Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Karet (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

(1)

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA

AREAL TANAMAN KARET (STUDI KASUS DI PTPN III

KEBUN BATANG TORU KABUPATEN

TAPANULI SELATAN)

TESIS

Oleh

RIZKY AMELIA DONA SIREGAR

127030010/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA

AREAL TANAMAN KARET (STUDI KASUS DI PTPN III

KEBUN BATANG TORU KABUPATEN

TAPANULI SELATAN)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Magister Sains dalam Program Studi Biologi pada Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara

Oleh

RIZKY AMELIA DONA SIREGAR

127030010/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA AREAL TANAMAN KARET

(STUDI KASUS DI PTPN III KEBUN BATANG TORU KABUPATEN TAPANULI SELATAN)

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, 15 Juli 2014

Rizky Amelia Dona Siregar NIM. 127030010


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademis Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rizky Amelia Dona Siregar

NIM : 127030010

Program Studi : Magister Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Karet (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 15 Juli 2014

Rizky Amelia Dona Siregar NIM. 127030010


(6)

Telah diuji pada Tanggal 15 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Dr. Delvian, S.P., M.P

ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc 2. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc 3. Dr. It Jamilah, M.Sc


(7)

ABSTRACT

RIZKY AMELIA DONA SIREGAR. Vesicular Arbuscular Mycorrhizal Diversity of Rubber Plantation Area (Case Study in PTPN III Batang Toru Estate, South Tapanuli). Supervised by DELVIAN and DWI SURYANTO.

This study aims to determine the density of spores, colonization percentage, and types of vesicular arbuscular mycorrhizal in rubber tree in PTPN III Batang Toru Estate with different soil fertility conditions. Soil and root samples were taken from rhizosphere of rubber each 3 plots in afdeling 1, 2, and 4. Isolation, determine the percentage of colonization

Key words: Vesicular arbuscular mycorrhizal, diversity, rubber (Hevea brasiliensis), spore, colonization

, and identification of vesicular arbuscular mycorrhizal spores has been conducted. The result showed that criteria of vesicular arbuscular mycorrhizal spore density and colonization percentage were high and moderate respectively. The highest value of spore density and colonization percentage contained in afdeling 1, that was 249 dan 319 spores/50 g soils (field and trapping) for spore density and 42,5% for colonization percentage. The types of vesicular arbuscular mycorrhizal were found 44 types of Glomus and 3 types of Acaulospora.


(8)

ABSTRAK

RIZKY AMELIA DONA SIREGAR. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula pada Areal Tanaman Karet (Studi Kasus di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan). Dibimbing oleh DELVIAN dan DWI SURYANTO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan spora, persentase kolonisasi, dan tipe fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada areal tanaman karet di PTPN III Kebun Batang Toru dengan kondisi kesuburan tanah yang berbeda. Sampel tanah dan akar diambil dari rizosfer tanaman karet masing-masing 3 plot pada afdeling 1, 2, dan 4. Variabel pengamatan yang dilakukan adalah isolasi, penghitungan kolonisasi, dan identifikasi spora FMA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria kepadatan spora dan persentase kolonisasi FMA masing-masing tergolong tinggi dan sedang. Nilai tertinggi dari jumlah spora dan persentase kolonisasi terdapat pada afdeling 1, yaitu 249 dan 319 spora/50 g tanah (lapangan dan

trapping) untuk jumlah spora dan 42,5% untuk persentase kolonisasi. Tipe FMA yang diperoleh adalah 44 tipe Glomus dan 3 tipe Acaulospora.

Kata kunci: Fungi mikoriza arbuskula, keanekaragaman, karet (Hevea brasiliensis), spora, kolonisasi


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Delvian, S.P., M.P. dan Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. sebagai dosen pembimbing atas waktu dan perhatiannya untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc. dan Ibu Dr. It Jamilah, M.Sc. sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

3. Pimpinan serta staf pegawai di Departemen Biologi FMIPA USU dan Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian USU.

4. Manajer dan staf pegawai PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan.

5. Ayahanda dan Ibunda serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa dan dukungan dalam penulisan tesis ini.

6. Seluruh rekan dan sahabat yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat berbagai kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar tesis ini menjadi lebih baik. Semoga tesis ini dapat menambah wawasan atau pengetahuan bagi para pembaca. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.


(10)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Rizky Amelia Dona Siregar

Tempat dan Tanggal Lahir : Padangsidimpuan, 22 April 1989

Alamat Rumah : Aspol Sitataring No. 15B Padangsidimpuan

Telpon/Hp : 081396979013

e-mail : rizkyameliadonasiregar@yahoo.co.id

DATA PENDIDIKAN

SD : Negeri 26 Padangsidimpuan Tamat : 2001 SMP : Negeri 1 Padangsidimpuan Tamat : 2004 SMA : Negeri 1 Padangsidimpuan Tamat : 2007


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstract i

Abstrak ii

Kata Pengantar iii

Riwayat Hidup iv

Daftar Isi v

Daftar Tabel vii

Daftar Gambar viii

Daftar Lampiran ix

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 2

1.3. Tujuan Penelitian 2

1.4. Manfaat Penelitian 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1. Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) 3

2.2. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) 3

2.2.1. Anatomi dan Morfologi FMA 5

2.2.2. Simbiosis FMA pada Akar 5

2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan FMA 6

2.2.4. Hasil Penelitian Keanekaragaman FMA 8

BAB III METODE PENELITIAN 10

3.1. Waktu dan Tempat 10

3.2. Bahan dan Alat 10

3.3. Pengambilan Sampel Tanah dan Akar 10

3.4. Pengamatan Sampel Tanah dan Akar 11

3.4.1. Ekstraksi Spora dan Identifikasi FMA 11

3.4.2. Kolonisasi FMA pada Akar Tanaman 12

3.5. Pemerangkapan (Trapping) 13

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 14

4.1. Sifat Kimia Tanah 14

4.2. Kepadatan Spora FMA 15

4.3. Persentase Kolonisasi FMA 18


(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 30

5.1. Kesimpulan 30

5.2. Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 31


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Hasil penelitian keanekaragaman FMA 9

Tabel 2. Hasil analisis tanah 14

Tabel 3. Tipe dan karakteristik spora FMA lapangan dan trapping 21


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Klasifikasi FMA 4

Gambar 2. Ilustrasi petak contoh pengambilan sampel

tanah dan akar 11

Gambar 3. Kepadatan spora FMA dari lapangan dan trapping 15 Gambar 4. Kolonisasi akar oleh FMA yang ditandai dengan adanya (a) hifa

dan (b) vesikula 18

Gambar 5. Persentase kolonisasi FMA 18


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil analisis tanah 36


(16)

ABSTRACT

RIZKY AMELIA DONA SIREGAR. Vesicular Arbuscular Mycorrhizal Diversity of Rubber Plantation Area (Case Study in PTPN III Batang Toru Estate, South Tapanuli). Supervised by DELVIAN and DWI SURYANTO.

This study aims to determine the density of spores, colonization percentage, and types of vesicular arbuscular mycorrhizal in rubber tree in PTPN III Batang Toru Estate with different soil fertility conditions. Soil and root samples were taken from rhizosphere of rubber each 3 plots in afdeling 1, 2, and 4. Isolation, determine the percentage of colonization

Key words: Vesicular arbuscular mycorrhizal, diversity, rubber (Hevea brasiliensis), spore, colonization

, and identification of vesicular arbuscular mycorrhizal spores has been conducted. The result showed that criteria of vesicular arbuscular mycorrhizal spore density and colonization percentage were high and moderate respectively. The highest value of spore density and colonization percentage contained in afdeling 1, that was 249 dan 319 spores/50 g soils (field and trapping) for spore density and 42,5% for colonization percentage. The types of vesicular arbuscular mycorrhizal were found 44 types of Glomus and 3 types of Acaulospora.


(17)

ABSTRAK

RIZKY AMELIA DONA SIREGAR. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula pada Areal Tanaman Karet (Studi Kasus di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan). Dibimbing oleh DELVIAN dan DWI SURYANTO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan spora, persentase kolonisasi, dan tipe fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada areal tanaman karet di PTPN III Kebun Batang Toru dengan kondisi kesuburan tanah yang berbeda. Sampel tanah dan akar diambil dari rizosfer tanaman karet masing-masing 3 plot pada afdeling 1, 2, dan 4. Variabel pengamatan yang dilakukan adalah isolasi, penghitungan kolonisasi, dan identifikasi spora FMA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria kepadatan spora dan persentase kolonisasi FMA masing-masing tergolong tinggi dan sedang. Nilai tertinggi dari jumlah spora dan persentase kolonisasi terdapat pada afdeling 1, yaitu 249 dan 319 spora/50 g tanah (lapangan dan

trapping) untuk jumlah spora dan 42,5% untuk persentase kolonisasi. Tipe FMA yang diperoleh adalah 44 tipe Glomus dan 3 tipe Acaulospora.

Kata kunci: Fungi mikoriza arbuskula, keanekaragaman, karet (Hevea brasiliensis), spora, kolonisasi


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan mikroorganisme tanah yang terdapat di rizosfer dan membentuk simbiosis mutualisme dengan tanaman. Fungi mikoriza arbuskula akan memperoleh unsur karbon dari tanaman sedangkan tanaman akan memperoleh unsur hara terutama fosfor (P) dari FMA (Smith dan Read, 2008). Dengan demikian, kemampuan FMA untuk menyediakan unsur hara bagi tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman.

Fungi mikoriza arbuskula telah diketahui berperan dalam merangsang pertumbuhan tanaman khususnya pada tanah yang kurang subur. Peningkatan pertumbuhan tanaman oleh FMA terutama disebabkan oleh penyerapan fosfor. Selain itu, FMA juga dapat meningkatkan penyerapan air, melindungi tanaman inang dari patogen tanah, dan meningkatkan stabilitas tanah (Smith dan Read, 2008).

Fungi mikoriza arbuskula memiliki sifat kosmopolit (tersebar di seluruh dunia) dan dapat menginfeksi hampir semua jenis tanaman. Penyebaran FMA berlangsung secara aktif pada miselium di dalam tanah (Suhardi, 1988). Banyaknya jenis tanaman yang dapat diinfeksi FMA menunjukkan bahwa FMA tidak memiliki spesifikasi tanaman inang. Oleh karena itu, FMA banyak mendapat perhatian dan sering diteliti terutama untuk mempelajari potensinya.

Penggunaan FMA sebagai pupuk hayati sangat penting diterapkan pada lahan perkebunan karet. Tanaman karet merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang produktivitasnya diharapkan selalu meningkat. Hal ini dapat dicapai jika tanaman karet tumbuh pada kondisi tanah yang subur. Namun, penggunaan pupuk kimia yang sering digunakan pada lahan perkebunan karet dapat merusak kondisi tanah. Dalam kondisi inilah FMA dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hayati yang dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia.


(19)

Pemanfaatan FMA pada tanaman karet akan lebih efektif jika diperoleh isolat FMA yang potensial dan spesifik. Hal pertama yang harus diketahui untuk mempelajari potensi suatu organisme adalah keberadaan dan keberagaman dari organisme tersebut. Demikian juga halnya dengan studi keanekaragaman FMA di areal tanaman karet. Dengan adanya data tentang keanekaragaman FMA di areal tanaman karet dapat dilakukan seleksi untuk memperoleh isolat FMA yang potensial dan spesifik pada tanaman karet.

1.2. Perumusan Masalah

Keanekaragaman dan penyebaran FMA sangat bervariasi karena kondisi lingkungannya yang juga berbeda. Pada areal tanaman karet, informasi tentang keanekaragaman FMA sejauh ini masih terbatas. Mansur et al. (2002) menyatakan bahwa hampir 70% kegiatan penelitian FMA diarahkan pada manfaatnya dalam pertumbuhan tanaman dan kurang dari 15% yang mempelajari keanekaragaman FMA pada suatu ekosistem. Eksplorasi tipe-tipe FMA di areal tanaman karet merupakan langkah awal yang penting untuk dapat mengidentifikasi tipe-tipe FMA dominan dan spesifik yang ada. Kegiatan ini sangat penting untuk mendapatkan informasi keanekaragaman tipe-tipe FMA sehingga diperoleh isolat FMA yang potensial. Berdasarkan pernyataan di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman FMA pada areal tanaman karet di PTPN III Kebun Batang Toru.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepadatan spora, persentase kolonisasi, dan tipe spora FMA pada areal tanaman karet di PTPN III Kebun Batang Toru dengan kondisi kesuburan tanah yang berbeda.

1.4. Manfaat Penelitian


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Karet (Hevea brasiliensis)

Tanaman karet (Hevea brasiliensis) tergolong jenis tanaman tahunan yang

berasal dari fam

perkebunan yang mampu menciptakan lingkungan sehat karena dapat berfungsi sebagai sumber oksigen serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena merupakan penghasil lateks maupun kayu.

Tanaman karet tumbuh baik pada daerah tropis, zona 150 LU dan 150 LS, suhu 25-300 C, ketinggian 0-400 m di atas permukaan laut, curah hujan minimal 1500 mm/tahun, dan penyinaran matahari 5-7 jam. Perakaran tanaman karet tersusun atas akar tunggang, akar lateral, dan akar baru. Perkembangan akar dipengaruhi oleh energi yang tersedia dalam jaringan tanaman dan keadaan tanah di lingkungan akar tanaman (kesuburan tanah). Tanah yang cocok untuk tanaman karet adalah aerase dan drainase baik, remah, porus, dapat menahan air, tekstur terdiri atas 35% liat dan 30% pasir, tidak bergambut, kandungan unsur hara (N,P, dan K) cukup, dan pH 4,5-6,5 (Verheye, 2010). Kondisi tanah seperti ini dapat meningkatkan produksi tanaman karet. Oleh karena itu, faktor kesuburan tanah sangat penting untuk pertumbuhan dan produktivitas tanaman.

2.2. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Mikoriza terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu myces

(fungi) dan rhiza (akar). Jadi, mikoriza merupakan simbiosis mutualistik antara fungi dengan akar tanaman. Tanaman inang memperoleh nutrisi sedangkan fungi memperoleh senyawa karbon hasil fotosintesis. Ketergantungan aktivitas hidup mikoriza terhadap tanaman inang cukup tinggi. Lebih dari 40% senyawa karbon (C) hasil fotosintesis dialokasikan ke bagian akar dan sekitar 1/3 di antaranya diberikan kepada mikoriza.


(21)

Mikoriza diklasifikasikan menjadi dua subdivisi besar, yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) digolongkan dalam kelompok endomikoriza dengan ciri-ciri: 1) akar yang kena infeksi tidak membesar, 2) lapisan hifa pada permukaan akar tipis, 3) hifa masuk ke dalam individu sel jaringan korteks, dan 4) mempunyai struktur vesikula serta arbuskula. Fungi ini bersifat obligat dan telah dilaporkan dapat bersimbiosis dengan hampir 90% jenis tanaman (Smith dan Read, 2008).

Fungi mikoriza arbuskula termasuk dalam filum Glomeromycota, kelas

Zygomycetes, dan ordo Glomales. Ordo ini terdiri atas 2 sub-ordo, yaitu

Gigasporineae dan Glomineae (INVAM, 2013). Klasifikasi FMA secara lengkap ditunjukkan pada Gambar 1.


(22)

2.2.1. Anatomi dan Morfologi FMA

Anatomi FMA dibentuk oleh beberapa struktur sehingga dapat bertahan, tumbuh, dan berkembangbiak pada akar tanaman inang. Struktur tersebut adalah hifa, arbuskula (struktur hifa bercabang-cabang), vesikula (struktur lonjong atau bulat yang mengandung cairan lemak), sel auksilari (hifa pelengkap), dan spora. Spora memiliki klamidospora yang akan terbentuk jika FMA terpisah dengan tanaman inangnya (INVAM, 2013).

Fungi mikoriza arbuskula dapat diidentifikasi secara morfologis dengan melakukan observasi terlebih dahulu terhadap FMA tunggal yang diisolasi dari sampel tanah. Meskipun FMA pada tingkat spesies tidak dapat menggunakan kriteria morfologis karena memiliki morfologi yang hampir sama, namun beberapa spesies memiliki perbedaan dari morfologi vesikel, diameter hifa, dan pola pertumbuhan akar (Abbott, 1982). Dengan demikian, pendekatan morfologis tetap bisa dilakukan dengan tujuan menilai keberhasilan inokulasi di tanah.

2.2.2. Simbiosis FMA pada Akar

Simbiosis FMA berawal dari pergerakan hifa ekstraradikal yang berasal dari perkecambahan spora dalam tanah atau akar terkolonisasi. Hal ini terjadi karena tanaman mengeksudasikan senyawa flavonoid. Selanjutnya, hifa ekstraradikal menyentuh permukaan akar, membentuk appresoria, dan menembus dinding sel akar untuk membentuk hifa intraradikal. Hifa ini tumbuh menjalar di antara sel atau menembus sel epidermis dan akhirnya mengkolonisasi ruang intra dan interseluler korteks akar. Setelah itu, hifa intraradikal berdiferensiasi membentuk arbuskula, vesikula, sel auksilari, dan spora intraradikal.

Jaringan hifa ekstraradikal di dalam tanah segera terbentuk setelah terjadinya kolonisasi akar. Hifa ekstraradikal berfungsi sebagai pengangkut hara dan air, produksi spora, agregasi tanah, serta perlindungan tanaman inang dari serangan patogen. Peran hifa ekstraradikal sebagai pengangkut hara (khususnya fosfor) sangat penting karena mampu menjangkau hara yang tidak terjangkau atau tidak tersedia


(23)

untuk akar tanaman. Selain itu, hifa ekstraradikal juga mampu menembus pori mikro untuk mendapatkan air yang tidak dapat dijangkau oleh akar karena garis tengahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan garis tengah akar. Penyerapan unsur P dan air oleh FMA dipengaruhi oleh jenis FMA, tanaman, dan lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa kesesuaian fungsional antara FMA dan tanaman tidak selalu berkaitan dengan kolonisasinya (Smith dan Read, 2008).

2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan FMA

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan FMA adalah sebagai berikut:

a. Suhu

Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktivitas FMA sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang. Persentase kolonisasi meningkat pada suhu 300 C, tetapi beberapa simbiosis FMA dengan tanaman berkembang secara normal pada suhu 350 C atau lebih (Smith dan Read, 1997). Aktivitas FMA hanya menurun pada suhu di atas 400

b. Kadar air tanah

C (Mosse, 1981).

Keberadaan FMA dapat menguntungkan tanaman yang tumbuh di daerah kering. Hal ini disebabkan: 1) FMA dapat menurunkan gerakan air sehingga transfer air ke akar meningkat, 2) FMA meningkatkan kadar P tanaman sehingga daya tahan terhadap kekeringan juga meningkat, dan 3) adanya hifa eksternal FMA yang dapat menyerap air dari areal yang lebih jauh (Rothwell, 1984). Penelitian Daniels dan Trappe (1980) menunjukkan bahwa perkecambahan maksimum Glomus epigaeus


(24)

c. Derajat keasaman (pH) tanah

Fungi mikoriza arbuskula pada umumnya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian, daya adaptasi masing-masing spesies FMA terhadap pH tanah berbeda-beda. Hal ini disebabkan pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan, dan peran FMA terhadap pertumbuhan tanaman. Menurut Daniels dan Trappe (1980), perkecambahan maksimum Glomus epigaeus terjadi pada pH 6-8. Sementara itu, pada spesies yang berbeda Glomus fasciculatus dapat berkembang dengan baik pada tanah asam (Mosse, 1981).

d. Bahan organik

Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organik 1-2% dan kandungan spora sangat rendah pada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0,5%. Residu akar mempengaruhi ekologi FMA karena serasah akar yang terkolonisasi FMA merupakan sarana penting untuk mempertahankan generasi FMA dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah akar tersebut mengandung hifa, vesikel, dan spora yang dapat mengkolonisasi FMA (Whiffen, 2007).

e. Cahaya

Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis pada tanaman. Fotosintesis yang rendah menyebabkan berkurangnya jumlah karbohidrat di dalam akar sehingga mengurangi persentase kolonisasi FMA. Sebaliknya, kolonisasi meningkat pada intensitas cahaya yang lebih tinggi (Gianinazzi-Pearson dan Gianinazzi, 1983).

f. Ketersediaan hara

Ketersediaan unsur P sebagai unsur hara tanaman mempengaruhi persentase kolonisasi FMA. Penambahan sedikit P akan meningkatkan kolonisasi. Sebaliknya, penambahan P dalam kadar tinggi sampai dengan 180 kg/ha akan mengurangi kolonisasi FMA (Simanungkalit, 1997). Penggunaan fosfat pada tanah yang asam


(25)

dapat meningkatkan derajat infeksi FMA, memperbaiki kesuburan tanah, dan meningkatkan hasil tanaman (Smith dan Read, 1997).

g. Logam berat dan unsur lain

Beberapa spesies FMA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn). Infeksi FMA lebih tinggi pada tanah yang mengalami kekahatan Mn daripada yang tidak kahat Mn (Mosse, 1981). Beberapa penelitian lain juga diketahui bahwa FMA tertentu toleran terhadap kandungan Al dan Na yang tinggi (Janoukova et al., 2006).

h. Fungisida

Fungisida merupakan racun kimia yang digunakan untuk membunuh jamur penyebab penyakit pada tanaman. Namun, penggunaan fungisida juga berdampak buruk terhadap FMA. Sukarno et al. (1993) melaporkan bahwa fungisida Benlate dan Ridomil dapat mengurangi jumlah hifa antarsel dan arbuskula. Schreiner dan Bethlenfalvay (1996) menambahkan bahwa aplikasi fungisida seperti Benomyl, PCNB, dan Captan menurunkan persentase kolonisasi akar oleh FMA bila dibandingkan dengan tanpa fungisida.

2.2.4. Hasil Penelitian Keanekaragaman FMA

Keanekaragaman FMA pada areal tanaman karet dan jenis tanaman lain telah dilakukan pada lokasi yang berbeda. Souza et al. (2010) berhasil mengidentifikasi 4 tipe Glomus dan 1 tipe Acaulospora pada areal tanaman karet di Rio de Janeiro. Beberapa hasil penelitian lainnya ditunjukkan pada Tabel 1.


(26)

Tabel 1. Hasil penelitian keanekaragaman FMA

Peneliti Jenis Tanaman Lokasi Tipe FMA Jayaratne

(1982)

Ikram dan Mahmud (1984) Deka et al.

(1998)

Karet (Hevea brasiliensis)

Sri Lanka

Malaysia

India

6 tipe Glomus, 2 tipe Acaulospora, 3 tipe Gigaspora, 3tipe

Sclerocystis, dan 3 tipe

Complexipes moniliformis.

Glomus, Acaulospora, dan

Sclerocystis coremiodes.

Glomus dan Gigaspora.

Karepesina (2007)

Jati Ambon (Tectona grandis)

Maluku Tengah 8 tipe Glomus dan 2 tipe

Acaulospora.

Prihastuti (2007)

Kedelai (Glycine max)

Seputih Banyak (Lampung Tengah)

Glomus moseae, Acaulospora, dan Gigaspora margarita.

Muzakkir (2010)

Jarak pagar (Jatropha curcas)

Tanjung Alai (Sumatera Barat)

8 tipe Glomus, 3 tipe Acaulospora, 2 tipe Gigaspora, 2 tipe

Scutellospora, 1 tipe

Entrophospora, dan 1 tipe

Sclerocystis.

Hartoyo et al.

(2011)

Pegagan (Centella asiatica)

- Cianjur - Sukamulya - Cicurug

4tipe Glomus dan 1 tipe

Acaulospora.

3 tipe Glomus, 1 tipe Acaulospora, dan 1 tipe Scutellopsora.

3 tipe Glomus dan 1 tipe

Acaulospora. Songachan dan Kayang (2011) Sohphlang (Flemingia vestita)

India 60 tipe Glomus, 23 tipe

Acaulospora, 6 tipe Gigaspora, 16 tipe Scutellospora, dan 1 tipe

Ambispora.

Puspitasari et al. (2012)

Jagung (Zea mays)

Desa Torjun (Madura)

11 tipe Glomus, 1 tipe Acaulospora, dan 2 tipe Gigaspora.

Iritie et al.

(2013) Coklat (Theobroma cacao) Yamoussoukro (Afrika)

4 tipe Glomus, 2 tipe Acaulospora,

dan 1 tipe Gigaspora.

Nurhandayani

et al. (2013)

Nenas (Ananas comosus)

Desa Rasau Jaya Umum (Pontianak)

4 tipe Glomus, 1 tipe Acaulospora,


(27)

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Pengambilan sampel tanah dan akar tanaman karet dilakukan di Perkebunan Karet PTPN III Kebun Batang Toru pada bulan September 2013. Ekstraksi spora, identifikasi, dan penghitungan kolonisasi FMA dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah Universitas Sumatera Utara pada bulan September-Desember 2013.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel tanah dan akar tanaman karet; larutan glukosa 60%; larutan Melzer’s; polyvinyl alcohol lactoglycerol

(PVLG); KOH 2,5%; HCL 2%; trypan blue 0,05%; chlorox 5,25%; hyponex merah (25-5-20); dan benih Zea mays. Alat yang digunakan adalah saringan bertingkat dengan ukuran 250, 125, dan 53 µm serta pinset spora.

3.3. Pengambilan Sampel Tanah dan Akar

Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan tingkat kesuburan tanah (rendah, sedang, dan tinggi) pada setiap afdeling. Kesuburan tanah diasumsikan dari hasil produksi tanaman. Pembuatan plot pengamatan berdasarkan metode international centre research in agro forestry (ICRAF) (Ervayenri et al., 1997). Ukuran plot pengamatan yang digunakan adalah 20 m × 20 m (Gambar 2). Penetapan plot dilakukan secara acak dengan replikasi 3 kali. Selanjutnya dilakukan penentuan titik pengambilan sampel tanah di setiap sudut dan tengah plot. Pengambilan sampel tanah dilakukan di rizosfer dengan kedalaman 0-20 cm. Sampel tanah yang diambil ± 1 kg. Pengambilan sampel akar dilakukan pada 2 sudut plot (2 titik). Analisis kimia juga dilakukan pada sampel tanah yang diambil untuk mengetahui beberapa sifat kimia tanah, yaitu pH, C-organik, fosfor (P), dan kapasitas tukar kation (KTK).


(28)

4 3

20 m

5

1 2

20 m

Gambar 2. Ilustrasi petak contoh pengambilan sampel tanah dan akar

3.4. Pengamatan Sampel Tanah dan Akar

Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi tipe FMA dan persentase kolonisasi FMA.

3.4.1. Ekstraksi Spora dan Identifikasi FMA

Ekstraksi spora FMA dilakukan untuk memisahkan spora FMA dari sampel tanah sehingga dapat dilakukan identifikasi FMA guna mengetahui jumlah dan tipe spora FMA yang terdapat pada setiap plot. Teknik yang digunakan dalam ekstraksi spora FMA adalah teknik tuang saring yang dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi (Brundrett et al., 1996).

Prosedur teknik tuang saring dan sentrifugasi adalah mengambil 50 g sampel tanah kemudian dituangkan dalam gelas ukur, ditambahkan air 200 mL, diaduk, dan dibiarkan 30 menit sampai butiran tanah hancur. Campuran sampel tanah disaring dalam satu set saringan bertingkat berukuran 250, 125, dan 53 µm secara berurutan dari atas ke bawah. Partikel tanah yang tertinggal pada saringan paling atas disemprot dengan air secara merata. Kemudian saringan paling atas dilepas, saringan ke-2 kembali disemprot dengan air. Setelah itu, saringan ke-2 juga dilepas. Partikel tanah


(29)

yang tertinggal pada saringan paling bawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifus. Kemudian hasil saringan tadi ditambahkan dengan larutan glukosa 60% sebanyak 3 mL. Tabung sentrifus ditutup rapat dan disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. Cairan supernatan yang diperoleh dituang ke dalam saringan 53 µm, dicuci dengan air mengalir, dipindahkan ke cawan petri, dan diperiksa di bawah mikroskop untuk penghitungan kepadatan spora serta pembuatan preparat guna identifikasi spora FMA yang ada.

Pembuatan preparat spora menggunakan larutan Melzer’s dan PVLG yang diletakkan secara terpisah pada satu object glass. Spora-spora FMA yang diperoleh dari ekstraksi dihitung jumlahnya, lalu diletakkan dalam larutan Melzer’s dan PVLG. Selanjutnya spora-spora tersebut ditutup dengan cover glass dan diamati dengan mikroskop. Perubahan warna spora dalam larutan Melzer’s adalah salah satu indikator untuk menetukan tipe spora yang ada.

3.4.2. Kolonisasi FMA pada Akar Tanaman

Kolonisasi FMA pada akar tanaman karet ditandai dengan adanya hifa, arbuskula, atau vesikula ketika diamati dengan mikroskop. Tahap ini dilakukan melalui teknik pewarnaan akar (root staining). Langkah pertama adalah memilih sampel akar yang halus dan dicuci dengan air mengalir. Sampel akar yang telah bersih kemudian direndam dalam larutan KOH 2,5% selama 7 hari untuk mengeluarkan seluruh isi sitoplasma dari sel akar. Selanjutnya sampel akar dicuci kembali dengan air mengalir dan direndam dalam larutan HCL 2% selama 2 malam. Setelah itu, sampel akar langsung direndam dalam larutan trypan blue 0,05% selama 24 jam untuk mempermudah pengamatan (Kormanik dan McGraw, 1982).

Setelah pewarnaan, langkah selanjutnya adalah penghitungan persentase kolonisasi FMA yang menggunakan metode panjang akar terkolonisasi (Giovanetti dan Mosse, 1980). Sampel akar diambil 10 potong dan diukur ± 1 cm tiap potongan akar, lalu disusun pada satu object glass untuk diamati setiap bidang pandangnya di


(30)

(+), sedangkan yang tidak menunjukkan kolonisasi diberi tanda negatif (-). Persentase kolonisasi akar oleh FMA dihitung dengan rumus berikut:

% kolonisasi akar = ∑ bidangpandangbertanda (+)

∑ bidangpandangkeseluruhan × 100%

3.5. Pemerangkapan (Trapping)

Tujuan pemerangkapan (trapping) adalah mendapatkan keanekaragaman spora FMA. Langkah pertama adalah mempersiapkan benih jagung (Zea mays) sebagai tanaman inang dan pasir sebagai media tanamnya. Benih jagung terlebih dahulu direndam dalam larutan chlorox 5,25% selama 5 menit, lalu diganti dengan air selama 5 menit. Benih-benih jagung kemudian disemaikan dalam pasir yang telah disterilisasi hingga muncul dua helai daun dan dilanjutkan dengan trapping.

Metode yang digunakan pada trapping adalah pot kultur terbuka (Brundrett et al., 1996). Pot kultur diisi dengan susunan pasir, sampel tanah dari lapangan, dan pasir masing-masing 1/3 bagian pot kultur. Jagung yang telah disemaikan dipindahkan ke dalam pot kultur, lalu pemeliharaan kultur dilakukan melalui penyiraman, pemberian hara, dan pengendalian hama selama 8 minggu. Larutan hara yang digunakan adalah hyponex merah (25-5-20) 1 g/L setiap minggu dengan dosis 20 mL tiap pot kultur. Selanjutnya, stressing dilakukan selama 2 minggu. Setelah itu, campuran pasir dan sampel tanah diektraksi untuk menghitung jumlah spora dan mengidentifikasi tipe spora FMA.


(31)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sifat Kimia Tanah

Sifat kimia tanah yang dijadikan sebagai sampel isolasi spora FMA dapat diketahui dengan menganalisis beberapa parameternya, yaitu pH, C-organik, fosfor (P), dan kapasitas tukar kation (KTK). Hasil analisis tanah ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis tanah

Parameter Sampel Tanah Kadar Keterangan

pH Afdeling 1

Afdeling 2 Afdeling 4 5,43 4,99 5,16 Masam Masam Masam C-organik (%) Afdeling 1

Afdeling 2 Afdeling 4 0,58 1,01 0,97 Sangat rendah Rendah Sangat rendah P (ppm) Afdeling 1

Afdeling 2 Afdeling 4 4,35 4,35 4,43 Sangat rendah Sangat rendah Sangat rendah KTK (me/100 g) Afdeling 1

Afdeling 2 Afdeling 4 11,45 10,29 10,11 Rendah Rendah Rendah

Berdasarkan hasil analisis tanah, tingkat kesuburan tanah pada afdeling 1, 2, dan 4 tergolong rendah (kurang subur). Kadar pH tanah yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi tanah dalam penelitian ini tergolong masam. Keberadaan FMA pada kondisi tanah seperti ini menunjukkan bahwa FMA mampu beradaptasi dengan kadar pH yang masam. Kemasaman tanah dapat dipengaruhi oleh bahan organik tanah termasuk C-organik. Menurut Utami dan Handayani (2003), kadar C-organik yang rendah menunjukkan kecenderungan pH lebih rendah.

Kadar P yang diperoleh dalam penelitian ini sangat rendah. Kriteria ini terkait dengan kondisi tanah yang masam karena kemasaman tanah menyebabkan rendahnya ketersediaan unsur hara termasuk P. Souza et al. (2010) menyatakan bahwa pada tanah perkebunan karet, kadar P yang sangat rendah (0,0000026 ppm) diperoleh pada pH 4,61. Selain pH, C-organik, dan P, kapasitas tukar kation (KTK) yang diperoleh


(32)

juga rendah. Kapasitas tukar kation merupakan salah satu indikator kesuburan tanah yang dipengaruhi oleh kadar C-organik dalam tanah. Kadar KTK yang rendah menunjukkan rendahnya tingkat kesuburan tanah. Dengan demikian, sifat kimia tanah yang sama di setiap afdeling menunjukkan bahwa kondisi tanahnya juga sama. Kondisi inilah yang dapat mempengaruhi adanya beberapa hasil penelitian yang sama di setiap afdeling.

4.2. Kepadatan Spora FMA

Kepadatan spora FMA yang diperoleh di setiap afdeling dari hasil lapangan dan trapping ditunjukkan pada Gambar 3. Jumlah spora tertinggi diperoleh pada afdeling 1, yaitu 249 dan 319 spora/50 g tanah masing-masing dari hasil lapangan dan

trapping. Secara keseluruhan, jumlah spora hasil trapping lebih tinggi dibandingkan lapangan.


(33)

Kepadatan spora yang diperoleh pada setiap afdeling dari hasil lapangan dan

trapping masing-masing tinggi dan sangat tinggi (Smith dan Read, 1997). Tingkat kepadatan spora yang sama di setiap afdeling baik lapangan maupun trapping

disebabkan oleh adanya sifat kimia tanah yang sama sehingga menciptakan kondisi lingkungan yang sama di setiap afdeling. Penelitian lain yang juga memperoleh kepadatan spora yang tinggi pada areal tanaman karet, yaitu Jayaratne dan Waidyanatha dalam Akond et al. (2008) dan Souza et al. (2010) masing-masing memperoleh 200-2000 dan 222 spora/50 g tanah. Hal ini menunjukkan bahwa pada lokasi yang berbeda mungkin terdapat sifat kimia tanah yang sama sehingga tingkat kepadatan spora yang diperoleh juga sama. Dengan demikian, sifat kimia tanah yang sama pada afdeling 1, 2, dan 4 merupakan faktor yang menyebabkan tingkat kepadatan spora yang diperoleh pada masing-masing afdeling juga sama.

Tingginya kepadatan spora yang diperoleh dalam penelitian ini disebabkan oleh sifat kimia tanah (pH, C-organik, P, dan KTK) yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan spora yang diperoleh dalam penelitian ini tidak sejalan dengan pH, C-organik, P, dan KTK. Souza et al. (2010) juga menunjukkan bahwa kepadatan spora yang tinggi (222 spora/50 g tanah) diperoleh pada pada pH asam (4,61) dan P sangat rendah (0,0000026 ppm) di areal tanaman karet. Penelitian lainnya juga memperoleh hasil serupa, yaitu kepadatan spora yang tinggi ditemukan pada sifat kimia tanah yang rendah (Prihastuti, 2007; Songachan dan Kayang, 2011). Berdasarkan hasil penelitian ini dan penelitian lainnya tampak bahwa kepadatan spora yang tinggi sering dijumpai pada kadar P yang rendah. Oleh karena itu, P dianggap sebagai unsur yang paling berpengaruh terhadap FMA. Sementara itu, hubungan pH; C-organik; dan KTK dengan kepadatan spora tidak selalu sama dengan hasil penelitian ini. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa kepadatan spora yang tinggi diperoleh pada pH, C-organik, dan KTK yang tinggi (Aytok et al., 2013; Iritie et al., 2013; dan Sghir et al., 2013). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepadatan spora yang tinggi dapat diperoleh pada pH, C-organik, dan KTK


(34)

Jumlah spora hasil trapping di setiap afdeling menunjukkan nilai yang tidak begitu berbeda. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang sama baik lokasi maupun perlakuan. Jika dibandingkan, jumlah spora hasil trapping lebih tinggi dibandingkan lapangan. Hal ini disebabkan adanya perlakuan stressing (cekaman air) dengan tidak melakukan penyiraman. Perlakuan ini mengakibatkan kondisi perakaran menjadi kering sehingga memacu FMA untuk membentuk spora dalam jumlah yang banyak. Pacioni (1986) menyatakan bahwa pembentukan spora FMA dirangsang oleh kondisi cekaman air. Brundrett (2006) menambahkan bahwa dalam kondisi yang tidak menguntungkan keberadaan mikoriza dapat diamati, yaitu dalam bentuk spora. Hal ini berarti spora banyak diperoleh pada kondisi lingkungan yang tidak optimal seperti perlakuan stressing. Oleh karena itu, jumlah spora hasil trapping lebih tinggi dibandingkan lapangan. Hasil serupa juga diperoleh Iritie et al. (2013), yaitu jumlah spora dari hasil trapping mencapai 4.078 spora/50 g tanah yang sebelumnya hanya berjumlah 324 spora/50 g tanah dari hasil lapangan. Penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa jumlah spora hasil trapping lebih tinggi dibandingkan lapangan (Karepesina, 2007 dan Hartoyo et al., 2011).

Perbedaan kepadatan spora hasil trapping dengan lapangan nampaknya juga dipengaruhi oleh kemampuan tanaman bersimbiosis dengan FMA. Hal ini berarti akar juga berpengaruh dalam perkembangan FMA. Zhao et al. (2001) menyatakan bahwa struktur kompleks komponen akar di dalam tanah bisa menjadi faktor utama yang mempengaruhi kepadatan spora FMA. Nursanti et al. (2012) menambahkan bahwa tanaman inang berhubungan erat dengat eksudat akar sebagai sumber energi FMA yang akan mempengaruhi perkecambahan awal spora.


(35)

4.3. Persentase Kolonisasi FMA

Kolonisasi akar tanaman karet oleh FMA dalam penelitian ini ditandai dengan adanya hifa dan atau vesikula (Gambar 4). Persentase kolonisasi yang tertinggi diperoleh pada afdeling 1, yaitu 42,5% (Gambar 5).

(a) (b)

Hifa Vesikula Gambar 4. Kolonisasi akar oleh FMA yang ditandai dengan adanya (a) hifa dan (b) vesikula


(36)

Persentase kolonisasi yang diperoleh pada afdeling 1, 2, dan 4 tergolong sama, yaitu sedang. Menurut Setiadi et al. (1992), persentase kolonisasi tergolong sedang jika berada di antara 26-50%. Ikram dan Mahmud (1984) menyatakan bahwa persentase kolonisasi FMA di areal tanaman karet tidak lebih dari 50%. Persentase kolonisasi yang diperoleh dalam penelitian ini tampaknya sejalan atau berkorelasi positif dengan kepadatan spora (Gambar 6).

Gambar 6. Korelasi persentase kolonisasi dengan kepadatan spora FMA (×) Jumlah spora dan (y) persentase kolonisasi

Berdasarkan gambar di atas tampak bahwa persentase kolonisasi FMA tergantung pada jumlah spora. Persentase kolonisasi akan meningkat 0,037% setiap penambahan 1 spora. Dengan demikian, peningkatan persentase kolonisasi FMA dipengaruhi oleh peningkatan jumlah spora. Hasil serupa yang menunjukkan bahwa persentase kolonisasi sejalan dengan kepadatan spora juga diperoleh dari penelitian lain (Delvian, 2010; Songachan dan Kayang, 2011; Khakpour dan Khara, 2012; Aytok et al., 2013).

Dalam penelitian ini, kemampuan kolonisasi akar oleh FMA dipengaruhi oleh kadar P yang sangat rendah. Hal ini berarti kadar P yang sangat rendah dapat merangsang kolonisasi FMA. Menurut Mosse (1981), kolonisasi FMA lebih cepat terbentuk dalam kondisi P yang rendah karena fungsi utama infeksi FMA adalah


(37)

penyerapan P dalam bentuk tidak tersedia. Songachan dan Kayang (2011) menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini, yaitu persentase kolonisasi 30,11%; 43,77% dan 35,21%; 29,51% (sedang) masing-masing diperoleh pada kadar P 0,15% dan 0,47% (sangat rendah).

Selain P, eksudat akar juga mempengaruhi kolonisasi FMA secara tidak langsung. Bonfante dan Genre (2010) menyatakan bahwa eksudat yang dilepaskan oleh akar tanaman dapat menginduksi percabangan hifa sebagai faktor utama untuk meningkatkan kemungkinan kolonisasi. Faktor lain yang juga mempengaruhi kolonisasi adalah curah hujan. Pada saat pengambilan sampel, curah hujan bulanan 269 mm yang berarti tergolong sedang karena berada di antara 101-300 mm (BMKG, 2013). Hal ini menunjukkan adanya serapan air ke dalam tanah yang cukup untuk perkecambahan spora sehingga meningkatkan produksi hifa yang akan mengkolonisasi akar.

4.4. Tipe dan Karakteristik Spora FMA

Spora FMA yang diperoleh dari lapangan dan trapping memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda. Perbedaannya dilihat berdasarkan morfologi, yaitu bentuk, warna, tekstur permukaan dan dinding, serta ada tidaknya struktur yang menempel pada spora. Dalam penelitian ini, spora FMA yang diperoleh dari lapangan hanya 1 genus, yaitu Glomus (18 tipe). Spora FMA hasil trapping diperoleh 2 genus, yaitu Glomus (35 tipe) dan Acaulospora (3 tipe). Adapun variasi tipe dan karakteristik spora FMA dari lapangan dan trapping disajikan pada Tabel 3.


(38)

Tabel 3. Tipe dan karakteristik spora FMA dari lapangan dan trapping Tipe Spora Karakteristik

Morfologi

Reaksi dengan Melzer’s Lapangan Trapping

Glomus sp. 1

-

Spora bulat, berwarna coklat kekuningan, permukaannya halus, berdinding tebal, dan mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 2

Spora bulat, berwarna coklat,

permukaannya halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 3

-

Spora bulat, berwarna coklat kehijauan, permukaannya halus, berdinding sangat tebal, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 4

Spora bulat, berwarna coklat kemerahan, permukaannya kasar, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

- Glomus sp. 5

Spora bulat, berwarna coklat kekuningan, permukaannya kasar, berdinding tipis, dan tidak mempunyai

hyphal attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 6

Spora bulat, berwarna coklat,

permukaannya relatif halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 7

Spora bulat, berwarna coklat kemerahan, permukaannya relatif halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 8

Spora bulat, berwarna coklat kekuningan, permukaannya kasar, berdinding tebal, dan tidak mempunyai

hyphal attachments.


(39)

Lanjutan

Glomus sp. 9

Spora bulat, berwarna coklat

kekuningan, permukaannya relatif halus, berdinding tipis, dan tidak mempunyai

hyphal attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 10

Spora bulat, berwarna coklat

kekuningan, permukaannya relatif halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai

hyphal attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 11

Spora bulat, berwarna coklat kekuningan, permukaannya halus, berdinding sangat tebal, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 12

-

Spora bulat, berwarna coklat,

permukaannya relatif halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 13

-

Spora bulat, berwarna coklat kemerahan, permukaannya relatif kasar, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 14

Spora bulat, berwarna coklat

kekuningan, permukaannya relatif halus, berdinding tipis, dan tidak mempunyai

hyphal attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 15

-

Spora bulat lonjong, berwarna coklat kekuningan, permukaannya halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai

hyphal attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 16

-

Spora bulat, berwarna coklat kehijauan, permukaannya sangat halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal attachments.


(40)

Lanjutan

Glomus sp. 17

-

Spora bulat, berwarna coklat kehijauan, permukaannya relatif halus, berdinding sangat tebal, dan mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

Glomus sp. 18

-

Spora bulat, berwarna coklat,

permukaannya halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 19

Spora bulat, berwarna coklat kehitaman, permukaannya halus, berdinding tebal, dantidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 20

Spora bulat, berwarna coklat kehijauan, permukaannya kasar, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 21

Spora bulat, berwarna coklat,

permukaannya halus, berdinding tipis, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 22

Spora bulat, berwarna coklat kemerahan, permukaannya relatif halus, berdinding tipis, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 23

Spora bulat, berwarna coklat kehitaman, permukaannya relatif halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 24

Spora bulat, berwarna coklat,

permukaannya halus, berdinding tebal, tidak mempunyai hyphal attachments, dan mempunyai tonjolan.


(41)

Lanjutan

-

Glomus sp. 25

Spora bulat lonjong, berwarna coklat, permukaannya halus, berdinding tipis, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 26

Spora bulat lonjong, berwarna coklat, permukaannya halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 27

Spora bulat, berwarna coklat kemerahan, permukaannya relatif halus, berdinding tipis, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 28

Spora bulat, berwarna coklat

kekuningan, permukaannya relatif halus, berdinding tipis, dan tidak mempunyai

hyphal attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 29

Spora bulat, berwarna coklat kekuningan, permukaannya halus, berdinding sangat tebal, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 30

Spora bulat, berwarna coklat kemerahan, permukaannya relatif halus, berdinding sangat tebal, dan tidak mempunyai

hyphal attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 31

Spora bulat, berwarna coklat kehijauan, permukaannya halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 32

Spora bulat, berwarna coklat kehijauan, permukaannya relatif halus, berdinding tebal, dan mempunyai hyphal

attachments.


(42)

Lanjutan

-

Glomus sp. 33

Spora bulat, berwarna coklat kehitaman, permukaannya halus, berdinding tipis, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 34

Spora bulat, berwarna coklat,

permukaannya halus, berdinding tipis, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 35

Spora bulat, berwarna coklat pekat, permukaannya relatif kasar, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 36

Spora bulat, berwarna coklat kekuningan, permukaannya kasar, berdinding sangat tebal, dan mempunyai

hyphal attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 37

Spora bulat, berwarna coklat kehitaman, permukaannya kasar, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 38

Spora bulat, berwarna coklat kekuningan, permukaannya kasar, berdinding tebal (mengkilat), dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 39

Spora bulat, berwarna coklat kehijauan, permukaannya relatif halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 40

Spora bulat, berwarna orange,

permukaannya kasar, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.


(43)

Lanjutan

-

Glomus sp. 41

Spora bulat, berwarna coklat,

permukaannya relatif kasar, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 42

Spora bulat, berwarna coklat susu, permukaannya halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 43

Spora bulat, berwarna coklat kehijauan, permukaannya halus, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal

attachments.

Tidak bereaksi

-

Glomus sp. 44

Spora bulat, berwarna coklat kehijauan, permukaannya relatif kasar, berdinding tebal, dan tidak mempunyai hyphal attachments.

Tidak bereaksi

-

Acaulospora sp. 1

Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya relatif halus, dan berdinding tebal (warna kontras).

Bereaksi

-

Acaulospora sp.2

Spora bulat, berwarna kuning, dan berdinding tebal. Permukaannya relatif kasar dan membentuk ornamen seperti kulit jeruk

Bereaksi

-

Acaulospora sp. 3

Spora bulat, berwarna coklat kemerahan, permukaannya relatif halus, dan

berdinding tebal (warna kontras).


(44)

Tipe spora yang diperoleh dari hasil trapping lebih beragam dibandingkan lapangan. Hal ini diduga adanya pengaruh faktor jumlah spora yang sebelumnya memang lebih sedikit ditemukan dari lapangan dibandingkan trapping. Jumlah spora yang lebih banyak pada saat isolasi akan memungkinkan kita untuk mendapatkan tipe maupun genus baru pada saat identifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyak tipe baru dari Glomus yang muncul setelah dilakukan trapping, bahkan ada satu genus baru yang ditemukan, yaitu Acaulospora.

Secara keseluruhan, jumlah tipe spora FMA yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 47 tipe spora (44 tipe Glomus dan 3 tipe Acaulospora). Banyaknya tipe

Glomus yang diperoleh menunjukkan bahwa Glomus mempunyai tingkat penyebaran yang lebih tinggi dibandingkan Acaulospora (Tabel 4). Hasil serupa yang menunjukkan bahwa tipe Glomus lebih sering ditemukan daripada tipe lainnya pada areal tanaman karet juga dilaporkan oleh Jayaratne (1982) dan Souza et al. (2010) yang masing-masing memperoleh 6 tipe Glomus, 2 tipe Acaulospora, 3 tipe

Gigaspora, 3tipe Sclerocystis, 3 Complexipes moniliformis dan 4 tipe Glomus, 1 tipe

Acaulospora.Tipe Glomus tampaknya sering ditemukan di areal tanaman karet. Deka

et al. (1998) memperoleh tipe Glomus dan Gigaspora. Ikram dan Mahmud (1984) dalam Deka et al. (1998) memperoleh Glomus, Acaulospora, dan Sclerocystis. Selain itu, keanekaragaman tipe spora yang didominasi oleh Glomus juga diperoleh dari penelitian lain (Karepesina, 2007; Muzakkir, 2010; Hartoyo et al., 2011; Songachan dan Kayang, 2011; Puspitasari et al., 2012; Iritie et al., 2013; dan Nurhandayani et al., 2013). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingginya tingkat penyebaran

Glomus disebabkan oleh kemampuannya yang lebih adaptif di berbagai kondisi lingkungan dibandingkan genus lain.


(45)

Tabel 4. Kehadiran tipe spora FMA di lapangan dan trapping

No. Tipe Spora Lapangan Trapping

Afd. 1 Afd. 2 Afd. 4 Afd. 1 Afd. 2 Afd. 4

1. Glomus sp. 1 + - - - - -

2. Glomus sp. 2 + - + + + -

3. Glomus sp. 3 + - - - - -

4. Glomus sp. 4 + + - + + +

5. Glomus sp. 5 + - - - - -

6. Glomus sp. 6 + - - - + -

7. Glomus sp. 7 + - - + + +

8. Glomus sp. 8 + + + + + -

9. Glomus sp. 9 + + - - + -

10. Glomus sp. 10 - + - - - +

11. Glomus sp. 11 - + - + - +

12. Glomus sp. 12 - + + - - -

13. Glomus sp. 13 - + - - - -

14. Glomus sp. 14 - + - - - +

15. Glomus sp. 15 - + - - - -

16. Glomus sp. 16 - - + - - -

17. Glomus sp. 17 - - + - - -

18. Glomus sp. 18 - - + - - -

19. Glomus sp. 19 - - - + - -

20. Glomus sp. 20 - - - + - -

21. Glomus sp. 21 - - - + - -

22. Glomus sp. 22 - - - + + -

23. Glomus sp. 23 - - - + + +

24. Glomus sp. 24 - - - + - -

25. Glomus sp. 25 - - - + - -

26. Glomus sp. 26 - - - + + -

27. Glomus sp. 27 - - - + + +

28. Glomus sp. 28 - - - + + +

29. Glomus sp. 29 - - - + - -

30. Glomus sp. 30 - - - + - -

31. Glomus sp. 31 - - - - + +

32. Glomus sp. 32 - - - - + -

33. Glomus sp. 33 - - - - + -

34. Glomus sp. 34 - - - - + -

35. Glomus sp. 35 - - - - + -

36. Glomus sp. 36 - - - +

37. Glomus sp. 37 - - - +

38. Glomus sp. 38 - - - +

39. Glomus sp. 39 - - - +

40. Glomus sp. 40 - - - +

41. Glomus sp. 41 - - - +

42. Glomus sp. 42 - - - +

43. Glomus sp. 43 - - - +

44. Glomus sp. 44 - - - +

45. Acaulospora sp. 1 - - - + - -

46. Acaulospora sp. 2 - - - +


(46)

Selain faktor adaptasi, waktu sporulasi (pembentukan spora) juga mempengaruhi adanya perbedaan jumlah tipe spora dari tiap genus. Hal ini dapat dikaitkan dengan waktu pengambilan sampel yang hanya satu kali sehingga tipe-tipe spora dari genus yang berbeda belum tentu terwakili secara keseluruhan. Corryanti (2011) menyatakan bahwa sebaran tipe FMA yang ditemukan terkait pada periode masa dengan kuantitas minimum atau maksimum spora yang dihasilkan. Oleh karena itu, keanekaragaman tipe spora dari genus yang berbeda akan lebih tinggi jika dilakukan lebih dari satu kali pengamatan. Hal ini telah dilaporkan oleh Delvian (2003) yang menunjukkan adanya variasi tipe spora pada suatu petak ukur selama lima kali pengamatan dengan interval waktu 3 bulan.

Faktor lain yang juga mempengaruhi tipe spora FMA adalah tanaman inang. Hal ini dapat dikaitkan dengan sifat FMA yang obligat, yaitu sangat tergantung pada tanaman inang. Tahap FMA yang lebih tergantung pada tanaman inang adalah pada saat pertumbuhan dan perkembangannya setelah berkecambah. Hal ini disebabkan karbon yang diperoleh FMA dari tanaman inang digunakan sebagai kebutuhan energi untuk dapat bertahan hidup. Hal ini memungkinkan untuk menghasilkan tipe spora yang lebih banyak. Delvian (2003) menyatakan bahwa kondisi terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan inang akan memberikan pertumbuhan dan perkembangan terbaik juga bagi FMA.


(47)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Kepadatan spora FMA di setiap afdeling (lapangan dan trapping) tergolong tinggi. Jumlah spora tertinggi diperoleh pada afdeling 1, yaitu 249 dan 319 spora/50 g tanah masing-masing dari hasil lapangan dan trapping.

2. Persentase kolonisasi FMA di setiap afdeling tergolong sedang dengan persentase tertinggi 42,5% pada afdeling 1.

3. Tipe spora FMA yang diperoleh adalah 44 tipe Glomus dan 3 tipe Acaulospora.

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan penulis, yaitu:

1. Mikoriza dipengaruhi oleh musim. Oleh karena itu, penelitian dengan menggunakan interval waktu selama pengambilan sampel perlu dilakukan untuk memperoleh data keanekaragaman FMA yang lebih valid.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Abbot, L.K. 1982. Comparative Anatomy of Vesicular Arbuscular Mycorrhizas Formadon Subterranean Clover. Aust. J. Bot. 30: 485-499.

Abbot, L.K. dan A.D. Robson. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph.

Akond, M.A., S. Mubassara, M.M. Rahman, S. Alam, dan Z.U.M. Khan. 2008. Status of Vesicular-Arbuscular (VA) Mycorrhizae in Vegetable Crop Plants of Bangladesh. World Journal of Agricultural Sciences 4 (6): 704-708.

Aytok, O., K.T. Yilmaz, I. Ortas, dan H. Cakan. 2013. Changes in Mycorrhizal Spore and Root Colonization of Coastal Dune Vegetation of The Seyhan Delta in The Postcultivation Phase. Turkish Journal of Agriculture and Forestry 37: 52-61. BMKG. 2013. Distribusi Curah Hujan September 2013. Diakses melalui

Bonfante, P. dan A. Genre. 2010. Mechanisms Underlying Beneficial Plant–Fungus Interactions in Mycorrhizal Symbiosis. Nature Communications 1 (48): 1-11. Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grave, dan N. Malajezuk. 1996. Workingwith

Mycorrizha in Forestry and Agriculture. Australia Centre for Internasional Agricultural Researche (ACIAR). Canberra.

Brundrett, M. 2006. Mycorrhizae-Mutualistic Plant-Fungus Symbioses. (35 pictures). Diakses melal Corryanti. 2011. Jamur Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Tanaman Jati

Bertumpangsari Tebu. Jurnal Agrotropika 16 (1): 1-8.

Daniels, B.A. dan J.M. Trappe. 1980. Factors Affecting Spore Germination of The Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungus, Glomus epigaeus. Mycologia 72: 457-471.

Deka, H.K., V. Philip, K.K. Vinod, dan A.K. Krihnakumar. 1998. Spatial Distribution of Soil Microflora in A Five Year Old Rubber Plantation in Tripura. Indian Journal of Natural Rubber Research 11 (1 dan 2): 88-93.


(49)

Delvian. 2003. Keanekaragaman dan Potensial Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di Hutan Pantai. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Delvian. 2010. Keberadaan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan Gradien Salinitas. Jurnal Ilmu Dasar 11 (2): 133-142.

Ervayenri, Y. Setiadi, N. Sukarno, dan C. Kusmana. 1997. Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) Diversity in Peat Soil Influenced by Land Vegetation Types. Proceedings of International Confrence on Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystems: 85-90.

Gianinazzi-Pearson, V. dan S. Gianinazzi. 1983. The Physiology of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Roots. Plant and Soil 71: 197–209.

Giovanetti. M. dan B. Mosse. 1980. An Evaluation of Technique for Meaning Vesikular Mycorrhiza Infection in Roots. New Phytologiest 84: 489-500.

Hartoyo, B., M. Ghulamahdi, L.K. Darusman, S.A. Aziz, dan I. Mansur. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuslula pada Rizosfer Tanaman Pegagan. Jurnal Littri 17 (1): 32-40.

Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Ikram, A. dan A.W. Mahmud. 1984. Endomycorrhizal Fungi in Soils Under Rubber.

Journal of The Rubber Research Institute of Malaysia 32: 198-206.

INVAM. 2013. International Culture Collection of (Vesicular) Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Diakses melalui

April 2013.

Iritie, Z.B., T.B. Tra, Z.G. Noel, K.Z.C. Ghislaine, F.K. Romain, dan A. Zeze. 2012. Arbuscular Mycorrizal Fungi Associated with Theobroma cacao L. in The Region of Yamoussoukro (Cote d’Ivoire). African Journal of Agricultural Research 7 (6): 993-1001.

Janoukova, M., D. Pavlikova, dan M. Vosatka 2006. Potential Contribution of Arbuscular Mychorriza to Cadmium Immobilitation in Soil. Chemosphere 07. 007.


(50)

Karepesina, S. 2007. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula dari Bawah Tegakan Jati Ambon (Tectona grandis Linn. f.) dan Potensi Pemanfaatannya.

Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Khakpour, O. dan J. Khara. 2012. Spore Density and Root Colonization by Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Some Species in The Northwest of Iran.

International Research Journal of Applied and Basic Sciences 3 (5): 977-982. Kormanik, P.P. dan A.C. McGraw. 1982. Quantification of VA Mycrorrhizae in Plant

Root. Di dalam: C. Schenck (Ed.) Methods and Principles of Mycorrhizae Research. The American Phytop. Soc. 46: 37-45.

Mansur, I., Y. Setiadi, dan R. Primaturi. 2002. Status of Research on Mycorrhizas Arbuscula Associated with Tropical Tree Species. Paper Presented at The Fourth International Wood Science Symposium (4th IWSS) LIPI-JSPS Core University Program in The Field of Wood Science. 2-3 September 2002. Research Centre for Physic Indonesian Institute of Science, Serpong, Tangerang, Indonesia.

Mosse, B. 1981. Vesicular Arbuscular Mycorrhiza Research for Tropical Agriculture. Research Buletin 194. College of Agriculture and Human. Resources Honolulu. University of Hawai.

Muzakkir. 2010. Keragaman dan Potensi Pemanfaatan FMA Indigenus Bersama Pupuk Hijau Terhadap Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) di Lahan Kritis. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.

Nurhandayani, R., R. Linda, dan S. Khotimah. 2013. Inventarisasi Jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular dari Rhizosfer Tanah Gambut Tanaman Nanas [Ananas comosus (L.) Merr]. Protobiont 2 (3): 146 -151.

Nursanti, R.P. Tamin, dan Hamzah. 2012. Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) di Hutan Lindung Mangrove Pangkal Babu Kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains 14 (2): 29-34. Pacioni, G. 1986. Sporulation of the VAM Fungi Stimulated by Water Stress in

Natural Conditions. Di dalam: Gianinazzi-Pearson, V. dan S. Gianinazzi (Eds.). Physiological and Genetical Aspect of Mycorrhizae. Proceeding of the 1st Europens Symposium on Mycorrhizae: 713-716.

Prihastuti. 2007. Isolasi dan Karakterisasi Mikoriza Vesikular Arbuskular di Lahan Kering Masam, Lampung Tengah. Berk. Penel. Hayati 12: 99-106.


(51)

Puspitasari, D., K.I. Purwani., dan A. Muhibuddin. Eksplorasi Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM) Indigenous pada Lahan Jagung di Desa Torjun, Sampang Madura. Jurnal Sains dan Seni ITS 1: 19-22.

Rothwell, F.M. 1984. Agregation of Surface Mine Soil by Interaction Between VAM Fungi and Lignin Degradation Product of Lespedeza. Plant Soil 80: 99-104. Schreiner, R.P. dan G.J. Bethlenfalvay. 1996. Mycorrhizae, Biocides, and Biocontrol.

4. Response of a Mixed Culture of Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Host Plant to Three Fungicides. Biol. Fertil. Soils 23: 189-195.

Setiadi, Y., Mansur, dan Achmad. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Tanaman Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sghir, F., M. Chliyeh, W. Kachkouch, M. Khouader, A.O. Touhami, R. Benkirane,

dan A. Douira. 2013. Mycorrhizal Status of Olea europaea spp. oleaster in Morocco. Journal of Applied Biosciences 61: 4478–4489.

Simanungkalit, R.D.M. 1997. Effectiveness of 10 Species of Arbuscular Mycorrhizal (AM) Fungi Isolated from West Java and Lampung on Maize and Soybean. Di dalam: Jenie, U.A. et al., editor. Challenges of Biotechnology in The 21th Century. Proceedings of The Indonesian Biotechnology Conference Vol II: 17-19 Juni 17-1997. Jakarta: The Indonesian Biotechnology Consortium.

Smith, S.E., dan D.J. Read. 1997. Mycorrhizal Symbiosis (Second Edition). Academic

Press. Harcourt Brace & Company Publisher. London.

Smith, S.E. dan D.J. Read. 2008. Mycorrhizal Symbiosis (Third Edition). Academic Press. Great Britain.

Songachan, L.S. dan H. Kayang. 2011. Diversity and Species Composition of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Flemingia vestita Under Shifting and Continuous Cropping System. NeBIO 2 (4): 1-8.

Souza, G.I.A., A.L. Caproni, J.R.D.O. Granha, E.L. Souchie, dan R.L.L. Berbara. 2010. Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Agricultural and Forest Systems. Gl. Sci. Technol. 3 (2): 1-9.

Suhardi. 1988. Pedoman Kuliah Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Universitas Gadjah Mada, PAU-Bioteknologi UGM.


(52)

Sukarno, N., S.E. Smith, dan E.S. Scott. 1993. The Effect of Fungicides on Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Symbiosis. I. The Effects on Vesicular- Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Plant Growth. New Phytol. 25: 139–147.

Utami, S.N. dan S. Handayani. 2003. Sifat Kimia Entisol Pada Sistem Pertanian Organik. Ilmu Pertanian 10 (2): 63-69.

Verheye, W. 2010. Growth and Production of Rubber. In: Verheye, W. (ed.), Land Use, Land Cover and Soil Sciences. Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS), UNESCO-EOLSS Publishers, Oxford, UK. Diakses melalui

Whiffen, L. 2007. Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Carbon Sequestration in Soil. A Research Thesis Submitted to Fulfil The Requirements for The Degree of Doctor of Philosophy. School of Biological Sciences, The University of Sydney.

Zhao Z.W., Y.M. Xia, X.Z. Qin, X.W. Li, L.Z. Cheng, T. Sha, dan G.H. Wang. 2001. Arbuscular Mycorrhizal Status of Plants and The Spore Density of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in The Tropical Rain Forest of Xishuangbanna, Southwest China. Mycorrhiza 11: 159-162.


(53)

(54)

Lampiran 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah

Sifat Tanah Sangat

Rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat Tinggi C-organik

(%) < 1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 > 5,00 P-avl Bray-II

(ppm) < 8,00 8,0-15 16-25 26-35 >35

KTK

(me/100 g) < 5 10-16 17-24 25-40 > 40

Sangat

Masam Masam

Agak

Masam Netral

Agak

Alkalis Alkalis pH

(H2

< 4,5

O) 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5


(1)

Delvian. 2003. Keanekaragaman dan Potensial Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di Hutan Pantai. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Delvian. 2010. Keberadaan Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai Berdasarkan Gradien Salinitas. Jurnal Ilmu Dasar 11 (2): 133-142.

Ervayenri, Y. Setiadi, N. Sukarno, dan C. Kusmana. 1997. Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) Diversity in Peat Soil Influenced by Land Vegetation Types. Proceedings of International Confrence on Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystems: 85-90.

Gianinazzi-Pearson, V. dan S. Gianinazzi. 1983. The Physiology of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Roots. Plant and Soil 71: 197–209.

Giovanetti. M. dan B. Mosse. 1980. An Evaluation of Technique for Meaning Vesikular Mycorrhiza Infection in Roots. New Phytologiest 84: 489-500.

Hartoyo, B., M. Ghulamahdi, L.K. Darusman, S.A. Aziz, dan I. Mansur. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuslula pada Rizosfer Tanaman Pegagan. Jurnal Littri 17 (1): 32-40.

Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Ikram, A. dan A.W. Mahmud. 1984. Endomycorrhizal Fungi in Soils Under Rubber. Journal of The Rubber Research Institute of Malaysia 32: 198-206.

INVAM. 2013. International Culture Collection of (Vesicular) Arbuscular Mycorrhizal Fungi. Diakses melalui

April 2013.

Iritie, Z.B., T.B. Tra, Z.G. Noel, K.Z.C. Ghislaine, F.K. Romain, dan A. Zeze. 2012. Arbuscular Mycorrizal Fungi Associated with Theobroma cacao L. in The Region of Yamoussoukro (Cote d’Ivoire). African Journal of Agricultural Research 7 (6): 993-1001.

Janoukova, M., D. Pavlikova, dan M. Vosatka 2006. Potential Contribution of Arbuscular Mychorriza to Cadmium Immobilitation in Soil. Chemosphere 07. 007.

Jayaratnae, A.H.R. 1982. Endomycorrhizas of Rubber Growing Soils of Sri Lanka. Journal of The Rubber Research Institute of Sri Lanka 60: 47-57.


(2)

Karepesina, S. 2007. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula dari Bawah Tegakan Jati Ambon (Tectona grandis Linn. f.) dan Potensi Pemanfaatannya. Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Khakpour, O. dan J. Khara. 2012. Spore Density and Root Colonization by Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Some Species in The Northwest of Iran. International Research Journal of Applied and Basic Sciences 3 (5): 977-982. Kormanik, P.P. dan A.C. McGraw. 1982. Quantification of VA Mycrorrhizae in Plant

Root. Di dalam: C. Schenck (Ed.) Methods and Principles of Mycorrhizae Research. The American Phytop. Soc. 46: 37-45.

Mansur, I., Y. Setiadi, dan R. Primaturi. 2002. Status of Research on Mycorrhizas Arbuscula Associated with Tropical Tree Species. Paper Presented at The Fourth International Wood Science Symposium (4th IWSS) LIPI-JSPS Core University Program in The Field of Wood Science. 2-3 September 2002. Research Centre for Physic Indonesian Institute of Science, Serpong, Tangerang, Indonesia.

Mosse, B. 1981. Vesicular Arbuscular Mycorrhiza Research for Tropical Agriculture. Research Buletin 194. College of Agriculture and Human. Resources Honolulu. University of Hawai.

Muzakkir. 2010. Keragaman dan Potensi Pemanfaatan FMA Indigenus Bersama Pupuk Hijau Terhadap Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) di Lahan Kritis. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Andalas, Padang.

Nurhandayani, R., R. Linda, dan S. Khotimah. 2013. Inventarisasi Jamur Mikoriza Vesikular Arbuskular dari Rhizosfer Tanah Gambut Tanaman Nanas [Ananas comosus (L.) Merr]. Protobiont 2 (3): 146 -151.

Nursanti, R.P. Tamin, dan Hamzah. 2012. Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) di Hutan Lindung Mangrove Pangkal Babu Kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains 14 (2): 29-34. Pacioni, G. 1986. Sporulation of the VAM Fungi Stimulated by Water Stress in

Natural Conditions. Di dalam: Gianinazzi-Pearson, V. dan S. Gianinazzi (Eds.). Physiological and Genetical Aspect of Mycorrhizae. Proceeding of the 1st Europens Symposium on Mycorrhizae: 713-716.

Prihastuti. 2007. Isolasi dan Karakterisasi Mikoriza Vesikular Arbuskular di Lahan Kering Masam, Lampung Tengah. Berk. Penel. Hayati 12: 99-106.


(3)

Puspitasari, D., K.I. Purwani., dan A. Muhibuddin. Eksplorasi Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM) Indigenous pada Lahan Jagung di Desa Torjun, Sampang Madura. Jurnal Sains dan Seni ITS 1: 19-22.

Rothwell, F.M. 1984. Agregation of Surface Mine Soil by Interaction Between VAM Fungi and Lignin Degradation Product of Lespedeza. Plant Soil 80: 99-104. Schreiner, R.P. dan G.J. Bethlenfalvay. 1996. Mycorrhizae, Biocides, and Biocontrol.

4. Response of a Mixed Culture of Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Host Plant to Three Fungicides. Biol. Fertil. Soils 23: 189-195.

Setiadi, Y., Mansur, dan Achmad. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Tanaman Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sghir, F., M. Chliyeh, W. Kachkouch, M. Khouader, A.O. Touhami, R. Benkirane,

dan A. Douira. 2013. Mycorrhizal Status of Olea europaea spp. oleaster in Morocco. Journal of Applied Biosciences 61: 4478–4489.

Simanungkalit, R.D.M. 1997. Effectiveness of 10 Species of Arbuscular Mycorrhizal (AM) Fungi Isolated from West Java and Lampung on Maize and Soybean. Di dalam: Jenie, U.A. et al., editor. Challenges of Biotechnology in The 21th Century. Proceedings of The Indonesian Biotechnology Conference Vol II: 17-19 Juni 17-1997. Jakarta: The Indonesian Biotechnology Consortium.

Smith, S.E., dan D.J. Read. 1997. Mycorrhizal Symbiosis (Second Edition). Academic

Press. Harcourt Brace & Company Publisher. London.

Smith, S.E. dan D.J. Read. 2008. Mycorrhizal Symbiosis (Third Edition). Academic Press. Great Britain.

Songachan, L.S. dan H. Kayang. 2011. Diversity and Species Composition of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Flemingia vestita Under Shifting and Continuous Cropping System. NeBIO 2 (4): 1-8.

Souza, G.I.A., A.L. Caproni, J.R.D.O. Granha, E.L. Souchie, dan R.L.L. Berbara. 2010. Arbuscular Mycorrhizal Fungi in Agricultural and Forest Systems. Gl. Sci. Technol. 3 (2): 1-9.

Suhardi. 1988. Pedoman Kuliah Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Universitas Gadjah Mada, PAU-Bioteknologi UGM.


(4)

Sukarno, N., S.E. Smith, dan E.S. Scott. 1993. The Effect of Fungicides on Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Symbiosis. I. The Effects on Vesicular- Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Plant Growth. New Phytol. 25: 139–147.

Utami, S.N. dan S. Handayani. 2003. Sifat Kimia Entisol Pada Sistem Pertanian Organik. Ilmu Pertanian 10 (2): 63-69.

Verheye, W. 2010. Growth and Production of Rubber. In: Verheye, W. (ed.), Land Use, Land Cover and Soil Sciences. Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS), UNESCO-EOLSS Publishers, Oxford, UK. Diakses melalui

Whiffen, L. 2007. Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Carbon Sequestration in Soil. A Research Thesis Submitted to Fulfil The Requirements for The Degree of Doctor of Philosophy. School of Biological Sciences, The University of Sydney.

Zhao Z.W., Y.M. Xia, X.Z. Qin, X.W. Li, L.Z. Cheng, T. Sha, dan G.H. Wang. 2001. Arbuscular Mycorrhizal Status of Plants and The Spore Density of Arbuscular Mycorrhizal Fungi in The Tropical Rain Forest of Xishuangbanna, Southwest China. Mycorrhiza 11: 159-162.


(5)

(6)

Lampiran 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah

Sifat Tanah Sangat

Rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat Tinggi C-organik

(%) < 1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 > 5,00 P-avl Bray-II

(ppm) < 8,00 8,0-15 16-25 26-35 >35 KTK

(me/100 g) < 5 10-16 17-24 25-40 > 40 Sangat

Masam Masam

Agak

Masam Netral

Agak

Alkalis Alkalis pH

(H2

< 4,5

O) 4,5-5,5 5,6-6,5 6,6-7,5 7,6-8,5 >8,5 Sumber: Hardjowigeno (1995)


Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

7 70 57

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Di Hutan Pantai Sonang, Tapanuli Tengah

3 70 89

Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Berdasarkan Ketinggian Tempat (Studi Kasus Pada Hutan Pegunungan Sinabung Kabupaten Karo)

2 49 52

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Berbagai Varietas Tanaman Kopi

7 135 60

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 0 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) - Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 1 8

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 0 15

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Karet (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 0 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) - Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Karet (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 0 7

Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal Tanaman Karet (Studi Kasus Di PTPN III Kebun Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 0 15