Analisa Perhitungan Konstruksi Beton Bertulang Berdasarkan Metode Kekuatan Batas (Ultimate Design) Dan Metode Elastis Design

(1)

ANALISA PERHITUNGAN KONSTRUKSI BETON BERTULANG

BERDASARKAN METODE KEKUATAN BATAS

(ULTIMATE DESIGN) DAN METODE ELASTIS DESIGN

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk menempuh Colloqium Doctum/Ujian Sarjana Teknik Sipi

l

Dikerjakan Oleh :

RETNO PRASETYANTI

NIM : 070424022

FAKULTAS TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Analisa Perhitungan Konstruksi Beton Bertulang Berdasarkan

Metode Kekuatan Batas (Ultimate Design) dan Elastis Design

(Studi Literatur)

TUGAS AKHIR

Diajukan untuk Melengkapi Tugas- tugas

Dan Memenuhi Syarat untuk Menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh: RETNO PRASETYANTI

NIM. 070 424 022

Disetujui oleh : Pembimbing

Nursyamsi, ST, MT NIP . 19770623 200501 2 001

Penguji I Penguji II Penguji III

Ir. Sanci Barus, MT Ir. Besman Surbakti, MT Ika Puji Hastuty, ST, MT NIP. 195209011981121002 NIP.195410121980031004 NIP. 197708072008122002

Diperiksa Oleh : Diketahui Oleh :

Koordinator PPE Departemen Teknik Sipil Ketua Departemen Teknik Sipil

Ir. Faizal Ezeddin, MS Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan NIP. 19490713 198003 1 001 NIP. 19561224 198103 1 002

FAKULTAS TEKNIK DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL PROGRAM PENDIDIKAN EKSTENSION

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010


(3)

ABSTRAK

ANALISA PERHITUNGAN KONSTRUKSI BETON BERTULANG BERDASARKAN METODE KEKUATAN BATAS (ULTIMATE DESIGN) DAN

METODE ELASTIS DESIGN Oleh : Retno Prasetyanti (070424022)

Perlu disadari bahwa suatu peraturan bangunanan bukan hanya diperlukan sebagai petunjuk praktis yang disarankan untuk dilaksanakan, bukan hanya merupakan buku pegangan pelaksanaan, bukan pula dimaksudkan untuk menggantikan pengetahuan, pertimbangan teknik, serta pengalaman-pengalaman di masa lalu. Suatu peraturan bangunan jadi pedoman pihak perencana untuk menghasilkan struktur bangunan yang ekonomis dan yang lebih, adalah aman. Baik dari perhitungan maupun teknik pelaksanaan struktur perlu diperhatikan demi kelancaran pelaksanaan, keefektifan, dan mutu yang dihasilkannya. Inilah yang mendorong penulis memilih topik pembahasan dalam tugas akhir ini.

Topik bahasan ini dititikberatkan pada perencanaan konstruksi beton bertulang khususnya pada balok dan kolom pada gedung perkantoran 6 (enam) lantai. Tujuan penulisan tugas akhir ini adalh untuk membandingkan hasil perencanaan struktur beton bertulang yang mengacu pada PBI 1971 dan SK SNI 03-2847-2002 yang merupakan peraturan terbaru di Indonesia.

Metode penulisan dalam tugas akhir ini secara garis besar berupa: Studi literatur (Studi kepustakaan), pemodelan dengan mengambil contoh, dan dari pemodelan tersebut dibandingkan hasil perencanaannya.

Dari hasil perencanaan didapatkan: 1) Metode perencanaan elastis didasarkan pada anggapan bahwa sifat dan prilaku beton bertulang dianggap sama dengan baja; 2) Pada metode kekuatan batas (ultimate design) menganggap bahwa beton bertulang sebagai bahan yang bersifat tidak serba sama (non homogen) dan tidak sepenuhnya elastis; 3) Langkah-langkah perencanaan balok dan kolom untuk masing-masing peraturan.

Kesimpulan: 1) Perhitungan penulangan balok pada SK SNI 03-2847-2002 lebih efisien 42,44% dibandingkan dengan PBI 1971; 2) Perhitungan penulangan kolom pada PBI 1971 lebih efisien 38,85% dibandingkan dengan SK SNI 03-2847-2002, hal ini dikarenakan pada peraturan yang baru ini, perhitungan penulangan kolom dan tulangan geser lebih daktail bila dibandingkan dengan peraturan yang lama; 3) SK SNI 03-2847-2002 memberikan perubahan dan tambahan standard perencanaan struktur terhadap peraturan lama, khususnya PBI 1971. Dari penyusunan tugas akhir ini, SK SNI 03-2847-2002 memberikan hasil dimensi yang lebih ekonomis dari Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971 untuk balok.

Disarankan agar: 1)hendaknya setiap peraturan yang baru yang telah diterbitkan hendaknya dimasyarakatkan oleh pemerintah kepada para pelaksana pembangunan, termasuk kepada mahasisiwa melalui berbagai penyuluhan akan pentingnya penerapan peraturan baru yang telah diterbitkan; 2) Pembaharuan tersebut semata-mata bukan hanya untuk keuntungan beberapa pihak, akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan dalam upaya mengimbangi pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya yang berkaitan dengan struktur beton bertulang.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas anugerah Tuhan Yang Maha Esa kepada kita semua, khususnya kepada penulis yang hingga pada saat ini masih diberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul :

ANALISA PERHITUNGAN KONSTRUKSI BETON BERTULANG BERDASARKAN METODE KEKUATAN BATAS (ULTIMATE DESIGN) DAN

METODE ELASTIS DESIGN

Tugas akhir ini disusun untuk diajukan sebagai syarat dalam ujian sarjana Teknik Sipil bidang struktur pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa isi dari tugas akhir ini masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pemahaman penulis. Untuk penyempurnaan, saran dan kritik dari bapak dan ibu dosen serta rekan mahasiswa sangatlah penulis harapkan.

Penulis juga menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuuan dan dorongan dari berbagai pihak, tugas akhir ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan rasa hormat kepada :

1. Bapak Prof. DR. Ing. Johannes Tarigan, selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Ir. Faizal Ezeddin, MS, selak Koordinator Program Pendidikan Sarjana Ekstension Fakultas Departemen Teknik Sipil.

3. Ibu Nursyamsi, ST, MT, selaku Dosen Pembimbing tugas akhir. 4. Orang Tua yang selalu mendukung dalam segala hal.


(5)

5. Seluruh pegawai administrasi yang telah memberikan bantuan dan kemudahan dalam penyelesaian administrasi.

6. Kakanda Mhd. Ibarhim Syafi’i Siahaan yang juga selalu bersedia membantu saya dalam penyelesaian laporan ini.

7. Kepada aldeson simatupang, jaka suranto, dan juga teman-teman yang lain, terima kasih untuk segala dukungan dan doanya.

8. Teruntuk sahabat-sahabatku, neni, lidya, yovi, senny siti, dan yang lain, mohon maaf karena tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih untuk segala bentuk perhatian, dukungan, doa dan semangatnya.

9. Rekan-rekan mahasiswa yang turut membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini. Akhir kata penulis berharap kiranya tugas akhir ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2010 Hormat saya, Penulis

RETNO PRASETYANTI NIM : 070 424 022


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR NOTASI ... iv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 4

1.3 Maksud dan Tujuan ... 5

1.4 Batasan Masalah ... 5

1.6 Metode Penulisan ... 11

1.7 Sistematika Penulisan ... 11

BAB II. LANDASAN TEORI II.1 Metode Perencanaan dan Persyaratan ... 12

II.1.1 Peraturan dan Standar Perencanaan ... 12

II.1.2 Baja Tulangan ... 14

II.1.3 Provisi Keamanan ... 17

II.2 Balok Persegi ... 19

II.2.1 Metode Analisis dan Perencanaan ... 19

II.2.2 Kuat Lentur Penampang Balok Persegi ... 24

II.2.3 Kondisi Penulangan Seimbang ... 26

II.2.4 Persyaratan Kekuatan ... 29


(7)

II.2.6 Analisis Balok Bertulangan Rangkap... 31

II.3 Perencanaan Balok ... 33

II.3.1 Metode Elastis Design (Metode Tegangan Kerja)/PBI 71 33 II.3.1.a Umum ... 33

II.3.1.b Analisis Balok Persegi Dengan Lentur Cara-n... 38

II.3.1.c Perencanaan Balok Persegi ... 41

II.3.2 Metode Kekuatan Batas/SK SNI 03-2847-2002 ... 44

II.3.2.a Umum ... 44

II.3.2.b Keruntuhan Lentur Akibat Kondisi Batas ... 47

II.3.2.c Keruntuhan Akibat Geser ... 52

II.3.2.d Analisa Balok Terlentur Bertulangan Tarik Saja 53 II.3.2.e Analisis Balok Persegi Bertulangan Rangkap .... 55

II.4 Struktur Kolom ... 59

II.4.1 Umum ... 59

II.4.2 Hubungan Beban Aksial dan Momen ... 62

II.4.3 Penampang Kolom Bertulangan Seimbang ... 63

II.4.4 Faktor Reduksi Kekuatan Untuk Kolom ... 65

II.5 Perencanaan Kolom ... 66

II.5.1 Kekuatan Kolom Eksentrisitas Kecil ... 66

II.5.2 Kekuatan Kolom Eksentrisitas Besar ... 71

II.6 Desain Kapasitas ... 73

BAB III METODE PERENCANAAN ... 73

III.1 Perencanaan dan Persyaratan Elastis Design/PBI’71 ... 73

III.1.1 Perencanaan Penulangan Balok ... 73


(8)

III.1.1.b Perencanaan Tulangan Balok ... 76

III.1.2 Perencanaan Kolom ... 80

III.1.2.a Persyaratan ... 80

III.1.2.b Perencanaan Tulangan Kolom ... 81

III.2 Perencanaan dan Persyaratan Kekuatan Batas/SNI 2002 ... 85

III.2.1 Perencanaan Penulangan ... 85

III.2.1.a Persyaratan ... 85

III.2.2 Perencanaan Tulangan Balok ... 87

III.2.3 Perencanaan Tulangan Kolom ... 97

BAB IV APLIKASI dan PEMBAHASAN ... 100

IV.I Aplikasi ... 100

IV.1.1 Umum... 100

IV.1.2 Data Perencanaan... 100

IV.1.3 Analisis Gaya-Gaya Yang Bekerja Pada Struktur ... 105

IV.1.4 Analisis Beban Geser Dasar Akibat Gaya Gempa ... 107

IV.1.5 Perhitungan Portal ... 109

IV.1.6 Analisis Beban Akibat Gaya Gravitasi ... 111

IV.1.7 Analisis Struktur Dengan Menggunakan SAP Versi 8 . 114 IV.1.8 Perencanaan Tulangan Balok dan Kolom ... 118

IV.1.8.a Perencanaan Tulangan Balok Berdasarkan PBI 118 IV.1.8.b Perencanaan Tulangan Kolom Berdasarkan PBI 126 IV.1.8.c Perencanaan Tulangan Balok Brdsrkan SNI ’02 130 IV.1.8.d Perencanaan Tulangan Kolom Brdsrkn SNI ’02 136 IV.2 Pembahasan ... 140


(9)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 142 V.1 Kesimpulan... 142 V.2 Saran ... 143 DAFTAR PUSTAKA


(10)

ABSTRAK

ANALISA PERHITUNGAN KONSTRUKSI BETON BERTULANG BERDASARKAN METODE KEKUATAN BATAS (ULTIMATE DESIGN) DAN

METODE ELASTIS DESIGN Oleh : Retno Prasetyanti (070424022)

Perlu disadari bahwa suatu peraturan bangunanan bukan hanya diperlukan sebagai petunjuk praktis yang disarankan untuk dilaksanakan, bukan hanya merupakan buku pegangan pelaksanaan, bukan pula dimaksudkan untuk menggantikan pengetahuan, pertimbangan teknik, serta pengalaman-pengalaman di masa lalu. Suatu peraturan bangunan jadi pedoman pihak perencana untuk menghasilkan struktur bangunan yang ekonomis dan yang lebih, adalah aman. Baik dari perhitungan maupun teknik pelaksanaan struktur perlu diperhatikan demi kelancaran pelaksanaan, keefektifan, dan mutu yang dihasilkannya. Inilah yang mendorong penulis memilih topik pembahasan dalam tugas akhir ini.

Topik bahasan ini dititikberatkan pada perencanaan konstruksi beton bertulang khususnya pada balok dan kolom pada gedung perkantoran 6 (enam) lantai. Tujuan penulisan tugas akhir ini adalh untuk membandingkan hasil perencanaan struktur beton bertulang yang mengacu pada PBI 1971 dan SK SNI 03-2847-2002 yang merupakan peraturan terbaru di Indonesia.

Metode penulisan dalam tugas akhir ini secara garis besar berupa: Studi literatur (Studi kepustakaan), pemodelan dengan mengambil contoh, dan dari pemodelan tersebut dibandingkan hasil perencanaannya.

Dari hasil perencanaan didapatkan: 1) Metode perencanaan elastis didasarkan pada anggapan bahwa sifat dan prilaku beton bertulang dianggap sama dengan baja; 2) Pada metode kekuatan batas (ultimate design) menganggap bahwa beton bertulang sebagai bahan yang bersifat tidak serba sama (non homogen) dan tidak sepenuhnya elastis; 3) Langkah-langkah perencanaan balok dan kolom untuk masing-masing peraturan.

Kesimpulan: 1) Perhitungan penulangan balok pada SK SNI 03-2847-2002 lebih efisien 42,44% dibandingkan dengan PBI 1971; 2) Perhitungan penulangan kolom pada PBI 1971 lebih efisien 38,85% dibandingkan dengan SK SNI 03-2847-2002, hal ini dikarenakan pada peraturan yang baru ini, perhitungan penulangan kolom dan tulangan geser lebih daktail bila dibandingkan dengan peraturan yang lama; 3) SK SNI 03-2847-2002 memberikan perubahan dan tambahan standard perencanaan struktur terhadap peraturan lama, khususnya PBI 1971. Dari penyusunan tugas akhir ini, SK SNI 03-2847-2002 memberikan hasil dimensi yang lebih ekonomis dari Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971 untuk balok.

Disarankan agar: 1)hendaknya setiap peraturan yang baru yang telah diterbitkan hendaknya dimasyarakatkan oleh pemerintah kepada para pelaksana pembangunan, termasuk kepada mahasisiwa melalui berbagai penyuluhan akan pentingnya penerapan peraturan baru yang telah diterbitkan; 2) Pembaharuan tersebut semata-mata bukan hanya untuk keuntungan beberapa pihak, akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan dalam upaya mengimbangi pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya yang berkaitan dengan struktur beton bertulang.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini perencanaan beton bertulang dituntut tidak hanya mampu memikul gaya tekan dan tarik saja, namun juga dapat direncanakan seefisien mungkin.

Ada dua filsafat yang selama ini telah tampil. Pertama adalah Metode Tegangan Kerja (Working Stress Methode), yang berpusat pada beban layan (yaitu beban pemakaian struktur), yang terutama dipakai sejak awal tahun 1900-an sampai 1960-an, yang kedua adalah Metode Rencana Kekuatan (Strength Design Methode), yang terpusat pada keadaan pembebanan yang melampaui beban kerja pada saat struktur terancam keruntuhan, yang mulai dikenal luas sejak 1983.

Di Indonesia, Peraturan atau Pedoman Standard yang mengatur perencanaan dan pelaksanaan bangunan beton telah beberapa kali mengalami perubahan dan pembaharuan. Sejak Peraturan Beton Bertulang Indonesia tahun 1955, kemudian PBI 1971, standard Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Nomor SK SNI T-15-1991-03 dan yang terakhir adalah Standar SK SNI 03-2847-2002. Pembaharuan tersebut tiada lain dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dalam upaya mengimbangi pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya yang berhubungan dengan beton atau beton bertulang.

PBI 1955 merupakan terjemahan dari GBVI (Gewapend Beton Voorchriften in

Indonesia) 1935, ialah suatu perubahan pemerintahan penjajah Belanda di Indonesia. PBI

1955 memberikan ketentuan tata cara perencanaan menggunakan metode elastik atau cara n, dengan menggunakan nilai banding modulus elastisitas baja dan beton, n yang bernilai


(12)

tetap untuk segala keadaan bahan dan pembebanan. Batasan mutu bahan dalam peraturan baik, untuk beton maupun tulangan baja masih rendah disamping peraturan tata cara pelaksanaan yang sederhana sesuai dengan taraf teknologi yang dikuasai pada waktu itu. PBI 1971 NI-2 diterbitkan dengan memberikan beberapa pembaharuan terhadap PBI 1955, diantaranya yang terpenting adalah:

1. Didalam perhitungan menggunakan metode elastik atau disebut juga sebagai cara n atau metode tegangan kerja, menggunakan nilai n yang variabel tergantung pada mutu beton dan waktu (kecepatan) pembebanan, serta keharusan untuk memasang tulangan rangkap bagi balok-balok yang ikut menentukan struktur.

2. Diperkenalkannya perhitungan metode kekuatan batas (ultimate) yang meskipun belum merupakan keharusan untuk menggunakannya, ditengahkan sebagai alternatif.

3. Diperkenalkannya dasar-dasar perhitungan tahan gempa.

Standar Tata Cara Perhitungan Struktur Beton nomor: SK-SNI 03-2002 memberikan ketentuan-ketentuan, antara lain yang terpenting adalah:

1. Diperkenalkannya perhitungan perencanaan menggunakan analisis komputer dengan persyaratan tertentu, tanpa meninggalkan analisis struktur dengan menggunakan mekanika teknik yang baku.

2. Konsep analisis harus dilakukan dengan model-model matematis yang mensimulasikan keadaan struktur yang sesunggunya dilihat dari segi bahan dan kekakuan unsur-unsurnya.

3. Tata cara hitungan geser dan puntir dibedakan atas komponen struktur non-prategang dan prategang.

Melalui penelitian-penelitian yang dilakukan, peraturan –peraturan beton yang ada terus direvisi dengan harapan dapat memberikan suatu standard rancangan bangunan yang


(13)

semakin baik. Beberapa perubahan dapat ditemukan antara peraturan-peraturan yang lama dengan yang baru seperti masalah mengenai komposisi bahan beton, detail-detail konstruksi, dasar-dasar perhitungan dan syarat-syarat umum konstruksi seperti faktor beban dan syarat kekuatan serta beberapa hal lainnya.

Dengan adanya peraturan-peraturan yang baru ini, diharapkan suatu bangunan pada masa yang akan datang akan dapat dibangun dengan tingkat keamanan konstruksi yang lebih tinggi serta juga dapat menekan biaya pembangunan hingga semakin rendah dengan memanfaatkan sifat-sifat beton bertulang agar dapat bekerja pada batas kemampuannya.

Pada peraturan lama seperti PBI 1971, metode analisis struktur masih menggunakan metode elastis, sedangkan pada peraturan yang lebih baru metode analisis sudah menggunakan metode kemampuan batas, sehingga dari hal ini dapat dilihat jelas tingkat kemampuan yang lebih tinggi dari suatu komponen beton bertulang telah digunakan dalam peraturan -peraturan baru sehingga kekuatan potensial yang dimiliki oleh beton bertulang akan dapat dipergunakan dengan lebih maksimal.

1.2Permasalahan

Meskipun di Indonesia telah banyak dikeluarkan peraturan-peraturan mengenai beton bertulang, untuk beberapa bangunan yang lama ataupun yang baru, masih sering dijumpai bangunan tersebut mengacu pada peraturan yang lama. Hal demikian terjadi karena beberapa bangunan dibangun sebelum adanya peraturan yang baru. Sedangkan jika dikehendaki bangunan lama untuk diperbaiki dengan menerapkan standar-standar yang ada dalam peraturan baru, mungkin sebagian bangunan ini akan memerlukan biaya yang sangat besar.

Namun berbeda halnya dengan bangunan yang baru, yang dibangun menurut peraturan yang terbaru yang telah dikeluarkan namun masih saja dijumpai bangunan yang baru


(14)

tersebut masih mengacu pada peraturan yang lama. Hal ini mungkin disebabkan para pelaksana pembangunan belum terbiasa dengan peraturan yang baru, dan senantiasa menggunakan peraturan yang tlah lama digunakan, sehingga peraturan yang baru dirasa sangat tidak efektif bagi mereka.

Maka dari itu, setiap peraturan-peraturan yang baru hendaknya dimasyarakatkan oleh pemerintah kepada para pelaksana pembangunan melalui berbagai penyuluhan untuk menerapkan peraturan baru yang telah diterbitkan.

Untuk keperluan itu juga, dalam tugas akhir ini akan dibahas beberapa perbedaan yang dapat ditemukan dari Peraturan PBI 1971 sebagai pembaharuan terhadap PBI 1955 yang masih menggunakan Metode Elastis dan peraturan terbaru yang ada yaitu SK SNI 03-2847-2002.

1.3Maksud dan Tujuan

Tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini adalah untuk membandingkan hasil perencanaan struktur beton bertulang yang direncanakan dengan mengacu pada peraturan PBI 1971 dengan yang direncanakan mengacu pada peraturan beton SK SNI 03-2847-2002 yang merupakan peraturan beton yang terbaru di Indonesia pada masa kini.

1.4Batasan Masalah

Tugas Akhir ini membatasi permasalahan pada perencanaan beton bertulang untuk kolom dan balok pada bangunan 6 (enam) lantai dengan menggunakan Metode Elastis dan Kekuatan Batas (Ultimit).


(15)

Adapun data-data perencanaan sebagai berikut:

1. Konstruksi beton bertulang yang terdiri 6 (enam) lantai dengan panjang 24 m, lebar 12 m dan tinggi 21 m. Dengan dimensi-dimensi yang ditetapkan sebagai:

• Balok = 20 x 50 cm

• Kolom = 50 x 50 cm

• Plat lantai = 12 cm

• Plat atap = 10 cm

2. Dalam perencanaan ini digunakan material beton dengan mutu beton (fc’) = 30 Mpa dan material baja dengan mutu baja (fy) = 350 Mpa.

3. Komponen struktur yang dibandingkan hanyalah balok persegi dan kolom. 4. Besaran yang dibandingkan hanya mengenai dimensi balok dan kolom saja.

5. Analisa yang digunakan adalah analisa elastis untuk PBI 1971 dan ultimit untuk SK SNI 03-2847-2002.

6. Perletakan struktur gedung adalah jepit-jepit.

7. Beban-beban yang bekerja yang disesuaikan dengan peraturan yang berlaku yaitu Peraturan SK SNI 03-2847-2002

a. Beban Mati

Besarnya beban mati yang akan ditentukan harus berdasarkan berat isi pada bahan-bahan bangunan tersebut, diantaranya:

• Beton Bertulang = 24 KN/m3

• Pasangan Batu-Bata = 17 KN/m

• Plafound = 0,17 KN/m b. Beban Hidup


(16)

• Berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia, beban hidup pada lantai untuk gedung yang berfungsi sebagai perkantoran adalah sebesar 250 kg/m². Sedangkan beban hidup untuk atap adalah 100 kg/m².

c. Beban Gempa

Analisa gaya gempa menggunakan analisis statik ekivalen menurut SK SNI 03-2847-2002. Direncanakan bangunan gedung perkantoran beton bertulang dibangun pada wilayah zone III diatas tanah lunak. Dengan faktor keamanan (I) adalah 1,50. Utuk sistem rangka pemikul momen menengah digunakan faktor reduksi gempa (R) adalah 5,5.

8. Untuk Peraturan Beton Indonesia 1971, kombinasi perhitungan terhadap pembebanan beban tetap dan sementara, yaitu:

• DL

• DL + LL

• DL +LL + Qx

• DL + LL – Qx

• DL +LL + Qy

• DL + LL –Qy

• DL + Qx


(17)

9. Kombinasi pembebanan yang digunakan untuk SNI-03-2847-2002 adalah sesuai dengan yang tercantum pada SNI-03-2847-2002, yaitu:

• 1,4 DL

• 1,2 DL + 1,6 LL

• 1,2 DL + 1,0 LL + 1,0 Qx

• 1,2 DL + 1,0 LL – 1,0 Qx

• 1,2 DL + 1,0 LL + 1,0 Qy

• 1,2 DL + 1,0 LL – 1,0 Qy

• 0,9 DL + 1,0 Qx

• 0,9 DL – 1,0 Qx

• 0,9 DL + 1,0 Qy


(18)

Gambar 1.1 Denah Gedung

B 20x50 B 20x50

B 20x50

B 20x50 B 20x50

B 20x50 B 20x50

B 20x50 B 20x50

B 20x50

B 20x50 B 20x50

B 20x50

B 20x50 B 20x50

B 20x50

B 20x50 B 20x50

B 20x50 B 20x50

B 20x50 B 20x50

6.00

6.00

6.00 6.00


(19)

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50 K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50 B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50 B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

+1750 +1400 +1050 +700 +350 6.00 6.00 6.00 6.00

B 20 x 50

B 20 x 50 B 20 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50

B 20 x 50

±000


(20)

B 20 x 50 K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

B 20 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50 K 50 x 50

B 20 x 50 B 20 x 50 B 20 x 50 B 20 x 50 B 20 x 50

6.00 6.00 B 20 x 50 B 20 x 50

K 50 x 50

K 50 x 50 K 50 x 50

±000 +350 +700 +1050 +1400 +1750

+2100


(21)

1.5Metode Penulisan

Penulisan Tugas Akhir ini adalah untuk mendapatkan hasil perencanaan struktur beton bertulang yang paling efisien dengan metode perbandingan antara perencanaan beton bertulang yang menggunakan Metode Elastis dan Metode Kekuatan Batas (Ultimit).

Metode yang digunakan dalam skripsi ini secara garis besar berupa:

1. Studi Literatur, yaitu dengan bantuan buku-buku referensi dan pengetahuan yang diperoleh di bangku perkuliahan.

2. Pemodelan dengan mengambil contoh.

3. Dari pemodelan tersebut dibandingkan hasil perencanaan beton bertulang berdasarkan Metode Elastis dan Metode Kekuatan Batas (Ultimit).

1.6Sistematika Penulisan

Tugas akhir ini secara garis besar terdiri dari 5 (Lima) Bab yang masing-masing memiliki sub Bab.

Sistematika penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang, Tujuan, Batasan Masalah, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Landasan Teori BAB III : Meode Pembahasan BAB IV : Aplikasi dan Pembahasan BAB V : Kesimpulan dan Saran


(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Metode Perencanaan dan Persyaratan

II.1.1. Peraturan dan Standar Perencanaan Struktur Beton Bertulang

Peraturan dan standar persyaratan struktur bangunan pada hakekatnya ditujukan untuk kesejahteraan umat manusia, untuk mencegah korban manusia. Oleh karena itu, peraturan struktur bangunan harus menetapkan syarat minimum yang berhubungan dengan segi keamanan. Dengan demikian perlu disadari bahwa suatu peraturan bangunan bukanlah hanya diperlukan sebagai petunjuk praktis yang disarankan untuk dilaksanakan, bukan hanya merupakan buku pegangan pelaksanaan, bukan pula dimaksudkan untuk menggantikan pengetahuan, pertimbangan teknik, serta pengalaman-pengalaman di masa lalu. Suatu peraturan bangunan tidak membebaskan tanggung jawab pihak perencana untuk menghasilkan struktur bangunan yang ekonomis dan yang lebih penting, adalah keamanan.

Di Indonesia, peraturan atau pedoman standar yang mengatur perencanaan dan pelaksanaan bangunan beton bertulang telah beberapa kali mengalami perubahan dan pembaharuan, sejak Peraturan Beton Indonesia 1995 (PBI 1955) kemudian PBI 1971, kemudian Standar Tata Cara Penghitungan Struktur Beton SK SNI T-15-1991-03, dan diperbaharui dengan Standar Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung SK-SNI-03-2487-2002. Pembaharuan tersebut tiada lain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam upaya mengimbangi pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya yang berhubungan dengan beton ataupun beton bertulang.

PBI 1955 merupakan terjemahan dari GBVI (Gewapend Beton Voorschriften in


(23)

Indonesia. PBI 1955 memberikan ketentuan tata cara perencanaan menggunakan metode elastis atau cara n, dengan menggunakan nilai banding modulus elastisitas baja dan beton,

n, yang bernilai tetap untuk segala keadaan bahan dan pembebanan. Batasan mutu bahan di

dalam peraturan baik untuk beton maupun tulangan baja masih rendah disamping peraturan tata cara pelaksanaan yang sederhana sesuai dengan taraf teknologi yang dikuasai pada waktu itu. PBI 1971 NI-2 diterbitkan dengan memberikan beberapa pembaharuan terhadap PBI 1955, diantaranya yang terpenting adalah:

1) Di dalam perhitungan menggunakan metode elastik atau disebut juga dengan cara n atau metode tegangan kerja, menggunakan nilai n yang variabel tergantung pada mutu beton dan waktu (kecepatan) pembebanan, serta keharusan untuk memasang tulangan rangkap bagi balok-balok yang ikut menentukan kekuatan struktur;

2) Diperkenalkannya perhitungan metode kekuatan (ultimit) yang meskipun belum merupakan keharusan untuk memakai, hanya untuk alternatif;

3) Diperkenalkannya dasar-dasar perhitungan bangunan tahan gempa.

Sampai dengan saat ini, penguasaan pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan sifat dan prilaku struktur beton terus menerus mengalami perkembangan sehingga standar dan peraturan yang mengatur tata cara perencanaan dan pelaksanaannya juga menyesuaikan untuk selalu diperbaharui.

Semua Peraturan dan Pedoman Standar tersebut diatas diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia dan diberlakukan sebagai peraturan standar resmi. Dengan sendirinya apabila suatu dokumen mencantumkannya sebagai peraturan resmi yang harus diikuti, maka sesuai dengan prosedur yang berlaku peraturan tersebut berkekuatan hukum dalam pengendalian perencanaan dan pelaksanaan bangunan beton bertulang lengkap dengan sanksi yang diberlakukan.


(24)

II.1.2. Baja Tulangan

Beton tidak dapat menahan gaya tarik melebihi nilai tertentu tanpa mengalami retak-retak. Untuk itu, agar beton dapat bekerja dengan baik dalam suatu sistem struktur, perlu dibantu dengan memberinya perkuatan penulangan yang terutama akan mengemban tugas menahan gaya tarik yang bakal timbul di dalam sistem. Untuk keperluan penulangan tersebut digunakan bahan baja yang memiliki sifat teknis menguntungkan, dan baja tulangan yang digunakan dapat berupa batang baja lonjoran ataupun kawat rangkai (wire

mesh) yang berupa batang kawat baja yang dirangkai (dianyam) dengan teknik pengelasan.

Yang terakhir tersebut, terutama dipakai untuk plat dan cangkang tipis atau struktur lain yang tidak mempunyai tempat cukup bebas untuk pemasangan tulangan, jarak spasi, dan selimut beton sesuai dengan persyaratan pada umumnya. Bahan batang baja rangkai dengan pengelasan yang dimaksud, didapat dari hasil penarikan baja pada suhu dingin dan dibentuk dengan pola ortogonal, bujur sangkar, atau persegi empat dengan di las pada setiap titik pertemuannya.

Agar dapat berlangsung lekatan erat antara baja tulangan dengan beton, selain batang polos berpenampang bulat (BJTP) juga digunakan batang deformasion (BJTD), yaitu batang tulangan baja yang permukaannya dikasarkan secara khusus, diberi sirip yang teratur dengan pola tertentu, atau batang tulangan yang dipilin pada proses produksinya. Pola permukaan yang dikasarkan atau pola sirip sangat beragam tergantung pada mesin giling atau cetak yang dimiliki oleh produsen, asal masih dalam batas-batas spesifikasi teknik yang diperkenankan oleh standar. Baja tulangan (BJTP) hanya digunakan untuk tulangan pengikat sengkang atau spiral, umumnya diberi kait pada ujungnya.

Di banyak negara termasuk di negara kita, telah dilaksanakan banyak percobaan serta pengujian untuk melakukan pendekatan dan penelitian yang berhubungan dengan ekonomi penulangan beton. Di antaranya adalah percobaan penulangan dengan cara


(25)

ferro cement dimana digunakan bahan kayu, bambu, atau bahan lain untuk penulangan

beton. Ataupun beton dengan perkuatan fiber (serat) dimana sebagian bahan imbuhan perkuatan digunakan serat-serat baja atau serat dengan dan serbuk bahan lain, demikian pula usaha memperbaiki mutu bahan betonnya sendiri dengan menggunakan abu terbang (fly ash) dan sebagainya.

Sifat fisik tulangan baja yang paling penting untuk digunakan dalam perhitungan perencanaan beton bertulang ialah tegangan luluh (fy) dan modulus elastisitas (Es). Tegangan luluh (titik luluh) baja ditentukan melalui prosedur pengujian standar sesuai SII 0136-84 dengan ketentuan bahwa tegangan luluh adalah tegangan baja pada saat meningkatnya tegangan tidak disertai dengan peningkatan regangannya. Di dalam perencanaan atau analisis beton bertulang umumnya nilai tegangan luluh baja tulangan diketahui atau ditentukan pada awal perhitungan.

Di samping usaha standarisasi yang telah dilakukan oleh masing-masing negara produsen baja, kebanyakan produksi baja tulangan beton pada dewasa ini masih berorientasi pada spesifikasi teknis yang ditetapkan ASTM. Di Indonesia produksi baja tulangan dan baja struktur telah diatur sesuai dengan Standar Industri Indonesia, antara lain dengan SII 0136-80.

Modulus elastisitas baja tulangan ditentukan berdasarkan kemiringan awal kurva tegangan-regangan di daerah elastik dimana antara mutu baja yang satu dengan yang lainnya tidak banyak bervariasi.

Ketentuan SK SNI-03-2487-2002 menetapkan nilai modulus elastisitas beton, baja tulangan, dan tendon sebagai berikut :

1. Untuk nilai wc diantara 1500 kg/m3 dan 2500 kg/m3, nilai modulus elastisitas beton Ec dapat diambil sebesar (wc)1,5 0,043 f 'c (dalam Mpa). Untuk beton normal Ec dapat diambil sebesar 4700 f 'c.


(26)

2. Modulus elastisitas untuk tulangan non-prategang Es boleh diambil sebesar 200.000 Mpa.

3. modulus elastisitas untuk beton prategang Es’ ditentukan melalui pengujian atau dari data pabrik.

II.1.3. Provisi Keamanan

Tujuan utama desain struktur adalah untuk mendapatkan struktur yang aman terhadap beban atau efek beban yang bekerja selama masa penggunaan bangunan. Struktur dan unsur-unsurnya harus direncanakan untuk memikul beban cadangan di atas beban yang diharapkan bekerja dibawah keadaan normal. Kapasitas cadangan yang demikian disediakan untuk memperhitungkan beberapa faktor yang dapat digolongkan dalam dua kategori umum; yaitu faktor yang berhubungan dengan pelampauan beban dan faktor yang berhubungan dengan kekurangan kekuatan (yaitu kekuatan yang kurang daripada harga yang diperoleh dengan menggunakan prosedur perhitungan yang dapat diterima). Bila intensitas dan efek beban yang bekerja diketahui dengan pasti, maka struktur dapat dibuat aman dengan cara memberikan kapasitas kekuatan yang sedikit lebih besar daripada efek beban.

Akan tetapi, sering kali dirasakan adanya ketidakpastian, baik ketika menentukan beban-beban yang akan bekerja pada struktur, maupun dalam hal kekuatan struktur dalam menahan beban tersebut. Ketidakpastian karena adanya variabilitas penampilan struktur dapat disebabkan oleh variasi kekuatan dan kekakuan beton akibat mutu material yang tidak seragam, kualitas pelaksanaan yang mempengaruhi kepadatan dan gradasi kekuatan beton, variasi dimensi elemen-elemen struktur, geometri struktur, penempatan tulangan dalam setiap elemen, dan efek-efek lain yang merugikan.


(27)

Untuk mengatasi hal tersebut diatas digunakanlah faktor keamanan atau angka keamanan, dengan kekuatan struktur diusahakan sama atau lebih besar dari perkalian antara angka keamanan dengan beban kerja. Dengan kata lain, angka kemanan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa kapasitas struktur selalu lebih besar daripada bebannkerja. Angka keamanan juga sering dipandang sebagai perbandingan antara tegangan leleh terhadap tegangan beban layan, namun pandangan ini tentu saja tidak berlaku bila efek nonlinear turut diperhitungkan. Sehingga angka keamanan didefenisikan sebagai rasio beban yang dapat menimbulkan keruntuhan terhadap beban kerja.

Variabilitas di dalam perbandingan dari kekuatan terhadap beban kerja di dalam metode tegangan kerja merupakan suatu faktor utama di dalam peralihan kepada pengunaan dari metoda rencana kekuatan.

Peraturan SNI memisahkan provisi keamanan dalam faktor U untuk pelampauan beban dan faktor ø untuk kekurangan kekuatan. Persamaan dasar untuk pelampauan beban (SNI 03-2847-2002) untuk struktur pada lokasi dan proporsi yang sedemikian hingga pengaruh dari angin dan gempa dapat diabaikan, adalah :

U = 1,2D + 1,6L

Di mana : U = kekuatan yang diperlukan (berdasarkan kemungkinan pelampauan beban) D = beban mati pada keadaan layan

L = beban hidup

Tujuan dari suatu provisi keamanan adalah untuk membatasi kemungkinan dari keruntuhan dan juga untuk memberikan struktur yang ekonomis. Jelaslah kiranya bila biaya tidak menjadi bahan pertimbangan, adalah mudah untuk merencanakan suatu struktur yang kemungkinan keruntuhannya adalah nol. Untuk mencapai faktor keamanan


(28)

yang cocok, maka kepentingan relatif dari beberapa hal harus ditetapkan. Beberapa diantara hal-hal tersebut adalah :

1. Keseriusan dari keruntuhan, apakah terhadap manusia atau harta benda. 2. Realibilitas dari pengerjaan dan pemeriksaan.

3. Ekspektasi dan besarnya pelampauan beban. 4. Pentingnya suatu unsur di dalam struktur.

5. Kesempatan untuk aba-aba peringatan sebelum keruntuhan.

Dengan menetapkan persentase untuk hal-hal diatas dan dengan mengevaluasi kondisi lingkungan untuk suatu kondisi, faktor yang memadai untuk keamanan dapat ditentukan untuk setiap hal.

II.2. Balok Persegi

II.2.1. Metode Analisis dan Perencanaan

Perencanaan komponen struktur beton dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak timbul retak berlebihan pada penampang sewaktu mendukung beban kerja, dan masih mempunyai cukup keamanan serta cadangan kekuatan untuk menahan beban dan tegangan lebih lanjut tanpa mengalami runtuh. Timbulnya tegangan-tegangan lentur akibat terjadinya momen karena beban luar, dan tegangan tersebut merupakan faktor yang menentukan dalam menetapkan dimensi geometris penampang komponen struktur. Proses perencanaan atau analisis umumnya dimulai dengan memenuhi persyaratan terhadap lentur, kemudian baru segi-segi lainnya, seperti kapasitas geser, defleksi retak, dan panjang penyaluran, dianilisis sehingga keseluruhannya memenuhi syarat.

Seperti diketahui, untuk bahan bersifat serba sama dan elastis, distribusi regangan maupun tegangannya linier berupa garis lurus dari garis netral ke nilai maksimum di serat


(29)

tepi terluar. Dengan demikian nilai tegangannya berbanding lurus dengan nilai regangan dan hal tersebut berlaku sampai dengan dicapainya batas sebanding (proportional limit).

Untuk bahan baja dengan mutu yang umum digunakan sebagai komponen struktural, nilai batas sebanding dan nilai tegangan luluh letaknya berdekatan hampir berhimpit, dan nilai tegangan lentur ijin didapat dengan cara membagi tegangan luluh dengan faktor aman. Pada struktur kayu, nilai tegangan lentur ijin didapatkan dengan cara lebih langsung dengan menggunakan faktor aman pembagi terhadap tegangan lentur patah. Dengan menggunakan cara penetapan tegangan lentur ijin seperti tersebut, yang didasarkan pada anggapan hubungan linier antara tegangan dan regangan, analisis serta perncanaan struktur kayu dan baja dapat dilakukan, sesuai dengan teori elastisitas.

Meskipun disadari bahwa pada kenyataan bahan beton bersifat tidak serba sama (nonhomogeneous) dan tidak sepenuhnya elastik, selama ini cara pendekatan linier seperti tersebut di atas juga digunakan dan dianggap benar bagi bahan beton. Selama kurun waktu cukup lama perencanaan serta analisis didasarkan pada pemahaman tersebut dan dinamakan sebagai metode elastik, cara-n, atau metode tegangan kerja (working stress

design method, WSD method).

Sejak jangka waktu 30 tahun belakangan ini telah dikenal metode pendekatan lain yang lebih realistik, ialah bahwa hubungan sebanding antara tegangan dan regangan dalam beton terdesak hanya berlaku pada suatu batas keadaan pembebanan tertentu, yaitu pada tingkat beban sedang. Pendekatan ini dinamakan metode perencanaan kekuatan (Ultimate

Strength Design Methode, USD Methode) atau metode perencanaan kekuatan ultimit.

Metode tersebut mulai dikenalkan sejak tahun 60-an, sejak dimuat di dalam peraturan beton di beberapa negara. ACI Building Code misalnya, telah mengenal baik dan memuat metode tersebut sebagai alternatif sejak tahun 1956, pada tahun 1963 memperlakukan


(30)

kedua metode setara, dan sejak tahun 1971 metode tersebut diangkat menjadi satu-satunya teknik analisis dan perencanaan untuk berbagi pemakaian gratis.

Walau demikian, metode tegangan kerja masih dicantumkan, digunakan sebagai metode alternatif penetapan daya guna kelayanan (serviceability) struktur. Di Indonesia, metode perencanaan baru diperkenalkan dalam PBI 1971 dan dipakai sebagai metode alternatif di samping metode tegangan kerja yang masih juga dipertahankan. Proses perubahan dan pengembangannya di Indonesia terasa sangat lambat, antara lain karena metode lama sudah mendarah daging sehingga sangat sulit untuk meninggalkannya. Sesungguhnya telah disadari bahwa tiada satupun alasan ilmiah yang hendak mempertahankan metode tegangan kerja untuk perencanaan dan analisis struktur beton bertulang, akan tetapi hambatan utama datang dari aspek pendidikan dan penyuluhan yang mencakup matra cukup luas.

Anggapan-anggapan yang dipakai sebagai dasar untuk metode kekuatan (ultimit) pada dasarnya mirip dengan yang digunakan untuk metode tegangan kerja. Perbedaannya terletak pada kenyataan yang didapat dari berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tegangan beton kira-kira sebanding dengan regangannya hanya sampai pada tingkat pembebanan tertentu. Pada tingkat pembebanan ini, apabila beban ditambah terus, keadaan sebanding akan lenyap dan diagram tegangan tekan pada penampang balok beton akan berbentuk setara dengan kurva tegangan-regangan beton tekan, seperti terlihat pada gambar.


(31)

Gambar 2.1 Tegangan Tekan Benda Uji Beton

(Dikutip dari Buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)

Gambar 2.2 Berbagai Kuat Tekan Beton

(Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)

Pada metode tegangan kerja, beban yang diperhitungkan adalah service loads (beban kerja), sedangkan penampang komponen struktur direncana atau dianalisa berdasarkan pada nilai tegangan tekan lentur ijin yang umumnya ditentukan bernilai


(32)

0,45 fc’, dimana pola distribusi tegangan tekan linier atau sebanding lurus dengan jarak

terhadap garis netral.

Sedangkan pada metode kekuatan (ultimit), service loads diperbesar, dikalikan suatu faktor beban dengan maksud untuk memperhitungkan terjadinya beban pada saat keruntuhan telah diambang pintu. Kemudian dengan menggunakan beban kerja yang sudah diperbesar (beban terfaktor) tersebut, struktur direncana sedemikian sehingga didapat nilai kuat guna pada saat runtuh yang besarnya kira-kira lebih kecil sedikit dari kuat batas runtuh sesungguhnya. Kekuatan pada saat runtuh tersebut dinamakan kuat ultimit dan beban yang bekerja pada atau dekat dengan saat runtuh dunamakan beban ultimit.

Pendekatan dan pengembangan metode perencanaan kekuatan didasarkan atas anggapan-anggapan sebagai berikut :

1. Bidang penampang rata sebelum terjadi lenturan, tetap rata setelah terjadi lenturan dan tetap berkedudukan tegak lurus pada sumbu bujur balok (prinsip Bernoulli). Oleh karena itu, nilai regangan dalam penampang komponen struktur terdistribusi linear atau berbanding lurus terhadap jarak ke garis netral (prinsip Navier).

2. Tegangan sebanding dengan regangan hanya sampai pada kira-kira beban sedang, dimana tegangan beton tekan tidak melampaui ± ½ fc’. Apabila beban meningkat

sampai beban ultimit, tegangan yang timbul tidak sebanding lagi dengan regangannya berarti distribusi tegangan tekan tidak lagi linear. Bentuk blok tegangan beton tekan pada penampangnya berupa garis lengkung dimulai dari garis netral dan berakhir pada serat tapi tekan terluar. Tegangan tekan maksimum sebagai kuat tekan lentur beton pada umumnya tidak terjadi pada serat tepi terluar, tetapi agak masuk kedalam.

3. Dalam memperhitungkan kapasitas momen ultimit komponen struktur, kuat tarik beton diabaikan (tidak diperhitungkan) dan seluruh gaya tarik dilimpahkan kepada tulangan baja tarik.


(33)

II.2.2. Kuat Lentur Penampang Balok Persegi

Distribusi tegangan beton tekan pada penampang bentuknya setara dengan kurva tegangan-regangan beton tekan. Seperti tampak pada gambar dibawah ini :

Gambar 2.3 Balok Menahan Momen Ultimit

(Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)

Bentuk distribusi tegangan tersebut berupa garis lengkung dengan nilai nol pada garis netral, dan untuk mutu beton yang berbeda akan lain pula bentuk kurva dan lengkungannya. Tampak bahwa tegangan tekan fc’, yang merupakan tegangan maksimum,

posisinya bukan pada serat tepi tekan terluar tetapi agak masuk kedalam.

Pada suatu komposisi tertentu balok menahan beban sedemikian hingga regangan tekan lentur beton maksimum (ε’b maks) mencapai 0,003 sedangkan tegangan tarik baja tulangan mencapai tegangan luluh fy. Apabila hal demikian terjadi, penampang dinamakan mencapai keseimbangan regangan, atau disebut penampang bertulangan seimbang. Dengan


(34)

demikian berarti bahwa untuk suatu komposisi beton dengan jumlah baja tertentu akan memberikan keadaan hancur tertentu pula.

Berdasarkan pada anggapan-anggapan seperti yang telah dikemukakan di atas, dapat dilakukan pengujian regangan, tegangan, dan gaya-gaya yang timbul pada penampang balok yang bekerja menahan momen batas, yaitu momen akibat beban luar yang timbul tepat pada saat terjadi hancur. Momen ini mencerminkan kekuatan dan di masa lalu disebut sebagai kuat lentur ultimit balok. Dan kuat lentur suatu balok beton tersedia karena berlangsungnya mekanisme tegangan-tegangan dalam yang timbul di dalam balok yang pada keadaan tertentu dapat diwakili oleh gaya-gaya dalam.

II.2.3. Kondisi Penulangan Seimbang

Meskipun rumus lenturan tidak berlaku lagi dalam metode perencanaan kekuatan akan tetapi prinsip-prinsip dasar teori lentur masih digunakan pada analisis penampang. Untuk letak garis netral tertentu, perbandingan antara regangan baja denagn regangan beton maksimum dapat ditetapkan berdasarkan distribusi regangan linear. Sedangkan letak garis netral tergantung pada jumlah tulangan baja tarik yang dipasang dalam suatu penampang sedemikian sehingga blok tegangan tekan beton mempunyai kedalaman cukup agar dapat tercapai keseimbangan gaya-gaya, dimana resultan tegangan tekan seimbang dengan resultante tegangan tarik (ΣH = 0).

Apabila pada penampang tersebut luas tulangan baja tariknya ditambah, keadaan blok tegangan beton akan bertambah pula, dan oleh karenanya letak garis netral akan bergeser ke bawah lagi. Apabila jumlah tulangan baja tarik sedemikian sehingga letak garis netral pada posisi dimana akan terjadi secara bersamaan regangan luluh pada baja tarik dan regangan beton tekan maksimum 0,003 maka npenampang disebut bertulanagn seimbang. Kondisi keseimbangan regangan menempati posisi penting karena merupakan


(35)

pembatas antara dua keadaan penampang balok beton bertulang yang berbeda cara hancurnya.

Gambar 2.4 Variasi Letak Garis Netral

(Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)

Apabila penampang balok beton bertulang mengandung jumlah tulangan baja tarik lebih banyak dari yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan regangan, penampang balok demikian disebut bertulangan lebih (overreinvorced ). Berlebihnya tulangan baja tarik mengakibatkan garis netral bergeser ke bawah. Hal yang demikian pada gilirannya akan berakibat beton mendahului mencapai regangan maksimum 0,003 sebelum tulangan baja tariknya luluh. Apabila penampang balok tersebut dibebani momen lebih besar lagi, yang berarti regangannya semakin besar sehingga kemampuan regangan beton terlampaui, maka akan berlangsung keruntuhan dengan beton hancur secara mendadak tanpa diawali dengan gejala-gejala peringatan terlebih dahulu.

Sedangkan apabila suatu penampang balok beton bertulang mengandung jumlah tulangan baja tarik kurang dari yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan regangan,


(36)

penampang demikian disebut bertulangan kurang (underreinforced). Letak garis netral akan lebih naik sedikit daripada keadaan seimbang, dan tulangan baja tarik akan mendahului mencapai regangan luluhnya (tegangan luluhnya) sebelum mencapai regangan maksimum 0,003. Pada tingkat keadaan ini, bertambahnya beban akan mangakibatkan tulangan baja mulur (memanjang) cukup banyak sesuai dengan prilaku bahan baja, dan berarti bahwa baik regangan beton maupun baja terus bertambah tetapi gaya tarik yang bekerja pada tulangan baja tidak bertambah besar. Dengan demikian berdasarkan keseimbangan gaya-gaya horizontal ΣH = 0, gaya tekan beton tidak mungkin bertambah sedangkan tegangan tekannya terus meningkat berusaha mengimbangi beban, sehingga mengakibatkan luas daerah tekan beton pada penampang menyusut (berkurang) yang berarti posisi garis netral akan berubah bergerak naik. Proses tersebut diatas terus berlanjut sampai suatu saat daerah beton tekan yang terus berkurang tidak mampu lagi menahan gaya tekan dan hancur sebagai efek sekunder. Cara hancur demikian, yang sangat dipengaruhi oleh peristiwa meluluhnya tulangan baja tarik berlangsung meningkat secara bertahap. Segera setelah baja mencapai titik luluh, lendutan balok meningkat tajam sehingga dapat merupakan tanda awal dari kehancuran. Meskipun tulangan baja berprilaku daktail (liat), tidak akan tertarik lepas dari beton sekalipun pada waktu terjadi kehancuran.

II.2.4. Persyaratan Kekuatan

Penerapan faktor keamanan dalam struktur bangunan di satu pihak bertujuan untuk mengendalikan kemungkinan terjadinya runtuh yang membahayakan bagi penghuni, di lain pihak harus juga memperhitungkan faktor ekonomi bangunan. Sehingga untuk mendapatkan faktor keamanan yang sesuai, perlu ditetapkan kebutuhan relatif yang ingin dicapai untuk dipakai sebagai dasar konsep faktor keamanan tersebut. Struktur bangunan dan komponen-komponennya harus direncanakan untuk mampu memikul beban lebih di


(37)

atas beban yang diharapkan bekerja. Kapasitas lebih tersebut disediakan untuk memperhitungkan dua keadaan, yaitu kemungkinan terdapatnya beban kerja yang lebih besar dari yang ditetapkan dan kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuatan komponen struktur akibat bahan dasar ataupun pengerjaan yang tidak memenuhi syarat. Kriteria dasar kuat rencana dapat diungkapkan sebagai berikut:

Kekuatan yang tersedia ≥ Kekuatan yang dibutuhkan

II.2.5. Analisis Balok Terlentur Bertulangan Tarik Saja

Analisis penampang balok terlentur dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui dimensi unsur-unsur penampang balok yang terdiri dari: jumlah dan ukuran tulangan baja tarik (As), lebar balok (b), tinggi efektif (d), tinggi total (h), fc’ dan fy, sedangkan yang dicari adalah kekuatan balok ataupun manifestasi kekuatan dalam bentuk yang lain, misalnya menghitung Mn, atau memeriksa kehandalan dimensi penampang balok tertentu terhadap beban yang bekerja, atau menghitung jumlah beban yang dapat dipikul balok. Di lain pihak, proses perencanaan balok terlentur adalah menentukan satu atau lebih unsur dimensi penampang balok yang belum diketahu, atau menghitung jumlah kebutuhan tulangan tarik dalam penampang berdasarkan mutu bahan dan jenis pembebanan yang sudah ditentukan.

Analisis dapat pula diterapkan untuk suatu komponen struktur yang pada masa lalu direncanakan berdasarkan pada metode tegangan kerja (cara-n). Seperti diketahui, pada metode perencanaan tegangan (beban) kerja mungkin tidak menggunakan pembatasan rasio penulangan sehingga penulangan balok cenderung berlebihan. Meskipun hal demikian tidak sesuai dengan filosofi peraturan yang diberlakukan sekarang, bagaimanapun balok-balok tersebut nyatanya sampai saat ini digunakan dan bekerja, sehingga analisis kapasitas momennya secara rasional dilakukan dengan hanya


(38)

memperhitungkan tulangan baja tarik 0,75 ρb. Atau dengan kata lain, pendekatan dilakukan dengan mengabaikan kekuatan baja diluar jumlah 75% dari jumlah tulangan tarik yang diperlukan untuk mencapai keadaan seimbang.

II.2.6. Analisis Balok Terlentur Bertulangan Rangkap

Di lapangan, kita lihat bahwa suatu balok yang bertulangan tunggal jarang dijumpai. Hal ini disebabkan karena pada perencanaan suatu bangunan, gaya gempa yang arahnya bolak-balik juga diperhitungkan. Sehingga bidang momen pada suatu bentang kadang bisa bernilai positif maupun negatif. Sehingga diperlukan baik tulangan atas maupun tulangan bawah dan dikenal sebagai balok bertulangan rangkap.

Penulangan rangkap juga dapat memperbesar momen tahanan pada balok. Apabila suatu penampang dikehendaki untuk menopang beban yang lebih besar dari kapasitasnya, sesangkan di lain pihak seringkali pertimbangan teknis pelaksanaan dan arsitektural membatasi dimensi balok, maka diperlukan usaha-usaha lain untuk memperbesar kuat momen penampang balok yang sudah tertentu dimensinya tersebut.

Hal ini dapat dilakukan dengan penambahan tulangan tarik hingga melebihi batas nilai ρ maksimum bersamaan dengan penambahan bahan baja didaerah tekan penampang balok. Hasilnya adalah balok dengan penulangan rangkap dimana tulangan baja tarik di daerah tarik dan tulangan tekan di daerah tekan. Pada keadaan demikian berarti tulangan baja tekan bermanfaat untuk memperbesar kekuatan balok.

Akan tetapi, dari berbagai penggunaan tulangan tekan dengan tujuan untuk peningkatan kuat lentur suatu penampang terbukti merupakan cara yang kurang efisien terutama dari segi ekonomi baja tulangan dan pelaksanaannya dibandingkan dengan manfaat yang dapat tercapai. Dengan usaha mempertahankan dimensi balok tetap kecil pada umumnya akan mengundang masalah lendutan dan perlunya menambah jumlah


(39)

tulangan geser pada daerah dekat tumpuan, sehingga akan memperumit pelaksanaan pemasangannya. Penambahan penulangan tekan dengan tujuan utama untuk memperbesar kuat lentur penampang umumnya jarang dilakukan, kecuali apabila sangat terpaksa.

Dalam analisis balok bertulangan rangkap, akan dijumpai dua jenis kondisi yang umum. Yang pertama yaitu bahwa tulangan tekan telah luluh bersamaan dengan luluhnya tulangan tarik saat beton mencapai regangan maksimum 0,003. Sedangkan kondisi yang kedua yaitu dimana tulangan tekan masih belum luluh saat tulangan tarik telah luluh bersama dengan tercapainya regangan 0,003 oleh beton.

Jika regangan tekan baja tekan (ε’s) sama atau lebih besar dari regangan luluhnya (εy), maka sebagai batas maksimum tegangan tekan baja tekan diambil sama dengan tegangan luluhnya (fy). Sedangkan apabila regangan tekan baja yang terjadi kurang dari regangan luluhnya, maka tegangan tekan baja adalah f’s = ε’s . Es. Dimana Es adalah modulus elastisitas baja. Tercapainya masing-masing keadaan (kondisi) tersebut tergantung dari posisi garis netral penampang.


(40)

II.3. Perencanaan Balok

II.3.1. Metode Elastis Design (Metode Tegangan Kerja)/ PBI 1971

II.3.1.a Umum

Metode perencanaan elastis didasarkan pada anggapan bahwa sifat dan prilaku beton bertulang dianggap sama dengan bahan homogen (serba sama) seperti kayu, baja dan sebagainya. Sesuai dengan teori elastisitas, tegangan dan regangan pada penampang balok terlentur untuk bahan yang homogen terdistribusi secara linier membentuk garis lurus dari nol di garis netral ke nilai maksimum di serat tepi terluar. Dengan demikian nilai-nilai tegangan pada penampang balok terlentur berbanding lurus dengan regangannya. Metode elastik (tegangan kerja) menggunakan nilai-nilai :

1. Beban guna atau beban kerja (tanpa faktor) 2. Tegangan ijin

3. Hubungan linier antara regangan dan tegangan

Perencanaan berdasarkan beban kerja akan menghasilkan beton bertulang dengan kondisi yang diharapkan :

1. Lendutan yang terjadi masih dalam batas yang diijinkan

2. Retakan yang timbul masih dapat dikendalikan (tidak terjadi retak yang dapat menimbulakan masuknya air yang pada akhirnya akan menyebabkan korosi).

Anggapan-anggapan dasar yang digunakan metode tegangan kerja untuk komponen struktur terlentur adalah :

1. Bidang penampang rata sebelum terjadi lenturan akan tetap rata setelah mengalami lenturan, berarti distribusi regangan sebanding atau linear

2. Bagi bahan baja maupun beton sepenuhnya Hukum Hooke dimana nilai tegangan linier dengan nilai regangan


(41)

3. Gaya tarik sepenuhnya dipikul oleh tulangan tarik baja

4. Batang tulangan baja terlekat sempurna dengan beton, sehingga tidak terjadi penggelinciran. Bertitik tolak dari dasar-dasar anggapan tersebut, meskipun bahan beton bukanlah bahan yang homogen, rumus lenturan elastik tetap dapat dipergunakan dengan cara transformasi penampang.

Gambar 2.5 Hubungan antara tegangan dan regangan untuk bahan elastis linear

(Dikutip dari buku Gideon Kusuma, DasarDasar Perencanaan Beton Bertulang)

Anggapan ini memberikan hasil yang cukup baik, dengan pengecualian untuk poin yang kedua. Tegangan berbanding lurus dengan regangan selama tegangan tekan beton tidak melampaui setengah dari kekuatan beton pada hari ke-28.

Untuk poin yang ketiga, beton sebenarnya memiliki sedikit kemampuan untuk menahan tegangan tarik tetapi persentasenya terhadap kemampuan beton dalam menahan tegangan tekan sangatlah kecil. Hanya berkisar dari 9-15%. Hal ini mengakibatkan, komponen struktur akan mengalami keruntuhan tarik sebelum seluruh kuat tekan pada beton dapat tercapai sepenuhnya. Oleh karena itu,


(42)

diasumsikan pada saat komponen struktur berada di bawah beban kerja, beton telah retak pada serat tariknya.

Jika suatu balok beton bertulang yang dibebani dengan beban yang semakin meningkat, balok akan mengalami tiga tahapan sebelum terjadi keruntuhan. Ketiga tahapan ini yaitu tahap sebelum beton mengalami retak, tahap beton mengalami retak elastis dan tahap kekuatan batas.

Pada pembebanan yang memberikan tegangan lentur tarik yang masih belum melampaui tegangan tarik yang diizinkan sebelum beton mengalami retak akibat tarik, seluruh tampang balok bekerja menahan momen, dengan tekan pada satu sisi dan tarik pada sisi lainnya. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.6. Beton Mengalami Crack


(43)

Luas tulangan pada beton sangat kecil bila dibandingkan dengan luas beton itu sendiri sehingga efek yang ditimbulkan terhadap tampang beton juga akan sangat kecil dan dapat diabaikan. Oleh karena itu, perhitungan tegangan lentur pada balok yang demikian dapat didasarkan pada luas penampang balok.

Dari sini, momen retak yaitu momen pada saat modulus retak beton telah tercapai, dapat dihitung dengan persamaan:

t G r cr

y I f

M =

Dimana : Mcr = Momen retak

fr = Modulus retak yang besarnya menurut ACI ditentukan sebesar 6,2 f 'c

Ig = Momen inersia tampang

yt = Jarak garis netral ke serat tarik terluar tampang

Ketika momen lentur semakin besar sehingga mengakibatkan tegangan tekan pada serat terluar balok melampaui modulus retaknya, seluruh beton yang berada dalam daerah tekan diasumsikan telah retak dan harus diabaikan dalam perhitungan lentur.

Pada umumnya, momen retak sangatlah kecil bila dibandingkan dengan momen yang bekerja pada beban kerja. Oleh karena itu, saat beban kerja, dasar balok akan retak. Retak pada balok ini tidak berarti bahwa balok akan hancur tetapi tulangan baja pada daerah tarik akan mulai memikul gaya tarik yang terjadi karena momen yang bekerja.

Pada daerah tekan beton, beton dan tulangan baja diasumsikan terikat secara sempurna sehingga regangan yang terjadi pada beton dan baja akan sama jarak yang sama denagn garis netral. Tetapi jika regangan dalam kedua material pada


(44)

satu titik adalah sama, tegangan belum tentu sama karena memiliki modulus elastisitas yang berbeda.

Nilai perbandingan modulus elastisitas dari baja dan beton dikenal sebagai

“modulus perbandingan n” yang dinyatakan sebagai:

n =

Ec Es

Dimana : Es = Modulus elastisitas baja Ec = Modulus elastisitas beton

Seperti tampak pada gambar dibawah ini, tulangan baja digantikan dengan suatu luas beton ekivalen (n. As), yang mampu menarik tarik. Pada gambar juga tampak diagram yang menunjukkan variasi tegangan dalam balok. Pada daerah tarik digunakan garis putus-putus karena diagram ini tidak kontinu. Beton yang diasumsikan retak tidak dapat lagi menahan tarik. Dan pada titik dimana terpasang tulangan baja bekerja tegangan sebesar fs/n.

Gambar 2.7. Diagram Variasi Tegangan

(Dikutip dari buku Jack C McCormac, Desain Beton Bertulang)

Dengan menggunakan asumsi ini, momen tegangan lentur dari suatu tampang dapat ditentukan. Langkah pertama yaitu menentukan letak garis netral yang diasumsikan berada pada jarak x dari serat terluar daerah tekan balok. Setelah letak


(45)

garis netral diperoleh, momen inersia dari tampang pengganti dapat dihitung dan tegangan pada beton dan baja dapat diperoleh dengan persamaan lentur yaitu:

I y M

fc = . dan

I y M n fy = . . Cara menentukan tegangan ini dikenal sebagai Lentur Cara-n

II.3.1.b Analisis Balok Persegi Dengan Lentur Cara-n

Suatu balok yang telah direncanakan terlebih dahulu dapat diperiksa apakah dimensi dan jumlah tulangan yang terpasang telah sanggup menahan momen yang ditimbulkan oleh beban yang bekerja. Jika tegangan yang terjadi tidak melampaui tegangan yang diizinkan dalam peraturan, maka balok dinyatakan aman.

Pada bagian ini, beberapa persamaan untuk analisis suatu balok persegi dengan tulangan tarik saja akan diberikan. Pada gambar dibawah ini huruf d yang digunakan untuk mewakili nilai tegangan efektif balok, yaitu jarak dari serat tekan terluar ke titik pusat berat tulangan baja. Tampak juga nilai x yang digantikan dengan kd.

Gambar 2.8. Balok Persegi


(46)

(

d kd

)

A n kd

bkd = s

   

.

2

Dengan menggunakan ρ = persentase luas baja = As/bd ; maka As = ρbd

2 . .k2d2 b

= nρbd2 (1– k)

k2 = 2ρn – 2ρnk

k2 + 2ρnk = 2ρn

(k + ρn)(k + ρn) = 2ρn + (ρn)2

k + ρn = 2ρn+

( )

ρn 2

k = 2ρn+

( )

ρn 2 −ρn

(Dikutip dari buku Jack C McCormack, Desain Beton Bertulang)

Gaya dalam (C = jumlah tekanan dan T = jumlah tarikan) ditunjukkan pada gambar di bawah ini. C terletak pada pusat berat segitiga tekan yaitu pada jarak

kd/3 dari serat tekan terluar balok, dan T terletak pada pusat berat tulangan baja.


(47)

Gambar 2.9. Analisis Balok Persegi

(Dikutip dari buku Jack C McCormack, Desain Beton Bertulang)

jd = d –

3

kd

j = 1 –

3

k

Momen kopel Cjd dan Tjd harus sama dengan momen luar M, dan nilai fs dan

fc kemudian dapat diperoleh:

Untuk baja :

Tjd = M

As fs jd = M

fs =

jd A

M s.

Untuk beton :

Cjd = M

2

fc

bkdjd = M

fc =

kj bd

M

2 2

(Dikutip dari buku Jack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)

II.3.1.c Perencanaan Balok Persegi

Pada metode tegangan kerja, suatu aktor keamanan diberikan dengan mengizinkan perhitungan tegangan samaai mencapai suatu persentase dari kekuatan batas beton maupun dari tegangan oleh baja. Persentase ini cukup kecil sehingga


(48)

hubungan antara tegangan dan regangan antara beton maupun baja dapat diperkirakan secara linear.

Peraturan menetapakan teganagan tekan beton izin yang digunakan dalam perencanaan adalah sebesar 0.45 f’c.

Dalam bagian ini akan diturunkan beberapa persamaan yang diperlukan untuk merencanakan satu balok persegi bertulangan tarik saja yang dianalisis dengan menggunakan metode lentur cara-n yang berdasarkan pada metode tegangan kerja.

Dengan mengacu pada gambar di bawah ini, luas tulangan baja sekali lagi diubah menjadi suatu luasan pengganti n As.

Gambar 2.10. Analisis Balok Persegi

(Dikutip dari buku Jack C McCormack, Desain Beton Bertulang)

Dalam metode tegangan kerja, desain yang paling ekonomis yang mungkin yaitu desain pada keadaan seimbang. Suatu balok yang didesain dengan metode ini pada beban kerja sepenuhnya akan menghasilkan keadaan dimana serat tekan akan


(49)

berada pada nilai tegangan izin maksimum fc dan tulangan baja berada pada izin maksimum fs.

Persamaan untuk desain ini diturunkan dengan berdasarkan pada kopel-kopel gaya dalam yang terdiri dari dua gaya yaitu C dan T. sekali lagi, tegangan C sama dengan luas bkd dikalikan dengan suatu nilai tegangan tekan rata-rata sebesar fc/2 dan T sama dengan As fs. Jumlah gaya horizontal pada balok dalam persamaan harus bernilai nol (0), sehingga C = T. momen tahanan dalam dapat dituliskan sebagai Cjd atau Tjd, danini disamakan dengan momen kerja M dan kemudian persamaan yang ada diselesaikan untuk mendimensi balok dan luas tulangan yang diperlukan.

Mengacu pada diagram tegangan pada gambar di atas, maka suatu nilai perbandingan dapat dibuat dan dari perbandingan tersebut, nilai k untuk desain dapat diperoleh sebagai berikut:

kd = fc c

d fc + (fs/n)

k = fc c

fc + (fs/n)

nilai j dapat ditentukan dari:

jd = d – kd 3

j = 1 – k 3

Dengan menggunakan kopel gaya dalam: Untuk beton :

M = Cjdr

M = bkdfc jd


(50)

bd2 =

kj f

M c

2

Untuk baja :

M = Tjd

M = As fs jd

As =

jd f

M s


(51)

II.3.2. Metode Kekuatan Batas/ SK SNI-03-2847-2002

II.3.2.a Umum

Pengujian terhadap balok beton bertulang memberikan suatu hasil bahwa regangan bervariasi menurut jarak garis pusatnya ke serat tarik bahkan pada saat beban mendekati beban batas. Tegangan tekan bervariasi hampir menurut suatu garis lurus hingga tegangan dan regangan kira-kira akan mencapai seperti yang terlihat pada gambar berikut:

Gambar 2.11. Analisis Balok Persegi

(Dikutip dari buku Jack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)

Tegangan tekan bervariasi mulai dari nol pada garis netral hingga mencapai nilai maksimum pada suatu titik yang dekat dengan serat terluar sisi tekan. Walaupun distribusi tegangan yang sebenarnya merupakan suatu hal yang penting, beberapa bentuk asumsi dapat digunakan secara praktis jika hasil perbandingan hasil analisa sesuai dengan hasil pengujian. Bentuk yang umum digunakan adalah bentuk persegi, parabola, dan trapesium.


(52)

Gambar2.12. Kemungkinan Bentuk Distribusi Tekan (Dikutip dari buku Jack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)

Whitney menggantikan blok kurva tegangan dengan suatu balok persegi ekivalen dengan intensitas 0.85f’c dan kedalaman a = β1c, seperti tampak pada gambar diatas, luas balok persegi harus sama dengan luas balok kurva tegangan yang sebenarnya dan pusat berat dari kedua balok ini juga harus berhimpit.

Dalam peraturan SK SNI 03-2847-2002, untuk nilai f’c yang lebih kecil atau sama dengan 30 Mpa nilai β1 ditentukan sebesar 0.85, dan nilai ini berkurang 0.05 untuk tiap kenaikan f’c sebesar 7 Mpa. Tetapi nilai ini tidak diambil kurang dari 0.65.

Beberapa alasan digunakannya metode kuat batas (ultimate strength design) sebagai trend perencanaan struktur beton adalah:

1. Struktur beton bersifat in-elastis saat beban maksimum, sehingga teori elastis tidak dapat secara akurat menghitung kekuatan batasnya. Untuk struktur yang direncanakan dengan metode beban kerja (working stress method) maka faktor beban (beban batas/beban kerja) tidak diketahui dan dapat bervariasi dari struktur satu dengan struktur yang lainnya.


(53)

2. Faktor keamanan dalam bentuk faktor beban lebih rasional, yaitu faktor beban rendah untuk struktur dengan pembebanan yang pasyi, sedangkan faktor beban tinggi untuk untuk pembebanan yang fluktuatif (berubah-ubah).

3. Kurva tegangan-regangan beton adalah non-linier dan tergantung dari kurva, misal regangan rangkak (creep) akibat tegangan yang konstan dapat beberapa kali lipat dari regangan elastis awal. Oleh karena itu, nilai rasio modulus (Es/Ec) yang digunakan dapat menyimpang dari kondisi sebenarnya. Regangan rangkak dapat memberikan redistribusi tegangan yang lumayan besar pada penampang struktur beton, artinya tegangan sebenarnya yang terjadi pada struktur tersebut bisa berbeda dengan tegangan yang diambil dalam perencanaan. Contoh, tulangan baja desak pada kolom beton dapat mencapai leleh selama pembebanan tetap, meskipun kondisi tersebut tidak terlihat pada saat direncanakan dengan metode beban kerja yang memakai nilai modulus ratio sebelum creep. Metode perencanaan kuat batas tidak memerlukan ratio modulus.

4. Metode perencanaan kuat batas memanfaatkan kekuatan yang dihasilkan dari distribusi tegangan yang lebih efisien yang dimungkinkan oleh adanya regangan in-elastis. Sebagai contoh, penggunaan tulangan desak pada penampang dengan tulangan ganda dapat menghasilkan momen kapasitas yang lebih besar karena pada tulangan desaknya dapat didayagunakan sampai mencapai tegangan leleh pada beban batasnya, sedangkan dengan teori elastis tambahan tulangan desak tidak terlalu terpengaruh karena hanya dicapai tegangan yang rendah pada baja.


(54)

5. Metode perencanaan kuat batas menghasilkan penampang struktur beton yang lebih efisien jika digunakan tulangan baja mutu tinggi dan tinggi balok yang rendah dapat digunakan tanpa perlu tulangan desak.

6. Metode perencanaan kuat batas dapat digunakan untuk mengakses daktilitas struktur di luar batas elastisnya. Hal tersebut penting untuk memasukkan pengaruh redistribusi momen dalam perencanaan terhadap beban gravitasi, perencanaan tahan gempa dan perencanaan terhadap beban ledak (blasting).

Gambar 2.13 Hubungan Non-Linear antara tegangan dan regangan (Dikutip dari buku Gideon Kusuma, DasarDasar Perencanaan Beton Bertulang)

II.3.2.b Keruntuhan Lentur Akibat Kondisi Batas (Ultimate)

Menurut catatan sejarah, sebenarnya perencanaan kuat batas adalah yang pertama digunakan dalam perencanaan struktur beton. Itu dapat dimengerti karena beban atau momen batas (ultimate) dapat dicari langsung berdasarkan percobaan uji beban tanpa perlu mengetahui besaran atau distribusi tegangan internal pada penampang struktur yang di uji. Untuk menjelaskan defenisi atau pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan kekuatan batas atau kuat ultimate, maka akan


(55)

ditinjau struktur balok beton bertulang yang diberi beban terpusat secara bertahap sampai runtuh (tidak kuat menerima tambahan beban lagi).

Keruntuhan yang akan ditinjau adalah lentur. Agar dapat diperoleh suatu keruntuhan lentur murni maka digunakan konfigurasi dua buah beban terpusat yang diletakkan simetri sehingga di tengah bentang struktur tersebut hanya timbul momen lentur saja (tidak ada gaya geser).

Gambar 2.14 Balok yang dibebani sampai runtuh

(Dikutip dari buku Wiryanto Dewobroto, Aplikasi Rekayasa Konstruksi)

Penampang ditengah diberi sensor-sensor regangan untuk mengetahui tegangan yang terjadi. Beban diberikan secara bertahap dan dilakukan pencatatan lendutan di tengah bentang sehingga dapat diperoleh kurva hubungan momen dan kelengkungan untuk setiap tahapan beban sampai beton maksimum sebelum balok tersebut runtuh.


(56)

Gambar 2.15 Kurva Momen – Kelengkungan Balok

(Dikutip dari buku Wiryanto Dewobroto, Aplikasi Rekayasa Konstruksi)

Dari Momen-Kelengkungan balok terlihat bahwa sebelum runtuh, tulangan baja leleh terlebih dahulu (Titik D). Jika beban terus ditingkatkan, meskipun besarnya peningkatan relatif kecil akan tetapi lendutan yang terjadi cukup besar dibandingkan lendutan sebelum leleh. Akhirnya pada suatu titik tertentu beton desak mengalami rusak (pecah atau spalling) sedemikian sehingga jika beban ditambah sedikit saja maka balok tidak dapat lagi menahan beban dan akhirnya runtuh. Beban batas/maskimum yang masih dapat dipikul oleh balok dengan tetap berada pada kondisi keseimbangan disebut beban batas (ultimate) ang ditunjukkan oleh titik E.

Keruntuhan yang didahului oleh lendutan atau deformasi yang besar seperti yang diperlihatkan pada balok diatas disebut keruntuhan yang bersifat daktail. Sifat seperti itu dapat dijadikan peringatan dini mengenai kemungkinan akan adanya keruntuhan sehingga pengguna struktur bangunan mempunyai waktu untuk menghindari struktur tersebut sebelum benar-benar runtuh, dengan demikian jatuhnya korban jiwa dapat dihindari.


(57)

Keruntuhan lentur tersebut dapat terjadi dalam tiga cara yang berbeda:

1. Keruntuhan Tarik, terjadi bila jumlah tulangan baja relatif sedikit sehingga tulangan tersebut akan leleh terlebih dahulu sebelum betonnya pecah, yaitu apabila regangan baja (εs) lebih besar dari regangan beton (εy). penampang seperti itu disebut penampang under-reinforced, perilakunya sama seperti yang diperlihatkan pada balok uji yaitu daktail (terjadinya deformasi yang besar sebelum runtuh). Semua balok yang direncanakan sesuai peraturan diharapkan berperilaku seperti itu.

2. Keruntuhan Tekan, terjadi bila jumlah tulangan relatif banyak maka keruntuhan dimulai dari beton sedangkan tulangan bajanya masih elastis, yaitu apabila regangan baja (εs) lebih kecil dari regangan beton (εy). Penampang seperti itu disebut penampang over-reinvorced, sifat keruntuhannya adalah getas (non-daktail). Suatu kondisi yang berbahaya karena penggunaan bangunan tidak melihat adanya deformasi yang besar yang dapat dijadikan pertanda bilamana struktur tersebut mau runtuh, sehingga tidak ada kesempatan untuk menghindarinya terlebih dahulu.

3. Keruntuhan Balans, jika baja dan beton tepat mencapai kuat batasnya, yaitu apabila regangan baja (εs) sama besar denga regangan beton (εy). Jumlah penulangan yang menyebabkan keruntuhan balans dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah tulangan relatif sedikit atau tidak, sehingga sifat keruntuhan daktail atau sebaliknya.


(58)

Gambar 2.16 Perilaku Keruntuhan Balok

(Dikutip dari buku Wiryanto Dewobroto, Aplikasi Rekayasa Konstruksi)

Gambar 2.17 Ciri-ciri Keruntuhan Penampang


(59)

II.3.2.c Keruntuhan Akibat Geser

Keruntuhan akibat geser pada balok, diketahui bahwa transfer beban ke tumpuan melalui mekanisme momen lentur dan gaya geser yang terjadi secara bersamaan. Pola keruntuhan (retak) yang terjadi akibat kedua mekanisme tersebut terlihat berbeda (lihat gambar 3.5) dari komponen tegangan utama yang terjadi.

Gambar 2.18 Balok dengan Keruntuhan Geser

(Dikutip dari buku Wiryanto Dewobroto, Aplikasi Rekayasa Konstruksi)

Bagian yang menerima lentur dan geser, materialnya mengalami tegangan utama biaksial dengan orientasi diagonal, sehingga retaknya pun terbentuk diagonal pada daerah yang mengalami tegangan tarik. Perhatikan pada daerah lentur murni, retak yang terjadi cenderung berorientasi vertikal. Keruntuhan balok akibat geser (akibat tegangan biaksial) bersifat getas dan terjadinya tiba-tiba. Berbeda dengan keruntuhan lentur yang bersifat daktail, didahului dengan timbulnya lendutan besar yang dapat digunakan sebagai pertanda. Oleh karena itu, dalam perencanaan struktur, semua elemen harus didesain sedemikian agar kekuatan gesernya lebih besar dari yang diperlukan sehingga dapat dijamin bahwa keruntuhan lentur akan terjadi terlebih dahulu.


(60)

II.3.2.d Analisis Balok Persegi Bertulangan Tarik Saja

Dengan berdasarkan pada asumsi mengenai balok tekanan yang telah dibahas sebelumnya, persamaan statik dapat dituliskan dengan mudah dari penjumlahan gaya horizontal dan dari momen tahanan yang dihasilkan oleh kopel gaya dalam. Persamaan ini dapat diselesaikan secara terpisah untuk mendapatkan besar nilai a dan untuk nilai Mn.

Mn didefinisikan sebagai momen tahanan nominal yang dapat ditahan oleh

suatu penampang. Dimana nilai momen nominal yang telah dikalikan dengan suatu faktor reduksi untuk balok φ ini harus dapat menyeimbangi suatu nilai momen yang diakibatkan oleh gaya luar Mu.

Mu = φMn

(Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beeton Bertulang)

Gambar 2.19. Diagram regangan dan kopel


(61)

Dengan berdasarkan pada gambar 2.20, persamaan untuk balok dapat disusun dan dengan menyamakan nilai C dan T, persamaan untuk menentukan nilai a dapat diperoleh :

0.85 f’cab = As fy

a =

b f f A c y s ' 85 .

0 = c

y f d f ' 85 . 0 ρ

Karena tulangan baja dapat dibatasi pada nilai dimana baja akan leleh sebelum beton mencapai kekuatan batasnya, nilai momen batas Mn dapat dituliskan sebagai :

Mn = T

     − 2 a

d = As fy

     − 2 a d

Dan momen luar yang dapat ditahan oleh tampang adalah :

Mu = φ Mn = φ As fy

     − 2 a d

Dengan mensubstitusikan nilai a ke dalam persamaan ini maka akan diperoleh suatu persamaan alternative untuk menentukan nilai Mu adalah sebagai berikut :

Mu = φ As fy d

    − c f fy ' 59 . 0 1 ρ


(62)

II.3.2.e Analisis Balok Persegi Bertulangan Rangkap

Apabila suatu penampang dikehendaki untuk menopang beban yang lebih besar dari kapasitasnya, sedangkan di lain pihak seringkali sebagai pertimbangan teknis pelaksanaan dan arsitektural membatasi dimensi balok, maka diperlukan usaha-usaha lain untuk memperbesar kuat momen penampang balok yang sudah tertentu dimensinya.

Sebagai salah satu alternatifnya yaitu dengan melakukan penambahan tulangan baja tarik lebih dari batas nilai maksρ bersamaan dengan penambahan tulangan baja di daerah tekan penampang balok. Hal ini dapat meningkatkan kapasitas momen yang dapat ditahan oleh balok dengan tetap menjaga sifat daktilitasnya.

Pada analisis balok persegi bertulangan rangkap, sering akan dijumpai dua kondisi kehancuran pada balok. Yang pertama adalah dimana tulangan tarik dan tekan sama-sama telah luluh (dalam tugas akhir ini disebut sebagai kondisi I) dan yang kedua adalah dimana tulangan tarik telah luluh, namun tulangan tekan belum luluh (dalam tugas akhir ini disebut sebagai Kondisi II).

Disamping kedua kondisi di atas, masih ada dua kondisi lain yang jarang terjadi, slah satunya yaitu baik tulangan tarik maupun tekan sama-sama belum luluh. Hal ini hanya terjadi pada balok bertulangan rangkap dengan penulangan lebih.

Dengan mengcu pada Gambar di bawah ini, akan diturunkan persamaan-persamaan dan langkah-langkah yang akan digunakan untuk menganalisis suatu balok bertulangan rangkap untuk kedua kondisi yang mugkin terjadi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.


(63)

Gambar 2.20. Analisi Balok Bertulangan Rangkap

(Dikutip dari buku Jack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)

Ingat bahwa As2 = As’ dan As1 = As – As2.

Langkah-langkah analisis balok persegi bertulangan rangkap:

Anggap bahwa tulangan tarik dan tulangan tekan telah luluh sehingga :

fs = fs’ = fy

• Dengan menggunakan persamaan pasangan kopel beton tekan dan tulangan baja tarik dan tekan, tinggi balok tekan a dihitung dengan :

T = Cc + Cs As fy = (0.85f’c)ab + As’fy

a =

(

)

(

f c

)

b fy As As

' 85 . 0

'

=

(

f c

)

b fy As

' 85 . 0

1

Tentukan letak garis netral

c = 1

β a


(64)

• Periksa regangan yang terjadi pada tulangan baja tekan dan baja tarik dengan menggunakan diagram regangan.

003 . 0 ' '

c d c

s

− =

ε

003 . 0

c c d

s

− =

ε

Dengan menganggap εs ≥εy, yang berarti tulangan baja tarik telah meluluh, akan timbul salah satu dari kedua kondisi berikut ini :

a. Kondisi I : ε ≥S' εY, menunjukkan bahwa tulangan baja tekan meluluh


(65)

II.4. Struktur Kolom

II.4.1. Umum

Kolom adalah komponen struktur bangunan yang fungsi utamanya adalah meneruskan beban dari sistem lantai ke fondasi. Sebagai bagian dari suatu kerangka bangunan dengan fungsi dan peran tersebut, kolom menempati posisi penting di dalam sistem struktur bangunan. Kegagalan kolom akan berakibat langsung pada runtuhnya komponen struktur lain yang berhubungan dengannya, atau bahkan merupakan batas runtuh total keseluruhan struktur bangunan. Pada umumnya kegagalan atau keruntuhan komponen tekan tidak diawali dengan tanda peringatan yang jelas, bersifat mendadak.

Oleh karena itu, dalam merencanakan struktur kolom harus memperhitungkan secara cermat dengan memberikan cadangan kekuatan lebih tinggi daripada untuk komponen struktur lainnya. Selanjutnya, oleh karena penggunaan didalam praktek umumnya kolom tidak hanya bertugas menahan beban aksial vertikal, defenisi kolom diperluas dengan mencakup tugas menahan kombinasi beban aksial dan momen lentur. Atau dengan kata lain, kolom harus diperhitungkan untuk menyangga beban aksial tekan dengan eksentrisitas tertentu. Secara garis besar ada tiga jenis kolom bertulang, yaitu:

1. Kolom menggunakan pengikat sengkang lateral. Kolom ini merupakan kolom beton yang ditulangi dengan batang tulangan pokok memanjang, yang pada jarak spesi tertentu diikat dengan pengikat sengkang ke arah lateral. Sengkang tersebut berfungsi untuk mengurangi bahaya pecah (spliting) beton yang dapat mempengaruhi daktilitas kolom tersebut.

2. Kolom menggunakan pengikat spiral. Bentuknya sama dengan pengikat lateral, hanya saja sebagai pengikat tulangan pokok memanjang adalah tulangan spiral


(1)

IV.2 PEMBAHASAN

Peraturan beton SK SNI 03-2847-2002 memberikan pembaharuan dan revisi bila dibandingkan dengan peraturan beton PBI 1971. Perbandingan antara SK SNI 03-2847-2002 dan PIB 1971 antara lain:

PBI 1971 SK SNI 03-2847-2002

Metode analisa struktur adalah metode elastik

Metode analisa struktur adalah metode kemampuan batas (ultimate design) Satuan yang digunakan masih dalam satuan

campuran CGS dan MKS

Satuan yang digunakan adalah satuan dalam SI

Mutu beton yang dipakai tidak boleh kurang dari K 175 sebagai syarat umum konstruksi tahan gempa

Mutu beton yang dipakai tidak boleh kurang dari 20 Mpa

Penggunaan jenis baja tulangan keluaran pabrik dapat dipakai sesuai dengan mutu dan jenis baja

Penggunaan baja tulangan dianjurkan menggunakan tulangan ulir, kecuali baja polos diperkenankan untuk tulangan spiral atau tendon

Belum memperhitungkan masalah geser dan puntir dalam keadaan ultimit (batas)

Telah memperhitungkan tata cara hitungan geser dan puntir dalam keadaan ultimit (batas)

Pada perawatan beton awal, waktu yang diperlukan adalah 2 minggu dengan tetap memperhatikan suhu dan kelembapan bidang beton

Pada perawatan beton awal, beton harus dirawat pada suhu diatas 10°C dan dalam kondisi lembab untuk sekurang-kurangnya selama 7 hari setelah pengecoran


(2)

Jika ditinjau dalam segi konstruksi tahan gempa, SK SNI 03-2847-2002 yang mengacu pada peraturan Tata Cara Perencanaan Tahan Gempa untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2002) memberikan pedoman dalam menganalisa dan mendisain bangunan beton bertulang. Hal ini mengacu dari perkembangan teknologi perencanaan gedung tahan gempa terutama dari pengalaman kegagalan struktur akibat gempa yang terjadi.

Peraturan beton SK SNI 03-2847-2002 memberikan perubahan dan tambahan disiplin ilmu pada peraturan beton PBI 1971. Hal ini pada dasarnya dilakukan dengan harapan dapat memberikan suatu standar rancangan bangunan yang semakin baik.

Namun sangat perlu diperhatikan bahwa suatu perubahan peraturan tidak hanya dapat dilakukan berdasarkan penelitian dan percobaan yang direncanakan. Sebagai contohnya, gempa atau faktor alam lain yang sering kali terjadi dalam kurun waktu yang singkat belakangan ini dapat menjadi bahan pengalaman bagi kita untuk lebih mengembangkan peraturan yang ada agar lebih baik lagi.

Dalam penyusunan tugas akhir ini, studi literatur memberikan suatu kesimpulan bahwa peraturan baru mempunyai tingkat keamanan dan efektivitas yang lebih baik dari pada peraturan lama. Dengan peraturan yang baru, direncanakan beton bertulang dapat digunakan dengan tingkat kemampuan yang lebih tinggi sehingga kekuatan potensial yang dimiliki oleh beton bertulang dapat digunakan lebih maksimal, khususnya yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keamanan manusia.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Setelah menyelasaikan penyusunan tugas akhir ini, kesimpulan yang dapat diperoleh sebagai berikut :

1. Dari hasil perhitungan penulangan didapat bahwa SK SNI 03-2847-2002 lebih efisien dibandingkan dengan peraturan lama khususnya PBI 1971, dengan persentase tulangan sebagai berikut:

a. Perhitungan penulangan balok menggunakan SK SNI 03-2847-2002 lebih efisien 42,44% dibandingkan dengan PBI 1971;

b. Perhitungan penulangan kolom menggunakan PBI 1971 lebih efisien 38,85% dari SK SNI 03-2847-2002, dikarenakan pada peraturan yang baru ini perhitungan pada kolom dan tulangan geser lebih bersifat daktail.

c. SK SNI 03-2847-2002 memberikan perubahan dan tambahan standard perencanaan struktur terhadap peraturan lama, khususnya PBI 1971. Dari penyusunan tugas akhir ini, SK SNI 03-2847-2002 memberikan hasil dimensi yang lebih ekonomis dari Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971 untuk balok.


(4)

V.2 Saran

1. Di Indonesia, peraturan atau pedoman yang mengatur perencanaan dan pelaksanaan bangunan beton bertulang yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum RI telah mengalami perubahan beberapa kali, dan yang terakhir adalah Standard SK SNI 03-2847-2002. Maka dari itu, hendaknya setiap peraturan yang baru yang telah diterbitkan hendaknya dimasyarakatkan oleh pemerintah kepada para pelaksana pembangunan, termasuk kepada mahasisiwa melalui berbagai penyuluhan akan pentingnya penerapan peraturan baru yang telah diterbitkan.

2. Pembaharuan tersebut semata-mata bukan hanya untuk keuntungan beberapa pihak, akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan dalam upaya mengimbangi pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya yang berkaitan dengan struktur beton bertulang.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Pekerjaan Umum, Dirjen Cipta Karya, Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan. 1971. Peraturan Beton Bertulang Indonesia. Bandung: Bina marga. 2. Dipohusodo, Istimawan. 1997. Struktur Beton Bertulang. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

3. Departemen Pekerjaan Umum, Dirjen Cipta Karya, Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan. 1987. Pedoman Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung. Bandung.

4. Schodek, Daniel. 1999. Struktur. Jakarta: Erlangga,

5. Departemen Pekerjaan Umum, Dirjen Cipta Karya, Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan. 1987. Pedoman Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Rumah dan

Gedung. Jakarta.

6. Wangsadunata, Wiratman. 1979. Perhitungan Lentur dengan cara “n”. Bandung. 7. Kia Wang, Chu. Salmon, Charles G. Reinforced Concrete Design, Fourth Edition.

Trans. Hariandja, Ir.Binsar. 1985. Disain Beton Bertulang, Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga.

8. Winter, George. Nilson, Arthur H. 1993. Perencanaan Struktur Beton Bertulang. Jakarta : PT Pertja

9. Wahyudi, L. Rahim, Syahril A. 1999. Struktur Beton Bertulang. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

10. Dewobroto, Wiryanto. 2005. Aplikasi Rekayas Konstruksi. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.


(6)

12. Vis W.C, Kusuma Gideon. 1994. Dasar-Dasar Perencanaan Beton Bertulang, seri 1. Jakarta: Erlangga.