Model Kelembagaan Partisipasi Masyarakat dalam Mitigasi Banjir di Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alternative Development Theory
Model pembangunan alternatif yang dikemukakan oleh Korten (1987)
menyebutkan bahwa pembangunan alternatif yang berorientasi pada aspek manusia
lebih efektif dibandingkan dengan model pembangunan yang berorientasi pada
pertumbuhan. Model pembangunan alternatif ini yang dijadikan sebagai grand
Theory. Model ini juga dikatakan sebagai people centered development yang salah
satunya berbunyi manusia berusaha untuk menguasai dan mengendalikan alam
lingkungan, berdasarkan pengetahuan mengenai teori positivisme, memanipulasi
pemikiran rasional sebagai tema yang dominan. Model pembangunan alternatif
menekankan pada pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan
(sustainable development).
Hakikat pembangunan adalah pembangunan yang berkelanjutan yang tidak
parsial dan instan. Adanya konsep Sustainable Development yang kemudian
disebut (SD) akan berusaha memberikan wacana baru mengenai pentingnya
melestarikan lingkungan alam demi masa depan, generasi yang akan datang
(Rafsanjani, 2008). Menurut Brundtland Report dari PBB (1987) salah satu faktor
yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah
bagaimana memperbaiki kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan

pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Salah satu dampak dari kerusakan
pembangunan adalah adanya kerusakan lingkungan yang menyebabkan banjir.
Menurut Rahardjo (2009) salah satu yang utama dari tujuh penyebab banjir adalah
adanya pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Kemudian dalam

17
Universitas Sumatera Utara

mengatasi dampak lingkungan yang salah satunya tingginya resiko banjir
diperlukan adanya koordinasi kelembagaan antara pemerintah daerah dan
masyarakat. Menurut Barros and Johnston (1998) agar pembangunan dapat
berkelanjutan maka diperlukan berbagai kebijaksanaan yang salah satunya adalah
pengembangan peran serta masyarakat dan kelembagaan dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Wujud dari kelembagaan juga dapat terbangun dari kolaborasi
peran pemerintah dan partisipasi masyarakat yang dapat dibentuk dalam konsep
Co-management.
Co-management

dinamakan


pengelolaan

kolaboratif,

pengelolaan

partisipatif atau pengelolaan berbasis masyarakat Wells (1992). Semua pemangku
kepentingan (stakeholder) diberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam
pengelolaan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin komitmen dan partisipasi
mereka dan untuk menampung pengetahuan, aspirasi dan pengalaman mereka
dalam pengelolaan. Pembagian peran dan tanggung jawab di dalam pengelolaan
berbeda-beda tergantung kondisi khusus dari tiap kawasan. Dalam beberapa kasus,
kewenangan lebih banyak pada lembaga masyarakat, pada kasus yang lain
kewenangan lebih banyak pada instansi pemerintah. Kerangka kerja pengelolaan
tidak hanya untuk tujuan ekologis konservasi, melainkan juga mencakup tujuantujuan ekonomi, sosial dan budaya. Perhatian khusus perlu diberikan terhadap
kebutuhan mereka yang tergantung terhadap sumber daya, keseimbangan dan
partisipasi.
Co-management akan maksimal jika antara pemerintah daerah dan
masyarakat juga memahami pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
Pemahaman atas pentingnya kelestarian lingkungan tergambar dalam konsep CUE


18
Universitas Sumatera Utara

(Computable Urban Economic). Model CUE memasukan unsur resiko banjir dan
penggunaan lahan, model ini mampu memitigasi banjir dari sudut analisa kota dan
sebagai pelengkap adanya koordinasi pemerintah daerah dan partisipasi
masyarakat.
People Centered Development Sebagai Alternatif Pembangunan
Konsep

ini

menekankan

pada

pemberdayaan

manusia


dengan

mengendalikan kehidupan mereka dan sumber dayanya, menciptakan sumber
kehidupan rumah tangganya, dan secara langsung mereka dapat mengejar
pembangunan sebagai suatu upaya mencapai kesejahteraan, yang merupakan tujuan
akhir dari “people centered development” dan hal itu berarti pencapaian suatu
pembangunan. Kompleksitas isu (masalah) demikian dikaitkan dengan lembaga
modern saat ini, dari lembaga yang demokratis sampai kepada birokrasi di bidang
bisnis, pemerintah, dan lembaga perburuhan, yang condong kepada ketidak
berdayaan manusia, seringkali memindahkan mereka dengan mengendalikannya,
tetapi hal itu hanya merupakan sedikit porsi dari hidup mereka. Justru yang sering
terjadi adalah, tanggung jawab terhadap mereka menjadi suatu masalah yang
serius, dengan menciptakan permintaan untuk mengontrol struktur yang ada untuk
menyediakan layanan kepada masyarakat.
Perkembangan era pembangunan dikendalikan oleh paradigma pertumbuhan
sangatlah kuat, yakni menitik beratkan suatu produk yang sangat besar dan berasal
dari pemikiran bangsa Barat (Eropa dan Amerika). Paradigma ini mendominasi
langsung pembangunan masyarakat, dengan jalan untuk mencapai tujuan dengan
suatu kebijakan langsung. Untuk itu memerlukan metodologi yang canggih di

dalam memandu untuk memberikan pilihan kepada manusia secara konsisten

19
Universitas Sumatera Utara

dengan mendasarkan pada premis tertentu, yakni produksi lebih (over production).
Di dalam paradigma tersebut tekanannya pada sumbangan paradigma pertumbuhan
secara absolut, dalam periode ini disebut dengan “periode transisi” bagi
masyarakat manusia. Pada periode ini, adanya penekanan bentuk tranformasi,
yakni suatu perspektif dunia ketiga, dengan mengusulkan kesempatan yang luas
suatu bangsa tidak harus menuju suatu era industri, bisa suatu bangsa mendasarkan
atau berlandaskan diri pada bidang pertanian.
Selain perubahan sosial secara evolusi, bisa juga terjadi perubahan sosial
secara revolusi. Perubahan demikian akan berjalan dengan cepat dan tingkat
kemajuannya (akselerasinya) sangat drastis. Namun, perubahan sosial yang
revolusioner akan mengurangi dan menguras sumber daya alam yang tersedia,
sehingga tidak sesuai dengan kebijakan sosial yang baik. Bila perubahan sosial
revolusioner dilakukan secara sadar, yakni perubahan sosial melalui proses yang
cepat, maka dampak negatif yang akan terjadi dapat dikendalikan.
Wells (1992) menyebutkan ciri-ciri dari perubahan sosial revolusioner yang

bisa ditunjukkan dari paradigma di era pembangunan dewasa ini adalah:
1. Pembangunan dan penerapannya didasarkan atas ilmu pengetahuan ilmiah,
perpaduan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pembangunanmelalui organisasi dan pembagian pekerjaan, tenaga mesin
menggantikan tenaga manusia dan binatang.
3. Keserakahan terhadap materi, etika kerja, visi ekonomi, keyakinan mengenai
ketidakterbatasan perkembangan materi dan pertumbuhan teknologi dan
ekonomi.

20
Universitas Sumatera Utara

4. Manusia berusaha untuk menguasai dan mengendalikan alam lingkungan,
berdasarkan pengetahuan mengenai teori positivisme, memanipulasi pemikiran
rasional sebagai tema yang dominan.
5. Tanggung jawab bersifat individual untuk melawan takdirnya sendiri,
kebebasan, dan kesamaan di dalam hak asasi dasar, perspektif ketidak beradaan
nilai, faktor individual yang baik, masyarakat sebagai kumpulan individu yang
mengejar kepentingannya.
Dalam perkembangannya di era pembangunan dewasa ini diperlukan nilainilai baru, yang bisa menjadi pendorong perkembangan pembangunan itu sendiri.

Selain itu era pembangunan juga mengakibatkan terjadinya tragedi umum,
misalnya tidak tersedianya lahan pertanian yang cukup, udara bersih, air minum,
bahan bakar, dan mineral lainnya akibat pembangunan yang bersifat eksploitatif.
Setelah perubahan sosial mengalami stagnasi, suatu peradaban baru telah
muncul di dalam kehidupan kita, yakni suatu peradaban yang membawa perubahan
sehingga mengubah kesadaran kita. Pada awalnya suatu peradaban baru merupakan
satu kenyataan di dalam kehidupan kita. Hal itu merupakan pusat kejadian dan
merupakan kunci di dalam memahami kejadian pada tahun yang akan
datang. Munculnya peradaban baru yang bertentangan dengan peradaban industri
tradisional lama. Hal itu, pada waktu yang sama, teknologi tinggi dan anti
pembangunan muncul bersamaan.
Melihat jangka panjang kesejahteraan hidup manusia, “people centered
development” menempatkan prioritas tertinggi pada pencapaian suatu hubungan
harmonis dan produktif antara manusia dan lingkungan alam, salah satunya
memperkuat produktivitas alam dan menciptakan potensi baru bagi pengembangan

21
Universitas Sumatera Utara

manusia. Isu dasarnya menyangkut khususnya antara eksploitatif dan hubungan

partnership. Pada awalnya kita tidak mengenal eksploitasi terhadap lingkungan –
pertambangan terhadap berbagai sumber daya alam dan menggunakannya tanpa
batas dan tidak menimbulkan sampah. Namun, akibat dari penggunaan sumber
daya yang demikian telah menyumbangkan secara positif terhadap kesehatan
ekonomi. Kemudian akhirnya para ahli memandang bahwa tingkah laku demikian
merupakan bentuk kriminal atau kejahatan manusia terhadap lingkungan.
Dodson (1996) melihat eksplorasi demikian haruslah terjadi saling
menguntungkan

dan

memperkuat

keberadaan

antara

manusia

dengan


lingkungannya. Sebagai kompetisi peningkatan sumberdaya, masalah klasiknya
adalah mengelola sumber daya secara terbuka menjadi lebih tepat, sebagaimana
dikemukakan oleh Garret Hardin. Hardin membahas tentang masalah dan berbagai
pendekatan untuk suatu resolusi (pemecahan masalah). Hal itu semua menyangkut
suatu

pembatasan

untuk

akses,

sebagai

pembatasan

kebebasan.

Hardin


mengemukakan bahwa batasan kebebasan sangat situasional dan selalu berubah
sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar.
Connor Bailey (1978) pengikut Hardin melakukan studi kasus secara modern
tentang masalah hubungan manusia dengan lingkungan. Hubungan simbiosis
merupakan strategi yang menarik dan terbaik bagi seluruh pengelola sumber daya
komunitas. Ada banyak perspektif di dalam pengelolaan sumber daya alam. Tetapi
pola dasarnya adalah kompetisi sumber daya dan eksploitasi, disengaja atau tidak,
dengan orang yang mengendalikan pemanfaatan sumber daya. Di sisi positif,
kontribusi terhadap pengelolaan sumber daya meningkatkan kemampuan orang
yang mereka mendapatkan keuntungan untuk terus dapat hidup, meskipun bias dan

22
Universitas Sumatera Utara

terkadang frustasi dengan usaha mereka untuk meningkatkan kemampuan sebagai
usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara total kegunaan kemampuan
adalah sebagai harapan utama untuk mengembangkan usaha pembangunan di masa
lalu. Kuncinya adalah mengurangi ketidak bebasan/keleluasaan (sebagai pembatas)
bagi masyarakat dalam menghadapi kemampuan mereka guna memenuhi

kepentingan hidupnya.
Kemudian Jeffery et-al (1983) menganalisis mengapa ada suatu mekanisme
keseimbangan yang didasarkan pembangunan yang ortodoks dengan membahas
hasil distribusi dari peningkatan produksi yang pernah mereka dapat yang
merupakan tantangan pembangunan yang sedang dilaksanakan.
Konsep sentral dari “people centered development” sangatlah sederhana.
Hal ini sebagai suatu pendekatan pembangunan yang melihat inisiatif yang kreatif
dari orang yang menjadi sumber daya utama pembangunan dan materinya, serta
kesejahteraan spiritual sebagai akhir dari proses pembangunan yang dilakukan.
Kegagalan terbesar dari model pembangunan konvensional, adalah bersifat sosialis
dan kapitalis. Bagi mereka yang beruntung dapat berpartisipasi di dalam
keseluruhan pembangunan dan mendapatkan kehidupannya dengan mudah,
terutama bagi mereka yang terlibat di birokrasi, baik swasta maupun publik,
sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mudah, termasuk
aksesnya terhadap sumberdaya di dalam rumah tangganya, dan mereka tidak
terbatas dalam memperoleh kesempatan untuk menciptakan kreativitas dirinya.
Bagi mereka yang tidak bisa berpartisipasi secara penuh di dalam pembangunan,
sebagai makhluk manusia, hidup dekat dengan kehidupan yang marginal
(terpinggirkan), standar hidupnya sangat rendah di tengah kehidupan masyarakat.

23
Universitas Sumatera Utara

Di dalam waktu yang sama, permintaan akan pembangunan melalui perusahaan
mendorong masyarakat untuk melakukan pengrusakan (eksploitasi) terhadap
sumber daya alam dan membahayakan ekosistem secara keseluruhan bagi
kehidupan di bumi.
Kesadaran tentang dehumanisasi (ketidak manusiawian) ini, ketidakadilan,
dan lingkungan
konvensional

yang tidak lestari mengakibatkan model

memunculkan

langkah

alternatif.

Banyak

pembangunan

alternatif

sangat

meyakinkan yang dapat digunakan dan secara substansial dapat meningkatkan
produktivitas hasil untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan jumlah
penduduk dunia, tetapi harus merupakan langkah yang beriringan dengan
kebutuhan dasar yakni, partisipasi, pemerataan dan kelestarian lingkungan.
Berbagai penjelasan di atas kemudian diperlukan suatu langkah yang tepat
dengan menggunakan eksperimen, yakni dengan alat perencanaan baru yang
mendukung definisi baru dari masalah pembangunan. Dengan usaha demikian
diharapakan tercapai reorientasi kelembagaan melalui pengelolaan sumber daya
alam dalam masyarakat secara produktif, yang pengendalilannya tergantung pada
kehidupan masyarakat yang memerlukannya.

2.2 Sustainable Development Theory
a. Konsep Sustainable Development
Pembangunan yang sekarang sedang marak adalah pembangunan yang
hanya bersifat sementara. Dengan tuntutan globalisasi, Indonesia mengikuti
perkembangan zaman tanpa melihat prospek kedepan. Perkembangan masyarakat
yang serba instan dan asal jadi, budaya konsumtif telah mendarah daging pada

24
Universitas Sumatera Utara

sebagian besar masyarakat Indonesia. Sedang sebenarnya, hakikat pembangunan
adalah pembangunan yang berkelanjutan yang tidak parsial dan instan. Maka,
dengan adanya konsep Sustainable Development yang kemudian disebut (SD) akan
berusaha memberikan wacana baru mengenai pentingnya melestarikan lingkungan
alam demi masa depan, generasi yang akan datang (Rafsanjani, 2008).
Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh
menggali konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa
“…keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman
hayati bagi alam”. Dengan demikian “pembangunan tidak hanya dipahami sebagai
pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan
intelektual, emosional, moral, dan spiritual” dalam pandangan ini, keragaman
budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan
berkelanjutan.
Network

of

Excellence

“Sustainable

Development

in

a

Diverse

World”SUS.DIV, sponsored by the European Union, bekerja pada jalur ini. Mereka
mengintegrasikan kapasitas multidisiplin dan menerjemahkan keragaman budaya
sebagai kunci pokok strategi baru bagi pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah sebuah
upaya pembangunan yang meliputi aspek ekonomi, sosial, lingkungan bahkan
budaya untuk kebutuhan masa kini tetapi tidak mengorbankan atau mengurangi
kebutuhan generasi yang akan datang, meliputi aspek ekonomi, pembangunan
berkelanjutan berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari
jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan
modal alam. Namun konsep “pertumbuhan ekonomi” itu sendiri bermasalah,

25
Universitas Sumatera Utara

karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas. Aspek sosial, maksudnya
pembangunan yang berdimensi pada manusia dalam hal interaksi, interrelasi dan
interdependesi. Yang erat kaitannya juga dengan aspek budaya. Tidak hanya pada
permasalahan

ekonomi,

pembangunan

berkelanjutan

untuk

menjaga

keberlangsungan budaya dari sebuah masyarakat supaya sebuah masyarakat tetap
bisa eksis untuk melayani kehidupan sampai masa mendatang. Pembangunan
berkelanjutan merupakan konsep yang saling terkait, dimana pandangan yang luas
berada di bawah naungannya. konsep ini memasukkan pemahaman keberlanjutan
lemah, keberlanjutan kuat, dan ekolog mendalam. konsep yang berbeda juga
menunjukkan tarik ulur yang kuat antara eko (lingkungan) sentrisme dan antropo
(manusia) sentrisme.
Sebagai awal munculnya konsep pembangunan berkelanjutan adalah karena
perhatian kepada lingkungan. Terutama sumber daya alam yang tidak bisa
diperbaharui sedang ekspoitasi terhadapnya dilakukan terus menerus.Pengertian
dari tidak mengurangi dan mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang
adalah pembangunan yang dilakukan dimasa sekarang itu jangan sampai merusak
lingkungan, boros terhadap SDA dan juga memperhatikan generasi yang akan
datang. Generasi yang akan datang juga jangan terlalu dimanjakan, tetapi mereka
juga harus di beri kesempatan untuk berekspresi menuangkan ide kreatifnya untuk
mengolah dan mengembangkan alam dan pembangunan.
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota,
bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland
Report dari PBB, 1987). Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari

26
Universitas Sumatera Utara

Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki
kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan
keadilan sosial. Laporan PBB yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia pada
tahun 2005, yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tiang
utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat.
Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan
pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi
dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam.
Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu
lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga
lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan
lingkungan. Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit 2005
menyebut ketiga hal dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong
bagi pembangunan berkelanjutan.

Gambar 2.1 Lingkup Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan
Skema pembangunan berkelanjutan:pada titik temu tiga pilar tersebut,
Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali

27
Universitas Sumatera Utara

konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa "...keragaman
budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi
alam". Dengan demikian "pembangunan tidak hanya

dipahami

sebagai

pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan
intelektual, emosional, moral, dan spiritual". dalam pandangan ini, keragaman
budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan
berkelanjutan (Ningrum, 2012).
Pembangunan Hijau pada umumnya dibedakan dari pembangunan
bekelanjutan, dimana pembangunan Hijau lebih mengutamakan keberlanjutan
lingkungan di atas pertimbangan ekonomi dan budaya. Pendukung Pembangunan
Berkelanjutan berargumen bahwa konsep ini menyediakan konteks bagi
keberlanjutan menyeluruh dimana pemikiran mutakhir dari Pembangunan Hijau
sulit diwujudkan. Sebagai contoh, pembangunan pabrik dengan teknologi
pengolahan limbah mutakhir yang membutuhkan biaya perawatan tinggi sulit untuk
dapat berkelanjutan di wilayah dengan sumber daya keuangan yang terbatas.
Beberapa riset memulai dari definisi ini untuk berargumen bahwa
lingkungan merupakan kombinasi dari alam dan budaya. Network of Excellence
"Sustainable Development in a Diverse World" SUS.DIV, sponsored by the
European Union, bekerja pada jalur ini. Mereka mengintegrasikan kapasitas
multidisiplin dan menerjemahkan keragaman budaya sebagai kunci pokok strategi
baru bagi pembangunan berkelanjutan (Ningrum, 2012).
Beberapa peneliti lain melihat tantangan sosial dan lingkungan sebagai
kesempatan bagi kegiatan pembangunan. Hal ini nyata di dalam konsep
keberlanjutan usaha yang mengkerangkai kebutuhan global ini sebagai kesempatan

28
Universitas Sumatera Utara

bagi perusahaan privat untuk menyediakan solusi inovatif dan kewirausahaan.
Pandangan ini sekarang diajarkan pada beberapa sekolah bisnis yang salah satunya
dilakukan di Center for Sustainable Global Enterprise at Cornell University.
Pembangunan berkelanjutan membutuhkan partisipasi dan perspektif dari
berbagai pemangku kepentingan, dengan sasaran untuk melakukan merekonsiliasi
berbagai nilai dan tujuan yang berbeda menuju sintesis baru untuk mencapai nilainilai yang sama dan sinergis. Akan tetapi faktanya yaitu bahwa untuk mencapai
konsensus terkait dengan nilai, tujuan, dan aksi yang berkelanjutan seringkali
menjadi hal yang sulit untuk dicapai, bahkan terkadang pemangku kepentingan
individu melakukan penolakan terhadap hal dimaksud di atas karena merasa bahwa
proses tersebut terlalu sulit dan terlalu mengancam nilai mereka sendiri
(Kates, 2011).
Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang ambigu, dimana
pandangan yang luas berada di bawah naungannya. konsep ini memasukkan
pemahaman keberlanjutan lemah, keberlanjutan kuat, dan ekolog mendalam.
konsep yang berbeda juga menunjukkan tarik ulur yang kuat antara eko
(lingkungan) sentrisme dan antropo (manusia) sentrisme. Oleh karena itu konsep
ini lemah didefinisikan dan mengundang debat panjang mengenai definisinya.
Selama sepuluh tahun terakhir, lembaga-lembaga yang berbeda telah berusaha
mengukur dan memantau perkiraan atas apa yang mereka pahami sebagai
keberlanjutan dengan mengimplementasikan apa yang disebut dengan matrik dan
indikator keberlanjutan.

29
Universitas Sumatera Utara

b. Secara ideal berkelanjutannya pembangunan membutuhkan pencapaian :
1. Pertama, berkelanjutan ekologis, yakni akan menjamin berkelanjutan
eksistensi bumi. Hal-hal yang perlu diupayakan antara lain, a. memelihara
(mempertahankan) integrasi tatanan lingkungan, dan keanekaragaman
hayati; b. memelihara integrasi tatanan lingkungan agar sistem penunjang
kehidupan bumi ini tetap terjamin; c. memelihara keanekaragaman hayati,
meliputi aspek keanekaragaman genetika, keanekaragaman species dan
keanekaragaman tatanan lingkungan.
2) Kedua, berkelanjutan ekonomi; dalam perpektif ini pembangunan memiliki
dua hal utama, yakni, berkelanjutan ekonomi makro dan ekonomi sektoral.
Berkelanjutan ekonomi makro, menjamin ekonomi secara berkelanjutan
dan mendorong efesiensi ekonomi melalui reformasi struktural dan
nasional. Berkelanjutan ekonomi sektoral untuk mencapainya; a. sumber
daya alam dimana nilai ekonominya dapat dihitung harus diperlakukan
sebagai kapital yang “tangible” dalam rangka akunting ekonomi; b. koreksi
terhadap harga barang dan jasa perlu di introduksikan. Secara prinsip harga
sumber daya alam harus merefleksikan biaya ekstraksi/pengiriman,
ditambah biaya lingkungan dan biaya pemanfaatan.
3) Ketiga, berkelanjutan sosial budaya; berkelanjutan sosial budaya, meliputi:
a. stabilitas penduduk, b. pemenuhan kebutuhan dasar manusia, c.
Mempertahankan keanekaragaman budaya dan d. mendorong partisipasi
masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
4) Keempat, berkelanjutan politik; tujuan yang akan dicapai adalah, a. respek
pada human rights, kebebasan individu dan sosial untuk berpartisipasi di

30
Universitas Sumatera Utara

bidang ekonomi, sosial dan politik, dan b. demokrasi, yakni memastikan
proses demokrasi secara transparan dan bertanggung jawab.
5) Kelima,

berkelanjutan

pertahanan

dan

keamanan.

Keberlanjutan

kemampuan menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman dan gangguan
baik dari dalam maupun dari luar yang langsung maupun tidak langsung
yang dapat membahayakan integrasi, identitas, kelangsungan bangsa dan
negara. (Djajadiningrat, 2008).

Menurut

(Djajadiningrat,

2008),

agar

proses

pembangunan

dapat

berkelanjutan harus bertumpu pada beberapa faktor:

1) Pertama, kondisi sumber daya alam, agar dapat menopang proses
pembangunan secara berkelanjutan perlu memiliki kemampuan agar dapat
berfungsi secara berkesinambungan. Sumber daya alam tersebut perlu
diolah dalam batas kemampuan pulihnya. Bila batas tersebut terlampaui,
maka sumber daya alam tidak dapat memperbaharuhi dirinya, Karena itu
pemanfaatanya perlu dilakukan secara efesien dan perlu dikembangkan
teknologi yang mampu mensubsitusi bahan substansinya.
2) Kedua, kualitas lingkungan, semakin tinggi kualitas lingkungan maka akan
semakin tinggi pula kualitas sumber daya alam yang mampu menopang
pembangunan yang berkualitas.
3) Ketiga, faktor kependudukan, merupakan unsur yang dapat menjadi beban
sekaligus dapat menjadi unsur yang menimbulkan dinamika dalam proses
pembangunan. Karena itu faktor kependudukan perlu dirubah dari faktor

31
Universitas Sumatera Utara

yang menambah beban menjadi faktor yang dapat menjadi modal
pembangunan.

Menurut Elkinton (1997) pembangunan berkelanjutan berkonsentrasi pada
tiga pilar yaitu pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Konsep tersebut
dengan P3 Concept, yaitu people, planet, and profits. John Elkington melalui
konsep ”3p” (profit, people dan planet) yang dituangkan dalam bukunya
”Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”
yang di release pada tahun 1997. Ia berpendapat bahwa jika perusahaan ingin
sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni, bukan cuma profit yang diburu,
namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan
ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
Secara lebih kongkrit tidak bisa disangkal bahwa hak manusia atas
lingkungan hidup yang sehat dan baik menjadi kebutuhan mendesak sebagai bagian
dari hak asasi manusia. Hak atas pembangunan tidak lepas dari ketentuan bahwa
proses pembangunan haruslah memajukan martabat manusia, dan tujuan
pembangunan adalah demi kemajuan yang terus menerus secara berkelanjutan
untuk kesejahteraan manusia secara adil merata.
Prinsip dasar pembangunan berkelanjutan meliputi,
1. Pertama, pemerataan dan keadilan sosial. Dalam hal ini pembangunan
berkelanjutan harus menjamin adanya pemerataan untuk generasi sekarang
dan yang akan datang, berupa pemerataan distribusi sumber lahan, faktor
produksi dan ekonomi yang berkeseimbangan (adil), berupa kesejahteran
semua lapisan masyarakat.

32
Universitas Sumatera Utara

2. Kedua, menghargai keaneragaman (diversity). Perlu dijaga berupa
keanegaragaman hayati dan keanegaraman budaya. Keaneragaman hayati
adalah prasyarat untuk memastikan bahwa sumber daya alam selalu tersedia
secara berkelanjutan untuk masa kini dan yang akan datang. Pemeliharaan
keaneragaman budaya akan mendorong perlakuan merata terhadap setiap
orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi berbagai masyarakat
dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.
3. Ketiga, menggunakan pendekatan integratif. Pembangunan berkelanjutan
mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam. Manusia
mempengaruhi alam dengan cara bermanfaat dan merusak. Karena itu,
pemanfaatan harus didasarkan pada pemahaman akan kompleknya
keterkaitan antara sistem alam dan sistem sosial dengan cara-cara yang
lebih integratif dalam pelaksanaan pembangunan.
4. Keempat, perspektif jangka panjang, dalam hal ini pembangunan
berkelanjutan seringkali diabaikan, karena masyarakat cenderung menilai
masa kini lebih utama dari masa akan datang. Karena itu persepsi semacam
itu perlu dirubah.

Kerusakan dan pencemaran lingkungan, menurut Barros and Johnston (1998)
erat kaitannya dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia, antara lain
disebabkan:

1. Pertama, kegiatan-kegiatan industri, dalam bentuk limbah, zat-zat buangan
yang berbahaya seperti logam berat, zat radio aktif dan lain-lain.

33
Universitas Sumatera Utara

2. Kedua, Kegiatan pertambangan, berupa terjadinya perusakan instlasi,
kebocoran, pencemaran buangan penambangan, pencemaran udara dan
rusaknya lahan bekas pertambangan.
3. Ketiga, kegiatan transportasi, berupa kepulan asap, naiknya suhu udara
kota, kebisingan kendaraan bermotor, tumpahan bahan bakar, berupa
minyak bumi dari kapal tanker.
4. Keempat, kegiatan pertanian, terutama akibat dari residu pemakaian zat-zat
kimia

untuk memberantas serangga/tumbuhan pengganggu, seperti

insektisida, pestisida, herbisida, fungisida dan juga pemakaian pupuk
anorganik.

Dampak dari pencemaran dan perusakan lingkungan yang amat mencemaskan
dan menakutkan akibat aktivitas pembangunan yang dilakukan manusia secara
lebih luas dapat berupa,

1. Pertama, pemanasan global, telah menjadi isu internasional yang
merupakan topik hangat di berbagai negara. Dampak dari pemanasan global
adalah terjadinya perubahan iklim secara global dan kenaikan permukaan
laut.
2. Kedua, hujan asam, disebabkan karena sektor industri dan transportasi
dalam aktivitasnya menggunakan bahan bakar minyak atau batu bara yang
dapat menghasilkan gas buang ke udara. Gas buang tersebut menyebabkan
terjadinya pencemaran udara. Pencemaran udara yang berasal dari
pembakaran bahan bakar, terutama bahan bakar fosil mengakibatkan
terbentuknya asam sulfat dan asam nitrat. Asam tersebut dapat diendapkan

34
Universitas Sumatera Utara

oleh hutan, tanaman pertanian, danau dan gedung sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan dan kematian organisme hidup
3. Ketiga, lubang ozon, ditemukan sejak tahun 1985 di berbagai tempat di
belahan bumi, seperti diAmerika Serikat dan Antartika. Penyebab
terjadinya lubang ozon adalah zat kimia semacam kloraflur karbon (CFC),
yang merupakan zat buatan manusia yang sangat berguna dalam kehidupan
manusia sehari-hari, seperti untuk lemari es dan AC.

Sebagai reaksi dari akibat pembangunan telah menyebabkan berbagai
kerusakan dan pencemaran lingkungan, di seluruh dunia sedang terjadi gerakan
yang disebut gerakan ekologi dalam (deep ecology) yang dikumandangkan dan
dilakukan oleh banyak aktivis organisasi lingkungan yang berjuang berdasarkan
visi untuk menyelematkan lingkungan agar dapat berkelanjutan. Gerakan ini
merupakan antitesa dari gerakan lingkungan dangkal (shallow ecology) yang
berperilaku eksplotatif terhadap lingkungan dan mengkambinghitamkan agama
sebagai penyebab terjadinya kerusakan alam lingkungan. Gerakan ini beranggapan
bahwa bumi dengan sumber daya alam adanya untuk kesejahteraan manusia.
Karena itu, kalau manusia ingin sukses dalam membangun peradaban melalui
industrialsiasi, bumi harus ditundukkan untuk diambil kekayaannya. Sebagai tindak
lanjut dari implementasi pembangunan berkelanjutan, pemerintah Indonesia telah
meprakarsai melakukan Kesepakatan nasional dan Rencana Tindak Pembangunan
Berkelanjutan. Kesepakatan nasional berisi:

35
Universitas Sumatera Utara

1. Penegasan komitmen bagi pelaksanaan dan pencapaian pembangunan
berkelanjutan sesuai dengan peraturan perundangan dan sejalan dengan
komitmen global;
2. Perlunya keseimbangan yang proporsional dari tiga pilar pembangunan
berkelanjutan (ekonomi, sosial, dan lingkungan) serta saling ketergantungan
dan saling memperkuat;
3. Penanggulangan kemiskinan, perubahan pola produksi dan konsumsi, serta
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan.
4. Peningkatan kemandirian nasional.
5. Penegasan bahwa keragaman sumber daya alam dan budaya sebagai modal
pembangunan dan perekat bangsa.
6. Perlunya

melanjutkan proses reformasi

sebagai

prakondisi

dalam

mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.
7. Penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik, pengelolaan sumber daya
alam, pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, dan pengembangan
kelembagaan merupakan dimensi utama keberhasilan pembangunan
berkelanjutan.
8. Perwujudan dalam pencapaian rencana pelaksanaan pembangunaan
berkelanjutan bagi seluruh masyarakat, khususnya kelompok perempuan,
anak-anak, dan kaum rentan.
9. Perwujudan sumber daya manusia terdidik untuk dapat memahami dan
melaksanakan pembangunan berkelanjutan.
10. Kesepuluh, pengintegrasian prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam
strategi dan program pembangunan nasional.

36
Universitas Sumatera Utara

Agar pembangunan memungkinkan dapat berkelanjutan maka diperlukan
pokok-pokok kebijaksanaan sebagai berikut,

1. Pengelolaan sumber daya alam perlu direncanakan sesuai dengan daya
dukung lingkungannya. Dengan mengindahkan kondisi lingkungan
(biogeofisik dan sosekbud) maka setiap daerah yang dibangun harus sesuai
dengan zona peruntukannya, seperti zona perkebunan, pertanian dan lainlain. Hal tersebut memerlukan perencanaan tata ruang wilayah (RTRW),
sehingga diharapkan akan dapat dihindari pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan daya dukung lingkungannya.
2. Proyek pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan perlu
dikendalikan melalui penerapan analisis mengenai dampak lingkungan
(AMDAL) sebagai bagian dari studi kelayakan dalam proses perencanaan
proyek. Melalui studi AMDAL dapat diperkirakan dampak negatif
pembangunan terhadap lingkungan.
3. Penanggulangan pencemaran air, udara dan tanah mengutamakan.
4. Pengembangan keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas
tatanan lingkungan.
5. Pengembangan kebijakan ekonomi yang memuat pertimbangan lingkungan.
6. Pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan dan ketenagaan dalam
pengelolaan lingkungan hidup
7. Pengembangan

hukum

lingkungan

yang

mendorong

peradilan

menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan.
8. Pengembangan kerja sama luar negeri.

37
Universitas Sumatera Utara

2.3 Alternatif Pendekatan Co-Management
Pendekatan Co-Management adalah merupakan alternatif yang potensial
untuk mengisi kelemahan dari pendekatan State-based dan Community-based
dalam pengelolaan RTH di pesisir pantai. Dimana pendekatan Co-management
didasarkan pada kebersamaan dan kemitraan yang diyakini tepat untuk mengarah
pada pembangunan berkelanjutan. Co-Management atau pengelolaan bersama
merupakan paradigma yang sedang berkembang dengan pesat dalam pengelolaan
sumber daya alam dimana ruang terbuka hijau merupakan lahan konservasi yang
perlu pengelolaan bersama (kemitraan) antara pemerintah, masyarakat dan
stakeholder. Co-Management juga dinamakan pengelolaan kolaboratif, pengelolaan
partisipatif atau pengelolaan berbasis masyarakat. Pengelolaan partisipatif
didasarkan pada tiga bagian utama (Wells, et al., 1992). Semua pemangku
kepentingan (stakeholder) diberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam
pengelolaan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin komitmen dan partisipasi
mereka dan untuk menampung pengetahuan, aspirasi dan pengalaman mereka
dalam pengelolaan. Pembagian peran dan tanggung jawab di dalam pengelolaan
berbeda-beda tergantung kondisi khusus dari tiap kawasan. Dalam beberapa
kasus,kewenangan lebih banyak pada lembaga masyarakat, pada kasus yang lain
kewenangan lebih banyak pada instansi pemerintah. Kerangka kerja pengelolaan
tidak hanya untuk tujuan ekologis konservasi, melainkan juga mencakup tujuantujuan ekonomi, sosial dan budaya. Perhatian khusus perlu diberikan terhadap
kebutuhan mereka yang tergantung terhadap sumberdaya, keseimbangan dan
partisipasi.

38
Universitas Sumatera Utara

a. Manfaat adanya Co-Management
Manfaat adanya co-management menurut Wiyanto (pada Workshop
Pemberdayaan Masyarakat Pasca Proyek, 2004) akan terwujud bila selaras dengan
proses dan tujuannya, yaitu:
1) Untuk pengembangan ekonomi dan sosial yang bertumpu pada prakarsa dan
kemampuan masyarakat
2) Untuk mengalihkan kewenangan dalam menetapkan keputusan pengelolaan
sumber daya/ruang terbuka hijau
3) Sebagai

cara

untuk

mengurangi

terjadinya

perselisihan

melalui

keikutsertaan seluruh pihak yang terlibat secara demokratis.
Pemanfaat sumber daya menerima manfaat dengan ikut serta dalam
menetapkan keputusan dalam pengelolaan yang mempengaruhi kesejahteraan
mereka, sedangkan pemerintah menerima manfaat dari berkurangnya kewenangan.
Pemerintah juga akan menetapkan hak dan kewenangan atas hukum yang setara
dan mengalihkan sebagian kewenangannya.
b. Ciri-ciri dan Bentuk Co-Management
Menurut Wiyanto (2004) bahwa ciri-ciri dari Co-Management adalah:
1) Sebagai jalan tengah antara pengelolaan tanaman pantai secara terpusat
sepenuhnya oleh pemerintah dengan tujuan efisiensi dan pemerataan serta
pengelolaan sepenuhnya oleh masyarakat setempat dengan tujuan untuk
mengeloladan mengatur diri sendiri dan ikut serta secara aktif.
2) Sebagai

proses

pengelolaan

sumber

daya,

dengan

melakukan

penyesuaian/perubahan dari waktu ke waktu, yang mencakup segi

39
Universitas Sumatera Utara

pemberdayaan masyarakat, pengalihan kewenangan, pembagian kekuasaan
dan kesetaraan (demokratisasi)
3) Sebagai strategi pengelolaan yang luwes, yang merupakan wahana untuk
ikut serta, membuat aturan, mengatasi perselisihan, membagi kewenangan,
kepemimpinan, dialog, membuat keputusan, menambah dan membagi
pengetahuan, belajar serta pembinaan diantara para pemanfaat sumber daya
pemangku kepentingan dan pemerintah.
Bentuk co-management menurut Pomeroy et al. (1994) adalah sebagai berikut :
1. Co–Management Instructive, pada bentuk ini, tidak begitu banyak
informasi yang saling di pertukarkan antara masyarakat dan pemerintah.
Pemerintah dalam hal ini, hanya mengimformasikan kepada masyarakat
tentang rumusan pengelolaan sungai yang pemerintah rencanakan untuk
dilaksanakan.
2. Co–Management Consultative, menempatkan masyarakat pada posisi yang
hampir sama dengan pemerintah. Oleh karena itu, ada mekanisme yang
membuat

pemerintah

berkonsultasi

dengan

masyarakat.

Meskipun

masyarakat bisa memberikan berbagai masukan pada pemerintah,
keputusan

apakah

masukan

tersebut

harus

digunakan

tergantung

sepenuhnya pada pemerintah.
3. Co–Management Cooperative, bentuk ini menempatkan masyarakat dan
pemerintah pada posisi yang sama atau sederajat. Semua tahapan sejak
pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dan
pemantauan institusi co–management berada di pundak kedua pihak.

40
Universitas Sumatera Utara

4. Co–Management Advocative, pada bentuk ini, peran masyarakat cenderung
lebih besar dari peran pemerintah. Peran pemerintah lebih banyak bersifat
mendampingi masyarakat atau memberikan advokasi pada masyarakat
tentang apa yang sedan mereka kerjakan.
5. Co–Management Informative, di satu pihak peran pemerintah makin
berkurang dan di pihak lain peran masyarakat lebih besar. Pemerintah
hanya memberikan informasi pada masyarakat tentang apa yang sepatutnya
dikerjakan oleh masyarakat. Dalam kondisi yang lebih nyata, pemerintah
menerapakan delegasi untuk bekerja sama dengan masyarakat dalam.

c. Peran Pemerintah dalam Co-Management
Peran Pemerintah dalam Co-Management sangat besar sekali menurut
Wiyanto (2004), bahwa peran tersebut antara lain:
1) Menyediakan

peraturan/kebijakan

seperti

desentralisasi

kekuasaan/

kewenangan,
2) Mendorong keikutsertaan dan melakukan dialog dengan masyarakat;
3) Mengakui/mengesahkan hak-hak masyarakat;
4) Melakukan prakarsa;
5) Melakukan penegakan hukum;
6) Mengatasi masalah yang berada di luar kewenangan masyarakat;
7) Memadukan kegiatan pada berbagai tingkatan pemerintah;
8) Menyediakan bantuan dan layanan teknis, adminstrasi dan keuangan untuk
menunjang lembaga kemasyarakatan setempat.
Perlu adanya pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya
berupa tanaman pelindung pantai, mitra kolaborasi yang berupa sebuah lembaga

41
Universitas Sumatera Utara

yang dapat mewakili dan diakui oleh masyarakat. Badan Perwakilan Pantai bisa
merupakan lembaga yang mewakili dan diakui oleh masyarakat. Setelah terbentuk
lembaga pengelola, maka pemerintah daerah perlu membuat jalinan kerjasama
dengan lembaga pengelola tersebut. Karena jalinan kerjasama ini dibatasi dalam
hal pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di kawasan pantai perlu pemerintah
mengambil inisiatif untuk memungkinkan terjadinya pengelolaan partisipatif.
White (1994) telah merinci dukungan instansi pemerintah daerah yang sangat
diperlukan untuk membangun pengelolaan kolaboratif sebagai berikut:
1) Menciptakan ruang politik yang cukup untuk partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan. Pemerintah perlu menyediakan forum dialog yang setara
antara wakil pemerintah dengan wakil masyarakat dalam mendiskusikan
pengelolaan kolaboratif.
2) Menentukan

arah

kebijakan

pengelolaan

sumberdaya

yang

bisa

mengakomodasi aspirasi masyarakat.
3) Melakukan koordinasi dengan instansi lain yang terkait agar kegiatankegiatanyang dilakukan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder)
dari banyak instansi bisa berjalan dengan harmonis.
4) Memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kegiatan kelompok
masyarakat yang berhasil.
5) Menegakkan hukum dalam kaitannya dengan penegakan hukum terhadap
pelanggaran aturan lokal, maka pemerintah perlu mendelegasikan kepada
kelompok masyarakat. Tetapi pemerintah harus siap memberikan bantuan
dalam penegakan hukum, jika masyarakat membutuhkannya. Hal ini berarti

42
Universitas Sumatera Utara

bahwa instansi pemerintah perlu selalu memantau efektifitas pengelolaan
partisipatif oleh masyarakat.
6) Menyelesaikan konflik dan masalah yang muncul antara pemangku
kepentingan.
7) Memberikan bantuan kepada masyarakat berupa pelatihan, penyuluhan,
keuangan,

sarana

dan perlengkapan,

serta

peningkatan kesadaran

masyarakat.
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, partisipasi muncul dalam siklus
perencanaan pembangunan meliputi beberapa tahap, yaitu:
1) Kemitraan. Merupakan suatu kegiatan awal, mengenai penjajakan dan
pendekatan kepadamasyarakat sasaran. Melalui penjajakan dan pendekatan
yang ada, dibangun kesadaran masyarakat terhadap masalah dan kondisi
yang ada terhadap lingkungannya. Kesadaran tersebut akan menghasilkan
visi komunitas, yang merupakan perumusan pandangan masyarakat yang
menggambarkan masa depan masyarakat yang ideal.
2) Isu Analisis Berdasarkan Komunitas. Visi komunitas yang tercipta
diikuti dengan usaha mengidentifikasi masalah masalah yang ada dan
prioritas yang harus ditangani. Penyelesaian masalah tentumemerlukan
bantuan dari pihak luar, baik dukungan pemerintah maupun pihak pihak
yang menguasai dan berpengalaman terhadap suatu masalah.
3) Rencana Tindak. Merupakan tahap perencaan aksi, meliputi penetapan
target, tujuan dan strategiatau cara pelaksanaan. Semuanya merupakan hasil
kesepakatan bersama.

43
Universitas Sumatera Utara

4) Pelaksanaan

dan

Tahap

Kontrol.

pelaksanaan

program

dengan

pemantauan masyarakat pada setiap pelaksanaan.
5) Evaluasi dan timbal balik. Hasil monitoring berguna untuk mengevaluasi
pelaksanaan terhadap target yang telah disepakati. Informasi evaluasi juga
sebagai bahan untuk melanjutkan rencana-rencana program selanjutnya.
d. Tingkat Peran serta Stakeholders
Hal ini dipertegas dalam pasal 9 ayat 2 UU No. 23/1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup yang menyebutkan bahwa pengelolaan lingkungan
hidup dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah, masyarakat dan pelaku
pembangunan. Kerjasama antar stake holder merupakan suatu jalinan berbagai
pihak/actor (terkait dengan pengelolaan lingkungan yaitu: unsur pemerintah, swasta
dan masyarakat) dalam mewujudkan menempatkan diri sesuai dengan fungsi dan
kemampuannya dalam system kerjasama. Terdapat beberapa stategi pendekatan
dalam partisipasi dan kemitraan menurut Schubeler (1966) antara lain:
1) Community-based Approach (partisipasi masyarakat) dalam hal ini
masyarakat sebagai pihak yang terlibat langsung dalam manajemen proyek,
sedangkan swasta dan pemerintah turut berpartisipasi tidak langsung
(memberikan

support/dorongan).

Peran

pemerintah

juga

dalam

mengkoordinasikan/membantu dalam konsultasi. Basis strateginya dari
kelompok masyarakat itu sendiri.
2) Area-based Approach (berdasar area) disini pemerintah berperan langsung
dalam manajemen, sedangkan masyarakat dan swasta ikut berperan dalam
bentuk partisipasi lebih sebagai pendorong. Ini umumnya terjadi pada area
pemukiman, dalam penyediaan infrastruktur melibatkan pengguna agar

44
Universitas Sumatera Utara

program pengembangan infrastruktur dapat berjalan efektif. Masyarakat
sebagai pengguna dapat memberi masukan kepada pemerintah pada proses
pembangunannya. Hal ini meliputi proses pada saat program dibuat
Implementasi serta pengelolaannya.
3) Fuctoinally-based Approach (berdasar fungsi) disini pemerintah terlibat
langsung/memanajemen masyarakat dan swasta dapat terlibat langsung
namun dengan koordinasi dari pemerintah. Disini lebih kepada pelayanan
fungsi serta kolaborasi antara pengguna dengan kelompok masyarakat
dengan dasar yang jelas dan koordinasi antara pengguna tugas serta
tanggung jawab yang jelas pula. Orientasi kemitraannya pada koordinasi
intern dari masing-masing stake holder dalam manajemen aktifitasnya
masing-masing. Cakupan manajemen partisipasinya mulai dari rencana,
program, implementasi serta pengelolaan.
4) Process-based Approach (berdasarkan proses) Pemerintah berperan sebagai
pihak langsung dalam manajemen. Ini merupakan proses pengelolaan
dengan pemusatan fungsi manajemen untuk meningkatkan respon terhadap
permintaan pihak swasta yang terpilih agar terjadinya fungsi pelayanan
secara timbal balik antara swasta dan pemerintah. Pengguna dan
masyarakat memberikan masukan kepada pemerintah pada proses dasar.
Hal ini meliputi saat membuat kebijakan pada saat rencana, program,
implementasi dan pengelolaan serta monitoring dan evaluasi Stake holders
adalah pihak-pihak yang berkepentingan dalam suatu proses pembangunan.
Stakeholder merupakan pihak atau aktor yang terlibat dalam suatu proses
baik dalam hal perencanaan, proses pembangunan atau proses pengelolaan.

45
Universitas Sumatera Utara

Ketika berhadapan dengan lingkungan alam (natural Environment) maka
baik pemerintah, masyarakat umum dan masyarakat pelaku pembangunan (pihak
pengusaha) sama-sana merupakan suatu stake holder. Sedangkan pelibatan
masyarakat melalui kemitraan/bentuk-bentuk kerjasama yang diidentifikasikan
oleh kementrian Sumber Daya Alam Ontario (1995) yaitu:
1) Contributori partnership (kemitraan melalui kontribusi) merupakan suatu
kesepakatan yang mana sebuah organisasi swasta/publik setuju memberikan
sponsor/dukungan. Umumnya berupa dana untuk beberapa kegiatan yang
mempunyai sedikit pengaruh/sama sekali tidak terhadap proses partisipasi.
Sementara kontribusi dana selalu mempunyai hal penting bagi suksesnya
kegiatan. Jenis ini merupakan tipe yang lemah dari banyak kemitraan
karena tidak semua peserta secara aktif terlibat dalam pengambilan
keputusan.
2) Operational

partnership

(kemitraan

operasional)

merupakan

jenis

kemitraan dengan peserta/mitra melakukan pembangian kerja, tidak hanya
pengambilan keputusan. Disini penekanannya untuk mencapai kesepakatan
atas tujuan yang diinginkan bersama, kemudian bekerjasama untuk
mencapainya. Kekuasaan dipegang oleh peserta yang mempunyai sumber
dana dan ini biasanya lembaga lembaga pemerintah.
3) Consultatif Partnership adalah bentuk kemitraan dimana instansi yang
bertugas mengelola sumberdaya/lingkungan secara aktif mencari masukan
dari perseorangan, kelompok serta organisasi lain diluar pemerintah.
Mekanismenya biasanya melalui pembentukan komite yang dirancang,
terutama untuk memberikan saran pada instansi publik tentang isu/

46
Universitas Sumatera Utara

kebijakan khusus. Kontrol jelas masih dipegang instansi publik yang
mempunyai kebebasan untuk memilih saran yang diberikan.
4) Collaborative partnership (pembagian kekuasaan dalam pengambilan
keputusan yang sesungguhnya dilakukan dalam kemitraan kolaboratif)
untuk mencapai tujuan yang diterima semua pihak dengan informasi, dana,
tenaga saling dipertukarkan. Ini merupakan satu-satunya bentuk kemitraan
dimana dari pendapat kedua sumber yaitu Schubeler dan Kementrian
Sumber Daya Alam Ontario mengenai partisipasi masyarakat dalam
kemitraan terdapat banyak kesamaan dimana masyarakat turut terlibat
dalam suatu program dari tahap awal sampai akhir. Hal ini mengindikasikan
pentingnya pelibatan masyarakat. Pada kondisi tertentu masyarakat dapat
berpartisipasi secara penuh dimana hal ini terkait dengan program yang
secara langsung membawa dampak dan akibat pada masyarakat setempat
dan umumnya tidak memerlukan dana yang cukup besar. Perbedaan dari
kedua sumber ahli tersebut membagi partisipasi kedalam beberapa kondisi
tertentu, sedangkan Kementrian Sumber Daya Alam membagi partisipasi
pada tingkat keterlibatan para peserta/stakeholder yang terlibat setiap
peserta mempunyai otonomi.

e. Model Logika yang Mendasari Strategi Partisipatif
Partisipasi

dalam

pembangunan,

menurut

Lund

(1990:

178-179),

menghadapi dua pandangan yang berasal dari dua logika yaitu logika yang
didasarkan pada efisiensi dan logika yang didasarkan pada proses pemberdayaan.
Kedua metode tersebut dapat dijelaskan seperti uraian dibawah ini.

47
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Logika Proses Partisipasi masyarakat
Strategi
Rumusan
Dasar
Asumsi
Norma
Asumsi
Awal

Asumsi
Teoritis
Sebab Akibat

Efisiensi

Pemberdayaan

Pembangunan melalui kemitraan ‘top
down’ dengan masyarakat. (Jangkauan
ke bawah yang inklusif)
Masyarakat miskin harus dapat
memenuhi kebutuhan dasar mereka
seperti yang ditentukan oleh negara
Mensyaratkan partisipasi sebelumnya
Dalam proses pembangunan. Karena
itu mereka harus mampu untuk lebih
berpartisipasi lagi
1. Tujuan pembangunan dapat dicapai
secara harmonis dan konflik
diantara
kelompok-kelompok
sosial dapat diredam melalui pola
demokrasi setempat. Karena itu
partisipasi masyarakat setempat
adalah mungkin
2. Partisipasi
Masyarakat
berdampakpositif
terhadap
pembangunan
3. Partisipasi masyarakat merupakan
alatpositif untuk memobilisasi
sumber sumber setempat (manusia
dan
alam)
dengan
tujuan
melaksanakan
program
pembangunan tertentu
4. .a Kurangnya partisipasi merupakan
suatu
ekspresi
dari
ketidak
mampuan untuk berpartisipasi
berupa kurangnya dana pendidikan
dan sumber-sumber lain, serta
tingkat organisasinya rendah
4.b. Atau bisa juga berarti bahwa
rancangan program kurang disesuaikan
pada kebutuhan kelompok sasaran.
Dalam hal ini perencanaan dan
pelaksanaan
prosedur
yang
menyimpang atau teknologi yang tidak
tepat atau teknologi yang tidaktepat
(hambatan
operasional
untuk
berpartisi-pasi). Jadi
hal itu
menunjukan perlunya perbaikan pada
pendidikan, teknik, administrasi dan
keuangan

Pembangunan alternatif yang dirumuskan
oleh masyarakat dan organisasi setempat
(Jangkauan atas yang integratif)
Masyarakat miskin harus memperoleh
proyek pembangunan yang