral dalam BM dapat menghasilkan konsumsi pakan dan kecernaan sapi yang lebih baik.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka, Jakarta. Anggorodi, R., 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta. Anggorodi. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Jakarta.

Bamualim. 1994. Usaha Peternakan Sapi Perah di Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Peternakan dan Aplikasi Paket Teknologi Pertanian. Sub Balai Penelitian Ternak Lili/Balai Informasi Pertanian Noelbalki Kupang 1-3 Februari 1994.

Bandini, Y. 1999. Sapi Bali. Penebar Swadaya, Jakarta.

Crampton, E.W. dan L.E. Harris. 1969. Applied Animal Nutrition. The Use of Feedstuffs in The Formulation of Lifestock Rations. 2nd Ed. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.

Cullison. A. E. 1978. Feed and Feeding. Prantice Hall of India Private Limited, New Delhi.

Curch, D. C. and W. E. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3rd ed. John Willy and Sons, Inc. United States of America.

Davendra, C. 1997. Utilization of Feeding Stuff for Livestock in South East Asia, Malaysia Agricultural Research and Development Institute. Serdang Malaysia.

Davendra, C. T. Lee Kok Choo and M. Phatmasingham. 1973. The productivity of Bali cattle in Malaysia. Malaysian Agricultural Journal 49: 183.

Doeschate R. A. H. M., C. W. Scheele., V. V. A. M Schreurs dan J.D Vander Klis. 1993. Digestibility. Studies in Broiler Chickens. Influence of Genotype, Age, Sex and Methode of Determination, British Poultry Science.

Frandson, R. D. 1992. Anataomi dan Fisiologi Ternak. Gajah Mada University, Yogyakarta.

Ginting, S.P. 1992. Antara Konsumsi dan Kecernaan. Bul. PPSKI. Tahun VIII(37) : 23 – 27.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka, Jakarta. Anggorodi, R., 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta. Anggorodi. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Jakarta.

Bamualim. 1994. Usaha Peternakan Sapi Perah di Nusa Tenggara Timur.

Prosiding Seminar Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian

Peternakan dan Aplikasi Paket Teknologi Pertanian. Sub Balai Penelitian Ternak Lili/Balai Informasi Pertanian Noelbalki Kupang 1-3 Februari 1994.

Bandini, Y. 1999. Sapi Bali. Penebar Swadaya, Jakarta.

Crampton, E.W. dan L.E. Harris. 1969. Applied Animal Nutrition. The Use of Feedstuffs in The Formulation of Lifestock Rations. 2nd Ed. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.

Cullison. A. E. 1978. Feed and Feeding. Prantice Hall of India Private Limited, New Delhi.

Curch, D. C. and W. E. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3rd ed. John Willy and Sons, Inc. United States of America.

Davendra, C. 1997. Utilization of Feeding Stuff for Livestock in South East Asia, Malaysia Agricultural Research and Development Institute. Serdang Malaysia.

Davendra, C. T. Lee Kok Choo and M. Phatmasingham. 1973. The productivity of Bali cattle in Malaysia. Malaysian Agricultural Journal 49: 183.

Doeschate R. A. H. M., C. W. Scheele., V. V. A. M Schreurs dan J.D Vander Klis. 1993. Digestibility. Studies in Broiler Chickens. Influence of

Genotype, Age, Sex and Methode of Determination, British Poultry

Science.

Frandson, R. D. 1992. Anataomi dan Fisiologi Ternak. Gajah Mada University, Yogyakarta.

Ginting, S.P. 1992. Antara Konsumsi dan Kecernaan. Bul. PPSKI. Tahun VIII(37) : 23 – 27.

Hanafiah, K. A. 2003. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Raja Gravindo Persada, Jakarta.


(2)

Hamdan. 2005. IntegrasiTernak Ruminansia dalam Ekosistem Pertanian. USU-Press, Medan.

Hanafiah, K. A. 2003. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Raja Gravindo Persada, Jakarta.

Hardianto. R., 2000. Teknologi Complete Feed Sebagai Alternatif Pakan Ternak Ruminansia. Makalah BPTP Jawa Timur, Malang.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Hendratno, C., J. V. Nolan and R. A. Leng. 1991. The Importance of Urea

Molases Multinutrient Block for Ruminal Production in Indonesia. Proc. Of

an Int. Symp. On Nuclear and Related Tech. In Animal Prod. and Health, IAEA/FOA.

Herweijer, C. H. 1947. De ontwikkeling der Runderteelt in Zuid Celebes en de megelijkheit tot het stichten van Ranch Bedrijven. Hemera Zoa 56: 222.

http ://insidewinme.blogspot.com/penggunaan BM

Ibrahim, N. M. N. 1998. Non-Conventional Feed Resources and Fibrous Agricultural Residues Strategies fir Expand Utilitazion. International Development Research Center Indian Council of Agricultural Research, India.

Kearl, L.C., 1982. Nutrient Requirement of Ruminant in Developing Countries. International Feedstuff Institute Utah Agriculture Experimants Station. Utah State University, Logan.

Kirby, G. M. W. 1979. Bali cattle in Australia. World Review of Animal Production. 31. p: 24.

Kopti D.T. II Sumedang. 1999. Data Pemakaian Kacang Kedele. Laporan Tahunan.

Laboratorium Ilmu Makanan Ternak. 2005. Departemen Peternakan FP USU, Medan.

Laboratorium Ilmu Makanan Ternak. 2000. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak. 2006. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.


(3)

Leng, R. A. 1995. A Short Course on the Rational Use of Molases/Urea

Multinutrient Block for Supplementation of Ruminans Feed Crop Residues, Port Quality Forages and Agro Industrial by Products Low in Protein. Produced Initially for FAO.

Mariani, N.P. 1994. Pengaruh Penggunaan Ubi Jalar-Urea Kompleks dalam Konsentrat Terhadap Pertumbuhan Sapi FH Jantan. Tesis Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Meijer, W.Ch. P. 1962. Das Balirind A Ziemsen Verslag, Wittenberg Lutherstandt.

Murtidjo, B. A. 1993. Memelihara Domba. Kanisus, Yogyakarta.

Namikawa, T. and W. Widodo. 1978. Electrophoretic variation of hemoglobulin and serum albumin in Indonesian cattle including Bali cattle. Japan

Journal of Zootechnical Science 49: 11.

Namikawa, T., Y Matsuda, K. Kondo, B. Pangestu, and H. Martojo. 1980. Blood groups and blood protein polymorphisms of different type s of cattle in Indonesia. In the origin and phylogeny of Indonesia Native Livestock 33-35. In The Research Group of Overseas Scientific Survey.

Nitis, I.M., K.Lana, T.G.O. Susila, W. Sukanten, and Uchida. 1989. Chemical Composition of The Grass, Shrub and Tree Leaves in Bali. Report University Udayana.

Novirma, J. 1991. Penyediaan, Pemanfaatan dan Nilai Gizi Limbah Pertanian

Sebagai Makanan Ternak di Sumatera Barat. Pusat Penelitian, Universitas

Andalas, Padang.

Owen, J. B. 1979. Complet Diets for cattle and Sheep. Farming Press Ltd., Suffolk, England.

Pane, I. 1989. Pelaksanaan Perbaikan Mutu Genetik Sapi Bali. Denpasar, Bali. 1990. Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali di P3 Bali. Proceding Seminar Nasional Sapi Bali. Bali 20 – 22 September 1990 A42 – A46. Pane, I. 1990. Upaya meningkatkan mutu genetik sapi Bali di P3Bali. Proc.

Seminar Nasional Sapi Bali 20–22 September. hlm: A42.

Pane, I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Proc. Seminar Nasional Sapi Bali 2–3 September. hlm: 50.

Parakkasi, A. 1990. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Cetakan Pertama. Penerbit Angkasa, Bandung.


(4)

Parakkasi, A., 1995. Ilmu Makanan dan Ternak Ruminan. UI Pers, Jakarta. Prawirokusumo, S. 1993. Ilmu Gizi Komperatif. BPFE, Yogyakarta.

Preston T. R and Leng, R. A. 1990. A Short Course on the Rational Use of Molases/Urea Multinutrient Block for Sumpplementation of Ruminan Feed Crop Residues, Port Quality Forages and Agro Industrial by Products low in Protein. Produced Initially for FAO.

Rahjan, S. K. and N. N. Pathak. 1979. Management and Feeding of Buffaloes. Ltd., New Delhi.

Rangkuti, M., A. Musofie, P. Sitorus, I. P. Kompiang, N. Kusumawadhani dan A. Roesjat. 1985. Pemanfaatan Daun Tebu Untuk Pakan Ternak di Jawa

Timur. Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu Untuk Pakan Ternak. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, 5 Maret 1985, Grati.

Ranjhan, S.K. 1980. Animal Nutrition In The Tropics. Vikas Publishing Hause P. and T Ltd., New Delhi.

Rasyaf, M. 1992. Seputar Makanan Ayam Kampung. Kanisius, Yogyakarta. Schaefer, D.M., C.L. Davis and M.P. Bryant. 1980. Ammonia saturation constant

for predominant species of rumen bacteria. J. Dairy. Sci. 63:1248.

Scherf, B. D. 1995. World Watch List–for domestic animal diversity. 2nd ed. FAO–UNEP.

Seiffert, G. W. 1978. Simulated Selection for Reproductive Rate in Beef Cattle. J. Anim. Sci. 61 : 402-409.

Siregar, S. B., 2003. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya, Jakarta. Smith dan Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan

Hewan Percobaan di Daerah Tropis, Universitas Indonesia, Yakarta. Smith, G.E. dan D.C. Church, 1979. Taste, appetite and regulation of food intake.

Dalam: D.C. Church (Editor). Digestive Physiologi of Ruminants. 2nd Ed. A Reston Book. Prentice Hall, Englewood Cliffs.

Sodiq, A. dan Z. Abidin. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis

Penggemukan Domba. Agro Media Pustaka, Jakarta.

Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


(5)

Sumadi, N. Ngadiono dan Soeparno, 1991. Penampilan produksi sapi Fries Holland, Sumba Ongole dan Brahman Cross yang dipelihara secara feedlot (penggemukan). Prosiding Seminar Pengembangan Peternakan dalam

Menunjang Pembangunan Ekonomi Nasional. Fakultas Peternakan,

Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto. Hal: 116-126.

Sumoprastowo. 1993. Beternak Domba Pedaging dan Wol. Bharata, Jakarta. Sutrisno, D., Adisuwiryo, Munadi dan Sudjadi. 1978. Heat Tolerance pada Sapi

Peranakan dan Ongole di Kabupaten Banyumas. Prosiding Seminar

Ruminansia No. 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Talib, C., A. Bamualim, dan G. Hinch. 1998. Factors influencing preweaning and weaning weights of Bali (Bos sundaicus) calves. Proc. 6th World

Conggres on Genetics Applied to Livestock Production Vol. 23: 141.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadimomodjo dan S. Prawirokusumo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Univeritas Gajah Mada, Yogakarta.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Tillman, A.D.H., Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lepdosoekojo. 1981. Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM-Press, Yogyakarta.

Tim Fatemata. 1981. Studi Pembuatan Kecap Ampas Tahu. Makalah Seminar Ekonomi. IPB, Bogor.

Tomaszewska, M., T.D. Chaniago and I.K. Sutama. 1988. Reproduction in Relation to Animal Production in Indonesia. Institut Pertanian Bogor-Australia Project. Bogor.

Tolleng, A. L. 2002. Perbaikan Tingkat Reproduski Ternak Ruminansia di Daerah Tropis Melalui Suplementasi Pakan Urea Multinutrient Molasses Block (UMMB). Makalah Kursus Singkat Penggunaan Teknologi Radioimmunoassay (RIA) dan Urea Molasses Multinutrient Block (UMMB) dalam Biologi Reproduksi Ternak. Kerjasama Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Makassar.

Trikesowo, N., Sumardi dan Suyadi., 1993. Kebijakan Riset di Bidang Pengembangan dan Perbaikan Mutu Sapi Potong dengna Teknik Ladang


(6)

Ternak dan feedlot. Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Peternakan, Yogyakarta.

Wahyono, D. E. dan R. Hardianto., 2004. Pemanfaatan Sumber Daya Pakan Lokal Untuk Pengembangan Usaha Sapi Potong. Jurnal Lokakarya Sapi Potong. Grati, Pasuruan.

Webster, J. 1987. Understanding the Dairy Cow BS Profesional Books. Oxford London, Endinburg, Boston, Palo Alto, Melbourne.

Widayati. E. dan Widalestari, Y., 1996. Limbah Untuk Pakan Ternak. Trubus Agrisorana, Surabaya.

Wiliamson. G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Zain, M., 1999. Pengaruh taraf bungkil biji kapok dalam ransum kambing perah

laktasi terhadap kecernaan dan karakteristik kondisi rumen. Jurnal


Dokumen yang terkait

Penggunaan Pelepah dan Daun Kelapa Sawit Terfermentasi oleh Aspergillus niger Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik pada Sapi Bali (Bos sondaicus)

0 48 66

Pelepah dan Daun Kelapa Sawit Terfermentasi oleh Aspergillus niger Dalam Konsentrat Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum Pada Sapi iiiBali (Bos sondaicus)

0 38 67

Penambahan Probiotik Starbio pada Suplemen Multinutrisi Terhadap Analisis Usaha Sapi Bali (Bos sondaicus).

0 64 69

PENGARUH PEMBERIAN ZEOLIT BERAMONIUM DAN MINERAL ORGANIK PADA RANSUM TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK PADA SAPI PO

0 6 47

PENGARUH SUPLEMENTASI PROBIOTIK CAIR EM4 TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK RANSUM DOMBA LOKAL JANTAN

0 4 29

SUPLEMENTASI MINYAK IKAN LEMURU TERPROTEKSI DAN L-CARNITIN DALAM RANSUM TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK PADA PAKAN SAPI PERAH LAKTASI.

0 1 4

SUPLEMENTASI L-KARNITIN DAN MINYAK IKAN TERPROTEKSI DALAM RANSUM TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK PADA KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE).

0 0 11

Penggunaan Pelepah dan Daun Kelapa Sawit Terfermentasi oleh Aspergillus niger Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik pada Sapi Bali (Bos sondaicus)

0 0 17

Penggunaan Pelepah dan Daun Kelapa Sawit Terfermentasi oleh Aspergillus niger Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik pada Sapi Bali (Bos sondaicus)

0 0 13

Pelepah Daun Kelapa Sawit Terfermentasi Oleh Aspergillus Niger Dalam Konsentrat Terhadap Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan Organik Pada Sapi Bali (Bos SonDaicus)

0 0 11