dengan apa yang diinginkan. Dalam merubah perilaku memang membutuhkan waktu yang lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari oleh
kesadaran mereka sendiri. Perilaku dapat juga ditumbuhkan oleh orang yang amat berarti dalam hidup.
Bila seseorang amat berarti, maka orang tersebut akan mendengarkan petuahnya dan akan berusaha meneladaninya. Orang yang berarti ini misalnya orang tua, guru di
sekolah, tokoh agama, pemimpin masyarakat, teman dekat, rekan kerja, orang yang berpengalaman luas dan mempunyai keahlian khusus. Usia anak merupakan masa
untuk meniru segala sesuatu yang dilihatnya, baik tingkah laku orang dewasa maupun sebaya. Anak belum dapat membedakan mana yang baik dan tidak, penjelasan
mengenai segala sesuatu yang dilarang maupun yang diperbolehkan harus disertai dengan penjelasan-penjelasan yang mudah dimengerti. Anak akan menyukai hal-hal
yang sering dilihatnya sehari-hari, oleh karena itu pemberian contoh hendaknya dilakukan dengan mencari dari kehidupan sehari-hari Riyanti dan Saptarini, 2010.
4.5 Hubungan antara Pengetahuan Santri tentang PHBS dengan Perilaku
Pencegahan Penyakit Skabies
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang sedang tentang PHBS yaitu sebanyak 48 responden 54,5.
Adapun distribusi frekuensi responden berdasarkan pengetahuan tentang PHBS dengan perilaku pencegahan penyakit skabies disajikan pada tabel 4.6 sebagai
berikut:
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Hubungan Pengetahuan Santri tentang PHBS dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Skabies
Pengetahuan Perilaku Pencegahan Penyakit Skabies
Jumlah Persentase
Baik Sedang
Buruk n
n n
Tinggi 10
11,36 32
36,36 6
6,82 48
54,54 Sedang
7 7,96
10 11,36
23 26,14
40 45,46
Rendah -
- -
- -
- -
- N
17 19,32
42 47,72
29 32,96
88 100
Sumber : Data Primer Terolah, Juni 2011
Hasil tabulasi silang antara tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan penyakit skabies pada santri menunjukkan bahwa responden dengan pengetahuan
yang tinggi kebanyakan memiliki perilaku pencegahan penyakit skabies yang sedang yaitu sebanyak 32 responden atau sebesar 36,36 dan hanya terdapat 10 responden
yang memiliki pengetahuan tinggi dan memiliki perilaku pencegahan penyakit skabies yang baik yaitu sebanyak 10 responden atau sebesar 11,36. Untuk sisanya
sebanyak 6 responden atau sebesar 6,82 memiliki pengetahuan tinggi dengan perilaku pencegahan penyakit skabies tergolong buruk. Sebagaimana dapat dilihat
ditabel 4.6. Kemungkinan masalah tersebut dikarenakan ada faktor-faktor lain yang berperan sehingga perilaku santri tidak sesuai dengan pengetahuan santri tersebut,
misalnya ada atau tidaknya sarana dan prasarana. Sebagai contoh untuk penggunaan air bersih, para santri memilih mandi di sungai karena penyediaan air bersih di
pondok pesantren dirasa kurang mencukupi apabila digunakan untuk seluruh santri yang ada di pondok pesantren tersebut. Menurut Sarwono dalam Fauziah, 2004
menyatakan bahwa pengetahuan yang positif atau tinggi tidak selamanya akan diikuti dengan praktek yang sesuai pula.
Selanjutnya untuk santri yang memiliki tingkat pengetahuan yang sedang sebagian besar memiliki perilaku pencegahan penyakit skabies yang tergolong buruk
yaitu sebanyak 23 responden atau sebesar 26,14. Untuk santri yang memiliki pengetahuan sedang dengan perilaku pencegahan penyakit skabies baik hanya
sebanyak 7 responden atau sebesar 7,96. Sisanya sebanyak 10 responden atau sebesar 11,36 memiliki pengetahuan sedang dengan perilaku pencegahan penyakit
skabies sedang.
Hal ini menunjukkan bahwa subjek kurang memahami tentang cara pencegahan, sumber penularan dan penyebab skabies.
Tidak selamanya seseorang dengan pengetahuan yang tinggi dapat melakukan tindakan atau perilaku mengenai
sesuatu dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan hubungan antara pengetahuan dengan perilaku
pencegahan penyakit skabies dapat diketahui dengan melakukan uji korelasi Spearman Rank Correlation dengan tingkat kepercayaan 95
α = 0,05 dan hasil uji didapatkan nilai p value sebesar 0,001, karena nilai p 0,05 yang berarti H
di tolak maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku
pencegahan penyakit skabies pada santri. Hal ini sesuai dengan teori Lewrence Green yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dan perilaku
seseorang Notoatmodjo,2003. Tingkat keeratan hubungan antara pengetahuan yang sedang menunjukan
bahwa upaya memperbaiki perilaku dengan meningkatkan pengetahuan perlu dilakukan. Walaupun hubungan yang terjadi berada pada tingkat sedang tetapi
keberartian hubungan yang diperoleh menunjukan bahwa perubahan perilaku dengan meningkatkan pengetahuan akan memberi hasil yang cukup berarti. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Rogers dalam Notoatmodjo, 1993 yang menyatakan bahwa pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya
perilaku, dan perilaku yang didasari pengetahuan akan bertahan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Oleh sebab itu diperlukan suatu
upaya untuk memberikan stimulus lebih kepada responden berupa pemberian informasi-informasi yang akan meningkatkan pengetahuan mereka.
Pengetahuan sangat berpengaruh terhadap perilaku pencegahan penyakit skabies, penelitian ini sesuai hasil penelitian Andayani 2005 bahwa 15 responden 30
berpengetahuan jelek kurang baik. Pengetahuan tentang PHBS sangat mempengaruhi terhadap perilaku pencegahan penyakit skabies karena pengetahuan merupakan sumber
yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang.
Hasil penelitian mengatakan bahwa jika pengetahuan santri terkait dengan PHBS semakin baik, maka
dalam upaya melakukan pencegahan penyakit skabies juga akan semakin baik. Demikian sebaliknya jika pengetahuan siswa mengenai PHBS rendah maka ada
kecenderungan dalam melakukan pencegahan penyakit skabies juga akan semakin kurang. Hal ini berarti pengetahuan dapat meningkatkan perilaku santri dalam rangka
mencegah timbulnya penyakit skabies.
4.6 Hubungan antara Peran Ustadz dalam Mencegah Penyakit Skabies dengan