PERBEDAAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA ASMA BRONKIAL PADA PASIEN DENGAN ASMA BRONKIAL DAN PASIEN TANPA ASMA BRONKIAL DI POLI ANAK RAWAT JALAN RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG PADA OKTOBER– DESEMBER 2011

(1)

RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG PADA OKTOBER–DESEMBER 2011

(SKRIPSI)

Oleh

YOGIE IRAWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

DIFFERENCE OF ASTHMA BRONCHIAL RISK FACTORS BETWEEN PATIENT WITH ASTHMA BRONCHIAL AND PATIENT WITHOUT ASTHMA BRONCHIAL IN OUTPATIENT SECTION FOR CHILDREN OF DR. H. ABDUL MOELOEK HOSPITAL IN OCTOBERDESEMBER

2011

By

YOGIE IRAWAN

Asthma Bronchial is a chronic respiratory disease with highest prevalence among children and is a common disease in the community. Multicenter study about the prevalence of asthma bronchial in children shows that the prevalence rate in Palembang is 7.4%, in Jakarta is 5.7%, and in Bandung is 6.7% (Kartasasmita, 1996). The aim of this study was to determine risk factors of asthma bronchial on respondents. Risk factors observed in the study are patient atopic history, family atopic history, pet possession, exposure to smoke of cigarette, use of cotton mattress, economic status, obesity and gender. It was an unpaired categorical analitic comparative study, with cross sectional approach on 100 respondents used consecutive sampling technique. The data collected by questionnaire and analyzed by Chi-square.


(3)

26 respondents who had asthma, 22 respondents (88%) had atopic history, 24 respondents (92%) had family atopic history, 21 respondents (80%) own a pet, 24 respondents (92%) had exposure to cigarette smoke, 19 respondents (73%) are using cotton mattress , 22 respondents (84%) had low economic status, 8 respondents (30%) had obesity and 12 respondents (46%) are man.

Chi-square test results showed significant difference with p value < 0.1 for patient atopic history (p=0.00), family atopic history (p=0.00), pet ownership (p=0.00), exposure to cigarette smoke (p=0.013), use of cotton mattress (p=0.017) and economic status (p=0.006). Meanwhile, gender (p=0448) and obesity (p=0.274) has no significant difference.


(4)

PERBEDAAN FAKTOR RISIKO TERJADINYA ASMA BRONKIAL PADA PASIEN DENGAN ASMA BRONKIAL DAN PASIEN TANPA ASMA

BRONKIAL DI POLI ANAK RAWAT JALAN RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG

PADA OKTOBERDESEMBER 2011

Oleh YOGIE IRAWAN

Asma bronkial merupakan penyakit kronis yang paling sering terjadi pada anak-anak dan merupakan penyakit yang masih banyak terjadi di masyarakat.Penelitian multisenter mengenai prevalensi asma bronkial pada anak menghasilkan angka prevalensi di Palembang 7,4%; di Jakarta 5,7%; dan di Bandung 6,7% (Kartasasmita, 1996). Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan faktor risiko terjadinya asma bronkial pada pasien dengan asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial di Poli Anak Rawat Jalan RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Lampung pada Oktober–Desember 2011. Faktor risiko yang diamati yaitu riwayat atopi pasien, riwayat atopi keluarga,


(5)

dari data primer dan sekunder dengan sampel sebanyak 100 responden.Tehnik sampling yang digunakan yaituconsecutive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan kuisioner, lalu pengolahan data menggunakanChi-square.

Hasil penelitian ini menunjukan dari 100 responden, 26 (26%) responden menderita asma dan 74 (74%) responden tidak menderita asma. Dari 26 responden yang menderita asma, yang memiliki riwayat atopi berjumlah 22 orang (88%), riwayat atopi keluarga berjumlah 24 orang (92%), kepemilikan binatang piaraan berjumlah 21 orang (80%), pajanan terhadap asap rokok berjumlah 24 orang (92%), menggunakan kasur kapuk berjumlah 19 orang (73%), status ekonomi rendah berjumlah 22 orang (84%), jenis kelamin laki-laki 12 orang (46%) dan obesitas 8 orang (30%).

Hasil ujiChi-squaremenunjukan ada perbedaan yang bermakna antara faktor risiko pada pasien dengan asma bronkial dan tanpa asma bronkial denganp value<0,1 pada riwayat atopi pasien (p=0.00), riwayat atopi keluarga (p=0.00), kepemilikan binatang piaraan (p=0.00), pajanan terhadap asap rokok (p=0.013), penggunaan kasur kapuk (p=0.017) dan status ekonomi rendah (p=0.006). Sedangkan pada faktor jenis kelamin (p=0,448) dan obesitas (p=0.274) tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna.


(6)

RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG PADA OKTOBER–DESEMBER 2011

Oleh

YOGIE IRAWAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(7)

BRONKIAL DAN PASIEN TANPA ASMA BRONKIAL DI POLI ANAK RAWAT JALAN RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG PADA

OKTOBER–DESEMBER 2011

Nama Mahasiswa : Yogie Irawan

Nomor Pokok Mahasiswa : 0818011105

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

dr. Roro Rukmi Windi P M. kes dr. Khairun Nisa, M. kes AIFO

NIP. 198105052006042002 NIP. 197402262001122002

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001


(8)

1. Tim Penguji

Ketua :

dr. Roro Rukmi Windi P. M.kes

Sekretaris :

dr. Khairun Nissa M.kes AIFO

Penguji

Bukan Pembimbing :

dr. Sahab Sibuea M.sc

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed

NIP. 195704241987031001


(9)

Penulis dilahirkan di Metro pada tanggal 03 Maret 1991, sebagai anak keempat dari lima bersaudara, dari Bapak Ibrahim isa dan Ibu Evwani Sriwijayanti.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Pertiwi Teladan diselesaikan tahun 1996, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Pertiwi Teladan Metro pada tahun 2002, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SMP N 3 Metro pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA N 1 Metro pada tahun 2008.

Tahun 2008, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Lampung melalui jalur ujian Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada organisasi Pakis Rescue Team FK Unila periode 2009-2010 dan periode 2008-2009.


(10)

i

Kupersembahkan karya ini

kepada kedua orang tua,


(11)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan dan nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarganya, para sahabatnya dan kita selaku umatnya sampai akhir zaman.

Skripsi berjudul ” Perbedaan Faktor Risiko Asma Bronkial pada Pasien Dengan Asma Bronkial dan Pasien Tanpa Asma Bronkial pada Pasien Rawat Jalan Poli Anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek pada Oktober-Desember 2011” ini disusun merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada semua pihak yang telah berperan atas dorongan, bantuan, saran, kritik dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan antara lain kepada :


(12)

2. Dr. Sutyarso, M. Biomed selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

3. dr. Roro Rukmi Windi P, M.Kes selaku Pembimbing Pertama atas semua bantuan, saran, bimbingan, pengarahan dan semangat yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini.

4. dr. Khairun Nisa M.Kes AIFO, selaku Pembimbing Kedua atas semua bantuan, saran, bimbingan, dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 5. dr. Sahab Sibuea, M.Sc selaku Pembahas yang telah memberikan banyak

masukan dan nasehat selama penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Soraya Rahmanisa S.Si M.Sc. selaku Pembimbing Akademik

7. Bapak, Emak, Puan, Kiyai, Ivan, alvaro dan seluruh keluarga besar yang selalu memberi semangat dan doa hingga skripsi ini selesai.

8. Seluruh staf dosen FK Universitas Lampung atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita.

9. Bapak dan Ibu Staff Administrasi FK Unila, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.

10. Zerri, Jeffry, Yoga, Taufik dan Ihsan, terima kasih, buat semuanya.

11. Topan, Iqbal, Ronalda, Raden, Gunawan, Ryan “Jagal”, Bais, Ibnu, Arif, Saga, dan Dzikri, Riko, Aris, Rezandi, Pahala, Ardiansyah dan Heru, terima kasih atas keakraban dan kebersamaan yang telah diberikan selama ini.


(13)

13. Inna Windhatria, untuk senyumannya yang manis.

14. Angkatan 2008, teman-teman senasib, sepenanggungan, seperjuangan selama menuntut ilmu di FK Unila.

15. Kakak dan adik tingkat (angkatan 2002–2011) yang sudah memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran;

16. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Kedokteran UNILA.

17. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu.

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.

Demikianlah, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Februari 2012


(14)

HALAMAN

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Kerangka Pemikiran ... 11

F. Hipotesis... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Definisi Anak ... 14

B. Asma bronkial Bronkial... 15

C. PrevalensiAsma bronkial………..……… 29 D. Faktor Resiko……… 30

III. METODE PENELITIAN ... 42

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 42

B. Rancangan Penelitian ... 42

C. Variabel Penelitian ... 43

D. Definisi Operasional ... 44

E. Populasi dan Sampel ... 45

F. Keriteria Inklusi ... 47

G. Pengumpulan Data ... 47


(15)

DAFTAR PUSTAKA ... 78 LAMPIRAN... 81


(16)

DAFTAR TABEL

TABEL HALAMAN

1. Tabel 1... 17

2. Tabel 2 ... 18

3. Tabel 3... 32

4. Tabel 4... 44

5. Tabel 5... 45

6. Tabel 6... 52

7. Tabel 7... 52

8. Tabel 8... 53

9. Tabel 9... 53

10. Tabel 10... 54

11. Tabel 11... 54

12. Tabel 12... 55

13. Tabel 13... 55

14. Tabel 14... 56

15. Tabel 15... 57

16. Tabel 16... 57

17. Tabel 17... 58

18. Tabel 18... 59

19. Tabel 19... 59

20. Tabel 20... 60

21. Tabel 21... 61

22. Tabel 22……… 61


(17)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR HALAMAN

I. Gambar 1. Kerangka Teori... 11 II. Gambar 2. kerangka konsep... 12


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak maupun dewasa di negara berkembang maupun negara maju. Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi asma bronkial meningkat pada anak maupun dewasa. Prevalensi total asma bronkial di dunia diperkirakan 7,2 % (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi tersebut sangat bervariasi pada tiap negara dan bahkan perbedaan juga didapat antar daerah di dalam suatu negara. Prevalensi asma bronkial di berbagai negara sulit dibandingkan, tidak jelas apakah perbedaan angka tersebut timbul karena adanya perbedaan kritertia diagnosis atau karena benar-benar terdapat perbedaan (IDAI, 2010).

Sebenarnya asma bronkial bukan termasuk penyakit yang mematikan , namun morbiditas dan mortalitas asma bronkial relatif meningkat tiap tahunnya, menurut perkiraan WHO, sekitar 300 juta orang menderita asma bronkial dan 255 ribu orang meninggal karena asma bronkial di dunia pada tahun 2005 dan angka ini masih terus meningkat. Dilaporkan pada bahwa tahun 1994 sekitar


(19)

5500 pasien asma bronkial meninggal di Amerika. Angka kematian pada setiap kelompok usia meningkat pada tahun 1980-1995. Kematian akibat asma bronkial pada semua usia meningkat 3,4% tiap tahun, sejak tahun 1980-1998. Kematian mencapai 3,8 per 1 juta anak pada tahun 1996, menurun menjadi 3,1 per 1 juta anak pada tahun 1997, dan meningkat kembali 3,5 per 1 juta anak pada tahun 1998. Berdasarkan laporan NCHS pada tahun 2000, terdapat 4487 kematian akibat penyakit asma bronkial atau 1,6 per 100.000 populasi (NCHS, 2003).

Riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh badan penelitian dan pengembangan kesehatan dalam rangka mengetahui berbagai prevalensi penyakit pada tahun 2007 mendapatkan bahwa prevalensi penyakit asma bronkial di Indonesia adalah sebesar 3,32%. Prevalensi asma bronkial terbesar adalah di provinsi Gorontalo yaitu sebesar 7,23%, dan terendah adalah di provinsi NAD (Aceh) sebesar 0,09%. Sedangkan prevalensi asma bronkial pada provinsi Lampung adalah 1,45%.

Sidhartani pada tahun 1994 meneliti 632 anak usia 12-16 tahun di Semarang dan menemukan prevalensi asma bronkial 6,2%.

Penelitian multisenter di beberapa pusat pendidikan di Indonesia mengenai prevalensi asma bronkial pada anak usia 13-14 tahun (SLTP) menghasilkan angka prevalensi di Palembang 7,4%; di Jakarta 5,7%; dan di Bandung 6,7% (Kartasasmita, 1996).


(20)

Laporan kasus penyakit tidak menular pada dinas kesehatan Jawa Tengah khusus penderita asma bronkial bronkial dari beberapa rumah sakit di

kabupaten Kudus tahun 2005 sebanyak 6.315 penderita, tahun 2006 sebanyak 6.579 penderita,sedangkan pada tahun 2007 sampai pada bulan Maret

sebanyak 2.958. Laporan kasus asma bronkial bronkial pada anak rumah sakit daerah Kudus tahun 2005 sebanyak 160 penderita asma bronkial bronkial, sedangkan tahun 2006 sebanyak 118 anak, dan pada tahun 2007 sebanyak 89 penderita bronkial anak (Dinkes Jateng, 2007).

Asma bronkial memberi dampak negatif bagi kehidupan pengidapnya, seperti menyebabkan sering tidak masuk sekolah atau kerja dan membatasi kegiatan olahraga serta aktifitas dari individu maupun seluruh keluarganya. Pada anak-anak, biaya tidak langsung meningkat jika anak dirawat sehingga menggangu pekerjaan keluarga. Menurut sumber, di Amerika tiap harinya 30.000 orang kambuh, 40.000 orang tidak masuk kerja dan sekolah dan 5.000 orang masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD) akibat asma bronkial. Anak dengan asma bronkial membutuhkan biaya kesehatan 2,8 kali lebih tinggi daripada anak tanpa asma bronkial (CDC, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyo pada pasien anak penderita asma bronkial yang datang berobat ke klinik paru dokter spesialis paru di Semarang menyatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara derajat penyakit asma bronkial dengan skor kualitas hidup, semakin berat derajat penyakit asma


(21)

bronkial maka skor kualitas hidupnya semakin rendah. Dimana skor kualitas hidup dinilai melalui keadaan fisik, emosi, sosial, dan hubungannya dengan penyakit asma bronkial yang diderita melalui sebuah kuisioner yang

ditanyakan kepada subyek penelitian (Sulistyo, 2005).

Berdasarkan penelitian sebelumnya, karakteristik asma bronkial pada anak digambarkan melalui faktor-faktor risiko yang terdapat pada anak penderita asma bronkial. Faktor risiko asma bronkial adalah berbagai faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma bronkial, kejadian asma bronkial, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma bronkial. Beberapa faktor tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, alergen, infeksi, atopi, lingkungan, dan lain-lain (IDAI, 2010).

Risiko berkembangnya asma bronkial merupakan interaksi antara faktor pejamu (host faktor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma bronkial, yaitu genetik, alergik (atopi),hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau predisposisi asma bronkial untuk berkembang menjadi asma bronkial, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma bronkial menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan


(22)

(virus), diet, status sosio-ekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan bahwa baik faktor lingkungan maupun faktor genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma bronkial, dan pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma bronkial pada individu dengan genetik asma bronkial (PDPI, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi asma bronchial akan berbeda pada tiap individu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo pada tahun 2008 pada pasien asma bronkial di RS Daerah Kudus, didapatkan bahwa faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian asma bronkial pada anak adalah; jenis kelamin, kepemilikan binatang piaraan, perubahan cuaca, riwayat penyakit keluarga, asap rokok. Sedangkan faktor risiko yang tidak terbukti berpengaruh adalah perabot rumah tangga sumber alergen, jenis makanan, dan debu rumah. Ketiga faktor tersebut berpengaruh akan tetapi besar risiko yang diakibatkan lebih kecil, dan secara statistik tidak bermakna.Terdapat hubungan antara kontak dengan kucing dengan risiko mengidap asma bronkial pada anak. Anak yang memiliki riwayat kontak dengan kucing memiliki empat kali lipat kemungkinan mengidap asma bronkial dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat kontak dengan kucing. Selain itu kontak dengan kecoa, penggunaan kasur kapuk, perokok pasif, dan riwayat atopi juga merupakan faktor yang terbukti berpengaruh secara signifikan (Made, 2009).


(23)

Penelitian di Australia menunjukan bahwa derajat beratnya penyakit asma bronkial tidak banyak berubah dengan berjalannya waktu. Sebagai

konsekuensi, anak dengan asma bronkial berat saat usia sekolah akan mengalami asma bronkial berat saat dewasa sampai berusia 35 tahun.

Sebaliknya, anak dengan asma bronkial ringan akan menunjukan gejala yang ringan pada masa dewasa. Berdasarkan keadaan ini, bayi dan anak kecil yang mempunyai risiko mengalami asma bronkial di kemudian hari harus

diidentifikasi agar strategi intervensi dini dapat ditentukan.

Bandar Lampung adalah kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di

Propinsi Lampung dan masih terus bertambah, yaitu 743.109 jiwa pada tahun 2000 dan 841.370 jiwa pada tahun 2009. Sedangkan pada tahun 2009, jumlah populasi berdasarkan umur pada kelompok umur 0-4 tahun adalah 80714 jiwa, 5-9 tahun adalah 78731 jiwa, 10-14 80280 jiwa, dan 15-19 tahun sebanyak 83967 jiwa (BPS Lampung, 2011). Asma bronkial merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga tahun 1986 menunjukan asma bronkial

menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma bronkial, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma bronkial diseluruh Indonesia sebesar 13/1000 dibandingkan dengan bronkitis kronik11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Secara keseluruhan prevalensi asma bronkial di dunia


(24)

meningkat. Kendati Indonesia dinyatakan sebagailow prevalence country untuk asma bronkial, kenyataan sulit dibantah bahwa asma bronkial ada di mana-mana. Sebagaimana yang tertera dalam buku Ilmu Kesehatan Anak Nelson, disebutkan bahwa penyakit asma bronkial merupakan penyakit kronik terbanyak pada anak. RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung adalah rumah sakit pusat rujukan di propinsi lampung, akan tetapi penelitian

sebelumnya tentang penyakit pernapasan khususnya asma bronkial pada anak, baik penelitian mengenai prevalensi maupun faktor risiko asma bronkial anak di poli anak tersebut belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai perbedaan faktor risiko penyakit asma bronkial antara pasien penderita asma bronkial dengan pasien tanpa asma bronkial di poli anak rawat jalan RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada bulan Oktober-Desember 2011.

B. Rumusan Masalah

Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang paling sering pada anak, dan prevalensinya terus meningkat setiap tahun. Kejadian asma bronkial

dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.Asma bronkial yang tidak ditangani dengan baik pada masa anak-anak akan menyebabkan penyakit asma bronkial yang lebih berat pada masa dewasa dibandingkan dengan asma bronkial yang ditangani dengan baik pada masa anak-anak. Sedangkan di Bandar Lampung masih belum ada penelitian


(25)

mengenai prevalensi, maupun faktor risiko yang mempengaruhi kejadian asma bronkial.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimanakah perbedaan faktor risiko penyakit asma bronkial pada pasien dengan asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial di poli anak rawat jalan RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada Oktober-Desember 2011.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

- Untuk mengetahui perbedaan faktor risiko penyakit asma bronkial pada pasien penderita asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial di poli anak rawat jalan RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung pada bulan Oktober-Desember 2011

2. Tujuan Khusus

- Mengetahui gambaran kejadian asma bronkial pada pasien rawat jalan poli anak di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek pada bulan Oktober–Desember 2011

- Mengetahui perbedaan faktor riwayat atopi pasien pada pasien dengan asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial


(26)

- Mengetahui perbedaan faktor riwayat atopi keluarga pada pasien dengan asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial

- Mengetahui perbedaan faktor kepemilikan binatang piaraan pada pasien dengan asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial - Mengetahui perbedaan faktor paparan asap rokok pada pasien

dengan asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial

- Mengetahui perbedaan faktor penggunaan kasur kapuk pada pasien dengan asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial

- Mengetahui perbedaan faktor status ekonomi pada pasien penderita asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial

- Mengetahui perbedaan faktor obesitas pada pasien dengan asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial

- Mengetahui perbedaan faktor jenis kelamin pada pasien dengan asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial


(27)

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai faktor-faktor risiko asma bronkial, sehingga dapat dilakukan intervensi dini sebagai upaya pencegahan.

2. Bagi Peneliti

Menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan penulis terutama mengenai faktor faktor risiko asma bronkial pada anak.

3. Bagi Peneliti Lain

Memberikan informasi serta sebagai tambahan kepustakaan yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan mengenai faktor risiko asma bronkial pada anak

4. Bagi Instansi (RSUD Dr.H. Abdul Moeloek)

Memberikan informasi mengenai faktor-faktor risiko asma bronkial pada anak, agar dapat dilakukan upaya pencegahan asma bronkial pada pasien RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Bandar Lampung.


(28)

E. Kerangka Pemikiran Kerangka Teori :

Gambar 1. Kerangka Teori (PDPI, 2003). Kejadian Asma bronkial

Faktor Lingkungan :

- Indoor alergen(binatang dan perabot rumah dll)

- Outdoor alergen(dari tumbuhan dll) - sensitisasi lingkungan kerja

- asap rokok - polusi udara

- infeksi pernapasan (virus) - diet(kebiasaan makan) - status sosio-ekonomi dan - besarnya keluarga - Obesitas

Faktor Pejamu :

- Riwayat atopi penderita - Riwayatatopi keluarga - Umur

- Jenis kelamin - Etnis atau ras


(29)

Kerangka Konsep :

Berdasarkan uraian kerangka teori diatas, kerangka konsep yang di tetapkan tertera pada bagan sebagai berikut :

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2. Kerangka Konsep.

Kejadian asma bronkial Faktor Lingkungan

• Binatang piaraan

• Asap rokok

• Obesitas

• Kasur kapuk

• Status ekonomi

Faktor Pejamu

• Riwayat atopi pasien

• Riwayat atopi keluarga


(30)

F. Hipotesis

1. Faktor riwayat atopi pasien lebih banyak pada pasien asma bronkial dibandingkan dengan pasien tanpa asma bronkial

2. Faktor riwayat atopi keluarga lebih banyak pada pasien asma bronkial dibandingkan dengan pasien tanpa asma bronkial

3. Faktor kepemilikan binatang piaraan lebih banyak pada pasien asma bronkial dibandingkan dengan pasien tanpa asma bronkial

4. Faktor paparan asap rokok lebih banyak pada pasien asma bronkial dibandingkan dengan pasien tanpa asma bronkial

5. Faktor penggunaan kasur kapuk lebih banyak pada pasien asma bronkial dibandingkan dengan pasien tanpa asma bronkial

6. Ekonomi rendah lebih banyak pada pasien asma bronkial dibandingkan dengan pasien tanpa asma bronkial

7. Penderita obesitas lebih banyak pada pasien asma bronkial dibandingkan dengan pasien tanpa asma bronkial

8. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak pada pasien asma bronkial dibandingkan dengan pasien tanpa asma bronkial


(31)

A. Definisi Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) memberikan batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330 yang berbunyi belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin. Pengertian tentang anak secara khusus (legal formal) dapat kita ketemukan dalam pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.

Sedangkan menurut pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pengertian anak adalah Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) Tahun dan belum menikah,


(32)

termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya (KUHPdt, 2007).

Menurut rumusan Elizabeth B. Hurlock tentang tahap perkembangan manusia, disebutkan bahwa masa kanak- kanak awal adalah dari umur 2 sampai 6 tahun, masa kanak - kanak akhir dari umur 6 sampai 10 atau 11 tahun, masa Pubertas (pra adolesence) dari umur 11 sampai 13 tahun, masa remaja awal dari umur 13 sampai 17 tahun, sedangkan masa remaja akhir 17 sampai 21 tahun (Anonim, 2011).

B. Asma bronkial Bronkial

1. Definisi

Nelson mendefinisikan asma bronkial sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan

penyumbatan, serta adanya riwayat asma bronkial atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.

Batasan asma bronkial yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel


(33)

mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan

pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.

2. Klasifikasi

Sangat sukar membedakan satu jenis asma bronkial dengan asma bronkial yang lain. Dahulu dibedakan asma bronkial alergik (ekstrinsik) dan non-alergik (intrinsik). Asma bronkial non-alergik terutama munculnya pada waktu anak-anak, mekanisme serangan melalui reaksi alergi tipe I terhadap alergen. Sedangkan asma bronkial dikatakan asma bronkial intrinsik bila tidak ditemukan tanda-tanda reaksi hipersensitivitas terhadap alergen. Namun klasifikasi tersebut pada praktiknya tidak mudah dan sering pasien mempunyai kedua sifat alergik dan non-alergik, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma bronkial dalam 3 kategori, yaitu : 1). Asma bronkial ekstrinsik, 2). Asma bronkial intrinsik, 3). Asma bronkial yang berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik (Sundaru, 2007)


(34)

NAEPP (National Asthma Education and Prevention Program)

mengklasifikasikan gradasi asma bronkial seperti tertera di tabel berikut (Anonim, 2007).

Tabel 1 Klasifikasi Gradasi Asma bronkial Berdasarkan NAEPP Klasifikasi Gejala Gejala malam

hari Fungsi paru Intermiten ringan Persisten ringan Persisten sedang Persisten berat

- Gejala≥ 2 kali perminggu - Asimtomatik dan PEF normal

di antara eksaserbasi

- Eksaserbasi singkat (beberapa jam sampai beberapa hari) intensitas mungkin bervariasi - ≥ 2kali/minggu namun di

bawah 1kali/hari

- Eksaserbasi mungkin mempengaruhi aktivitas - FEV1 / PEF≥ 80% perkiraan - Variabilitas PEF 20-30% - Gejala muncul setiap hari - Penggunaan harian inhalasi

agonis β2 kerja singkat

- Eksaserbasi mempengaruhi aktivitas

- Eksaserbasi≥ 2kali/minggu - Gejala muncul terus-menerus - Aktivitas fisik terbatas - Sering eksaserbasi

≤ 2 kali/bulan

≥ 2kali/minggu

≥1kali/ minggu

Sering

- FEV1 atau PEV ≥ 80% perkiraan - Variabilitas PEF

20%

- FEV1/PEF ≥ 60 -80% perkiraan - Variabilitas PEF

> 30%

- FEV1/PEF ≤ 60% perkiraan - Variabilitas PEF


(35)

Sedangkan Pedoman Nasional Asma bronkial Anak Indonesia membagi asma bronkial menjadi 3 derajat penyakit seperti tabel berikut (Anonim, 2006):

Tabel 2 pembagian derajat penyakit asma bronkial pada anak menurut PNAA 2004

Parameter klinis, kebutuhan obat, dan faal paru

Asma bronkial episodik jarang (asma bronkial ringan)

Asma bronkial episodik sering (asma bronkial sedang

Asma bronkial persisten (asma bronkial berat)

1. Frekuensi serangan 2. Lama serangan

3. Di antara

serangan

4. Tidur dan

aktivitas

5. Pemeriksaan fisik di luar serangan 6. Obat pengendali

(anti inflamasi) 7. Uji faal paru

(diluar serangan) 8. Variabilitas faal

paru (bila ada serangan)

< 1 kali / bulan < 1 minggu Tanpa gejala

Tidak terganggu Normal Tidak perlu

PEF / FEV1 > 80%

Variabilitas > 15%

> 1 kali / bulan ≥ 1 minggu

Sering ada

gejala Sering terganggu Mungkin terganggu Nonsteroid / steroid hirupan dosis rendah PEF / FEV1 60% - 80% Variabilitas > 30%

Sering Hampir

sepanjang tahun, tidak ada remisi

Gejala siang dan malam

Sangat terganggu Tidak pernah normal

Steroid hirupan / oral

PEF / FEV1 < 60% variabilitas 20% - 30% Variabilitas > 50%

3. Patogenesis

Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma bronkial belum diketahui dengan pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukan bahwa dasar gejala asma bronkial adalah inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan (Sundaru, 2007).


(36)

3.1.Asma Bronkial Sebagai Penyakit Inflamasi

Asma bronkial saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma bronkial dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensoris), dan fungsiolaesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata ke enam syarat tadi dijumpai pada asma bronkial tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non-alergik. Seperti telah dikemukakan sebelumnya baik asma bronkial alergik maupun non-alergik dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh karena itu, paling tidak dikenal dua jalur untuk

mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama di dominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen kedalam tubuh akan diolah oleh APC (antigen presenting cells= sel pengaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel T penolong inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma bronkial membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, sel eusinofil, sel netrofil, trombosit serta limfosit untuk

mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrin (LT),


(37)

platelet aktivating faktor(PAF), bradikinin, tromboksin (TX) dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Jalur non-alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSR (Sundaru, 2007).

3.2.Hipereaktivitas Saluran Nafas (HSR)

Yang membedakan asma bronkial dengan orang normal adalah sifat saluran nafas pasien asma bronkial yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma bronkial alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut diatas pasien juga sangat peka terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSM diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat. Berbagai keadaan dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran nafas seseorang yaitu : inflamasi saluran nafas, kerusakan epitel, mekanisme neurologis, gangguan intrinsik dan obstruksi saluran nafas (Sundaru, 2007).


(38)

4. Patofisiologi

Obstruksi saluran napas pada asma bronkial merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi.

Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflamasi ini bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflamasi ini diperlukan otot-otot bantu napas (Price, 2003).

Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif dengan FEP1(Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedangkan penurunan KPV (kapasitas vital paksa) menggambarkan derajat hiperinflamasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan disaluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi. (Price, 2003)


(39)

Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata diseluruh bagian paru. Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada asma bronkial sub klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2menjadi berlebihan sehingga PaCO2menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma bronkial yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan terjadi pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2(hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkanshuntingyaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik. Akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran napas pada asma bronkial akan

menimbulkan hal-hal sebagai berikut : 1). Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi 2). Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru. 3). Gangguan difusi gas di tingkat alveoli.Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan : hipoksemia, hiperkapnia, asidosis respiratorik pada tahap yang sangat lanjut (Price, 2003).


(40)

5. Gambaran Klinis

Gambaran klinis asma bronkial klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma bronkial alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma bronkial yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilahcough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin (Sundaru, 2007)

Pada asma bronkial alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma bronkial tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma bronkial alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca. Lain halnya dengan asma bronkial akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alatpeak flow meteratau uji provokasi dengan bahan


(41)

tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis (Sundaru, 2007).

6. Diagnosis

Diagnosis asma bronkial didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada saat malam atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien maupun keluarganya seperti rinitis alergi, dermatitis atopik membantu diagnosis asma bronkial. Gejala asma bronkial sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Ada kalanya gejala lebih sering timbul pada musim tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan. Dengan mengetahui faktor pencetus, kemudian menghindarinya, maka diharapkan gejala asma bronkial dapat dicegah (Price, 2003).

7. Tatalaksana Asma bronkial

GINA membagi tatalaksana serangan asma bronkial menjadi dua, yaitu tatalaksana di rumah dan di Rumah Sakit. Tatalaksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur dan mempunyai pendidikan yang cukup. Pada panduan pengobatan di rumah,


(42)

disebutkan bahwa terapi awal adalah inhalasi β2~agonis kerja cepat

sebanyak 2 kali dengan selang waktu 20 menit. Bila belum ada perbaikan, segera mencari pertolongan ke dokter atau sarana kesehatan.

Terapi medikamentosa untuk asma bronkial meliputi Bronkodilator (Beta Adrenergik, Methyl Xanthine) yang menstimulasi reseptor-reseptor beta adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic~AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilasi, Antikolinergik (Ipratropium Bromida) yang jika diberikan

bersamaan dengan β2~agonis akan menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik, dan Kortikosteroid yang bila diberikan secara sistemik akan mempercepat perbaikan serangan asma bronkial dan dapat mencegah progresivitas asma bronkial, mengurangi gejala, dan memperbaiki fungsi paru.

Pada asma bronkial persisten ringan, penderita membutuhkan obat

pengontrol setiap hari untuk mengontrol asma bronkialnya dan mencegah agar asma bronkialnya tidak bertambah berat sehingga terapi utama pada asma bronkial persisten ringan adalah anti inflamasi setiap hari dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang dianjurkan 200-400 ug BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya, diberikan

sekaligus atau terbagi 2 kali sehari. Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila penderita membutuhkan


(43)

pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari, pertimbangkan kemungkinan beratnya asma bronkial meningkat menjadi tahapan berikutnya.

Pada asma bronkial persisten sedang, penderita membutuhkan obat pengontrol setiap hari untuk mencapai asma bronkial terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya pengontrol adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari atau 250-500 ug FP/ hari atau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari (bukti A). Jika penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (£ 400 ug BD atau ekivalennya) dan belum

terkontrol; maka harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam satu kemasan (fix

combination) agar lebih mudah.

Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Alternatif agonis beta-2 kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol.


(44)

Pada asma bronkial persisten berat, tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug BD/ hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari.

Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi). Jika sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehingga tidak dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma


(45)

bronkial di luar serangan/ stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.

8. Prevensi dan Intervensi Dini

Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama dokter, khususnya spesialis anak dalam menangani anak asma bronkial. Pengendalian lingkungan, pemberian asi eksklusif minimal 4 bulan, penghindaran makanan berpotensi alergenik, pengurangan pajanan terhadap tungau debu rumah dan rontokan bulu binatang, telah terbukti mengurangi timbulnya asma bronkial. Manfaatnya untuk menurunkan prevalensi asma bronkial jangka panjang diduga ada tetapi masih dalam penelitian (GINA,2006).

Penggunan antihistamin nonsedatif, sepertiketotifendansetirizinjangka panjang dilaporkan dapat mencegah terjadinya asma bronkial pada anak dengan dermatitits atopik (GINA,2006).

Saat ini telah banyak bukti menunjukan bahwa alergi merupakan salah satu faktor penting dalam berkembangnya asma bronkial. Paling tidak 75-90% balita asma bronkial terbukti balita asma bronkial mengidap alergi, baik di nnegara berkembang maupun di negara maju. Atopi merupakan faktor risiko bermakna bagi menetapnya hiperaktivitas bronkus dan gejala asma bronkial. Adanya dermatitis atopik merupakan petunjuk


(46)

Terdapat hubungan antara pajanan alergen dengan sensitisasi. Pajanan yang tinggi berhubungan dengan meningkatnya gejala asma bronkial pada anak (Made, 2009).

Setiap keluarga yang mempunyai anak asma bronkial harus melakukan pengendalian lingkungan, antara lain sebagai berikut : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak memelihara binatang berbulu (kucing, anjing dan burung), Memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau.

Edukasi yang baik mengenai asma bronkial dan segala sesuatu yang berhubungan dengan asma bronkial (penyebab, pencetus, gejala, pengobatan, dan pencegahan) harus diberikan kepada pasien dan keluarganya agar asma bronkial yang diderita dapat ditangani sebaik mungkin sehingga menghindarkan pasien dari risiko semakin parahnya asma bronkial penderita (GINA,2006).

C. Prevalensi Asma bronkial

Prevalensi asma bronkial dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan adalah 1,5 : 1, tetapi menjelang dewasa perbedaan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak daripada


(47)

laki-laki. Umumnya prevalensi anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak (Sundaru, 2011). Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota lain di negara yang sama. Di indonesia prevalensi asma bronkial berkisar antara 5-7%.

Penelitian mengenai prevalansi asma bronkial telah banyak dilakukan dan hasilnya telah dilaporkan oleh berbagai negara. Namun, umumnya kriteria penyakit asma bronkial yang digunakan belum sama, sehingga sulit dibandingkan. Untuk mengatasi hal tersebut, telah dilakukan penelitian prevalensi asma bronkial dengan menggunakan kuesioner standar. Contohnya adalah ISAAC fase I tahun 1996, yang dilanjutkan dengan ISAAC fase III tahun 2002.

D. Faktor Risiko

Risiko berkembangnya asma bronkial merupakan interaksi antara faktor pejamu (host faktor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma

bronkial, yaitu genetik asma bronkial, alergik (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau predisposisi asma bronkial untuk berkembang menjadi asma bronkial, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma bronkial menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi


(48)

faktor genetik atau pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui

kemungkinan pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma bronkial pada individu dengan genetik asma bronkial, dan baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma bronkial.


(49)

Tabel 3. Faktor Risiko pada asma bronkial (PDPI, 2003). Faktor Pejamu

Prediposisi genetik Atopi

Hiperesponsif jalan napas Jenis kelamin

Ras/ etnik

Faktor Lingkungan

Mempengaruhi berkembangnya asma bronkial pada individu dengan predisposisi asma bronkial

Alergen di dalam ruangan

• Mite domestik

• Alergen binatang

• Alergen kecoa

• Jamur (fungi, molds, yeasts) Alergen di luar ruangan

• Tepung sari bunga

• Jamur (fungi, molds, yeasts) Bahan di lingkungan kerja Asap rokok

• Perokok aktif

• Perokok pasif Polusi udara

• Polusi udara di luar ruangan

• Polusi udara di dalam ruangan Infeksi pernapasan

• Hipotesis higiene Infeksi parasit Status sosioekonomi Besar keluarga Diet dan obat Obesiti

Faktor Lingkungan

Mencetuskan eksaserbasi dan atau`menyebabkan gejala-gejala asma bronkial menetap

Alergen di dalam dan di luar ruangan Polusi udara di dalam dan di luar ruangan Infeksi pernapasan

Exercisedan hiperventilasi Perubahan cuaca

Sulfur dioksida

Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan Ekspresi emosi yang berlebihan

Asap rokok


(50)

1. Faktor Pejamu

Asma bronkial adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma bronkial memberikan bakat atau kecenderungan untuk terjadinya asma bronkial. Fenotip yang berkaitan dengan asma bronkial, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma bronkial, maka dasar genetik asma bronkial dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara objektif seperti

hipereaktiviti bronkus, alergik atau atopi, walau disadari kondisi tersebut tidak khusus untuk asma bronkial. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma bronkial, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma bronkial, antara lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan asma bronkial dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya (PDPI, 2003)

Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma bronkial yang disusun oleh persatuan dokter paru Indonesia, obesitas, penggunaan kasur kapuk (indoor alergen), dan status ekonomi juga merupakan suatu faktor risiko penyakit asma bronkial pada seseorang.


(51)

Dalam penelitiannya yang dilakukan terhadap anak usia 13 hingga 18 tahun di kepulauan Seribu, Paramitha mendapatkan bahwa faktor riwayat atopi keluarga merupakan sebuah faktor yang berpengaruh terhadap kejadian asma bronkial pada anak secara statistik. Dari penelitiannya juga didapatkan bahwa sesuai dengan literatur yang ada, prevalensi asma bronkial pada anak lebih banyak pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

Didapatkan bahwa keluarga yang mempunyai riwayat penyakit asma bronkial bronkiale mempunyai 8,27 kali dibandingkan dengan, keluarga yang tidak memiliki riwayat penyakit asma bronkial bronkiale. Selaras dengan penelitian Kurnia Pramesti dengan nilai (Purnomo, 2003).

a. Riwayat Atopi Pasien

Rinitis alergi dan asma bronkial merupakan penyakit kronik yang dapat terjadi bersama-sama. Beberapa faktor yang telah diketahui berhubungan antara asma bronkial dan rinitis adalah adanya predisposisi genetik yang sama, mempunyai mukosa saluran napas yang sama, inflamasi alergik memegang peranan penting didalam patogenesis asma bronkial. Sedangkan pada penelitian sebelumnya, beberapa riwayat atopi selain asma bronkial yang ditemukan pada responden adalah dermatitits kontak, rhinitis alergika, juga alergi terhadap beberapa makanan dan obat, dan yang paling banyak ditemui adalah riwayat dermatitis atopi.


(52)

Pada penelitian ISAAC didapatkan simpulan terdapat hubungan bermakna antara prevalensi asma bronkial dan eksim. Pendapat yang menganut konsepallergic march, mengatakan bahwa sesuai perjalanan penyakit alergi, pada bayi sebagian eksim akan berkembang menjadi rinitis alergi dan asma bronkial, sehingga dapat dipandang dermatitis atopik sebagai faktor risiko asma bronkial.

Dalam penelitian Suryati dkk, 2006, menyimpulkan bahwa riwayat dermatitits atopik ditemukan pada 26% anak dengan asma yang menjadi subjek penelitian, faktor-faktor atopi lain yang diduga mempengaruhi asma bronkial tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara anak dengan asma bronkial dan anak tanpa asma bronkial dalam penelitian. Sedangkan dalam penelitiannya, Guerra dkk dan juga Settipane melaporkan bahwa rinitis merupakan faktor risiko untuk asma bronkial.

Meskipun penjelasan yang pasti tentang hubungan asma bronkial dan rinitis/eksim belum sepenuhnya jelas, predisposisi genetik ikut berperan melalui atopi dan gangguan imunologik yang menyebabkan sensitasi yang bermanifestasi di beberapa tempat seperti saluran pernafasan, permukaan kulit dan beberapa organ lain.


(53)

b. Riwayat Atopi Keluarga

Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan salah satu atopi. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua asmatik. Asma tidak selalu ada pada kembar monozigot, labilitas bronkokontriksi pada olahraga ada pada kembar identik, tetapi tidak pada kembar dizigot. Faktor ibu ternyata lebih kuat menurunkan asma dibanding dengan bapak. Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah.R.I Ehlich menginformasikan bahwa riwayat keluarga

mempunyai hubungan yang bermakna.

c. Jenis kelamin

Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Perbedaan jenis kelamin pada kekerapan asma bervariasi, tergantung usia dan mungkin disebabkan oleh perbedaan karakter biologi. Kekerapan asma anak laki-laki usia 2-5 tahun ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan sedangkan pada usia 14 tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering dan kunjungan ke


(54)

rumah sakit 3 kali lebih sering dibanding anak perempuan pada usia tersebut, tetapi pada usia 20 tahun kekerapan asma pada laki-laki merupakan kebalikan dari insiden ini.

Peningkatan risiko pada anak laki-laki mungkin disebabkan semakin sempitnya saluran pernapasan, peningkatan pita suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE pada laki-laki yang cenderung membatasi respon bernapas. Didukung oleh adanya hipotesis dari observasi yang menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran udara laki-laki dan perempuan setelah berumur 10 tahun, mungkin disebabkan perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada masa puber laki-laki dan tidak pada perempuan.

Predisposisi perempuan yang mengalami asma lebih tinggi pada laki-laki mulai ketika masa puber, sehingga prevalensi asma pada anak yang semula laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan mengalami perubahan dimana nilai prevalensi pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Aspirin lebih sering menyebabkan asma pada

perempuan.

2. Faktor Lingkungan

Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah penyebab utama asma bronkial, dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan


(55)

kondisi asma bronkial tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma bronkial atau menyebabkan menetapnya gejala (PDPI, 2003).

Hasil analisis dari penelitian Purnomo yang melihat hubungan antara asap rokok dengan kejadian asma bronkial menginformasikan bahwa keluarga yang mempunyai anak menderita asma bronkial bila anggota keluarganya yang merokok didalam rumah kemudian terhisap oleh penderita asma bronkial memiliki risiko 23,13 kali lebih besar, dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai anak, tidak menderita asma bronkial, apabila keluarganya menghisap merokok didalam rumah. Dari penelitiannya juga didapatkan keluarga yang memiliki anak menderita asma bronkial dan mempunyai binatang piaraan memilki besar risiko 30,65 kali dibandingkan dengan keluarga tidak memiliki anak menderita asma bronkial dan tidak mempunyai binatang piaraan. Hasil ini didukung oleh David I. Duffy alergi oleh binatang yang dipelihara didalam rumah maupun diluar rumah oleh penderita asma bronkial akan mempengaruhi kejadian asma bronkial.

a. Kepemilikan binatang piaraan

Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat menjadi sumber alergen inhalan.Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4 mikron) dan dapat terbang di udara


(56)

sehingga menyebabkan serangan asma, terutama dari burung dan hewan menyusui.

Untuk menghindari alergen asma dari binatang peliharaan, tindakan yang dapat dilakukan adalah:

1. Buatkan rumah untuk binatang peliharaan di halaman rumah, jangan biarkan binatang tersebut masuk dalam rumah,

2. Jangan biarkan binatang tersebut berada dalam rumah, 3. Mandikan anjing dan kucing setiap minggunya.

b. Paparan terhadap asap rokok

Anak-anak secara bermakna terpapar asap rokok. Sisi aliran asap yang terbakar lebih panas dan lebih toksik dari pada asap yang dihirup perokok, terutama dalam mengiritasi mukosa jalan nafas. Paparan asap tembakau pasif berakibat lebih berbahaya gejala penyakit saluran nafas bawah (batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan serangan asma. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya asma meningkat pada anak yang terpapar sebagai perokok pasif dan merokok dapat menaikkan risiko berkembangnya asma karena pekerjaan pada pekerja yang terpapar dengan beberapa sensitisasi di tempat bekerja


(57)

c. Kasur kapuk

Asma bronkial disebabkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau debu rumah yang masuk ke dalam saluran nafas seseorang sehingga merangsang terjadinya reaksi hipersentitivitas tipe I. Tungau debu rumah ukurannya 0,1 - 0,3 mm dan lebar 0,2 mm, terdapat di tempat-tempat atau benda-benda yang banyak

mengandung debu. Misalnya debu yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan koran-koran, buku-buku, pakaian lama dan yang paling banyak terdapat pada kasur kapuk.

d. Status ekonomi

Sebuah penelitian di Amerika mendapatkan bahwa kemiskinan terbukti meningkatkan angka kejadian asma bronkial pada seseorang, meskipun tidak memiliki hubungan yang kuat, selain kemiskinan, daerah tempat bermukim dan juga tingkat

pengetahuan adalah faktor yang berhubungan dengan kemiskinan, dan bersama-sama meningkatkan kemungkinan terjadinya asma bronkial pada seseorang (Weitzman dkk, 2000).

Seorang dengan status ekonomi yang rendah akan cenderung mendapatkan asupan gizi yang kurang bila dibandingkan dengan


(58)

mereka yang berstatus ekonomi baik, sehingga mempengaruhi kesehatan dan ketahanan tubuh seseorang. Selain itu, status ekonomi sangat erat hubungannya dengan tingkat pengetahuan seseorang yang biasanya rendah bila status ekonominya rendah, sehingga orang tua tidak banyak tau mengenai penyakit yang diderita anak mereka.Juga mempengaruhi kondisi lingkungan hidup seseorang yang juga merupakan satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya asma bronkial. Selain itu, pengobatan yang akan didapatkan oleh seorang penderita asma bronkial berstatus ekonomi rendah biasanya tidak sebaik penderita asma bronkial dengan status ekonomi baik (Weitzmen dkk, 2000).

e. Obesitas

Ada beberapa bukti yang menunjukan korelasi dengan IMT (Indeks Masa Tubuh) yang meninggi dan risiko yang lebih besar dalam terjadinya asma. Obesitas atau IMT yang tinggi dilaporkan memacu terjadinya asma.

Di samping itu terdapat beberapa bukti, berat badan yang menurun memperbaiki fungsi paru, gejala, morbiditas, status kesehatan pada pasien obesitas dengan asma menunjukan bahwa obesitas

berkontribusi dalam memburuknya gejala saluran napas dan kualitas hidup penderita dengan asma.


(59)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai dari bulan Oktober 2011 sampai Desember 2011 di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

B. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian analitik komparatif kategorik tidak

berpasangan dengan metodecross sectional, menggunakan data primer dan sekunder. Data didapatkan dengan alat berupa kuisioner yang akan diisi oleh pasien atau orang tuanya, yang telah disiapkan sebelumnya oleh penulis, dan juga didapatkan dari rekam medis pasien.


(60)

C. Variabel Penelitian

Variabel penelitian pada penelitian ini adalah variabel bebas (faktor risiko) berskala kategorik nominal (ya atau tidak) dan variabel terikat (pasien dengan asma dan pasien tanpa asma) yang juga bersifat kategorik nominal.

1. Variabel terikat

Pasien dengan asma bronkial dan pasien tanpa asma bronkial

2. Variabel bebas

Variabel yang akan diteliti adalah : a. Riwayat atopi pasien

b. Riwayat atopi keluarga c. Kepemilikan binatang piaraan d. Adanya paparan terhadap asap rokok e. Kasur kapuk

f. Status ekonomi g. Obesitas h. Jenis kelamin


(61)

D. Definisi Operasional

Tabel 4. Definisi Operasional Variabel Bebas. No. Variabel

Bebas

Definisi operasional Kategori skala 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Riwayat atopi pasien Riwayat atopi keluarga Kepemilikan binatang piaraan Asap rokok Penggunaan kasur kapuk Status ekonomi Obesitas

Adanya riwayat atopidengan manifestasi berupa asma bronkial/ dermatitis atopi/rinitis alergi/alergi obat/alergi makanan pada pasien.

Adanya riwayat atopidengan manifestasi berupa asma bronkial/ dermatitis atopi/rinitis alergi/alergi obat/alergi makanan pada ayah, ibu, nenek, atau kakek dari penderita.

Adanya binatang berbulu yang di pelihara berada di rumah (anjing, kucing, kelinci, hamster, burung)

Paparan asap rokok yang berasal dari perokok yang merokok di rumah penderita

Pasien menggunakan kasur/bantal/guling yang berisikan kapuk saat tidur.

Status ekonomi dinilai berdasarkan UMR (upah minimum regional) kota Bandar Lampung pada tahun 2011 yaitu

RP.865.000,-Ditandai dengan nilai BMI (body mass index) diatas

Ada = ada riwayat atopi, Tidak ada = tidak ada riwayat atopi

Ada = ada riwayat atopi, Tidak ada = tidak ada riwayat atopi

Ada = ada binatang piaraan, Tidak ada = tidak ada binatang piaraan

Ada = ada paparan rokok di rumah, Tidak ada = tidak ada paparan rokok di rumah Iya = bila menggunakan, tidak = bila tidak

menggunakan Baik = UMR keluarga pasien tercapai, kurang = UMR kelarga pasien tidak tercapai Obesitas = pasien Nominal Nominal Nominal Nominal Nominal Nominal Nominal


(62)

8. Jenis kelamin

persentil ke-95 pada kurva sesuai umur dan jenis kelaminnya

Dibedakan laki-laki dan perempuan dari peserta yang diperiksa berdasarkan identitas di rekam medis

menderita obesitas, dan tidak obesitas = pasien tidak menderita obesitas L = Laki-laki,P = perempuan

Nominal

Tabel 5. Definisi Operasional Variabel Terikat No. Variabel

Terikat

Definisi operasional Kategori Skala 1. 2. Pasien dengan asma bronkial Pasien tanpa asma bronkial

Pasien yang pernah terdiagnosis asma bronkial di poli anak rawat jalan RSUD DR. H. Abdul Moeloek dari bulan Oktober-Desember 2011 Pasien yang tidak pernah terdiagnosis asma bronkial di poli anak rawat jalan RSUD DR. H. Abdul Moeloek dari bulan Oktober-Desember 2011

Asma=pernah terdiagnosis asma bronkial dan tidak asma=tidak pernah terdiagnosis asma bronkial Nominal

E. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien rawat jalan di poli anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung yang rata-rata berjumlah 661 pasien dalam sebulan.Sedangkan penelitian dilakukan pada populasi terjangkau, yaitu pasien rawat jalan poli anak RSUD Dr. H. Abdul


(63)

Moeloek Bandar Lampung dari bulan Oktober-Desember yang berjumlah 1655 orang.

2. Sampel

Sampel di ambil dengan metodeConsecutive sampling. Padaconsecutive samplingini, setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi.

Jumlah sampel dalam penelitian ini dihitung dengan rumus :

=

1 + ( )

N = besar populasi n = besar sampel

d = tingkat kepercayaan yang di inginkan

Dengan nilai tingkat kepercayaan sebesar 0.1dan besar populasi sebesar 1655 orang maka jumlah sampel minimal pada penelitian ini adalah 94 orang, dibulatkan menjadi 100 orang.


(64)

F. Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Sampel kasus yang diambil memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut : 1. Pasien dan keluarga yang kooperatif dan bersedia menjadi responden 2. Pasien berusia antara 2–11 tahun

3. Pasien yang tingal serumah dengan orangtuanya

4. Pasien belum pernah diambil datanya dalam penelitian ini sebelumnya

Sampel yang tidak dikutsertakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Anak yang belum bisa mengisi kuisionernya sendiri dan tidak didampingi orangtuanya

2. Bukan merupakan anak kandung (anak adopsi).

G. Pengumpulan Data

Data diperoleh dari data primer dengan cara pengisian kuisioner yang telah disiapkan penulis sebelumnya oleh pasien atau orang tua pasien, dan data sekunder yang didapatkan dari rekam medis pasien.


(65)

H. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan, akan diolah

menggunakan program SPSS 16.0.for windows. Proses pengolahan data terdiri dari beberapa langkah, yaitu:

a. Editing, untuk melakukan pengecekan isian kuisioner mengenai jawaban kuisioner yang diharapkan lengkap, jelas, relevan, dan konsisten.

b. Coding, untuk mengkonversikan atau menerjemahkan data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.

c. Data entry, memasukan data kedalam komputer.

d. Verifikasi, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukan ke komputer.

2. Analisis data

a. Analisis univariat

Analisis univariat digunakan untuk menjelaskan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti (Variabel Bebas).


(66)

b. Analisis bivariat

Analisis data bivariat adalah untuk mengetahui hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan faktor resiko pada pasien dengan asma

bronkial dan pasien tanoa asma bronkial di poli anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel tersebut dilakukan uji statistik. Karena analisis yang dilakukan adalah variabel kategori dengan variabel kategori maka uji statistik yang digunakan adalah uji kai kuadrat(Chi Square), yaitu :

∑ (f0–fh)2

χ2= fh

Keterangan : χ2 = Kai kuadrat

f0 = Frekuensi hasil observasi dari sampel penelitian

fh = Frekuensi yang diharapkan pada populasi penelitian dengan α =

0,1

Hasil perhitunganχ2hitung dibandingkan denganχ2tabel. Apabila nilaiχ2hitung lebih besarχ2tabel, maka hipotesis ditolak. Apabila nilaχ2hitung lebih kecil dariχ2tabel, maka hipotesis diterima. Atau bilap value lebih besardari α, hipotesisditolak, bilap valuelebih kecil dariα, hipotesisditerima


(67)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2000.ISAAC International Data Centre.in

www.isaac.auckland.ac.nz/about/iidc.php. Diakses pada 27 Februari 2011.

Anonim.2008.Childhood Asthma Control Test.in:http://www.asthmacontrol.com Diakses pada 27 Februari 2011.

Arya Purba.2007.Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Asma Bronkial di Kabupaten Boyolali. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Budha Made. 2009.the Relationship Between Contact to Cat and the Development of Asthma in Children. Universitas Udayana.Denpasar.

Dahlan Sopiyudin. 2008.Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.

Darmanto. 2009.Respirologi ( Respiratory Medicine). EGC. Jakarta.

Depkes RI. 2007.Indonesian health profile. In:http://www.depkes.go.id. Diakses pada 25 Februari 2011

Depkes RI. 2010.Riset Kesehatan Dasar Indonesia.in:http://www.depkes.go.id Diakses pada 25 Februari 2011

Depkes RI.2010.Jejaring nasional pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular (PTM).in :http://www.depkes.go.idDiaskes pada 25 Februari 2011.

Duffy D, Charles AM, Nicholas GM.1998.Genetic and Environmental Risk FaktorFor Asthma. American Journal Of Respiratory and Critical Care Medicine.


(68)

Ehrlich RI, Toit DD, Jordaan E, Potter MZP, Volmink JA, Weinberg E.1996. RiskFaktor Childhood Asthma and Wheezing. Importance of Maternal and Household smoking.

IDAI. 2010Buku Ajar: Respirologi Anak. Badan Penerbit IDAI. Jakarta. halaman 71-118.

Kartasasmita CB.1996.Masalah Asma Pada Anak di Indonesia. Naskah Lengkap. Simposium KONIKA X. Bukit Tinggi. Halaman 380-390.

Kurniawati AD.2006.Analisis Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku Keluarga dengan Kejadian Serangan Asma Anak di Kota Semarang 2005. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

Nelson E. 2010.Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 1. Edisi 16. EGC. Jakarta.

Nency YM.2005.Prevalensi dan Faktor Resiko Alergi pada Anak Usia 6-7 Tahun di Semarang. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

Notoatmodjo, S. 2005.Metodologi penelitian kesehatan. PT Asdi Mahasatya. Jakarta.

Paramita OD. 2011.Hubungan Asma, Rhinitis Alergik, Dermatitis Atopik dengan IgE Spesifik pada Anak Usia 6-7 Tahun. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

PDPI.2003.ASMA:Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. In: www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html.Diakses pada 27 Februari 2011.

Pramita Prasna. 2006. Faktor-Faktor Resiko Asma pada Anak Usia Sekolah Usia 13-18 tahun di Kepulauan Seribu. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta Price S.A., Wilson L.M. 2006.Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses


(69)

Purnomo.2008.Faktor Faktor Resiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma Bronkial Pada Anak.Universitas Diponegoro.Semarang.

Ratnawati, Yunus Faisal, Rasmin Menaldi. 2002.Prevalensi Asma pada Siswa. Karya tulis ilmiah. Universitas Indonesia. Jakarta.

Sari Inggit. 2010.Hubungan antara Obesitas dengan Asma di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Sundaru Heru, Sukamto.2006. Asma Bronkial. in :Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalamed.4, vol.3. Pusat Penerbit IPD FKUI. Jakarta: halaman 245-250.

Suryati Rifda, Akib Arwin AP, Boediman I, Latief Abdul. 2006.the Prevalence of Atopic Dermatitis History inAsthmatic Children.Universitas Indonesia. Jakarta.

Weitzmen et al. 2000.Risk Factors for Pediatric Asthma Contributions of Poverty, Race, and Urban Residence. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine VOL 162.

World Health Organization. 2011.Chronic respiratory diseases : Asthma.in:http://www.who.int/. Diakses pada 27 Februari 2011.

Yudopranoto, kesuma. 2006. Perbandingan Populasi Tungau Debu Rumah pada Kasur Kasur dan Non-Kapuk di perumahan PJKA Kelurahan Randusari Semarang Selatan Jawa Tengah


(70)

Lampiran1. Kuisioner

SURAT PERSETUJUAN IKUT DALAM PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : _____________________________________________ Usia : _____________________________________________ Alamat : __________________________________________________

Menyatakan bahwa saya setuju ikut serta dalam penelitian Hubungan Karakteristik dengan Kejadian Asma bronkial pada Pasien Rawat Jalan Poli Anak RSUD DR. H. Abdul Moeloek pada Bulan Oktober-Desember 2011 . Saya telah menerima penjelasan dan kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang tidak saya pahami tentang penelitian ini. Penjelasan yang diberikan meliputi manfaat, jalannya penelitian, dan risiko penelitian yang mungkin terjadi pada penelitian ini.

Prosedur penelitian yang saya setujui untuk dilakukan pada diri saya yang tersebut diatas pada penelitian ini adalah mengisi kuisoner dengan sebenar-benarnya.

Demikian pernyataan tersebut kami buat dengan sukarela tanpa paksaan dengan tidak mengabaikan hak saya untuk keluar dari penelitian kapanpun juga selama penelitian berlangsung.

BandarLampung, ____________

Peneliti Pembuat pernyataan,

______________________ ________________________

Saksi*


(71)

Petunjuk Umum:

Bacalah pertanyaan dengan cermat dan isilah dengnanjawaban yang menurut anda tepat. Tanyakan bila ada suatu hal yang tidak dimengerti kepada peneliti.

A. Data Umum

Usia : ...(tahun)

Jenis Kelamin : ( ) 1. Laki-laki ( ) 2. Perempuan Berat Badan :...(Kg)

Tinggi Badan :...(Cm) 1. Riwayat atopi pasien

• Apakahpasienmemilikiriwayatmenderitapenyakitasmabronkial?

Ada Tidak ada

• Apakah pasien memiliki alergi terhadap makanan ?

Ada Tidak ada

• Apakah pasien memiliki alergi terhadap obat tertentu ?

Ada Tidak ada

• Apakah pasien memiliki manifestasi alergi pada kulit berupa kemerahan dan atau gatal(dermatitis kontak) yang dicetuskan oleh alergen, misalnya makanan tertentu atau terhadap alergen yang terhirup lewat pernapasan, misalnya bulu binatang, atau debu, atau jamur ?


(72)

• Apakah pasien memilik manifestasi alergi pada hidung berupa hidung tersumbat/ gatal di daerah hidung dan atau mata/bersin/hidung yang ingusan(rhinitis alergika), akibat udara dingin/debu/uap/bau cat/bau masakan/bubuk detergen/polusi udara?

Ada Tidak ada

2. Riwayatatopikeluarga

• Apakahkeluarga (ayah, ibu, kakek, dannenek) darianakandaada yang memilikiriwayatmenderitapenyakitasmabronkial?

Ada Tidak ada

• Apakah keluarga (ayah, ibu, kakek, dan nenek) dari anak anda ada yang memiliki alergi terhadap makanan ?

Ada Tidak ada

• Apakah keluarga (ayah, ibu, kakek, dan nenek) dari anak anda ada yang memiliki alergi terhadap obat tertentu ?

Ada Tidak ada

• Apakah keluarga (ayah, ibu, kakek, dan nenek) dari anak anda ada yang memiliki manifestasi alergi pada kulit berupa kemerahan dan atau gatal(dermatitis kontak) yang dicetuskan oleh alergen, misalnya makanan tertentu atau terhadap alergen yang terhirup lewat pernapasan, misalnya bulu binatang, atau debu, atau jamur ?


(73)

• Apakah keluarga (ayah, ibu, kakek, dan nenek) dari anak anda ada yang memilik manifestasi alergi pada hidung berupa hidung tersumbat/ gatal di daerah hidung dan atau mata/bersin/hidung yang ingusan(rhinitis alergika), akibat udara dingin/debu/uap/bau cat/bau masakan/bubuk detergen/polusi udara?

Ada Tidak ada

3. Kepemilikan binatang peliharaan :

• Apakah di rumah tempat tinggal anak anda terdapat binatang peliharaan ? (anjing/kucing/burung/kelinci/hamster)

Ada Tidak ada

4. Paparan rokok :

• Apakah di rumahtempattinggalandaadaperokok ? Ada Tidak ada

5. Kasur kapuk :

• Apakah anda menggunakan kasur/bantal/guling berisi kapuk ?


(74)

6. Status ekonomi :

• Berapa penghasilan ayah dalam sebulan ?


(75)

(76)

(77)

Frequency Table

Kejadian asma bronchial

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak asma 74 74.0 74.0 74.0

asma 26 26.0 26.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Riwayat atopi pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak ada riwayat 59 59.0 59.0 59.0

ada riwayat 41 41.0 41.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Riwayat atopi Keluarga

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak ada riwayat 59 59.0 59.0 59.0

ada riwayat 41 41.0 41.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Kepemilikan binatang piaraan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak ada paparan 60 60.0 60.0 60.0

ada paparan 40 40.0 40.0 100.0


(78)

Paparan asap rokok

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak ada paparan 26 26.0 26.0 26.0

ada paparan 74 74.0 74.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Kepemilikan kasur kapuk

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak ada paparan 47 47.0 47.0 47.0

ada paparan 53 53.0 53.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

Status ekonomi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid di bawah umr 38 38.0 38.0 38.0

di atas umr 62 62.0 62.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

obesitas

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak obesitas 77 77.0 77.0 77.0

obesitas 23 23.0 23.0 100.0


(79)

Jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid perempuan 48 48.0 48.0 48.0

laki-laki 52 52.0 52.0 100.0


(80)

Analisis Bivariat

Riwayat atopi pasien * kejadian asma Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

pasien tidak ada riwayat Count 56 3 59

Expected Count 43.7 15.3 59.0

ada riwayat Count 18 23 41

Expected Count 30.3 10.7 41.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 32.718a 1 .000

Continuity Correctionb 30.121 1 .000

Likelihood Ratio 34.666 1 .000

Fisher's Exact Test .000

Linear-by-Linear Association 32.391 1 .000


(81)

Riwayat atopi keluarga * kejadian asma

Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

keluarga tidak ada riwayat Count 57 2 59

Expected Count 43.7 15.3 59.0

ada riwayat Count 17 24 41

Expected Count 30.3 10.7 41.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 38.236a 1 .000

Continuity Correctionb 35.423 1 .000

Likelihood Ratio 41.505 1 .000

Fisher's Exact Test .000

Linear-by-Linear Association 37.853 1 .000


(82)

Kepemilikan binatang piaraan * kejadian asma

Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

binatang tidak ada paparan Count 55 5 60

Expected Count 44.4 15.6 60.0

ada paparan Count 19 21 40

Expected Count 29.6 10.4 40.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 24.333a 1 .000

Continuity Correctionb 22.092 1 .000

Likelihood Ratio 24.839 1 .000

Fisher's Exact Test .000

Linear-by-Linear Association 24.090 1 .000


(83)

Paparan asap rokok * kejadian asma

Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

rokok tidak ada paparan Count 24 2 26

Expected Count 19.2 6.8 26.0

ada paparan Count 50 24 74

Expected Count 54.8 19.2 74.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 6.121a 1 .013

Continuity Correctionb 4.902 1 .027

Likelihood Ratio 7.257 1 .007

Fisher's Exact Test .018

Linear-by-Linear Association 6.060 1 .014


(84)

Penggunaan kasur kapuk * kejadian asma

Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

kapuk tidak ada paparan Count 40 7 47

Expected Count 34.8 12.2 47.0

ada paparan Count 34 19 53

Expected Count 39.2 13.8 53.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 5.685a 1 .017

Continuity Correctionb 4.648 1 .031

Likelihood Ratio 5.881 1 .015

Fisher's Exact Test .022

Linear-by-Linear Association 5.629 1 .018


(85)

Status ekonomi * kejadian asma

Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

ekonomi di bawah umr Count 34 4 38

Expected Count 28.1 9.9 38.0

di atas umr Count 40 22 62

Expected Count 45.9 16.1 62.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 7.627a 1 .006

Continuity Correctionb 6.385 1 .012

Likelihood Ratio 8.389 1 .004

Fisher's Exact Test .009

Linear-by-Linear Association 7.551 1 .006


(86)

obesitas * kejadian asma

Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

obesitas tidak obesitas Count 59 18 77

Expected Count 57.0 20.0 77.0

obesitas Count 15 8 23

Expected Count 17.0 6.0 23.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.198a 1 .274

Continuity Correctionb .678 1 .410

Likelihood Ratio 1.148 1 .284

Fisher's Exact Test .289

Linear-by-Linear Association 1.186 1 .276


(87)

Jenis kelamin * kejadian asma

Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

jenis perempuan Count 34 14 48

Expected Count 35.5 12.5 48.0

laki-laki Count 40 12 52

Expected Count 38.5 13.5 52.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square .481a 1 .488

Continuity Correctionb .217 1 .642

Likelihood Ratio .481 1 .488

Fisher's Exact Test .504

Linear-by-Linear Association .476 1 .490


(1)

Kepemilikan binatang piaraan * kejadian asma

Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

binatang tidak ada paparan Count 55 5 60

Expected Count 44.4 15.6 60.0

ada paparan Count 19 21 40

Expected Count 29.6 10.4 40.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 24.333a 1 .000

Continuity Correctionb 22.092 1 .000

Likelihood Ratio 24.839 1 .000

Fisher's Exact Test .000


(2)

Paparan asap rokok * kejadian asma

Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

rokok tidak ada paparan Count 24 2 26

Expected Count 19.2 6.8 26.0

ada paparan Count 50 24 74

Expected Count 54.8 19.2 74.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 6.121a 1 .013

Continuity Correctionb 4.902 1 .027

Likelihood Ratio 7.257 1 .007

Fisher's Exact Test .018


(3)

Penggunaan kasur kapuk * kejadian asma

Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

kapuk tidak ada paparan Count 40 7 47

Expected Count 34.8 12.2 47.0

ada paparan Count 34 19 53

Expected Count 39.2 13.8 53.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 5.685a 1 .017

Continuity Correctionb 4.648 1 .031

Likelihood Ratio 5.881 1 .015

Fisher's Exact Test .022


(4)

Status ekonomi * kejadian asma

Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

ekonomi di bawah umr Count 34 4 38

Expected Count 28.1 9.9 38.0

di atas umr Count 40 22 62

Expected Count 45.9 16.1 62.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 7.627a 1 .006

Continuity Correctionb 6.385 1 .012

Likelihood Ratio 8.389 1 .004

Fisher's Exact Test .009


(5)

obesitas * kejadian asma

Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

obesitas tidak obesitas Count 59 18 77

Expected Count 57.0 20.0 77.0

obesitas Count 15 8 23

Expected Count 17.0 6.0 23.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.198a 1 .274

Continuity Correctionb .678 1 .410

Likelihood Ratio 1.148 1 .284

Fisher's Exact Test .289


(6)

Jenis kelamin * kejadian asma

Crosstab

aasma

Total tidak asma asma

jenis perempuan Count 34 14 48

Expected Count 35.5 12.5 48.0

laki-laki Count 40 12 52

Expected Count 38.5 13.5 52.0

Total Count 74 26 100

Expected Count 74.0 26.0 100.0

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square .481a 1 .488

Continuity Correctionb .217 1 .642

Likelihood Ratio .481 1 .488

Fisher's Exact Test .504