Analisis Yuridis Perjanjian International Criminal Police Organization (Icpo Interpol) Dengan Polri Dalam Menangkap Pelaku Kejahatan Korupsi Yang Melarikan Diri Ke Luar Negeri Chapter III V

BAB III
PEMBENTUKAN ICPO-INTERPOL DAN KERJASAMA DENGAN
POLRI
A. Dasar Hukum Pembentukan ICPO-Interpol
International Criminal Police Organization (ICPO) atau yang lebih
dikenal dengan alamat telegraf listriknya yaitu INTERPOL adalah organisasi yang
dibentuk untuk mengkoordinasikan kerjasama antar kepolisian di seluruh dunia.
Jadi, INTERPOL bukan merupakan singkatan dari International Police, tetapi
merupakan kata sandi yang dipergunakan dalam komunikasi internasional antar
anggota. 55 Markas Besar ICPO-Interpol bertempat di Lyon, Perancis. Sampai
dengan tahun 2015, anggota ICPO-Interpol berjumlah 190 negara dan 3 (tiga)
negara anggota terakhir adalah Curacao, Saint Marteen dan Sudan Selatan. 56
Awal berdirinya INTERPOL ditandai dengan adanya Kongres Polisi
Reserse Internasional pertama di Monaco dari tanggal 14 April sampai 18 April
tahun 1914. Kongres tersebut diprakarsai oleh Pangeran Albert I dari Monaco
dengan membahas beberapa masalah diantaranya:
1. Metode mempercepat dan mempermudah investigasi dan penangkapan pelaku
tindak pidana
2. Penyempurnaan teknik identifikasi
3. Pusat pengumpulan data tingkat internasional
4. Unifikasi prosedur ekstradisi. 57


55

56

57

Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, NCB-Indonesia, Jakarta,
1996, hlm. 1
Divhubinter Polri, Vademikum: ICPO-INTERPOL, Divisi Hubungan Internasional
Polri, Jakarta, 2012, hlm. 28
Sardjono, Op. Cit., hlm. 8.

Universitas Sumatera Utara

Pada tahun 1956 ICPC (International Criminal Police Commission)
diubah menjadi International Criminal Police Organization disingkat ICPOInterpol. Kemudian pada tanggal 27 November 1989, Markas besar ICPO-Interpol
dipindahkan ke Lyon, yang sebelumnya bertempat di Saint-Cloud. 58
Sebagai organisasi internasional ICPO-Interpol memiliki beberapa prinsip
diantaranya, tidak terlibat dalam kegiatan politik, militer, agama dan rasial

berdasarkan pasal 3 Konstitusi ICPO-Interpol, menghormati kedaulatan setiap
negara (kerjasama berpedoman kepada undang-undang nasional negara masingmasing),

penegakan

hukum

dibatasi

pada

pencegahan

kejahatan

dan

pemberantasan kejahatan, Universalitas (bahasa dan geografi tidak boleh
menghalangi kerjasama antara negara-negara anggota), persamaan kedudukan
(semua negara anggota mempunyai hak yang sama).59

Setiap organisasi yang dibentuk pasti memiliki tujuan-tujuan tertentu.
Menurut Pasal 2 anggaran Dasar ICPO-Interpol, yang menjadi tujuan dasar
didirikannya ICPO-Interpol adalah untuk menjamin dan mengembangkan
kerjasama yang seluas-luasnya antara semua Polisi Reserse, dalam batas undangundang suatu negara dan dengan semangat Declaration of Human Rights yang
universal. Serta membangun dan mengembangkan lembaga-lembaga yang
memberikan kontribusi efektif dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan. 60
Berdasarkan pada Anggaran Dasar ICPO-Interpol Pasal 2 dijelaskan
bahwa pada dasarnya ICPO-Interpol sebagai organisasi internasional memiliki 2
fungsi diantaranya:

58

Divhubinter Polri, Op. Cit., hlm. 22.
Ibid., hlm. 24.
60
ICPO-INTERPOL Constitution Article 2

59

Universitas Sumatera Utara


1. Pemberantasan Kejahatan.
ICPO-Interpol berfokus kepada pertukaran informasi antar kepolisian
negara anggota ICPO-Interpol, pengidentifikasian orang atau pihak yang
dicari dan penangkapan orang yang dimintakan ekstradisi.
2. Kerjasama internasional
ICPO-Interpol lebih berfokus kepada diterbitkannya notices yang berisikan
permintaan dari suatu negara anggota untuk membantu pencarian dan berbagi
informasi penting yang berkaitan dengan kejahatan. 61
Struktur yang dimiliki oleh ICPO-Interpol berbeda dengan organisasiorganisasi internasional lainnya. Kewenangan atau kekuasaan tertinggi ICPOInterpol terletak pada Majelis Umum (General Assembly) dan Komite Eksekutif
(Executive Committee). Berikut merupakan struktur dari ICPO Interpol;
National Central Bureau (NCB-Interpol) atau bisa disebut sebagai Biro
Pusat Nasional adalah lembaga kepolisian permanen untuk melaksanakan
kerjasama internasional yang berkaitan dengan kejahatan atau tindak pidana
dalam lintas negara (transnasional). Pembentukan NCB (National Central
Bureau) didasarkan pada Konstitusi ICPO-Interpol Pasal 32, bahwa setiap negara
harus menunjuk instansi yang ada di negara masing-masing sebagai National
Central Bureau (NCB). Selain diamanatkan oleh Konstitusi ICPO-Interpol,
keberadaan NCB (National


Central

Bureau)

juga dimaksudkan untuk

meminimalisasi halangan teritorial yang menjadi batasan kekuasaan yuridiksi dan

61

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

permasalahan lain, seperti permasalahan prosedur dari mekanisme diplomatik
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana yang terjadi di dunia. 62
NCB (National Central Bureau) dibentuk untuk mempermudah kerjasama
internasional. 63 Konsep pembentukan NCB pertama kali diperkenalkan pada
sidang Majelis Umum INTERPOL ketiga pada tahun 1926 yang kemudian
dimasukkan dalam ICPO-Interpol Constitution pada tahun 1956 dan akhirnya

dipertegas dalam INTERPOL General Regulation pada tahun 1965. 64 Dalam
Pasal 32 ICPO-Interpol Constitution diatur bahwa NCB-Interpol harus
menyelenggarakan hubungan dengan:
1. Berbagai instansi yang ada di dalam negeri masing-masing negara anggota.
2. Instansi yang ditunjuk sebagai NCB di negara anggota lainnya.
3. Sekretariat Jenderal ICPO-Interpol. 65
Tugas utama dari NCB-Interpol adalah menjamin pertukaran informasi
secara internasional dalam rangka pencegahan dan penyidikan kejahatan. Dalam
hal ini dapat dirinci beberapa kegiatan yang menjadi beban tanggung jawab dari
NCB-Interpol, antara lain sebagai berikut:
1. Mengumpulkan dokumen dan intelijen kriminal yang memiliki hubungan
langsung dengan kerjasama Kepolisian internasional dari sumber-sumber negara
mereka dan mengedarkannya kepada Sekjen dan NCB lainnya.

62

63

64
65


Michael Foormer, INTERPOL: Issues in World Crime and International Criminal
Justice, hlm. 71. Johan Komala Siswoyo, “Makalah Hukum Pidana Internasional
Mengenai INTERPOL”, hlm. 25
Johan Komala Siswoyo, “Makalah Hukum Pidana Internasional Mengenai
INTERPOL”, hlm. 9
Divhubinter Polri, Op. Cit., hlm. 21-22.
INTERPOL Constitution Article 32.

Universitas Sumatera Utara

2. Menjamin bahwa tindakan-tindakan atau operasi-operasi yang diminta oleh
NCB negara lain dijalankan di negara tersebut.
3. Menerima permintaan-permintaan informasi, pengecekan, dan lain-lain dari
NCB negara lain serta menjawab permintaan-permintaan tersebut.
4. Mengirimkan permintaan kerjasama internasional atas keputusan pengadilan
atau atas permintaan kepolisian negara yang bersangkutan kepada NCB negara
lainnya.
5. Kepala NCB menghadiri Sidang Umum (Majelis Umum) INTERPOL sebagai
delegasi dari negaranya dan menjamin bahwa keputusan-keputusan sidang

dijalankan di negaranya. 66
Secara teknis, pola tindakan yang dilakukan oleh NCB-Interpol secara
garis besar dapat dibedakan menjadi:
1. Mengirimkan kepada Sekretariat Jenderal semua keterangan yang bersifat
internasional yang dimiliki oleh masing-masing NCB. Keterangan ini
kemudian dipergunakan ICPO-Interpol menyusun statistik kejahatan umum,
memungkinkan untuk melakukan pengawasan atas orang-orang yang
berbahaya, dan menambah data-data yang telah dimiliki sebelumnya.
2. Melakukan

pekerjaan

kepolisian

seperti

penyidikan,

penyelidikan,


penangkapan, penahanan dan lain-lain di dalam yuridiksi negara masingmasing atas permintaan negara lain. Pekerjaan ini yang paling banyak
dilakukan oleh NCB.

66

Anis Widyawati, Op. Cit., hlm. 124.

Universitas Sumatera Utara

3. Mengambil langkah-langkah yang perlu untuk melaksanakan segala keputusan
yang telah dibuat oleh Majelis Umum ICPO-Interpol. 67
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pembentukan
NCB di tiap negara anggota tidak menjadi suatu kewajiban. Akan tetapi setiap
negara anggota sedapat mungkin berusaha untuk membentuk NCB dilandasi
dengan adanya aturan dalam pasal 33 ICPO-Interpol Constitution.
Pembentukan NCB di tiap negara anggota juga tidak dipaksakan seragam,
sehingga masing-masing NCB mempunyai bentuk, susunan dan kedudukan yang
berbeda-beda. Kebebasan dalam penentuan format ini sejalan dengan prinsip
dalam INTERPOL untuk tidak turut campur dalam masalah internal negara
anggota. Keberagaman bentuk, susunan, serta kedudukan NCB di masing-masing

negara secara garis besar dapat dikerucutkan menjadi 3 (tiga) bentuk yaitu:
1. NCB yang dibentuk sebagai lembaga otonom di negara masing-masing dan
mempunyai kekuasaan nasional, serta luang lingkup kerjanya khusus pada
bidang hubungan dalam lingkup INTERPOL saja. Contohnya NCB Austria,
Italia dan Mesir.
2. NCB yang digolongkan dalam jenis organisasi yang merupakan bagian dari
suatu instansi pusat yang telah ada dan merupakan badan khusus akan tetapi
tidak otonom. Contohnya NCB Belgia, Jerman, Perancis, Indonesia dan
Amerika Serikat.

67

Sardjono,, Op. Cit., hlm. 23.

Universitas Sumatera Utara

3. NCB yang tidak dibentuk dalam suatu instansi khusus tetapi tugas-tugas NCB
diserahkan kepada instansi yang sudah ada. Contohnya NCB Inggris, Kanada,
Belanda dan Norwegia. 68


B. Dasar Hukum Kerjasama ICPO-INTERPOL dengan POLRI
Secara yuridis, pembentukan NCB-Interpol Indonesia berdasarkan pada
Konstitusi ICPO-Interpol Pasal 32 yang menyatakan bahwa setiap anggota harus
menunjuk suatu badan yang berfungsi sebagai National Central Bureau (NCB)
atau bisa juga disebut sebagai Biro Pusat Nasional, untuk menjamin hubungan
dengan berbagai departemen/instansi pemerintah dalam negeri, NCB-NCB negara
lain dan Sekretariat Jenderal ICPO-Interpol. 69
Pada tahun 1952, Pemerintah Indonesia mengirim 2 (dua) orang utusan
sebagai peninjau sidang pada Sidang Umum (Majelis Umum) ICPO-Interpol ke21 di Stockholm, Swedia. Pada tahun 1954, Indonesia resmi diterima menjadi
anggota ICPO-Interpol. Pada periode 1952-1954 ini, Pemerintah Indonesia belum
menunjuk suatu badan tertentu yang berfungsi sebagai NCB-Interpol Indonesia. 70
Seluruh permasalahan yang menyangkut tugas-tugas NCB-Interpol
Indonesia dilaksanakan oleh Kantor Perdana Menteri Indonesia. Baru pada akhir
tahun 1954, dengan adanya surat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia
No. 245/PM/1954 Tanggal 5 Oktober 1954 Pemerintah RepublikIndonesia
menunjuk Jawatan Kepolisian Negara sebagai NCB Indonesia untuk mewakili

68

M. Karjadi, INTERPOL (Polisi Internasional), Politeia, Bogor, 2006,, hlm. 33.
Divhubinter Polri, Vademikum: Gambaran Umum, Divisi Hubungan Internasional
Polri, Jakarta, 2012, hlm. 10
70
Ibid.

69

Universitas Sumatera Utara

Pemerintahan Indonesia dalam organisasi ICPO-Interpol dan sebagai Kepala NCB
Indonesia ditunjuk Kepala Kepolisian Negara. Untuk menindaklanjuti Keputusan
Perdana Menteri Republik Indonesia tersebut, maka terbentuklah Seksi
INTERPOL pada Dinas Reserse Kriminil sesuai dengan order Kepala Kepolisian
Negara No. 1/VIII/1954 No. Pol: I/I/7/Sek tanggal 15 Oktober 1954.71
Pada periode tahun 1955-1960, kejahatan internasional telah berkembang
dan sudah tidak mengenal batas negara. Menghadapi masalah tersebut pada tahun
1956 Pimpinan Jawatan Kepolisian Negara menganggap perlu adanya perubahan
status dalam NCB Indonesia, sehingga akhirnya dikeluarkan order Kepala
Kepolisian Negara No. 25/I/1956 yang melepaskan seksi INTERPOL dari Dinas
Reserse Kriminil menjadi NCB Indonesia yang berada langsung dibawah Kepala
Kepolisian Negara. 72
Pada Periode Dinas INTERPOL pada tahun 1961-1966, iklim politik di
Indonesia setelah tahun 1960 kurang menguntungkan bagi NCB Indonesia akibat
keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB. Sekalipun demikian secara resmi
NCB Indonesia tidak pernah memutuskan hubungan dengan Paris sebagai pusat
organisasi. Pimpinan Kepolisian saat itu menempuh kebijaksanaan guna
menyesuaikan diri dengan kondisi politik, dengan dikeluarkannya order Direktur
Reserse/Depak No. 9/UM/1964 tanggal 14 April1964 yang menetapkan bahwa
untuk sementara waktu NCB Indonesia sebagai Dinas INTERPOL dibawah
Direktur Reserse Kriminal Depak. 73

71

Ibid.
Ibid., hlm. 10-11.
73
Ibid., hlm. 11.
72

Universitas Sumatera Utara

Pada

tahun

1967

NCB

Indonesia

berada

langsung

dibawah

Menteri/Pangak, berdasarkan Surat Keputusan Menteri/Pangak No. Pol.:
92/SK/Menpangak/1967 tanggal 26 Juni 1967. Belum sempat SK Menteri/Pangak
tersebut dilaksanakan, telah keluar Peraturan Menteri/Pangak No. 5/Prt/MP/1967
tanggal 1 Juli 1967 yang menentukan bahwa pada Markas Besar Angkatan
Kepolisian dibentuk Biro INTERPOL Periode Sekretariat NCB Indonesia dari
tahun 1969-1975. Pada tahun 1969 dengan adanya Surat Keputusan Pangak No.
Pol.: 21/SK/Pangak/1969 tanggal 17 Februari 1969 dibentuk Sekretariat NCBInterpol yang berada dibawah Komandan Jenderal Komando Reserse. 74
Pada

periode

Bakersinpol

1976-1983,

sesuai

dengan

keputusan

Menhankam Pangab No. Kep/15/IV/1976 tentang Pokok-pokok Organisasi dan
Prosedur Kepolisian Negara RI dan Surat Keputusan Kapolri No. Pol.:
Skep/50/VII/1977 tanggal 1 Juli 1977 tentang pokok-pokok organisasi dan
prosedur Polri, dibentuk Badan Kerjasama Internasional Kepolisian RI pada
tingkat Mabes Polri (Bakersinpol) sebagai badan pelaksana pusat yang berada
langsung dibawah Kapolri. Sesuai dengan keputusan Kapolri tersebut,
Bakersinpol adalah merupakan badan yang melaksanakan fungsi NCB Indonesia
ditambah dengan tugas-tugas hubungan luar negeri pada umumnya. 75
Pada tahun 1984 dengan adanya Keputusan Pangan No. Kep/11/P/III/1984
tanggal 31 Maret 1984 tentang Pokok-pokok dan Prosedur Kepolisian Negara RI,
Organisasi Polri mengalami perubahan. Demikian juga dengan Bakersinpol
berubah menjadi Sekretariat NCB-Interpol Indonesia yang berkedudukan dibawah
Kapolri yang bertujuan membina, menyelenggarakan, dan melaksanakan fungsi

74
75

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

INTERPOL di Indonesia. Pada tahun 1992 sesuai dengan Keputusan Pangab No.
Kep/11/X/1992 tanggal 5 Oktober 1992, jabatan Kepala Sekretariat NCB-Interpol
(Kaset NCB-Interpol) diubah menjadi Sekretaris NCB-Interpol (Ses NCBInterpol). 76
Pada tahun 1997 sesuai dengan Keputusan Pangab No. Kep/09/X/1997
tanggal 10 Oktober 1997 tentang Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Polri,
nama Sekretariat NCB-Interpol ditambah dengan kata “Indonesia” sehingga
sebutan organisasi menjadi Sekretariat NCB-Interpol Indonesia (Set NCB-Interpol
Indonesia) dan sebutan jabatannya menjadi Sekretaris NCB-Interpol Indonesia
(Ses NCB-Interpol Indonesia). 77
Berdasarkan Lampiran “J” Keputusan Kapolri No. Pol. Kep/53/X/2002
tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Set NCB-Interpol
Indonesia,

tugas

Set

NCB-Interpol

Indonesia

selain

menyelenggarakan

kerjasama/koordinasi melalui menjadi Sekretariat NCB-Interpol Indonesia (Set
NCB-Interpol Indonesia) dan sebutan jabatannya menjadi Sekretaris NCBInterpol Indonesia (Ses NCB-Interpol Indonesia). 78
Berdasarkan Lampiran “J” Keputusan Kapolri No. Pol. Kep/53/X/2002
tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Set NCB-Interpol
Indonesia,

tugas

Set

NCB-Interpol

Indonesia

selain

menyelenggarakan

kerjasama/koordinasi melalui wadah ICPO-Interpol dalam rangka mendukung
upaya penanggulangan kejahatan internasional dan kejahatan transnasional
ditambah dengan tugas lain di luar bidang INTERPOL yaitu menyelenggarakan

76

Ibid.
Ibid, hlm. 11-12.
78
Ibid, hlm. 11-12.

77

Universitas Sumatera Utara

kerjasama internasional/antar negara dalam rangka mendukung pengembangan
Polri dan kegiatan “Peacekeeping Operation” di bawah bendera PBB. 79
Pada tahun 2008, Sekretariat NCB-Interpol Indonesia yang sebelumnya
membawahi 4 (empat) bidang yaitu bidang INTERPOL, bidang Kerjasama
Internasional, bidang Hubungan Antar Lembaga dan bidang Komunikasi
Internasional, telah dikembangkan dengan membawahi 6 (enam) bidang yaitu
bidang INTERPOL, bidang Konvensi Internasional, bidang Protokol, bidang LO
(Liaison Officer) dan Perbatasan, bidang kerjasama Pendidikan dan Misi
Kepolisian, serta bidang Komunikasi Internasional.
Kemudian pada periode Divhubinter Polri tahun 2010 sampai sekarang,
dengan adanya reformasi ditubuh Polri dan semakin besarnya beban tugas
Sekretariat NCB-Interpol Indonesia dalam kerjasama Internasional Polri yang
tidak hanya menangani kerjasama dalam penanggulangan kejahatan internasional
dan kejahatan transnasional, tetapi juga dalam meningkatkan kemampuan
kapasitas sumber daya manusia dan sarana prasarana serta tugas misi
kemanusiaan dan perdamaian, maka berdasarkan Peraturan Kapolri nomor 21
tahun 2010 organisasi ini dikembangkan menjadi Divisi Hubungan Internasional
(Divhubinter) Polri yang terbagi dalam 2 (dua) biro yaitu Sekretariat NCBInterpol Indonesia dan Biro Misi Internasional. 80
Namun demikian jabatan Kepala NCB-Interpol Indonesia tetap diemban
oleh Kapolri, sedangkan pelaksana harian NCB-Interpol Indonesia diemban oleh
Kepala Divhubinter Polri. Divhubinter Polri menjadi “one gate system” Polri
dalam kerjasama internasional bidang kepolisian, baik dalam penanggulangan

79
80

Ibid, hlm.22
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

kejahatan internasional dan kejahatan transnasional, pengembangan kapasitas,
maupun misi internasional/misi kemanusiaan. 81

C. Kewenangan Yang Dimiliki ICPO-Interpol Dalam Kerjasama Dengan
POLRI Menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional.
Dalam

penanganan

kejahatan

internasional,

diperlukan

kerjasama

internasional karena tidak ada satupun negara di dunia yang dapat memerangi
kejahatan internasional sendirian. Hal ini disebabkan banyaknya permasalahan
yang timbul dalam hal penanggulangan kejahatan berdimensi internasional, antara
lain : 82
1. Keterbatasan kewenangan sesuai batas negara dan yurisdiksi.
Kewenangan aparat penegak hukum didalam melakukan kegiatan
penegakan hukum dibatasi oleh suatu wilayah yang berdaulat penuh sebagai batas
dari yurisdiksi hukum yang dimilikinya. Sedangkan di sisi lain, para pelaku
kejahatan dapat bergerak dengan lebih bebas melewati batas negara sepanjang
didukung dengan dokumen keimigrasian yang memadai. Pada umumnya
kecepatan gerak penegak hukum jauh tertinggal dari kegesitan pelaku baik dalam
upaya melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Karena meskipun telah
ada kesepakatan kerjasama untuk menangani kejahatan,

namun dalam

pelaksanaannya harus melalui proses birokrasi yang sulit.

81
82

Ibid.
Upaya POLRI dalam Menanggulangi Kejahatan Transnasional, MABES POLRI,
Jakarta, 2006, hlm. 7.

Universitas Sumatera Utara

2. Perbedaan Sistem Hukum
Kendala yuridis lebih disebabkan oleh adanya perbedaan sistem hukum
pidana di antara negara anggota. Ada negara yang menganut sistem kontinental
dan ada pula yang menganut sistem anglo-saxon. Perbedaan besar terutama
terdapat dalam sistem peradilan pidana yaitu ada yang menganut due process
model (lebih menitikberatkan pada perlindungan hak asasi manusia bagi
tersangka, sehingga menimbulkan birokrasi yang cukup panjang dalam peradilan
pidana) dan ada yang memilih crime control model (menekankan efisiensi dan
efektifitas peradilan pidana dengan berlandaskan asas praduga tak bersalah) lebih
menitikberatkan pada proses yang lebih praktis. 83
Persoalan yuridis lain adalah berkenaan dengan masalah kriminalisasi
jenis-jenis kejahatan internasional. Belum semua negara mampu menerapkan
undang-undang untuk memerangi kejahatan internasional.

3. Perjanjian antara negara belum memadai.
i.

Perjanjian Ekstradisi
Perjanjian Ekstradisi diantara negara-negara masih sangat terbatas. Upaya
untuk mengembangkan perjanjian ekstradisi dengan negara lain tidaklah

83

Dalam perspektif criminal procedure (hukum acara pidana), Hebert L Packer dalam
The Limited of The Criminal Sanction mengemukakan dua model dalam beracara.
Kedua model itu adalah crime control model dan due process model. Crime control
model memiliki karakteristik efisiensi, mengutamakan kecepatan dan presumption of
guilt (praduga bersalah) sehingga tingkah laku kriminal harus segera ditindak dan si
tersangka dibiarkan sampai ia sendiri yang melakukan perlawanan. Crime control
model ini diumpamakan seperti sebuah bola yang digelindingkan dan tanpa
penghalang. Sementara due process model memiliki karakteristik menolak efisiensi,
mengutamakan kualitas dan presumption of innocent (praduga tidak bersalah)
sehingga peranan penasihat hukum amat penting dengan tujuan jangan sampai
menghukum orang yang tidak bersalah.

Universitas Sumatera Utara

mudah, karena sering terbentur dengan adanya konflik interest dari
masing-masing negara. Selain itu, sekalipun sudah ada perjanjian
ekstradisi, dalam kenyataannya proses penyerahan seorang pelaku
kejahatan dari satu negara ke negara lain, biasanya melalui suatu proses
yang sangat lama, bahkan sampai lebih dari satu tahun. Oleh karenanya
perjanjian ekstradisi memerlukan kecermatan dalam penanganannya
sehingga tidak menghambat proses penanganan kejahatan yang berlingkup
lintas negara.
ii.

Perjanjian bantuan timbal balik dibidang proses pidana
Bagi negara-negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi, masih
terbuka kemungkinan terjadinya penyerahan seorang pelaku kejahatan dari
satu negara ke negara lain dapat melalui apa yang dinamakan mutual legal
assistance in criminal matters, yaitu upaya memberikan bantuan
kerjasama penerapan hukum dalam penanganan kasus kriminal yang
biasanya dilakukan dengan asas resiprositas (timbal balik). Namun
penerapan dengan cara ini terkadang dikritik sebagai suatu tindakan yang
menyalahi aturan hukum lainnya misalnya tentang perlindungan HAM. 84

Kerjasama kepolisian

internasional dalam

wadah

Interpol selalu

dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Menghormati kedaulatan negara.

Kerjasama didasarkan pada tindakan yang diambil oleh kepolisian negara
anggota, dilaksanakan dalam batas dan undang-undang negara masing-masing.
84

Supt. Budiman Parangin-angin, Mutual Legal Assistance (MLA), Majalah Interpol,
2006, hlm. 59.

Universitas Sumatera Utara

2. Penegakan hukum dari undang-undang kejahatan

Bidang kegiatan organisasi dibatasi pada pencegahan kejahatan dan
penegakan hukum yang berhubungan dengan kejahatan hukum. Inilah satusatunya yang menjadi dasar perjanjian di antara semua negara anggota. Setiap
negara anggota dapat bekerjasama dengan negara anggota lainnya dan faktor
geografi atau bahasa tidak boleh menghalangi kerjasama.
3. Persamaan di antara semua negara anggota.

Semua negara anggota diberikan pelayanan yang sama dan mempunyai hak
yang sama, tanpa mengindahkan kontribusi keuangan kepada organisasi.
4. Kerjasama dengan badan-badan lain.

Kerjasama diperluas melalui NCB (National Central Bureau) dengan badanbadan yang bertugas dibidang penanganan kejahatan negara masing-masing.
5. Metode kerja fleksibel

Walaupun telah diatur oleh prinsip-prinsip untuk menjamin keteraturan dan
kelanjutan kerjasama, namun Interpol bekerja secara fleksibel dengan
memperhitungkan perbedaan-perbedaan struktur dan situasi suatu negara
anggota. 85
Berdasarkan prinsip-prinsip ini berarti Interpol tidaklah merupakan tim
yang mempunyai kekuasaan supranasional yang dapat bergerak keliling dunia
untuk mengadakan penyidikan di setiap negara anggotanya. Kerjasama kepolisian
internasional tergantung pada kegiatan koordinasi diantara kepolisian negaranegara anggota, dimana semua negara dapat saling meminta atau memberikan
informasi atau pelayanan lain dalam masalah-masalah yang diperlukan. 86

85
86

Sardjono, Op. Cit., hlm. 13-14.
Ibid, hlm. 14.

Universitas Sumatera Utara

Setiap organisasi yang dibentuk pasti memiliki tujuan-tujuan tertentu.
Menurut Pasal 2 Anggaran Dasar ICPO-Interpol, maka yang menjadi tujuan
didirikannya Interpol adalah : 87
a. Menjamin dan mengembangkan kerjasama yang seluas-luasnya antara semua
polisi reserse, dalam batas undang-undang suatu negara dan dengan semangat
Declaration of Human Rights yang universal.
b. Membangun dan mengembangkan lembaga-lembaga yang memberikan
kontribusi efektif dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan.
Pembatasan dari kegiatan Interpol terdapat dalam Pasal 3 anggaran dasar
yaitu: “Dilarang keras bagi organisasi untuk ikut campur atau melaksanakan
kegiatan yang berkaitan dengan politik, militer, agama atau rasial”. 88
Sesuai dengan interpretasi yang diberikan oleh Pasal 3, kejahatan politik
adalah sesuatu yang dipertimbangkan sebagai keadaan kekuasaan politik karena
keadaan dan motif yang melingkupinya, bahkan jika kejahatan tersebut telah
tercakup dalam undang-undang kejahatan suatu negara, dimana kejahatan itu
terjadi. Interpretasi ini, didasarkan pada aspek yang dominan dari kejahatan,
selanjutnya disahkan dalam resolusi Sidang Umum Interpol tahun 1951. Sebagai
tambahan, resolusi tahun 1984 menyatakan bahwa secara umum kejahatan tidak
dipertimbangkan sebagai kejahatan politik jika kejahatan terjadi di luar daerah
konflik dan jika korban tidak ada hubungannya dengan tujuan yang ingin dicapai
oleh pelaku kejahatan.

87
88

Pasal 2 ICPO-Interpol Constitution.
Pasal 3 ICPO-Interpol Constitution.

Universitas Sumatera Utara

Sebagai suatu organisasi internasional, ICPO menjalankan fungsifungsinya sebagaimana yang tercantum dalam anggaran dasarnya atau konstitusi
yang mendirikannya. Yang menjadi tugas-tugas Interpol adalah :
1. Sebagai alat penyampaian informasi dan penemuan-penemuan baru, dengan
menerbitkan :
a. Interpol Review (majalah bulanan).
b. Counterfeit and Forgery Index, yaitu berupa informasi dan ciri-ciri uang
palsu dan yang dipalsukan.
c. Brosur-brosur hasil riset yang dilakukan oleh Interpol baik tentang metode
pencegahan dan pemberantasan kejahatan maupun modus operandi
kejahatan internasional.
d. Interpol Notices
2. Memberikan

pelatihan

kepada

badan

kepolisian

dari

negara-negara

anggotanya.
Interpol membantu dengan memberikan latihan-latihan kepada polisi-polisi
negara anggota. Dalam hal ini unit latihan di lakukan di Sekretariat Jenderal.
Unit pelatihan ini bertanggung jawab untuk mengatur dan mengadakan,
mengkoordinasikan dan memberi petunjuk tentang seminar latihan tahunan
bagi pejabat maupun NCB negara-negara anggota. Secara periodik, Sekretariat
Jenderal juga mengadakan simposium untuk para kepala-kepala pendidikan
dan latihan kepolisian untuk mendiskusikan berbagai aspek latihan kepolisian
seperti kode etik dan kerjasama internasional.

Universitas Sumatera Utara

3. Menyiapkan dan mengedarkan studi-studi dan laporan di bidang hukum serta
permasalahan teknis yang berhubungan dengan aktifitas kepolisian di negara
masing-masing.
4. Dalam pra-ekstradisi, Interpol dapat menyebarluaskan permintaan pencarian,
penahanan tersangka dan mengeluarkan surat penangkapan dan selanjutnya
tersangka akan diekstradisi. Dalam hal ini, sesuai dengan yang tercantum
dalam European Extradition Convention tahun 1957, instansi terkait dapat
menggunakan sarana Interpol untuk mengirimkan permintaan penahanan
sementara. Divisi III akan mengirimkan kepada setiap negara anggotanya
surat edaran yang menggambarkan langkah-langkah kepolisian yang harus
diambil dalam mencari tersangka.
5. Menerbitkan laporan berkala tentang kecenderungan terhadap kejahatan baru
dan langkah-langkah hukum yang dapat ditempuh untuk menanggulanginya.
6. Mengadakan simposium forensik untuk keperluan penyidikan seperti
identifikasi orang dan barang-barang bukti.

89

Kerjasama kepolisian internasional ini meliputi semua jenis aktivitas
kejahatan dengan cabang-cabang internasional yang penting seperti :
1. Kejahatan terhadap orang, seperti pembunuhan, penganiayaan berat,
perkosaan, penculikan, penyanderaan dan kejahatan terhadap anak sering
menjadi kejahatan yang bersifat lintas negara karena seringkali penjahat
melakukan pelanggaran dalam suatu negara namun kemudian berlindung di
negara lain.

89

Sardjono, Op. Cit., hlm. 27

Universitas Sumatera Utara

2. Kejahatan terhadap harta benda, seperti perampokan bank atau pencurian
kendaraan, perdagangan kendaraan bermotor curian, pencurian dokumen
identitas dan dokumen perjalanan, pencurian karya seni, perdagangan satwa
yang dilindungi. Kejahatan ini sering dilakukan oleh sindikat pencuri yang
beroperasi di beberapa negara atau para spesialis internasional yang
berkemampuan tinggi. Pencurian karya-karya seni diberikan perhatian khusus
karena efek yang ditimbulkan oleh pencurian-pencurian seperti itu. Oleh
karena itu, Interpol memiliki file khusus untuk pencurian benda-benda seni
dan mengedarkannya kepada negara-negara anggota. Sebagai tambahan, setiap
2 tahun sekali Sekretariat Jenderal menerbitkan poster dengan foto dan
penjelasan dari benda-benda seni yang dicari agar mendapat perhatian dari
masyarakat internasional.
3.

Kejahatan terorganisir dan terorisme, serta kaitannya dengan peredaran
narkotika dan senjata. Pada bulan Januari 1990, Interpol membentuk
kelompok khusus yang bertujuan untuk menangani berbagai aspek kejahatan
terorganisir secara lebih cermat. Dalam hal pemberantasan terorisme
internasional, telah diterbitkan pedoman untuk penanggulangan terorisme
internasional yang hanya diedarkan untuk negara anggota saja.

4. Peredaran gelap senjata api, yang digunakan untuk tujuan-tujuan kejahatan.
Interpol

memiliki

perdagangan

database

yang

berisi

informasi-informasi

tentang

dan peredaran senjata api. Database ini bernama Interpol

Trafficking Arms System dan Interpol Explosive Incident System.

Universitas Sumatera Utara

5. Perdagangan manusia dan eksploitasi seksual terhadap wanita dan anak-anak,
yang sudah menjadi pelanggaran yang berskala internasional.
6. Kejahatan penerbangan sipil yang membahayakan penerbangan, seperti yang
tercantum dalam Konvensi Hague 1970. Demikian juga seperti yang
tercantum dalam Konvensi Montreal 1971 mengenai pengaturan untuk
menjaga keamanan penerbangan.
7. Pemalsuan uang. Pencegahan dan penanggulangan pemalsuan uang telah
dibahas oleh Interpol sejak didirikan pada tahun 1923. Interpol telah
memainkan peranan yang penting dalam konvensi internasional 1929 tentang
pencegahan uang palsu. Interpol juga pernah menyelenggarakan konferensi
baik internasional maupun regional tentang uang palsu dan dokumen palsu
yang dihadiri oleh kepolisian dan pihak-pihak swasta.
8. Identifikasi, pelacakan dan penyitaan aset yang berasal dari kejahatan.
Informasi tentang perpindahan aset kejahatan, perdagangan obat terlarang,
kejahatan

terorisme

dan

kejahatan

di

bidang

perdagangan

adalah

tanggungjawab kelompok khusus Interpol yaitu Sub Divisi I. Kelompok ini
dilibatkan dalam Dewan Konvensi Eropa mengenai pencucian uang,
penangkapan dan penyitaan hasil-hasil kejahatan. Setiap bulan diterbitkan
buletin yang berisi informasi tentang pencucian uang yang berasal dari
kegiatan ilegal.
9. Kasus perdagangan barang-barang berharga (emas, permata, dan lain-lain)
atau pemalsuannya dapat ditanggulangi oleh kerjasama internasional ini.

Universitas Sumatera Utara

10. Penipuan merupakan suatu maslaah yang meliputi pelanggaran ekonomi
secara luas dan mempunyai aspek-aspek internasional. Contohnya seperti
penjualan saham fiktif, pemalsuan cek dengan menggunakan identitas palsu,
pembajakan hak cipta dan lain-lain.
11. Perdagangan narkotika. Sub Divisi Narkotika mengoperasikan suatu sistem
pelaporan intelijen yang efektif dan menguntungkan negara anggota,
menyoroti kasus-kasus penyitaan narkotika dalam jumlah besar dan
mempelajari

kecenderungan-kecenderungan

baru

dari

penyalur,

jenis

narkotika yang disita, modus operandi yang digunakan dan jalur yang dilalui
peredaran gelap narkotika. 90

90

Ibid, hlm.48

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
ANALISIS KERJASAMA ICPO-INTERPOL DENGAN POLRI DALAM
MENANGKAP PELAKU KEJAHATAN KORUPSI YANG MELARIKAN
DIRI KELUAR NEGERI
A. Kewenangan ICPO-Interpol Sehubungan Dengan Yurisdiksinya Dengan
Negara Anggota
ICPO-INTERPOL

tidak

memiliki

kewenangan

penyidikan

dalam

menangani berbagai kejahatan, maka yang bisa dilakukan ICPO-Interpol hanya
memaksimalkan upaya fasilitasi pemberian informasi apabila terjadi kejahatan
internasional/transnasional. yang dilakukan NCB-Interpol Indonesia saat ini
adalah antara lain berupa terobosan melalui Sistem Komunikasi Kepolisian Global
I-24/7. Sistem ini merupakan sistem komunikasi yang terkoneksi ke instansi
penegak hukum di 190 negara anggota ICPO-Interpol untuk berbagi informasi
krusial tentang kejahatan dan aktivitas kejahatan selama 24 jam sehari, 7 hari
seminggu. Dengan menggunakan I-24/7, NCB-Interpol Indonesia dapat
melakukan pencarian dan pengecekan data dengan akses langsung ke database
Interpol yang memuat data tentang teroris, pencarian orang, sidik jari, DNA
dokumen perjalanan yang hilang atau dicuri, kendaraan bermotor yang dicuri,
benda seni yang dicuri dan lain-lain. 91
Terobosan lainnya, NCB-Interpol Indonesia juga telah menggunakan
sistem elektronik ASEANAPOL Database System (e-ADS). Ini adalah suatu
sistem database yang menghubungkan Kepolisian dari negara-negara anggota
ASEAN dalam rangka kerjasama penanggulangan kejahatan internasional. e-ADS
91

Interpol, NCB Indonesia, Kumpulan Naskah Kerjasama antara Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Asing dan Organisasi Internasional,
Jakarta, 2007, hlm. 38

Universitas Sumatera Utara

juga telah diinstalasikan kepada 11 (sebelas) Polda dengan menggunakan jaringan
intranet POLRI, sehingga diharapkan dapat lebih mempercepat penanganan
kejahatan yang terjadi di wilayah-wilayah, khususnya kejahatan transnasional dan
terorisme. Pemasangan jaringan sistem komunikasi e-ADS di Polda-Polda dapat
memberikari informasi yang lebih cepat, tepat dan aman mengenai berbagai
kejahatan internasional/transnasional yang terjadi di kewilayahan kepada NCB
khususnya dan POLRI pada umumnya.

1. Metode Penanganan Kejahatan yang dipakai Interpol
Beberapa penanganan telah dilakukan NCB-Interpol Indonesia terhadap
kejahatan terorisme, narkoba, cyber crime dan berbagai kejahatan lainnya.
Diantaranya adalah meningkatkan pertukaran informasi/intelijen tentang pelaku
kejahatan terorisme, peredaran gelap narkotika di wilayah perbatasan, kaum
militan, kelompok radikal dan daftar 'Target Operasi' (TO) pelaku yang beroperasi
di kawasan ASEAN. Selain itu NCB-Interpol Indonesia juga membuat dan
menyebarkan daftar contact agencies/persons memberikan informasi intelijen
kepada sesama negara anggota ICPO-Interpol berkaitan dengan terorisme atau
aktivitas kejahatan lainnya. 92
NCB-Interpol Indonesia, juga ikut berperan dalam pembentukan Joint
Task Force antarnegara ASEAN tentang "ASEAN Collaboration on Post Terrorist
Attack". Lewat kerjasama ini, pada saat terjadi suatu serangan teroris, negara yang

92

www.komisikepolisianindonesia.com, NCB-Interpol Indonesia bersama mengepung
kejahatan lintas negara, diakses pada 10 April 2017

Universitas Sumatera Utara

bersangkutan dapat meminta bantuan (surat edaran, pengejaran dan penahanan
tersangka, dan lain-lain) dari negara anggota ASEAN lainnya.
Dalam konteks perjanjian ekstradisi dengan negara lain sebenarnya
Indonesia sudah memiliki suatu Perundang-undangan nasional yang mengatur
permasalahan ekstradisi dengan cukup jelas, yaitu Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1979 Tentang Ekstradisi. Namun, masih terdapat beberapa kekurangan
yang berkaitan mengenai proses pelaksanaan kegiatan ekstradisi, khususnya
mengenai perjanjian kerjasama dalam bidang ekstradisi dengan negara-negara
lain. Ini karena sampai saat ini pemerintah Indonesia baru memiliki perjanjian
kerjasama ekstradisi dengan 7 negara saja. Jumlah itu sangat sedikit jika di
perbandingkan dengan jumlah negara di dunia ini. Kekurangan tersebut
berhubungan dengan masih adanya negara-negara di dunia yang hanya mau
mengabulkan permintaan ekstradisi dari suatu negara hanya apabila negara
tersebut telah memiliki perjanjian kerjasama ekstradisi dengan negara-peminta.
Sejauh ini, menurut Brigjen. Pol. Halba Rubis, pihaknya juga telah
mencatat progres perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara ASEAN, seperti
Malaysia (UU RI Nomor 9 Tahun 1974 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi
Pemerintah RI-Malaysia); Philipina (UU RI Nomor 10 Tahun 1976 tentang
Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Pemerintah Rl-Philipina); dan Thailand (UU RI
Nomor 2 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Pemerintah
RIThailand). Selain itu juga dengan Australia (UU RI Nomor 1 Tahun 1999
tentang Pengesahan Perjanjian Pemerintah RI-Australia mengenai Bantuan
Timbal Balik dalam Masalah Pidana); Hongkong (UU RI Nomor 1 Tahun 2001

Universitas Sumatera Utara

tentang Pengesahan Persetujuan Pemerintah RI-Hongkong untuk Penyerahan
Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri); dengan Korea Selatan (UU No. 42
Tahun 2007) dan dengan RRT yang masih dalam proses ratifikasi. 93
Karena itu, NCB-Interpol Indonesia terus berusaha menjalin hubungan
dengan Kepolisian negara lain. Antara lain melalui kegiatan IFLEC Social
Gathering, suatu pertemuan informal yang merupakan salah satu sarana NCBInterpol Indonesia dalam rangka saling mengenal lebih dekat dan mempererat
silaturahmi sekaligus mensosialisasikan kegiatan POLRI dengan para perwakilan
asing atau LO Kepolisian asing di Indonesia untuk meningkatkan kerjasama
dalam bidang kepolisian dari masing-masing negara. Lainnya berupa Joint
ASEAN Senior Police Officer Course (JASPOC), sebagai implementasi dari salah
satu kesepakatan negara-negara anggota ASEANAPOL, yaitu mengenai
pertukaran personel dan capacity building serta tukar pengalaman antara para
anggota kepolisian ASEAN.
Dilihat dari beban tugas saat ini, volume kerja di bidang kerjasama
internasional lebih banyak dibandingkan dengan masalah Interpol. Karena itulah
sudah ada wacana akan perubahan struktur NCB-Interpol Indonesia menjadi
Divisi Hubungan Internasional, yang dipimpin oleh Perwira Tinggi Bintang Dua
dan membawahi Kepala NCB-Interpol Indonesia serta Kepala Pusat Misi
Internasional. Perubahan seperti ini dibutuhkan dalam rangka meningkatkan
kinerja NCB-Interpol Indonesia khususnya dan POLRI pada umumnya.

93

www.komisikepolisianindonesia.com, NCB-Interpol Indonesia bersama mengepung
kejahatan lintas negara, diakses pada 10 April 2017

Universitas Sumatera Utara

Dengan perubahan itu, diharapkan bisa menjembatani atau mengurangi
birokrasi formal. Misalnya, permintaan untuk mengecek rekening seseorang di
bank bisa dilakukan dalam waktu lebih singkat melalui kerjasama dengan
kepolisian. Terkadang permintaan POLRI tersebut diulur dengan alasan belum
memenuhi KUHAP, atau malah dikembalikan dan disarankan untuk melalui jalur
Departemen Luar Negeri atau Departemen Hukum dan HAM. Inilah sebabnya
proses tersebut terkesan rumit dan memakan waktu.
Agar pelaksanaan tugas NCB-Interpol Indonesia lebih efektif dan efisien,
instansi-instansi terkait seperti Ditjen Bea dan Cukai, Bank Indonesia, Ditjen
Imigrasi dan lain-lainnya perlu dilibatkan dalam komposisi pejabat NCB-Interpol
Indonesia. Dengan demikian, komunikasi tidak terputus-putus. Artinya, mereka
tidak hanya dilibatkan jika ada Sidang Umum Interpol (atau juga Konferensi
Aseanapol) saja. Lebih dari itu, para pejabat dari berbagai instansi terkait tersebut
bisa menjadi penghubung tetap antara POLRI dan instansi bersangkutan.
Karena itulah dapat dilihat bahwa konsep atau Model NCB yang paling
ideal untuk Indonesia adalah model Professional Bureaucracy. Dalam model ini,
keteraturan tetap tinggi, tetapi sudah ada pendelegasian keputusan, ada diskresi,
pekerja atau personil adalah profesional, dan adanya jabatan fungsional. Yang
mengacu pada Amanat Reformasi Birokrasi, dimana Pembangunan Aparatur
Negara dilakukan melalui Reformasi Birokrasi. Grand Strategy POLRI telah
memasuki tahap II (partnership Building), sehingga konsep atau model bagi
NCB-Interpol Indonesia seperti inilah yang paling tepat.

Universitas Sumatera Utara

INTERPOL memandang satu kasus dari tiga aspek. Aspek hukum,
intelijen dan nuansa politis. Sebagai contoh, misalnya seorang Warga Negara
Australia tertangkap di Bali karena perdagangan narkoba. Kemudian negara
Australia meminta agar warganya tersebut dipulangkan ke negaranya. Tentunya
hal ini tidak bisa dilakukan. Permintaan tersebut harus tetap mengedepankan
kedaulatan hukum Indonesia. Artinya, orang tersebut harus lebih dulu mengikuti
proses hukum sepenuhnya di Indonesia dan setelah divonis dan menjalani
hukuman baru di deportasikan ke negara asalnya. 94
Contoh nyatanya, seorang Warga Negara Belanda meninggal di Nusa
Tenggara Barat. Direskrim Polda NTB melaporkan orang tersebut meninggal
karena sakit. Kedatangan Atase Belanda kesana harus seizin Kapolri dengan
perantaraan Interpol. Ada pula kasus Warga Negara Australia yang ditembak di
Freeport. Apabila pihak Australia akan meninjau, maka harus ada izin dari
Kapolri dan di fasilitasi oleh Interpol.
Contoh lainnya lagi, belum lama ini FBI memberi tahu bahwa berdasarkan
laporan Kepolisian Amerika, ada seorang Warga Negara Amerika Serikat bersama
anaknya yang sedang terlibat dalam suatu kasus masuk ke Indonesia. Setelah
diselidiki, ternyata orang tersebut bercerai dengan isterinya. Keputusan
pengadilan memutuskan bahwa anaknya tidak boleh dibawa ke luar Amerika
Serikat. FBI meminta agar orang tersebut dipulangkan ke Amerika, tapi Pihak
Indonesia tidak serta merta mengabulkan permintaan itu. Sebagai personel
Interpol, yang harus diketahui adalah dasar hukumnya, prosedur urusan

94

Sardjono, Op.Cit, hlm. 58

Universitas Sumatera Utara

imigrasinya, lalu "aspek politiknya" ("seandainya orang tersebut diserahkan ke
pihak Amerika Serikat maka harus ada timbal balik atas bantuan tersebut").
Personel Interpol mesti berpikir dari aspek itu. Setelah semua itu jelas, sebagai
bentuk dari hubungan baik dua negara, mereka mereka akan memfasilitasi proses
pemulangan orang tersebut ke negara asalnya. 95

2. Peranan ICPO-Interpol dalam Ekstradisi
Sebelum seseorang yang dimintakan ekstradisinya itu diserahkan oleh
negara yang dimintakan ekstradisi, maka terlebih dahulu dilakukan penangkapan
dan dilanjutkan permohonan penahanan sementara.

Kemudian diajukan

permintaan ekstradisi. Berikut ini adalah tahap-tahap permintaan ekstradisi dari
pemerintah Indonesia kepada

negara lain serta kendala-kendala dalam

pelakasanaan ekstradisi :
a. Permintaan Ekstradisi dari pemerintah Indonesia
1) Permintaan penangkapan dan Penahanan oleh POLRI dan Kejaksaan
Dalam UU Ekstradisi No. 1/1979 tidak diatur mengenai tata cara
pengajuan permintaan penangkapan dan penahanan kepada negara lain serta
instansi mana saja yang dapat mengajukan permintaan. Hal ini dikarenakan dalam
meminta bantuan kepada negara lain, Indonesia harus tunduk kepada peraturan
yang berlaku di masing-masing negara. Oleh karena itu, tidak perlu diatur
bagaimana tata cara dan persyaratannya. Dari pengalaman selama ini, dalam
meminta bantuan penangkapan dan penahanan ada negara yang mengharuskan

95

Dikutip dari Majalah jagratara, Arif Wachyunadi, Interpol dalam ekstradisi, edisi 53
Mei 2010

Universitas Sumatera Utara

melalui saluran diplomatik dan juga yang memperbolehkan melalui saluran
Interpol atau kedua-duanya.
Biasanya yang berada di Sekretariat NCB-Interpol Indonesia adalah
penyidik POLRI di Polres. Polda dan Bareskrim POLRI, sedangkan dari
Kejaksaan ada yang dari Kejaksaan Negeri dan ada pula yang dari Kejaksaan
Agung. Pada umumnya, persyaratan utama untuk penangkapan dan penahanan
adalah :
a) Identitas pelaku kejahatan (nama lengkap dan alias, tempat / tanggal lahir,
kewarganegaraan, no. paspor, foto, sidik jari, nama orang tua)
b) Uraian kejahatan dan fakta (hasil investigasi dibuat dan ditandatangani oleh
Penyidik. Jika kejahatan yang dilakukan lebih dari satu maka masing-masing
kejahatan harus diuraikan.
c) Ketentuan UU yang dilanggar dan bunyi pasal yang disangkakan untuk
masing-masing kejahatan.
d) Ancaman hukuman (tersangka) atau hukuman (terpidana) untuk masingmasing Kejahatan.
e) Surat Perintah Penahanan untuk masing-masing kejahatan
f) Informasi mengenai keberadaan
Permintaan penangkapan melalui Interpol dapat dilakukan dengan Red
Notice dan Diffusion yang dikirim langsung ke Sekretariat Jenderal ICPOInterpol; Surat Edaran Telegram atau surat faksimili langsung kepada Interpol
negara tempat pelaku kejahatan berada. Sedang melalui saluran diplomatik
biasanya harus melalui surat atau nota diplomatik. Apabila pelaku kejahatan yang

Universitas Sumatera Utara

telah ditangkap dan ditahan oleh negara lain, Kapolri atau Jaksa Agung harus
segera mengirimkan berkas persyaratan untuk permintaan penangkapan dan
penahanan serta ekstradisi oleh Penyidik (Polri/Kejaksaan) atau Jaksa Penuntut
Umum yang menangani perkara.
Kapolri atau Jaksa Agung menyampaikan berkas persyaratan ekstradisi
kepada Menteri Hukum dan HAM. Yang dapat mengajukan permintaan ekstradisi
kepada Menkumham adalah Kapolri dan Jaksa Agung. Dalam pelaksanaannya,
Kapolri mengajukan permintaan ekstradisi untuk kasus-kasus (tindak pidana)
yang sedang disidik oleh penyidik Polri, sedangkan Jaksa Agung mengajukan
permintaan ekstradisi untuk tindak pidana yang disidik oleh Kejaksaan, berkas
perkara pidana yang sudah diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum, sedang
dalam proses Pengadilan, sudah diputus oleh Pengadilan dan orang yang sedang
menjalani hukuman.
Apabila orang yang dicari sudah ditangkap dan ditahan oleh negara
Diminta, Kapolri atau Jaksa Agung segera menyampaikan berkas persyaratan dan
meminta agar Menkumham mengajukan permintaan ekstradisi kepada Negara
Diminta. Persyaratan permintaan ekstradisi belum tentu sama untuk setiap negara,
tergantung kepada ketentuan hukum di masing-masing negara, namun pada
umumnya hampir sama. Perbedaan dalam persyaratan hanya untuk pelaku
kejahatan dengan status tersangka, yaitu :
1) Pembuktian (Prima Facie Case)
Dalam ekstradisi, Prima Facie Case hanya dilakukan bagi tersangka yaitu
untuk memastikan apakah ada cukup bukti bahwa tersangka telah melakukan

Universitas Sumatera Utara

kejahatan yang disangkakan kepadanya berdasarkan hukum Negara Diminta.
Seseorang yang berstatus sebagai tersangka dapat diekstradisikan ke Negara
Peminta jika mempunyai cukup bukti. Maksudnya Negara Diminta akan menguji
berkas dokumen permintaan ekstradisi di sidang Pengadilan seakan-akan
kejahatan tersebut terjadi di Negara Diminta. Apabila menurut Hakim dokumendokumen dalam permintaan ekstradisi tersebut menunjukkan cukup bukti bahwa
tersangka telah melakukan kejahatan sebagaimana yang disangkakan kepadanya
maka kemungkinan besar ekstradisi dapat dilakukan. Negara yang menganut
sistem hukum seperti ini adalah Singapura dan Hongkong. Oleh karena itu, untuk
mengajukan permintaan ekstradisi kepada negara yang menganut sistem hukum
tersebut, disamping persyaratan yang umum diperlukan juga bukti-bukti bahwa
tersangka telah melakukan kejahatan yang disangkakan kepadanya.
2) Tanpa Pembuktian
Dalam perkara ekstradisi, hakim dalam sidang pengadilan tidak melakukan
pengujian untuk menentukan cukup bukti atau tidak bahwa tersangka telah
melakukan kejahatan. Sidang pengadilan pada dasarnya hanya untuk mengetahui
keberatan dan alasan tersangka atas permintaan ekstradisi yang diajukan Negara
Peminta. Disamping itu, hakim meminta keterangan dari orang yang dimintakan
ekstradisinya dan jaksa penuntut, untuk mendapat hal-hal yang kemungkinan
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, keadilan dan hukum di Negara Diminta
atau yang dapat merugikan kepentingan Negara Diminta. Pengujian “apakah
cukup bukti bahwa tersangka telah melakukan kejahatan di Negara Peminta”,

Universitas Sumatera Utara

akan dilakukan di sidang Pengadilan Negara Peminta. Oleh karena itu, dalam
permintaan ekstradisi tidak perlu disertakan keterangan saksi dan bukti.
Sedang persyaratan untuk terpidana hampir sama di semua negara, yaitu :
a) Identitas pelaku kejahatan, uraian kejahatan, surat perintah penangkapan dan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
b) Pengajuan Permintaan Ekstradisi oleh Menteri Hukum dan HAM. Berkas
persyaratan ekstradisi yang disampaikan oleh Kapolri atau Jaksa Agung
diteliti dan jika telah lengkap dan memenuhi ketentuan Negara Diminta,
Depkumham melegalisir, menyegel dan membuat surat permintaan ekstradisi
kepada Negara Diminta serta membuat surat kepada Menteri Luar Negeri agar
menyampaikan surat permintaan tersebut kepada Negara Diminta melalui
saluran diplomatik.
c) Dimonitor

Perkembangannya

oleh

Departemen

Luar

Negeri.

Deplu

menyampaikan berkas Surat Permintaan Ekstradisi Kedutaan Negara Diminta.
Selanjutnya Deplu memonitor perkembangan proses permintaan ekstradisi
sampai dengan pelaksanaan ekstradisi dan menginformasikannya kepada
Menkumham dan instansi terkait.
d) Penyerahan kepada Pemerintah Indonesia. Dari pengalaman selama ini.
Negara Diminta meminta nama petugas yang akan dikirim untuk mengambil
orang yang diekstradisikan dan memberitahukan tanggal penyerahan.
Pemberitahuan tersebut dilakukan melalui saluran diplomatik dan Interpol,
dan NCB-Interpol Indonesia memberikan nama petugas yang dikirim dan
tanggal kedatangan serta nama hotel, lalu pada tanggal yang telah ditentukan

Universitas Sumatera Utara

petugas tersebut berangkat bersama-sama dengan petugas Negara Diminta ke
tempat penahanan dan diserahterimakan dari petugas Negara Diminta kepada
petugas yang ditunjuk dari POLRI atau Kejaksaan di bandara Negara Diminta.
Sesampainya di Indonesia diserahterimakan dengan Penyidik POLRI/
Penuntut Umum yang menangani perkaranya untuk diproses lebih lanjut.

B. Beberapa Kasus penangkapan yang dilakukan oleh ICPO-Interpol dalam
kerjasama dengan POLRI
Koruptor Indonesia sungguh luar biasa. Mereka punya 1.001 cara untuk
lolos dari jeratan hukum. Mulai dari mencari celah dan cara aman merampok uang
negara, menyuap pemangku kepentingan dan penegak hukum, hingga menghindar
atau melarikan diri ke luar negeri ketika proses hukum sedang berjalan. 96
Ketika koruptor telah melarikan diri ke luar negeri, mustahil bisa
ditangkap tanpa kerja sama dengan pihak lain di luar negara. Karena itu
keterlibatan Interpol dapat memainkan peran penting untuk menangkap para
buronan tersebut. Apalagi hal itu telah disepakati sejak Konferensi Interpol
Regional Asia di Jakarta, April 2006, yakni memperkuat kerja sama internasional
dalam memerangi korupsi.
Dalam konferensi tersebut, Presiden Interpol Jac