Kawasan Hutan dan Sub-sub Sistem di Dalamnya

Tabel 1. Subsistem-subsistem dengan fungsi primernya. Sumber: Satjipto Rahardjo, 1985. Subsistem-subsistem dalam pola hubungan sibernetik tersebut digunakan untuk menganalisa keadaan serta hubungan-hubungan masyarakat di kawasan hutan, serta pengaruhnya terhadap sistem hukum kehutanan. Substansi dalam sistem hukum legal substance memuat berbagai aturan formal, aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat dan produk-produk yang timbul akibat penerapan hukum. Budaya hukum legal culture berkaitan dengan sikap terhadap hukum. Sikap ini berkaitan dengan sikap budaya pada umumnya, karena itu menyangkut hal-hal seperti keyakinan belief, nilai valute, cita idea, harapan-harapan expectation. Dampak sendiri terkait dengan akibat-akibat yang timbul dari suatu keputusan atau penerapan. 3.2 Hutan Desa di Bali Secara keseluruhan luas hutan di Bali berdasarkan catatan Dinas Kehutanan Bali mencapai 130 ribu hektar. Kesatuan pengelolaan hutan KPH masing-masing memiliki wilayah kerja yang berbeda di Bali. Terbagi menjadi KPH Bali Barat, KPH Bali Tengah dan KPH Bali Timur. Wilayah KPH Provinsi Bali ditetapkan dengan SK menteri kehutanan SK.800Menhut-VII2009 tanggal 7 Desember 2009 mempunyai luas 105.765,92 Ha, yang terdiri dari 1 unit KPHK seluas 1.373,50 Ha dan 3 unit KPHL seluas 104.392,42 ha. KPHL Model Bali Barat berlokasi di Kabupaten Jembrana, Tabanan dan Buleleng. Penetapan Hutan Desa 71,98 ha. Permasalahan-permasalahan yang sering dialami KPH Bali Barat adalah Keamanan hutan sangat rawan dari pencurian, karena banyaknya masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan namun tenaga pengamanan hutan tidak mencukupi. KPHL Model Bali Tengah berada di Kabupaten Buleleng dan Bangli. Nama KPH Nama Pemanfaatan Jenis Pemanfatan Total ha UNIT II- KPHL Bali Tengah Galungan Hutan Desa 615,10 Lemukih Hutan Desa 942,92 Selat Hutan Desa 495,32 Sudaji Hutan Desa 86,96 Wanagiri Hutan Desa 237,05 Belum dimanfaatkan - 12.273,65 14.651,00 KPHL Model Bali Timur di Kabupaten Buleleng dan Karang Asem. Nama Pemanfaatan Jenis Pemanfatan Total Tejakula Hutan Desa 301,43 Belum dimanfaatkan - 22.414,11 Total 22.715,54 Dari data-data yang diperoleh, terdapat beberapa persoalan di lapangan yang sampai saat ini belum terpecahkan. Di antaranya permasalahan yang terjadi di wilayah KPH Bali Barat Jembarana dan KPH Bali Timur. Sejumlah desakelurahan yang berada di Jembrana menuntut Gubernur Bali agar SK Hak Pengelolaan Hutan Desa HPHD segera bisa dikeluarkan. Penerapan hutan desa di sejumlah desa penyanding hutan lindung di Kabupaten Jembrana belum terealisasi, meskipun telah memperoleh persetujuan dari Kementrian Kehutanan melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 49Menhut- II2008 tentang Hutan Desa. Terdapat 23 desa penyanding di lima kecamatan yang mengusulkan untuk hutan desa. Kemenhut baru mengeluarkan Surat Keputusan penetapan areal kerja hutan desa di 10 desa, yakni Batuagung, Berangbang, Manistutu, Medewi, Penyaringan, Pulukan, Tukadaya, Dauhwaru, Yeh Sumbul dan Pengeragoan. Permasalahan terjadi karena, ijin penetapan areal hutan desa yang sebelumnya dikeluarkan oleh Kementrian hingga saat ini sama sekali tidak berjalan. Pada media massa juga diberitakan bahwa, Desa tuntut hak pengelolaan hutan. Hal tersebut terungkap saat kunjungan kerja rombongan Komisi III DPRD Bali bersama pihak Dinas Kehutan Provinsi Bali, dengan menghadirkan para perbekellurah yang sebelumnya mendapat izin penetapan hutan desa, di Kantor Desa Tukadaya, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. SK pengelolaanya belum keluar sehingga SK penetapan areal hutan desa dari Kementrian Kehutanan, sudah mulai habis masa berlakunya. Padahal apa yang menjadi persyaratan Desa Tukadaya sudah lengkap. Sejak tahun 2010, telah dipersiapkan dengan memasukan pengelolaan hutan itu sebagai salah satu unit di BUMDes setempat yang memang telah ada. Kabid Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Dinas Kehutan Provinsi Bali, I Wayan Darma, menyatakan, terkait belum adanya izin pengelolaan dari Gubernur dikarenakan adanya beberapa kendala yang menjadi pertimbangan. Salah satunya, tentang keharusan pembentukan Badan Usaha Milik Desa BUMDes, sebagai pengelola langsung hutan di desa bersangkutan, yang belum terbentuk. Dari yang telah di SK-an Kementrian, ada beberapa adalah kelurahan, sehingga masih menjadi pertanyaan tentang pembentukan BUMDes. Kendala yang paling menonjol dalan pengelolaan hutan Desa itu adalah tidak kesiapan dari desa sendiri. Sehingga diperlukan pertimbangan yang matang dalam proses tersebut. Permasalahan yang sama juga dialami pada wilayah KPH Bali Timur. Tujuh desa di Kabupaten Buleleng menuntut dikeluarkannya ijin pengelolaan hutan desa dari provinsi. Sampai saat ini Gubernur Bali belum mengeluarkan izin Hak Pengelolaan Hutan Desa HPHD, padahal dari Menteri Kehutanan Menhut sudah mengeluarkan Surat Keputusan SK tentang Penetapan Kawasan sebagai Areal Kerja Hutan Desa di Kabupaten Buleleng Tujuh desa di Buleleng yang mendapatkan SK Menhut agar bisa melakukan pengelolaan hutan desa adalah Desa Selat, Wanagiri Kecamatan Sukasada, Lemukih, Sudaji, Galungan Kecamatan Sukasada, Desa Tejakula Kecamatan Tejakula, dan Desa Telaga Kecamatan Busungbiu. Dari tujuh desa ini luas hutan desa yang akan dikelola lebih dari 3.041 hektar. Jika di bandingkan dengan sisa kawasan yang belum dimanfaatkan di KPHL Bali Timur ± 22.414,11 ha. 3. 3 Upaya Perlindungan dan Pelestarian Hutan Berdasarkan Perspektif Budaya, Ekologi dan Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal Refleksi, Eksistensi dan Permasalahannya Hambatan dan tantangan dalam rangka perlindungan dan pengelolaan hutan di Indonesia seringkali datang dari masyarakat lokal di sekitar hutan. Pemberlakukan hukum adat juga berlaku dalam pengelolaan hutan dibeberapa daerah di Indonesia.Walaupun tidak dikenal secara formal, beberapa hukum adat telah diberlakukan dalam pengelolaan dan perlindungan hutan misalnya awig-awig di Bali. Adopsi konsep kelestarian hutan dalam awig-awig bertujuan untuk melibatkan masyarakat desa dalam menjaga kelestarian hutan, serta untuk membangun hutan lestari berbasis pemberdayaan masyarakat. Suatu refleksi bauran antara berbagai aspek yang melingkupi hutan dapat kita contoh pada langkah pengaturan di bidang kehutanan hutan bambu yang terdapat di Kabupaten Bangli. Dengan tatanan daerah yang teratur dan rapi serta pura-pura terjaga dan terawat menjadikan daerah tersebut dikukuhkan sebagai “Penglipuran Traditional Village.” Hutan Bambu tersebut dijadikan sebagai kearifan lokal yang diawasi oleh Ketua Adat dengan pengelolaaan, pemungutan dan pemeliharaannya di dasarkan pada awig-awig. Masyarakat wajib mematuhinya seperti aturan tata guna lahan untuk hutan, tegakan dan pekarangan yang bertujuan untuk menjaga fungsi ekologi sehingga dapat mencegah banjir, erosi dan lahan kritis. Untuk pengembangan dan mempertahankan keariafan lokal Desa wisata tradisional tersebut, Ketua adat dan tokoh masyarakat mengingatkan kepada generasi muda secara terus menerus menerapkan swadharmakewajiban dan pengabdian. Menurut Ditjen PHKA dalam Budi Riyanto, dalam rangka pengelolaan hutan yang berbasis pada peran masyarakat, terdapat beberapa prinsip dasar yang harus dikembangkan di antaranya prinsip co-ownership , co-operationco-management dan co-responsibility. Adapun prinsip-prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut: a Prinsip Co-Ownership, yaitu bahwa kawasan hutan adalah milik bersama yang harus dilindungi bersama-sama, dan untuk itu ada hak-hak masyarakat di dalamnya yang harus diakui namun juga harus ada perlindungan kawasan hutan yang harus dilakukan bersama; b Prinsip Co-OperationCo-Management, yaitu bahwa kepemilikan bersama mengharuskan pengelolaan hutan untuk dilakukan bersama-sama seluruh komponen masyarakat stakeholder yang terdiri dari pemerintah, masyarakat dan ORNOP yang harus bekerja bersama; c Prinsip Co-Responsibility, yaitu bahwa keberadaan kawasan hutan menjadi tanggung jawab bersama karena pengelolaan kawasan hutan merupakan tujuan bersama.

3.4 Pengaturan Aspek Ekonomi yang Adaptif terhadap Kebutuhan Pengelolaan Hutan Desa

Hutan desa merupakan salah satu alternatif atau pilihan sumber pendanaan jangka panjang bagi otonomi desa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan. Dalam konteks ini, pengaturan hutan desa diupayakan mampu mengharmoniskan menyeimbangkan berbagai aspek, budaya, ekonomi, ekologi. Pilihan-pilihan usaha, produk-produk serta lembaga-lembaga atau unit-unit usaha dalam pengelolaannya wajib diperhatikan dengan rencana-rencana yang komprehensif dalam skala ekonomi jangka pendek maupun jangka panjang. Menciptakan pasar yang sehat dan terbuka dalam era desentralisasi membuat hutan desa berpotensi bagi kehidupan masyarakat. Dalam jangka panjang, hutan juga berfungsi bagi ekologi. Penunjang kawasan yang tidak memiliki hutan. Sehingga dalam tata kelolanya faktor profesionalisme pengelolaan merupakan keharusan. Berdasarkan hasil penelitian, serta mengacu kepada penelitian-penelitian terdahulu, maka beberapa hal yang penting diperhatikan dalam pengajuan maupun pengelolan hutan desa yang mampu responsif terhadap aspek-aspek budaya, ekologi, ekonomi dan hukum bahwa,sebagai aset desa, pengembangan hutan desa memerlukan atau dapat mempertimbangkan hal-hal berikut ini: 1 Kepastian wilayah kelola jangka panjang. Aspek ini sangat tergantung pada peran aktif pemerintah dalam memberikan penetapan kawasan hutan. Aspek legalitas baik materiil dan formil tata cara. Aspek kepastian memberikan jaminan, sehingga rencana-rencana yang akan dilakukan pada kawasan dapat dijalankan dengan maksimal, adanya akses pada kawasan, tidak adanya gangguan dan hambatan-hambatan terkait dengan kewilayahan. Penetapan kawasan dengan mempertimbangkan aspek-aspek budaya, ekologi, ekonomi menjadi syarat utama penetapan. 2 Mekanisme penyelesaian konflik serta sengketa. Mekanisme penyelesaian konflik dan sengketa menjadi salah satu faktor pendukung. Pada umumnya konflik dan sengketa sangat lama proses penyelesaiannya. Sehingga pengelolaan hutan desa yang diharapkan mampu beroperasi secara maksimal akan terhambat pelaksanaannya. Dibutuhkan mekanisme yang mampu menampung segala macam aspirasi, yang holistik. 3 Sumber Daya Manusia. Kapasitas sumber daya manusia menjadi pendukung sentral dalam rangka pengelolaan hutan desa. Untuk pengembangan hutan desa sumberdaya manusia pengelola dan pendamping teknis yang berkualitas menjadi kebutuhan dasar. Pemerintah hendaknya dalam jangka panjang mengambil kebijakan dan menempatkan masyarakat desa sebagai human capital, berinvestasi berupa memberikan pelatihan-pelatihan khusus, pendidikan pengelolaan hutan desa. Kaderisasi yang kuat sebagai modal memperkuat hutan desa sebagai aset untuk mencapai kesejahteraan. 4 Adanya Kelembagaan Usaha Kehutanan Masyarakat UKM atau BUMDes. Organisasi atau kelembagaan yang dapat beroperasi berkesinambungan, dengan visi dan misi yang kuat, merupakan ujung tombak berhasilnya pengelolaan hutan desa. Sehingga kelembagaan tersebut perlu dibingkai dengan aturan-aturan hukum, sehingga tata kelolanya dapat dipertanggungjawabkan. 5 Kepastian usaha kehutanan masyarakat. Kepastian usaha kehutanan berkaitan dengan skema ekonomi pengembangan hutan desa. Unsur-unsur seperti modal, pengetahuan lokal, akses informasi, pengembangan komoditi, dan pasar menjadi substansi dasar dalam praktik UKM di hutan desa. 6 Kebijakan yang mendorong dan melindungi kepastian hak pengelolaan dan usaha kehutanan jangka panjang. Pemenuhan terhadap enam hal tersebut di atas, merupakan modal awal memperkuat manajemen hutan desa, baik pra pengajuan pengelolaan, maupun pengelolaannya. Proses good local governance juga menjadi kunci kepastian pada pengelolaan hutan desa jangka panjang. Pilihan kebijakan harus ditempatkan dalam konteks pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat dengan selalu mengindahkan sustainable development.

4. Kesimpulan

Keberadaan hutan desa tidak terlepas dari sistem hukum pengaturannya. Substansi hukum pengaturan hutan desa, harus selalu responsif terhadap dinamika masyarakat serta nilai-nilai yang berkembang, unifikasi pengaturan bukanlah substansi final, akan tetapi terus berproses. Struktur hukum memainkan peranan yang signifikan, good local governance menjadi syarat mutlak, dari beberapa kasus pengajuan pengelolaan hutan desa pada Kesatuan Pengelolaan Hutan menunjukkan tarikan politik banyak mempengaruhi terhambatnya pelaksanaan penetapan kawasan. Pilihan kebijakan harus ditempatkan dalam konteks pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat. Kultur masyarakat juga sangat berperan dalam pengelolaan hutan desa, dengan merefleksi pada keberadaan hutan di Bali yang memiliki beranekaragam fungsi, hendaknya menjadi salah satu acuan bagi pengambil keputusan mampu mensinergikan pola-pola antara mempertahankan pola serta sifat adaptif dalam rangka pencapaian kesejahteraan pada masyaratak desa. Kalaupun desa diberikan otonomi mengelola sumber daya, maka harus dijaga berkesinambungannya serta kelestarian. Keutamaannya adalah bagaimana agar pengelolaan sumber daya hutan itu dapat memberikan manfaat terhadap masyarakat, terutama masyarakat yang paling dekat dengan hutan. Langkah kedepan yang dapat diperhatikan dalam rangka mensinergikan segala aspek terkait dengan hutan desa adalah; kepastian wilayah kelola jangka panjang, mekanisme penyelesaian konflik dan sengketa, sumber daya manusia dan kebijakan investasi human capital yang dilakukan oleh pemerintah untuk masyarakat pada kawasan hutan, adanya kelembagaan berupa usaha kehutanan masyarakat BUMDes serta kepastian usahanya, dan kebijakan yang mendorong dan melindungi kepastian hak pengelolaan dan usaha kehutanan jangka panjang. Ucapan Terimakasih Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh jajaran LPPM Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk melakukan penelitian, serta seluruh Institusi-institusi dan narasumber seperti Bapak Didik Adiarsa, SH. Kepala Resort Kehutanan Karangasem, Bapak I Wayan Dharma dari Dinas Kehutanan Provinsi, serta seluruh pihak yang telah memberikan banyak dukungan sehingga penelitian ini terealisasi. DAFTAR PUSTAKA Awang, San Afri. 2003 Politik Kehutanan Masyarakat, Yogyakarta: Center For Critical Studies CCSS bekerjasama dengan Kreasi Wacana Yogyakarta. Arief, Arifin. 2001 Hutan dan Kehutanan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Friedman, Lawrence M. 1997, American Law An Introduction, Revised and Updated, W.W Norton Company. Kunzmann, Katharina. 2008 August 1, 2008 , “The Non-Legally Binding Instrument On Sustainable Management Of All Types Of Forests - Towards A Legal Regime For Sustainable Forest Management? ”, 9 German L.J. 981, German Law Journal, pp. 981-1005, hlm. 982. Mertokusumo, Sudikno. 1999 Mengenal Hukum suatu Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty. N.D, Mukti Fajar dan Ahmad, Yulianto. 2010 Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Post Bali, Desa Tuntut Hak Pengelolaan Hutan, Lihat dalam http:posbali.comdesa-tuntut-hak- pengelolaan-hutan diakses pada tanggal 02-03-2015 pukul 21.00 Wita. Rahardjo, Satjipto. 1985 Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional , Bandung: Penerbit CV Sinar Baru. S.P, H. Joni. 2015 Hukum Lingkungan Kehutanan, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.