Peranan mikoriza arbuskula dalam mekanisme adaptasi beberapa varietas bawang merah terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai

(1)

PERANAN MIKORIZA ARBUSKULA DALAM MEKANISME

ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH

TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

DI TANAH PASIR PANTAI

F. DIDIET HERU SWASONO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRAK

F. DIDIET HERU SWASONO. Peranan Mikoriza Arbuskula dalam Mekanisme Adaptasi Beberapa Varietas Bawang Merah terhadap Cekaman Kekeringan di Tanah Pasir Pantai. Dibimbing oleh DIDY SOPANDIE, YADI SETIADI, SUDIRMAN YAHYA dan MUHAMMAD ACHMAD CHOZIN.

Cekaman kekeringan dan keterbatasan hara merupakan persoalan yang dijumpai di tanah pasir pantai. Pemanfaatan varietas toleran dan aplikasi cendawan mikoriza arbuskula (CMA) indigenus diharapkan dapat mengatasi persoalan budidaya tanaman di tanah pasir pantai. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mekanisme adaptasi fisiologi tanaman bawang merah terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai dan mengungkap keterlibatan CMA dalam mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) CMA di tanah pasir pantai didominansi oleh Glomus Sp., (2) Dijumpai ciri khusus sporulasi CMA di dalam akar inang yang diduga merupakan fenomena CMA bertahan hidup di tanah pasir pantai, (3) Pada kisaran jarak 0-600 m dari garis pantai, jumlah propagul infektif CMA di tanah pasir pantai semakin menurun oleh sebab kedekatan jarak dengan garis pantai dan meningkatnya intensitas tanaman budidaya, (4) Jumlah propagul infektif pada kisaran jarak 600 m dari garis pantai berturut-turut sebesar 582,50 unit/50g tanah (pada jarak 0-200 m), 1446,24 unit/50g tanah (pada jarak 0-200-400 m) dan 473,91unit/50g tanah (pada jarak 400-600 m), (5) Penurunan kadar air tanah sampai dengan 60% air tersedia telah menimbulkan pengaruh cekaman kekeringan pada tanaman bawang merah di tanah pasir pantai, (6) Terbatas pada varietas-varietas yang diuji dan diseleksi berdasarkan perbedaan penurunan bobot brangkasan kering, dijumpai beberapa varietas yang dikatagorikan toleran terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai yakni : varietas Ampenan, varietas Biru, varietas Kuning, varietas Timor dan varietas Kuning Tablet; varietas moderat yakni : varietas Bima NTB, varietas Probolinggo dan varietas Siam; varietas yang dikatagorikan peka terhadap cekaman kekeringan adalah varietas Bima Brebes, varietas Bima Juna dan varietas Tiron, (7) Adaptasi tanaman bawang merah terhadap cekaman kekeringan ditandai oleh potensial air daun yang menyebabkan peningkatan kandungan ABA tajuk dan penurunan kerapatan stomata, serta peningkatan kandungan prolina tajuk yang tinggi pada varietas peka tetapi tidak pada varietas toleran, (8) CMA meningkatkan kemampuan adaptasi tanaman bawang merah terhadap cekaman kekeringan yang berkaitan dengan peningkatan pertumbuhan akar, peningkatan serapan air dan hara khususnya fosfor dan nitrogen. Pada kondisi tercekam kekeringan, varietas peka lebih tanggap terhadap CMA daripada varietas toleran.


(3)

ABSTRACT

F. DIDIET HERU SWASONO. The Role of Arbuscular Mycorrhiza in Adaptation Mechanism of Drought Stress on Several Varieties of Shallot

Grown in Coastal Sandy Soil. Under supervision of DIDY SOPANDIE, YADI

SETIADI, SUDIRMAN YAHYA and MUHAMMAD ACHMAD CHOZIN.

Drought stress and nutrient deficit is most commonly problems of crop cultivated on coastal sandy soil. The indigenous arbuscular mycorrhizas fungi (AMF) and tolerance varieties on coastal sandy soil have succeded for crops cultivated. The objective of this research is to investigate adaptation mechanism of drought stress on shallot grown in coastal sandy soil and also known the role of AMF on adaptation mechanism of drought stress. The results showed that : (1) The indigenous AMF in coastal sandy soil is dominated by Glomus Sp., (2) The spesial sporulation of AMF in root is investigated, such as it was fenomenal that supported to life in coastal sandy soil, (3) On 0-600 m distance of areas from coastal line, the AMF invective propagules number in coastal sandy soil was reduced by distance of coastal line and crop intensities increasing, (4) The AMF invective propagule denseness on 0-600 m distance areas from coastal line that its showed 582,50 units/50g soil (on 0-200 m), 1446,24 units/50g soil (on 200-400 m), and 473,91 units/50g soil (on 400-600 m), (5) The drought stress on shallot grown in coastal sandy soil is caused by decrease at 60% of available soil moisture capacity, (6) These several varieties of shallot that its limited investigate have found tolerance varieties on drought stress, i.e : Ampenan variety, Biru variety, Kuning variety, Timor variety and Kuning Tablet variety; moderate varieties, i.e.: Bima NTB variety, Probolinggo variety and Siam variety; sensitive varieties, i.e. : Bima Brebes variety, Bima Juna variety and Tiron variety, (7) The adaptation of shallot on drought stress is characterized by leaf water potential that induced the increased on ABA, decreased the stomatal conductance, and also increased proline contents of shoot on sensitive varieties, but tolerance varieties didn`t occur (8) AMF improved the adaptation of shallot on drought stress that it was related to increase root growth, water and nutrient uptake such as phophorus and nitrogen. On drought stress, the sensitive varieties have more responsive to CMA than the tolerance varieties.

Key Words : Arbuscular mycorrhyza, shallot, adaptation mechanism, drought stress, coastal sandy soil.


(4)

PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul

PERANAN MIKORIZA ARBUSKULA DALAM MEKANISME ADAPTASI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH DI TANAH PASIR PANTAI

adalah hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2006


(5)

PERANAN MIKORIZA ARBUSKULA DALAM MEKANISME

ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH

TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

DI TANAH PASIR PANTAI

F. DIDIET HERU SWASONO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi


(6)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

Judul Disertasi : PERANAN MIKORIZA ARBUSKULA DALAM MEKANISME ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DI TANAH PASIR PANTAI Nama Mahasiswa : F. DIDIET HERU SWASONO

Nomor Pokok : 985030 Program Studi : AGRONOMI

Menyetujui : 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc. Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. M.A. Chozin, M.Agr. Anggota


(7)

Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc. Tanggal Ujian : 22 Desember 2005 Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bantul, Yogyakarta, pada tanggal 6 Desember 1961, merupakan anak ketiga dari ayah Sudiyo dan ibu Sudarsih. Penulis menikah dengan Tri Haryaningsih dan telah dikaruniai dua orang anak, yakni : Zesa Cyntiananda (17 tahun) dan Brian Yudhatiarsa (10 tahun).

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Samben di Sedayu, Bantul, Yogyakarta pada tahun 1973, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri Argomulyo di Sedayu, Bantul, Yogyakarta pada Tahun 1976, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri Argomulyo di Sedayu, Bantul, Yogyakarta pada tahun 1980. Pada tahun 1986, penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana pada Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Pada tahun 1997, penulis menyelesaian pendidikan Magister Pertanian pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta. Kesempatan untuk mengikuti pendidikan program doktor diperoleh pada tahun 1998, pada Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 1987 hingga saat ini, penulis bertugas sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Wangsa Manggala di Yogyakarta.


(8)

PRAKATA

Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, disertasi dengan judul `Peranan Mikoriza Arbuskula dalam Mekanisme Adaptasi Beberapa Varietas Bawang Merah terhadap Cekaman Kekeringan di Tanah Pasir Pantai` dapat diselesaikan guna memenuhi sebagian persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka penyelesaia n pendidikan Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Keberhasilan penulis menyusun disertasi ini tidak lepas dari masukan dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karenanya penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc. dan Bapak Prof. Dr. Ir. M.A. Chozin, M.Agr. selaku anggota Komisi Pembimbing.

Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Ibu Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. dan Bapak Dr. Ir. Anas D. Susila, M.Si. yang telah memberikan arahan dan koreksi dalam rangka penyempurnaan disertasi, serta Bapak Dr. Ir. Suyamto Hardjosuwiryo, APU dan Ibu Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S. yang telah bersedia menjadi Tim Penguji Luar Komisi.

Penghargaan dan ucapan terima kasih tidak lupa disampaikan kepada Kepala BPTPH DIY beserta staf, Kepala Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan IPB beserta staf, Kepala Laboratorium PSPT IPB beserta staf, Kepala Balai Besar Pasca


(9)

dapat diwujudkan.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang menaruh minat terhadap pengembangan bawang merah di tanah pasir pantai khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Bogor, Januari 2006 Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……...………..…….………..…….… xi

DAFTAR GAMBAR ...…...… xiii

DAFTAR LAMPIRAN ...…...…….. xv

PENDAHULUAN ...….… 1

Latar Belakang ...…..… 1

Tujuan Penelitian ...…...…. 3

Hipotesis ...…. 4

Manfaat Penelitian ...…...… 4

TINJAUAN PUSTAKA ...…...……. 5

Permasalahan Tanah Pasir Pantai ……….………...…… 5

Cekaman Kekeringan pada Tanaman ...…...… 7

Cendawan Mikoriza Arbuskula ...…...….. 10


(10)

STUDI PENGEMBANGAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA ASAL TANAH PASIR PANTAI

Abstrak ……….. 16

Abstract……….. 16

Pendahuluan …….….…..……….. 17

Bahan dan Metode…...…..………..……….…..…….. 18

Hasil dan Pembahasan ……….. 21

Simpulan ………..………. 27

Halaman SELEKSI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH BERDASARKAN TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN Abstrak ……… 28

Abstract ………... 28

Pendahuluan …….….…..……… 29

Bahan dan Metode…...…..………..……….…..……… 30

Hasil dan Pembahasan ……… 40

Simpulan ………..………... 44

FISIOLOGI ADAPTASI BAWANG MERAH TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN MIKORIZA ARBUSKULA Abstrak ……… 46

Abstract ……… 46

Pendahuluan …….….…..………. 47

Bahan dan Metode…...…..………..……….…..………. 48


(11)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ……….. 87

Saran ………..……….. 88

DAFTAR PUSTAKA ……….. 89

LAMPIRAN …………..……….………. 95

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Jenis dan jumlah spora pada berbagai jarak dari garis pantai kawasan Pantai Samas Kabupaten Bantul DIY...………... 22

2. Daya hantar listrik(DHL) udara permukaan tanah pada berbagai jarak dari garis pantai …………..………... 24

3. Nilai MPN (most probable number) CMA indigenus kawasan Pantai Samas Kabupaten Bantul DIY pada berbagai jarak dari garis pantai .. 26

4. Pengaruh berbagai perlakuan kadar air tanah terhadap bobot kering brangkasan (BKB) beberapa varietas tanaman bawang merah …...…... 41

5. Pengaruh kadar air tanah terhadap bobot kering brangkasan (BKB) berbagai varietas bawang merah ……….. 43

6. Pengaruh perlakuan CMA terhadap peubah akar tanaman bawang merah pada kondisi cukup air dan tercekam kekeringan ………. 56

7. Pengaruh perlakuan CMA terhadap taraf kolonisasi CMA pada akar tanaman bawang merah pada kondisi cukup air dan tercekam kekeringan ……… 57


(12)

9. Pengaruh perlakuan CMA terhadap kandungan air relatif (KAR) daun Tanaman bawang merah pada kondisi cukup air dan tercekam

kekeringan ………. 60 10.Hasil uji korelasi antara peubah tumbuh dengan KAR dan peubah

hasil bawang merah varietas toleran (varietas Biru) dan varietas peka

(varietas Bima Brebes) .……….… 61 11.Pengaruh perlakuan CMA terhadap peubah hasil tanaman bawang

merah pada kondisi cukup air dan tercekam kekeringan ……….. 61 12.Pengaruh perlakuan CMA terhadap efisiensi penggunaan air (EPA)

tanaman bawang merah pada kondisi cukup air ……… 65 13.Pengaruh perlakuan CMA terhadap kandungan N, P, K, Ca dan Mg tajuk tanaman bawang merah pada kondisi cukup air dan terceka

kekeringan ………..……….…… 66 Halaman

14.Pengaruh perlakuan CMA terhadap kandungan prolina, ABA dan protein total tajuk tanaman bawang merah pada kondisi cukup air

dan tercekam kekeringan ……….……….……. 72 15.Hasil uji korelasi antara KAR dengan kerapatan stomata, EPA,

kandungan prolina, ABA dan protein tajuk tanaman bawang merah

varietas toleran (varietas Biru) dan varietas peka (Bima Brebes)…... 74 16. Pengaruh perlakuan CMA terhadap kerapatan stomata tanaman


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Alur penelitian `Peranan mikoriza arbuskula dalam mekanisme

adaptasi beberapa varietas bawang merah terhadap cekaman

kekeringan di tanah pasir pantai ...…... 15 2. Kepadatan spora pada berbagai jarak dari garis pantai …………... 22 3. Spora cendawan mikoriza arbuskula asal tanah pasir pantai .………… 23

4. Sporulasi cendawan mikoriza arbuskula spesies Glomus Sp-1 dan

Glomus Sp-2 di tanah pasir pantai …………...………... 25 5. Keragaan pertumbuhan bawang merah yang diduga varietas peka pada

berbagai perlakuan kadarair tersedia ………. 42 6. Keragaan pertumbuhan bawang merah yang diduga varietas toleran


(14)

8. Pengaruh aplikasi CMA terhadap bobot kering brangkasan tanaman

bawang merah ……….. 59 9. Pengaruh aplikasi CMA terhadap kandungan air relatif (KAR) daun

tanaman bawang merah ………

60

10. Pengaruh aplikasi CMA terhadap bobot umbi kering tanaman bawang

merah ………..………..……… 62 11. Tanaman bawang merah varietas Biru pada berbagai perlakuan

kadar air dan CMA ………..……….. 63 12. Tanaman bawang merah varietas Bima Brebes pada berbagai

perlakuan kadar air dan CMA …………..………. 63 13. Keragaan pertumbuhan tanaman bawang merah varietas toleran pada

berbagai perlakuan kadar air dan CMA ………. 64 14. Keragaan pertumbuhan tanaman bawang merah varietas peka pada

berbagai perlakuan kadar air dan CMA ………..………….. 64

Halaman 15. Pengaruh aplikasi CMA terhadap serapan N tajuk tanaman bawang

merah ……… 67 16. Pengaruh aplikasi CMA terhadap serapan P tajuk tanaman bawang

merah ……… 68 17. Pengaruh aplikasi CMA terhadap serapan K tajuk tanaman bawang

merah ……… 69 18. Pengaruh aplikasi CMA terhadap serapan Ca tajuk tanaman bawang

merah ……….……… 70 19. Pengaruh aplikasi CMA terhadap serapan Mg tajuk tanaman bawang


(15)

21. Pengaruh aplikasi CMA terhadap kandungan ABA tajuk tanaman bawang merah ……….... 75 22. Pengaruh aplikasi CMA terhadap kandungan protein tajuk tanaman bawang merah ……….... 78

23. Ilustrasi skematik hubungan antara KAR daun, ABA dan prolina dalam

mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan …………. 83

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Teknik isolasi dan identifikasi spora mikoriza arbuskula …………..… 96 2. Teknik staining akar ……… 97 3. Teknik pengukuran kandungan garam di udara ……….. 98 4. Teknik pengenceran dan tataletakmedium pada uji MPN (Most

Probable Number ) …………..…….………. 99 5. Prosedur penghitungan MPN (Most Probable Number) …….……….. 100 6. Hasil analisis tanah pasir Pantai Samas Kabupaten Bantul DIY


(16)

7. Penetapan kadar air tersedia dan bobot basah tanah ... 102

8. Prosedur pengadaan dan perbanyakan propagul mikoriza indigenus ... 103

9. Prosedur analisis protein total ………..….……….….. 104

10. Prosedur pengukuran prolina bebas ………..……….. 105

11. Prosedur analisis kandungan ABA ……….. 106

12. Teknik kuantifikasi koloni mikoriza arbuskula Metode Gridline ……… 107

13. Suhu udara minimum dan maksimum serta kelembaban udara di dalam Rumah Kaca BPTPH Propinsi DIY ……….. 108


(17)

Latar Belakang

Kemajuan perluasan industri dan perumahan di Indonesia telah berdampak pada peningkatan kehilangan tanah subur untuk kepentingan pertanian. Oleh karenanya usaha pengembangan pertanian harus mulai diarahkan ke tanah marginal. Saat ini masih ditemui banyak tanah marginal yang belum tersentuh teknologi pertanian, di antaranya adalah hamparan lahan kering, tanah masam dan tanah pasir pantai.

Indonesia memiliki ribuan pulau, sehingga banyak dijumpai tanah pasir pantai. Namun demikian hingga sekarang tanah pasir pantai tersebut belum digarap secara maksimal karena sebagian besar kawasan pantai merupakan tanah kritis. Kekritisan tanah di pantai pada umumnya ditandai oleh rendahnya kesuburan tanah dan bahan organik serta faktor tingginya kandungan pasir. Kandungan bahan organik yang rendah menyebabkan butir-butir tanah tidak berikatan satu sama lain dan selalu dalam keadaan berbutir tunggal sehingga tanah mudah melewatkan/meresapkan air. Kondisi tersebut akan menyebabkan persoalan ikutan lainnya di antaranya kurang tersedianya air yang pada gilirannya mengakibatkan cekaman kekeringan bagi tanaman.

Cekaman kekeringan bagi tanaman dapat disebabkan oleh dua faktor, yakni : (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran, dan (2) permintaan air yang berlebihan oleh daun yang disebabkan oleh laju evapotranspirasi melebihi laju absorpsi air oleh akar tanaman, walaupun keadaan air tanah cukup (Haryadi dan Yahya, 1988; Tardieu, 1996).

Persoalan cekaman kekeringan dan terbatasnya ketersediaan hara bagi tanaman merupakan realitas permasalahan yang dihadapi dalam upaya budidaya tanaman bawang merah di tanah pasir pantai. Oleh karenanya diperlukan usaha untuk mencari varietas-varietas bawang merah yang toleran dan prospektif dibudidayakan di tanah pasir pantai. Solusi lain yang dapat ditempuh adalah memanfaatkan jasad saprofit bagi tanaman yang mampu membantu peningkatan serapan air dan hara bagi tanaman di antaranya adalah cendawan mikoriza arbuskula (CMA).


(18)

Kemampuan tumbuh dan berkembangnya tanaman sangat tergantung pada interaksi antara genotip tanaman dengan lingkungan. Secara alami, sebenarnya tanaman sudah memiliki kemampuan beradaptasi terhadap cekaman kekeringan terutama berkaitan dengan pengendalian transpirasi. Namun demikian informasi mengenai mekanisme adaptasi fisiologi tanaman bawang merah terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai belum banyak diungkap. Pengungkapan mekanisme adaptasi fisiologi tersebut dapat menjadi dasar pemuliaan tanaman bawang merah yang toleran terhadap cekaman kekeringan.

Pemanfaatan mikoriza arbuskula dimaksudkan untuk membantu tanaman dalam proses penyerapan air dan hara yang menjadi faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan tanaman di tanah pasir pantai. Keterlibatan mikoriza arbuskula dalam peningkatan penyerapan air oleh tanaman diharapkan dapat mengatasi persoalan cekaman kekeringan di tanah pasir pantai. Ditegaskan oleh George et al. (1992) keberadaan mikoriza arbuskula memberikan kontribusi peningkatan serapan air oleh tanama n inang selain peran pokoknya meningkatkan serapan fosfat. Lebih lanjut Al-Karaki (1998) mengungkapkan bahwa mikoriza arbuskula mampu meningkatkan efisiensi penggunaan air oleh tanaman baik dalam kondisi kecukupan air maupun kondisi tercekam kekeringan. Ditambahkan juga oleh Tsang dan Maun (1999) bahwa salah satu faktor penentu kehidupan tanaman di bukit-bukit pasir adalah asosiasinya dengan mikoriza arbuskula.

Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) indigenus yang berasal dari tanah pasir pantai dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keberhasilan budidaya tanaman di tanah pasir pantai. Kelebihan CMA indigenus tersebut adalah kemampuan adaptasi dan bertahan hidup di tanah pasir pantai secara alamiah sudah teruji dalam waktu yang cukup panjang. Oleh karenanya upaya pengembangan CMA indigenus asal tanah pasir pantai diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan budidaya tanaman di tanah pasir pantai.

Saat ini tanah pasir pantai mulai dicoba dimanfaatkan untuk usaha budidaya tanaman pangan serta sayuran dan buah di antaranya jagung, sorgum, kacang tanah, bawang merah, cabai, terong, kacang panjang, semangka, melon, dan buah naga. Tanaman


(19)

bawang merah dipilih sebagai sasaran penelitian, karena selain tanaman tersebut mampu tumbuh di tanah pasir juga diminati petani untuk dibudidayakan di tanah kawasan pantai. Namun demikian masukan teknologi untuk meningkatkan produktivitas tanaman tersebut di kawasan pantai belum banyak dilaporkan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakter fisologi tanaman bawang merah yang adaptif terhadap cekaman kekeringan yang berguna dalam rangka pemuliaan varietas-varietas bawang merah yang toleran dan prospektif dibudidayakan di tanah pasir pantai. Melalui penelitian ini dapat diperoleh kejelasan peranan cendawan mikoriza arbuskula dalam mekanisme adaptasi tanaman bawang merah terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengungkap pengembangan mikoriza arbuskula indigenus di tanah pasir pantai sebagai isolat yang bermanfaat pada budidaya tanaman.

2. Menentukan varietas-varietas bawang merah yang toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai.

3. Mengungkap mekanisme adaptasi tanaman bawang merah terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai.

4. Menjelaskan peranan mikoriza arbuskula dalam mekanisme adaptasi tanaman bawang merah terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai.

Hipotesis

Hipotesis yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Potensi propagul mikoriza arbuskula indigenus tanah pasir pantai menurun seiring dengan

semakin dekatnya lokasi dari garis pantai serta meningkatnya intensitas tanaman budidaya.


(20)

2. Terdapat perbedaan karakter fisiologi adaptasi tanaman bawang merah yang toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai.

3. Adaptasi tanaman bawang merah terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai ditandai oleh perubahan karakter fisiologi yang dipengaruhi oleh ABA dan prolina.

4. Mikoriza arbuskula meningkatkan kemampuan adaptasi tanaman bawang merah terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai, melalui perannya dalam peningkatan serapan air dan hara.

Manfaat Penelitian

Pengungkapan karakter fisiologi dan mekanisme adaptasi tanaman bawang merah pada kondisi tercekam kekeringan diharapkan dapat memberikan informasi dasar pemuliaan varietas-varietas tanaman bawang merah toleran terhadap cekaman kekeringan yang prospektif dibudidayakan di tanah pasir pantai.

Informasi peran cendawan mikoriza arbuskula dalam peningkatan serapan air dan hara bagi tanaman akan bermanfaat untuk memunculkan sistem budidaya tanaman di tanah pasir pantai yang efisien. Studi pengembangan CMA indigenus asal tanah pasir pantai bermanfaat dalam pengadaan isolat CMA yang efektif digunakan untuk kepentingan budidaya tanaman di tanah pasir pantai.

TINJAUAN PUSTAKA

Permasalahan Tanah Pasir Pantai

Indonesia sebagai negara kepulauan akan memberikan konsekuensi tersedianya lahan pantai yang potensial untuk kepentingan usaha budidaya tanaman. Namun demikian kebanyakan kondisi tanah di pantai merupakan tanah kritis sehingga memerlukan teknologi khusus jika dimanfaatkan untuk kepentingan budidaya tanaman. Suryanto (1992)


(21)

mengungkapkan bahwa tanah dapat dikatakan kritis jika salah satu atau lebih anasirnya menyebabkan fungsi tanah untuk pertanian menjadi hilang. Adapun faktor penentu kekritisan tanah tersebut dapat dirinci menjadi faktor endogen yang meliputi sifat bahan induk, sifat tanah, dan topografi; serta faktor eksogen meliputi iklim yang berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan tanah.

Kekritisan tanah di pantai umumnya ditandai oleh rendahnya tingkat kesuburan tanah, dan tanah cenderung didominansi oleh hamparan pasir (Kertonegoro, 2001). Tanah pasir pantai berasal dari abu vulkanik, bertektur kasar, mudah diolah dan daya menahan air relatif rendah (Darmawijaya, 1990). Analisis sifat fisika dan kimia tanah yang telah dilakukan oleh DPU Propinsi DIY pada tahun 2000 terhadap tanah pasir kawasan pantai selatan Propinsi DIY menunjukkan bahwa butir tanah didominansi oleh fraksi pasir (>95%) sedangkan fraksi debu dan lempungnya sangat rendah yakni masing-masing lebih kurang 3%. Kandungan bahan organik juga sangat rendah (< 1%) sehingga berakibat pada sifat menyangga ion yang rendah. Kandungan hara tanah pasir pantai terinci sebagai berikut : kandungan N-total (0.05-0.08%), P-total (100-150 ppm), K (0.09-0.2 cmol/kg), Mg (0.2-0.6 cmol/kg). Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir semua kandungan hara makro tersidik di tanah pasir pantai dikatagorikan rendah. Menurut Brady (1984) kisaran kandungan hara yang normal adalah sebagai berikut : N (0.02-0.5%), P (0.01-0.2%), K (0.17-3.3%), dan Mg (0.12-1.5%). Namun demikian walaupun hamparan tanah tersebut di tepi pantai nilai DHL (daya hantar listrik) dapat dikualifikasikan sangat rendah (0.07-0.22 mmhos) sehingga tidak menimbulkan efek cekaman garam pada tanaman. Demikian juga kondisi pH tanah dilaporkan pada kondisi netral (pH (H2O) berkisar 6.34-7.34). Lebih lanjut Kertonegoro

(2001) menyatakan bahwa sebagai akibat rendah atau nihilnya bahan organik menyebabkan butir-butir tanah tidak berikatan satu sama lain dan selalu dalam keadaan berbutir tunggal sehingga tanah mudah melewatkan/meresapkan air. Tanah tersebut tidak melekat pada benda lain, tidak lentur bila basah, dan dalam keadaan kering konsistensinya menjadi lepas-lepas.


(22)

Daya mengikat air relatif rendah yang sering dijumpai di tanah pasir akan menyebabkan persoalan cekaman kekeringan pada tanaman yang dibudidayakan di tanah tersebut. Tardieu (1996) mengungkapkan bahwa tanaman akan menderita stres air oleh dua penyebab yakni : (1) kekurangan pasokan air di daerah perakaran dan (2) permintaan air yang berlebihan sebagai akibat laju transpirasi yang melebihi laju absorpsi oleh akar tanaman.

Salah satu contoh hamparan tanah pasir pantai yang mulai dikelola untuk usaha pertanian di antaranya adalah wilayah pantai selatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tanah pasir tersebut terhampar sepanjang lebih kurang 60 km dengan lebar berkisar dari 1 hingga 1.5 km atau setara dengan 13% dari luas wilayah Propinsi DIY, dan 30%-nya telah dimanfaatkan untuk kepentingan budidaya tanaman (Kertonegoro, 2001). Berdasarkan pengamatan di lapang, tanah pasir pantai yang layak digunakan untuk usaha budidaya tanaman adalah tanah pasir yang terletak di jarak > 200 meter dari garis pantai. Kisaran jarak 0-200 meter dari garis pantai digunakan untuk pertanaman yang berfungsi sebagai pematah angin (wind breaker). Manajemen yang efektif mengatasi persoalan cekaman kekeringan dan keterbatasan hara tanah sangat diperlukan terkait dengan pemanfaatan tanah pasir pantai tersebut untuk kepentingan budidaya tanaman. Usaha yang dapat dilakukan adalah : (1) mencari varietas-varietas tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan, (2) menggunakan potensi sumberdaya alam lokal yang bermanfaat dalam budidaya tanaman pada kondisi air terbatas, antara lain potensi biologi berupa cendawan mikoriza arbuskula indigenus, (3) memperbaiki kondisi tanah yang bertujuan untuk meningkatkan daya menyimpan air, mengurangi laju infiltrasi, meningkatkan daya saling ikat butir-butir tanah, meningkatkan KTK tanah, serta meningkatkan kandungan unsur hara tanah, dan (4) menerapkan sistem pengairan yang tepat dan menyediakan sarana di antaranya berupa embung tand on air, pipa-pipa saluran air dan prasarana jalan.


(23)

Kehidupan tanaman sangat tergantung pada keberadaan dan fungsi dari air. Air merupakan komponen utama sel tanaman. Monneveux dan Belhassen (1996) mengungkapkan bahwa kandungan air dalam jaringan dan organ tanaman berkisar antara 60-95% dari berat segarnya. Oleh karenanya tanaman yang mengalami cekaman kekeringan akan berakibat buruk pada pertumbuhan dan perkembangannya. Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki (1997) menyatakan bahwa tanggap tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat bervariasi yang dipengaruhi oleh perubahan kondisi biokimia dan fisiologi tanaman.

Tanggap tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat bervariasi tergantung pada intensitas dan periode waktu (lama) tanaman mengalami cekaman (Passioura, 1996). Lebih lanjut dinyatakan oleh Passioura (1996) bahwa tanaman akan memberikan tanggap perubahan kondisi stomata dan perubahan protein jika tanaman mengalami cekaman kekeringan pada periode waktu menit. Ind uksi gen, dehidrasi protein dan perubahan kandungan ABA akan terjadi jika tanaman mengalami cekaman pada periode waktu beberapa jam sampai harian. Tanaman akan memberikan tanggap perubahan tajuk, penuaan daun, perubahan perkembangan akar, perubahan pada vernalisasi, saat berbunga, serta pengisian biji jika tanaman mengalami cekaman kekeringan pada periode waktu mingguan sampai bulanan.

Monneveux dan Belhassen (1996) menyebutkan bahwa mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan terkait dengan pengaturan transpirasi. Lebih lanjut dikatakan olehnya bahwa penghambatan laju transpirasi tanaman terkait dengan perubahan morfologi daun, di antaranya : (1) ukuran dan lebar daun, (2) warna daun yang berhubungan dengan keberadaan klorofil dan kandungan pigmen lain seperti antosianin dan karotenoid yang pada gilirannya akan berpengaruh pada refleksi sinar oleh daun, (3) penggulungan daun yang berhubungan dengan penurunan turgor daun, (4) pembentukan organ khusus di daun seperti terbentuknya rambut (bulu) daun, dan (5) pengguguran daun. Schwabe dan Lionakis (1996) menambahkan bahwa perubahan sudut


(24)

daun, penggulungan daun, dan kandungan air daun berhubungan dengan adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan.

Levitt (1980) mengungkapkan bahwa tanaman dapat dibedakan menjadi dua tipe terkait dengan pengaturan transpirasi, yakni : (1) penurunan transpirasi terjadi karena kecepatan penutupan stomata (umumnya terjadi pada kelompok tanaman yang mampu hidup pada kondisi air terbatas), (2) penurunan transpirasi dengan memanfaatkan pengendali osmotik.

Cekaman kekeringan pada tanaman dengan periode waktu beberapa jam akan menyebabkan perubahan kandungan protein dan memacu sintesis ABA (Passioura, 1996). Selain hal tersebut cekaman kekeringan juga berpengaruh pada perubahan konsentrasi prolina bebas seperti dilaporkan oleh Maestri et al. (1995) dan Cristine et al. (1996).

Maestri et al. (1995) mengungkapkan bahwa prolina merupakan senyawa pengendali osmotik, terbukti bahwa tanaman pada kondisi tercekam kekeringan prolina akan terakumulasi di daun dewasa dan konsentrasinya ada korelasi dengan potensial osmotik pada saat tekanan turgor bernilai nol. Dikuatkan oleh pendapat Cristine et al. (1996) bahwa terjadi peningkatan konsentrasi asam amino jika tanaman mengalami cekaman kekeringan dan asam amino prolina dilaporkan paling fluktuatif dengan adanya perubahan potensial air. Diungkapkan bahwa kandungan prolina pada tanaman alfalfa akan meningkat tajam pada saat potensial air daun berkisar antara –1.0 sampai – 2.0 MPa (Cristine et al., 1996).

Konsentrasi ABA di dalam jaringan xilem meningkat karena penurunan potensial air tanah (Davies dan Zhang, 1991), dan penurunan potensial air daun (Tardieu et al., 1996). Lebih lanjut Tardieu et al. (1996) menyatakan bahwa penurunan potensial air daun dan peningkatan ABA di daun menunjukkan hubungan linier dengan transpirasi. Ditegaskan juga oleh Pattanagul dan Madore (1999) bahwa kandungan relatif daun menurun dari 80% pada kondisi cukup air menjadi 60% pada kondisi tanaman mengalami cekaman kekeringan.


(25)

Zeevart et al. (1991) menyatakan bahwa ABA disintesis oleh akar dan daun yang mengalami dehidrasi pada tanaman yang mengalami cekaman kekeringan. Selanjutnya ABA yang disintesis di akar akan segera ditranfer ke daun hanya dalam waktu beberapa menit (Gowing et al., 1993) dan daun merupakan sumber utama ABA (Popova et al. , 2000).

Abscisic acid (ABA) dilaporkan terkait dengan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan melalui keterlibatannya dalam pengaturan stomata. Harris dan Outlaw (1991) menyatakan bahwa akan terjadi akumulasi ABA di sel penjaga secara cepat ketika daun mengalami cekaman kekeringan. Lebih lanjut Tardieu et al. (1996) mengungkapkan bahwa penurunan potensial air daun selalu diikuti peningkatan konsentrasi ABA.

Terdapat hubungan yang erat antara ABA dengan perubahan konsentrasi protein dan kandungan prolina bebas pada saat tanaman mengalami cekaman kekeringan. Dilaporkan oleh Passioura (1996) perubahan protein terjadi ketika tanaman mengalami cekaman kekeringan. Akumulasi ABA di sel penjaga oleh karena cekaman kekeringan akan memacu ekspresi gen yang mengatur sintesis dan aktivitas protein (Shinozaki dan Yamaguchi-Shinokazi, 1997). Lebih lanjut dinyatakan bahwa aktivitas protein tersebut berkaitan dengan sintesis senyawa pengatur osmotik di antaranya adalah prolina, betain dan gula. Dengan demikian akumulasi ABA merupakan salah satu karakter fisiologi tanaman toleran terhadap cekaman kekeringan.

Cendawan Mikoriza Arbuskula

Mikoriza secara botani merupakan simbiosis mutualistik antara cendawan asal tanah dengan akar tanaman tingkat tinggi (Smith dan Read, 1997, Atlas dan Bartha, 1993). Istilah mikoriza yang berasal dari dua kata Yunani (Grekk) yaitu mykes

(cendawan) dan rhiza (akar tanaman) dikenalkan pertama kali oleh Frank pada tahun 1885 (Sieverding, 1991). Diungkapkan juga bahwa mikoriza terdiri dari dua tipe utama yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Cendawan yang tergolong ke dalam ektomikoriza


(26)

dicirikan oleh pertumbuhannya secara interseluler dan membentuk hartig net. Endomikoriza dicirikan oleh cendawan yang tumbuh interseluler maupun intraseluler dalam sel kortek dan membentuk struktur khusus berupa vesikula, arbuskula dan hifa.

Keberadaan mikoriza sangat bermanfaat di antaranya berpengaruh pada penyediaan hara fosfor (Smith dan Read, 1997) dan dapat pula terlibat pada mekanisme pemunculan toleransi tanaman terhadap cekaman lingkungan. Seperti ditegaskan oleh Kurle dan Pfleger (1994) yang menyatakan bahwa mikoriza -VA dapat membantu pertumbuhan tanaman melalui peningkatan pengambilan hara dan toleransi tanaman terhadap cekaman. Gupta dan Krisnamurthy (1996) menjelaskan hasil penelitiannya bahwa tanaman kacang tanah yang ditumb uhkan pada kondisi salin mampu meningkatkan serapan hara dan pertumbuhan yang lebih baik jika diberi perlakuan CMA dibanding tanpa CMA. Bahkan ada tanaman tertentu yang guna menyelesaikan daur hidupnya bergantung pada cendawan mikoriza arbuskula (CMA). Habte dan Byappanahalli (1994) mengungkapkan bahwa Manihot esculanta Crantz tidak sensitif terhadap defisiensi P, ternyata ada hubungannya dengan asosiasinya dengan CMA. Lebih lanjut diungkapkan jika dilakukan fumigasi terhadap media tumbuh menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan diikuti juga penurunan kandungan P di dalam jaringan tanaman singkong tersebut.

Ruis-Losano et al. (2000) melaporkan bahwa mikoriza arbuskula mampu meningkatkan laju fotosintesis Lactuca sativa L. baik pada kondisi cukup air maupun kurang air. Lebih lanjut Allsopp dan Stock (1992) mengemukakan pendapat bahwa dalam kondisi lingkungan yang terbatas nutrisinya, pertumbuhan awal tanaman masih lebih baik jika diinokulasi mikoriza-VA daripada tanpa mikoriza-VA. Ditegaskan oleh George et al. (1992) bahwa hifa mikoriza dapat menyokong serapan air oleh tanaman inang. Kenyataan tersebut didukung pula oleh Al-Karaki (l998) yang menyatakan bahwa mikoriza arbuskula dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air oleh tanaman baik dalam kondisi kecukupan air maupun kondisi tercekam kekeringan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa efisiensi penggunaan air yang lebih tinggi oleh tanaman bermikoriza daripada tanaman tanpa mikoriza berkaitan dengan peningkatan serapan air oleh akar tanaman dan


(27)

hifa mikoriza. Diungkap juga oleh Tsang dan Maun (1999) bahwa salah satu faktor yang memegang peranan penting pada kehidupan tanaman di bukit-bukit pasir adalah asosiasinya dengan CMA. Gambaran tersebut tentu saja mendukung upaya aplikasi mikoriza arbuskula di tanah pasir pantai yang relatif kekurangan air dan terbatas dalam penyediaan hara bagi tanaman.

Peningkatan serapan air tersebut diduga merupakan efek tidak langsung dari mikoriza yakni pengaruhnya terhadap perbaikan sifat fisik tanah. Dugaan tersebut disokong pleh pendapat Sieverding (1991) dan Schreiner et al. (1997) yang menyatakan bahwa mikoriza-VA mampu memperbaiki agregat tanah. Thomas et al. (1993) menyatakan bahwa keberadaan mikoriza-VA pada akar tanaman akan mempengaruhi kondisi agregasi tanah yang pada gilirannya meningkatkan kemampuan tanah menahan air, diperoleh bukti bahwa akar tanaman yang terkontaminasi mikoriza-VA mampu meningkatkan penyerapan air menjadi tiga kali lipat.

Peran mikoriza tersebut tentu akan sangat bermanfaat pada upaya konservasi tanah pasir yang dominan di kawasan pantai. Seperti ditegaskan oleh Kramadibrata dan Setiadi (1999) yang mengungkapkan bahwa keberadaan cendawan mikoriza arbuskular sangat diperlukan dalam pemunculan kestabilan ekosistem berkaitan dengan upaya konservasi. Peran mikoriza pada perbaikan sifat fisik dan kimia tanah dibuktikan juga oleh Hadisuparto et al. (1998) bahwa aplikasi mikoriza mampu memperbaiki sifat fisik tanah melalui perubahan porositas tanah, permeabilitas serta stabilitas agregat tanah; sedangkan perbaikan sifat kimia tanah ditandai oleh peningkatan kapasitas tukar kation yang diikuti peningkatan serapan P serta meningkatnya serapan hara lain seperti N, K, Ca, Mg, dan Na.

Tanaman Bawang Merah

Tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.) diduga berasal dari Asia Tengah dan mempunyai banyak kegunaan di antaranya sebagai penyedap masakan dan


(28)

pengobatan. Permadi dan Meer (1994) menyatakan bahwa tiap 100 g umbi bawang merah mengandung 88 g air, 1.5 g protein, 0.3 g lemak, 9 g karbohidrat, 0.7 g serat, 36 mg Ca, 40 mg P, 0.8 mg Fe, 5 IU vitamin A, 0.03 mg vitamin B1 dan 2 mg vitamin C. Dijelaskan lebih lanjut bahwa senyawa allicin yang dikandung bawang merah dapat membentuk ikatan kimia dengan thiamine (vitamin B1) yang disebut allithiamin, dan dalam bentuk ikatan tersebut menyebabkan vitamin B1 menjadi lebih efektif.

Tanaman bawang merah termasuk tanaman dwi musim yang berumbi lapis, tumbuh tegak dan tingginya dapat mencapai 50 cm. Perakaran berupa akar rambut yang berdiameter 1-2 mm dengan panjang 10-25 cm. Daun berbentuk bulat kecil memanjang dan berlubang seperti pipa. Batang pokok sangat pendek, datar dan terletak pada bagian dasar tanaman berbentuk piringan (Permadi dan Meer, 1994).

Di Indonesia bawang merah mempunyai banyak nama daerah di antaranya brambang (Jawa), bhabangmera (Madura),lasuna mahamu (Minahasa), bawaroriha (Ternate), kalpeo meh (Timor), dan di Bali disebut jasun mirah. Lebih lanjut Permadi dan Meer (1994) menyatakan bahwa bawang merah termasuk tanaman semusim yang tumbuh tegak dengan tinggi antara 15-50 cm. Daun berbentuk bulat kecil memanjang dan berlubang seperti pipa. Bagian ujung daun merunc ing dan bagian pangkalnya melebar dan membengkak dengan warna daun hijau muda.

Sunarjono et al. (1985) mengungkapkan bahwa produktivitas bawang merah sangat dipengaruhi oleh varietas dan asal daerah bibit tersebut. Hasil penelitian Sunarjono

et al. (1985) menunjukkan bahwa di semua daerah sentra pengembangan bawang merah yang berbeda yakni Kabupaten Brebes (mewakili daerah dataran rendah), dan Cipanas (mewakili daerah dataran tinggi) menunjukkan bahwa bibit yang berasal dari dataran tinggi memberikan hasil lebih baik.

Putrasamedja dan Suwandi (1996) menyatakan bahwa beberapa varietas yang dibudidayakan di dataran rendah berumur relatif pendek, bervariasi antara 55-70 hari tergantung pada varietas dan musim tanamnya. Lebih lanjut diungkapkan bahwa perbedaan


(29)

umur di lapang untuk siap panen merupakan manifestasi dari tanggapan tanaman tersebut terhadap pengaruh lingkungan, di antaranya yang paling berpengaruh adalah suhu, tingkat evaporasi, lama penyinaran, radiasi matahari dan curah hujan yang berbeda antara dataran rendah dan dataran tinggi.

Pusat Promosi dan Informasi Tanaman Pangan dan Hortikultura (1998) melaporkan bahwa rata-rata hasil bawang merah di Indonesia tahun 1997 mencapai 8.15 ton/ha dengan luas panen 86 800 ha. Diungkapkan oleh Permadi dan Meer (1994) bahwa pada kondisi lingkungan tumbuh yang optimal hasil bawang merah dapat mencapai 18 ton/ha. Budidaya bawang merah akan mendapatkan hasil yang baik jika ditanam saat musim kemarau dibanding musim penghujan.

Laporan Djauhari et al. (1985) mengungkap bahwa untuk mendapatkan produk bawang merah yang maksimal diperlukan penyiraman setiap hari sebagai konsekuensi penanaman di musim kemarau. Landon (1984) memberikan gambaran bahwa kebutuhan air untuk satu masa pertumbuhan bawang merah berkisar antara 350-550 mm dan menyerap air sebesar 25% dari air yang tersedia. Sufyati (1999) menyatakan bahwa berdasarkan pada indeks pengumbian, varietas Thailand, Filipina dan Medan dapat ditanam pada kadar air tanah kondisi 85% air tersedia, bahkan varietas Thailand masih dapat membentuk umbi pada kadar air tanah kondisi 70% air tersedia. Sementara varietas Brebes mampu membentuk umbi pada kadar air tanah kondisi 100% air tersedia (kapasitas lapang). Realitas tersebut memberi gambaran bahwa pengungkapan mekanisme adaptasi tanaman bawang merah terhadap cekaman kekeringan dan asosiasinya dengan cendawan mikoriza arbuskula yang menunjang efisiensi penggunaan air menjadi sangat penting.

Alur Penelitian

Penelitian merupakan rangkaian beberapa percobaan yang terinci sebagai berikut :


(30)

Percobaan tahap pertama adalah `Studi pengembangan cendawan mikoriza arbuskula indigenus asal tanah pasir pantai` terdiri dari dua percobaan, yakni : (1) Studi jenis cendawan mikoriza arbuskula indigenus asal tanah pasir pantai, dan (2) Kajian kepadatan propagul infektif inokulum mikoriza arbuskula indigenus asal tanah pasir pantai menggunakan metode `Most Probable Number (MPN)`. Kawasan pantai yang dimaksud pada percobaan tersebut adalah Kawasan Pantai Samas Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Percobaan tahap kedua adalah `Seleksi beberapa varietas bawang merah berdasarkan toleransi terhadap cekaman kekeringan` terdiri dari dua percobaan, yakni : (1) Kajian nilai ambang (threshold) kadar air tanah yang menyebabkan cekaman kekeringan pada bawang merah, dan (2) Seleksi beberapa varietas bawang merah berdasarkan toleransi terhadap cekaman kekeringan. Percobaan tahap ketiga adalah ` Fisiologi adaptasi bawang merah terhadap cekaman kekeringan dan hubungannya dengan mikoriza arbuskula`

Tatalaksana percobaan dijelaskan secara lengkap pada masing-masing tahapan percobaan. Alur penelitian yang menunjukkan keterkaitan antar masing-masing tahapan percobaan disajikan pada diagram Gambar 1.

PERCOBAAN TAHAP PERTAMA PERCOBAAN TAHAP KEDUA `Studi pengembangan cendawan mikoriza ` Seleksi beberapa varietas bawang merah rbuskula indigenus asal tanah pasir berdasarkan toleransi terhadap pantai` cekaman kekeringan Hasil yang diharapkan : Hasil yang diharapkan : 1. Informasi jenis cendawan mikoriza 1. Informasi batas ambang (threshold) arbuskula indigenus asal tanah pasir kadar air tanah penyebab cekaman pantai kekeringan pada bawang merah 2. Informasi kepadatan propagul infektif 2. Informasi bawang merah toleran dan mikoriza arbuskula indigenus asal tanah peka terhadap cekaman kekeringan pasir pantai

PERCOBAAN TAHAP KETIGA


(31)

dan hubungannya dengan mikoriza arbuskula`

Hasil yang diharapkan :

1. Konfirmasi percobaan tahap pertama dan kedua

2. Infromasi perbedaan karakter fisiologi adaptasi varietas bawang merah toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan

3. Informasi peranan mikoriza arbuskula hubungannya dengan kemampuan Adaptasi tanaman bawang merah terhadap cekaman kekeringan

Hasil akhir yang diharapkan :

1. Informasi varietas bawang merah yang berpotensi toleran terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai

2. Informasi peranan mikoriza arbuskula hubungannya dengan kemampuan adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai

Gambar 1. Alur penelitian `Peranan mikoriza arbuskula dalam mekanisme adaptasi beberapa varietas bawang merah terhadap cekaman

kekeringan di tanah pasir pantai`

STUDI PENGEMBANGAN CENDAWAN MIKORIZA

ARBUSKULA INDIGENUS ASAL

TANAH PASIR PANTAI

ABSTRAK

Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) terbukti memperbaiki kemampuan adaptasi tanaman terhadap cekaman lingkungan melalui keterlibatannya dalam peningkatan serapan hara dan air. Cekaman kekeringan dan keterbatasan hara merupakan kendala pengembangan budidaya tanaman di tanah pasir pantai. CMA indigenus asal tanah pasir pantai dapat dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan budidaya tanaman di tanah pasir pantai. Percobaan bertujuan untuk mempelajari jenis cendawan mikoriza arbuskula dan menguji kepadatan propagul infektif menggunakan metode `Most Probable Number

(MPN)`. Hasil percobaan menunjukkan bahwa : (1) CMA indigenus asal tanah pasir pantai didominansi oleh Glomus Sp., (2) Dijumpai ciri khusus sporulasi CMA indigenus di dalam akar inang yang diduga merupakan fenomena CMA bertahan hidup di tanah pasir pantai, (3) Pada kisaran jarak 0-600 m dari garis pantai, jumlah propagul infektif CMA di


(32)

tanah pasir pantai semakin menurun oleh sebab kedekatan jarak dengan garis pantai dan meningkatnya intensitas tanaman budidaya, (4) Jumlah propagul infektif CMA pada kisaran jarak 0-600 m dari garis pantai berturut-turut sebesar 582.50 unit/50g tanah (pada jarak 0-200 m), 1446.24 unit/50g tanah (pada jarak 200-400 m) dan 473.91unit/50g tanah (pada jarak 400-600 m).

ABSTRACT

The ability of crops adaptation on environment stress is increased by the arbuscular mycorrhizas fungi (AMF) that it control tend to increase the nutrient and water up take. Drought stress and nutrient deficit are most commonly problems of crops cultivated on coastal sandy soil. The indigenous AMF on coastal sandy soil have succeeded for crops cultivated. The objective of this research is to investigate the kinds of AMF and it also the AMF invective propagul denseness by Most Probable Number (MPN). The results showed that : (1) The indigenous AMF in coastal sandy soil is dominated by Glomus Sp., (2) The spesial sporulation of AMF in root is investigated, such as it was fenomenal that supported to life in coastal sandy soil, (3) On 0-600 m distance of areas from coastal line, the AMF invective propagules number in coastal sandy soil was reduced by distance of coastal line and crop intensities increasing, (4) The AMF invective propagule denseness on 0-600 m distance areas from coastal line that its showed 582.50 units/50g soil (on 0-200 m), 1446.24 units/50g soil (on 200-400 m), and 473.91 units/50g soil (on 400-600 m).

PENDAHULUAN

Informasi potensi suatu wilayah baik yang menyangkut potensi fisik, kimiawi maupun biologi dapat membantu keberhasilan pengembangan pertanian di wilayah tersebut. Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) merupakan potensi biologi alamiah yang dapat digunakan untuk meningkatkan keberhasilan pemberdayaan lahan pertanian, termasuk di antaranya tanah pasir pantai. Pemanfaatan CMA guna meningkatkan keberhasilan budidaya tanaman telah banyak dilakukan, tetapi informasi potensi CMA indigenus yang spesifik di tanah pasir pantai belum banyak diungkap.


(33)

Keberadaan CMA sangat bermanfaat di antaranya berpengaruh pada penyediaan hara fosfor (Smith dan Read, 1997) dan dapat pula terlibat pada peningkatankemampuan adaptasi tanaman terhadap cekaman lingkungan. Seperti ditegaskan oleh Kurle dan Pfleger (1994) yang menyatakan bahwa mikoriza -VA dapat membantu pertumbuhan tanaman melalui peningkatan serapan hara dan toleransi tanaman terhadap cekaman lingkungan. Al-Karaki (l998) menyatakan bahwa mikoriza arbuskula dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air oleh tanaman baik dalam kondisi kecukupan air maupun kondisi tercekam kekeringan.

Informasi keberadaan propagul infektif dan estimasi populasi CMA indigenus diperlukan berkaitan dengan pemanfaatannya sebagai inokulan pada budidaya tanaman di suatu wilayah. Metode MPN (Most Probable Number) dapat digunakan untuk menghitung jumlah propagul infektif dan mengestimasi populasi CMA (Sieverding, 1991). Lebih lanjut Porter (1979) menyatakan bahwa MPNmerupakan metode untuk mengestimasi jumlah organisme mikrobia dengan pengenceran yang kemudian diadopsi dan dikembangkan untuk kepentingan percobaan menggunakan CMA.

Menggunakan informasi yang diperoleh melalui percobaan ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang tepat tentang potensi sumberdaya cendawan mikoriza arbuskula indigenus di hamparan tanah pasir pantai, khususnya kawasan pantai Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

BAHAN DAN METODE

1. Studi Jenis Cendawan Mikoriza Arbuskula Indigenus Asal Tanah Pasir Pantai

Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian dilaksanakan di kawasan Pantai Samas Kabupaten Bantul Provinsi DIY dan Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan pada Pusat Penelitian Bioteknologi IPB, Bogor, mulai bulan Februari sampai Juli 2003.


(34)

Metode Percobaan

Rancangan Percobaan

Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap satu faktor dengan tiga ulangan. Adapun faktor yang dimaksud adalah strata jarak lokasi pengambilan mikoriza arbuskula dari garis pantai, yaitu : J1 = jarak 0 sampai 200 m dari garis pantai; J2 = jarak 200

sampai 400 m dari garis pantai dan J3 = jarak 400 sampai 600 m dari garis pantai.

Pelaksanaan Percobaan

Kawasan pantai Sama s yang terletak di Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan berada pada ketinggian lebih kurang 7 m di atas permukaan laut dipilih sebagai lokasi percobaan. Contoh tanah dan akar mengandung mikoriza arbuskula diambil di daerah perakaran tanaman inang yakni Tridax procumbens yang termasuk kelompok tanaman yang mampu hidup sepanjang tahun (musim kemarau maupun hujan) dan dapat dijumpai pada berbagai strata jarak dari pantai. Adapun strata jarak pengambilan contoh yang dimaksud adalah jarak 0-200 m; 200-400 m dan 400-600 m dari garis pantai. Contoh tanah dan akar mengandung mikoriza arbuskula tersebut diambil pada kedalaman 0-15 cm. Ekstraksi dan isolasi mikoriza arbuskula dilakukan dengan metode `Wet-Sieving Methode` dan diikuti dengan `Sucrose Centrifugal Technique` (Daniel dan Skipper, 1982). Spora diidentifikasi dengan metode `Manual Identification` (Schenk dan Peres, 1990). Rincian kejelasan teknik ekstraksi dan isolasi mikoriza arbuskula indigenus dijelaskan pada Lampiran 1. Pengamatan kolonisasi mikoriza arbuskula di akar tanaman inang dilakukan menggunakan mikroskop dissecting perbesaran 40 sampai 60 kali. Proses staining akar dilakukan sebelum akar tersebut diamati di bawah mikroskop (teknik staining akar dijelaskan pada Lampiran 2).


(35)

Pengamatan dilakukan terhadap jenis dan jumlah spora. Sebagai data penunjang diamati juga sifat fisik tanah yakni suhu dan tekstur tanah, serta sifat kimia tanah yakni pH, KTK (kapasitas tukar kation), DHL (daya hantar listrik) tanah, kandungan N, P, K, Na dan Cl tanah, serta DHL udara. Teknik pengukuran DHL udara dekat permukaan tanah dijelaskan pada Lampiran 3.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan analisis varian dan untuk menguji perbedaan nilai tengah antar perlakuan digunakan uji Tukey (Steel dan Torrie, 1980).

2. Kajian Kepadatan Propagul Infektif Inokulum Cendawan Mikoriza Arbuskula Indigenus Asal Tanah Pasir Pantai Menggunakan Metode `Most Probable Number (MPN)

Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian dilaksanakan di Kawasan Pantai Samas Kabupaten Bantul Provinsi DIY dan Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan pada Pusat Penelitian Bioteknologi IPB, Bogor, mulai bulan April sampai Juni 2003.

Metode Percobaan Rancangan Percobaan

Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan satu faktor. Adapun faktor yang dimaksud adalah strata jarak lokasi pengambilan mikoriza arbuskula dari garis pantai, yaitu : J1 = jarak 0 sampai 200 m dari garis pantai; J2 = jarak 200 sampai 400 m

dari garis pantai dan J3 = jarak 400 sampai 600 m dari garis pantai. Masing-masing

perlakuan diulang tiga kali.

Prosedur pengujian potensi mikoriza arbuskula asal kawasan pantai menggunakan metode `Most Probable Number (MPN) ` mengadopsi prosedur yang digunakan oleh


(36)

Sieverding (1991) dan Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan pada Pusat Penelitian Bioteknologi IPB, Bogor.

Tanah yang diambil dari lapang sebenarnya (yakni kawasan pantai Samas Kabupaten Bantul Provinsi DIY, khususnya tanah di daerah perakaran inang Tridax procumbens) diperiksa keberadaan spora yang ada di dalam tanah menggunakan metoda penyaringan basah. Contoh tanah tersebut dihaluskan dan akar yang terbawa dipotong menjadi potongan kecil. Kemudian tanah tersebut dicampur dengan zeolit dengan secara serial kelipatan 4 (seri pengenceran medium kelipatan 4). Zeolit distrilisasi menggunakan autoklaf pada 15 psi. selama 15 menit. Adapun teknik pengenceran medium terpapar pada Lampiran 4. Selanjutnya media tumbuh yang merupakan campuran tanah dengan zeolit tersebut dimasukkan ke dalam pot. Bibit tanaman Pueraria javanica berumur 7 hari ditanam sebagai inang, masing-masing dengan 5 ulangan. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan cara penyiraman setiap hari dan dilakukan penambahan nutrisi dengan pupuk cair Hyponex. Setelah tanaman berumur delapan minggu, pengamatan infeksi mikoriza arbuskula di akar tanaman inang dilakukan menggunakan mikroskop dissecting

perbesaran 40 sampai 60 kali. Proses staining akar dilakukan sebelum akar tersebut diamati di bawah mikroskop (teknik staining akar terpapar pada Lampiran 2). Ada tidaknya infeksi mikoriza arbuskula dicatat dalam tabel. Selanjutnya dilakukan penghitungan MPN dengan bantuan tabel Fisher dan Yates. Nilai MPN tersebut menggambarkan kepadatan propagul infektif inokulum mikoriza arbuskula asal kawasan pantai. Adapun prosedur penghitungan MPN terpapar pada Lampiran 5.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan analisis varian dan untuk menguji perbedaan nilai tengah antar perlakuan digunakan uji Tukey (Steel dan Torrie, 1980).


(37)

Jenis spesies cendawan mikoriza arbuskula (CMA) indigenus asal kawasan pantai Samas Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terdapat perbedaan berdasarkan pengamatan pada jarak 0– 600 m dari garis pantai. Namun demikian terdapat perbedaan jumlah spora pada setiap tempat yang berbeda jarak dari garis pantai. Keberadaan spesies CMA dan jumlah spora pada berbagai jarak dari garis pantai dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1 dan Gambar 2 menjelaskan bahwa kawasan pantai Samas pada tegakan

Tridax procumbens terdapat 3 macam CMA yang terdiri dari Glomus Sp-1, Glomus

Sp-2 dan Gigaspora Sp. Kepadatan spora Glomus Sp-1 pada berbagai jarak dari garis pantai berturut-turut 18.84% (pada jarak 0-200m), 30.11% (pada jarak 200-400m) dan 40.91% (pada jarak 400-600m). Kepadatan spora Glomus Sp-2 berturut-turut 26.09% (pada jarak 0-200m), 45.16% (pada jarak 200-400m) dan 41.82% (pada jarak 400-600 m). Kepadatan Gigaspora Sp menempati urutan terkecil dibanding kedua macam Glomus Sp., yakni berturut-turut 14.49% (pada jarak 0-200m), 8.60% (pada jarak 200-400m) serta 7.27% (pada jarak 400-600m).

Jika dicermati berdasarkan ukuran di antara kedua jenis yang diduga Glomus

Sp. terdapat perbedaan, yakni Glomus Sp-1 berukuran lebih kecil dibanding Glomus Sp-2. Jenis yang diduga Gigaspora Sp, selain berukuran besar juga mempunyai ciri khusus yakni dijumpai adanya bulbus (Gambar 3).

Tabel 1. Jenis CMA dan jumlah spora pada berbagai jarak dari garis pantai di tanah pasir pantai Kawasan Pantai Samas Kabupaten Bantul DIY Jumlah spora pada berbagai jarak dari garis pantai Jenis 0-200 m 200-400 m 400-600 m

Unit spora/50 g tanah

Glomus Sp-1 6.50 c 14.00 b 22.50 a

Glomus Sp-2 9.00 b 21.00 a 23.00 a

Gigaspora Sp 5.00 c 4.00 c 4.00 c Kapang (spora pecah) 4.00 b 7.50 c 5.50 c Keterangan : Angka rerata pada masing-masing baris yang diikuti huruf sama


(38)

menunjukkan tidak ada perbedaan menurut Uji Tukey taraf 5%

Jika dibandingkan berdasarkan jumlah spora ternyata pada jarak 400-600 m dari garis pantai Glomus Sp-2 menempati jumlah terbanyak diikuti Glomus Sp-1 dan

Gigaspora Sp. (Tabel 1.). Semakin dekat dengan pantai, kepadatan spora untuk masing-masing jenis CMA relatif semakin berkurang dan spora yang pecah (kapang) semakin meningkat. Hal tersebut diduga dipengaruhi

Gambar 2. Kepadatan spora pada berbagai jarak dari garis pantai

0 10 20 30 40 50

0-200 m 200-400 m 400-600 m Jarak dari garis pantai

Kepadatan spora (%) Glomus Sp-1

Glomus Sp-2 Gigaspora Sp-2


(39)

Gigaspora Sp. Glomus Sp-1 Glomus Sp-2

Gambar 3. Spora cendawan mikoriza arbuskula asal tanah pasir pantai

oleh kandungan garam (DHL = daya hantar listrik) di udara dekat permukaan tanah. Udara dekat permukaan tanah dapat mempengaruhi spora CMA yang bersifat aerobik dan ada kecenderungan hidup di lapisan atas tanah.

Pengamatan terhadap kandungan garam di udara dekat permukaan tanah terbukti bahwa semakin jauh jarak dari pantai akan semakin berkurang (Tabel 2). Pada jarak 0-200 m dari garis pantai, DHL udara mencapai 19.15 mmhos (siang) dan 4.00 mmhos (malam). Jarak 200-400 m, nilai DHL sebesar 4.90 mmhos (siang) dan 1.30 mmhos (malam). Pada jarak 400-600 m nilai DHL sebesar 2.90 mmhos (siang) dan 1.60 mmhos (malam). Tampak pada jarak 0-200 m dan 200-400 m nilai DHL berada di atas 4.00 mmhos, dengan demikian sudah dijumpai pengaruh salinitas terhadap kehidupan CMA. Teknik pengukuran kandungan garam di udara dijelaskan pada Lampiran 3. Nilai DHL > 4 mmhos atau setara dengan 40 mM Na Cl per liter telah menyebabkan cekaman. Sebagai pembanding, DHL air laut berkisar antara 44-55 mmhos (Marschner, 1986). Ditegaskan oleh Sieverding (1991) bahwa untuk kelangsungan hidup CMA sangat bergantung pada keberadaan udara (aerobik), oleh karenanya masuk akal jika keberadaan udara di permukaan tanah yang mengandung garam akan menekan kehidupan CMA. Pengaruh udara permukaan tanah tersebut menjadi besar oleh karena tanah sasaran percobaan mempunyai nilai porositas relatif tinggi disebabkan oleh kandungan pasir yang tinggi (Tabel Lampiran 6).

Tabel 2. Daya hantar listrik (DHL) udara permukaan tanah pada berbagai jarak dari garis pantai


(40)

Jarak dari Pantai Siang Malam

0 - 200 m 200 - 400 m 400 - 600 m

--- mmhos --- - 19.15 4.00 4.90 1.30

2.90 1.60

Kandungan garam di udara dekat permukaan tanah dapat menurunkan kuantitas spora, oleh karena garam dapat memicu terjadinya plasmolisis yang mengakibatkan pecahnya spora. Terbukti pada hasil pengamatan spora di lokasi sasaran penelitian pada jarak 400-600 m , 200-400 m dan 0-200 m menunjukkan jumlah spora pecah (kapang) semakin meningkat berturut-turut sebesar 10.00%, 16.13% dan 40.58%. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa penurunan kuantitas spora CMA dipengaruhi oleh peningkatan kandungan garam udara dekat permukaan tanah. Sejalan dengan pendapat Ragupathy dan Mahadevan (1991) yang mengungkapkan bahwa penurunan salinitas menyebabkan peningkatan kepadatan spora CMA.

Jika dicermati antara Glomus Sp-1 dan Glomus Sp-2 tampak adanya perbedaan kepadatan spora pada setiap tempat dengan jarak yang sama dari garis pantai. Jika dibandingkan, pada jarak 400-600 meter dengan jarak 200-400 meter dari garis pantai untuk Glomus Sp-1 terjadi penurunan jumlah spora (turun sebesar 37.78%), namun untuk jumlah spora Glomus Sp-2 tidak berbeda jauh antara dua tempat tersebut (turun 8.69%). Kondisi tersebut diduga ada hubungannya dengan pola sporulasi yang berbeda antara keduanya. Pada Glomus


(41)

Glomus Sp-1 (sporulasi di luar akar)

Glomus Sp-2 (sporulasi di dalam akar) SPORA

HIFA

AKAR AKAR

HIFA


(42)

Gambar 4. Sporulasi cendawan mikoriza arbuskula spesies Glomus Sp-1 dan Glomus Sp-2

di tanah pasir pantai

Sp-2 dijumpai banyak spora yang berada di dalam akar sedangkan pada Glomus Sp-1 spora selalu dijumpai di luar akar (Gambar 4).

Kondisi lingkungan, khususnya perbedaan kandungan garam di udara dan komposisi vegetasi berpengaruh terhadap propagul infektif CMA yang digambarkan dengan nilai MPN (Most Probable Number). Tampak pada Tabel 3, bahwa semakin dekat dengan pantai menyebabkan semakin menurunnya nilai MPN. Namun demikian kondisi pada lahan rentang jarak 400-600 m dari garis pantai, nilai MPN lebih rendah daripada rentang jarak 200-400 m. Keadaan tersebut terjadi diduga dipengaruhi oleh beberapa sebab di antaranya adalah : (1) keberadaan vegetasi tanaman budidaya telah mendesak kehidupan Tridax procumbens (tanaman uji yang merupakan tanaman asli lokasi daerah sasaran

Tabel 3. Nilai MPN (Most Probable Number) CMA indigenus kawasan Pantai Samas Kabupaten Bantul DIY pada berbagai jarak dari garis pantai

Jarak dari garis pantai

Nilai MPN (unit propagul/50g tanah)

0 - 200 m 200 - 400 m 400 - 600 m

582.50 b 1446.24 a 473.91 b

Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak ada beda menurut Uji Tukey taraf 5%

penelitian) dan (2) keberadaan tanaman budidaya di rentang jarak 400-600 m sudah dominan, sehingga proses budidaya maksimal di lokasi tersebut menyebabkan menurunnya CMA. Keadaan tersebut sesuai pendapat Kurle dan Pfleger (1994) yang menyatakan


(43)

bahwa jumlah spora dan tingkat kolonisasi CMA akan cenderung menurun oleh karena manajemen budidaya secara maksimal (manajemen konvensional dengan input produksi relatif tinggi). Diungkapkan bahwa penerapan manajemen konvensional dengan input produksi tinggi pada budidaya tanaman menyebabkan penurunan jumlah spora sebesar 40.07% dibanding dengan input produksi minimum. Lebih lanjut dinyatakannya bahwa kecenderungan manajemen budidaya tanaman secara konvensional yang selalu menetapkan penggunaan pupuk kimia dan pestisida menjadi salah satu penyebab menurunnya jumlah spora dan tingkat kolonisasi CMA.

SIMPULAN

Simpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan fakta hasil analisis dan uraian sebelumnya adalah sebagai berikut :

1. Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di tanah pasir pantai didominansi oleh

Glomus Sp.

2. Dijumpai ciri khusus sporulasi CMA di dalam akar inang yang diduga merupakan fenomena CMA bertahan hidup di tanah pasir pantai.

3. Pada kisaran jarak 0-600 m dari garis pantai, jumlah propagul infektif CMA di tanah pasir pantai semakin menurun oleh sebab kedekatan jarak dengan garis pantai dan meningkatnya intensitas tanaman budidaya.

4. Jumlah propagul infektif pada kisaran jarak 0-600 m dari garis pantai berturut- turut sebesar 582.50 unit/50g tanah (pada jarak 0-200 m), 1446.24 unit/50g tanah (pada jarak 200-400 m) dan 473.91unit/50g tanah (pada jarak 400- 600 m).


(44)

SELEKSI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH

BERDASARKAN TOLERANSI TERHADAP

CEKAMAN KEKERINGAN

ABSTRAK

Cekaman kekeringan dapat terjadi pada tanaman oleh karena tidak seimbangnya pasokan air dengan kebutuhan air bagi tanaman. Secara alami tanaman akan segera memberi tanggapan jika mengalami cekaman kekeringan. Tanggapan tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat berbeda oleh sebab perbedaan varietas. Percobaan bertujuan untuk mengetahui batas ambang (threshold) kadar air tersedia penyebab cekaman kekeringan pada bawang merah dan mengungkap beberapa varietas bawang merah yang tahan dan peka terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai. Hasil percobaan menunjukkan bahwa : (1) Penurunan kadar air tanah sampai dengan 60% air tersedia telah menimbulkan efek cekaman kekeringan pada tanaman bawang merah, (2) Terbatas pada varietas-varietas yang diuji, dijumpai beberapa varietas yang dikatagorikan toleran terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai yakni : varietas Ampenan, varietas Biru, varietas Kuning, varietas Timor dan Varietas Kuning Tablet; varietas moderat yakni : varietas Bima NTB, varietas Probolinggo dan varietas Siam ; varietas yang dikatagorikan peka terhadap cekaman kekeringan adalah varietas Bima Brebes, varietas Bima Juna dan varietas Tiron.

ABSTRACT

Drought stress in crop is affected by imbalance between water suply and demand that its in natural condition tightly controlled by the crop. Crop responses to drought stress are influenced by the varieties differently. This research was aimed to investigate the threshold of available soil moisture capacity that affected on drought stress and also known several varieties of shallot that it was tolerance and sensitive varieties on drought stress in coastal sandy soil. The result showed that : (1) Drought stress on shallot in coastal sandy soil is caused by decrease at 60% of available soil moisture capacity, (2) These several varieties of shallot that its limited investigate have found tolerance varieties on drought stress, i.e : Ampenan variety, Biru variety, Kuning variety, Timor variety and Kuning Tablet variety; moderate varieties, i.e.: Bima NTB variety, Probolinggo variety and Siam variety; sensitive verieties, i.e. : Bima Brebes variety, Bima Juna variety and Tiron variety.


(45)

PENDAHULUAN

Kandungan pasir yang tinggi serta rendahnya kandungan hara dan bahan organik merupakan kendala utama pengembangan budidaya tanaman di tanah pasir pantai. Kondisi tersebut akan menye babkan munculnya persoalan cekaman kekeringan sebagai akibat terbatasnya kemampuan tanah menahan air. Oleh karenanya penerapan teknologi yang tepat diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan upaya budidaya tanaman di tanah pasir pantai. Usaha yang dapat dilakukan di antaranya adalah selain usaha perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah, diperlukan juga usaha pemunculan varietas tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan.

Tanaman bawang merah mulai dicoba dibudidayakan di tanah pasir pantai, namun demikian belum ada kejelasan informasi batas ambang (threshold) kadar air tanah penyebab cekaman kekeringan untuk tanaman bawang merah khususnya di tanah pasir pantai. Hasil penelitian Sufyati (1999) mengungkapkan bahwa penurunan kandungan air sampai 85% air tersedia (AT) sudah menyebabkan cekaman kekeringan pada beberapa varietas bawang merah yang dibudidayakan di tanah regosol asal Sindangbarang, Kabupaten Bogor.

Secara genetis, varietas-varietas bawang merah mempunyai kemampuan yang berbeda untuk bertahan hidup dan berkembang pada kondisi tercekam kekeringan. Untuk memperoleh kejelasan varietas-varietas bawang merah yang toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai diperlukan tahapan seleksi (skrining). Pelaksanaan seleksi terhadap varietas-varietas bawang merah pada kondisi tercekam kekeringan di tanah pasir pantai berdasarkan pada kemampuan tumbuh yang dicirikan oleh perubahan bobot kering brangkasan (BKB). Varietas-varietas yang diuji diupayakan berasal dari daerah yang berbeda agar diperoleh variasi tanggapan bawang merah dengan


(46)

cakupan yang luas. Percobaan Sufyati (1999) mengungkapkan bahwa dari 4 varietas bawang merah yang diuji (yakni varietas Thailand, Filipina, Medan dan Brebes), ternyata varietas Thailand, Filipina dan Medan dapat ditanam pada kadar air tanah 85% AT, bahkan varietas Thailand masih mampu membentuk umbi pada kadar air tanah 70% AT. Sementara untuk varietas Brebes tumbuh dan berkembang dengan baik pada kadar air tanah 100% AT.

Percobaan ini diharapkan dapat mengungkap batas ambang (threshold) kadar air tanah yang menyebabkan cekaman kekeringan pada tanaman bawang merah di tanah pasir pantai. Melalui percobaan ini juga diharapkan dapat diperoleh informasi varietas-varietas bawang merah yang toleran dan peka terhadap cekaman kekeringan di tanah pasir pantai.

BAHAN DAN METODE

1. Kajian Batas Ambang (Threshold) Kadar Air Tanah yang Menyebabkan Cekaman Kekeringan pada Bawang Merah

Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi DIY, mulai bulan Juli sampai September 2003. Analisis kadar air tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah IPB, sedangkan analisis peubah tumbuh tanaman dilakukan di Laboratorium Agronomi Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta.

Metode Percobaan


(47)

Percobaan faktorial menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan yakni varietas bawang merah dan kadar air tanah. Perlakuan varietas bawang merah terdiri dari 6 varietas yakni : V1 = varietas Bima Brebes, V2 = varietas Timor,

V3 = varietas Tiron, V4 = varietas Biru, V5 = varietas Filipina dan V6 = varietas Kuning.

Perlakuan kadar air tanah terdiri dari 4 taraf meliputi : K1 = 100% air tersedia; K2 = 80%

air tersedia; K3 = 60% air tersedia; dan K4 = 40% air tersedia. Dengan demikian

percobaan terdiri atas duapuluh empat kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan sehingga terdapat 72 unit percobaan. Setiap unit terdiri atas dua polibag, sehingga seluruhnya berjumlah 144 polibag.

Media tumbuh tanaman menggunakan tanah pasir pantai yang berasal dari Pantai Samas, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Spesifikasi tanah pasir pantai tersebut dijelaskan pada Tabel lampiran 6.

Pengadaan Bibit

Varietas bawang merah yang diuji diperoleh dari daerah sentra produksi bawang merah yang berbeda. Varietas Bima Brebes, varietas Timor, varietas Kuning berasal dari Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah. Varietas Tiron, varietas Biru dan varietas Filipina diperoleh dari Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Persiapan Media Tanam

Tanah pasir digunakan sebagai media tanam bawang merah diambil dari kawasan Pantai Samas Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada lapisan top soil kedalaman 0-20 cm secara komposit pada area yang berjarak 200-600 m dari garis pantai (area yang prospektif dikembangkan sebagai kawasan budidaya tanaman pertanian). Selanjutnya tanah tersebut dikeringanginkan selama satu minggu, kemudian diayak dengan


(48)

ayakan berdiameter 2 mm sehingga diperoleh tanah yang homogen, dan masing-masing polibag diisi tanah kering udara sebanyak 5 kg.

Penentuan Air Tersedia

Air tersedia dalam tanah ditentukan dengan cara mencari selisih antara kadar air tanah kapasitas lapang dan titik layu permanen. Penetapan kadar air kapasitas lapang (pF 2.54) menggunakan alat `pressure plate apparatus`, dan penetapan kadar air titik layu permanen (pF 4.20) menggunakan alat `pressure membrane apparatus`. Penetapan kadar air kapasitas lapang menggunakan contoh tanah utuh (`undisturbed soil sample`), sedangkan untuk titik layu permanen digunakan contoh tanah kering udara berdiameter < 2 mm. Contoh tanah utuh diambil dengan menggunakan tabung tembaga (`copper ring`) pada kedalaman 0-20 cm. Selanjutnya contoh tanah tersebut dijenuhi dengan air sampai berlebihan dan dibiarkan selama 48 jam. Alat ditutup rapat, kemudian masing-masing diberi tekanan sesuai dengan pF yang dikehendaki (yakni 1/3 bar untuk pF 2.54 dan 15 bar untuk pF 4.20). Jika telah tercapai keseimbangan (setelah diberi tekanan selama 48 jam), contoh tanah dikeluarkan dan ditetapkan kadar airnya dengan metode gravimetri.

Untuk menentukan kadar air tanah kering udara, dilakukan dengan cara menimbang contoh tanah kering udara (BKU), kemudian contoh tanah tersebut dikeringkan dengan oven pada suhu 1050 C selama 24 jam (BK). Selanjutnya kadar air tanah pada keadaan kering udara dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

BKU - BK

KA = x 100% BK

Keterangan : KA = kadar air tanah kering udara BKU = bobot tanah kering udara

BK = bobot tanah kering mutlak (oven)


(49)

Berdasarkan kadar air tersedia dapat ditentukan tingkat kadar air masing-masing perlakuan sebagai berikut :

a. 100% air tersedia, maka kadar air tanahnya adalah :

(100/100 x % kadar air tersedia) + % kadar air titik layu permanen b. 80% air tersedia, maka kadar air tanahnya adalah :

(80/100 x % kadar air tersedia) + % kadar air titik layu permanen c. 60% air tersedia, maka kadar air tanahnya adalah :

(60/100 x % kadar air tersedia) + % kadar air titik layu permanen d. 40% air tersedia, maka kadar air tanahnya adalah :

(40/100 x % kadar air tersedia) + % kadar air titik layu permanen

Penetapan kadar air tersedia pada masing-masing perlakuan (100% AT, 80% AT, 60% AT dan 40% AT) dijelaskan pada Lampiran 7.

Penentuan Bobot Polibag yang Harus Dipertahankan

Untuk menentukan volume air yang diberikan, maka terlebih dahulu dilakukan penetapan bobot kering mutlak tanah (BK). Selanjutnya dapat ditentukan bobot basah tanah (BB) masing-masing sesuai dengan perlakuan persentase kadar air tersedia menggunakan rumus sebagai berikut :

BB - BK

Tingkat kadar air tiap perlakuan (%) = x 100% BK

Keterangan : BB = bobot basah tanah

BK = bobot tanah kering mutlak (oven)

Penetapan bobot basah tanah pada masing-masing perlakuan dijelaskan pada Lampiran 7. Bobot total tiap polibag yang harus dipertahankan ditetapkan dengan menambahkan bobot basah tanah (BB) dengan bobot polibag, bobot pupuk dan bobot umbi. Penyesuaian kadar air tanah untuk masing-masing perlakuan dilakukan setiap


(50)

hari sekali yaitu dimulai dari pukul 07.00 WIB, dan dilakukan koreksi menggunakan pertambahan bobot tanaman setiap dua minggu sekali. Untuk keperluan tersebut disediakan 48 polibag tanaman korban untuk dua kali koreksi (2 dan 4 minggu setelah tanam / MST).

Penanaman

Tanah kering udara sejumlah 5 kg tiap polibag disiapkan sebagai media tanam bawang merah. Penanaman dilakukan dengan cara membenamkan 3/4 umbi ke dalam tanah dalam posisi tegak menghadap ke atas, setiap polibag ditanam dua umbi.. Sebelum ditanam umbi telah diseleksi dengan bobot berkisar antara 5-7.5 g per umbi. Penjarangan dilakukan pada umur 7 hari hingga tinggal satu tanaman per polibag. Sampai umur 10 hari setelah tanam (HST), semua pot dipertahankan kadar airnya pada kondisi 100 persen air tersedia. Mulai umur 11 HST, jumlah air yang diberik an setiap hari disesuaikan dengan perlakuan kadar air, yaitu sebanyak air yang hilang melalui evapotranspirasi, dengan tetap mempertahankan bobot setiap polibag sesuai dengan perlakuan. Volume air yang ditambahkan setiap hari dicatat. Pada akhir penelitian, air yang digunakan dijumlahkan sehingga diperoleh nilai kebutuhan air untuk setiap taraf kadar air tersedia.

Pemeliharaan Tanaman

Kegiatan pemeliharan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan, serta pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari sekali pada waktu pagi hari dengan cara disiram langsung secara merata pada permukaan pot sesuai dengan perlakuan taraf kadar air tersedia. Pemupukan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hara dengan pupuk N (dosis 120 kg N/ha) menggunakan pupuk ZA (setara dengan 0.85 g ZA per polibag), pupuk P (dosis 150 kg P2O5/ha) menggunakan pupuk SP-36 (setara dengan

0.62 g SP-36 per polibag) dan pupuk K (dosis 100 kg K2O/ha) menggunakan pupuk KCl

(setara dengan 0.25 g per polibag). Pupuk SP-36 dan KCl semuanya diberikan sebagai pupuk dasar bersamaan sepertiga bagian pupuk ZA. Sementara duapertiga bagian pupuk


(51)

ZA lainnya diberikan setelah tanaman berumur 2 minggu setelah tanam (MST). Pupuk diberikan dengan cara dibenamkan ke dalam tanah secara melingkar. Penyiangan sekaligus pembubunan dilakukan mulai tanaman berumur 2 MST, setelah itu dilanjutkan dengan interval 2 minggu sekali. Pengendalian hama ulat daun dilakukan menggunakan insektisida Curacron dengan konsentrasi 1ml/l air saat tanaman berumur 3 dan 5 MST.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap peubah tumbuh tanaman bobot kering brangkasan diukur pada akhir penelitian (6 MST). Sebagai data penunjang diamati unsur iklim yaitu suhu, kelembaban udara dan radiasi surya. Bobot kering brangkasan ditera dengan penimbangan setelah brangkasan dibersihkan dari tanah dan dikeringkan dengan oven pada suhu 80oC selama 48 jam.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan analisis varian. Untuk menguji perbedaan nilai tengah antara perlakuan kadar air tanah masing-masing 80%, 60% dan 40% kadar air tersedia dengan kontrol (100% kadar air tersedia) digunakan uji BNT (Steel dan Torrie, 1980).

Batas ambang (threshold) kadar air yang menyebabkan cekaman kekeringan ditentukan berdasarkan pada perlakuan kadar air yang dapat memberikan perbedaan penurunan biomas (bobot kering brangkasan) jika dibandingkan dengan perlakuan 100% air tersedia (kontrol) berdasarkan uji BNT pada semua varietas yang diuji.

2. Seleksi Beberapa Varietas Bawang Merah Berdasarkan Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan


(1)

zeolit steril.

4. Akar tanaman Pueraria javanica ditempeli beberapa potong akar terinfeksi mikoriza arbuskula indigenus, kemudian ditanam pada media zeolit di dalam pot (gelas plastik berwarna ukuran 600 cc).

5. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan cara penyiraman setiap hari dan dilakukan penambahan nutrisi dengan pupuk cair Hyponex.

6. Setelah tanaman berumur 6-8minggu, pengamatan infeksi mikoriza menggu- nakan mikroskop dissecting.

7. Jika sudah terjadi infeksi, selanjutnya akar tanaman dipotong-potong menjadi potongan kecil dan dicampur dengan media tumbuhnya.

8. Tahapan berikutnya dilakukan perbanyakan propagul mikoriza arbuskula indigenus menggunakan inang tanaman sorgum.

9. Disiapkan media tumbuh sorgum mengunakan zeolit steril dan bibit sorgum. 10. Bibit sorgum ditanam pada zeolit steril di dalam bak plastik dengan cara ditugal, setiap lubang tanam diberi campuran zeolit dengan potongan akar tanaman Pueraria javanica yang terinfeksi mikoriza arbuskula indigenus (hasil tahapan 7).

11. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan cara penyiraman setiap hari dan dila kukan penambahan nutrisi dengan pupuk cair Hyponex.

12. Setelah tanaman berumur 6-8 minggu, pengamatan infeksi mikoriza menggu- nakan mikroskop dissecting.

13. Jika sudah terjadi infeksi, selanjutnya akar tanaman dipotong-potong menjadi potongan kecil dan dicampur dengan media tumbuhnya.

14. Campuran potongan kecil akar sorgum terinfeksi mikoriza arbuskula dengan zeolit merupakan propagul yang siap digunakan.

Lampiran 9. Prosedur analisis protein total menggunakan Dye-binding assay dari Bio-Rad Laboratories.

1. Bagian tanaman yang diambil (daun dan akar) dicuci dengan aquades steril, dipotong- potong (1 cm) dan dibekukan dengan N2 cair.

2. Jaringan digerus menjadi bubuk halus, lalu diekstrasi dengan 50 mM Tris-HCl pH 8,1 mM PMSF.


(2)

suhu 40C.

4. Supernatan disimpan pada suhu -800C sampai analisis lebih lanjut.

5. Ekstrak protein total dideterminasi dengan menggunakan dye-binding assay dari Bio-Rad Laboratories.

Lampiran 10. Prosedur pengukuran prolina bebas (mengacu prosedur Laboratorium Kimia Terpadu IPB)

1. Bahan tanaman (daun dan akar) lebih kurang 0,5 g dihomogenkan dalam 10ml 3% (b/v) asam sulfosalisilat.


(3)

2. Larutan homogen tersebut disaring dengan kertas Whatman.

3. Filtrat (2 ml) direaksikan dengan 2 ml ninhidrin asam (25 g ninhidrin dalam 30 ml asam asetat glasial dan 20 ml 6 M asam fosfat) dan 2 ml asam asetat glacial dalam tabung reaksi selama 1jam pada suhu 1000 C, dan reaksi diakhiri dalam bak berisi air es.

4. Campuran hasil reaksi tersebut diekstraksi dengan 4 ml toluen, diaduk dengan vorteks selama 15-20 detik.

5. Kromofor yang mengandung toluen dikeluarkan dari fase cair, dihangatkan pada suhu kamar.

6. Absorban diukur pada panjang gelombang 520 nm, dan toluen digunakan sebagai blangko.

7. Konsentrasi prolina ditentukan dengan kurva standar prolina (Sigma).

Lampiran 11. Prosedur analisis kandungan ABA (Popova et al., 2000)


(4)

2. Dibuat larutan 200 µl 100% methanol dengan butylated hydroxytoluen (100mg/l) pada suhu 40C selama 24 jam di ruang gelap.

3. Larutan No. 1 dan 2 di atas dicampur dan dibekukan dengan N2 cair

4. Campuran No 3. (sebanyak 50 µl) di atas direaksikan dengan 200µl Tris-buffered garam (50 mM Tris-Cl pH 7,8 dicampur dengan 150 mM NaCl dan 1mM MgCl2).

5. Estimasi kandungan ABA menggunkan teknik enzime-amplified ELISA.

Lampiran 12. Teknik kuantifikasi koloni mikoriza arbuskula Metode Gridline (Giovannetti dan Mosse, 1980)


(5)

1. Contoh akar yang telah di-staining diambil secara acak kemudian dipotong- potong sepanjang 1 cm dan disebar secara merata di cawan petri.

2. Kisi-kisi sama sisi dibuat pada lembar kertas putih dengan ukuran masing- masing sisi sepanjang 1,27 cm, kemudian diletakkan pada cawan petri yang ukurannya lebih besar dari cawan petri untuk contoh akar; dengan demikian cawan petri contoh akar dapat diletakkan di atas cawan petri berkisi.

3. Cawan petri bersusun tersebut di No. 2 diletakkan di bawah mikroskop dissecting dengan pembesaran 10-40 kali.

4. Cara pengamatan dilakukan dengan cara menghitung akar yang terkoloni maupun yang tidak terkoloni mikoriza arbuskula, mengikuti garis horisontal dan garis vertikal, kemudian dicatat pada tabel pengamatan.

5. Tabel pengamatan yang dimaksud adalah sbb. :

--- No. Kisi Total akar Akar yang terinfeksi

--- 1 X1 Y1

2 X2 Y2 3 X3 Y3 .

. . n

--- Jumlah Xn Yn

--- --- 6. Persentase kolonisasi mikorizaarbuskula pada akar dihitung dengan


(6)

Tabel Lampiran 13. Suhu Udara Minimum dan Maksimum serta Kelembaban Udara di dalam Rumah Kaca BPTPH Propinsi DIY.

Tanggal

Suhu Udara Min Maks

(0 C)

Kelembaban Udara

(%)

Tanggal

Suhu Udara Min Maks

(0 C)

Kelembaban Udara

(%) 18-3-2004 21 35 60 23-4-2004 23 41 50 19-3-2004 23 37 66 24-4-2004 22 40 51 20-3-2004 24 36 57 25-4-2004 22 40 51 21-3-2004 23 40 56 26-4-2004 25 42 48 22-3-2004 22 38 58 27-4-2004 26 42 49 23-3-2004 21 37 65 28-4-2004 26 40 48 24-3-2004 21 36 60 29-4-2004 26 37 50 25-3-2004 25 37 61 30-4-2004 26 36 61 26-3-2004 24 38 61 01-5-2004 25 36 58 27-3-2004 22 35 65 02-5-2004 26 40 60 28-3-2004 21 35 65 03-5-2004 27 32 52 29-3-2004 23 38 61 04-5-2004 28 40 51 30-3-2004 21 35 70 05-5-2004 26 38 51 31-3-2004 22 38 65 06-5-2004 26 35 55 01-4-2004 24 40 64 07-5-2004 26 39 53 02-4-2004 22 38 57 08-5-2004 27 38 51 03-4-2004 21 40 58 09-5-2004 26 37 53 04-4-2004 21 40 56 10-5-2004 27 36 52 05-4-2004 19 37 53 11-5-2004 27 39 52 06-4-2004 19 36 57 12-5-2004 25 37 54 07-4-2004 20 39 55 13-5-2004 26 37 53 08-4-2004 23 40 57 14-5-2004 26 38 53 09-4-2004 22 38 57 15-5-2004 26 36 52 10-4-2004 21 40 55 16-5-2004 27 37 52 11-4-2004 23 40 57 17-5-2004 28 37 55 12-4-2004 25 40 57 18-5-2004 27 36 51 13-4-2004 21 38 55 19-5-2004 28 38 57 14-4-2004 23 40 52 20-5-2004 27 36 54 15-4-2004 22 39 51 21-5-2004 28 38 56 16-4-2004 22 40 52 22-5-2004 27 37 51 17-4-2004 22 40 53 23-5-2004 28 37 52 18-4-2004 22 40 51 24-5-2004 27 36 56 19-4-2004 22 39 56 25-5-2004 26 35 57 20-4-2004 24 40 55 26-5-2004 25 35 62 21-4-2004 23 40 51 27-5-2004 24 34 67 22-4-2004 23 40 50 28-5-2004 26 36 63