Pola Kuman Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbasi Akut di RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirnga di Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Epidemiologi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan

global. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun
secara umum terkait langsung dengan prevalensi merokok dan pada beberapa
negara dengan polusi udara akibat pembakaran kayu, gas dan partikel berbahaya.
Satu meta-analysis dari studi-studi yang dilaksanakan di 28 negara antara 1990
sampai 2004, menunjukkan bukti bahwa prevalensi PPOK adalah lebih tinggi
pada perokok dan bekas perokok dibanding pada yang bukan perokok, pada
mereka yang berusia diatas 40 tahun dibanding mereka yang dibawah 40 tahun,
dan pada pria lebih banyak dibanding wanita. (GOLD, 2017; PDPI, 2010)
GOLD memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke-6 pada
tahun 1990, akan meningkat menjadi penyebab kematian ke-3 pada 2020 di
seluruh dunia. Data yang ada menunjukkan bahwa morbiditas karena PPOK
meningkat dengan usia dan lebih besar pada pria dibanding wanita. (GOLD 2017)
PPOK merupakan penyebab ke-12 hilangnya Disability Adjusted Life
Years (DALYs) pada tahun 1990. Diperkirakan pada tahun 2020, PPOK

menduduki urutan kelima hilangnya DALYs. PPOK mengenai lebih dari 16 juta
orang Amerika Serikat, lebih dari 2,5 juta orang di Italia, lebih dari 30 juta di
seluruh dunia dan menyebabkan 2,74 juta kematian pada tahun 2000. Total biaya
akibat keadaan ini lebih dari 30 juta milyar dolar di Amerika Serikat. Angka
kesakitan secara klasik didasarkan pada jumlah kunjungan ke dokter, kunjungan
ke ruang gawat darurat dan rawat inap. Kesakitan yang diakibatkan oleh PPOK

5
Universitas Sumatera Utara

juga dipengaruhi oleh penyakit penyerta (komorbid) yang secara tidak langsung
berhubungan dengan PPOK. (PDPI, 2010; GOLD, 2008; GOLD, 2001)
Di Indonesia, PPOK merupakan masalah kesehatan umum dan
menyerang sekitar 10% penduduk usia 40 tahun ke atas. Jumlah kasus PPOK
memiliki kecenderungan untuk meningkat. Berdasarkan pada Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 1986, PPOK menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab
kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992
menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut yaitu kebiasaan

merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70%), pertambahan
penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada 1960-an
menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an, industrialisasi, polusi udara di kota besar,
di lokasi industri, dan di pertambangan..(GOLD, 2008; GOLD, 2001; SKRT,
1992)
Definisi terbaru 2017 yang dikembangkan oleh Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) menekankan pengaruh eksaserbasi
dan penyakit komorbid pada keparahan penyakit secara individual. Berbeda
dengan definisi PPOK sebelumnya yang hanya lebih menekankan pada inflamasi
kronik jalan napas dan pengaruhnya secara sistemik. Dengan demikian
pendalaman tentang eksaserbasi pada PPOK menjadi sangat penting. (GOLD,
2017; PDPI, 2010)
Revisi GOLD 2011 terdapat perbedaan yang mendasar dibandingkan
dengan publikasi sebelumnya. Perbedaan tersebut terutama didasari oleh

6
Universitas Sumatera Utara

banyaknya publikasi penelitian tentang PPOK dengan skala besar selama 10 tahun
terakhir. Perubahan paradigma pendekatan pengelolaan PPOK diharapkan dapat

memberikan hasil maksimal berdasarkan hasil penelitian yang ada, sehingga lebih
ilmiah dan berbasis bukti. (GOLD, 2017; PDPI, 2010)
2.2. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat
dicegah dan diobati, dengan ciri adanya hambatan aliran udara yang menetap
(persisten) yang biasanya progresif dan disertai peningkatan respon inflamasi
yang kronik pada paru dan saluran pernapasan terhadap gas atau partikel yang
berbahaya (noxious). Eksaserbasi dan komorbid mengakibatkan keseluruhan
keparahan pada penderita. Definisi yang baru ini tidak lagi menyebut hambatan
aliran udara yang reversibel sebagian. (GOLD, 2017; PDPI, 2010)
Sementara menurut ATS/ERS (American Thoracic Society/ Europen
Respiratry Society) mendefinisikan PPOK sebagai suatu penyakit yang ditandai
dengan adanya obstruksi saluran napas yang umumnya bersifat progresif,
berhubungan dengan bronkitis kronis atau emfisema, dan dapat disertai dengan
hipereaktivitas dari saluran napas yang reversibel. PPOK adalah kelainan spesifik
dengan perlambatan arus udara ekspirasi maksimal yang terjadi akibat kombinasi
penyakit jalan napas dan emfisema, umumnya perjalanan penyakit kronik
progresif dan irreversibel serta tidak menunjukan perubahan yang berarti dalam
pengamatan beberapa bulan. (GOLD, 2008; GOLD, 2001)
Secara umum eksaserbasi adalah perburukan gejala pernapasan yang

akut. Menurut Anthonisen eksaserbasi meliputi meningkatnya sesak napas,
volume dan purulensi sputum. Anthonisen dkk. mendefenisikan berbagai tipe

7
Universitas Sumatera Utara

eksaserbasi. Tipe 1 jika mempunyai semua gejala yaitu peningkatan sesak napas,
peningkatan volume dan purulensi sputum. Tipe 2 jika mempuyai 2 gejala dan
Tipe 3 jika mempunyai 1 gejala diatas. (Anthonisen, 1987)
2.3.

Patologi PPOK
Perubahan perubahan patologik yang khas untuk PPOK ditemukan

disaluran napas proksimal, saluran napas perifer, parenkim paru dan vaskular
paru. Perubahan tersebut berupa inflamasi kronik dengan peningkatan jumlah selsel inflamasi di berbagai bagian paru yang menimbulkan kerusakan dan
perubahan struktural akibat cedera dan perbaikan berulang. (Bestall, 1999;
Donalson, 2002; Donal, 2006)
Sel inflamasi pada saluran napas proksimal (trakea, bronkus diameter > 2
mm) yaitu terjadi peningkatan makrofag dan limfosit T CD8+ (sitotoksik),

sedangkan neutrofil atau eosinofil sedikit. Perubahan yang terjadi yaitu
peningkatan sel goblet, pembesaran kelenjar submukosa dan metaplasia sel epitel
skuamosa. Saluran napas perifer (bronkiolus diameter < 2 mm), sel inflamasi yang
berperan yaitu terjadi peningkatan makrofag, limfosit T (CD 8+> CD 4+), limfosit
B, folikel limfoid, fibroblast, dan sedikit peningkatan netrofil dan eosinofil.
(Bestall, 1999; Donalson, 2002; ATS, 2004)
Pada Parenkim paru (bronkiolus pernapasan dan alveolus), sel inflamasi
yang berperan yaitu terjadi peningkatan makrofag dan limfosit T (CD8+).
Perubahan struktur yang terjadi yaitu kerusakan alveolus, apoptosis sel epitel dan
endotel. Emfisema sentrilobular yaitu dilatasi dan kerusakan alveolus dan
bronkiolus; paling sering terlihat pada perokok. Emfisema panasinar yaitu
kerusakan alveolus dan bronkiolus; paling sering terlihat pada kekurangan alfa-1

8
Universitas Sumatera Utara

antitripsin. Pembuluh darah paru, sel inflamasi yang berperan yaitu peningkatan
makrofag dan limfosit. Perubahan struktur berupa penebalan intima, disfungsi sel
endotel, penebalan otot polos (hipertensi pulmonal). (Donal, 2006; ATS, 2004;
Bartolome, 2008)

Eksaserbasi PPOK dihubungkan dengan peningkatan inflamasi sistemik
saluran napas atas dan bawah, pada PPOK stabil ditemukan peningkatan CD8+,
limfosit dan Makrofag pada mukosa bronkus dan peningkatan netrofil terutama
PPOK berat. Meningkatnya inflamasi sistemik pada eksaserbasi berhubungan
dengan infeksi virus dan bakteri. Respon inflamasi menimbulkan edema saluran
napas,bronkospasme dan peningkatan produksi sputum, terjadi hambatan aliran
napas dan hiperinflasi dinamik. (White, 2003)
2.4.

Patogenesis PPOK
Patogenesis PPOK sangat kompleks, yang disebabkan oleh inflamasi

kronik akibat pajanan zat toksik, disregulasi oksidan dan anti oksidan,
ketidakseimbangan

protease dan antiprotease. Merokok adalah faktor risiko

utama PPOK walaupun partikel nuxious inhalasi lain dan berbagai gas juga
memberikan kontribusi. (GOLD, 2008; ATS, 2004; ERS, 2004; Patel AK, 2014)


9
Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Patogenesis PPOK (GOLD, 2008; ATS, 2004)
Pajanan gas beracun mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel jalan
napas dalam membentuk faktor kemotaktik, pelepasan faktor kemotaktik
menginduksi mekanisme infiltrasi sel-sel hematopoetik pada paru yang dapat
menimbulkan kerusakan struktur paru. Infiltrasi sel ini dapat menjadi sumber
faktor kemotaktik yang baru dan memperpanjang reaksi inflamasi paru menjadi
penyakit kronik dan progresif. Ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase
serta ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan berperan dalam patologi PPOK.
Proteinase menginduksi inflamasi paru, destruksi parenkim dan perubahan
struktur paru. Kim & Kadel. menemukan peningkatan jumlah neutrofil yang
nekrosis di jalan napas penderita PPOK dapat menyebabkan pelepasan elastase
dan reactive oxygen species (ROS) yang menyebabkan hipersekresi mukus.
(Donalson, 2002; Donal, 2006; ATS, 2004)
Respons epitel jalan napas terhadap pajanan gas atau asap rokok berupa
peningkatan jumlah kemokin seperti IL-8, macrophage inflamatory protein-1 α
(MIP1-α) dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1). Peningkatan jumlah


10
Universitas Sumatera Utara

Limfosit T yang didominasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru
tetapi juga pada kelenjar limfe paratrakeal. Sel sitotoksik CD8+ menyebabkan
destruksi parenkim paru dengan melepaskan perforin dan granzymes. CD8+ pada
pusat jalan napas merupakan sumber IL-4 dan IL-3 yang menyebabkan
hipersekresi mukus pada penderita bronkitis kronik. (Bestall, 1999; Donal, 2006;
ATS, 2004)
Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta
disfungsi silia yang pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran napas
kecil dan air traping pada emfisema paru terjadi gangguan ventilasi/perfusi yang
selanjutnya dapat terjadi hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia.
Progresifitas ini akhirnya berlanjut menjadi hipertensi pulmonal. (White, 2003;
Fishman, 2002)
2.5.

Patofisiologi PPOK
Telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis yang


mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang khas. Tingkat peradangan,
fibrosis dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil berkorelasi dengan
penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP. .Penurunan VEP1 merupakan gejala yang
khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara
terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi, sementara transfer gas menurun
terjadi akibat kerusakan parenkim paru pada emfisema. Hiperinflasi mengurangi
kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional, khususnya
selama latihan yang terlihat sebagai sesak napas dan keterbatasan kapasitas
latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme
utama timbulnya sesak napas pada aktivitas. (ATS, 2004; Bartolome, 2008)

11
Universitas Sumatera Utara

Inflamasi

Penyakit saluran napas
kecil
- Inflamasi saluran napas
- Airway remodeling


Kerusakan parenkim
- Hilangnya ikatan
alveolus
- Penurunan elastisitas

Hambatan aliran udara
Gambar 2. Mekanisme hambatan aliran udara pada PPOK (PDPI, 2010).

2.6.

Diagnosis
Penderita dengan keluhan sesak napas, batuk kronis atau berdahak serta

riwayat paparan faktor risiko perlu dicurigai menderita PPOK. Gejala utamanya
adalah sesak napas, batuk, wheezing dan peningkatan produksi sputum. Gejala
bisa tidak tampak sampai kira-kira 10 tahun sejak awal merokok. Pada penderita
dini, pemeriksaan fisik umumnya tidak ditemukan kelainan, sedangkan pada
inspeksi biasanya terdapat kelainan, berupa (GOLD, 2008; GOLD, 2001)
1. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu).

2. Barrel chest (diameter anteroposterior dan transversal sebanding).
3. Penggunaan otot bantu napas.
4. Hipertrofi otot bantu napas.
5. Pelebaran sela iga.
6. Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai.

12
Universitas Sumatera Utara

Pada palpasi biasanya ditemukan fremitus melemah, sedangkan pada
perkusi hipersonor dan letak diafragma rendah, auskultasi suara pernapasan
vesikuler melemah, normal atau ekspirasi memanjang yang dapat disertai dengan
ronkhi atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa.
Diagnosis PPOK juga pada gambaran radiologis foto toraks penderita PPOK
ditemukan

salah

satu

gambaran

berupa;

diafragma

mendatar,

corakan

bronkovaskular meningkat, hiperinflasi, sela iga melebar atau jantung pendulum.
Diagnosis harus dikonfirmasi dengan spirometri. Nilai VEP1/KVP setelah
pemberian bronkodilator < 0.70 menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara
persisten. (PDPI, 2010; GOLD, 2008; GOLD, 2001)

Tabel 1. Klasifikasi Derajat obstruksi (VEP1) pada PPOK dari Beberapa Panduan
(Ivor 2002).
ATS 1995

ERS 1995

BTS 1997

Derajat I
50≤ VEP1

Ringan
70≤ VEP1

Ringan
60≤VEP1